PENDAHULUAN
Penyatit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan
gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti
ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik
dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit
ginjal kronik.(9)
National Kidney Foundation (NKF) mendefenisikan bahwa penyakit ginjal kronik
dengan atau tanpa kerusakan ginjal atau penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ginjal kurang
dari 60 mL/menit/1.73 m2 selama 3 bulan atau lebih. (1,4)
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60
ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kirteria penyakit ginjal kronik.(11)
Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage)
penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas
dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: (11)
1
Derajat Penjelasan LFG (ml/mnt/1,72m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau > 90
meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan 60 – 89
3 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang 30 – 59
4 Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat 15 – 29
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
(Dikutip dari kepusakaan 11)
EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1996 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik
diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap
tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal
ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60
kasus perjuta penduduk per tahun. (11)
Di Australia, survey mendapatkan bahwa penyakit ginjal kronik lebih umum dari
biasanya. 1 dari 3 orang dewasa berada dalam resiko tinggi untuk terkena CKD, dan 1 dari 7
orang dewasa memiliki beberapa tanda dari CKD. Gejala-gejala dari CKD mungkin tidak terlihat
sampai fungsi ginjal rusak berat dan ireversibel.(1)
ETIOLOGI
Penyebab paling sering dari penyakit ginjal kronik adalah diabetes mellitus (baik yang
tergantung insulin maupun yang tidak tergantung insulin), diikuti oleh hipertensi dan
glomerulonefritis,. Penyakit polikistik ginjal, obstruksi dan infeksi adalah sisanya yang paling
sering menyebabkan penyakit ginjal kronik.(7)
2
Penyebab-penyebab lainnya yaitu:(9)
Penyakit renovaskuler
Obat-obatan
Interstisial nefritis: ini mungkin idiopatik tapi bisa juga penyebab sekunder dari NSAID
dan penggunaan kronik dari furosemide
Penyakit keturunan
Dan penyebab yang tidak sering seperti amiloidosis, myeloma, SLE, gout,
hiperkalsemia, dan retroperitoneal fibrosis
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan Negara lain.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia adalah sebagai berikut:(11)
Glomerulonefritis dengan insiden sekitar 46.39%
Diabetes Melitus dengan insiden sekitar 18.65%
Obstruksi dan infeksi dengan insiden sekitar 12.85%
Hipertensi dengan insiden sekitar 8.46%
Sebab lain dengan insiden sekitar 13.65%
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang
mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama.
Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih
tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif
seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti
oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung
singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa.
Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit
dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan
progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factors seperti transforming growth factor β (TGF-β). Beberapa hal
yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah
albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk
terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial. (4,7,11)
Patogenesis dari penyakit ginjal kronik terdiri dari kombinasi efek-efek toksik dari
produk-produk yang tertahan yang normalnya diekskresikan dari tubuh (seperti nitrogen yang
mengandung hasil dari metabolisme protein), hormon-hormon yang jumlahnya meningkat, dan
kehilangan produk-produk dari ginjal (seperti kehilangan eritropoietin)..(7)
3
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal
pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan
tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih
belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin
serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai LFG di bawah 30%,
pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan
darah, gangguan metabolism fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya.
Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna.
Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia. LFG di bawah 15%
akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi
pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan
sampai pada stadium gagal ginjal.(11)
FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko dari penyakit ginjal kronik yaitu(1)
a. Yang dapat dikontrol
Merokok
Diabetes
Hipertensi
4
Obesitas
b. Yang tak dapat dikontrol
Umur lebih dari 50 tahun
Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal kronik
GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi : (2,3,7,9,11)
a). sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritematous Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b). sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan (yang bisa mengakibatkan kenaikan berat badan karena edema, asites, peripheral
edema), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c). Gejala komplikasinya antara lain hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung,
asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium,kalium, khlorida) yang bisa
mengakibatkan atrium fibrilasi jika terjadi hiperkalemia, juga jika terjadi kehilangan Na+ dan
cairan yang tiba-tiba bisa mengakibatkan muntah-muntah, diare dan berkeringat dengan demam.
Pada keadaan ini, akan dengan mudah terjadi kehilangan cairan ekstraseluler yang akan
mengakibatkan fungsi ginjal memburuk dan bahkan vaskuler kolaps dan syok.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: (2,5,9,11)
Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya
Penurunan fungsi ginjal berupa perningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan
penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin
serum saja tidak bisa diperguanakan untuk memperkirakan fungsi ginjal
Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar
asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolic
Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.
Serum albumin biasanya menurun karena adanya proteinuria
Pemeriksaan profil lipid sebaiknya dilakukan pada pasien dengan penyakit ginjal kronik
karena meningkatnya risiko terkena penyakit kardiovaskuler.
b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi(2,5,11)
Foto polos abdomen
Bisa tampak batu radiopak pada batu saluran kemih
Pielografi Intravena
5
Jarang dilakukan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping
kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan
Pielografi antegrad atau retrograde
Dilakukan sesuai dengan indikasi seperti adanya obstruksi
USG Ginjal
Dapat memperhatikan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, dan kalsifikasi
CT-Scan
Sangat berguna untuk melihat massa renal dan kista dengan lebih baik yang biasanya
didapatkan pada USG. Juga tes ini sangat sangat sensitive untuk mengidentifikasi batu
ginjal. CT-Scan yang memakai kontras IV sebaiknya dihindari pada pasien dengan
gangguan ginjal untuk menghindari gagal ginjal akut.
MRI
MRI sangat berguna pada pasien yang membutuhkan CT-Scan tapi tidak bisa diberikan
kontras IV. Ini sangat berguna dalam diagnosis thrombosis vena ginjal. Magnetic
resonance angiografi juga menjadi sangat berguna utnuk diagnosis stenosis arteri ginjal.
c. Pemeriksaan Histopatologi(2,11)
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal
yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasive tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi,
prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal kontraindikasi
dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistikk
hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas,
dan obesitas.
d. EKG(2)
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa, aritmia,
hipertrofi ventrikel dan tanda tanda perikarditis.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:(11)
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
Memperlambat pemburukan fungsi ginjal
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.
6
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan
LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal
secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi
yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari
normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
b. Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid(11)
Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit
Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan
pasien. Factor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksti traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik,
bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.
c. Menghambat Perburukan Fungsi Ginjal(6,11)
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua
cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah:
Pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60
ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan potein tidak selalu dianjurkan.
Protein diberikan 0,6-0,8/kg/kgBB/hari, yang 0,35-0,5 gr di antaranya merupakan protein
nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Dibutuhkan
pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah
asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,
kelebihan potein tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi
nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein
yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat dan ion unorganik lain juga diekskresikan
melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal
Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia. Dengan demikian,
pembatasan asaupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah
penting lain adalah, asupan protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus, yang akan
meningkatkan progresifitas perburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga
berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari
sumber yang sama. Pembtasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.
Terapi Farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat
antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di samping itu, sasaran terapi farmakologis
sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa, proteinuria
merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat
proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.
7
Beberapa obat antihipertensi, terutama ACEI (Angiotensin Converting Enzyme/ACE
inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan fungsi
ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
d. Pencegahan dan Terapi terhadap Penyakit Kardiovaskular(10)
Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-
45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal
yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian
diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,
pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan
elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal
kronik secara keseluruhan.
e. Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi(6,11)
Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi yang manfiestasinya sesuai dengan
derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Beberapa diantaranya antara lain:
Anemia
Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal
kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoietin. Hal-hal lain yang ikut berperan
dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya perdarahan
saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis,
defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi
akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g%
atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, kapasitas
ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum), menceari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan
terutama ditujukan kepada pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila
ditemukan. Pemberian eritropoietin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam
pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EOP memerlukan
besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian transfuse pada penyakit ginjal kronik harus
dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat.
Transfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan
tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai
studi klinik adalah 11-12 g/dl.
Pembatasan Cairan dan Elektrolit
Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini
bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Air yang
masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun
insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water
loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk
dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin.
8
Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh
karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium
(seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt.
Pembatasan natrium dimaksudkan dengan mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah
garam natrium yang diberikan disesuaikan dengan tekanan darah dan derajat edema yang
terjadi.
Osteodistrofi Renal
Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfofatemia
dan pemberian hormone kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia
meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat
absorbs fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien degnan gagal ginjal
juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia
Mengatasi Hiperfosfatemia
Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien
penyakit ginjal kronik secara umum, yaitu tinggi kalori, rendah protein dan rendah
garam, karena fosfat sebagian terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu
dan telur. Asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang
terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.
Pemberikan pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam
kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara
oral, untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium
yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan calcium acetate.
Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent). Akhir-akhir ini
dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar
paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut calcium mimetic
agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang
minimal.
Keseimbangan asam-basa
Metabolik asidosis yang menetap seringkali menimbulkan demineralisasi tulang, serta
hiperkalemia. Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen
natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mmol/kg/hari, dengan pemantauan pH dan kadar
bikarbonat pada analisis gas darahnya.
f. Terapi Pengganti Ginjal(10,11)
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium , yaitu pada LFG
kurang dari 15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal
dialisis atau transplantasi ginjal.
Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah
kurang dari 5 mL/menit) yang di dalam pratek dianggap demikian bila TKK < 5 mL/menit.
9
Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK < 5 mL/menit tidak selalu sama, sehingga
dialysis dianggap baru perlu dimulai bila dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah:
Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum > 6 mEq/L
Ureum darah > 200 mg/dL
pH darah < 7,1
Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
Fluid overloaded
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat dialami oleh pasien CKD ialah:(11)
Penyakit kardiovaskular akibat dari hipertensi
Osteodistrofi renal
Gangguan hematologi :anemia
Asidosis metabolik
10
BAB II
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama: Nn. CC
Umur: 25 tahun
Jenis Kelamin: Perempuan
Alamat: Bulukumba
Ruangan: LIAD K5/III RSWS
Nomor RM : 447982
Tanggal Masuk RS: 17 November 2010
ANAMNESIS
Anamnesis: Autoanamnesis
Keluhan Utama: Sesak Napas
Anamnesis Terpimpin:
Sejak 3 hari yang lalu, terus menerus, lebih nyaman dengan posisi duduk,
sesak saat aktivitas (+), tidak dipengaruhi oleh cuaca, riwayat terbangun
tengah malam karena sesak napas (-), riwayat sesak saat baring (+), nyeri dada
(-)
Mual (+), muntah (+), NUH (+).
Demam (-), riwayat demam (-)
Sakit kepala (-), pusing (-).
Batuk (-)
BAK : tidak lancar, volume kesan berkurang
BAB : Encer sudah 3 hari, frekuensi 1x/hari, darah (-), lendir (-)
11
STATUS PRESENT
Sakit sedang
Gizi Kurang
Berat badan : 44 kg
Berat badan koreksi: 44 – (44x25%) = 33
Tinggi badan : 148 cm.
IMT : 15,06 kg/m2
Kesadaran Composmentis
STATUS VITAL
TD : 180/130 mmHg
N : 98x/menit
P : 32x/menit
S : 36.6 0C
PEMERIKSAAN FISIS
Leher: Tidak didapatkan massa tumor, tidak ada nyeri tekan, DVS R+2 cmH2O.
Thorax :
I : simetris kiri = kanan, ikut gerak napas. Bentuk : normochest
P : tidak ada massa tumor, tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus kiri=kanan
P : sonor, batas paru hepar ICS V kanan depan
- -
A : BP Bronkovesikuler, BT: Rh , Wh -/-
- -
Jantung : ++
I : ictus cordis tidak nampak
P : ictus cordis teraba
P : batas jantung dalam batas normal
A : BJ I/II murni reguler, BT (-)
Abdomen:
12
Perkusi : tympani, shifting dullness (+)
Ekstremitas:
Edema (+)/(+)
DIAGNOSIS SEMENTARA:
Uremic Lung
CKD Stage V e.c. PNC Bilateral
CHF NYHA IV
Anemia pro evaluasi
Diare pro evaluasi
Hipertensi Grade II
PENATALAKSANAAN AWAL
Diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium, rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari
O2 4 lpm
Ranitidin 150 mg 2x1
NaCl 0.9% : Dexstrose 5% = 1:1 10 tpm
Diltiazem100 0-0-1 (lanjut)
HD
Konsul GH
13
S: Sesak Napas (+), mual (+), muntah (+), BAK: volume kesan kurang, BAB: Encer
sudah 3 hari, frekuensi 1x/hari, darah (-), lendir (-)
O: SS/GK/CM
Kepala: anemis (+)
- -
Leher: R+2 cmH2O
- -
Thoraks: BP Bronkovesikuler, BT: Rh , Wh -/-
++
Cor: BJ I/II murni regular
Abdomen: Ascites (+)
Extremitas: Edema +/+
A: CKD stage V e.c PNC
T: Diet rendah garam, protein 30 gr/hari, rendah kalium, rendah purin, Diltiazem 100 0-
0-1, Transfusi PRC 3 kantung saat HD
RENCANA PEMERIKSAAN
Foto Thorax
Urin lengkap
EKG
Fe
TIBC
Analisa Gas Darah
Evaluasi Darah Tepi
FOLLOW UP
14
Thorax: BP vesikuler, Rh (-), Wh kantung) saat HD
(-) -Cek elektrolit, Ureum,
Cor: BJ I/II reguler Kreatinin post HD
Abd: cembung, ikut gerak napas
shifting dullness (+)
Ext: edema (-/-)
A: CKD stage V e.c PNC Bilateral,
CHF NYHA II-III, Hipertensi grade
II, Anemia pro evaluasi, Ascites pro
evaluasi, Febris pro evaluasi
19/11/2010 Perawatan Hari II Diet rendah garam,
T: 170/110 S: pusing (+), demam (-), mual (+), rendah purin, rendah
N: 80x/i muntah (+), NUH (+), nafsu makan kalium, rendah protein
P:28x/i menurun, gatal-gatal (+) 0,6 gr/kgBB/hari
S: 36,3 0C BAK: + 150 cc sejak kemarin, Balance cairan
BAB: 2x, encer, hitam (-) IVFD NaCl 0,9% :
O: SP= SS/GK/CM Dextrose 5% = 1:1
Ikterus (-), anemis (+) 10 tpm
Abdomen: Shifting dullness (+) Diltiazem 100 1-0-0
Edema -/- Ranitidin 150 mg 2x1
A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, Lapor ke GH
CHF NYHA II-III, Hipertensi grade Jadwalkan HD
II, Ascites pro evaluasi
GH:
Diet rendah garam,
rendah purin, rendah
kalium, rendah protein
0,6 gr/kgBB/hari
Diltiazem 200 1-0-0
Rencana HD besok
15
A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, Ranitidin 150 mg 2x1
Hipertensi grade II, CHF NYHA II- PCT tab 3x1 (KP)
III,HD reguler Clonidin 0.15 gr ½-0-
½
Rencana HD
Edukasi cimino
22/11/2010 Perawatan Hari V Diet rendah garam,
T: 170/130 S: pusing (-), sakit telinga (+),sakit rendah purin, rendah
N: 80x/i perut (-), nafsu makan menurun, kalium, rendah protein
P:24x/i gatal-gatal (+) berkurang, NUH (+) 0,6 gr/kgBB/hari
S: 36,5 0C BAK: + 400 cc, BAB: biasa IVFD NaCl 0,9% :
O: SP= SS/GK/CM Dextrose 5% = 1:1
Ikterus (-), anemis (+) 10 tpm
Shifting dullness (+),ascites (+) Diltiazem 200 1-0-0
Edema dorsum pedis -/- Ranitidin 150 mg 2x1
A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, PCT tab 3x1 (KP)
CHF NYHA II-III, Hipertensi grade Clonidin 0.15 gr ½-0-
II, HD regular, Otalgia pro evaluasi ½
Lapor GH buat HD
Edukasi cimino
Konsul THT
23/11/2010 Perawatan Hari VI Diet rendah garam,
T: 160/120 S: pusing (-), sakit telinga (+) rendah purin, rendah
N: 80x/i berkurang, mual (-), muntah (-), kalium, rendah protein
P:24x/I nafsu makan menurun, gatal-gatal 0,6 gr/kgBB/hari
S: 36,2 0C (+) berkurang IVFD NaCl 0,9% :
BAK: kesan kurang, BAB: biasa Dextrose 5% = 1:1
O: SP= SS/GK/CM 10 tpm
Ikterus (-), anemis (+), ascites (+) Diltiazem 200 1-0-0
A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, Ranitidin 150 mg 2x1
CHF NYHA II-III,Hipertensi grade PCT tab 3x1 (KP)
II, HD regular, Otalgia pro evaluasi Clonidin 0.15 gr ½-0-
½
Menolak cimino
Tunggu Jadwal HD
Tunggu hasil konsul THT
23/11/2010 Perawatan Hari VII Diet rendah garam,
16
T: 160/120 S: pusing (-), sakit telinga (+) rendah purin, rendah
N: 88x/i berkurang, mual (-), muntah (-), kalium, rendah protein
P:32x/i BAK: kesan kurang, BAB: biasa 0,6 gr/kgBB/hari
S: 36,3 0C O: SP= SS/GK/CM Aff infus
Ikterus (-), anemis (+), ascites (+) Diltiazem 200 1-0-0
A: CKD stage V e.c PNC Bilateral, PCT tab 3x1 (KP)
CHF NYHA II-III, Hipertensi grade Clonidin 0.15 gr ½-0-
II, HD regular, Serumen Obturans ½
Sinistra Forumen tetes telinga
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Tanggal pemeriksaan
Jenis Pemeriksaan
16/11 17/11 18/11 19/11
WBC 10.5 x 103 9 x 103
RBC 2.20 x 106 3.25 x 106
HBG 5.9 9.0
HCT 17.7 % 27.4%
MCV
MCH
DARAH MCHC
RUTIN
PLT 203 x 103 190 x 103
Lym %
MxD %
Neut %
PDW
MPV
SGOT 19 22
KIMIA SGPT 12 12
DARAH Bil. Direk 0.21
DAN ELT Bil. Total 0.45
Ureum 324 194 62
17
Kreatinin 21.6 16.1 1.8
TKK
Asam Urat 9.5 8.9
Natrium 135 136 143
Kalium 5.3 3.3 3.2
Klorida 104 105 108
GDS 59
GDP
DM
Asam Urat
HbA1c
Kol. Tot 159
LDL 75
LIPID
HDL 30
Trigliserida 222
PT
APTT
Fibrinogen
Prot. Total 7.9 5.5
Albumin 3.0 2.9
Globulin 4.9 2.6
PETAND
A HATI Alfa Feto
Protein
Alkali
Fosfatase
HbsAg - -
anti Hbs
Anti HCV - -
Fe Serum
TIBC
LED I/II
Lain-lain
CT
BT
18
BAB III
PEMBAHASAN
RESUME
Seorang pasien perempuan berusia 25 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan sesak
napas, yang dialami sejak 3 hari yang lalu, dirasakan terus menerus, dan lebih nyaman dengan
posisi duduk, sesak saat aktivitas (+), tidak dipengaruhi oleh cuaca, riwayat terbangun tengah
malam karena sesak napas (-), riwayat sesak saat baring (+), mual (+), muntah (+), nyeri ulu hati
(+). BAK: Tidak lancer, volume kesan berkurang. BAB: encer sudah 3 hari, frekuensi 1x/hari,
darah (-), lendir (-). Riwayat penyakit sebelumnya yaitu terdapat riwayat penyakit ginjal sejak
tahun 2008, dan hanya diberi obat dari dokter di Bulukumba, kemudian bengkak seluruh badan
dan di-HD 1x bulan 10 yang lalu. Saat itu TD 140, control di poli RSWS diberi Herbesser CD
100 0-0-1
Dari pemeriksaan fisis, pasien sakit sedang, gizi kurang, composmentis. Tanda vital:
tensi: 180/130 mmHg, nadi: 98x/menit, pernapasan: 32x/menit, suhu: 36.6 0C. Thorax: simetris
kiri = kanan, massa tumor (-), nyeri tekan (-), vocal fremitus kiri = kanan, perkusi sonor, batas
paru herpar setinggi intercosta VI dextra, bunyi pernapasan bronkovesikuler, rhonki pada kedua
basal paru, wheezing (-). Jantung dalam batas normal. Abdomen datar, ikut gerak napas,
peristaltik (+) kesan normal, nyeri tekan (+), perkusi timpandi, shifting dullness (+).
Dari pemeriksaan hasil laboratorium didapatkan WBC 10.55 x 103/ul, RBC 2.20, HGB
5.9, HCT 17.7, MCV 88.5, MCHC 33.3, PLT 203, Trigliserida 222, GDS 59, Ureum 324,
Kreatinin 21.6, SGOT 19, SGPT 12, Protein total 7.9, Albumin 3, Globulin 4.9, Kolesterol total
159, HDL 30, LDL 75. Hasil pemeriksaan USG kesan PNC Bilateral, tanda-tanda congestive
liver, ascites.
Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisis dan hasil laboratorium serta pemeriksaan
penunjang lainnya, pasien didiagnosis sementara sebagai Uremic Lung, CKD stage V et causa
PNC, anemia e.c penyakit kronis, CHF NYHA II-III Hipertensi Grade II, Diare pro evaluasi
19
DISKUSI
Pasien masuk dengan keluhan sesak napas selama 3 hari, yang dirasakan terus menerus.
Banyak penyakit yang dapat menimbulkan sesak napas, di antaranya seperti gagal jantung
kongestif, edema paru, asma, uremic lung pada penyakit ginjal kronik, dan penyakit paru
lainnya. Tetapi dari hasil anamnesis didapatkan bahwa terdapat riwayat terkena penyakit ginjal
pada tahun 2008, sehingga pasien ini kemungkinan mengalami sesak napas karena terjadinya
uremic lung karena peningkatan kadar ureum pada penyakit ginjal kronik. Karena berdasarkan
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang
menjalani hemodialisis di Indonesia adalah sebagai berikut:(11)
Glomerulonefritis dengan insiden sekitar 46.39%
Diabetes Melitus dengan insiden sekitar 18.65%
Obstruksi dan infeksi dengan insiden sekitar 12.85%
Hipertensi dengan insiden sekitar 8.46%
Sebab lain dengan insiden sekitar 13.65%
Tetapi masih harus dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lain terutama kadar ureum dalam
darah. Dari gejala lainnya dapat dilihat bahwa terdapat juga gejala-gejala uremia seperti mual
dan muntah, dan juga pada pasien ini BAK yang dirasakan tidak lancar, dan volumenya kesan
berkurang, dimana gejala ini disebut sebagai sindrom uremia, yang berdasarkan teori sindrom
uremia terdiri dari lemah, letargi anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan
(yang bisa mengakibatkan kenaikan berat badan karena edema, asites, peripheral edema),
neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma. Hal ini
membuktikan bahwa pasien ini sangat mungkin sudah mengalami gangguan pada ginjalnya.
Pasien juga merasakan adanya nyeri ulu hati, yang kemungkinan sudah terjadi iritasi lambung.
Pada lambung, terdapat faktor-faktor pertahanan yang mencegah terjadinya tukak pada lambung,
seperti adanya mukosa, prostaglandin, dan aliran darah ke mukosa. Tetapi pasien ini mengalami
hipertensi yang lama sehingga dapat terjadi gangguan pada aliran darah ke mukosa, yang dapat
menyebabkan iskemi dan membuat asam lambung mengiritasi lapisan lambung yang
menyebabkan nyeri ulu hati.
Hal ini semakin ditegakkan dari pemeriksaan fisis dengan adanya hipertensi, konjungtiva
anemis, shifting dullness, dan edema pada kedua kaki. Berdasarkan teori, hipertensi dapat terjadi
oleh penyakit ginjal kronik karena adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-
aldosteron intrarenal yang mengakibatkan vasokonstriksi vascular sehingga menyebabkan
hipertensi. Tetapi Hipertensi juga bisa menjadi penyebab dari penyakit ginjal kronik itu sendiri,
berdasarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2000. Anemia pada kasus ini
dapat disebabkan oleh defisiensi eritropoietin, defisiensi besi, kehilangan darah (misalnya
perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya
hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10
g% atau hematokrit < 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum, kapasitas
20
ikat besi total/Total Iron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan,
morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Sehingga melalui
pemeriksaan evaluasi darah tepi, dapat dilihat kelainan dari eritrositnya, juga pemeriksaan kadar
Fe dan TIBC jika dicurigai anemia defisiensi Fe dimana nilai normal dari Fe ialah 60-180 mg/dl,
dan TIBC 200-410 mg/dl. Adanya shifting dullness pada abdomen dan juga pada ekstremitas
didapatkan edema pada kedua kaki, yang bisa diakibatkan oleh adanya hipoalbuminemia, dan
juga oleh gagal jantung kongestif. Hipoalbuminemia dapat disebabkan karena hilangnya albumin
melalui urin, juga karena malnutrisi atau asupan protein yang menurun. Asites dan edema pada
kedua kaki dapat disebabkan oleh gagal jantung kongestif, karena ventrikel gagal memompa
darah dengan baik sehingga darah akan terbendung dan tekanan di atrium dan vena-vena akan
meningkat, termasuk vena porta di hati yang mengakibatkan ascites, dan juga vena-vena perifer
yang mengakibatkan edema pada kedua kaki. Kemudian pada pemeriksaan laboratorium
didapatkan dengan jelas terjadi penurunan Hb, dan peningkatan ureum dan kreatinin yang sangat
signifikan yang disebabkan oleh gangguan fungsi ekskresi dari ginjal. Sedangkan pada
pemeriksaan USG didapatkan kesan PNC Bilateral, tanda-tanda congestive liver, ascites. Adanya
kesan PNC bilateral merupakan penyebab dari terjadinya penyakit ginjal kronik pada pasien ini.
Adanya tanda-tanda congestive liver dan ascites juga merupakan salah satu tanda-tanda dari
adanya gagal jantung kongestif. Hal ini sesuai dengan kriteria gagal jantung menurut
Framingham Heart Study yaitu:
Hasil-hasil di atas sesuai dengan diagnosa Uremic Lung + CKD Stage V e.c PNC + CHF
NYHA IV + Hipertensi Grade II + Anemia pro evaluasi. Dikatakan sebagai CKD stage V karena
pada perhitungan dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault yaitu:
21
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Dan jika dihitung, LFG yang didapatkan pada pasien ini yaitu LFG = 2.35 ml/mnt/1.73m2, yang
termasuk pada derajat ke V sehingga diagnosisnya CKD stage V. Hal ini dapat dilihat pada table
berikut:
Pengobatan pada pasien dilakukan dengan diet rendah garam, rendah purin, rendah kalium,
rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari karena adanya gangguan fungsi ginjal, IVFD NaCl 0,9% :
Dextrose 5% = 1:1 10 tpm, sebagai penyeimbang elektrolit, dan diberikan hanya 10 tetes per
menit karena adanya gangguan fungsi ekskresi ginjal yang tidak mampu menyaring cairan yang
berlebih, sehingga cairan dapat tertumpuk dalam tubuh. Diberikan juga kombinasi obat
antihipertensi seperti Diltiazem 200 dan Clonidin 0.15 untuk menurunkan tekanan darah,
kemudian Ranitidin sebagai obat golongan H2 reseptor antagonis yang diberikan untuk
mengobati nyeri ulu hati dari pasien. Pasien ini juga menjalani HD yang akan dilakukan saat
rawat jalan karena pasien telah memenuhi indikasi dari HD yaitu:
keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
K serum > 6 mEq/L
Ureum darah > 200 mg/dL
pH darah < 7,1
Anuria berkepanjangan ( > 5 hari )
Fluid overloaded
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim., Chronic Kidney Disease (CKD) Management In General Practice, Kidney Health
Australia; Australia; 2007,
2. Anonim., Chronic Kidney Disease Symptomps, available from URL:
http://www.emedicinehealth.com/chronic_kidney_disease/page4_em.htm#Chronic%20Kidn
ey%20Disease%20Symptoms, accesed on 7 November 2010
3. Anonim., Pengertian Gagal Ginjal Kronik, available from URL:
http://www.ezcobar.com/dokteronline/dokter15/index.php?option=com_content&view=artic
le&id=305:pengertian-gagal-ginjal-kronik&catid=53:perut&Itemid=68
4. Arora, Pradeep., Chronic Renal Failure. [online] 6 Agustus 2010 [cited 7 November 2010].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview
5. Arora, Pradeep., Chronic Renal Failure: Differential Diagnoses & Workup.
[online] 6 Agustus 2010 [cited 7 November 2010]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/238798-diagnosis
6. Arora, Pradeep., Chronic Renal Failure: Treatment & Medication. [online] 6 Agustus 2010
[cited 7 November 2010]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/238798-
treatment
7. McPhee, Stephen J., Ganong William F., Pathophysiology of Disease, Fifth Edition,
McGraw-Hill Companies Medical Publishing Division; New York; 2006; p. 469-473
8. Noer, Sjaifullah, Mohammad. Gagal Ginjal Kronik pada Anak. Divisi Nefrologi Anak,
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR; Surabaya; p. 4
9. Parker, Sharma., General Medicine, Second Edition, Mosby An Imprint of Elsevier Limited;
Italy; p. 250-252
10. Rahardjo, Pudji, dkk., Hemodialisis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; Jakarta; 2007; h. 579-580.
11. Suwitra, Ketut., Penyakit Ginjal Kronik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; Jakarta; 2007; h. 570-573.
23