Anda di halaman 1dari 9

Hukum, Etika, dan Kehumasan

Al Hanaan
 01/05/2015 01:30AM

Judul: Aspek-aspek Hukum dan Etika dalam Aktivitas Public Relations


Kehumasan

Penulis: Rosady Ruslan

Penerbit: Ghalia Indonesia

Tahun Terbit: September 1995 (Cetakan Pertama)

ISBN: 979-450-318-5

Tebal: 175 halaman

Pendahuluan membahas uraian singkat mengenai seluk beluk public


relations atau kehumasan. Secara garis besar, ada empat hal indikator
keberhasilan seorang humas dalam tugasnya, yaitu profesionalisme, kode
etik/etika, moral dan aspek-aspek hukum yang dijadikan acuan. (Halaman
21)
Di halaman 21-22, diberikan berbagai definisi public relations menurut
berbagai sudut pandang. Definisi public relations menurut Institute of Public
Relations, Inggris adalah: “Kegiatan yang dilakukan dengan sengaja,
direncanakan, dan berlangsung secara berkesinambungan untuk membina
dan mempertahankan saling pengertian antara suatu organisasi dengan
masyarakat.” Menurut Frank Jefkins, dalam bukunya mengatakan bahwa
“Public relations merupakan segala bentuk komunikasi terencana ke luar dan
ke dalam antara sebuah organisasi dengan masyarakat untuk tujuan
memperoleh sasaran-sasaran tertentu yang berhubungan dengan saling
pengertian (mutual understanding).” Sedangkan menurut para pakar humas
adalah “Gabungan antara seni dan ilmu sosial yang dapat menganalisa
kecenderungan- kecenderungan dan meramalkan akibatnya.”
Intinya, dalam mengemban tugas sebagai humas/praktisi public relations
(PRO) harus menjaga perasaan orang lain dan tidak merugikan pihak mana
pun.

Bab 1 – Etika terdiri atas empat sub-bab, yaitu Tinjauan Teori; Pemahaman
Etika dan Moral; Kaidah Dasar Moral; dan Macam Etika.
Etika memiliki beberapa teori namun pada dasarnya etik atau etika
berhubungan dengan apa yang dianggap baik dan buruk dalam masyarakat.
Namun, pendefinisian etika tidak sesederhana itu karena etika merupakan
cabang ilmu filsafat yang berkaitan dengan nilai dan sikap yang berpedoman
pada asas-asas nilai moral yang berbudi luhur dan tinggi.

Etika adalah genusnya, sedangkan spesiesnya adalah etik, kode etik (code of
conduct), dan etiket (etiquette) yang merupakan tata krama dalam
pergaulan. Sesuai dengan perkembangan zaman, kode etik terus
berkembang sesuai dengan pertumbuhan di berbagai bidang profesi yang
memerlukan kode etik sebagai pedoman acuan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya masing-masing. Seperti adanya kode etik perbankan, kode
etik jurnalistik, kode etik publikasi, kode etik periklanan, kode etik bisnis,
dan kode etik lingkungan. (Halaman 25)
Etika sangat diperlukan dalam kehidupan dan diperkuat dengan hukum yang
mengatur dan menertibkan dalam menjalankan tugas dan fungsi bagi setiap
profesi atau bidang tertentu. Kalau tidak, maka manusia bisa saling bersaing
dan menjatuhkan, masing-masing berupaya keras dengan berbagai cara
guna mencapai tujuan dan memenangkan persaingan. Lebih parah lagi, bila
manusia tidak lagi mengindahkan etika dan norma-norma hukum, hal ini bisa
menimbulkan suatu bencana – homo homini lupus – ‘manusia menjadi
srigala bagi sesamanya’ dengan menghalalkan berbagai cara untuk mencapai
tujuan sepihak, tanpa melihat keseimbangan (equilibrium) antara hak dan
kewajiban, materi dan spiritual, individual dan golongan, serta pribadi dan
masyarakat lainnya. (Halaman 26)
Singkat kata, etika menjadikan manusia menjadi manusia yang sebenarnya
jika ia menjadi manusia yang etis. Etika terdiri dari dua macam, yaitu etika
deskriptif dan etika normatif; dan tiga pertanyaan dasar etika, yaitu apa
yang benar? Apa yang baik? Dan apa yang adil?

Norma terdiri dari dua, yaitu norma umum (non-hukum/norma moral) dan
norma khusus (hukum/kode etik). Keberlakuan norma dalam aspek
kehidupan dibagi menjadi dua, yaitu aspek hidup pribadi (individual) dan
aspek hidup antarpribadi (bermasyarakat).

Bab 2 – Kode Etik Profesi terdiri atas Dimensi Etis dari Public Relations;
Kode Etik PR; dan Hukum, Etika, dan Citra Era Globalisasi.
Profesi memerlukan kode etik dalam menjalankan tugasnya. Apa perbedaan
antara kode etik dan profesionalisme?

Kode etik adalah untuk menggugah kesadaran dalam melaksanakan profesi


tertentu sesuai dengan kode etiknya. Sedangkan profesionalisme adalah
seseorang yang menyandang suatu profesi yang melakukan suatu keahlian
(skill) yang tinggi dan pekerjaan pada purnawaktu, memiliki otonom, dan
profesi tersebut merupakan sumber penghasilannya. (Halaman 31)

Apa itu Dimensi Etis dari Public Relations?

Dimensi etis public relations sebagai profesional yang tugas dan fungsinya
mewakili suatu lembaga atau perusahaannya, bertumpu sebagai mediator
atau komunikator dalam menyampaikan pesan, informasi tentang semua
aktivitas atau ide program kerjanya berisnggungan dengan dimensi etik
publikasi (ethics of publication), etik jurnalistik, etik periklanan (ethics of
advertising), etik bisnis (ethics of business), dan etik pemasaran (ethics of
marketing). Dalam bekerjasama, membina hubungan yang harmonis dan
mencegah kemungkinan terjadinya rintangan (barrier) dengan pihak-pihak
terkait lainnya secara ethics of public relations officer. (Halaman 32-33)
Untuk membina hubungan baik dengan pihak-pihak terkait tesebut dalam
rangka membangun perspesi dan citra positif (postive image), terlebih
dahulu mempunyai tujuan yang baik (good will), saling mempercayai satu
sama lain (mutual confidence), saling menghargai (mutual appreciation),
saling pengertian antar kedua belah pihak (mutual understanding), dan
memiliki rasa toleransi. (Halaman 33)
Lalu, apa fungsi public relations? Penulis mengutip pendapat Allan C. Filey
dan Ralph Currier Davis dalam bukunya Principle of
Management mengatakan bahwa public relations dikatakan berfungsi apabila
public relations itu menunjukkan kegiatan yang jelas dan dapat dibedakan
dari kepentingan lain. Kesimpulannya, public relations harus menunjukkan
kegiatan tertentu (action), kegiatan tersebut jelas (activities), berbeda jenis
kegiatannya dengan pihak lain (difference), dan ada kepentingan tertentu
yang terarah (important things). (Halaman 33)
Dalam melakukan tugasnya, praktisi public relations berpijak pada
paradigmatik komunikasi yang terdiri dari lima komponen dan berbunyi:
“Who says what in which channel to whom with what effect.” Paradigmatik
komunikasi ini pertama kali dikemukakan oleh Harold D. Lasswell.

1. Who says = siapa yang mengatakan --> komunikator.

2. Says what = mengatakan apa --> pesan.

3. In which channel = melalui saluran apa --> media cetak/elektronika.

4. To whom = kepada siapa --> komunikan.

5. With what effect = dengan efek apa --> efek/dampak.

Dengan adanya seorang praktisi public relations, harapannya kesan baik


akan ditangkap oleh masyarakat. Proses transfer pada public relations
diantaranya:

Permusuhan (hostility) --> simpati (sympathy)


Prasangka (prejudice) --> penerimaan (acceptance)
Ketidapedulian (apathy) --> berminat (interest)
Ketidaktahuan (ignorance) --> pemahaman (knowledge)

Pubic relations juga berkaitan erat dengan pemasaran karena produk dan
jasa yang ditawarkan membutuhkan pengakuan dari masyarakat sebagai
konsumen agar memperoleh pasar. Persaingan yang ketat inilah memicu
penggunaan “gimmick” periklanan yang membuat konsumen ‘dipaksa’
menerima produk dengan informasi yang menyesatkan sehingga masyarakat
terkecoh. Tak heran jika masyarakat sudah jenuh dengan iklan karena
merasa ditipu alias menjadi korban iklan. Untuk itulah perusahaan atau agen
periklanan harus menjaga citra dengan tetap memegang etik profesi.

Sebelum memberikan gambaran singkat mengenai Kode Etik PR


Internasional, sebaiknya perlu diketahui perbedaan antara citra, penampilan,
dan etika. Citra adalah cara masyarakat memberikan kesan terhadap diri
kita; penampilan adalah bagaimana keadaan diri kita yang seharusnya; dan
etika adalah acuan bagi tindakan yang baik dan benar dalam menjalankan
profesi, tugas, dan fungsi public relations.

Dalam Kode Etik IPRA (International Public Relations Association) mencakup


(1) kode tingkah laku; (2) kode moral; (3) menjunjung tinggi standar moral;
(4) memiliki kejujuran yang tinggi; (5) mengatur apa saja yang boleh
dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh praktisi public relations.

Era globalisasi identik dengan kemajuan teknologi, jadi pembahasan sub-bab


Hukum, Etika, dan Citra Era Globalisasi membahas mengenai dampak
kemajuan teknologi terhadap public relations (kehumasan). Sejak
perkembangan teknologi semakin maju, peningkatan perlindungan semakin
diperkuat secara hukum, etika, dan citra, serta hak atas kekayaan intelektual
(HAKI) yang mencakup hak cipta (copy rights), hak merek (trade mark), hak
paten (patent) seperti mengenai desain produk industri (industrial design),
lingkaran elektronika terpadu (integrated circuit), dan rahasia dagang (trade
secrets).

Bab 3 – Hukum dan Etika membahas tentang prinsip hukum dan etika.
Pada dasarnya, hukum dan etika landasannya sama, yaitu berakar dari moral
dan sumber segala hukum pada falsafah Pancasila. Hukum sendiri berasal
dari etika yang merupakan cabang dari filsafat moral yang mengacu pada
nilai-nilai universal kebaikan.
Definisi hukum sangat luas, namun dalam buku ini yang dibahas adalah
hukum yang berhubungan dengan tugas dan fungsi public relations. Hukum
bersifat memaksa (imperatif), secara a priori harus ditaati, dan segala
bentuk pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai aturan yang berlaku
dan telah disepakati. Sedangkan etika bersifat longgar, boleh ditaati dan
tidak, dan segala bentuk pelanggaran etika dikenakan sanksi moral atau
sosial.
Sub-bab dalam bab 3 membahas tentang Kesamaan Kode Etik dan Hukum;
Kaidah Hukum yang Berlaku; Penyimpangan terhadap Kaidah Hukum;
Aspek-aspek Hukum dalam Komunikasi; dan Hukum-hukum Opini Publik.

Etika/kode etik dan hukum memiliki fungsi yang sama di lapangan (secara de
facto), yaitu bertujuan menjaga ketertiban dan keamanan serta kepastian
bagi kepentingan individual maupun kelompok dalam masyarakat. Namun
secara de jure, hukum berfungsi menjamin kepastian secara hukum seperti
menyangkut antara hak dan kewajiban.
Mengenai Kaidah Hukum yang Berlaku dalam masyarakat, F.C. Von Savigny
mengatakan bahwa, “hukum tidak dibuat, melainkan dibentuk berdasarkan
nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hukum itu timbul dan tenggelam
bersama masyarakat.” Jadi, hukum dibentuk dari nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dan sekaligus juga merupakan perwujudan dari nilai suatu
bangsa. Mengenai persoalannya, hulu, berkisar pada masalah hak dan
kewajiban beserta pembahasannya (rights, obligations, dan restrictions).
Singkat kata, kaidah bersumber dari hasrat hidup yang pantas, yaitu
kehidupan yang tertib dan tenteram.
Penyimpangan terhadap Kaidah Hukum mempunyai dua segi, yaitu
pengecualian dan penyelewengan. Pengecualian diberlakukan ketika ada
orang yang terjepit keadaan sehingga harus melakukan pelanggaran seperti
kasir yang menyerahkan uang ke perampok agar nyawanya selamat.
Sedangkan penyelewengan jika seseorang memang sengaja melakukan
penipuan atau penyalahgunaan sehingga harus dikenakan sanksi.

Fungsi hukum dalam komunikasi dijabarkan dalam kutipan di halaman 52


sebagai berikut: Untuk mengantisipasi tantangan menghadapi era globalisasi
di bidang informasi, yang mampu menerobos batas-batas wilayah suatu
negara dan sulit untuk dibendung, mau tidak mau dibutuhkan penyesuaian
seperangkat etik profesi (ethics of profession) dan aspek-aspek hukum
dalam kegiatan komunikasi di berbagai bidang untuk menghadapi sistem tata
hukum internasional, perdata, pidana, perekonomian, dan politik dalam era
globalisasi. Termasuk bidang jurnalistik, periklanan, publikasi, dan public
relations. (Halaman 52)
Hukum-hukum Opini Publik membahas secara singkat mengenai perbedaan
antara public relations dan hubungan masyarakat (humas). Penulis mengutip
pendapat Drs. Djafar H. Assegaf yang lebih suka menggunakan istilah “opini
publik” daripada “pendapat umum” dengan alasan kata “umum” memiliki arti
luas dan banyak, sehingga tidak spesifik untuk menunjuk kepada kelompok
tertentu yang mewakili khalayak. Sedangkan istilah “publik” memiliki arti
terbatas dan spesifik untuk menjadi khalayak sasaran (target audience)
tertentu. Secara de facto (di lapangan), istilah humas menunjuk pada
kalangan departemen kedinasan pemerintah (BUMN) sedangkan istilah public
relations menunjuk pada lembaga milik swasta.
Apa tujuan memperoleh opini publik dalam kehidupan? Tujuannya agar
memperoleh kekuatan massa sehingga dengan mudah menekan dan
memperoleh apa yang diinginkan. Caranya, suatu negara atau kelompok
harus menguasai jaringan informasi dunia seperti media massa dan teknologi
informasi; dan harus mampu membuat dunia terpana dengan keberhasilan
yang ditampakkan. Hal ini pernah diaplikasikan oleh Amerika Serikat melalui
konsensus WASP (White Anglo-Saxon Protestant).

Ada empat cara untuk mampu menggalang opini publik, yaitu tekanan
(pressure), membeli (purchase), bujukan (persuasion), dan ancaman
(threat). Dalam praktiknya, public relations paling sering melakukan
pembujukan, yaitu membentuk dan merekayasa opini publik dan
menggalang opini publik yang sudah ada. Hukum opini publik terbentuk dari
penggalangan opini dari masyarakat/publik sehingga untuk memahami
hukum opini publik harus mampu mengetahui cara menggalang opini publik.

Bab 4 – Hukum yang Berlaku di Indonesia pada mulanya mengacu pada


hukum peninggalan Belanda, seperti KUH Perdata sejak 1 Mei 1884
(Burgelijk Wetboek), KUH Pidana (Wetboek van Strafrecht) yang berlaku
sejak 1 Januari 1918, dan KUH Dagang (Wetboek van Koophandel). Secara
praktik, dikenal istilah hukum sipil (privat) dan hukum publik.
Indonesia menganut hukum pluralisme baik hukum tertulis (statute law)
maupun hukum yang tak tertulis (hukum adat). Hukum peninggalan Belanda
disebut sistem hukum Eropa Benua atau berasal dari Romawi-Jerman (civil
law system). Sedangkan hukum yang biasa digunakan dalam dunia bisnis
internasional berasal dari Inggris-Amerika Serikat (Anglo Saxon) yang
dikenal sebagai common law system. Sistem hukum common law tidak kaku
seperti sistem hukum civil lawyang tertulis dalam kitab karena sistem
hukum common law berdasarkan kaidah keputusan hakim atau pengadilan
pada kasus konkret yang terjadi di lapangan sehingga sistem hukum ini
mempunyai fleksibilitas tinggi terhadap perkembangan masyarakat dan
kemajuan zaman.
Semakin banyak hukum, semakin banyak ketidakadilan. Yang pasti, sistem
tata hukun di Indonesia hanya mengacu pada Pancasila (staats fundamental
norm) sebagai landasan idiilnya dan UUD ’45 (staats grundgesetze) sebagai
landasan konstitusionalnya.
Bab 4 terdiri atas enam sub-bab, diantaranya Hukum Keperdataan; Unsur
Aspek Hukum Konsultan PR; Hubungan Konsultan dan Klien; Perbuatan
Melanggar Hukum Hak Merek dan Cipta; Perlindungan Hukum Hak Cipta,
Merek, dan Paten; dan Risiko Kelalaian dan Kerugian.

Kaidah hukum merupakan suatu norma yang mengatur tentang sikap dan
perilaku manusia di dalam kehidupan sehari-hari agar terciptanya suatu
kehidupan yang tertib, tenteram, dan teratur. Ada tiga macam kaidah
hukum, yaitu:

1. Kaidah hukum yang bersifat suruhan (gebod).


2. Kaidah hukum yang bersifat larangan (verbod).
3. Kaidah hukum yang bersifat kebolehan (mogen).
Hukum perdata memiliki tiga sifat di atas. Buku ini membahas tentang
perjanjian (perikatan) karena aspek-aspek hukum inilah yang paling banyak
terkait dengan tugas dan fungsi public relations untuk membuat kontrak
bisnis, perjanjian, dll.

Perbedaan hukum perjanjian dan perikatan, yaitu dalam pengertian


perjanjian lebih sempit daripada perikatan. Pengertian hukum perikatan
(verbintenis) lebih luas karena timbul dari persetujuan atau kontrak, dan
akibat dari perbuatan yang melanggar hukum. (Halaman 63) Tak salah jika
hukum perdata berkaitan erat dengan perjanjian. Hal ini ditegaskan dalam
Pasal 1321, KUH Perdata yang menyatakan, “Persetujuan tidak mempunyai
nilai, apabila diberikan karena salah pengertian atau dipaksakan atau
diperoleh melalui tipu daya.”
Dalam praktek lapangan pada sistem manajemen perusahaan dikenal dua
kelompok profesi public relations (kehumasan) dalam memberikan jasa
pelayanannya, yaitu konsultan PR (PR consultant) dan PR organik (organizer
PR).
Hubungan Konsultan dan Klien dari sudut hukum perdata terjadi karena dua
hal, yaitu berdasarkan perjanjian (ius contractu) dan berdasarkan undang-
undang (ius delicto).
Perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) yang telah diatur dalam
Pasal 1365, KUH Perdata sangat penting dalam lalu lintas hukum yang
berkaitan dengan aktivitas dalam kehumasan. Pasal 1365 KUH Perdata
merupakan senjata yang ampuh atau jalur hukum terakhir yang ditempuh
untuk menuntut pihak-pihak yang lalai tersebut dan masalah perdata yang
menyangkut materi hukum lainnya seperti Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) yang secara khusus mencakup UU Hak Cipta, Merek, dan Paten.
Merek, logo, dan nama produk atau perusahaan yang belum didaftarkan
tidak akan mendapat perlindungan hukum jadi hak merek dan hak cipta
menganut asas konstitutif. Pemerintah telah menerbitkan perangkat
peraturan dan perundang-undangan di bidang perlindungan Hak Atas
Kekayaa Intelektual (HAKI) seperti di bidang hak cipta UU No. 7/1987, hak
paten UU No. 6/1989, dan hak merek berdasarkan UU No. 19/1992. Ketiga
UU itu berkaitan erat dengan Inttelectual Property Rights yang bernaung di
bawah bendera PBB, yaitu World Intellectual Property Organization (WIPO)
dan World Trade Organization (WTO).

Kelalaian merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari dalam public relations.
Demi melindungi suatu perjanjian dan menghindari sengketa di kemudian
hari atau untuk memudahkan suatu penyelesaian perselisihan tersebut,
sebelumnya atau seharusnya para pihak yang mengadakan perjanjian secara
tegas menetapkan suatu perjanjian tentang risiko. Pasal 1366 tentang
tanggungjawab atas kerugian berbunyi:

“Setiap orang tidak bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan


karena tindakan-tindakannya, tetapi juga terhadap kerugian yang
disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hati.”

Bab 5 – Aspek-aspek Hukum Kepidanaan membahas tentang kaitan


antara hukum dan etika. “Etis tidak relevan dengan tindak pidana”, menurut
Prof. Oemar Seno Adji, S.H. Artinya, apa yang benar menurut etika belum
tentu benar di mata hukum, begitu pula sebaliknya.
Hukum mengenal pelanggaran (overtredingen), yaitu suatu contoh dalam
kegiatan kehumasan atau bidang profesi lainnya, seperti kewartawanan dan
periklanan, yang dalam kegiatan maupun fungsinya banyak menyangkut
sanksi pidana dan bukan karena nilai-nilai norma atau etik profesi
bersangkutan yang terdapat di dalamnya. (Halaman 75)
Ada dua aliran yang melatarbelakangi hubungan antara etik dan hukum,
yaitu aliran positivisme dan naturrecht. Aliran positivisme mengenal
pemisahan antara hukum dan etika sedangkan aliran naturrecht tidak.
Indonesia menganut aliran naturrecht. Hal ini dapat dilihat dari bentuk iklan
yang ditampilkan. Di Indonesia, iklan tidak akan memuat unsur pronografi
atau semi-pornografi karena sebagian masyarakat masih memegang teguh
adat istiadat dan nilai keagamaan. Apa yang melanggar etika, sama saja
melanggar hukum. Pelaksanaan dan implikasi antara etika dan hukum sama
secara yuridis. Jadi, ada pertemuan yang kuat antara etik, moral, dan
hukum. Singkat kata, semua hal-hal yang berbau pornografi atau asusila
dianggap tabu untuk dipertontonkan.
Ada sembilan sub-bab yang akan dibahas di bab 5, yaitu Restriksi
Pembahasan Hukum; Wartawan-Pers; Aspek Hukum Bidang Periklanan;
Aspek Perlindungan Hukum Konsumen; Pengawasan Periklanan Obat; Aspek
Hukum Bidang Kehumasan; Pelanggaran terhadap Kehormatan dan Nama
Baik; Tanggungjawab Pidana; dan Pelanggaran dalam Dunia Bisnis.
Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1995 dan sebagian isinya
kurang relevan dengan situasi hari ini. Aturan hukum, undang-undang, dan
kondisi sosial yang dijabarkan sudah tidak berlaku lagi, namun buku ini
masih layak baca bagi siapapun yang ingin terjun di bidang kehumasan
terutama wajah kehumasan di tahun 1990-an.

Anda mungkin juga menyukai