“Saya Indonesia, Saya Pancasila!”. Jargon tersebut sempat menjadi sebuah
tren di kalangan anak muda Indonesia beberapa saat yang lalu. Berbagai foto dengan twibbon jargon mengatasnamakan kecintaan terhadap Indonesia pun turut meramaikan berbagai akun media sosial anak muda. Seolah anak-anak muda tersebut ingin memperlihatkan pada dunia bahwa mereka memiliki rasa dan jiwa nasionalisme yang tinggi terhadap bangsa Indonesia yang saat ini sedang dilanda berbagai isu primordialisme.
Dalam sebuah perkuliahan, penulis memeroleh sebuah konsep mengenai
Nasionalisme ini. Yang mana indikator dari nasionalisme itu adalah adanya rasa kecintaan dan kerelaan untuk berkorban, bukan sebuah koar-koar omong belaka, pasang status aku cinta Indonesia, tapi tindakannya menunjukkan sebaliknya.
Menyoal nasionalisme, secara historis sudah barang tentu banyak peristiwa
dan periode masa yang didayai oleh paham ini. Mulai dari masa awal pergerakan nasional Indonesia , Proklamasi, Masa Revolusi, dan masih banyak lagi. Begitupun pada masa Pendudukan Jepang, benih-benih rasa nasionalisme pun sedikit demi sedikit mulai tumbuh dalam diri bangsa ini.
Nasionalisme pra Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia merupakan
nasionalisme yang terbatas pada teritori. Bersifat terbatas pada daerah masing- masing. Nasionalisme kedaerahan ini menjadi sebuah potensi tersendiri bagi bangsa Indonesia saat itu. Keadaan yang sudah sangat demikian terjajah, baik secara fisik dan mental serta berbagai macam penindasan telah menyadarkan kaum pribumi saat itu untuk bangkit melawan kolonialisme. Potensi seperti inilah yang dimanfaatkan pemerintahan pendudukan Jepang. Pemerintah Jepang saat itu sangat menyadari betul bahwa rakyat Indonesia pada saat itu berpotensi untuk mengadakan upaya melawan kaum kolonialis. Dari sinilah, Jepang memprogramkan suatu sistem yang mampu mengeksploitasikan semangat kemerdekaan dan cinta tanah air dari rakyat Indonesia, untuk dibelokkan membela Jepang dan untuk dipersembahkan kepada Tenno Heika (Suryanegara, 1996, hlm. 95). Maka untuk mewujudkan itu, pada 3 Oktober 1943 Jepang membentuk Tentara PETA (Pembela Tanah Air). Pembentukan PETA ini pun memeroleh sambutan yang baik dari rakyat dan kalangan-kalangan tertentu masyarakat Indonesia saat itu. Disini dapat terlihat, bahwa Jepang telah melakukan suatu upaya eksploitasi terhadap bangsa Indonesia yang belum menyadari potensinya sendiri. Namun, hal tersebut di kemudian hari menjadi sebuah blunder bagi pemerintah pendudukan Jepang. Karena, tentara beranggotakan pribumi yang ia bentuk dan manfaatkan untuk membantu mereka memenangkan Perang Asia Pasifik perlahan telah menyadari arti dari kecintaan dan kerelaan berkorban yang sejatinya. Rakyat mulai menyadari untuk siapa seharusnya dia berkorban. Hal ini terbukti dari beberapa peristiwa gerakan- gerakan protes yang dilakukan oleh organisasi PETA di daerah. Seperti Gerakan protes sosial Pesantren di Sukamanah, Tasikmalaya dan Indramayu, pemberontakan Tentara PETA di Blitar, Cilacap, dan daerah Bandung Selatan yakni Pangalengan. Walaupun pada akhirnya gerakan-gerakan ini berakhir dengan kegagalan dan harus dibayar mahal dengan tertangkapnya dan dieksusinya beberapa orang dari organisasi PETA yang dinilai berperan dalam upaya pemberontakan terhadap Jepang ini. Namun, bagi PETA sendiri, pengorbanan yang telah mereka upayakan bukan hal yang terbuang sia-sia. Mereka menilai bahwa perjuangan ini merupakan salah satu dari sekian banyaknya katalisator perjuangan rakyat Indonesia berikutnya.
Berdasarkan pemaparan di atas dapatlah diambil konklusi, betapa pentingnya
urgensi dari menyemai dan menanam nasionalisme dalam diri bangsa. Setiap bangsa memiliki sebuah potensi yang tidak dapat digugat dan dianggap tidak ada begitu saja karena potensinya berbentuk abstrak, yakni nasionalisme. Sebagai salah satu bangsa penikmat hasil kemerdekaan tentu saja tak boleh abai dan hanya sekedar menuai dengan melupakan apa yang telah disemai dan ditanam para pendahulu kita. Potensi nasionalisme dalam setiap diri individu mesti diaktualisasi secara nyata. Nasionalisme mesti diaktualisasi dengan bentuk aksi nyata, tentunya dengan memerhatikan cara dan kapabilitas masing-masing. Karena, nasib suatu bangsa tidak akan berubah jika ia tidak punya keinginan untuk merubahnya. Bersifat pasif bukanlah pilihan. Karena, seperti yang diungkapkan oleh John C. Maxwell, kesalahan terbesar yang mungkin diperbuat seseorang adalah tidak berbuat apa-apa. Dan kesalahan itulah yang tidak pernah dilakukan oleh para pendahulu kita, sehingga kita bisa melihat hasilnya hari ini.
Referensi:
Suryanegara, Ahmad Mansur. (1996). Pemberontakan Tentara PETA di Cileunca
Pangalengan Bandung Selatan. Jakarta: Yayasan Wira Patria Mandiri.