Jatinangor adalah sebuah kawasan di sebelah timur Kota Bandung. Jatinangor merupakan
satu dari dua puluh enam (26) Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat,
Indonesia. Nama Jatinangor sendiri adalah nama blok perkebunan di kaki Gunung Manglayang
yang kemudian dijadikan kompleks kampus sejumlah perguruan tinggi di daerah tersebut.
Kecamatan Jatinangor, Sumedang dapat dicapai menggunakan angkutan kota, bus DAMRI, atau
bus antar kota.
Wilayah Jatinangor memiliki luas kurang lebih 26,20 km2 dengan jarak antar batas wilayah
dari Utara - Selatan 5 km dan dari arah Barat - Timur 7 km. Wilayah Jatinangor terdiri dari wilayah
perkotaan hampir 80% dari keseluruhan 12 Desa, meliputi 4 desa kawasan agraris (Cileles,
Cilayung, Jatiroke, Jatimukti), 4 Desa kawasan pendidikan (Hegarmanah, Cikeruh, Sayang,
Cibeusi) dan 4 Desa kawasan industri (Cisempur, Cintamulya, Cipacing, Mekargalih).
Kecamatan Jatinangor dapat dilihat secara administratif, secara astronomis dan secara
geografis. Secara administratif, Kecamatan Jatinangor terbagi kedalam 12 Desa (Desa Cibeusi,
Cikeruh, Cilayung, Cileles, Cinta Mulya, Cipacing, Cisempur, Hegarmanah, Jatimukti, Jatiroke,
Mekargalih, dan desa Sayang), 56 Dusun, 128 RW dan 479 RT. Secara astronomis, letak
kecamatan Jatinangor, Sumedang berada pada 108o 6’ 41,71” BT dan 1o 51’ 36,38” LS. Sedangkan
bila dilihat dari posisi georafisnya, Kecamatan Jatinangor berada di Wilayah Bagian Timur
Kabupaten Sumedang dengan batas-batas wilayah administratif pemerintahan yaitu: sebelah utara
berbatasan dengan Kecamatan Suksari dan Kecamatan Tanjungsari, sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Tanjungsari dan Kecamatan Cimanggung, sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Rancaekek Kab. Bandung, dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cileunyi
Kabupaten Bandung
Kondisi Demografis Kecamatan Jatinangor dapat dilihat dari jumlah penduduk, kepadatan
penduduk dan laju pertumbuhan penduduknya. Berdasarkan hasil pendataan keluarga pada tahun
2008, jumlah penduduk di wilayah Kecamatan Jatinangor adalah sebanyak 87.974 Jiwa, yang
terdiri dari 44.151 orang penduduk laki-laki, 43.821 orang penduduk perempuan dan 20.525
Kepala Keluarga (KK). Kepadatan penduduk di Kecamatan Jatinangor adalah 3.384 orang per
Km². Jumlah penduduk usia kerja pada tahun 2006 sebanyak 50.380 orang yang terdiri dari laki-
laki 25.350 orang dan perempuan 25.030 orang. Dari penduduk usia kerja tersebut, terdapat
pengangguaran terbuka 1.671 orang dan 2.825 orang pengangguran tertutup.
Kawasan Jatinangor dikenal sebagai basis pendidikan tinggi di kota Bandung. Walaupun
letaknya di daerah Sumedang bagian Barat, namun Kecamatan Jatinangor identik dengan kawasan
kampus “cabang” perguruan tinggi di Bandung. Beberapa perguruan tinggi yang terdapat di
kawasan Kecamatan Jatinangor antara lain Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang dulu berpusat
di Dipatiukur, Bandung sekarang pindah ke Jatinangor; Institut Pemerintahan Dalam Negeri
(IPDN) yaitu suatu lembaga pendidikan tinggi kedinasan dalam lingkungan Departemen Dalam
Negeri Republik Indonesia, yang bertujuan untuk mempersiapkan kader pemerintah baik di tingkat
daerah maupun tingkat pusat; Institut Manajemen Koperasi Indonesia (IKOPIN) yaitu lembaga
pendidikan swasta yang didirikan oleh gerakan koperasi Indonesia tingkat Provinsi Jawa Barat;
dan Institut Teknologi Bandung (ITB) II. Oleh karena itu, kawasan di dekat perbatasan Bandung-
Sumedang ini berubah menjadi kota satelit yang mendukung segala kebutuhan para penghuninya
yang kebanyakan terdiri dari mahasiswa pendatang dari luar daerah.
Jatinangor juga memiliki objek pariwisata yang menarik dan layak untuk dikunjungi.
Objek pariwisata di Jatinangor yang terkenal diantaranya adalah Bumi Perkemahan Kiara Payung
dan Bandung Giri Gahana Golf and Resort. Kedua objek pariwisata ini terletak di Jalan Kiara
Payung, bersebelahan dengan kampus Universitas Padjadjaran (UNPAD) dan kampus Institut
Teknologi Bandung (ITB) II.
Berdasarkan fakta yang ada, Kecamatan Jatinangor memiliki banyak keunggulan serta
keunikan yang dapat menunjang perkembangan kawasan Jatinangor ke arah yang lebih baik.
Pertama, Kecamatan Jatinangor yang dikenal sebagai kawasan pendidikan karena adanya 4
(empat) perguruan tinggi terkenal. Kedua, Kecamatan Jatinangor yang juga dikenal sebagai
kawasan bersejarah karena adanya peninggalan sejarah yang terkenal di wilayah Jatinangor.
Ketiga, fakta bahwa Kecamatan Jatinangor yang juga memiliki objek wisata yang cukup terkenal.
Ketiga fakta tersebut dapat memberikan keuntungan bagi wilayah Kecamatan Jatinangor.
Kelebihan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan bisnis atau usaha di Kecamatan
Jatinangor baik di bidang kuliner, di bidang pariwisata dan usaha-usaha lain. Banyaknya penduduk
Kecamatan Jatinangor dan didominasi oleh mahasiswa pendatang dari luar daerah menunjukkan
potensi berkembangnya bisnis kuliner dan usaha kecil menengah lain yang memanfaatkan
mahasiswa sebagai pasar utamanya. Selain itu, peninggalan bersejarah serta objek wisata yang
dimiliki oleh Kecamatan Jatinangor juga menunjukkan potensi untuk berkembangnya bisnis
pariwisata di Jatinangor dan menjadikan Kecamatan Jatinangor menjadi salah satu destinasi wisata
yang harus dikunjungi oleh para wisatawan dari luar daerah.
Sejarah
Jatinangor dulunya adalah bekas perkebunan Djati Nangor (seluas kurang lebih 600 hektar)
dibawah perusahaan bernama Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud yang berdiri tahun
1841. Milik seorang tuan tanah bernama Baron W.A. Baud (Willem Abraham Baud hidup 1816-
1879) atau lebih terkenal di masyarakat dengan sebutan Baron Baud. Perusahaan ini memiliki
beberapa perkebunan selain di Jatinangor yaitu di Ciumbuleuit, Cikasungka Bandung, Pamegatan
Garut, Jasinga dan Buitenzorg atau Bogor. Pada awalnya tanaman yang dibudidayakan di
Jatinangor adalah tanaman Teh akan tetapi kemudian diganti dengan tanaman Karet pada masa
kemerdekaan. Pemerintah Hindia Belanda membangun rel kereta api yang menghubungkan
Stasiun Tanjungsari ke Stasiun Rancaekek untuk memudahkan mengangkut hasil perkebunan
Jatinangor.
Dalam cerita turun temurun yang berkembang pada masyarakat Jatinangor disebutkan
bahwa Baron Baud tidak memiliki anak dari istrinya yang sah akan tetapi memiliki anak dari
seorang Nyai bernama Antjia Kolot. Nama anaknya adalah Mimosa Ida Louise Junia Baud atau
lebih terkenal dengan nama Mimosa Baud. Mimosa lahir pada tanggal 17 Juni 1876. Mimosa
kemudian menjadi pewaris tunggal perkebunan Jatinangor. Di Jatinangor terdapat Loji (Kantor
dan gudang) untuk mengurusi hasil-hasil perkebunan Jatinangor. Sekarang menara di areal Loji
tersebut masih berdiri. Menara Loji tersebut dulu berfungsi sebagai lonceng untuk memberi
tanda bagi para pekerja di perkebunan itu. Misalnya tanda mulai bekerja, tanda beristirahat di siang
haridan tanda usai bekerja. Ketika telah ditanami karet menjadi pukul 05.00 pagi, tanda mengambil
mangkuk untuk karet pukul 10.00 dan tanda usai bekerja pukul 14.00.
Khusus untuk nama Jatinangor, nama itu baru diberikan pada perkebunan tersebut saat
dibuka, nama itu diambil berdasarkan tanaman sejenis rumput yang banyak tumbuh di daerah
tersebut. Tanaman sejenis rumput itu memiliki nama latin Alternanthera amoena. Saat Baron Baud
datang ke daerah itu, ditemukan banyak tumbuh rumput tersebut (untuk mengetahui rumput
tersebut dapat dibaca di Heyne.K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesie. Gravenhage: W.van
Hoeve). Waktu ia bertanya pada penduduk setempat mereka menyebut nama rumput itu
Jatinangor. Oleh karena itu Baron Baud menamakan perkebunannya di daerah itu dengan nama
Djati Nangor. Pada awal penulisan Jatinangor adalah Djati Nangor. Pada awalnya daerah itu
bernama kampung Cikiruh yang kemudian ditingkatkan jadi onderdistrict Cikeruh yang termasuk
dalam district (kawedanan) Tanjungsari (sekarang Cikiruh berubah menjadi desa Cikeruh dan
kemudian jadi kecamatan Cikeruh). Sedangkan nama Jatinangor adalah nama perkebunan milik
Baron Baud seluas kurang lebih 600 hektar tersebut (sumber arsip-arsip Perkebunan Djati Nangor
dalam Arsip Cultuur Ondernemingen van Maatschappij Baud . Algemeen Rijksarchief ARA;Den
Haag). Baru pada tahun 2004 Nama Jatinangor diresmikan sebagai nama Kecamatan.
Semula perkebunan Djati Nangor tersebut dikelola oleh Pemerintah Hindia Belanda
dibawah Gubernur Jenderal. Kemudian Pemerintah Hindia Belanda memberikan kepada pihak
swasta untuk mengontrak perkebunan Djati Nangor itu dengan Surat Keputusan 9 November 1842
nomor 1. Pada awalnya Starckenborg Retemeijer mantan asisten residen mengajukan untuk
mengontraknya. Akan tetapi pada 12 April 1843 ia meninggal dunia. Akibatnya kuasa atas
perkebunan diberikan pada direktur perkebunan tersebut yaitu Baron Baud dengan Surat resmi
tanggal 25 April 1843 nomor 545. Kemudian Baron Baud mengajukan diri untuk mengontrak
tanah perkebunan tersebut menggantikan Retemeijer. Kemudian Baron Baud memperoleh surat
kontrak baru sebagai pengelola perkebunan Djati Nangor dengan surat tertanggal 3 Desember
1843 nomor 20. Baru pada tahun 1862 Perkebunan Djati Nangor diberikan kepada swasta
(Partikelir) sebagai industri bebas sebagaimana diatur berdasarkan surat Keputusan 25 Maret 1862
(ANRI,Staatsblad 1856-64). Baron Baud kembali mendapatkan hak mengelola Perkebunan Djati
Nangor dengan akta baru dengan tanggal 30 Maret 1865 dan disahkan dengan surat keputusan 19
September 1865 (Arsip Arsip Perkebunan Djati Nangor dalam Arsip Cultuur Ondernemingen van
Maatschappij Baud .Algemeen Rijksarchief ARA;Den Haag).
Rel kereta api yang menghubungkan Rancaekek ke Tanjungsari mulai dibangun tahun
1917 dalam program proyek rel kereta api Rancaekek-Tanjungsari-Citali sepanjang 15 km.
Awalnya hanya akan dibangun rel kereta api Rancaekek-Jatinangor saja sepanjang 5,25 km untuk
keperluan mengangkut hasil perkebunan Jatinangor saja. Letak stasiun kereta api di Jatinangor
awalnya direncanakan di seberang pertigaan jalan Sayang sekarang. Atas permintaan pihak militer
rel kereta api itu agar digunakan untuk keperluan angkutan umum juga maka diperpanjanglah
hingga ke Tanjungsari dan Citali sepanjang 11,5 km (ANRI, 1976, Memori van Overgave 1921-
1930: 71). Stasiun pun kemudian dipindahkan ke Tanjungsari. Jembatan Cincin (Jembatan kereta
api) di Jatinangor mulai di bangun 1918. Penduduk sekitar perkebunan Jatinangor dan Tanjungsari
menyebutnya Jembatan Kereta Api si Gobar. Si Gobar adalah nama julukan kereta api yang wira
wiri melewati rel kereta api tersebut. Tetapi kemudian rel kereta api hingga Cipali ditangguhkan
karena kekurangan biaya dan peralatan untuk menembus alam disana sehingga rel kereta api itu
hanya sampai stasiun Tanjungsari (ANRI, 1976, Memori van Overgave 1921-1930: 105).
Sekarang jembatan kereta api tersebut masih berdiri dan disebut jembatan Cincin.
Dalam cerita sejarah daerah Jatinangor (diambil dari cerita rakyat setempat yang
diceritakan secara turun temurun yang diceritakan beberapa sesepuh di Jatinangor kepada
penulis) diceritakan bahwa Baron Baud seorang tuan tanah pemilik Cultuur Ondernemingen van
Maatschappij Baud di Jatinangor (arsip-arsip perkebunan ini masih tersimpan di kantor Algemeen
Rijksarchief ARA Den Haag). Ia tidak memiliki seorang anak dari istri sahnya (perempuan dari
Eropa). Oleh karena itu iamenikah secara sembunyi atau melakukan pergundikan
dengan gadis pribumi yang usianya terpaut jauh puluhan tahun (sekitar 20-an tahun). Ia sering
memanggil gadis pribumi itu dengan nama Nyai. Nama nyai itu sebenarnya adalah Antjia Kolot.
Dari pernikahan tersebut lahirlah seorang anak perempuan yang ia beri nama Mimosa. Akan tetapi
kemudian kedua perempuan itu harus dipindahkan jauh ke Buitenzorg (Bogor). Di Buitenzorg
Mimosa diubah namanya menjadi Ida. Disana di Buitenzorg Antjia Kolot dinikahi oleh seorang
kusir delman dan hidup bahagia. Mimosa kecil lahir dan besar bersama ibu dan bapak tirinya di
Buitenzorg. Suatu saat setelah istrinya meninggal Baron Baud dikunjungi saudara saudaranya dari
Eropa. Rupanya telah terjadi perselisihan yang berujung pertengkaran antara Baron Baud dengan
saudara saudaranya dari Eropa tersebut. Akibat dari pertengkaran tersebut Baron Baud baru
memikirkan pewarisan tanah perkebunannya di Jatinangor. Oleh karena itu ia memutuskan untuk
pergi ke Buitenzorg menemui seorang ahli hukum bernama Meertens. Bersama Meertens
kemudian Baron Baud mencari Antjia Kolot dan anaknya yg bernama Mimosa. Terjadi pertemuan
yang mengharukan antara Baron Baud dengan Nyai Antjia Kolot dan Mimosa. Setelah ditemukan
kemudian Mimosa diadopsi secara hukum agar jadi anak sah dari Baron Baud dan dibawa ke
Jatinangor. Mimosa meronta-ronta menolak dibawa ke Jatinangor akan tetapi Nyai Antjia berusaha
membujuknya. Nama Ida Kemudian berubah menjadi Baronesse Ida Louise Junia Baud setelah
sah secara administratif sebagai anak dari Baron Baud.
Setelah memasuki usia sekolah Mimosa kemudian disekolahkan di sekolah anak-anak di
Batavia. Atas saran dan usul Gubernur Jendral kala itu J.W. van Lansberge dan penggantinya
Frederik Jacob,maka Mimosa kecil diasuh dibawah perwalian Horra Siccema mantan anggota
Raad van Indie. Mengapa bukan Baron Baud yang menjadi wali dari Mimosa ketika ia masuk
sekolah ? hal ini terjadi karena Baron Baud sudah meninggal saat Mimosa masih kecil sebelum
Mimosa memasuki usia sekolah. Beberapa tahun setelah Mimosa bersekolah di Batavia kemudian
Mimosa dikirim ke Belanda untuk meneruskan sekolahnya. Saat itu ia bisa kuliah di Belanda
karena telah menjadi kaya raya akibat harta warisan dari Baron Baud berupa perkebunan
Jatinangor. Setelah lulus Mimosa sempat menikah tiga kali. Pernikahan pertama tahun 1899
dengan Otto Harald Lincoln Furuhjelm yang bercerai 1903. Pernikahan kedua 1904 dengan Martin
Wilhelm Kroll juga berakhir tanpa diketahui tahunnya. beberapa sumber data mengatakan bukan
bercerai tapi suami keduanya meninggal. Terakhir Mimosa menikah dengan seorang Denmark
bernama Dietrich Joachim von Klitzing tahun 1908 yang kemudian ikut memimpin perkebunan
Jatinangor bersama Mimosa istrinya hingga mereka bercerai tahun 1919.
Setelah bercerai untuk ketiga kalinya kemudian Mimosa kembali ke Jatinangor dari Eropa
untuk mengurusi perkebunannya di Cikeruh distrik Tanjungsari Kabupaten Sumedang. Selama
iniperkebunan diurus oleh Pemerintah Hindia Belanda dibawah para Gubernur Jenderal (Carel H.
A. van der Wijck, Willem Rooseboom, Johannes B. van Heutsz, A.W.F. Idenburg, Johan Paul van
Limburg Stirum) setelah Baron Baud meninggal dan Mimosa belum cukup umur untuk
mengurusnya.
Makam ayahnya yaitu Baron Baud yang terletak di dekat Loji perkebunan Jatinangor ia
rawat sedemikian rupa. Bahkan Mimosa ingin dimakamkan disamping makam ayahnya tersebut
ketika meninggal nanti. Mimosa memang kemudian telah menjelma dari anak seorang Nyai dan
kusir delman menjadi pengusaha perkebunan Jatinangor. Ia memiliki anak-anak bahagia dan kaya
raya. Ketika ia meninggal menjelang perang dunia dua terjadi yaitu 15 Maret 1935 di Roma Itali,
sesuai wasiatnya Mimosa kemudian dimakamkan di dekat makam ayahnya yaitu di dekat Loji
perkebunan Jatinangor. Anak-anak keturunan Mimosa yang ikut mengurusi perkebunan Jatinangor
melarikan diri ke Australia ketika Jepang menyerbu Pulau Jawa.
Perkebunan Jatinangor diambil alih Pemerintah Pendudukan Jepang dan kemudian diambil
alih oleh Pemda Jawa Barat ketika Indonesia merdeka. Ketika Masa Pendudukan
Jepang, Perkebunan Jatinangor tidak terurus. Perkebunan berhenti berproduksi. Tidak ada lagi
yang berusaha mengurusnya. Banyak buruh-buruh diperkebunan danpegawai kereta api
Tanjungsari yang dijadikan romusha dan sebagian lagi dari buruh buruh yang masih tinggal di
sekitar Jatinangor menduduki tanah-tanah perkebunan dan mendirikan rumah-rumah mereka
setelah perkebunan berhenti berproduksi. Onderneming Jatinangor ditutup pada 1942. Bukan
hanya itu, rel kereta api yang melewati perkebunan yang menghubungkan Distrik Tanjungsari ke
Stasiun Rancaekek telah diangkut Jepang untuk keperluan perang Jepang sekitar 1943. Akibatnya
Stasiun Tanjungsari menjadi mati hingga sekarang.
Memasuki tahun 1950-an tanah bekas perkebunan ini ditanami Karet dan menjadi milik
pemerintah daerah Jawa Barat. Walaupun demikian administratur perkebunan masih dijabat oleh
orang Belanda hingga perkebunan tersebut dinasionalisasi. Pada saat perkebunan dinasionalisasi
baru administratur dijabat oleh orang-orang Indonesia.
Sekarang perkebunan karet tidak lagi berproduksi. Tanah bekas perkebunan Djati Nangor
tidak lagi menjadi perkebunan pada masa Orde Baru (sejak 1967). Pada tahun 1980 lonceng di
menara Loji hilang dicuri orang dan hingga sekarang tidak ditemukan.
Perkembangan Jatinangor
awalnya kawasan jatinangor itu merupakan lahan pertanian, Namun seiring perkembangan
yang signifikan, Pada tahun 1980 Jatinagor ditetapkan sebagai kota pendidikan tinggi sesuai
dengan konsep pengembangan wilayah pembangunan (PWP) Bandung Raya. Penetapan tersebut
membawa resiko berubahnya Kecamatan Cikeruh dari status kecamatan bernuansa pedesaan
dengan dominasi pertanian menjadi suatu kawasan kota yang dipadati oleh kawasan terbangun dan
struktur binaan.
Bukan hanya Perguruan Tinggi saja yang berdiri di Jatinangor. Beberapa tahun terakhir,
di kawasan ini juga berdiri sarana lapangan golf, pusat perbelanjaan dan beberapa hotel hingga
apartemen dan pembangunan yang dilakukan oleh perusahaan property lainnya, Sayangnya,
perkembangan pembangunan fisik itu tidak diimbangi dengan penataan tata ruang yang
sempurna, Sehingga berkesan tata ruang kota yang muncul dilakukan tanpa perencanaan.
Saat ini tingkat kriminalitas di Jatiangor terus meningkat. Hal ini disebabkan oleh
semakin meningkatnya urbanisasi dimana hal tersebut membawa dampak perubahan sosial
dalam masyarakat jatinangor. Namun selain itu juga banyaknya pendatang di jatinangor
membuat warga local berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan jatinangor saat ini. Baik
dalam segi pendidikan, kemampuan teknologi, gaya hidup dan lainnya.
http://www.wisatabdg.com/2013/05/mengenal-kawasan-pendidikan-jatinangor.html?m=1
(Diakses pada 12 Januari 2018)
https://nanamyger.blogspot.co.id/2017/01/perubahan-sosial-pada-masyarakat-di.html
http://bem.fikom.unpad.ac.id/index.php/2017/11/01/kajian-jatinangor-dari-sebuah-perkebunan-
menjadi-kawasan-pendidikan-tinggi/
http://widyonugrahanto73.blogspot.co.id/2014/04/sekilas-tentang-sejarah-jatinangor.html