Anda di halaman 1dari 21

BAB II

ASMA BRONKHIAL

A. PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang ditandai adanya
mengi episodic, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas,
termasuk dalam penyakit pernapasan kronik. Secara praktis para ahli berpendapat :
asma adalah penyakit paru dengan karakteristik : 1). Obtruksi saluran napas yang
reversible (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun
dengan pengobatan ; 2). Inflamasi saluran napas ; 3).peningkatan respon saluran
napas terhadap berbagai rangsangan (hiperaktivitas).1,2

Asma merupakan salah satu penyakit kronik dengan tingkat prevalensi 300
juta penduduk dunia yang menderita asma. Angka kejadian ini meningkat terutama
pada anak – anak. Asma dapat di obati secara efektif dan pada beberapa pasien dapat
mencapai control yang baik pada penyakit mereka. Asma menyebabkan episode
berulang dari wheezing, kesukaran bernapas dan nyeri dada serta batuk terutama pada
malam dan pagi hari.3

Walaupun mempunyai tingkat fatalitas yang rendah namum jumlah kasusnya


cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Badan Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan 100 – 150 juta penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini
diperkirakan akan terus bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Di
Indonesia prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada
anak sekolah usia 13 – 14 tahun dengan menggunakan kuisioner ISAAC
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma
masih 2,1 % dan pada 2005 meningkat menjadi 5,2 %.1

14
B. DEFINISI

Asma adalah suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran


napas yang menyebabkan hiperaktivitas bronkus terhadap berbagai stimulus yang
ditandai dengan gejala episodik berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa
berat di dada terutama pada malam dan atau dini hari yang umumnya bersifat
reversible baik dengan atau tanpa pengobatan.1

Penyumbatan saluran pernapasan yang menimbulkan manifestasi klinis asma


adalah akibat terjadinya bronkokontriksi, pembwngkakan mukosa bronkus dan
hipersekresi lendir karena hiperaktivitas saluran pernapasan terhadap beberapa
stimulus. Hal yang selalu dapat ditemui pada penderitditemui pada penderita asma
adalah saluran pernapasannya yang hiperresponsif terhadap stimulus. Untuk setiap
penderita stimulusnya tidak selalu sama. Dalam keadaan serangan asma, sangat
mudah untuk menegakkan diagnosisnya, tetapi ketika berada dalam episode bebas
gejala, tidak mudah untuk menentukan seseorang menderita asma.4

Asma bersifat fluktuatif (hilang timbul) artinya dapat tenang tanpa gejala
tidak mengganggu aktifitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan samapai
berat bahkan dapat menimbulkan kematian.1

C. PREVALENSI

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak factor antara lain jenis kelamin,
umur pasien, status atopi, factor keturunan, serta factor lingkungan. Pada masa kanak
– kanak ditemukan prevalensi anak laki – laki berbanding anak perempuan 1,5 : 1,
tetapi menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan leih banyak dari laki – laki. Umumnya prevalensi asma lebih
sering lebih tinggi dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa
lebih tinggi dari pada anak. Angka ini juga berbeda – beda antara satu kota

15
dengankota lain di Negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5
– 7%.2

D. PATOGENESIS

Sampai saat ini pathogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti,
namun berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah
inflamasi dan respons saluran napas yang berlebihan.2

Asma Sebagai Penyakit Inflamasi 2

Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi
ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan
karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena
rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini
syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel radang.
Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya
baik yang alergik maupun non-alergik.

Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik


dijumpai adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Oleh karena itu dikenal
paling tidak dua jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut. Jalur imunologis yang
terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya
allergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cells = sel
penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan allergen akan dikomunikasikan
kepada sel Th (sel penolong). Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi
melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel
radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta
limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi.

Mediator-mediator inflamasi seperti histamine, prostaglandin (PG), leukotrin


(LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX) dan lain-lain akan

16
mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas
dinding vascular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mucus dan
fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hiperaktivitas saluran napas (HSN). Jalur
non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang system saraf autonom
dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.

Hiperaktivitas Saluran Napas (HSN) 2


Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas
pasien asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat
kimia (histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain
npeka terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap allergen
yang spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.
Berbagai keadaan dapat meningkatkan hiperaktivitas saluran napas seseorang yaitu:
Inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang dikeluarkan
terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini didukung oleh fakta
bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat menurunkan derajat HSN
dan gejala asma.

Kerusakan epitel.
Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel. Pada asma
kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan struktur ini akan
meningkatkan penetrasi allergen, mediator inflamasi serta mengakibatkan iritasi
ujung-ujung saraf otonom sering lebih mudah terangsang. Sel-sel epitel bronkus
sendiri sebenarnya mengandung mediator yang dapat bersifat sebagai bronkodilator.
Kerusakan sel-sel epitel bronkus akan mengakibatkan bronkokonstriksi lebih mudah
terjadi.

Mekanisme neurologis.
Pada pasien asma terdapat peningkatan respon saraf para simpatis

17
Gangguan intrinsik.
Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada saluran napas diduga berperan
pada HSN.

Obstruksi saluran napas.


Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran napas diduga untuk ikut berperan
pada HSN.

Patofisiologi
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mucus, edema, dan inflamasi dinding bronkus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit
pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi
terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,
kapasitas residu fungsional (KRF), dan pasien akan bernapas pada volume yang
tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar
saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk
mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas. 2

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif
dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) dan APE (Arus Puncak
Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasita Vital Paksa) menggambarkan
derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran
napas yang besar, sedang, maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan
di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan
sesak lebih dominan dibanding mengi.2

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada
daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah kapiler yang melalui

18
daerah tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan
kelainan pada asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh
melakukan hiperventilasi, agar kebutuhan tubuh terpenuhi. Tetapi akibatnya
pengeluaran CO2 menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian
menimbulkan alkalosis respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak
saluran napas dan alveolus tertutup oleh mucus sehingga tidak memungkinkan lagi
terjadinya pertukuran gas.2

Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan bertambah


berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2 yang
disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2 (hiperkapnia)
dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang berlangsung lama
menyebabkan asidosis metabolic dan kontriksi pembuluh darah paru yang kemudian
menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit pertukaran gas yang
baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan demikian penyempitan
saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut: (1) Gangguan
ventilasi berupa hiperventilasi, (2) Ketidakseimbangan ventilasi perfusi dimana
distribusi ventilasi tidak setara dengan sirkulasi darah paru, (3) Gangguan difusi gas
di tingkat alveoli.2
Gejala asma yaitu batuk, sesak, dan mengi merupakan akibat dari obstruksi bronkus
yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.1

Faktor risiko faktor risiko

inflamasi

Hiperaktivitas bronkus obstruksi BR

Faktor risiko Gejala

19
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hiperaktivitas
bronkus dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan parameter
objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada pada seorang
pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hiperaktivitas bronkus ini, antara
lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen maupun
inhalasi zat non spesifik.1

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
allergen, virus dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri
atas reaksi asma dini (Early Asthma Reaction = EAR) dan reaksi asma lambat (Late
Asthma Reaction =LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma lambat, proses
dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik. Pada keadaan ini
terutama eosinofi dan monosit dalam jumlah besar ke dinding bronkus.1

Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal yang
kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang banyak
ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di bawah merman
basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sel mast. Selain sel mast, sel lain
yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag alveolar, eosinofil, sel
epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.1

Inhalasi allergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,


nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal menyebabkan
reflex bronkus, sedangkan mediator inflamasi yangdilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeable dan memudahkan
allergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi yang terjadi.1

Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan


serangan asma, melalui sel efektor seknder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan
limfosit. Sel – sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
lekotriens, tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi asma.

20
Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan hiperaktivitas
bronkus.1

E. GEJALA KLINIS

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodic batuk, mengi dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada dan pada asma
alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Ada sebagian kecil pasien asma yang
gejalanya hanya batuk dan tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant
asthma. Bila dicurigai perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah
bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin. 2

F. DIAGNOSIS

Diagnosa asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak,
mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-
batuk saja pada malam hari atau sewaktu malakukan olahraga. Adanya penyakit
alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi, dermatitis
atopik dapat digunakan untuk membantu diagnosa asma. Adakalanya gejala lebih
sering muncul pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor – faktor
pencetus serangan. Dengan mengetahui faktor pencetus serangan , kemudian
menghindarinya, maka diharapkan gejala asma dapat dicegah. 2
Yang membedakan asma dengan penyakit paru yang lain yaitu pada asma
serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat, artinya serangan asma tanpa diobati
bisa hilang dengan sendirinya, tetapi tidak etis membiarkan pasien asma mengalami
serangan tanpa diberi obat, selain itu juga dapat membahayakan nyawa pasien. Gejala
asma juga sangat bervariasi anta individu, dan bahkan bervariasi pada individu
sendiri misalnya gejala pada malam hari lebih sering muncul dibanding siang hari .
Adapun pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa adalah :2

21
1) Spirometri
Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri dilakukan
sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik beta. Peningkatan FEV1 atau KVP sebanyak ≥ 20 %
menunjukan diagnosis asma. Tetapi respon yang kurang dari 20 % tidak berarti bukan
asma. Hal-hal tersebut bisa dijumpai pada pasien yang sudah normal atau mendekati
normal.
2) Uji provokasi bronkus
Uji provokasi bronkus dilakukan untuk menunjukan adanya hiperreaktivitas bronkus.
Ada beberapa cara untuk melakukan uji provokasi bronkus seperti uji dengan
histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan
bahkan dengan aqua destilata. Uji provokasi bronkus bermakna jika terjadi penurunan
FEV1 sebasar 20 % atau lebih .
3) Pemeriksaan sputum
Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat
dominan pada bronkitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal
Charcot-Leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil, dan Spiral
Curshmann yaitu spiral yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang-cabang
bronkus, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus
fumigates.
4) Pemeriksaan eosinofil total
Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini
dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini
juga dapat dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis
kortikosteroid yang dibutuhkan pasien asma.
5) Pemeriksaan Kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Fungsi dari pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong adanya atopi.
Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat

22
dilakukan atau hasilnya kurang dapat dipercaya .
6) Foto dada
Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran
napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi asma
seperti pneumotorak, pneumomediastinum, ateleksis, dan lain-lain
7) Analisis gas darah
Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma berat. Pada fase awal terjadi hipoksemia
dan hipokapnia kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO2 justru mendekati
normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya
hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratorik.

G. KLASIFIKASI

Sangat sukar membedakan satu jenis asma dengan asma yang lain. Dahulu
dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non- alergik (instrinsik). Asma alergik
terutama munculnya pada waktu kanak – kanak mekanisme serangannya melalui
reaksi alergi tipe I terhadap allergen. Sedangkan asma dikatakan asma instrinsik bila
tidak ditemukan tanda – tanda reaksi hipersensitivitas terhadap allergen. Namun
klasifikasi tersebut pada prakteknya tidaklah mudah dan pasien sering memiliki
kedua sifat alergik dan non alergik, sehinga Mc Connel dan Holgate membagi asma
dalam 3 kategori, yaitu: 1). Asma ekstrinsik, 2). Asma instrinsik, 3). Asma yang
berkaitan dengan penyakit pru obstruktif kronik. 2

Berat ringannya asma ditentukan oleh berbagai faktor, antara lain gambaran
klinik sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemnerian obat
inhalasi β-2 agonis dan uji faal paru ) serta obat – obat yang digunakan untuk
pengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi pemakaian obat). Tidak
ada suatu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya suatu
penyakit. Dengan adanya pemeriksaan klinis termasuk uji faal paru dapat menentukan

23
klasifikasi menurut berat ringannya asma yang sangat penting dalam
penatalaksanaannya. 1

Asma diklasifikasi atas asma saat tanpa serangan dan asma saat serangan (akut) :

a. Intermitten
b. Persisten ringan
c. Persisten sedang
d. Persisten berat

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum pada
orang dewasa1

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru


Intermitten Bulanan APE≥80%

- Gejala<1x/minggu. ≤ 2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai


prediksi
- Tanpa gejala diluar
APE≥80%nilai
serangan.
terbaik.
- Serangan singkat.
- Variabiliti APE<20%.

Persisten ringan Mingguan APE>80%


- Gejala>1x/minggu >2 kali sebulan - VEP1≥80% nilai
tetapi<1x/hari. prediksi APE≥80% nilai
terbaik.
- Serangan dapat
mengganggu aktifiti dan - Variabiliti APE 20-
tidur 30%.

Persisten sedang Harian APE 60-80%


- Gejala setiap hari. >2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai

24
prediksi APE 60-80%
- Serangan mengganggu
nilai terbaik.
aktifiti dan tidur.
- Variabiliti APE>30%.
- Membutuhkan
bronkodilator setiap hari.

Persisten berat Kontinyu APE 60≤%


- Gejala terus menerus Sering - VEP1≤60% nilai
prediksi
- Sering kambuh
APE≤60% nilai
- Aktifiti fisik terbatas terbaik
- Variabiliti APE>30%

Sumber : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan di


Indonesia, 2004

2. Asma saat serangan1


Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya
serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan
asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi
tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan
berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma (aspek
akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami
serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik
jarang mengalami serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang
dapat menyebabkan kematian.

25
Dalam melakukan penilaian berat-ringannya serangan asma, tidak harus
lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang
ada. Penilaian tingkat serangan yang lebih tinggi harus diberikan jika pasien
memberikan respon yang kurang terhadap terapi awal, atau serangan memburuk
dengan cepat, atau pasien berisiko tinggi.

Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan1

Parameter klinis, Ringan Sedang Berat Ancaman


fungsi faal paru, henti napas
laboratorium
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
Bayi : Bayi : Bayi :

Menangis -Tangis pendek Tidakmau


keras dan lemah makan/minum

-Kesulitan
menetek/makan

Posisi Bisa Lebih suka Duduk


berbaring duduk bertopang
lengan
Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Kebingungan
iritabel iritabel iritabel
Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada Nyata
Wheezing Sedang, Nyaring, Sangat nyaring, Sulit/tidak
sering hanya sepanjang terdengar tanpa terdengar

26
pada akhir ekspirasi ± stetoskop
ekspirasi inspirasi
Penggunaan otot Biasanya Biasanya ya Ya Gerakan
bantu respiratorik tidak paradok
torako-
abdominal
Retraksi Dangkal, Sedang, Dalam, Dangkal /
retraksi ditambah ditambah napas hilang
interkostal retraksi cuping hidung
suprasternal
Frekuensi napas Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu
Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar :

Usia Frekuensi napas normal


per menit

< 2 bulan <60

2-12 bulan < 50

1-5 tahun < 40

6-8 tahun < 30

Frekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi Dradikardi


Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak

Usia Frekuensi nadi normal


per menit

2-12 bulan < 160

1-2 tahun < 120

27
6-8 tahun < 110

Pulsus paradoksus Tidak ada Ada Ada Tidak ada,


tanda
(pemeriksaannya tidak (< 10 mmHg) (10-20 mmHg) (>20mmHg)
kelelahan otot
praktis)
respiratorik
PEFR atau FEV1 >60% 40-60% <40%

(%nilai dugaan/%nilai >80% 60-80% <60%,


terbaik) respon<2 jam

Pra bonkodilator

Pasca bronkodilator

SaO2 % >95% 91-95% ≤ 90%


PaO2 Normal >60 mmHg <60 mmHg
(biasanya
tidak perlu
diperiksa)
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg

Sumber : GINA, 2006

H. PENATALAKSANAAN

Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan


mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol). 1

Tujuan :

28
- Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
- Mencegah eksaserbasi akut;
- Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
- Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
- Menghindari efek samping obat;
- Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
- Mencegah kematian karena asma.
- Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1)


Penatalaksanaan asma akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka
panjang

1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)

Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah (lihat
bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.
Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian
beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan
fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan
pengobatan yang tepat dan cepat.

Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :

 bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)


 kortikosteroid sistemik

29
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang
sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan
teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat
sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu
singkat 3- 5 hari.1

Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral.
Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV
(bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi
maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian
cairan IV.1

Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis
kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV
(bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan
dengan adrenalin subkutan.1

Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.

Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi


menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan
alat bantu (spacer).

2. Penatalaksanaan asma jangka panjang1

Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan


mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma.

30
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma
(pengontrol dan pelega); dan Menjaga kebugaran.

Edukasi

Edukasi yang diberikan mencakup :

 Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan


 Mengenali gejala serangan asma secara dini
 Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
 Mengenali dan menghindari faktor pencetus
 Kontrol teratur

Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah
pelangi asma (bagan 6), sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.

Obat asma

Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada
saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan
serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk
mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak,
kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis
diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol.

31
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :

 Inhalasi kortikosteroid
 β2 agonis kerja panjang
 antileukotrien
 teofilin lepas lambat

Dengan melaksanakan ketiga hal diatas diharapkan tercapai tujuan penanganan


asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol, terkontrol
sebagian, dan tidak terkontrol

Tabel 3. Ciri-ciri Tingkatan Asma 2

Tingkatan Asma Terkontrol

Karakteristik Terkontrol Terkonrol Tidak

Sebagian Terkonrol

Gejala harian Tidak ada (dua Lebih dari dua Tiga atau lebih gejala
kali atau kurang kali seminggu dalam kategori Asma
perminggu) Terkontrol Sebagian,
muncul sewaktu –
Pembatasan aktivitas Tidak ada Sewaktu-waktu
waktu dalam seminggu
dalam
seminggu

Gejala Tidak ada Sewaktu –


nokturnal/gangguan waktu dalam
tidur (terbangun) seminggu

32
Kebutuhan akan Tidak ada (dua Lebih dari dua
reliever atau terapi kali atau kurang kali seminggu
rescue dalam seminggu)

Fingsi Paru (PEF Normal < 80%


atau (perkiraan atau
dari kondisi
FEV1*)
terbaik bila
diukur)

Eksaserbasi Tidak ada Sekali atau Sekali dalam


lebih dalm seminggu***)
setahun**)

Keterangan :

*)
Fungsi paru tidak berlaku untuk anak-anak di usia 5 tahun atau di bawah 5
tahun

**)
Untuk semua bentuk eksaserbasi sebaiknya dilihat kembali terapinya apkah
benar-benar adekwat

***)
Suatu eksaserbasi mingguan, membuatnya menjadi asma takterkontrol

Sumber : GINA 2006

33
I. DIAGNOSIS BANDING

1. Bronkitis kronis2
Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
paling sedikti terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi
pada penderita > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari,
lama-lama disertai mengi, menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium
lanjut ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pumonal.
2. Emfisema paru2
Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya
tida ada fase remisi, penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas.
Pada pemeriksaan fisik di dapat dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor,
pekak hati menurun, suara vesikuler sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya
hiperinflasi.
3. Gagal jantung kiri2
Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai
paroksisimal dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak,
tetapi sesak berkurang jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya kardiomegali dan udem paru.
4.Emboli paru2
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan
tromboflebitis dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri
pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat
ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan
hipertensi.

34

Anda mungkin juga menyukai