Anda di halaman 1dari 280

CASE 1

(Basic Science of Respiratory System)

PENULIS :
1. Cecep Kurnia (111 0211 067)
2. Indah Susanti (111 0211 049)
3. Desi Rasmiyani S. (111 0211 137)
4. Saffanah Nur Hidayah (111 0211 152)
5. Danar Pratama Putra (111 0211 155)
6. Syifa Puspa Pertiwi (111 0211 165)
7. Ardina Miastuti (111 0211 177)
8. Sabrina (111 0211 181)
9. Uchi Erian Febriana (111 0211 149)
10. Elisa Dewi L. (111 0211 011)

A. Overview Case
B. Embriologi
C. Anatomi
D. Histologi
E. Fisiologi
F. Mekanisme Pertahanan Sistem Pernapasan
G. Radiografi Paru
H. Analisa Gas Darah

1
A. Tutorial Case
Case 1
Respiratory System
Page 1
Sepulang sekolah, sesampainya di rumah An. S (10 tahun) tampak basah kuyup dan kedinginan
karena kehujanan. An. S tidak henti-hentinya bersin dan batuk serta keluar cairan yang encer yang
keluar dari hidungnya.
Setelah ditanya ibunya, S menceritakan di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba hujan deras dan ia
tetap melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan bersepeda. Saat ini S merasakan pilek, batuk,
hidung terasa gatal, sering bersin-bersin dan kedinginan. Terdengar suara napasnya berbunyi.
Page 2
Ibu segera meminta S untuk berganti dan beristirahat di tempat tidur serta menyelimutinya.
Tidak lupa ibu membawakan makanan dan segelas susu hangat untuk S kedalam kamarnya.
Keesokan harinya, tampak S sudah bersiap-siap memulai aktifitasnya kembali untuk berangkat
ke sekolah tetapi sesekali masi terdengar batuk.

2
A. EMBRIOLOGI SISTEM PERNAPASAN
Saat mudigah berusia sekitar 4 minggu, terbentuk divertikulum respiratorium (lung
bud, tunas/bakal paru) sebagai suatu tonjolan dari dinding ventral usus depan . Epitel laring,
trakea, bronkus, dan alveolus berasal dari endoderm. Komponen-komponen jaringan kartilago,
otot, dan ikat berasal dari mesoderm .

Pada awalnya tunas paru mempunyai hubungan terbuka dengan usus depan . Namun
ketika divertikulum membesar ke arah kaudal, terbentuk dua bubungan longitudinal,
trakeoesofageale ridge yg memisahkannya dari usus depan. Selanjutnya, saat kedua bubungan
menyatu untuk membentuk septum trakeoesofageale , usus depandibagi menjadi dorsal,
esofagus & ventral ,trakea & tunas paru .

LARING

Lapisan dalam laring berasal dari endoderm . Kartilago dan otot berasal dari mesenkim
arkus faring keempat dan keenam . Akibat proliferasi cepat mesenkim ini, penampakan aditus
laringis berubah dari celah sagital menjadi lubang berbentuk T. Selanjutnya, bentuk aditus

3
laringis seperti orang dewasa sudah dapat dikenali ketika mesenkim dari kedua arkus berubah
menjadi kartilago tiroidea, krikoidea, dan aritenoidea .

Pada saat kartilago terbentuk, epitel laring juga berproliferasi dengan cepat sehingga
terjadi oklusi lumen untuk sementara. Kemudian terjadi vakuolisasi dan rekanalisasi yang
menghasilkan sepasang resesus lateral, ventrikulus laringis. Cekungan ini dibatasi oleh lipatan-
lipatang jaringan yang berdiferensiasi menjadi pita suara sejati dan palsu .

Karena perototan laring berasal dari mesenkim arkus faring keempat dan keenam,
semua oto laring disarafi oleh cabang-cabang saraf cranial kesepuluh, nervus vagus. Nervus
laringeus superior menyarafi turunan arkus faring keempat, dan nervus laringeus rekurens
menyarafi turunan arkus faring keenam .

TRAKEA, BRONKUS, DAN PARU

Tunas paru berkembang menjadi trakea dan dua kantong tunas lateral, tunas bronkus .
Pada awal minggu ke-5 tunas membesar membentuk bronkus utama kanan dan kiri . Tunas
kanan membentuk 3 bronkus sekunder, tunas kiri membentuk 2 bronkus sekunder .

Selama perkembangan selanjutnya, bronkus sekunder membelah berulang-ulang secara


dikotomis membentuk 10 bronkus tersier (segmentalis) diparu kanan & 8 di kiri , menciptakan
segmentum bronkopulmonale pada paru dewasa . Pada akhir bulan ke-enam telah terbentuk
17 generasi anak cabang .

4
Mesoderm yang menutupi bagian luar paru, berkembang menjadi pleura viseralis.
Lapisan mesoderm somatik , yang menutupi dinding tubuh dari bagian dalam menjadi pleura
parietalis . Ruang antara pleura parietalis dan viseralis adalah rongga pleura .

PEMATANGAN PARU

5
Sampai bulan ke-tujuh pranatal, bronkiolus terus bercabang-cabang menjadi saluran yang
semakin banyak dan semakin kecil (periode kanalikular) , dan jumalah pembuluh darah terus
meningkat . Pernafasan sudah dapat berlangsung ketika sebagian sel bronkiolus respiratorius
kuboid berubah menjadi sel gepeng tipis . Sel-sel menempel erat dengan sejumlah besar kapiler
darah dan limfe, dan ruang disekitarnya sekarang dikenal sebagai sakus terminalis atau
alveolus primitif .

Selama 2 bulan terakhir kehidupan prenatal dan selama beberapa tahun sebelumnya,
jumlah sakus terminalis terus meningkat. Sel-sel yang melapisi sakus dikenal sebagai sel epitel
alveolus tipe 1, menjadi lebih tipis sehingga kapiler di sekitarnya menonjol ke dalam sakulus
alveolaris . hubungan erat antara sel epitel dan endotel ini membentuk sawar darah-udara .
Pada akhir bulan keenam, terbentuk sel epitel alveolus tipe II yg menghasilkan surfaktan
(cairan kaya fosfolipid yg dpt menurunkan tegangan permukaan di pertemuan udara-alveolus)

6
B. ANATOMI
Tabung atau pipa yang mengangkut udara antara atmosfer dan kantung udara (alveolus),
alveolus merupakan tempat pertukaran gas antara udara dan darah.
• Saluran nafas bagian atas :
– Hidung/ nasi
– Faring
– laring
• Saluran nafas bagian bawah :
– Trakea
– Rongga thoraks :
• Bronkhus
• Paru

1. Berdasarkan funsinya upper respiratory tract (nose to larynx) dan lower respiratory
tract ( trachea onwards) . Dibedakan menjadi:

 Conducting portion transports udara,termasuk nose, nasal cavity,


pharynx, larynx, trachea, dan percabangannya menjadi smaller airways,
dari primary bronchi sampai ke terminal bronchioles .
 Respiratory portion pertukaran gas. Terdiri dari small airways disebut
respiratory bronchioles,alveolar ducts dan alveoli .
Hidung dalam

Septum nasi

o Posterior = lamina perpendikularis os etmoid


o Anterior = kartilago premaksila dan kolumela membranosa
o Inferior = os vomer, krista maxila, krista palatine dan krista sfenoid

Kavum nasi

 Basis
os palatina dan os palatum
 Bagian superior
kartilago, os. Nasal, os maksila, os. Etmoid, os. Sphenoid, lamina kribosa dilalui n. Olfactorius
 Bagian lateral
os. Lakrimalis, konka superior, konka media
 Konka - konka
o Meatus inferior = celah terbesar antara konka inferior dgn dasar hidung
o Meatus media = celah antara konka inferior dan konka media
o Meatus superior = celah tersempit diatas konka media

7
o Konka suprema, superior, media berasal dari os etmoid bagian lateral. Konka media
terpisah sendiri melekat pada maxila
 Nares atau Koana
Pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring
 KOM
Komplex osteo Meatal bagian dari sinus etmoid anterior berupa celah pada dinding lateral
hidung

Vaskularisasi rongga Hidung

o Bagian atas = dari a. Etmoid anterior dan posterior cabang dari a. Oftalmika dan a. Karotis
interna
o Bagian bawah = dari cabang a. Maxilaris interna
o Bagian depan = dari cabang a. Fasialis
o Bagian depan septum = anastomosis cabang a. Sfenopalatina, a. Etmoid anterior, a. Labialis
superior, a. Palatina mayor ( Pleksus Kiesselbach)

Inervasi Hidung

 Bagian depan dan atas (persarafan sensoris) n. Etmoidalis anterior cabang dari n. Nasosiliaris
dari n. Oftalmikus
 Ganglion Sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bulbus olfaktorius
Serabut sensoris = n. Maxilla
Serabut parasimpatis = n. Petrosus superfisialis mayor
Serabut simpatis = n. Petrosus profundus

Faring

Adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus
sampai batas kartilago krikoid.
Orofaring adalah bagian dari faring yang merupakan gabungan sistem resporasi dan pencernaan.
Panjang faring = 13 cm
Terdiri atas :
a. Nasofaring
Bagian posterior terdapat tonsil faringeal (adenoids) dan tuba eustachii sebagai saluran
penghubung dengan telinga bagian tengah
b. Orofaring
c. Laringofaring
Terpisah menurut fungsi dibagian bawahnya. Makanan masuk ke bagian belakang dan udara
masuk ke arah depan masuk ke laring

8
Laring

Tersusun atas 9 kartilago (6 kartilago kecil dan 3 kartilago besar)


Fungsi laring:
- Melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing
- Memudahkan batuk
- Memungkinkan terjadinya vokalisasi
- Menutup selama menelan mencegah adanya makanan yang masuk ke jalur pernapasan

Otot-otot laring:

- M. Hypoglosus
- M. Arytenoid transversus
- M. Crycoarytenoideus posterior
- M. Crycoarytenoideus lateralis
- M. Vocalis
- M. Cricothyroideus

Bagian-bagian laring:

 Epiglotis : berbentuk seperti lidah yang berada diatas laring menutupi ostiumnya ketika
menelan makanan
 Glotis : ostium antara pita suara dalam laring
 Kartilago thyroid : terbesar sebagai pembentuk jakun (Adam’s Apple)
 Kartilago krikoid : di bawah kartilago thyroid
 Kartilago aritenoid : dua kartilogo kecil berbentuk piramid di basis kartilago cricoid. Plica
vokalis melekat di bagian posterior sudut piramid
 Plica vokalis : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara

9
10
• Pipa silinder, terbentuk ¾
cincin tulang rawan
berbentuk huruf C.

• Bagian belakang di
hubungkan o/ membran
fibroelastic yang menempel
pd esophagus dan ujung
posterior kartilago yang
bebas dihubungan oleh otot
polos (otot trachealis)

• Salurang rigid pj 11-12cm, d


2,5cm, tersusun dari 16-20
cincin tulang rawan
berbentuk C yang terbuka
bagian belakangnya
• Trakea berpangkal di leher setinggi corpus vertebrae cervicalis VI,ujung bawah setinggi vertebra
thoracica IV, membelah menjadi bronchus principalis dexter dan sinister.

• Perdarahan: a.thyroidea inferior

• Persarafan: berasal dari n.vagus,n.laryngeus dan trunchus symphaticus

The Primary Bronchi (bronkus utama)

Percabangan trachea kanan dan kiri, tempat percabangan disebut carina

• Bronchus kanan (utama) lebih besar, lebih pendek dan lebih vertikal. Panjang 2,5 cm.Bercabang
menjadi : lobus superior, medius, inferior

• Bronchus kiri lebih sempit, lebih panjang dan lebih horizontal. Panjang 5cm.Bercabang menjadi :
lobus superior dan inferior

11
Secondary Bronchi (bronkus lobaris)

Percabangan dari bronkus utama

• Percabangan bronchus berjalan terus menjadi ukuran yang semakin kecil -> bronkhiolus
terminalis

• Bronkhiolus terminalis, saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli mempunyai
kantong lembut pada dindingnya , Panjang 0,5-1mm, dikelilingi o/ otot polos shgg ukurannya
dapat berubah (saluran penghantar ke alveoli).

Respiratory portion pertukaran gas. Terdiri dari small airways disebut respiratory
bronchioles,alveolar ducts dan alveoli .

• Bronchiolus repiratorius ,terkadang memiliki alveoli pada dindingnya

• Duktus balveolus : seluruhnya dibatasi oleh alveolus

• Saccus alveolaris, terdiri dari beberapa alveoli yang terbuka ke suatu ruangan.Masing- masing
alveolus di kelilingi oleh jaringan kapiler yang padat. Antar alveolus dipisahkam oleh
septum,terdapat lubang kecil yg memungkkinkan hub atau aliran udara antar sakus alveolaris
yaitu pori-pori kohn.

12
Paru-paru
• Pleura visceral, selaput paru
Masing-masing paru diliputi oleh sebuah kantong pleura yang langsung membungkus
yang terdiri dari dua selaput serosa disebut pleura paru

• Cairan pleura, berguna untuk


meminyaki permukaan
pleura, menghindari gesekan
antara paru-paru dan
dinding dada sewaku gerak.
Jumlah cairan pleura sangat
sedikit 0,1-0,2mL/kgBB

• Pleura parietal, selaput yang


melapisi rongga dada luar

pleura parietalis dan visceralis berhubungan satu dengan yang lainnya pada lipatan pleura yg
mengelilingi alat2 yg masuk dan keluar dari hilus pulmonalis

Bagian-bagian pleura parietalis

1.pleura parietalis pars costalis

2. pleura parietalis pars diaphragmatica

3. pleura parietalis pars mediastinalis

Persarafan pleura

• Pleura parietalis peka terhadap nyeri,suhu,raba,dan tekanan:

1. Pars coatalis : nervi intercostales

2. Pars mediatinalis : nervi phrenicus

13
3. Pars diaphragmatica ; kubah oleh nervi phrenicus

• Pleura visceralis oleh saraf otonom dari plexus pulmonalis,pleura visceralis peka thdp tarikan
tapi tdk peka thdp sensasi umum (nyeri,raba)

Paru-paru

Paru-paru terdiri dari pulmo dextra dan sinistra

Pulmo dextra

Pulmo dextra sedikit lebih besar dari pulmo sinistra dan dibagi oleh fissure oblique dan fissure
horizontalis pulmonalis dextri menjadi 3 lobus :

1.lobus superior
2.lobus medius
3.lobus inferior

14
1.lobus superior
2.lobus inferior
Pada pulmo sinistra
tdk ada fissure
horizontalis
Pulmo sinistra

Pulmo sinistra dibagi oleh fissure oblique dgn cara yg sama menjadi 2
lobus yaitu:

15
• Seiap bentuk paru terdapat :

– Apeks pulmonalis, tumpul dan menonjol ke dalam leher 2,5 cm diatas clavicula

– Basis pulmonis, yang konkaf terletak pada diafragma

– Facies mediastinalis, merupakan cetakan pericardium (impresio cardiaca)

– Hilus pulmonalis, cekungan tempat bronchus, arteri, vena, sarfa

Hilus pulmonalis

Dextra :

• A. pulmonalis dextra

• Bronchus principales dextra

• V. pulmonalis

• Noduli lymph

Sinistra :

• A.pulmonalis

• Bronchus principales sinistra

• V. pulmonalis

• Noduli lymph

• Insisura dan impressio cardiaca yang lebih besar

Perdarahan paru :

Dibagi menjadi dua

• pulmonary circulation : alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang terminal


arteri pulmonales.Darah yang teroksigenasi meninggalkan kapiler2 alveoli masuk ke cabang2
vena pulmonales ke radix pulmonales

• bronchial circulation :memperdarahi bronchus ,jar ikat paru dan pleura visceralis.
Arteri bronchiales merupakan cabang dari aorta desenden

Persarafan pada paru

16
• Pergerakan pernafasan di suplai melalui:

– N.phrenicus -> mempersarafi diafragma

– N.spiral toraxic -> mempersarafi otot-otot intercosta

• Saraf simpatis (truncus sympaticus thoracal I-V) -> bronkodilator

• Saraf parasimpastis (n.vagus)-> bronkokontriksi dan peningkatan sekresi kelenjar

C. HISTOLOGI SISTEM PERNAPASAN

 System pernapasan dibagi menjadi 2, yaitu :


1. Saluran napas atas (rongga hidung, faring)
2. Saluran napas bawah (laring, trakea, bronkus, paru)

 Secara fungsional, struktur-struktur tersebut membentuk


:
 Bagian konduksi, berfungsi untuk menyediakan sarana
bagi udara yang keluar masuk paru dan mengondisikan udara
yang dihirup. Terdiri atas : rongga hidung, nasofaring, laring,
trakea, bronki, bronkiolus, dan bronkiolus terminalis.
 Bagian respiratorik, berfungsi untuk tempat
berlangsungnya pertukaran gas. Terdiri atas : bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris,
dan alveoli.

A. Saluran Napas Atas

1. Hidung
 Mukosa pernapasan (respiratorius) : Lebih banyak di sebagian besar rongga
Hidung.
Epitel thorax berlapis semu + bersilia + bersel
goblet.
 Mukosa penghidu (olfactorius) : Banyak di atap rongga hidung, konka superior, &
1
/3 atas septum.
Epitel thorax berlapis semu,  bersilia.

17
 Di dalam lamina propria terdapat plexus vena besar (swell bodies)  setiap 20 – 30
menit penuh terisi darah  mukosa konka membengkak  aliran udara berkurang
 epitel respirsi dapat pulih dari kekeringan.
 Darah dari belakang mengalir ke depan dalam arah berlawanan dengan aliran udara
inspirasi  sehingga udara yang masuk dihangatkan secara efisien oleh system arus
balik.

2. Sinus paranasal
 Merupakan rongga bilateral di tulang frontal, maxilla, ethmoid dan sphenoid
tengkorak.
 Sinus-sinus ini dilapisi epitel respiratorik yang lebih tipis dengan sedikit sel goblet.
3. Nasofaring
 Dilapisi epitel respiratorik & memiliki tonsila pharingeus di media & muara bilateral
tuba auditorius di setiap telinga tengah.

B. Saluran Napas Bawah

1. Laring
 Saluran kaku pendek (4 x 4 cm) untuk udara antara faring dengan trakea. Dindingnya
diperkuat kartilago hialin dan kartilago elastic yang lebih kecil yang keduanya
dihubungkan oleh ligament.
 Terdapat epiglottis yang berfungsi sebagai katup untuk mencegah masuknya
makanan / cairan yang ditelan ke dalam trakea.
 Epiglottis memiliki permukaan laryngeal & permukaan lingual. Permukaan laryngeal
dekat basis  epitel bertingkat silindris bersilia. Di bawah epitel  ada kelenjar
campuran mukosa & serosa di lamina propria.
 Dibawah epiglottis, mukosanya membentuk 2 pasang lipatan yang meluas ke dalam
lumen laring yaitu pita suara palsu (plica vestibularis) dan pita suara (plica vocalis).

18
2. Trakea
 Saluran dengan panjang 12 – 14 cm  mukosanya dilapisi epitel bertingkat silindris,
bersilia, bersel goblet.
 Di lamina propria terdapat :
 Banyak kelenjar seromukosa untuk menghasilkan mucus encer.
 16 – 20 cm cincin kartilago hialin berbentuk C menjaga agar lumen trakea tetap
terbuka.
 Pars kartilaginea  bagian trakea yang mengandung tulang rawan.
 Pars membranasea  celah pada dinding tulang rawan yang ditutupi oleh jaringan
ikat (mencegah distensi berlebih) dan kerangka jaringan otot polos (memungkinkan
pengaturan lumen).
 Trakea terbagi jadi 2 bronkus primer  yang memasuki paru di hilus  setelah
masuk ke paru  menyusur ke bawah dan keluar  membentuk 3 bronkus sekunder
(lobaris) di paru kanan dan 2 di paru kiri  bercabang membentuk bronkus tersier
(segmental).

3. Bronkus
 Mukosa dilapisi epitel bertingkat silindris bersilia bersel goblet.
 Lamina propria mengandung serat elastn & memiliki banyak kelenjar seromukosa
serta terlihat anyaman berkas otot polos yang tersusun menyilang.
 Banyak limfosit di lamina propria dan diantara sel-sel epitel.

19
 Serat elastin dan otot polos tambah banyak seiring mengecilnya bronkus &
berkurangnya kartilago & jaringan ikat lain.

4. Bronkiolus
 Merupakan jalan napas intralobular, diameter 5 mm atau kurang. Tidak memiliki
kartilago maupun kelenjar dalam mukosanya. Hanya sebaran sel goblet dalam epitel
segmen awal.
 Pada bronkiolus yang besar, epitelnya masih bertingkat silindris bersilia  makin ke
distal dari bronkiolus besar ke kecil, epitelnya makin rendah & sederhana menjadi
epitel selapis silindris bersilia / selapis kuboid.
 Epitel bronkiolus terminalis mengandung sel clara  sel-sel yang tidak punya silia,
memiliki granul sekretori di dalam apeksnya, mensekresi protein yang melindungi
terhadap polutan oksidatif & inflamasi.
 Badan neuroepitel  kumpulan 80 – 100 sel yang mengandung granul secret &
menerima ujung saraf kolinergik. Berfungsi sebagai kemoreseptor yang bereaksi
terhadap perubahan kadar O2 udara.

20
5. Bronkiolus Respiratorius
 Mukosanya secara structural identik dengan mukosa bronkiolus terminalis, kecuali
dindinngnya yang diselingi banyak alveolus.
 Bronkiolus respiratorius dilapisi epitel kuboid bersilia & sel clara  tapi pada tepi
muara alveolus  epitel bronkiolus menyatu dengan sel-sel alveolus gepeng.

6. Duktus Alveolaris
 Dicabangkan dari bronkiolus respiratorius. Duktus alveolaris & alveolus dilapisi sel
alveolus gepeng yang sangat halus.
 Dari ujung duktus alveolaris terbuka pintu lebar menuju beberapa sakus alveolaris 
terdiri dari beberapa alveolus yang bermuara bersama membentuk ruangan yang
disebut atrium.
 Serat elastin (memungkinkan alveolus mengembang saat inspirasi & kontraksi secara
pasif selama ekspirasi) dan serat reticular (membantu mencegah pengembangan
alveolus secara berlebih & mencegah kerusakan jaringan paru) menyusun sakus
alveolaris, atrium & alveolus.

7. Alveolus
 Merupakan penonjolan mirip kantung (diameter  200 µm), jumlahnya 300 juta.
 Di dalam alveolus berlangsung pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan darah.
 Udara dalam alveolus dipisahkan dari darah kapiler oleh 3 komponen :
 Lapisan permukaan & sitoplasma sel alveolus.
 Lamina basal, yang menyatu dari sel alveolus & sel endotel kapiler.
 Sitoplasma sel endotel.
 Terdapat pori pada septum interalveolus  menghubungkan alveolus yang
berdekatan dan bermuara ke berbagai bronkiolus. Berfungsi untuk menyetarakan

21
tekanan udara alveolus dan meningkatkan sirkulasi kolateral udara saat sebuah
bronkiolus tersumbat.
 Sel alveolus tipe I, melapisi permukaan alveolus. Menempati 97 % dari permukaan
alveolus. Fungsi utamanya untuk membentuk sawar dengan ketebalan minimal yang
dapat dilalui gas dengan mudah.
 Sel alveolus tipe II, tersebar diantara sel alveolus tipe I bentuknya bundar,
berkelompok, jumlahnya 2 – 3 di sepanjang permukaan alveolus. Sel ini membelah
diri secara mitosis untuk mengganti dirinya sendiri dan sel tipe I. Sel ini menghasilkan
surfaktan paru yang berfungsi untuk menurunkan tegangan alveolus paru.
 Makrofag ditemukan di dalam alveolus dan septum interalveolus berfungsi untuk
memfagosit debris yang berasal dari lumen alveolus.

22
Mukosa respiratorius : epitel thorax
berlapis semu + bersilia + bersel goblet
Hidung
Mukosa olfaktorius : epitel thorax
berlapis semu  bersilia
Epitel respiratorik Faring

Mukosa lingual : epitel berlapis gepeng


Laring
Mukosa laryngeal : epitel bertimgkat
Epitel bertingkat silindris bersilia silindris bersilia
bersel goblet + tulang rawan hialin Trakea
berbentuk “C”

Bronkus principalis dekstra Bronkus principalis sinistra

Bronkus sekunder (lobaris) Bronkus sekunder (lobaris)


superior dekstra superior sinistra
Epitel
bertingkat
Bronkus sekunder (lobaris) Bronkus sekunder (lobaris)
silindris
bersilia, tengah dekstra inferior sinistra
sel goblet,
kartilago
Bronkus sekunder (lobaris) Bronkus tersier (segmental)
inferior dekstra sinistra

Bronkus tersier (segmental)


dekstra

Segmental bronkopulmonal Epitel bertingkat silindris + silia.


Makin ke distal makin
Bronkiolus sederhana epitelnya

Bronkiolus terminalis
Epitel kuboid bersilia bersilia
+ sel clara
Bronkiolus respiratorius

Duktus alveolaris Epitel selapis gepeng

Serat elatin & retikular Saccus alveolaris


 Epitel selapis gepeng
Alveolus  Sel alveolus tipe I
 Sel alveolus tipe II

23
D. FISIOLOGI RESPIRASI

Sistem Respirasi mengatur dan mengaktifkan pernafasan . Pernafasan adalah suatu


proses pertukaran gas antara organisme dengan lingkungannya , yaitu pengambilan O2 dan
pengeluaran CO2 . dalam arti kata pergerakkan O2 dari atmosfer ke dalam alveolus  ke sel
jaringan , dan keluarnya CO2 dari sel jaringan  ke udara atmosfer . Proses respirasi terdiri dari
beberapa sistem yang lengatur jalannya proses respirasi :

1. Sistem Respirasi
Tdd suatu rangkaian saluran udara yg menghantarkan udara luar agar bersentuhan
dengan membran kapiler alveolus  terjadi pergerakkan udara masuk & keluar dari
saluran udara .
2. Sistem Saraf Pusat
Memberikan dorongan ritmik dari dalam untuk bernafas  merangsang thorax dan
otot – otot pernafasan sebagai tenaga pendorong gerakan udara .
3. Sistem Kardiovaskular
Menyediakan pompa, jaringan pembuluh & darah yg diperlukan untuk mengangkuat
gas – gas antara paru & sel – sel tubuh .

Fungsi Sistem Respirasi :


Untuk memperoleh O2 yang akan digunakan oleh sel tubuh dan untuk mengeluarkan CO2 yang
di produksi oleh sel tubuh .

Fungsi NonRespiratorik :

- Rute untuk mengeluarkan air & panas


- Meningkatkan aliran balik vena
- Membantu keseimbangan asam & basa
- Memungkinkan kita bicara , menyanyi , vokalisasi
- Sebagai sistem terhadap pertahanan benda asing yang terhirup

24
Klasifikasi Respirasi :

1. Respirasi Eksternal
- Adalah proses pertukaran gas ( O2& CO2 ) antara udara atmosfer udara & darah
- Terdiri dari 4 proses :

o VENTILASI pertukaran gas antara atmosfer & alveolus

o DIFUSI pertukaran O2& CO2 antara udara di alveolus & darah di dlm kapiler
pulmonalis

o DISTRIBUSI transportasi O2& CO2 antara paru & jaringan

o PERFUSI pertukaran O2& CO2 antara jaringan & darah di kapiler sistemik

2. Respirasi Internal
- Adalah proses respirasi sel ( tingkat selular )
- Dilakukan di Mitokondria sel

VENTILASI

Adalah pertukaran gas antara atmosfer & alveolus . Sebelum udara masuk ke dalam
paru – paru , maka udara akan melewati saluran napas bagian atas terlebih dahulu , baru bisa
masuk ke paru – paru , antara lain :

- Hidung : dihangatkan , dilembabkan , dibersihkan


- Esofagus : pemisah antara udara & makanan . Terdapat adanya Epiglotis
- Laring : menggetarkan pita suara  vokalisasi suara
- Paru : ventilasi , difusi , distribusi , perfusi

Pada saat Ventilasi pertama kali , akan menyebabkan rongga thorax membesar oleh
karena paru – paru mengembang karena terisi oleh udara . Hal tersebut bisa terjadi oleh karena
ada nya bekerjanya otot – otot pernafasan yang mengatur fase – fase respirasi .

25
 Fase – Fase Respirasi
FASE INSPIRASI
- Adalah proses awal saat menghirup udara sampai terisinya paru – paru oleh udara
- Proses ini membutuhkan kontraksi otot – otot pernafasan Proses Aktif
- Kondisi sebelum bernafas :
o Otot – otot melemas
o Tidak ada udara yang mengalir ke
dalam alveolus paru
o Tekanan intraalveolus = Tekanan
atmosfer
- Otot – otot Inspirasi Utama :
o M. Intercostalis eksterna
o M. Interkartilaginus parasternal
o M. Diafragma
- Otot – otot Inspirasi Tambahan :
o M. Sternocleidomastoideus pars sternalis
o M. Skalenus anterior , medius , posterior
o M. Serratus anterior
- Proses :
Saat bernafas / menghirup udara  otot – otot pernafasan akan berkontraksi (
setelah ada rangsangan dari pusat pernafasan di otak )  otot – otot :
 M. Intecostalis eksterna  mengangkat costae ke atas
 M. Diafragma  menurun / mendatar
 M. Sternocleidomastoideus  mengangkat sternum ke atas
 M. Scalenus anterior & medius  mengangkat costae 1
 M. Scalenus posterior  mengangkat costae 2
 M. Serratus anterior  mengangat costae ke atas & depan

26
Menyebabkan volume rongga thorax membesar ( ke arah anterior , lateral , vertikal
) oleh karena paru – paru mengembang  tekanan intra alveolus menurun  udara
mengalir masuk ke tekanan yang lebih ↓  udara terhirup
FASE EKSPIRASI
- Adalah proses akhir dari inspirasi sampai udara keluar dari paru – paru ke udara
atmosfer
- Proses ini pada umumnya tidak memerlukan kontraksi otot – otot pernafasan oleh
karena terjadi karena penciutan ( Recoil ) dari paru itu sendiri Proses Pasif
- Tetapi, jika dibutuhkan pengeluaran udara secara maksimal , maka fase ekspirasi
pun membutuhkan kontraksi otot – otot pernafasan Fase Ekspirasi Aktif /
Ekspirasi Paksa
- Kondisi sebelum Ekspirasi ( akhir Inspirasi ) :
o Otot – otot inspirasi melemas
o Ada daya Recoil paru
- Otot – otot Ekspirasi Aktif :
o M. Intercostalis interna & eksterna
o M. Interkartilaginus parasternal
o M. Obliquus abdominis eksternus
o M. Rektus abdominis
- Proses Normal Ekspirasi :
Saat otot inspirasi melemas  volume rongga thorax mengecil  paru akan
terkompresi & mengalami penciutan ( Recoil )  tekanan intra alveoulus meningkat
 udara mengalir keluar ke tekanan yang lebih ↓  udara keluar

- Proses Ekspirasi Aktif / Paksa :


Saat otot inspirasi melemas  otot – otot ekspirasi akan berkontraksi ( setelah ada
rangsangan dari pusat pernafasan di otak )  otot – otot :
 M. Intercostalis interna  menarik costae kebawah
 M. Intercostalis eksterna  melemas menuruni gravitasi
 M. Rektus & Obliquus abdominis  mendorong diafragma ke atas

27
volume rongga thorax mengecil  paru akan terkompresi & mengalami penciutan (
Recoil )  tekanan intra alveoulus meningkat  udara mengalir keluar ke tekanan
yang lebih ↓  udara keluar

 Macam – macam Tekanan pada Ventilasi :


- Tekanan atmosfer (barometrik)
o Adalah tekanan yang ditimbulkan oleh berat udara di atmosfer terhadap benda -
benda di permukaan bumi
o Di permukaan laut tekanan ini = 760 mmHg
- Tekanan intra-alveolus (intrapulmonalis)
o Adalahtekanan di dlm alveolus. Udara akan mengalir jika terjadi perbedaan antara
tekanan intra-alveolus & tekanan atmosfer
o Besar tekanan ini = 760 mmHg
- Tekanan intrapleura (intratoraks)
o Adalah tekanan di dlm kantung pleura. Kantung pleura  ruang tertutup udara
tdk dpt keluar-masuk
o Besar tekanan ini = 756 mmHg

28
- Akibat adanya ke 3 tekanan tersebut  akan menimbulkan :
o Daya kohesifitas cairan intrapleura
 Terdapat molekul – molekul air polar di dalam cairan rongga pleura
yang menimbulkan gaya tarik menarik antar molekul
 Fungsi :
1. Menahan ke 2 pleura agar tetap menyatu
2. Pelekat antara didinding thorax dengan paru – paru
3. Dapat membuat paru meregang untuk mengisi rongga dada
o Gradien tekanan Transmural ( Tekanan Transpulmonal )
 Adalah tekanan yang melintasi paru
 Terdapat diantara dinding thorax dan alveolus – pleura
 Proses 1 :
Tek. Intra alveolus = Tek. Atmosfer = 760 mmHg

Tek. Intrapleura = 756 mmHg

gaya yang menekan ke luar >> ke dalam

∆p = 4 mmHg

29
mendorong paru ke arah luar

meregangkan paru ke arah luar

Paru mengembang ( ekspansi ) mengisi dinding thorax
 Proses 2 :
Di dinding thorax
Tek. Atmosfer = 760 mmHg ke arah dalam >> Tek. Intrapleura = 756
mmHg

∆p = 4 mmHg

Mendorong paru ke arah dalam

↓menekan dinding thorax / terkompresi

Oleh karena paru >> mudah teregang daripada dinding thorax

Efek gradien tansmural >> terdapat pada dinding paru

Paru – paru menciut / terkompresi

30
 Kerja Pernafasan :
Paru – paru bisa bekerja ( mengembang & menciut ) oleh karena ada udara
yang masuk ke dalam alveolus paru melalui perbedaan tekanan . Masuknya udara ke
dalam paru , harus melewati saluran penafasan yang terdapat tahanan ( Resistensi )
pada saluran / jalan nafas . Otot – otot pernafasan yang bekerja , akan menimbulkan
perubahan volume paru pada saat inspirasi & Ekspirasi . Kerja paru tersebut terdiri dari :

31
- Elastisitas
oAdalah sifat elastisitas jaringan
oYaitu kemampuan paru untuk dapat mengembang saat Inspirasi & kembali
pada keadaan semula saat Ekspirasi ( Recoil )
oSifat elastik paru tergantung dari :
 Jaringan ikat paru yang elastik
 Tegangan permukaan alveolus
oSaat Fase Inspirasi  perlu elastisitas aktif (+)
oSaat Fase Ekspirasi  elastisitas pasif (-)
oRecoil terjadi sewaktu otot – otot pernafasan melemas di akhir Inspirasi

- Komplians
oAdalah seberapa besar paru dapat meregang dalam kondisi berdilatasi
oNilai komplians total orang dewasa :
200 mL udara / cm Tek. Transpulmonal H2O atau 0,2 1/H2O
oKomplians paru ditentukan oleh daya elastisitas paru pada saat inspirasi aktif
(+)  sangat tergantung pada volume udara yang masuk ke paru

Gradien Tekanan

Gas Atmosfer Alveolus Arteri pulmo

O₂ 160 mmHg 100 mmHg 40 mmHg

CO₂ 40 mmHg 46 mmHg

# makin besaar tekanan parsial suatu gas dalam cairan, semakin banyak gas tersebut larut.

32
DIFUSI

Hukum Difusi Fick :

Kecepatan difusi bergantung pada

• Luas permukaan

• Ketebalan membran

• Koefisiensi difusi gas tersebut

# koefisiensi CO₂ 20x lebih besar dari pada O₂ karena CO₂ lebih mudah larut dalam jaringan
tubuh

TRANSPORTASI
Oksigen diangkut ke jaringan melalui Darah dan Hb, tetapi lebih besar peran Hb
dikarenakan 97% O2 diangkut oleh Hb

Hukum Aksi Massa


Konsentrasi salah satu bahan reversible jumlahnya lebih banyak, reaksi akan bergeser
kearah berlawanan, sedangkan bila konsentrasi salah satu zat rendah, reaksi akan mengarah ke
sisi tersebut
Hb + O2  HbO2

Paru: PO2 >>  HbO2 >>


Jaringan: PO2 <<  HbO2

33
TRANSPORT O2

Terdapat 2 cara :

• Larut secara fisik (1-2%)

• Berikatan dengan Hb secara kimiawi

Hb + O₂ HbO₂

(Hb tereduksi) (oksihemoglobin)

Kurva Disosiasi O2-Hb :

Peningkatan dua kali lipat tekanan parsial tidak melipatgandakan persentase saturasi
Hb.

34
Faktor yang mempengaruhi penurunan afinitas Hb terhadap O₂ :

1. CO2 (Karbon Monoksida)


Menggeser kurva ke sebelah kanan.
Jumlah CO2 >> maka affinitas <<
2. Keasaman (H+)
Menggeser kurva ke sebelah kanan

Keasamaan >> maka mempermudah pembebasan O2 di jaringan

Pengaruh CO2 dan asam pada pembebasan O2 dari Hb disebut efek Bohr, yaitu CO2 dan
ion hidrogen (H+) asam mampu berikatan secara reversible dengan hb pada tempat
selain ikatan O2
3. Suhu
Menggerser kurva ke kanan
Metabolisme sel (olahraga) >>, konsumsi O2 >> dan Po2 <<
Maka
Mempermudah pembebasan O2
Pada kapiler paru efek ini dihilangkan dengan:
 Pengeluaran CO2 dan H+
 Penurunan suhu

4. 2,3-difosfogliserat (DPG)
Efek (+): mendorong pembebasan O2 dari Hb di tingkat jaringan, sehingga membantu
mempertahanakan kesediaan O2 di tingkat jaringan
Efek (-): Menurunkan kemampuan Hb menyerap O2 di tingkat paru

TRANSPORT CO2

Terdapat 3 cara :

• Larut dalam plasma

• Berikatan dengan globin Hb membentuk karboksi hemoglobin

• Sebagai bikarbonat

35
Pergeserah Klorida :

HCO3 bermuatan negative keluar dari eritrosit karena lebih larut dalam plasma, namun tidak
diimbangi dengan difusi keluar ion positif sehingga terbentuk gradient listrik yang
menyebabkan ion Cl berdifusi menuruni gradient listrik (menetralkan)

Efek Haldane :

Pengeluarah O2 dari Hb menyebabkan meningkatnya ketersediaan Hb untuk mengikat CO2 dan


ion H

VOLUME DAN KAPASITAS PARU

Secara rerata, pada orang dewasa sehat, udara maksimal yang dapat ditampung paru
sekitar 5,7 L (pria) dan 4,2 L (wanita). Ukuran anatomik, usia dan daya regang paru, serta ada
tidaknya penyakit pernapasan mempengaruhi kapasitas paru total ini. Pada akhir ekspirasi
tenang normal, paru masih mengandung sekitar 2200 ml udara. Selama bernapas biasa, sekitar
500 ml udara masuk dan keluar paru sehingga selama bernapas tenang volume paru bervariasi
antara 2200-2700 ml.

Saat ekspirasi maksimal, volume paru dapat turun sampai 1200 ml, tetapi paru tidak
pernah dapat dikempiskan secara total karena saluran-saluran pernapasan kecil kolaps ketika
ekspirasi paksa sehingga menghambat pengeluaran udara. Karena paru tidak pernah dapat di
kempiskan secara total, sehingga pertukaran gas terus berlangsung antara darah yg mengalir
melalui paru dan udara alveolus yg tersisa bahkan selama ekspirasi maksimal. Perubahan
volume paru yang terjadi selama berbagai upaya bernapas dapat diukur dengan spirometer,
suatu alat untuk menentukan berbagai volume dan kapasitas paru.

36
Volume Paru

1. Volume Tidal (VT) / Tidal Volume (TV) : volume udara yang masuk atau keluar selama
satu kali bernapas normal. Nilainya 500 ml.
2. Volume Cadangan Inspirasi (VCI) / Inspiratory Reserve Volume (IRV) : volume udara
tambahan yang dapat dihirup diatas volume tidal. Nilainya 3000 ml.
3. Volume Cadangan Ekspirasi (VCE) / Expiratory Reserve Volume (ERV) :volume udara
tambahan yang dapat dikeluarkan melebihi volume tidal. Nilainya 1000 ml.
4. Volume Residu (VR) / Residual Volume (RV) : volume udara yang masih tetap berada
dalam paru setelah ekspirasi paling kuat. Nilainya 1200 ml.

Untuk menguraikan peristiwa-peristiwa dalam siklus paru, kadang perlu penyatuan dua
atau lebih siklus diatas. Kombinasi seperti itu disebut kapasitas paru.

1. Kapasitas Inspirasi (KI) / Inspiratory Capacity (IC) : jumlah udara maksmial yang dapat
dihirup diatas volume tidal, volume tidal + volume cadangan inspirasi. Nilainya 3500 ml.
2. Kapasitas Residu Fungsional (KRF) / Functional Residual Capacity (FRC) : jumlah udara
yang tersisa di paru setelah akhir ekspirasi normal, volume residu + volume cadangan
ekspirasi. Nilainya 2200 ml.
3. Kapasitas Vital (KV) / Vital Capacity (VC) : jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan
oleh paru, yang sebelumnya inspirasi maksimal lalu ekspirasi sebanyak2nya, volume
cadangan inspirasi + volume tidal + volume cadangan ekspirasi. Nilainya 4500 ml.
4. Kapasitas Paru Total (KPT) / Total Lung Capacity (TLC) : volume udara maksimal yang
dapat ditampung oleh paru, kapasital vital + volume residu. Nilainya 5700 ml.

37
Volume dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20-25% lebih kecil dari pria, dan lebih
besar lagi pada orang yang atletis dan bertubuh besar daripada orang yang bertubh kecil dan
astenis (kurus).

RUANG RUGI PERNAPASAN

Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah
pertukaran gas, tetapi hanya mengisi saluran napas yang tidak mengisi pertukaran gas. Pada
waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara dalam ruang rugi, sebelum udara
alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian untuk
pengeluaran gas ekspirasi dari paru.

Volume ruang rugi normal pada laki-laki dewasa muda 500 ml. Nilai ini meningkat dengan
bertambahnya usia. Ruang rugi pernapasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruang rugi
anatomis dan ruang rugi fisiologis.

Ruang rugi anatomis

Tidak semua udara yang dihirup sampai ke tempat pertukaran gas di alveolus. Sebagian
tetap berada di saluran napas penghantar, dimana tidak terjadi pertukaran gas. Volume saluran
napas penghantar pada orang dewasa muda rerata adalah 150 ml. Volume ini dianggap sebagai
ruang rugi anatomis, karena udara di saluran napas penghantar tidak berguna untuk
pertukaran.

Ruang rugi anatomik sangat mempengaruhi efisiensi ventilasi paru. Pada efeknya,
meskipun 500 ml udara masuk dan keluar setiap kali bernapas namun hanya 350 ml yang
benar-benar dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus karena 150 ml menempati ruang rugi
anatomik.

38
Setelah inspirasi saluran napas terisi oleh 150 ml udara atmosfer.

Selama ekspirasi berikutnya, 500 ml udara dikeluarkan ke atmosfer. Sebanyak 150 ml


pertama yang dihembuskan adalah udara segar yang tertahan di saluran napas dan tidak
pernah dikeluarkan. Sisa 350 ml udara ekspirasi adalah udara alveolus “lama” yang ikut serta
dalam pertukaran gas dengan darah. Sebanyak 350 ml udara pertama diekspirasi ke atmosfer,
150 ml udara alveolus lama tidak keluar tetap di saluran napas.

Pada inspirasi berikutnya, 500 ml gas masuk ke alveolus. Sebanyak 150 ml udara
pertama yang masuk ke alveolus adalah udara lama yang berada di ruang rugi anatomik selama
ekspirasi sebelumnya. Sebanyak 350 ml lainnya yang masuk ke alveolus adalah udara segar
yang dihirup dari atmosfer.

39
Ruang rugi fisiologis

Terkadang sebagian alveoli sendiri tidak berfungsi atau hanya sebagian berfungsi karena
tidak adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru yang berdekatan. Oleh
karena itu, dari segi fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi. Bila ruang
rugi alveolus disertakan dalam pengukuran ruang rugi total, ini disebut ruang rugi fisiologis.

Pada orang normal, ruang rugi anatomis dan ruang rugi fisiologis hampir sama sebab
pada paru normal semua alveoli berfungsi, tetapi pada orang yang alveolinya hanya berfungsi
sebagian atau tidak berfungsi sama sekali di sebagian paru, ruang rugi fisiologisnya dapat
mencapai 10 kali ruang rugi anatomis, atau sebesar 1-2 liter.

Kontrol Pernapasan

Pusat Kontrol Pernapasan di


batang otak

Pusat Pernapasan Pons Pusat Pernapasan Medula

Pusat Pneumataksik Pusat Apnustik KRD KRV

nb: KRD : Kelompok Respiratory Dorsal

KRV : Kelompok Respiratory Ventral

40
1. KRD terdiri atas neuron inspirasi yang serat desendennya berakhir di neuron motorik
yang mempersarafi otot inspirasi. KRD mencetuskan potensial aksi => inspirasi, saat tdk
mencetuskan potensial aksi => ekspirasi
2. KRV terdiri atas neuron inspirasi dan ekspirasi yang keduanya tetap inaktif selama
bernapas tenang. Diaftikan oleh KRD sbg mekanisme (penambah kecepatan) selama
periode saat kebutuhan ventilasi meningkat. KRV penting dalam keadaan ekspirasi akrif
3. Pusat Pneumotaksik untuk membatasi durasi inspirasi
4. Pusat Apnustik untuk mencegah neuron inspirasi dari switch off sehingga menambah
durasi inspirasi

E. MEKANISME PERTAHANAN SISTEM PERNAFASAN


Batuk

Paru merupakan organ di dalam tubuh yang berhubungan langsung dengan udara atmosfer, sehingga
paru memiliki kemungkinan besar terpajan bahan atau benda yang berbahaya seperti partikel debu, gas
toksik, kuman penyakit, bahkan terhadap suhu.

 Partikel udara yang berukuran>10 mikro meter akan tertangkap di dalam ronggahidung
 Partikel yang berukuran 5-10 mikro meter akan tertangkap di bronkus dan percabangannya
 Partikel yang <3 mikro meter akan masukke alveoli

Reflex batuk ini merupakan mekanisme yang kuat untuk mengangkat partikel tersebut ke saluran
pernafasan ata suntuk di keluarkan.

41
Impuls aferen dari saluran pernafasan yang terangsang oleh partikel di dalam bronkus maupun
trakea, akan berjalan melalui N. Vagus ke medulla oblongata. Di medulla oblongata akan di proses
sehinggaterjadimekanismeseperti :

Mula-mula 2,5 liter udaraakan di hirup

Kemudian epiglottis akan menutup secara tiba-tiba

dan pita suara akan menutup dengan erat untuk menahan

udara yang berada di dalam parutersebut

kemudian otot peru takan berkontraksi dengan sangat kuat

mendorongdiafragmadanterjadipeningkatanotot-otot

ekspirasi di paru

tekanan di dalam paru akan meningkat

pitasuaradan epiglottis secara tiba-tiba akan terbukalebar

sehingga udara bertekanan tinggi di paru tiba-tiba “meletus”

keluar bersama dengan percik renik partikel

Kecepatan udara ini bias mencapai 75-100 mil/jam. Udara yang mengalir cepat ini akan
membuat benda asing di bronkus dan trakea terbawa keluar.

42
Bersin

Reflex bersin hampir sama dengan reflex batuk, hanya saja yang membedakan letaknya. Bersin
terjadi jika terdapat partikel pada hidung dan ekskresi melalui hidung, sedangkan batuk pada saluran
nafas bawah (bronkusdantrakea)

Rangsangan berupa iritasi pada saluran hidungakan memberikan impuls aferen dan berjalan
dari saraf maksilaris menuju medulla oblongata. Kemudian terjadi reflex sepertibatuk.

Pada reflex bersin, uvula akan tertekan sehingga sejumlah besar udara akan mengalir dengan
cepat melalui hidung dan mulutmembersikan saluran hidung

Rinorea serta Sulit Bernapas

Sistem saraf otonom : mengontrol suplai darah dalam mukosa nasal dan sekresi mukus

- Simpatis : mengontrol diameter arteri hidung


- Parasimpatis : mengontrol sekresi glandula, mengurangi kekentalan mukus, menekan efek
pembuluh kapiler

Udara dingin, bau yg merangsang, kelembapan udara tinggi

Hiperaktivitas parasimpatis (hipoaktivitas simpatis)

Dilatasi arteriol dan kapiler peningkatan permeabilitas hipersekresi glandula

Transudasi cairan peningkatan sekresi mukus

Edema rinore (encer, bening)

Kongesti nasal

Hidung tersumbat

Sulit bernafas

43
F. RADIOGRAFI PARU
Karena struktur yang membentuk sistem pernapasan terletak di dalam rongga toraks, sering
diperlukan radiografi dalam kasus pulmonologi atau respirologi sebagai fasilitas penunjang
diagnostik.

Indikasi untuk melakukan foto toraks ada tiga:

1. Foto toraks rutin yang dilakukan pada seseorang yang mempunyai riwayat kontak
dengan penderita TB paru; pada general medical check up; dan pada pemeriksaan
berkala pada pekerja dalam lingkungan yang udaranya tidak bersih (polusi).
2. Terdapat gejala yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di rongga dada.
3. Terdapat gejala umum yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di rongga dada,
seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya (FUO), juga untuk mengetahui
4. apakah terdapat metastasis keganasan ke paru.

JENIS FOTO TORAKS

Foto Paru Standar (foto posteroanterior, PA)

Foto paru standar pada orang dewasa adalah foto posteroanterior (PA).

Cara :

a) pasien berdiri
b) kaset film menempel pada dada
c) dan tabung rontgen di belakang pasien kira-
kira berjarak 2 meter dari kaset
d) agar skapula tidak menutupi lapangan paru,
pasien dalam posisi tangan di pinggang dan
siku ditarik ke depan
e) pengambilan foto biasanya dilakukan saat
pasien berada dalam inspirasi maksimal. Foto
yang diambil saat ekspirasi diperlukan untuk
menilai terperangkapnya udara dalam paru
(the trapping of pulmonary air), apakah lokal
atau difus. Selain itu, untuk konfirmasi adanya
pneumotoraks.

Proyeksi jantung pada kaset film mendekati besar


yang sesungguhnya karena pembesaran bayangan
sangat minimal, dibandingkan dengan posisi AP.

44
Foto Anteroposterior (AP)

Selain foto standar, juga terdapat variasi,


yaitu foto toraks anteroposterior (AP) atau
disebut juga supine projection. Biasanya
dilakukan pada pasien dengan keadaan
sangat lemah. Foto AP juga dilakukan pada
bayi.

Cara :

a) pasien berada dalam posisi


berbaring di tempat tidur
b) kaset film ditempelkan di punggung
c) tabung rontgen berada di hadapan
pasien dengan jarak hanya 1,2
meter.

Foto top lordosis atau apical view dibuat


dengan cara pasien berdiri dan condong ke belakang (mengambil posisi lordosis) sehingga
hanya daerah infraskapular yang terproyeksi di kaset film. Foto ini berguna untuk pemeriksaan
puncak paru karena hasil fotonya bebas dari bayangan tulang. Foto top lordosis termasuk salah
satu jenis foto AP.

ANATOMI RADIOLOGIK RONGGA DADA NORMAL

Radiografi foto toraks pada orang normal menggambarkan keadaan rongga dada normal.
Proses penyakit dapat menghasilkan gambaran tambahan dan menghasilkan perubahan
gambara anatomi yang sesuai dengan karakteristik penyakitnya.

Paru

Gambar paru lokasinya terletak pada daerah yang translusen. Di dalam lapangan paru, tampak
stuktur yang kurang lusen di bandingkan jaringan paru. Stuktur tersebut adalah pembuluh
darah (arteri) dan cabangnya di daerah hilus, vena pulmonalis, dan sekat pemisah. Bronkus
tidak memberikan bayangan yang jelas karena berisi udara.

Untuk keperluan deskriptif, lapangan paru dibagi menjadi tiga zona:

 zona atas (upper zone), di atas bagian iga anterior kedua;


 zona bawah (lower zone), di atas bagian iga anterior keempat, dan;
 zona tengah (middle zone), di antara zona atas dan zona bawah.

45
Mediastinum

Mediastinum dibagi menjadi kompartemen mediastinum superior dan kompartemen


mediastinum inferior. Mediastinum superior terletak diantara manubrium sterni dan vertebra
torakalis 1-4, sedangkan mediastinum inferior terletak di bawahnya. Mediastinum inferior
dibagi tiga menjadi mediastinum anterior, yaitu bagian yang terletak di depan jantung,
mediatinum medial yang mencakup jantung dan pembuluh darah besar, sedangkan
mediastinum posterior adalah bagian yang terletak di belakang jantung.

Pada foto lateral:

 densitas daerah retrosternal sama dengan daerah retrokardiak;


 diafragma lebih tinggi di anterior di bandingkan dengan di posterior;
 tampak dua kontur hemidiafgarma;
 di daerah hemidiafragma kiri tampak gas pada ventrikulus atau kolon.

Diafragma

Diafragma lebih berbentuk konveks sedangkan sudut kostofrenikus tajam. Bagian tertinggi
diafragma terletak setinggi ICS anterior ke 5-6, atau persilangan antara bayangan costae
anterior ke-6 dan costae posterior ke-10. Diafragma kanan biasanya le3bih tinggi 1-2 cm
dibandingkan dengan diafragma kiri.

MEMBACA FOTO TORAKS

Urutan membaca foto toraks adalah:

1. menilai hasil foto;

2. memeriksa foto; dan

3. menyimpulkan hasil foto.

Langkah-langkah menilai hasil foto:

 Pastikan dahulu apakah foto yang di baca adalah foto PA atau foto AP agar penilaian
terhadap besarnya jantung tepat-untuk hal ini, di lembar foto selalu terdapat tulisan PA
atau AP, atau terdapat tanda sisi kanan atau kiri. Untuk membedakan foto AP atau foto
PA dapat dilihat pada bayangan klavikula. Pada foto PA, biasanya bagian medial
klavikula mengarah ke kaudal, sedangkan foto AP, bagian medial klavikulanya mengarah
ke kranial.

46
 Apakah penetrasi film cukup. Pada film yang penetrasinya cukup, masih terlihat ruang
intervetebra di belakang jantung. Pada film yang penetrasinya kurang (underpenetrate),
lesi di belakang jantung akan tampak kabur (obscured).
 Apakah foto dalam keadaan simetris. Sedikit saja terdapat rotasi sikap dada saat difoto,
gambar yan di hasilkan akan berbeda. Untuk mengetahui apakah terdapat rotasi dapat
dilihat dengan cara membedakan posisi ujung medial klavikula kanan dan klavikula kiri
terhadap satu sisi lateral korpus vetebra, jika jaraknya sama berarti simetris. Jika
terdapat rotasi, akan terdapat ruang antara bayangan klavikula dengan bayangan
korpus vetebra, sedangkan pada sisi berlawanan terdapat bayangan yang saling
menumpuk (overline).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memeriksa foto:

 Pemeriksaan foto dimulai dengan memeriksa bayangan jaringan diluar paru apakah
terdapat anomali, kemudian banyangan otot; bagaimana tebalnya dinding dada, mamnae,
dan puting susu.
 Rangka toraks
 Tulang rangka toraks harus diperiksa apakah terdapat kelainan seperti patah, destruksi
karena metastasis keganasan.
 Bayangan jaringan lunak.
Pada perempuan apakah terdapat asimetris akibat mestektomi. Banyangan puting susu
tampak sebagai bayangan padat denga diameter 0,5-1,5 cm pada lapangan bawah paru.
Bayangan puting susu dapat menyebabkan kesalahan pada pembaca karena diperkirakan
sebagai lesi paru. Jika terdapat keraguan, ulangi foto dengan cara puting susu diberi marker
(petanda). Jika bayangan berbeda tempat dengan marker, dapat ditentukan bahwa
banyangan tersebut adalah lesi.
 Diafragma

Puncak diafragma kiri di anterior normalnya


costae ke-5 atau ke-6.foto toraks PA, puncak
diafragma kanan pada persilangan costae anterior
ke-6 dengan costae posterior ke-10
(Asxpot=anterior sixth, posterior tenth).

Diafragma kanan lebih tinggi 1-2 cm


dibandingkan dengan sebelah kiri. Sudut
kostofrenkus membentuk sudut lancip.

 Jantung
Ukuran maksimalnya adalah 15,5 cm.

47
 Trakea
Tampak sebagai pipa translusen vertikal, terletak sentral, di sepertiga bagian bawah dan
mengarah agak ke kanan.
 Hilus
Bayangan hilus normal adalah bayangan pembuluh darag. Banyangan kelenjar hilus
dalam keadaan normal tidak tampak, kecuali jika terdapat pembesaran. Bayangan hilus
berbentuk V terbaring dan sudutnya mengarah ke medial. Kaki atas merupakan
bayangan vena lobus atas yang melintas hilus menuju atrium kiri, sedangkan kaki bawah
sebagai bayangan cabang arteri pulomanalis yang menuju ke lobus bawah. Bagian
tengah hilus kanan yang merupakan titik sudut V terletak setinggi fisura horizontal pada
costae ke-6 di linea aksilaris. Bagian tengah hilus sebelah kiri terletak 1-1,5 cm lebih
tinggi dibandingkan hulis kanan.
 Fisura horizontal
Tampak pada 80% dari seluruh foto toraks sebagai garis horizontal pada costae ke-6 di
lineanaksilaris kanan.
 Lapangan paru.
Lapangan paru dibaca paling akhir agar objek lain yang tidak berkaitan dengan paru
tidak terlewat oleh pemeriksa; biasanya saat pemeriksa menemui kelainan pada
lapangan paru, objek lain mungkin terlupakan.
Perhatikan: 1) cosate, apakah ada penyempitan atau retraksi; 2)apakah ada penarikan
ataupun pendorongan organ; 3) apakah terdapat daerah yang lebih radiolusen akibat
tersisihnya parenkim paru; 4) bagaimana corakan bronkovaskular-jika bertambah dapat
disebabkan oleh batuk,flu atau bronkitis,pasca batuk darah, serangan asma, atau pada
status asmatikus; 5) gambaran fibrotik; 6) gambaran pengapuran.

48
RADANG PARENKIM FOTO TORAKS
PNEUMONIA  konsolidasi sebagian
atau seluruh lobus:
pneumonia
 bercak bercak
tersebar mengikuti
alveoli tersebar:
bronchopneumonia

ABSES PARU  Kavitas/ rongga


berdinding tebal
 Batas udara-cairan
(air-fluid level)

49
RADANG FOTO TORAKS
BRONKUS
BRONKITIS  gambaran radiologis (-)
AKUT
BRONKITIS  tidak khas
KRONIK  umumnya corakan ramai di
basal paru karena penebalan
dinding bronchus dan
peribronchus.

FOTO TORAKS
EMFISEMA • Hiperaerasi paru
(paru terisi banyak
udara) ukuran
paru bertambah
• Hiperlusen
• Diafragma
mendatar

50
ATELEKTASIS • Kolaps bagian paru
tidak terisi
udara
• Perselubungan
homogen
• Batas tegas
• Penarikan jaringan
sekitar
pengurangan
volume paru
(kolaps)

BRONKIEKTASIS • Dilatasi bronkus


terminalis yang
irreversibel
• Dilatasi ujung
distal bronkus
• Sarang tawon
(honey comb
appearance)

51
FOTO TORAKS

TUBERCULOSIS  Sarang-sarang
PARU berbentuk
awan atau
bercak-bercak
opasitas rendah
atau sedang
batas tidak
tegas.

 Kavitas : selalui
berarti proses
aktif kcl bila
sudah sangat
kecil.

 Lesi fibrotik dan


atau kalsifikasi :
proses tenang

PPOK  Hiperlusen

 Diafragma
mendatar

 Corakan
bronkovas

52
PNEUMOTORAKS  Lebih
hiperlusen

 Terdapat pleura
line

TUMOR GANAS  Nodul


PARU bervariasi 
divus nodul

 Bulat

 Batas
irreguler/
kabur

53
EFUSI PLEURA  Gambaran
opak

 Terdapat
bercak putih

G. ANALISA GAS DARAH

Tujuan

1. Menilai tingkat keseimbangan asam dan basa


2. Mengetahui kondisi fungsi pernafasan dan kardiovaskuler
3. Menilai kondisi fungsi metabolisme tubuh

Indikasi

1. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik


2. Pasien deangan edema pulmo
3. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)
4. Infark miokard
5. Pneumonia
6. Pasien syok
7. Post pembedahan coronary arteri baypass
8. Resusitasi cardiac arrest

54
9. Pasien dengan perubahan status respiratori
10. Anestesi yang terlalu lama

Lokasi pungsi arteri

1. Arteri radialis dan arteri ulnaris (sebelumnya dilakukan allen’s test)


2. Arteri brakialis
3. Arteri femoralis
4. Arteri tibialis posterior
5. Arteri dorsalis pedis
Arteri femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih ada alternatif lain,
karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup untuk mengatasi bila terjadi spasme
atau trombosis. Sedangkan arteri temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena
adanya risiko emboli otak.

Cara allen’s test:

1. Minta pasien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan langsung pada arteri
radialis dan ulnaris, minta pasien untuk membuka tangannya,
2. lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan.
3. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik, warna merah menunjukkan test allen’s
positif.
4. Apabila tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif.
5. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.

Faktor yang mempengaruhi pemeriksaan AGD

1) Gelembung udara
Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel darah maka ia
cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen sampel darah kurang dari
158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.
2) Antikoagulan
Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian heparin yang
berlebihan akan menurunkan tekanan CO2, sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek
penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin.
3) Metabolisme
Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia
membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya sampel diperiksa

55
dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak langsung diperiksa, dapat disimpan
dalam kamar pendingin beberapa jam.
4) Suhu
Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya PO 2 dan
PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2. Nilai pH darah yang abnormal disebut
asidosis atau alkalosis sedangkan nilai PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau
hiperventilasi. Hubungan antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang
penting pada nilai oksigenasi darah

Interpretasi Klinik :
pH = 7,35 – 7,45 –> jika naik = alkalosis, jika turun = acidosis.
pCO2 = 35 – 45 —> jika naik = acidosis, jika turun = alkalosis
pHCO3 = 22 – 26 –> jika naik = alkalosis, jika turun = acidosis

pO2 = 80-100
BE = -2 (acidosis) s/d +2 (alkalosis)
SaO2 = 95 – 100%
Klasifikasi :
1. Acidosis
 Acidosis Respirasi (penyebabnya adalah pCO2)
 Acidosis Metabolik (penyebabnya adalah pHCO3)
2. Alkalosis
 Alkalosis Respirasi (penyebabnya adalah pCO2)
 Alkalosis Metabolik (penyebabnya adalah pHCO3)

Interpretasi hasil pO2 :


 >100 : hiperoksemia
 100-80 : normoksemia
 60-79 : mild hipoksemia
 45-59 : moderate hipoksemia
 <45 : severe hipoksemia

56
Cara analisis gas darah

Lihat pH ; pH normal dari darah antara 7,35 – 7,45. Jika pH darah di bawah 7,35 berarti
asidosis, dan jika di atas 7,45 berarti alkalosis.

Lihat CO2 ; Kadar pCO2 normal adalah 35-45 mmHg. Di bawah 35 adalah alkalosis, di atas 45
asidosis.

Lihat HCO3; kadar normal HCO3 adalah 22-26 mEq/L. Di bawah 22 adalah asidosis, dan di atas
26 alkalosis.

Bandingkan CO2/ HCO3 dengan pH : u/ jenis kelainan asam basanya.


jika pH asidosis dan CO2 asidosis, maka kelainannya disebabkan o/ sistem pernapasan 
asidosis respiratorik. Jika pH alkalosis dan HCO3 alkalosis, maka kelainan asam basanya
disebabkan oleh sistem metabolik  metabolik alkalosis.

Lihat apakah kadar pCO2 atau HCO3 berlawanan arah dengan pH.
Apabila ada yang berlawanan, maka terdapat kompensasi dari salah satu sistem pernapasan
atau metabolik. Contohnya jika pH asidosis, CO2 asidosis dan HCO3 alkalosis, CO2 cocok dengan
pH sehingga kelainan primernya asidosis respiratorik. Sedangkan HCO3 berlawanan dengan pH
menunjukkan adanya kompensasi dari sistem metabolik.

Lihat pO2 dan saturasi O2; jika di bawah normal maka menunjukkan terjadinya hipoksemia.

Komplikasi

1) Apabila jarum sampai menebus periosteum tulang akan menimbulkan nyeri


2) Perdarahan
3) Cidera syaraf
4) Spasme arteri

57
CASE 2
(Pulmonary Tuberculosis)

PENULIS :
1. Dwi Puspitasari (111 0211 123)
2. Irnanita Pratiwi (111 0211 179)
3. Mutiara Sundasari (111 0211 063)
4. Novia Dwi Tirta Sari (111 0211 133)
5. Candrika Faza Prawira (111 0211 091)
6. Yuni Rahmawati (111 0211 055)
7. Qisthina Novita Quddus (111 0211 162)

A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Mycobacterium tuberculosis
E. Tuberkulosis pada Anak
F. Tuberkulosis pada
G. Penatalaksanaan Tuberkulosis
H. Pneumonia

58
A. Tutorial Case
Case 2
Respiratory System
Page 1
Seorang ibu membawa anaknya berinisial K (3 tahun 4 bulan), laki-laki, ke puskesmas dengan
keluhan berat badan yang sulit naik dan K terlihat lebih kecil dibandingkan teman-teman seusianya. An.
K tampak terlihat lesu dan tidak ada nafsu makan. Sejak 2 minggu yang lalu An. K juga mengalami
demam yang tidak terlalu tinggi dan hilang timbul juga disertai keringat malam. Sejak 1bulan ini timbul
batuk yang tidak sembuh-sembuh. Selama ini untuk mengurangi keluhan K, ibunya hanya memberi obat
yang dibeli di warung.
An. K merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara. Orang tuanya tinggal mengontrak rumah petak,
di lingkungan yang padat dipinggir kali ciliwung, ayahnya tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Saat ini
ayahnya sedang berobat rutin ke puskesmas untuk penyakit paru yang dideritanya. Riwayat imunisasi
An. K tidak pernah.

59
B. Overview Case
An. K (3 tahun 4 bulan)
Dibawa ke puskesmas
KU: berat badan yang sulit naik dan terlihat lebih kecil dibandingkan teman-teman seusianya

RPS : RPK
 Tampak terlihat lesu dan tidak nafsu makan  Merupakan anak ke-5 dari 6
 Sejak 2 minggu lalu juga mengalami demam bersaudara
yang tidak terlalu tinggi dan hilang timbul.  Ayah rutin ke puskesmas
 Ada keringat malam berobat untuk penyakit
RPD parunya
 Sejak 1 bulan lalu timbul batuk yang tidak
sembuh-sembuh
RpSOS
RPO
 Tinggal di rumah petak di lingkungan yang
 Untuk mengurangi keluhan, ibunya hanya
padat di pinggir kali ciliwung
memberi obat dari warung.
 Ayah tdk memiliki pekerjaan tetap
RIWAYAT IMUNISASI
 Tidak pernah

Hipotesis

ISPA Tuberkulosis anak Bronchitis Malnutrisi

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang


 KU : tampak sakit sedang,  Thorax  Darah rutin
kesadaran kompos mentis o Paru o Hb : 9 g/dl
 BB : 11 kg TB : 90 cm Inspeksi : simetris dalam o Ht : 26.7%
 TD : 90/60 mmHg keadaan stasis dan o Leukosit : 10.000/mm3
 Nadi : 108×/mnt dinamis o Trombosit : 260.000/mm3
 Temperature : 37.8◦C Auskultasi : suara napas o Diff count : 1/0/4/51/40/4
 F. Nafas : 25×/mnt dasar vesikuler melemah o MCH : 62 fL
 Parut BCG : (-) dan terdengar suara o MCH : 20 pg
 Mata : konjungtiva anemis amforik. Suara napas o MCHC : 30 g/dl
+/+, sclera ikterik tambahan ronkhi -/- o LED : 115 mm/jam
 Leher : teraba KGB pada o Jantung : dbn  Uji tuberculin/mantoux 48 jam
region colli sinistra dan dekstra,  Abdomen : hati dan : diameter indurasi : 12 mm
kuran 1,5-2 cm, multiple, tdk limpa tdk teraba membesar
melekat dasar, padat kenyal, tdk  Punggung : dbn 60
nyeri saat perabaan  Ekstremitas : dbn
Hasil Foto Rontgen Thorax AP/Lateral kanan:
 Tampak infiltrate perihilar dekstra et sinistra
 Infiltrate para kardial dekstra
 Tampak pembesaran kelenjar getah bening di daerah hilus
Diagnosa

Tuberculosis Anak
C. Interpretasi Kasus
An. K (3th 4 bln), laki-laki

ANAMNESIS

KU : berat badan sulit naik, terlihat lebih kecil di banding teman-teman seusia  dapat
disebabkan oleh : Malnutrisi, Penyakit Bawaan (penyakit jantung kongenital), atau infeksi
kronik

RPS :

- Tampak lesu, tidak nafsu makan  dapat disebabkan oleh keadaan anemia, infeksi
kronik
- Sejak 2 minggu, demam tidak terlalu tinggi, hilang timbul disertai keringat malam 
demam tidak terlalu tinggi merupakan tanda khas infeksi kronik. Sedangkan keringat
malam dapat disebabkan oleh peningkatan metabolisme dan merupakan usaha tubuh
untuk mengeluarkan panas. 2 keadaan ini khas ditemukan pada penyakit TB
- 1 bulan ini timbul batuk tidak kunjung sembuh  batuk merupakan mekanisme
pertahanan saluran nafas untuk mengeluarkan benda asing. Bila batuk sudah 1 bulan
tidak kunjung sembuh. Batuk dapat ditemukan pada penyakit : ISPA, Bronchitis, TB.
Namun gejala yang batuk yang berlangsung > 3 minggu khas ditemukan pada penyakit
TB

R.pribadi dan keluarga :

- Anak ke 5 dari 6 bersaudara


- Tinggal di rumah kontrakan petak di lingkungan padat pinggir kali ciliwung  lingkungan
yang tidak higienis menjadi media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Dan
lingkungan yang padat dapat meningkatkan resiko penularan infeksi penyakit, terlebih
penyakit yang berkaitan dengan respirasi (penyebaran melalu udara) terutama pada
anak yang imunitasnya masih lemah.

61
- Ayah tidak berkeja tetap  berkaitan dengan status ekonomi yang akan berdampak
pada status gizi pasien
- Ayah sedang berobat untuk penyakit paru  bila ayah pasien menderita penyakit paru
yang menular maka akan sangat mungkin anggota keluarga yang tinggal serumah dapat
tertular. Penyakit yang di derita pasien ini mungkin akibat di tularkan dari ayahnya.

::
RPO
- Untuk mengurangi keluhan ibu hanya memberi obat warung
- Riwayat imunisasi tidak pernah  akan mempengaruhi status imunitas anak. Imunisasi
yang biasanya diberikan pada anak adalah BCG, DPT

hipotesis :

- ISPA : merupakan penyakit yang paling banyak pada anak. Gejala di tandai dengan
demam, batuk, penurunan nafsu makan sehingga anak terlihat lesu.
- TB anak : infeksi menular yang berlangsung kronik disebabkan oleh bakteri M.
Tuberculosis yang di tandai dengan gejala demam subfebris, batuk > 3 minggu,
gangguan nutrisi. Pada pasien anak ini di dapatkan pula faktor resiko terinfeksi TB pada
pasien ini :
Faktor resiko infeksi TB : kontak dengan orang dewasa TB aktif, daerah endemis,
lingkungan tidak sehat, status ekonomi rendah
Faktor resiko sakit TB : anak <5th, bayi <1, malnutrisi, imunokompromise
- Bronchitis : peradangan saluran bronkial atau bronkus yang disebabkan oleh virus,
bakteri, polusi atau rokok. Gejala ditandai demam, batuk yang awalnya non produktif
lalu dapat berkembang jadi batuk produktif. Namun pada anak usaha mengeluarkan
sekret yang lengket dapat merangsang reflex muntah. Terdapat 2 jenis bronchitis yaitu
akut dan kronik. Kronik biasanya terjadi pada onset usia yang lebih tua dan jarang pada
anak.
- Malnutrisi : di dapatkan dari berat badan yang sulit naik dan terlihat lebih kecil dari anak
seusianya. Terlebih status ekonomi keluarga pasien yang rendah. Malnutrisi dapat
disebabkan karena ketidakseimbangan intake gizi dengan metabolisme (untuk usia 1-3
tahun kebutuhan nutrisi 1000 kkal/hari), gangguan absorbsi makanan karena infeksi
kronik yang mengganggu pusat lapar di otak.

62
PEMERIKSAAN

PF :

KU : tampak sakit sedang, compos mentis

TB : 90cm, BB : 11kg  seharusnya berat normal sesuai usia = 14kg  gangguan nutrisi

 NHCS : BB tdk mencapai 5th mengalami keterlambatan pertumbuhan  skor 1

Tanda vital : TD : 90/60 mmHg  n usia 2-6 th= 80-110 (s), 50-80 (d)

N : 108x/menit  n anak = 80-110x menit

RR : 25x/menit  n anak 20-30 x/menit

S: 37,80 C  subfebril (37,1-37,80C)  tanda infeksi kronik

Parut BCG (-)  BCG (Bacille Calmette-guerin) adalah pencegahan infeksi TB. BCG diberikan
secara intrakutan (sehingga meninggalkan bekas parut) dengan jarum no 25-27 dan panjang
10mm disuntikan didaerah deltoid agar reaksi limfadenitis di aksila lebih mudah terdeteksi.
Imunisasi ini sebaiknya diberikan pada usia <2 bulan. Pada usia >3 bulan sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin agar mengurangi komplikasi akibat telah adanya imunitas terhadap antigen M.TB 
karena pasien ini belum di imunisasi BCG maka kemungkinan keluhan berkaitan dengan TB.

HEENT : Mata : konjungtiva anemis  anemia merupakan kedaan dimana kadar Hb di bawah
normal. Anemia dapat disebabkan oleh kurangnya nutrisi (Fe,As folat,B12), karena perdarahan
atau karena penyakit kronik

Leher : teraba KGB pada r. Colli posterior dextra et sinistra, diameter 1,5-2cm,
multiple, tdk melekat dasar, padat kenyal, tidak nyeri  KGB berfungsi sebagai barier
terhadap kuman yang masuk ke tubuh dan sel-sel ganas serta berfungsi membentuk sel limfosit
darah tepi. pembesaran KGB dapat disebabkan infeksi akut/kronik dan neoplasma.

Pada TB terdapat klasifikasi TB Paru dan Extra Paru. TB extra paru bisa mengenai beberapa
organ salah satunya kelenjar getah bening. KGB yang paling sering terkena adalah KGB regio
colli, aksila dan inguinal. Manifestasi klinis dari TB extra paru pada KGB (limfadenitis TB) :

Bersifat unilateral/bilateral, membesar perlahan, kenyal, tidak keras, tidak nyeri, discrete,
terfiksasi dengan jaringan di atas/di bawahnya, setelah pemberian OAT tidak mengecil kembali
ke normal selama beberapa bulan/tahun. (pedoman nasional tuberkulosis pada anak hal 54 )

63
Thorax (paru) : Inspeksi : simetris saat statis & dinamis

Auskultasi : suara nafas dasar vesikuler melemah dan terdengar suara amforik.
Rhonkhi -/- 

 Suara vesikuler melemah adalah tanda adanya infiltrat  mendukung hipotesis TB


 Suara amforik (atau suara seperti tiupan botol) biasanya ditemukan bila terdapatnya
kavitas di paru
 Ronkhi -/- : ronkhi adalah suara nafas tambahan bernada rendah sehingga bersifat sono.
Ronkhi basah = terdengar kontinu, disebabkan karena udara melewati penyempitan 
melemahkan bronchitis. Ronkhi kering (rales/crackles) = terputus-putus, timbul akibat
adanya cairan dalam saluran nafas

Jantung – extremitas dbn

Px.penunjang

Darah rutin : Hb : 9g/dl (n anak = 11,3-14,1 g/dl)  anemia

Ht : 26,7% (n anak= 33-38%)  akibat anemia

Leukosit : 10.000/mm3 (n anak = 9000-12.000)

Trombosit : 260.000/mm3 (n = 200.000-400.000)

Hitung jenis : 1/0/4/51/40/4

MCV : 62 fl (n=80-100)

MCH : 20 pg (27-31) anemia mikrositik hipokrom

MCHC: 30 g/dl (n=32-36)

LED : 115 mm/jam (n=)  tanda infeksi kronik

Uji tuberculin/mantoux 48 jam : diameter indurasi 12mm  untuk mengetahui apakah


sesorang pernah terinfeksi kuman TB  12mm = (+) menguatkan TB

 Reaksi indurasi 0-4mm = uji tuberkulin (-)


 Reaksi indurasi 5-9 mm = (+) meragukan. Pada pasien HIV indurasi 5mm adl (+)
 Reaksi indurasi 10-15mm = (+)

64
Radiologi AP dan Lateral kanan :

- Tampak infiltrat perihilar dextra et sinistra  infeksi TB mengenai lobus bawah


- Infiltrat pada kardial dextra 
- Tampak pembesaran KGB daerah hilus  menandakan infeksi TB fase primer
diagnosis : TB paru Anak.

** LAMPIRAN :

Secara ringkas, gejala umum atau nonspesifik pada TB anak adalah sebagai berikut.
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi.
2. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive).
3. Demam lama (> 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai keringat
malam. Demam pada umumnya tidak tinggi.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare

SUMBER : Pedoman Nasional TB Anak

65
Sistem skoring diagnosis TB Anak :

Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA +
keluarga (BTA -
/tdk jelas)
Uji tuberkulin - - - + (> 10mm atau
> 5mm pada
imunosupresi)
BB/keadaan gizi - BB/TB <90% Klinis gizi buruk -
atau BB/U <80% atau BB/TB
<70% atau BB/U
<60%
Demam yg tdk - > 2minggu - -
diketahui sebab
Batuk kronik - > 3 minggu - -
Pembesaran - > 1cm, jumlah - -
KGB colli, aksila, >1, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi pembengkakan
lutut, panggul,
falang
Foto toraks Normal/kelainan Gambaran - -
tdk jelas sugestif TB*
Catatan :

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakan oleh dokter


 Bila dijumpai gambaran milier atau skofuloderma, langsung di diagnosis TB
 Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
 Demam dan batuk tidak berespon terhadap terapi baku
 Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB Anak

66
D. Mycobacterium tuberculosis
• Taksonomi : Kingdom : Bacteria Family : Mycobacteriaceae

Phylum : Actinobacteria Genus : Mycobacterium

Ordo : Actinomycetales spesies : M. tuberculosis

SubOrdo : Corynebacterineae

 Morfologi :
- Merupakan bakteri berbentuk Basil, tipis, berukuran 0,2-0,4 x 3 um
- Termasuk Gram +
- Memiliki dinding tebal, mengandung lapisan lilin dan lemak, dan asam mikolat (ester As.
Lemak rantai C78-C90)  sehingga tahan asam pada pewarnaan (BTA)
- Dapat ditemukan tunggal atau berkelompok, tidak bergerak, tidak berspora, tidak
bersimpai

 Kultur
- Kuman bersifat aerob obligat (mutlak membutuhkan oksigen untuk hidup)
- Sifat pertumbuhan (waktu generasi 2-6mg)
- Suhu optimum 370C dan pH 6,4-7
- Tumbuh subur pd perbenihannya dapat diperkaya denganpenambahan telur, gliserol,
kentang, daging, ataupun asparagin.
- Kuman ini tahan terhadap desinfektan kimia dan pengeringan.
- Dapat mati pada suhu 60˚C selama 20 menit, ataupun pada suhu 100˚C dengan waktu
yang lebih singkat.
- Jika terkena sinar matahari, biakan kuman mati dalam waktu 2 jam. Pada dahak kuman
ini dapat bertahan 20 sampai 30 jam walaupun disinari matahari.
- Selain itu, kuman mati oleh tincture iodii , etanol 80%, dan fenol 5%.

E. Tuberkulosis pada Anak


TBC pada anak ditularkan secara droplet dari orang dewasa. TBC tidak tertular melalui
darah maternal ke dalam fetus maupun melalui ASI. Infeksi tuberculosis pada anak adalah
infeksi primer. Yaitu masuknya bakteri M. tuberculosis pertama kali ke dalam tubuh anak.
98% infeksi primer ada di paru-paru. Sebagian besar bakteri dapat dibunuh oleh
makrofag yang juga bertugas sebagai APC untuk memicu proses pembentukan antibody spesifik
M. tuberculosis. Tetapi, M. tuberculosis memiliki sulfatid yang dapat menghambat fusi fagosom
dan lisosom makrofag. Sehingga M. tuberculosis dapat hidup dorman di dalam makrofag.

67
Tuberkel pada mulanya memperbanyak diri dalam alveoli dan duktus alveolaris.
Kebanyakan dapat dimatikan, namun sebagian dalam bentuk non aktif di dalam makrofag.
Selanjutnya makrofag itu akan dibawa ke limfonodi regional melalui vasa limfatika. Kemudian
parenkim paru sendiri mengalami reaksi jaringan (2-12 minggu) karena terjadi hipersensitivitas
jaringan. Bagian parenkim sembuh dengan fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkejuan dan pembentukan kapsul atau menimbulkan rongga sisa (kaverna). Tetapi juga dapat
menyebar menjadi pneumonitis dan pleuritis.
Bila dari paru, limfonodi hilus yang dialiri oleh vasa limfatika dapat mengalami
peradangan. Nodus limfoid terlihat membesar di gambaran X-ray akibat fibrosis dan berkapsul.
Hal ini adalah gambaran khas dari infeksi tuberculosis primer.

Komplikasi :

- Meningeal (2-6 bulan)


- Limofnodi atau endobronkial (3-9 bulan)
- Tulang dan sendi (beberapa tahun)
- Ginjal (beberapa puluh tahun)
- Reaktivasi tuberculosis (biasanya di apeks lobus atas)

Manifestasi klinis :

- Limfadenitis regional (hilus)  menekan bronkus sehingga terjadi obstruksi bronkus 


mengakibatkan ateletaksis sehingga gambaran X-ray  konsolidasi-kolaps
- Batuk non-produktif dan dyspnea ringan. Hal ini yang mengakibatkan tidak terjadi
penularan dari anak ke dewasa maupun anak ke anak. Hal ini pula yang mengakibatkan
hasil BTA sputum negative
- Demam sedang, keringat malam, anoreksia dan aktivitas menurun
- Kesukaran kenaikan berat badan atau sindrom gagal-tumbuh
- Mengi local dengan takipnea atau kadang distress

Cara diagnosis

Mendiagnosis tuberculosis pada anak tidak cukup dengan pemeriksaan sputum BTA dan
radiografi saja, tetapi banyak aspek yang harus dinilai untuk menentukan diagnose tersebut
dikarenakan anak sulit mengeluarkan dahak dan juga gejala klinis tidak khas bahkan gambaran
radiografi bisa terlihat normal. Sehingga dibutuhkan scoring untuk menentukan diagnosis
tuberculosis.

68
Parameter 0 1 2 3
Laporan keluarga,
Kontak TB Tidak jelas BTA (+)
BTA tidak jelas

Uji tuberkulin Negatif Positif

Bawah garis
Berat badan / merah KMS Klinis gizi buruk
keadaan gizi atau BB/U (BB/U <60%)
<80%
Demam tanpa
>2 minggu
sebab jelas
Batuk >3 minggu
Pembesaran >1 cm, jumlah
kelenjar limfe >1, tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi
+

Normal/
Foto toraks Kesan TB
tidak jelas

Catatan :

- Seorang anak didiagnosis tuberculosis bila hasil scoring >6 (max 13)
- Sample BTA dapat diambil dari sputum, bilas lambung maupun LCS
- Kontak TB discore 2 bila terdapat kontak langsung pada penderita TBC seperti orang tua,
saudara maupun tetangga
- Uji tuberculin positif bila >10mm pada imunokompeten, dan >5mm pada imunosupresi
- Pasien balita dengan score 5, dirujuk ke RS untuk dievaluasi lebih lanjut

Butuh perhatian khusus bila ditemukan :

1. Tanda bahaya
- Kejang, kaku kuduk
- Penurunan kesadaran
- Kegawatan lain seperti sesak
2. Foto thoraks menunjukan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibus, koksitis

69
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGIS TB ANAK

A. Cara penularan

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-
anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi
hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang,
kelenjar getah bening, dan lain-lain.

B. Patogenesis

Saat Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di
sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto
rontgen.

Ketika M. tuberculosis mencapai paru-paru, kuman tersebut di makan oleh makrofag di


dalam alveolus dan sebagian dari kuman akan mati atau tetap hidup dan bermultiplikasi. Waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4
– 8 minggu.

Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang-biak, akhirnya akan menyebabkan


makrofag mengalami lisis, dan kuman TB membentuk koloni di tempat tersebut. Koloni kuman
di jaringan paru ini disebut fokus primer Ghon.

Di daerah ini reaksi jaringan parenkim paru dan kelenjar getah bening sekitar akan menjadi
semakin hebat dalam waktu kira-kira 2 – 12 minggu,. Setelah kekebalan tubuh terbentuk, fokus
primer akan sembuh dalam bentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi.

Kelenjar getah bening regional juga mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tapi tidak akan
sembuh sempurna. Kuman TB dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar
ini.

70
Anak berumur <5 tahun

Imunitas seluler belum


sempurna (imatur)

Tertular orang
dewasa BTA (+)
Droplet nuclei kuman TB

Masuk paru-paru
Inhalasi kuman TB

Pertahanan mekanis gerakan silia Bakteri uk<5 mikrometer masuk alveolus,


sebagian besar membuang bakteri bagian apeks 9bak aerob obligat

Saluran nafas Endositosis oleh makrofag


atas Saluran

Dapat dihancurkan Tidak dapat dihancurkan

Reaksi Lokal

Respon peradangan Fase Sensitisasi ( KGB regional )

PGE2 Leukosit Hipertrofi sel Antigen + makrofag


goblet

Demam Dipresentasikan
Mukus
MHC II ke sel TCD4

71
>3 minggu
Proliferasi sel DTH

0 – 3 minggu Masa Inkubasi

Pajanan ulang
Penyakit berjalan
kronis
Fase efektor

Aktivasi Makrofag Aktivasi CD8

IL-6, TNF IL 1 Metabolisme basal


meningkat

Menghambat pusat Eritropoiet Sitokin Saat malam tetap


lapar in menginduksi meningkat
monosit
Nafsu makan Hb, Ht
Keringat malam
Menempel ke
endotel
BB Nutrisi
Histiosit
Tumbuh epiteloid
Anemia
lambat
Enzim litik
MCH, MCV

Nekrosis kaseosa

Dekstruksi nekrosis Reaksi


jaringan granuloma
Sel datia
Rekflex batuk

Kompleks
Ikut keluar, Gohn (lesi
shg primer )
terbentuk
kavitas
Limfangitis dan Tuberkel
limfadenitis (dapat
regional pecah) 72
F. Tuberkulosis pada Dewasa
(consensus TB pdpi)
Definisi
Penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Epidemiologi
- WHO Report 2010, kasus Tuberkulosis (TB) di Indonesia mengalami penurunan. Saat
ini Indonesia berada di urutan kelima (setelah India, China, Afrika Selatan dan
Nigeria) setelah selama sembilan tahun terakhir menempati urutan ketiga (setelah
India dan China).
- Di seluruh dunia TB menyerang 10 juta orang dan menyebabkan 3 juta kematian
setiap tahun. Di Negara maju, TB jarang terjadi yaitu menyerang kira-kira 1 per
10.000 populasi. TB paru paling sering menyerang masyarakat di Negara miskin dan
berkembang.

Factor Resiko
a. Jeniskelamin
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak ada perbedaan
di antara laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.
b. Status gizi
Malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga akan menurunkan resistensi
terhadap berbagai penyakit termasuk TB.
c. Sosioekonomi
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari kalangan
sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan permukiman yang terlampau
padat sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB.
d. Pendidikan
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan
cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikapd an perilaku sebagai orang sakit
dan akhinya berakibat menjadi sumber penularan.

73
Klasifikasi

BTA (+)
Pemeriksaan
Dahak
BTA (-)

Kasus Baru
TB Paru

Kasus Kambuh
TB

Kasus Lalai
Tipe Pasien
Berobat

Ringan Kasus Gagal


TB Ekstra Paru
Berat Kasus Kronik

Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
dan hilus.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
 Tuberkulosis Paru BTA (+)
- minimal 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya BTA positif
- Satu spesimen dahak hasilnya BTA positif dan radiologic menunjukkan
gambaran tuberculosis aktif
- Satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif

 Tuberkulosis Paru BTA (-)


- Hasil pemeriksaan dahak SPS menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan radiologic menunjukkan tuberculosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotic spectrum luas
- Hasil pemeriksaan dahak SPS menunjukkan BTA negative dan biakan
M.tuberculosis positif

2. Berdasarkan Tipe Pasien


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya.
a. Kasus baru
Penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

74
b. Kasus Kambuh
Penderita yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan lengkap dan telah
dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil BTA positif
atau biakan positif.
c. Kasus lalai berobat
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau
lebih, kemudian datang kembali berobat dengan hasil BTA positif.
d. Kasus Gagal
- Penderita BTA positif yang masih tetappositif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
- Penderita dengan hasil BTA negative dan gambaran radiologic positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan gambaran
radiologic ulang mengalami perburukan.
e. Kasus kronik
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Tuberculosis Ekstra Paru
a. Ringan : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. Berat : Meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB
tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan genital.

GejalaKlinis

Gejala Respiratorik Gejala Sistemik

- Batuk ≥ 3 minggu
- Demam
- Batuk darah
- Malaise
- Sesak napas
- Keringat malam
- Nyeri dada
- Nafsu makan dan berat badan
menurun

75
Patogenesis & Patofisiologi

Droplet yg mengandung mtb terinhalasi

95% dibuang oleh sel mukosa 5% mencapai bronkus terminal


bersilia dan alveolus

Difagosit oleh makrofag , tp tdk


sel T memajankan protein berhasil karena punya LAM
mtb ke sel B
Mtb berproliferasi didalam
Sel B membentuk makrofag, mengeluarkan IL-1
antibodi terhadap mtb
setelah 2-6 minggu Rekrutmen limfosit T

Granuloma/Fokus Ghon/Tuberkel
Menekan pertumbuhan
mtb (mtb nya jadi Nekrosis kaseosa/perkejuan
dorman)

Material yg nekrotik dialirkan ke


Antigen dapat dideteksi
nodus limfe
melalui tes mantoux
Kaviti Limfangitis
Mantoux (+)
Kompleks Ghon

TB DOTS Reinfeksi

Re-aktivasi tuberkel

Reaksi hipersensitivitas

Ulserasi di paru Drainase Pus

Hemoptysis
Kel. Limfe Pembuluh darah Perkontinuatum
Bronkogen
TB Ekstraparu bercak milier

Ke paru sebelahnya Batuk produktif

Droplet bisa terhirup


orang lain 76
*)mtb: Mycobacterium tuberculosa

Diagnosis:
Uji tuberculin
Indikasi
- Seseorang dengan anamnesis mengarah ke penyakit TB dengan atau tanpa kelainan
radiologic dan atau BTA negative.
- Seseorang dengan kelainan foto thoraks sesuai dengan TB paru atau bekas TB.
- Seseorang dengan kondisi resiko tinggi menderita TB paru seperti DM, HIV, limfoma
atau keganasan darah, terapi imunosupresan.
- Diduga kontak dengan penderita TB.
- Anak yang dicurigai menderita TB.
- Dicurigai TB ekstrapulmoner
Kontraindikasi
- Absolut : Terbukti terinfeksi TB.
- Relatif : Kelainan kulit yang luas pada daerah pemeriksaan.
Uji ini dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1 ml Tween-stabilized liquid
PPD (Purified Protein Derivative) pada bagian punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dinilai
dalam waktu 48 – 72 jam.
(+) bila terjadi bula atau vesikel atau terjadi penonjolan (indurasi)

Interpretasi indurasi berdasarkan ukuran:


 Indurasi  5mm :
- Orang dengan HIV +
- Baru kontak dengan kasus TB
- Gambaran fibrotic pada foto toraks yang sesuai dgn TB
- Pasien dengan transplantasi organ dan pasien dengan gangguan imun
 Indurasi  10mm :
- imigran dari Negara dengan prevalensi TB tinggi (dalam 5 tahun)
- Pengguna obat dengan cara suntik
- Residen dan pegawai pada tempat dengan resiko tinggi
- Petugas TB, orang dengan kondisi medic mudah terinfeksi kuman TB,
- anak berusia < 4tahun atau bayi, anak atau lansia yang kontak dengan orang
dewasa resiko tinggi
 Indurasi  15mm : Orang tanpa factor resiko TB

Pemeriksaan Sputum
 Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak yaitu sewaktu - pagi- sewaktu (SPS).
 Diagnosis utama TB Paru pada orang dewasa adalah ditemukannya kuman TB pada
pemeriksaan BTA.
 Pemeriksaan foto thoraks dan biakan digunakan sebagai penunjang diagnosis, bukan untuk
77
menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik SPS ialah bila :
- 2 kali positif, 1 kali negatif →Mikroskopik positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif →ulang pemeriksaan SPS, kemudianbila:
o 1 kali positif, 2 kali negatif →Mikroskopik positif
o 3 kali negatif → Mikroskopik negatif

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Gambaran radiologik
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

78
- Alur DIagnosis

79
G. PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS

Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci keberhasilan program
penanggulangan TB adalah dengan menerapkan strategi DOTS , yang juga telah dianut oleh
Negara kita . Oleh karena itu pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting
agar TB dapat ditanggulangi dengan baik .

DOTS mengandung lima komponen,yaitu :

 Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional


 Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopis
 Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung,dikenal dengan
istilah Directly Observed Therapy (DOT)
 Pengadaan OAT secara berkesinambungan
 Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baku/standard.

1. Tujuan

• Mecapai angka kesembuhan yang tinggi

• Mencegah putus obat

• Mengatasi efek samping obat jika timbul

• Mencegah resistensi

2. Pengawasan

• Pasien berobat jalan :

Bila pasien mampu datang teratur , misal tiap minggu maka paramedis atau
petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO . Bila pasien diperkirakan tidak
mampu datang secara teratur , sebaiknya dilakukan koordinasi dengan
puskesmas setempat.

80
Rumah PMO harus dekat dengan pasien TB untuk penatalaksanaan DOT .

– Beberapa kemungkinan yang dapat menjadi PMO :

• Petugas kesehatan

• Orang lain (kader,tokoh masyarakat)

• Suami/istri/keluarga/orang serumah

• Pasien Dirawat

Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah


petugas rumah sakit .

3. Langkah pelaksanaan DOT

• Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai ,


pasien diberikan penjelasan bahwa harus ada seseorang PMO , dan PMO
tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk mendapatkan penjelasan tentang
DOT .

4. Persyaratan PMO

• PMO bersedia dengan sukarela membantu pasien TB sampai sembuh selama


pengobatan dengan OAT dan menjaga kerahasiaan penderita HIV/AIDS

• PMO diutamakan petugas kesehatan , tetapi dapat juga kader kesehatan ,


anggota keluarga yang disegani pasien .

5. Tugas PMO

• Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik

• Melakukan pengawasan terhadap pasien dalam hal minum obat

• Mengingatkan pasien untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal yang


telah ditentukan

• Memberikan dorongan terhadap pasien untuk berobat secara teratur hingga


selesai

• Mengenali efek samping ringan obat dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat

81
• Merujuk pasien bila efek samping semakin berat

• Melakukan kunjungan rumah

• Menganjurkan anggota keluarga untuk memeriksa dahak bila ditemui gejala


TB

1. TIPE PASIEN

82
2. KATEGORI PENGOBATAN TB

NB : perhitungan dosis obat berdasarkan berat badan pasien sebelum pengobatan dimulai.

3. KEMASAN OBAT
a. Obat Program Nasional
a. Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
b. Kombipak
b. Obat yang diresepkan
a. Obat lepas/obat tunggal : obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.
b. Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

83
Kombinasi Dosis Tetap (KDT)

Terdiri dari :

- 2 obat (INH, rifampisin)


- 3 obat (INH, rifampisin, pirazinamid)
- 4 obat (INH, rifampisin, pirazinamid, etambutol)

Alasan penggunaan :

Pasien meminum lebih sedikit obat yang meningkatkan kepatuhan dan


mencegah pasien memilih obat sehingga mengurangi risiko berkembangnya resistensi.

4. OAT LINI PERTAMA

Untuk frekuensi 3x seminggu, dosis yang direkomendasikan mg/kgBB/kali (intermitten) :

H : 10 R : 10 Z : 35 S : 15 E : 30

SIFAT OAT LINI PERTAMA

Isoniazid

- Bakterisid baik intrasel maupun ekstrasel


- Cara kerja : inhibisi asam mikolik
- Obat lini pertama untuk mengobati baik TB paru maupun TB ekstra paru
- Diresepkan pada fase intensif dan fase lanjutan
- Efek samping utama : neuropati perifer, hepatitis, ruam kulit, nyeri sendi

Rifampisin

- Bakterisid yang beraksi baik di intrasel maupun ekstrasel


- Cara kerja : inhibisi mRNA polymerase
- Merupakan OAT utama
- Bersifat sterilisasi

84
- Beraksi melawan kuman di semua populasi (kecuali dorman)
- Diberikan pada fase intensif dan fase lanjutan
- Efek samping : sakit kepala, pusing, mual dan muntah, kram pada perut, hepatitis, ruam
kulit dan gejala-gejala seperti flu, efek hematologik

Pirazinamid

- Efek bakterisid lemah


- Bekerja hanya pada lingkungan asam (tahap inflamasi akut), intrasel
- Digunakan hanya pada fase intensif
- Dikombinasikan dengan obat lain
- Efek samping : gout, artritis, hepatitis
- Kontraindikasi : penyakit hati akut (dengan ikterik)

Etambutol

- Bekerja baik intrasel maupun ekstrasel


- Mencegah atau menunda terjadi perkembangan strain yang resisten
- Bersifat bakteriostatik
- Digunakan pada fase intensif
- Digunakan pada fase lanjutan untuk pasien pengobatan ulang dan pasien dengan
resistensi obat
- Efek samping utama : neuritis retrobulbar, buta warna
- Kontraindikasi : tidak digunakan pada anak dibawah 8 tahun

Streptomisin :

- Antibiotik aminoglikosida spektrum luas


- Cara kerja : menghambat sintesis protein
- Aktif melawan kelompok kuman ekstrasel
- Digunakan untuk pengobatan ulang (kategori II)
- Diberikan dengan suntikan intramuskular
- Waspada : nefrotoksisitas dan ototoksisitas pada usia lanjut atau pasien dengan
insufisiensi renal, risiko meningkat pada penggunaan bersamaan dengan diuretik
- Punya efek menghambat neuromuskular
- Kontraindikasi : kehamilan

85
5. EFEK SAMPING

86
Ruam

- Semua OAT lini pertama dapat menyebabkan ruam


- Jika OAT hanya menyebabkan gatal-gatal ringan :
o Resepkan anti histamin
o Lanjutkan pengobatan TB
- Ruam petechie mengarah ke trombositopenia :
o Periksa trombosit. Jika kadar trombosit rendah, asumsikan terjadi
hipersensitivitas terhadap rifampisin dan hentikan rifampisin.
- Ruam eritematous menyeluruh :
o Segera hentikan semua OAT
o Ketika ruam secara signifikan sudah membaik, mulai re-challege :
 Mulai OAT satu demi satu setiap 2-3 hari
 Mulai dengan rifampisin yang merupakan salah satu obat paling penting dan
paling kecil kemungkinan menyebabkan ruam. Berikutnya INH lalu
etambutol, kemudian pirazinamid.
 Jika ruam muncul kembali, obat yang terakhir ditambahkan (pirazinamid)
paling besar kemungkinannya sebagai penyebab timbulnya ruam dan harus
dihentikan pemberiannya.

Intoleransi gastro intestinal (GI)

- Gejala-gejala GI meliputi mual, muntah, nafsu makan yang menurun, nyeri abdomen
o Umum, bisa terjadi hanya sementara, disebabkan oleh banyak OAT, terutama
pada beberapa minggu pertama
- Gangguan GI biasanya dapat diatasi dengan perubahan jadwal minum obat dan terapi
simtomatik (H2 blockers, proton pump inhibitors, anti emetik atau motility agents)
o Pertama, singkirkan hepatitis (lihat nilai enzim transaminase yaitu SGOT dan
SGPT)
o Jika tidak ada hepatitis, pertimbangkan :
 Merubah jam minum obat
 Meminum obat dengan makanan

Hepatitis imbas obat

- Karena hepatitis imbas obat merupakan efek samping berat yang paling umum terjadi
- Dapat disebabkan oleh INH, rifampisin dan pirazinamid
- Kriteria hepatitis imbas obat :
o Tanpa gejala : peningkatan enzim transaminase 5 kali batas atas nilai normal
o Dengan gejala : peningkatan enzim transaminase 3 kali batas atas nilai normal

87
o Ikterik
- Kolestasis (peningkatan bilirubin dan alkalin fosfatase) dikaitkan dengan rifampisin
Kolestasis adalah kondisi terhambatnya pembentukan atau aliran cairan empedu
yang secara klinis dapat ditandai dengan fatigue, pruritus, dan ikterus.
- Tatalaksana hepatitis imbas obat :
o Tunda semua pengobatan dan pantau enzim transaminase
o Pengobatan TB dimulai kembali secara bertahap

Tuli (bukan disebabkan oleh kotoran), pusing (vertigo dan nistagmus)

- Disebabkan oleh streptomisin


- Hentikan streptomisin

Gangguan penglihatan

- Disebabkan oleh etambutol


- Hentikan etambutol

Rasa terbakar, kebas atau kesemutan pada tangan atau kaki (neuropati perifer)

- Disebabkan oleh INH


- Tatalaksana :
o Piridoksin dosis 100-200 mg/hari selama 3 minggu
o Sebagai profilaksis 25-100 mg/hari

Urin berwarna kemerahan atau oranye

- Disebabkan oleh rifampisin


- Yakinkan pasien dan sebaiknya pasien diberi tahu sebelum mulai pengobatan

Nyeri sendi

- Disebabkan oleh pirazinamid


- Tatalaksana :
o Aspirin atau NSAID atau parasetamol

88
6. INTERAKSI OBAT

OAT dapat mengubah konsentrasi obat lain :

- INH meningkatkan konsentrasi fenitoin menjadi toksik


- Rifampisin dapat mengurangi efek obat diabetes oral, kontrasepsi hormon, digoksin,
antikoagulan oral, fenobarbiton, dan ARV (anti retro viral)
- Streptomisin meningkatkan efek neuromuscular blocking yang digunakan saat
anestesi, penggunaan furosemid dan obat-obat nefrotoksik lainnya secara
bersamaan tidak dianjurkan.

NB : selalu rujuk pasien yang mendapatkan obat-obatan lain untuk evaluasi klinis dan
penyesuaian dosis.

7. EVALUASI PENGOBATAN

Evaluasi klinis :

- Keluhan (ada tidaknya efek samping obat, ada tidaknya komplikasi penyakit)
- Pemeriksaan fisis
- Berat badan

Evaluasi bakteriologi (px dahak mikroskopik) untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak & evaluasi radiologi (foto toraks) pada :

- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan untuk pasien baru yang mendapatkan kategori I atau setelah 3 bulan
pada pasien pengobatan ulang yang mendapatkan kategori II
- Akhir pengobatan (akhir bulan keenam untuk kategori I atau bulan kedelapan untuk
kategori II)

NB : bila ada fasilitas biakan, dilakukan biakan dan uji kepekaan.

Alasan tidak terjadi konversi dahak (BTA tetap positif) pada akhir fase intensif :

- Pengobatan fase intensif tidak diawasi dengan baik dan kepatuhan pasien tidak baik
- Kualitas OAT yang buruk
- Dosis OAT di bawah standar
- Resolusi lambat karena adanya kavitasi yang luas pada pasien dan jumlah kuman
yang banyak pada awal pengobatan
- Terdapat kondisi komorbid (penyakit penyerta) yang mengganggu baik kepatuhan
maupun respons tubuh terhadap obat

89
- Pasien mungkin memiliki strain M. Tuberculosis yang resisten obat sehingga tidak
memberikan resspons terhadap pengobatan lini pertama
- Walaupun bakteri sudah tidak mampu hidup akan tetap terlihat dengan mikroskop

Evaluasi pasien yang telah sembuh

Evaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh.

Yang dievaluasi :

- Mikroskopis BTA dahak


- Foto toraks (sesuai indikasi/bila ada gejala)

8. PENGOBATAN TB EKSTRA PARU

- Secara umum, TB ekstra paru diobati sama seperti TB paru


- Kategori I untuk kasus baru dan kategori II untuk pengobatan ulang
- Bentuk yang berat dapat diobati dalam kurun waktu yang lebih lama, tergantung
dari lokasinya misal meningitis TB
o Meningitis TB : lama pengobatan 9-12 bulan
o TB tulang : lama pengobatan 9 bulan
o Limfadenitis TB : lama pengobatan minimal 9 bulan
- Keputusan untuk menambah waktu pengobatan hanya boleh diambil oleh dokter
spesialis setelah penilaian klinis

Kortikosteroid dapat bermanfaat sebagai pengobatan tambahan pada beberapa


tipe TB ekstra paru yaitu meningitis TB, perikarditis TB, TB miliar dengan hipoksemia.
Dosis steroid yang direkomendasikan untuk dewasa yaitu prednison 30-60 mg/hari
kemudian dilakukan tapering off sehingga total pemberian sampai dengan beberapa
minggu.

9. PENGOBATAN TB PADA KONDISI KHUSUS

TB pada kehamilan dan menyusui

- Semua OAT lini pertama aman, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik pada fetus
- Jangan berikan OAT lini kedua
- Untuk pertimbangan pemberian profilaksis atau vaksin BCG pada bayi yang dilahirkan
dari ibu TB, sebaiknya konsultasi ke spesialis anak
- Jangan berikan BCG saat kelahiran jika ibu HIV+
- Terapi pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi berdasarkan berat badan

90
- Ibu dan anak tidak perlu dipisahkan, dan bayi tetap dapat terus diberikan ASI, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi
- Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan

TB pada pengguna kontrasepsi hormonal

- Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormon (pil KB, injeksi, dan implan) yang
dapat mengurangi efektivitas alat kontrasepsi ini
- Pasien TB wanita harus menggunakan kontrasepsi non hormon atau kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg)

TB dengan hepatitis akut (hepatitis imbas obat)

- Tatalaksana :
o Bila klinis (+) yaitu ikterik, gejala mual dan muntah, maka OAT stop
o Bila gejala mual dan muntah (+), SGOT-SGPT ≥ 3 kali, maka OAT stop
o Bila gejala klinis (-), tapi :
 Bilirubin > 2, maka OAT stop
 SGOT-SGPT ≥ 5 kali, maka OAT stop
 SGOT-SGPT ≥ 3 kali, maka terukan OAT tapi dengan pengawasan

Pengobatan TB dihentikan menunggu sampai fungsi hepar kembali normal dan


gejala klinik menghilang, maka OAT dapat diberikan kembali.

Apabila tidak dimungkinkan untuk melakukan tes fungsi hepar, maka sebaiknya
menunggu 2 minggu lagi setelah jaundice dan nyeri/tegang perut menghilang sebelum
diberikan OAT kembali.

Apabila hepatitis imbas obat telah teratasi, maka OAT dapat dicoba satu per
satu. Pemberian OAT sebaiknya dimulai dengan rifampisin yang jarang menyebabkan
hepatotoksik dibandingkan INH dan pirazinamid. Setelah 3-7 hari baru INH diberikan.

Pasien dengan riwayat jaundice tetapi dapat menerima rifampisin dan INH,
sebaiknya tidak lagi mendapatkan pirazinamid.

Jika terjadi hepatitis imbas obat pada fase lanjutan dan hepatitis sudah teratasi,
maka OAT dapat diberikan kembali (INH dan rifampisin) untuk menyelesaikan fase
lanjutan selama 4 bulan.

91
TB dengan kelainan hati kronik

- Jika ada kecurigaan kelainan hati sebelum dimulainya terapi TB, maka lakukan tes fungsi
hati (SGOT-SGPT)
- Jika SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali, maka OAT tidak diberikan dan jika terapi
sudah berjalan, maka OAT harus dihentikan
- Jika peningkatan kurang dari 3 kali, terapi dapat diteruskan dengan pengawasan ketat
- Pada pasien dengan kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
- OAT yang dapat direkomendasikan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE
- Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru

Terapi TB pada kelainan ginjal (gagal ginjal)

- INH dan rifampisin mengalami ekskresi di bilier sehingga tidak perlu penyesuaian dosis
- Pirazinamid juga dapat diekskresikan di bilier
- Etambutol mengalami ekskresi di ginjal begitu pula dengan metabolit pirazinamid
sehingga keduanya perlu penyesuaian dosis
- Karena dapat meningkatkan risiko nefrotoksik maka streptomisin sebaiknya
dihindarkan. Apabila streptomisin harus digunakan maka dosis yang dipakai adalah 15
mg/kgBB 2-3 kali seminggu dengan dosis maksimal 1 gram. Sebaiknya kadar obat dalam
darah juga dimonitor.
- Pasangan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2RHZ/4RH
- Pemberian OAT 3 kali seminggu dengan dosis yang disesuaikan
o Dosis etambutol : 25 mg/kgBB
o Dosis etambutol : 15 mg/kgBB
- Rujuk ke dokter spesialis paru

Terapi TB dengan DM

- Diabetes harus dikontrol


- Apabila diabetes tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat dilanjutkan sampai 9
bulan
- Penggunaan rifampisin akan mengurangi efektivitas obat anti diabetik oral seperti
sulfonil urea sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
- Pada pasien dengan DM sering muncul komplikasi retinopati, sehingga harus berhati-
hati dalam pemberian etambutol karena obat tersebut dapat memperburuk kelainan
tersebut
- Penggunaan INH pada pasien TB dengan DM harus lebih ketat dipantau efek neuropati
perifer

92
TB dengan HIV/AIDS

Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang tinggi, pemeriksaan HIV diindikasikan.

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya
diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga berhubungan
dengan HIV dan pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.

Jadi tidak semua pasien TB perlu diuji HIV. Hanya pasien TB tertentu saja yang memerlukan
uji HIV, misalnya:

- Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV


- Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
- MDR TB/TB kronik

Macam obat ARV (anti retro viral) yang tersedia di Indonesia

Ada 3 kelompok besar obat ARV :

1. Nucleoside dan nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NsRTI dan NtRTI)


o Stavudin (D4T), dosis 40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB < 60 kg)
o Zidovudin (ZDV) = AZT (azidothynidine), dosis 300 mg 2x/hari

AZT dan D4T tidak boleh diberikan bersamaan.

2. Non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor’s (NNRTI)


o Efavirenz (EFV), dosis 600 mg 1x/hari
o Nevirapine (NVP), dosis 200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian 200 mg 2x/hari
o Lamivudin (3TC), dosis 150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari

EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kada EFV dalam darah akan menurun bila
ada rifampisin. Dosis standar EFV adalah 600 mg per hari.

Kada NVP juga menurun dengan adanya rifampisin. Namun dianjurkan penggunaan
NVP dengan dosis standar.

EFV dan NVP tidak boleh diberikan secara bersamaan.

3. Protease inhibitors (PI)


o Lopinavir/ritonavir (LPV/r), dosis 400 mg/100 mg 2x/hari

PI,NRTI, NNRTI masing-masing bekerja pada tahapan-tahapan yang berbeda di proses


siklus hidup HIV.

93
Paduan lini pertama adalah suatu kombinasi obat yang digunakan pasien yang belum
pernah mendapatkan ART sebelumnya. Lini pertama : 2 NRTI + 1 NNRTI

4 kombinasi lini pertama :

- AZT-3TC-EFV
- AZT-3TC-NVP
- D4T-3TC-EFV
- D4T-3TC-NVP

10. TB YANG HARUS DIRUJUK


- TB paru dengan komplikasi
o Hemoptisis, berat badan turun drastis
o Pneumotoraks, abses paru
- TB ekstra paru, misal meningitis TB, TB perikardial
- Suspek resistensi obat (Multi-drug resistant)
- Penyakit komorbid berat
o HIV
o Diabetes
o Gagal jantung kongestif
o Asma
o hipertensi
- Reaksi efek samping berat

11. HASIL PENGOBATAN

94
Tatalaksana TB Anak
• Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosa . Pada anak-anak batuk
bukan merupakan gejala utama .

• Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit , maka diagnosa TB anak perlu kriteria lain
yaitu dengan menggunakan sistem skor

• Setelah dokter melakukan anamnesa , pemeriksaan fisik , dan pemeriksaan penunjang


maka dilakukan pembobotan dengan sistem scoring .

• Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 , harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas Laporan BTA (+)


keluarga,BTA
tidak jelas
Uji Tuberkulin negatif Positif (>10
nm,atau > 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat Bawah garis Klinis gizi
badan/keadaan gizi merah (KMS) buruk
atau BB/U (BB/U<60%)
<80%
Demam tanpa >2 minggu
sebab jelas jelas

95
Batuk >3minggu

Pembesaran >1 cm,jumlah


kelenjar limfe koli , >1,tidak nyeri
aksila,inguinal

Pembengkakan Ada
tulang /sendi pembengkakan
panggul,lutut,tulang

Foto toraks Normal/tidak Kesan TB


jelas

• Didiagnosis dengan sistem skoring ditegakan oleh dokter


• Batuk dimasukan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya ,
seperti asma , sinusitis , dll
• Jika dijumpai skrofuloderma ( TB pada kelenjar dan kulit) , pasien dapat langsung
didiagnosis tuberkulosis
• Berat badan dinilai saat pasien
• Semua anak dengan reaksi cepat BCG ( reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan )
harus dievaluasi dengan sistem scoring TB anak
• Anak didiagnosis TB jika jumlah scor > 6 (scor maks 14)
• Pasien usia balita yang mendapat skor 5 , dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
• Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup adekuat . Setelah
pemberian obat 6 bulan , lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang .
• Evaluasi klinis pada TB anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan
pengobatan .
• Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukan perubahan yang berarti , OAT tetap dihentikan

Kategori anak 2HRZ/4HR


Tahap awal (Intensif) : diberikan obat Isoniazid , Rifampisin , pirazinamid selama 2 bulan
setiap hari / Tahap Lanjutan diberikan Isoniazid , Rifampisin selama 4 bulan setiap hari .

• Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan .
• OAT pada anak diberikan setiap hari , baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak .

96
Keterangan :
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet
• Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke RS
• Obat harus diberikan secara utuh , tidak boleh dibelah
• OAT KDT dapat diberiakan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum .
• Pengobatan pencegahan (profilaksis) untuk anak
• Pada semua anak , terutama yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif , perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan
sistem skoring .
• Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor <5 kepada anak tsb
diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg /kg BB/hari selama 6 bulan . Bila
anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan
setelah pengobatan pencegahan selesai .

97
Efek Samping OAT :

98
MDR (Multi Drug Resistant)
TB resisten OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat
dari pengobatan yang TIDAK adekuat.
Resistensi ganda adalah M. Tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan
INH dengan atau tanpa OAT lainnya.
Mono resisten : kuman resisten terhadap satu OAT lini pertama, paling sering mono
resisten terhadap INH. Mono resisten terhadap rifampisin dapat terjadi tetapi jarang, bila
terjadi seringnya pada pasien dengan HIV/AIDS.
Poli resisten : kuman resisten terhadap lebih dari satu OAT tetapi bukan kombinasi INH
dan rifampisin.
TB MDR ( TB Multi Drug Resistant) : kuman resisten setidaknya terhadap INH dan
rifampisin (2 OAT yang paling efektif). Pasien TB MDR membutuhkan pengobatan dengan
rejimen yang mengandung OAT lini kedua.
TB XDR (TB Extensively Drug Resistant) : TB MDR disertai resistensi terhadap OAT lini
kedua yang efektif yaitu fluorokuinolon dan setidaknya 1 dari 3 obat suntik (amikasin,
kanamisin, kapreomisin). Untuk TB XDR umumnya sudah resisten terhadap OAT lini pertama
(RHES).
Resistensi obat primer, terjadi pada TB kasus baru : terjadi pada pasien yang tidak
pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya atau pernah dengan waktu pengobatan
kurang dari 1 bulan. Resistensi obat yang terjadi akibat terinfeksi strain kuman yang resisten
dari sumber kasus resistensi obat.
Resistensi obat sekunder (didapat), terjadi pada kasus TB dengan riwayat pengobatan
TB sebelumnya : resistensi obat yang terjadi pada pasien yang telah mempunya riwayat
pengobatan OAT lebih dari 1 bulan.
Faktor penyebab :
- Pasien tidak patuh
- Malabsorpsi obat
- Timbulnya reaksi efek samping
- Kurangnya informasi untuk pasien, sarana transportasi atau uang
- Hambatan sosial untuk kepatuhan pengobatan
- Gangguan akibat ketergantungan NAPZA
- Paduan atau rejimen pengobatan fase intensif yang tidak adekuat (rejimen atau dosis
atau keduanya), tidak sesuai pedoman
- Luput mendeteksi riwayat pengobatan
- Tidak menyadari terdapatnya resistensi obat
- Tidak melakukan uji kepekaan atau hasinya tertunda
- Pengobatan yang tidak berdasar pada kasus pengobatan ulang karena tidak melakukan
uji kepekaan atau hasil tertunda atau tidak dapat mengidentifikasi pola resistensi obat

99
- Akses yang tidak konsisten terhadap pelayanan
- Obat habis atau gangguan pada distribusi
- Kualitas OAT buruk, kondisi penyimpanan obat buruk
- Program penanggulangan TB yang lemah
- Pedoman tatalaksana yang tidak tepat atau bahkan tidak ada
- Ketiadaan fasilitas pemeriksaan laboratorium atau kualitas layanan laboratorium yang
buruk
Identifikasi faktor risiko :
- Riwayat pengobatan sebelumnya
- Jika terdapat riwayat pengobatan sebelumnya perlu dipastikan tempat asal pengobatan
- Riwayat ketidakpatuhan
- Warga daerah endemik TB MDR
- Kontak erat dengan kasus TB MDR atau kasus yang sangat dicurigai TB MDR (TB tidak
sembuh-sembuh atau TB yang membutuhkan pengobatan berkali-kali)
- Infeksi HIV
Identifikasi dini :
- Keluhan (batuk) yang tidak membaik dengan pengobatan (seharusnya 2 minggu
pengobatan adekuat, gejala batuk berkurang)
- Jumlah kuman yang tetap banyak, ditandai dengan tidak konversinya sputum BTA,
disertai klinis yang belum membaik seperti batuk menetap atau berulang, demam
berkepanjangan, keringat malam dan BB tidak naik
Pasien suspek TB MDR :
- Pasien yang gagal pengobatan kategori II
- Pasien yang gagal pengobatan kategori I
- Pasien yang tidak konversi setelah 3 bulan terapi pada tahap intensif pengobatan
kategori II
- Pasieng dengan riwayat pengobatan yang tidak konsisten dengan pengobatan standar
terutama yang memiliki riwayat penggunaan OAT lini kedua
- Pasien TB kambuh
- Pasien TB pengobatan ulang dengan BTA positif dengan riwayat putus obat
- Pasien TB yang tidak konversi setelah 2 bulan terapi pada tahap intensif pengobatan
kategori I
- Individu atau tenaga kesehatan yang memiliki gejala TB dan mempunyai kontak erat
dengan pasien TB MDR

Uji kepekaan obat, harus dilakukan jika :


- Terdapat faktor risiko untuk TB MDR
- Ada bukti kegagalan pengobatan

100
Hasil laboratorium untuk :
- Memastikan diagnosis TB resistensi obat
- Acuan pilihan obat/rejimen pengobatan sebelumnya
Rujuk pasien suspek TB MDR, jangan mencoba mengobati!

Tatalaksana TB MDR :
Rejimen pengobatan berdasarkan :
- Ketersediaan OAT lini kedua
- Pola resistensi pada daerah/wilayah dan riwayat penggunaan OAT lini kedua pada
individu
- Uji kepekaan obat untuk OAT lini pertama dan kedua

Strategi pengobatan :
Pengobatan standar
Digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji
kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien
yang dicurigai TB MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
Regimen standar TB MDR di indonesia :
6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Z = pirazinamid, E = etambutol, Kn = kanamisin, Lfx = levofloksasin, Eto = etionamid,
Cs = sikloserin
NB : Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.
Pengobatan empiris
Setiap regimen pengobatandibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien
sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan
disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
Pengobatan individual
Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji
kepekaan.
Pencegahan TB MDR :
- Pasien TB paru BTA positif kasus baru harus sembuh pada pengobatan pertama kali
- Kasus pengobatan ulang menyelesaikan pengobatannya dan sembuh
- Kepatuhan pengobatan yang baik selama fase intensif dan fase lanjutan
- Persediaan OAT tidak terhenti
- Pengobatan TB disediakan secara gratis jika memungkinkan
- PMO untuk semua pasien

101
H. Pneumonia
Definisi:
inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll).

Etiologi:
pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroorganisme, harus dibedakan penyebabnya,
apakah virus atau bakteri.pneumonia seringkali dipercaya diawalai oleh infeksi virus yang
kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak seringkali sulit
dibedakan pneumonia viral dengan pneumonia bakteri. Demikian pula pada pemeriksaan
radiologis dan lab juga tidak menunjukan perbedaan yang spesifik. Namun sebagai pedoman
dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk progresif, pasien tampak
toksis, leukositosis, dan perubahan pada pemeriksaan radiologis.

Secara umum mikroorganisme yang berperanpentingdalam terjadinya pneumonia adalah


streptococcus pneumoniae,haemophilus influenzae, staphylococcus aureus, streptococus grub
B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. Meski pada pneumonia viral penderita dapat
ditatalaksana tanpa antibiotik, namun tetap diberikan antibiotik untuk mencegah komplikasi
infeksi bakteri.

Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pada
pneumonia anak dan balita pada negara berkembang. Diantara lain: pneumonia pada masa
bayi, BBLR, tidak mendapat imuniasasi, tidak mendapat asi yang adekuat, malnutrisi,
tingginyapajanan atau polusi udara (polusi industri atau asap rokok)

Patologi dan patogenesis:

Umumnya mikroorganisme penyebab pneumonia terhisap keparu bagian perifer melalui


saluran respiratori. Mula-mula terjadi edema akibat reaksi inflamasi, yang mempermudah
ploriferasi dan penyebaranan kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian paru yang terkena
mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin, eritrosit cairan edema dan
ditemukannya kuman di alveoli. stadium ini disebut hepatisasi kelabu (gray hepatisation).
Selanjutnya jumlah makrofag meningkat di aleolus, sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, kuman dan debrismenghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. Sistem
bronkopulmoner jaringan paru yang tidak terkena akan tetap normal
Etiologi pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia

Usia Etiologi yang tersering Etiologi yang jarang


BAKTERI BAKTERI
e.colli Bakteri anaerob

102
Streptococcus grub B Streptococcus grub D
Listeria monocytogenes Haemophylus influenzae
Lahir- 20 hari Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus sitomegalo
Virus herpes simpleks
BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus Influenzae
grub B
3 minggu – 3 bulan VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenzae Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenzae 1, 2, 3 VIRUS
Respiratory syncytial virus Virus sitomegalo
BAKTERI BAKTERI
Chamidia pneumoniae Haemophyllus Influenzae
tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
4 bulan – 5 tahun Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Rhino
Respiratory Syncytial virus
BAKTERI BAKTERI
Chlamidia pneumoniae Staphylococcus influenzae
5 tahun – remaja Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae

Epidemiologi:

Pneumonia banyak terjadi pada anak dan neonatus, pada remaja atau dewasa biasanya terjadi
pada perokok. Usia lanjut juga rentan terjadi pneumonia karena terjadinya penurunan fungsi
tubuh. Pada penderita PPOK juga rentan terjadinya pneumonia.

103
Manifestasi klinis:

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia dapat dibagi menjadi dua:

Gejala infeksi umum:

 Demam > 40:C


 Batuk berdahak mukoid/purulen
 Sesak nafas
 Nyeri dada

Gejala spesifik pada saluran respiratori:

 Sakit tenggorokan (streptococcus grub A, mikoplasma)


 Koriza (batuk pilek, pada virus tidak terdapat sputum)
 Nyeri pleuritik/ nyeri tusuk (pneumokokus)
 Gejala yang timbul tiba-tiba langsung berat (streptococcus pneumonia, haemophilus
influenzae, staphylococcuc aureus)

Klasifikasi

Berdasarkan klinis dan epidemiologis:

 Pneumonia komuniti = merupakan pneumonia yang didapat dari masyarakat atau


disuatu komunitas (pedesaan, komplek dll) biasanya infeksi yang disebabkan oleh
Streptococcus pneumonia, Staphylococcus aureus dll. Sekret biasanya purulen dan
ronkhi (+)
 Pneumonia nosokomial = pneumonia yang terjadi setelah pasien dirawat minimal 48
jam di RS, atau karena pemasangan ETT serta tindakan invasif lainnya
 Pneumonia aspirasi= pneumonia yang disebabkan oleh terhirupnya benda padat atau
cair, bahan kimia, tenggelam
 Pneumonia immunocompromised = pneumonia pada pendrita HIV atau keganasanyang
menyebabkan turunnya imunitas tubuh sehingga mudah terinfeksi

Berdasarkan penyebab:

 Pneumonia bakterial (tipikal) = biasanya disebabkan oleh streptococcus pneumoniae,


terdapat demam tinggi diatas 40:C, menggigil, batuk dan dahak kental, kadang berdarah
atau pus. Ekspansi dada akan tertinggal pada daerah yang terkena karena terdapat edusi
pleura, bisa juga emphyema, didapatkan suara redup pada perkusi dan terdapat
leukositosis.

104
 Pneumonia virus = biasanya disebabkan olehvirus Influenza dan adenovirus, leukosit
normal atau bisa menurun, batuk tidak berdahak
 Pneumonia atipikal = disebabkan oleh non-bakteri (mycoplasma pneumoniae, clamidia
pneumoniae dll). Biasanya demam berkisar antara 38-40:c disertai batik non produktif,
sesak nafas, malaise, mialgia dan nyeri karena gesekan pada pleura

Berdasarkan predileksi infeksi

 Pneumonia lobaris = sering pada pneumonia bakterial dan terjadi pada lobus atau
segmen, kemungkinan sekunder karena PPOK. Terdapat 6 fase patologis yaitu Red
hepatisation (hemoragic atau peradangan disertai peradangan. Hari 1-2), Grey
hepatisation (fibrin exudat atau peradangan fibrin. Hari 2-4), yellow hepatisation (abses
atau peradangan dengan disertai nanah. Hari 5-6), lyse (fase resorpsi atau penyerapan.
Hari 9-10), restitutio ad integrum. Disebut hepatisation karena jaringan paru
menyerupai jaringan organ hati dalam histologinya.
 Bronkopneumonia = ditandai dengan adanya bercak infiltrat pada lapang paru dan
dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, sering terjadi pada bayi
 Pneumonia intersitial = lokasi inflamasi pada jaringanintersitial. Penyebabnya
kebanyakan virus. Mempunyai khas histologi infiltrat limfosit

Diagnosis

Dari anamnesa yaitu adanya gejala klinis, serta pemeriksaan fisik seperti:
inspeksi = terlihat tertinggal di bagian yang sakit
palpasi = fremitus dapat meningkat
perkusi = redup
auskultasi = berdengar suara bronkovesikuler sampai bronkial dan terdapat ronkhi basah halus
maupun kasar.

Dari pemeriksaan penunjang dapat menggunakan pemeriksaan radiologis, bisa terdapat


infiltrat, gambaran kavitas, infiltrat bilateral dll sesuai mikroorganisme yang menyerang. Dari
pemeriksaan darah bisa terdapat leukositosis bila terinfeksi oleh bakteri, LED meningkat, dan
AGD menunjukan asidosis respiratorik karena hipoksemia.

Penatalaksanaan

Terapi supportif

 Terapi O2
 Humidifikasi dengan nebulizer
 Kortikosteroid pada fase sepsis berat

105
 Ventilasi mekanis
 Drainase empiema bilaada
 Bila gagal nafas diberi nutrisi yang cukup kalori terutama lemak

Terapi farmakologis

Bakteri
 Antibiotik spektrum luas, setelah didapatkan bakteri spesifik dari hasil kultur diubah
menjadi antibiotik spesifik untuk bakteri penyebab
 Terapi antibiotik diberikan 7-10 hari
 Antibiotik yang biasa digunakan adalah eritromisin, fluorokuinolon, doksisiklin,
azirtromisin dll
 Untuk pneumonia nosokomial diberikan sefalosporin generasi 3 dan 4, karbapenen,
fluorokuinolon, aminoglikosida dan vankomisin

virus
 Antiviral sesuai virus penyebab, contoh pada influenza diberikan amantadin, rimantadin,
oseltamivir

Jamur
 Anti jamur seuai penyebab

Pencegahan

 Vaksinasi influenza dan pneumokokus pada orang dengan resiko tinggi seperti pasien
gangguan imun, PPOK, penyakit hati, diabetes dan pasien usia lanjut
 Berhenti merokok

106
CASE 3
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease)

PENULIS :
1. An’umillah Arini Zidna (111 0211 123)
2. Mianda Utami (111 0211 179)
3. Ikhsan Naufal Gunadi (111 0211 063)
4. Ramadhani Eka Saraswati (111 0211 133)
5. Barbie Nurdila (111 0211 091)
6. Illina Dewi Nur (111 0211 055)

A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Chronic Obstructive Pulmonary Disease
E. Bronkiektasis
F. Emfisema
G. Bronkitis Kronik

107
A. Tutorial Case
Case 3
Respiratory System
Page 1
Tn. B (60 tahun) datang ke poliklinik umum dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari yang lalu.
Sesak napas semakin berat saat pasien melakukan aktifitas, kadang-kadang sampai membuat pasien
tidak bisa berjalan. Keluhan lain yang dirasakan yaitu demam, batuk berdahak dan beliau merasa mudah
lelah dan tidak ada asupan makan. Dada berdebar-debar, mual, muntah, bengkak pada kedua kakii,
disangkal.
Dari anamnesa selanjutnya, Tn. B adalah seorang perokok sejak berusia 14 tahun. Dalam sehari
bisa menghabiskan 15-20 batang rokok. Pasien menyangkal mempunyai riwayat penyakit kencing manis
dan tekanan tinggi. Dia mengatakan belum pernah merasakan keluhan ini sebelumnya. Riwayat keluarga
untuk penyakit serupa disangkal.

108
B. Overview Case
Tn. B, (6 tahun)
Datang ke poliklinik
KU: sesak napas sejak 4 hari yang lalu

RPS : RPK
 Sesak semakin berat saat melakukan  Riawayat keluarga untuk
aktifitas keluhan serupa disangkal
 Kadang-kadang sempat membuat pasien  Kencing manis (-)
tdk bisa jalan  hipertensi (-)
 Ada demam, natuk berdahak, mudah lelah,
dan tdk nafsu makan.
 (-) dada berdebar-debar, mual, muntah, RpSOS
bengkak pada kedua kaki  Perokok sejak umur 14 tahun
RPD  Sehari 15-20 batang rokok perhari
 Belum pernah mengalami keluhan seperti
ini sebelumnya

HIPOTESIS
Congestive Heart Failure (CHF) Cor Pulmonale Pneumonia
Pneumothorax Spontan Primer COPD Bronchiectasis

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik Pemeriksaan penunjang


 KU : tampak sesak dan  Thorax  Darah rutin
lemah, kesadaran kompos mentis o Paru o Hb : 14,5 g/dl
 BB : 48 kg TB : 172 cm Berrel chest, simetris o Ht : 5.7%
 TD : 110/70 mmHg dalam keadaan statis dan o Leukosit : 10.800/mm3
 Nadi : 109×/mnt dinamis, vocal fremitus o Trombosit : 130.000/mm3
 Temperature : 38◦C melemah-sela iga o GDS : 68 mg/dL
 F. Nafas : 26×/mnt melebar, hipersonor  Rontgen thorax PA: tampak
 EENT : purse-lipped pada lapang paru, suara corakan bronkovesikuler
breathing (+) konjungtiva anemis napas dasar vesikuler marking berkurang dan
dan sclera ikteri (-/-) melemah, ekspirasi hiperairasi, sela iga melebar-
 JVP : 5 + 1 cmH2O memanjang, ronkhi +/+ diafragma letak rendah.
 Throax, Jantung : ictus cordis tdk  Abdomen : tampak simetris, Jantung menggantung seperti
tampak dan tdk kuat angkat, batas hepar tdk teraba, tdk nyeri pendulum (teardrops)
jantung normal, BJ 1 dan 2 murn tekan, tdk ada asites  Spirometri : FEV1/FVC109 : 65 %

reguler  Ekstremitas : edema (-)


Analisa Gas Darah:

 pH : 7,35
 PaCO2 : 35 mmHg
 PaO2 : 85 mmHg
 HCO3- : 22 mEq/L
 SaO2 : 95%
 BE : -2 mEq/L

DIAGNOSA

COPD stage II (PPOK Derajat II/moderate)

C. Interpretasi Kasus

KU: dyspnea sejak 4 hari yang lalu, memburuk saat beraktivitas kadang sampai pasien tidak
bisa berjalan.

Keluhan dyspnea, curiga ada gangguan pada paru/jantung


Keluhan muncul, 4 hari yang lalu, sifatnya akut atau acute on chronic.
Memburuk saat beraktivitas, kadang sampai tidak bisa berjalan menandakan dyspnea
bersifat progresif.

KT: demam → curiga ada infeksi, batuk berdahak, mudah lelah, tidak nafsu makan

RPS: ≠ takikardia, ≠ mual, ≠ muntah, ≠ edema tungkai → dapat melemahkan keterlibatan


jantung

RPD: ≠ DM, ≠ hipertensi → bukan merupakan komplikasi dari kedua penyakit tersebut

RPK: ≠ keluhan serupa

Riwayat kebiasaan: merokok sejak usia 14 tahun, 15-20 batang/hari → derajat merokok
menurut Index Brinkman: 20 x 46 = 920 → perokok berat

HIPOTESIS:

a. Congestive Heart Failure (CHF) ec adanya dyspnea dan mudah lelah


b. Cor pulmonale ec adanya dyspnea dan mudah lelah
c. Pneumonia ec adanya dyspnea, demam, dan batuk berdahak
d. Pneumothorax primer spontan ec adanya keluhan dyspnea, disertai faktor resiko
merokok

110
e. PPOK ec adanya dyspnea yang progresif, dyspnea d’effort, batuk berdahak, dan
merokok sebagai faktor resiko
f. Bronkhiektasis ec adanya dyspnea dan batuk berdahak

PEMERIKSAAN FISIK:

o KU: tampak sesak dan lemah → pasien dapat langsung diberikan terapi oksigen untuk
mengatasi sesak sambil mencari tahu underlying disease-nya.
o Kesadaran: CM → sesak napas yang terjadi belum sampai mempengaruhi tingkat
kasadaran pasien
o TB: 172 cm, BB: 48 kg → BMI: 16,2 → underweight
o BP: 110/70 mmHg
o Suhu: 38°C → subfebril
o Nadi: 109x/menit (↑)→ diduga berhubungan dengan sedikit naiknya suhu tubuh
o RR: 26x/menit (↑)
o Pursed-lips breathing → memperkuat hipotesis PPOK dan bronkhiektasis ec pada
keduanya terjadi obstruksi saluran napas sehingga terjadi retensi CO2 dan pursed-lips
brething terjadi sebagai kompensasinya
o JVP: 5+1 cmH2O (N) → dapat mencoret hipotesis cor pulmonale dan CHF ec terjadi
distensi vena jugular pada temuan fisiknya
o Thorax:
 Barrel chest → ↑ diameter anterior-posterior dinding dada, ↑ kapasitas paru, ↑
jarak sela iga, paling sering berhubungan dengan emfisema → mendukung
hipotesis PPOK
 Simetris dalam keadaan statis dan dinamis → saat bernapas kedua dinding dada
bergerak bersamaan → tidak ada ganggguan anatomis → dapat mencoret
hipotesis Pneumonia dan PNeumothorax ec pada keduanya terdapat gangguan
pengembangan dinding dada sehingga ada dinding dada yang tertinggal saat
bernapas
 Vocal femitus melemah → terjadi karena transmisi suara ke dinding dada
terhalang. Terjadi pada pneumothorax, efusi pleura, fibrosis pleura dan PPOK →
mendukung hipotesis PPOK
 Sela iga melebar ec barrel chest → mendukung hipotesis PPOK
 Hipersonor pada lapang paru → akumulasi udara dalam paru → hiperaerasi
(emfisema) → mendukung hipotesis PPOK
 Suara napas dasar dan vesicular melemah → menandakan adanya obstruksi jalan
napas → mendukung hipotesis PPOK
 Ekspirasi memanjang → adanya obstruksi jalan napas, sebagai mekanisme untuk
mengeluarkan retensi CO2 → mendukung hipotesis PPOK

111
 Ronkhi +/+ → menandakan adanya cairan di saluran napas → mendukung
hipotesis PPOK
o Jantung: dbn → dapat mencoret CHF dan cor pulmonale
o Abdomen: dbn → mencoret CHF dan cor pulmonale
o Ekstremitas: dbn → mencoret CHF dan cor pulmonale

PEMERIKSAAN PENUNJANG:

o Darah:
 WBC: 10.800/mm3 (N: 4000-11000) → dapat mencoret hipotesis Pneumonia
 Hematokrit: 57% (N pada pria: 41-50%) → diduga terjadi ↑ eritrosit ec hipoksia
 Hb: 14,5 g/dl (N)
 Trombosit: 130.000/mm3 (N: 150.000-400.000/mm3) → trombositopenia
 GDS: 68 mg/dl (N: 70-140 mg/dl)
 Rontgen thorax: tampak corakan bronkovesikular marking berkurang, hiperaerasi,
sela iga melebar, letak diafragma rendah, jantung menggantung seperti pendulum
→ gambaran khas untuk emfisema → mendukung hipotesis PPOK → mencoret
hipotesis pneumonia, bronkhiektasis, pneumothorax, CHF, dan cor pulmonale
 Spirometri: FEV1/FVC= 65% → menurun → menunjukkan adanya obstruksi (N: >
80%) → mendukung hipotesis PPOK
 AGD:
 pH: 7,35 (N: 7,35-7,45)
 PaCO2: 35 mmHg (N: 35-45 mmHg)
 PaO2: 85 mmHg (N: 80-100 mmHg)
 HCO3-: 22 mEq/l (N: 22-25 mEq/l)
 Saturasi O2: 95% (N: 94-100%)
 Base excess: -2 mEq/l (N: -2 sampai +2)

DBN, namun berada pada batas bawah, belum terjadi asidosis respiratorik

DIAGNOSIS: PPOK derajat II (moderate)

112
Patofisiologi Kasus

Faktor resiko lingkungan : Asap rokok


Pajanan lingkungan
Polusi Udara

Bersifat oksidan Reaksi inflamasi iritasi bronkus

Terbentuknya Reactive Rekruitmen sel-sel inflamasi Refleks batuk (+)


Oksigen Species (ROS) e.g. makrofag, neutrophil, CD8+ Hipersekresi mukus

Batuk berdahak kronik


Inaktivasi Mensekresi proteinase bersifat sitotoksik sitokin proinflamasi
Proteinase e.c. neutrophil elastase,
Inhibitor metaloproteinase TNFα IL-1

Hyperplasia sel goblet, hipertrofi Demam


degradasi matrix extraceluller, kelenjar mucosa, ↑ rasio sekresi
serat elastin mucus dan sel serosa

Hipersekresi mucosa Ronkhi


di bronkiolus respiratorik, mengasilkan mediator ↓ recoil paru
ductus alveoli, saccus alveoli, kimiawi yg kemotaktik menyumbat jalan napas
dan alveoli
infiltrate sel inflamasi >> ↑ Retensi saluran napas
Sekat-intra-alveolar rusak

Alveolar bergabung Area Difusi <<

114
Area Difusi << ↓ recoil paru ↑ Retensi saluran napas

Hipoksia ↑RR Hiperkapnea*

Diperlukan tekanan intratorakal >>


Vasokontriksi Merangsanng ginjal untuk ekspirasi
Pulmonal u/ sekresi eritropietin ↑ kerja bernapas
Udara sulit keluar
Hipertensi ↑ Eritripoiesis krn saluran napas menyempit dypsneu RR↑
Pulmonal
Polisitemia air-trapping ↓ FEV1 / FVC
Gagal jantung
Kanan ↑ Ht
Hiperlusen, barrel chest sela iga melebar hipersonor
Hiperaerasi
Hiperkapnea*

Kompensasi u/ mengeluarkan CO2

Purse-lipped breathing Ekspirasi memangjang

115
D. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / COPD (Chronic Obstructive
Pulmonary Disease)
Definisi

PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara
napas yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik di saluran
napas dan paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya.

Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi
saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi
pada setiap induvidu.

Definisi Lainnya

Penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepernuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas beracun/berbahaya

Dahulu PPOK terdiri dari :

1. Asma

2. Bronkitis kronis

3. Emfisema

4. Bronkiektasis

Sekarang terdiri dari :

1. Emfisema

2. Bronkitis kronis

116
Hubungan antara etiologi COPD

Epidemiologi

 Prevalens PPOK di Amerika dan Eropa tahnun 2000 berkisar 5 - 9% pada individu usia >
45 tahun

 Prevalensi PPOK Indonesia dari 12 negara Asia Tenggara sebesar 5,6% (Regional COPD
working Group, 2003)

 Usia > 40 tahun

 Laki : perempuan  3 : 1

 Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk.(2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan
Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia
termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun.

 Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109
penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.

 Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa
sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan
yang merokok.

117
 Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah,
ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar
anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.

Faktor risiko

1. Merokok: penyebab hingga 85 - 90% dari semua penderita PPOK. Perlu diperhatikan:

a. Riwayat merokok

 Perokok aktif

 Perokok pasif

 Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan (x) lama merokok dalam tahun :

 Ringan : 0-200

 Sedang : 200-600

 Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja (20 - 30%)

3. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

4. Genetik: defisiensi antitripsin alfa-1. Antitripsin adalah suatu inhibitor protease serin
yang paling banyak dalam tubuh.

5. Stress oksidatif: terjadi ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan

6. Sosial ekonomi

118
Patofisiologi

Patofisiologi

Diagnosis

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri dapat menentukan diagnosis PPOK
sesuai derajat penyakit.

ANAMNESIS

Gejala utama PPOK adalah sesak napas, batuk kronis atau produksi dahak dan riwayat terpapar
dengan faktor resiko terutama merokok.

- Dyspnea: progresif, makin memburuk saat excercise, persisten (menetap).

- Batuk kronik: hilang timbul dengan atau tanpa dahak

- Produksi dahak kronik

- Riwayat terpajan faktor resiko: rokok, polusi, bahan kimia

- Riwawat PPOK di keluarga

119
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara. (PDPI 2011,
GOLD 2011)

Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas
sesuai skala sesak menurut Modified Medical Research Council (mMRC) (GOLD 2011)

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas


1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat
2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik tangga
3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak
4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit
5 Sesak bila mandi atau berpakaian

PEMERIKSAAN FISIK

- Inspeksi: pursed lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), barrel chest,
penggunaan dan hipertrofi otot-otot napas tambahan, pelebaran sela iga, dan bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai

- Palpasi: fremitus taktil melemah

- Perkusi: hipersonor

- Auskultasi: suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronkhi,
dan mengi (PDPI, 2011)

Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh
penyempitan saluran napas kecil dan destruksi alveoli.

 Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed-lips breathing.

 Blue bloater

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronkhi basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

120
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). Obtruksi jika:
% VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %

b. Radiologi (foto toraks): untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya

- Pada emfisema terlihat gambaran : hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal


melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum / tear
drop / eye drop appearance)

- Pada bronkitis kronik : Normal atau corakan bronkovaskuler bertambah pada 21


% kasus

c. Laboratorium darah rutin: Hb, Ht, leukosit

d. Analisa gas darah

e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2011)

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
PPOK, yaitu (GOLD 2013)

GOLD 2013
Gejala Klinis Faal Paru
Stage
GOLD 1: Gejala batuk kronik dan produksi VEP1 ≥ 80% prediksi
PPOK Ringan sputum ada tetapi tidak sering, pasien VEP1 / KVP < 70%
sering tidak menyadari bahwa faal
paru mulai menurun.
GOLD 2: Gejala sesak mulai dirasakan saat 50% < VEP1< 80% prediksi
PPOK Sedang aktivitas, kadang ditemukan gejala VEP1 / KVP < 70%
batuk + produksi sputum, pasien
mulai memeriksakan kesehatannya.
GOLD 3 : Gejala sesak lebih berat, penurunan 30% < VEP1< 50% prediksi
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah, eksaserbasi makin VEP1 / KVP < 70%
sering, berdampak pada kualitas
hidup pasien.
GOLD 4 : Gejala di atas + tanda-tanda gagal VEP1< 30% prediksi
PPOK Sangat Berat napas atau gagal jantung kanan dan VEP1/ KVP < 70%
ketergantungan O2, kualitas hidup
pasien memburuk.
VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa Detik 1

121
KVP = Kapasiti Vital Paksa

PENILAIAN PPOK (GOLD 2013)

Penilaian PPOK berdasarkan aspek di bawah ini:

- Tingkat gejala terakhir

- Tingkat abnormaliti spirometri

- Risiko eksaserbasi (timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya,


eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan
atau timbulnya komplikasi)

- Adanya komorbiditi (keadaan ketika seseorang menderita dua penyakit atau lebih)

122
Dampak PPOK pada pasien secara individu diperoleh dengan menggabungkan penilaian

gejala, klasifikasi spirometri dan risiko eksaserbasi.

1. Tentukan skor gejala dengan mMRC atau CAT, apabila masuk kotak kiri berarti gejala
sedikit (less symptoms), apabila masuk kotak kanan berarti gejala banyak (more
symptoms).

2. Tentukan skor risiko eksaserbasi, apabila masuk kotak bawah berarti risiko rendah,
kotak atas berarti risiko tinggi. Penetapan risiko dapat dilakukan dengan salah satu
metode yaitu dengan memakai kategori spirometri GOLD 1 atau 2, atau dengan risiko
eksaserbasi. Apabila setelah ketiga indikator digabung diperoleh kategori yang dobel
(mis B atau D), pilih kategori dengan risiko tertinggi.

123
Kesimpulan penilaian sebagai berikut:

- Kelompok A : risiko rendah, gejala sedikit

- Kelompok B : risiko rendah, gejala banyak

- Kelompok C : risiko tinggi, gejala sedikit

- Kelompok D : risiko tinggi, gejala banyak

Diagnosis Banding

 Asma

 SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis) adalah penyakit obstruksi saluran napas


yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

 Pneumotoraks

 Gagal jantung kronik

 Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis.

124
(PDPI 2003)

Terapi

1. Edukasi : Berhenti merokok, pengetahuan dasar tentang PPOK, penggunaan obat


manfaat dan efek sampingnya, penyesuaian aktiviti, penilaian dini eksaserbasi akut dan
pengelolaannya (tanda eksaserbasi : batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah,
sputum berubah warna)
2. Farmakologi:
a. Bronkodilator
 Agonis β-2: fenoterol, salbutamol. Bentuk inhaler digunakan untuk
mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor
timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan
bentuk tablet yang berefek panjang.
 Antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid. Digunakan
pada derajat ringan sampai berat, sebagai bronkodilator & juga
mengurangi sekresi lendir.
 Golongan xantin: dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan
pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat.

b. Antiinflamasi: digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison inhalasi.

125
c. Tambahan: antibiotik→ hanya diberikan bila terdapat infeksi, mukolitik,
antioksidan.

(GOLD 2013)

3. Non farmakologi:
a. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi
psikososial
b. Terapi oksigen
c. Nutrisi
d. Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungís paru atau
gerakan mekanik paru)

126
E. Bronkiektasis
Definisi
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologi yang terdiri dari pelebaran bronkus yang abnormal
dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muskular dinding bronkus(kapsel).
Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus
berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena
umumnya adalah bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terkena

Epidemiologi
Di negeri-negeri barat, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3 % di antara populasi.
Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti sesudah dapat ditekannya
frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan memakai antibiotik.
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai penyakit ini.
Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki
maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak anak-anak, bahkan dapat merupakan
kelainan kongenital

Etiologi
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada
kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat2.
Bronkiektasis pada umumnya terjadi oleh karena obstruksi dan inflamasi pada saluran napas.
Obstruksi dan inflamasi bisa disebabkan oleh infeksi akut tuberkulosis, adenovirus, measles,
Mycobacterium avium, atau Aspergillus fumigatus

127
PATOLOGI
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang
terkena maupun beratnya penyakit.

1. Tempat predisposisi bronkiektasis


Dapat mengenai bronkus pada satu segmen paru, bahkan dapat secara difus mengenai kedua
paru. Bagian paru yang sering terkena dan merupakan tempat predisposisi bronkiektasis adalah
lobus tengah paru kanan, bagian lingual paru kiri lobus atas, segmen basal pada lobus bawah
kedua paru.

2. Bronkus yang terkena


Umumnya adalah bronkus ukuran sedang, sedangkan bronkus yang besar jarang terkena.
Bronkus yang terkena dapat hanya pada satu segmen paru saja maupun difus.

3. Perubahan morfologi bronkus yang terkena.

a. Dinding bronkus
Dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel.
Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses
inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain
otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis.

b. Mukosa bronkus
Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan
metaplasia skuamosa dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi
infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi dan pernanahan.

c. Jaringan paru peribronkial.


Dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila
prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan
diganti oleh jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah.

4. Variasi kelainan anatomis bronkiektasis.


Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis, yaitu:
a. Bentuk tabung (Tubular, Cilindrical, Fusiform bronchiectasis)
Merupakan bronkiektasis yang paling ingan. Bentuk ini sering ditemukan pada bronkiektasis
yang menyertai bronkitis kronis.

128
b. Bentuk kantong (Saccular bronchiectasis)
Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan
bronkus yang bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (Cystic bronkiektasis).

c. Varicose bronchiectasis
Merupakan bentuk antara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan
bentuk bronkus menyerupai varises pembuluh vena2.
Adanya variasi bentuk-bentuk anatomis bronkus tadi secara klinis tidak begitu penting, karena
kelainan-kelainan yang berbeda tadi dapat berasal dari etiologi yang sama dan tidak
mempengaruhi gejala klinis dan manajemen pengobatannya sama saja. Bahkan beberapa
bentuk kelainan tadi bisa terdapat pada satu pasien.

5. Pseudobronkiektasis
Ini bukan termasuk bronkiektasis yang sebenarnya. Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus
yang bersifat sementara dan bentuknya silindris. Kelainan ini bersifat sementara karena dalam
beberapa bulan akan menghilang. Bentuk ini biasanya merupakan komplikasi pneumonia.

PATOGENESIS
Tergantung penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak
diketahui, diduga erat hubungannya dengan genetik serta faktor pertumbuhan dan
perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya
diduga melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara
lain: (1) obstruksi bronkus, (2) infeksi pada bronkus atau paru, (3) adanya beberapa penyakit
tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary eosinophilia dan (4) faktor intrinsik dalam
bronkus atau paru.

Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua mekanisme
dasar.

1. Permulaannya didahului adanya infeksi bakterial. Mula-mula karena adanya infeksi pada
bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis. Mekanisme kejadiannya sangat rumit.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses
destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.

2. Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa
penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak, karsinoma bronkus, korpus alineum
dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya
akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.

129
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau timbul sesudah
masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam saluran nafas dan karena
terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam paru1

Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus dan sifatnya
kronik. Keluhan-keluhan yang timbul berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang
timbul berhubungan erat dengan: (1) luas atau banyaknya bronkus yang terkena, (2) tingkatan
beratnya penyakit, (3) lokasi bronkus yang terkena dan (4) ada atau tidak adanya komplikasi
lanjut.
Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal
berikut: (1) adanya kerusakan dinding bronkus, (2) adanya kerusakan fungsi bronkus dan (3)
adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya. Kerusakan dinding bronkus
dapat berupa dilatasi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis dan otot-otot polos bronkus,
kerusakan mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan
ekspektorasi, gangguan reflek batuk dan sesak nafas

Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis, dapat dijelaskan sebagai
berikut:

a. Infeksi pertama (primer)


Kecuali pada bentuk bronkiektasis kongenital, tiap bronkiektasis kejadiannya didahului infeksi
bronkus (bronchitis) maupun jaringan paru (pneumonia). Masih menjadi pertanyaan, apakah
infeksi yang mendahului terjadinya bronkiektasis tersebut disebabkan oleh bakteri atau virus.
Menurut hasil penelitian para ahli terdahulu ditemukan bahwa infeksi yang mendahului
bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia atau
bronkitis yang mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi bronkiektasis, sedangkan
infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa pneumonia atau bronkitis yang mendahului
bronkiektasis tadi didahului oleh infeksi virus (misalnya adenovirus tipe 21, virus influenza,
campak dan sebagainya).

b. Infeksi sekunder
Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis).
Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih,
menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien yang
semula berwarna putih jernih kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau

130
berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa
dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi
sekunder oleh kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini: Fusiformis fusiformis, treponema
vincenti, anaerobic streptococci dan sebagainya. Kuman-kuman aerob yang sering ditemukan
dan menginfeksi bronkiektasis misalnya: Streptokokus pneumonia, hemopilis influenza,
klebsiela ozeona dan sebagainya.

PERUBAHAN FAAL PARU


Kelainan fungsi paru yang terjadi pada pasien bronkiektasis sangat bervariasi dan tingkatan
beratnya tergantung pada luasnya kerusakan parenkim paru dan seberapa jauh beratnya
komplikasi yang telah terjadi. Akibatnya dapat dijumpai pasien bronkiektasis ringan tanpa
kelainan fungsi paru atau hanya kelainan ringan saja, bronkiektasis sedang dengan kelainan
fungsi paru derajat sedang dan bronkiektasis berat dengan kelainan fungsi paru berat. Selain itu
perlu dinyatakan bahwa kelainan fungsi paru (faal ventilasi) yang terjadi selain jenisnya tidak
sama (artinya bisa tipe obstruktif, restriktif atau campuran), jenis kelainannya juga tidak khas
tergantung pada macam kerusakan jaringan paru yang terjadi, sehingga pengaruhnya pada
fungsi paru dapat berbeda-beda.

GAMBARAN KLINIS
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan
beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas
penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan
pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.

Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala, sebagai
berikut :

a. Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik dan
frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya
banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun. Kalau tidak
ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya
purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh
kuman anaerob akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan,
pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus
yang sudah berat, misalnya pada sacular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali,
purulen dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: 1. Lapisan

131
teratas agak keruh terdiri atas mukus, 2. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan 3. Lapisan
terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak.

b. Hemoptosis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan ini terjadi
akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan timbul
perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai perdarahan
yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis
yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari peredaran darah sistemik).
Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya, karena jenis ini
letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang
menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran,
bahwa apabila kita menemukan kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk
sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini.
Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada tuberkulosis
paru, bronkiektasis (sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi hemoptisis.

c. Sesak nafas (dispnea)


Pada sebagian besar pasien (50% kasus) ditemukan keluhan sesak nafas. Timbul dan beratnya
sesak nafas tergantung pada seberapa luasnya bronkitis kronis yang terjadi serta seberapa jauh
timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi sebagai akibat infeksi berulang
(ISPA), yang bisanya menimbulkan fibrosis paru dan emfisema yang menimbulkan sesak nafas
tadi. Kadang-kadang ditemukan wheezing, akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat
lokal atau tersebar tergantung pada distribusi kelainannya.

d. Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang
pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam.

Kelainan Fisik
Pada saat pemeriksaan fisis, mungkin pasien sedang mengalami batuk-batuk dengan
pengeluaran sputum, sesak nafas demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisis umum
yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis.
Pada kasus yang berat dan lebih lanjut dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik
maupun payah jantung kanan. Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta
tempat kelainan bronkiektasis terjadi dan kelainannya apakah lokal atau difus. Pada
pemeriksaan fisis paru, kelainannya harus dicari pada tempat predisposisi. Pada bronkiektasis
biasanya ditemukan ronkhi basah yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan

132
keadaannya menetap dari waktu ke waktu, atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien
mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian paru yang
diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut: terjadi
retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi
penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat komplikasi pneumonia
akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezing sering ditemukan apabila
terjadi obstruksi bronkus.

Kelainan Laboratorium
Umumnya tidak khas. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat
ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Sering-
sering ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya infeksi kronik, atau ditemukannya
leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi supuratif.
Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan
proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan untuk
menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji
sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi
sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder apabila misalnya dijumpai sputum
pada hari-hari sebelumnya warnanya putih jernih, yang berubah menjadi warna kuning atau
hijau.

Kelainan Radiologis
Gambaran foto dada (plain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat bervariasi,
tergantung berat ringannya kelainan serta letak kelainannya. Dengan gambaran foto dada
tersebut kadang-kadang dapat ditemukan kelainannya, tetapi kadang-kadang sukar. Gambaran
radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level,
mirip seperti gambraran sarang tawon pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya
dapat ditemukan pada 13% kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru menunjukkan
adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps (atelektasis), bahkan kadang-kadang
gambaran seperti pada paru normal (7% kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada
bronkogram.

Kelainan Faal Paru


Tergantung pada luas dan beratnya penyakit. Fungsi ventilasi dapat masih normal bila
kelainannya ringan. Pada penyakit yang lanjut dan difus, kapasitas vital (KV) dan kecepatan
aliran udara ekspirasi satu detik pertama (FEV1) terdapat tendensi penurunan, karena
terjadinya obstruksi aliran udara pernafasan. Pada bronkiektasis dapat terjadi perubahan gas
darah berupa penurunan PaO2 derajat ringan sampai berat, tergantung pada beratnya

133
kelainan. Penurunan PaO2 ini menunjukkan adanya abnormalitas regional (maupun difus)
distribusi ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru.
• Tingkatan Beratnya Penyakit

RINGAN SEDANG BERAT


• Batuk-batuk • Batuk – batuk • Batuk – batuk produktif
• Sputum warna produktif terjadi tiap • Sputum banyak berwarna
hijau terjadi saat kotor dan berbau
setelah demam • Sputum timbul setiap • Adanya pneumonia
• Produksi sputum saat (warna nya hijau dengan hemoptisis dan
terjadi dengan danjarang mukoid, nyeri pleura
perubahan posisi serta bau mulut • Sering jari tabuh
tubuh busuk) • Bila ada obstruksi saluran
• Biasanya ada • Sering ada nafas akan ditemukan
hemoptisis sangat hemoptisis adanya dispnea, sianosis,
ringan • Pasien tampak sehat tanda kegagalan paru
• Pasien tampak • Fungsi paru normal • Kead umum kurang baik
sehat • Jarang terdapat jari • Sering infeksi piogenik
• Fungsi paru tabuh pada kulit, infeksi mata,
normal • Ditemukan ronki dsb
• Foto dada normal basah kasar pada • Mudah timbul
daerah paru yang pneumonia, septikimia,
terkena abses metastasis, kadang
• Foto dada masih terjadi amiloidosis.
normal • Ditemukan ronki basah
kasar pada daerah yang
terkena
• Pada foto dada,
penambahan
bronkovaskular marking,
honey comb appearance

Perjalanan klinis penyakit

• Sesdah seseorang terkena bronkiektasis, perjalanan klinis selanjutnya bergantung pada


luasnya penyakit, efektivitas drainase sputum, dan efektifitasnya pengobatan infeksi
berulang yang terjadi

134
• Kalau penyakitnya luas atau pengobatan tidak adekuat, dapat timbul beberapa
komplikasi lanjut

• Apabila penyakit ini berlnjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat
menurun, akan berakibat daya tahan tubuh yang menurun mudah terkena infeksi
berulang, nafsu makan menurun menimbulkan malnutrisi dsb

Diagnosis

• Anamnesis

• Pemeriksaan fisik

• Pemeriksaan penunjang

135
– Dapat ditegakkan bila ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus
dengan prosedur pemeriksaan bronkografi, melihat bronkogram yang
didapatkan. CT scan

Diagnosis banding

• Bronkitis kronik

• Tuberkulosis paru

• Abses paru

Komplikasi

• Bronkitis kronik

• Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis

• Pleuritis

• Efusi pleura atau empiema

• Abses metastasis di otak

• Hemoptisis

• Sinusitis

• Kor pulmonal kronik

• Kegagalan pernapasan

Pengobatan

P. Konservatif P. pembedahan

Pengelolaan Pengelolaan Pengobatan


Umum Khusus Simtomatik

136
• Pengobatan konservatif

• Pengelolaan umum

– Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien ;

• Buat ruangan hangat, udara ruangan kering

• Mencegah / memberhentikan merokok

• Mencegah / menghindari debu, asap

– Memperbaiki drainase sekret bronkus

• Drainase postural

• Mencairkan sputum yang kental

• Mengatur posisi tempat tidur pasien

• Mengontrol infeksi saluran nafas

• Pengelolaan khusus

– Kemoterapi pada bronkiektasis

• Secara kontinyu mengontrol infeksi bronkus

• Utk pengobatan eksaserbasi infeksi akut pada bronkus atau paru

– Drainase dengan bronkoskop

• Untuk menentukan dari mana asal sekret

• Mengidentifikasi lokasi stenosis atau obstruksi bronkus

• Menghilangkan obstruksi bronkus dengan suction drainage daerah


obstruksi

• Pengobatan simtomatik

• Diberikan bila timbul simtom yang mungkin mengganggu atau membahayakan pasien

– Pengobatan obstruksi bronkus (hasil uji faal paru VEP1 < 70% dapat diberikan
bronkodilator)

137
– Pengobatan hipoksia (terutama pada waktu terjadi eksaserbasi infeksi akut perlu
diberikan oksigen, apabila ada komplikasi bronkitis kronik oksigen diberikan
dengan aliran rendah cukup 1 liter/menit)

– Pengobatan hemoptisis

– Pengobatan demam

• Pengobatan Pembedahan

Pencegahan

• Bronkiektasis dapat dicegah kecuali apabila bentuk dr kongenital karna tidak dapat
dicegah

• Pengobatan dengan antibiotik untuk bentuk pneumonia yang timbul pada anak, akan
mengurangi timbulnya bronkiektasis

• Tindakan vaksin terhadap pertusis dan lain – lain (influenza, pneumonia) pada anak
dapat pula diartikan sehingga tindakan preventif terhadap timbulnya bronkiektasis

Prognosis

• Bergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama
kali

• Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif ataupun pembedahan) dapat


memperbaiki prognosis penyakit

• Padaa kasus – kasus yang berat dan tidak diobati prognosis jelek, survivalnya tidak akan
lebih dari 5-15 tahun.

• Kematian pasien biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan,


hemoptisis, dll

138
F. Emphysema
Definisi
 Perbesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai
destruksi dinding rongga tersebut (Robbins)
 Distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis disertai dengan destruksi
septum alveolaris (Harrison)
 A condition of lung characterized by abnormal, permanent enlargement of airspace
distal to terminal bronchiole, accompanied by destruction of the wall, and without
obivious fibrosis (Fishman)
Etiologi
Two ways (Sherwood)
 Pelepasan berlebihan enzim perusak misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai
mekanisme pertahanan terhadap pajanan kronik asap rokok dan bahan polutan lain
 Ketidakmampuan tubuh secara genetik menghasilkan alfa1-antitripsin sehingga jaringan
paru tidak terlindungi dari tripsin
Klasifikasi
 Centrilobular Emphysema
 Panlobular Emphysema
 Paraseptal Emphysema

139
1. Centrilobular Emphysema
 Emfisema sentriasinar
 Dibagian lobulus, sentral/proksimal asinus, yng dibentuk oleh bronkiolus respiratopik
 Maka akan ditemukan, rongga udara yang emfitomatosa dan normal
 Lesi sering parah di lobus atas, terutama pada segmen apeks
Emfisema tipe ini sering terjadi pada perokok yang tidak menederita defisiensi kongenital
alfa-antitri

2. Panlobular Emphysema

 Disebut juga dengan emfisema panasinar


 Tipe ini, secara merata membesar dari tingkat bronkiolus respiratorik sampai alveolus
buntu di terminal
 Cenderung terjadi pada zona bawah paru
 Merupakan tipe defisiensi alfa-antitripsin

140
3. Paraseptal Emphysema
 Disebut juga dengan emfisema asinar distal
 Bagian proksimal normal, namun di distal yang umumnya terkena
 Emfisema lebih nyata di dekat pleura, disepanjang septum jaringan ikat lobulus dan tepi
lobulus
 Emfisema ini terjadi disekitar jaringan fibrosis, jaringan parut, atau atelektasis
 Biasanya lebih parah di separuh atas paru

Epidemiologi
 Emfisema adalah penyakit yang umum, tetapi insidensi pastinya sulit diketahui karena
diagnostig pastinya harus melalui autopsi
 50% orang dewasa yang diautopsi mengalami emfisema
 Laki-laki lebih sering
Faktor Resiko
 Merokok
 Polusi Udara
 Pekerjaan
 Faktor Familial
Manifestasi klinis
 Dispneu dalam jangka waktu yang cukup lama
 Disertai batuk ringan, sedikit menghasilkan sputum yang mukoid
 Bentuk tubuh tampak astenik dengan bukti adanya penurunan berat badan
 Pasien terlihat terganggu dengan menggunakan otot-otot tambahan (m.accesorius)
sehingga pada saat inspirasi, sternum terangkat kearah antero superior
 Gejala takipnue dengan ekspirasi yang cenderung memanjang lewat mulut yang
mencucu
 Pada saat duduk, pasien menyandarkan tubuhnya kedepan sambil memeluk tubuhnya
sendiri
 Pembuluh vena dapat terlihat mnggembung pada saat ekspirasi
 Rongga interkostalis bawah memperlihatkan retraksi setiap kali pasien menarik napas
dan dengan palpasi, dinding dada lateral bawah dapat terasa bergerak ke dalam.
 Nada suara yang terasa pada waktu perkusi adalah hipersonor
 auskultasi terdengar suara pernapasan yang berkurang dengan bunyi ronki bernada
tinggi yang samar-samar menjelang akhir ekspirasi.

141
 Dispnue dan hiperventilasi tampak jelas sehingga oksigenasi hemoglobin masih kuat dan
tampak pink puffer
 Adanya tahanan dari CO2 menimbulkan sianotik maka tampak blue bloaters

Patogenesis

Patofisiologi
 Paru yang flasid, kemampuan elastisitas paru makin menghilang
 Pada orang tua, biasanya terjadi peningkatan volume alveolus terhadap permukaan
alveolus
 Elatase : sejenis proteinase (serin elatase dari granulosit, metaloelatase dari makrofag)

142
Komplikasi
 Hipertensi pulmonal secara perlahan
 Spasme vaskular yang dipicu hipoksia
 Berkurangnya luas kapiler paru akibat kerusakan alveolus
 Kematian
 Kegagalan pernafasan disertai asidosis respiratorik, hipoksia, dan koma
Gagal jantung sisi kanan (Cor-Pulmonale)

143
G. Chronic Bronchitis
Definisi:

Bronkitis kronik didefinisikan berdasarkan klinis sebagai batuk yang persistent disertai sputum
sedikitnya 3 bulan sedikitnya 2 tahun yang berturut-turut dengan tidak diketahuinya penyebab
yang pasti. Bronkitis kronik juga sering dijumpai pada perokok dan orang yang hidup di
lingkungan polusi. Penderita dengan bronkitis menahun dapat menyebabkan PPOK, memicu cor
pulmonae dan gagal jantung atau atipikal metaplasia dan displasia dari epitel saluran respirasi
serta timbulnya kanker.

Patogenesis:

Faktor primer atau faktor pencetus adalah iritasi yang berlangsung lama yang terhirup,
contohnya seperti merokok, debu dll. Manifestasi awal yang terlihat dari bronkitis adalah
hipersekresi mukus di saluran nafas besar, disertai dengan hipertrofi dari kelenjar submukosal
di trakea dan bronkus. Hipersekresi mukus diinduksi oleh adanya protease yang dilepaskan oleh
neutrifil, contohnya elastase, caphtesin dan matrixmetalloproteinase. Ada juga peningkatan
pada sel goblet di saluran pernafasan kecil seperti bronkus segmental dan bronkiolus yang
menyebabkan produksi mukus yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Bisa disertai juga
infeksi sekunder yang bisa menyebabkan bronkitis terus menetap pada penderita, atau
menyebabkan eksaserbasi akut.

Gejala Klinis

Gejala utama dari bronkitis kronik adalah batuk yang persisten disertai sputum yang produktif.
Selama beberapa tahun tidak ada kegagalan fungsi respirasi yang timbul. Tapi bisa terjadi
dyspnea pada ekspirasi. Seiring berjalannya waktu jika kebiasaan merokok masih terus
berlangsung,gejala PPOK lainnya bisa terlihat seperti hiperkapnia, hipoksemia dan sedikin
sianosis (blue bloaters). Kematian juga bisa terjadi namun biasanya disebabkan oleh infeksi
sekundernya.

144
CASE 4
(Asma Bronkial Episodik Sering Serangan Sedang)

PENULIS :
1. Mesiwisani (111 0211 072)
2. Indra Pramana Putra (111 0211 193)
3. Dias Amardeka Putri G. (111 0211 091)
4. Luthfiani Azahra (111 0211 078)
5. Muhammad Dimas Rizaputra (111 0211 126)
6. Lathifah Nur Afuw (111 0211 200)

A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Asma Anak dan Dewasa
E. Manajemen Asma Anak dan Dewasa
F. Terapi Pada Asma

145
A. Tutorial Case
Case 4
Respiratory System
Page 1
An. H (8 tahun) dibawa ke RSPAD pada pukul 23.30 dengan keluhan sesak napas sejak 3 jam
yangf lalu. Menurut ibu, H batuk-batuk sejak pulang dari bermain bola bersama teman-temannya.
Menjelang tidur, H tampak gelisah dan batuk terus menerus. Batuk berdahak dan warna dahak bening.
Ibu H memberikan obat batuk yang dibeli di took obat, namun batuk tidak berkurang bahkan H terlihat
sesak. Akhirnya diputuskan untuk membawa H ke rumah sakit terdekat.
Saat datang ke IGD, H masih bisa bicara walaupun terputus-putus, menyatakan dadanya terasa
berat dan lebih suka diperiksa dalam keadaan duduk.
Ibu bercerita, H sering batuk-batuk sejak berusia 4 tahun. Batuk muncul setelah H kelelahan
akibat aktivitas terutama pada malam harinya, namun mereda keesokan hari setelah beristirahat.
Sejak 1 tahun terakhir, hampir setiap bulan H pergi ke dokter karena batuk dan sesak. Malam
hari sering terbangun dari tidur karena batuk dan mereda bila diberikan obat batuk dari dokter klinik.
Sesak yang dialami saat ini lebih berat dari yang sebelumya.
Ibu H memiliki alergi terhadap makanan laut. Ayah H seorang perokok, kadang merokok di
dalam rumah. Sedangkan adik laki-laki H saat ini tidak memiliki keluhan yang sama.
Page 3
Pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan spirometri saat datang dengan hasil FEV1
(volume ekspirasi paksa dalam 1 menit) 46%.
An. H segera diberi oksigen 3L/menit melalui kanul hidung dan pemberian bronkodilator melalui
nebulisasi. Setelha 20 menit nebulisasi dilakukan evaluasi, An. H masih mengeluhkan sesak napas pada
pemeriksaan fisik masih terdapat wheezing. Maka dilakukan nebulisasi kedua. Hasil evaluasi kedua
didapatkan keluhan sesak masih ada walaupun berkurang. Wheezing masih terdengar, dilakukan
nebulisasi ketiga dengan bronkodilator dan antikolinergik. Pasca nebulisasi ketiga, pasien tidak Nampak
sesak, wheezing tidak terdengar.
Page 4
Setelah mengetahui respon baik, An. H diobservasi di ruang rawat sehari. Oksigen dilanjutkan
dan diberikan metilprednisolon oral 3 × 4 mg. nebulisasi setiap 2 jam kemudian dilanjutkan 4 jam.
Selama pemantauan 12 jam, pasien klinis stabil, dokter pun memperboehkan An. H pulang dengan
memberikan obat bronkodilator inhalasi dan kortikosteroid oral (selama 3 hari) serta memastikan An. H
control 2 minggu mendatang untuk dilakukan pemeriksaan spirometri.

146
B. Overview Case
An. H (8 tahun)
Dibawa ke UGD RS pukul 23:30
KU: Sesak napas sejak 3 jam yang lalu

RPS : RPK
 Sebelumnya batuk-batuk sejak pulang dari  Ibu alergi makan laut
bermain bola bersama teman-temannya  Ayah perokok, didalam rumah
 Menjelang tidur tampak gelisah dan batuk  Adik H tidak memiliki keluhan
terus menerus yang sama
 Diberikan obat batuk namun batuk tidak
berkurang dan terlihat sesak
RPD
 Saat di IGD masih bicara walaupun putus-
putus, dada terasa berat dan labih suka  An. H sering batuk-batuk sejak berusia 4
diperiksa dalam keadaan duduk tahun
 Ssesak yang dialami saat ini lebih berat dari  Muncul setelah beraktivitas terutama pada
yang sebelumnya malam hari dan mereda setelah beristirahat
 Sejak setahun terakhir hampir setiap bulan H
pergi ke dokter karena batuk dan sesak.
Malam hari sering terbangun karena batuk
dan mereda bila diberikan obat batuk dari
dokter.
Hipotesis

 Asma Cardiac
 Asma Bronchial
 Bronchitis virus acute
 Bronchiolitis

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik


 KU : tampak sakit sedang  Thorax
(terlihat sesak napas dan posisi o Paru
duduk berpegangan pada kursi Inspeksi : pergerakan simetris, retraksi suprasternal
 BB : 19.5 kg TB : 125 cm (inspiratory effort), tampak ekspirium memanjang
 TD : 100/70 mmHg Auskultasi : sura napas vesikuler, tidak terdengar
 Nadi : 120×/mnt ronkhi, terdengar wheezing sepanjang ekspirasi
 Temperature : 36.5◦C o Jantung : dbn
 F. Nafas : 40×/mnt  Abdomen : dbn
 SpO2 : 91% (tanpa oksigen)  Ekstremitas : tidak didapatkan clubbing finger
 Kepala : tampak napas cuping
hidung, mukosa nasal dbn Pemeriksaan penunjang 147
 Spirometri : FEV1 : 46%
Penatalaksanaan awal

 Oksigen 3L/menit (kanul hidung) dan bronkodilator melalui nebulisasi


Evaluasi : masih ada sesak napas dan wheezing
 Nebulisasi kedua
Evaluasi : keluhan sesak masih ada tapi berkurang dan masih ada wheezing
 Nebulisasi ketiga ditambah antikolinergik
Evaluasi : tidak tampak sesak dan wheezing tidak terdengar

Pemeriksaan penunjang
 Hb : 13 gr/dl
 Ht : 38,8%
 Leukosit : 7800/uL
 Trombosit : 230.000/uL
 LED : 20 mm/jam
 Diff count : 1/10/5/55/23/6
 FEV1 : 72% (nilai terbaik)
 Saturasi O2: 98%
Diagnosa

Asma Bronkhial Pada Anak Episodik Sering Serangan Sedang


Penatalaksanaan

FARMAKOLOGIS
Diobservasi di ruang rawat sehari dengan terapi sbb:
o Oksigen dilanjutkan
o Metil prednisolone oral 3 × 4 mg
o Nebulisasitiap 2 jam dan dilanjutkan tiap 4 jam
Selama 12 jam pasien klinis stabil, An. H boleh pulang
o Bronkodilator inhalasi
o Kortikosteroid oral (selama 3 hari)
o Kontrol 2 minggu mendatang untuk pemeriksaan spirometri

148
C. INTERPRETASI KASUS
ANAMNESIS
An.H 8 th dibawa ke IGD RSPAD pada pkl 23.30
KU : Sesak napas sejak 3 jam yang lalu
Analisa : Sesak napas merupakan salah satu keluhan utama sistem respiratorik. Sesak
napas/dispnea adalah gejala subyektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya
mendapatkan udara pernapasan.
KT :
1. Batuk-batuk sejak pulang dari bermain bola bersama teman-temannya
2. Menjelang tidur, H tampak gelisah dan batuk terus menerus
3. Batuk berdahak, warna dahak bening.
Analisa :
1. Batuk merupakan mekanisme saluran napas untuk bersihkan saluran napas.
Bermain bola  hiperventilasi  udara yang masuk tidak sempat dihangatkan  iritasi
bronkus  merangsang refleks batuk.
Menjadi patologis bila  frekuensi dan amplitudonya terlalu dalam.
2. Menandakan progresifitas batuknya  bertambah parah
3. Mekanisme pertahanan salauran napas yang lainnya adalah sekresi mukus yang
kemudian dikeluarkan dari sis.respiratori dengan bantuan silia.
Produksi lendir berlebih  pengeluaran tidak efektif  lendir tertumpuk berupa dahak
/sputum
RPS :
1. Ibu H memberikan obat batuk yang dibeli di toko obat  batuk tidak berkurang
bahkan terlihat sesak  diputuskan untuk dibawa ke RS terdekat
Di IGD
2. Masih bisa berbicara walaupun terputus-putus
3. Menyatakan dadanya terasa berat dan lebih suka diperiksa dalam keadaan duduk
Analisa :
1. Obat batuk berisi antitusif/supresan yang bekerja dengan mengontrol atau menekan
refleks batuk di tenggorokan dan paru. Caranya, dengan meningkatkan ambang
rangsang batuk di pusat batuk pada otak.
Obat batuk dengan tambahan dekongestan biasanya berfungsi melegakan saluran napas
dan membersihkan saluran hidung dari lendir.

149
Diberikan obat batuk dan tidak berkurang karena obat batuk tidak mengurangi dari
penyebab terjadinya batuk pada pasien ini yang kita curigai sebagai asma dimana pada
asma terjadi hipersekresi mukus, brokospasme dan edema bronkus.
2. Menandakan derajat penyakitnya
3. Duduk (ataupun berdiri)  pengaruh gravitasi  diafragma tertekan kebawah
Dibandingkan berbaring  akan lebih sesak karena sudah ada keluahan sesak ditambah
saat berbaring volume paru akan lebih berkurang
RPD :
1. Sering batuk-batuk sejak usia 4 tahun
2. Batuk muncul setelah H kelelahan akibat aktivitas terutama pada malam harinya,
namun mereda keesokan hari setelah beristirahat
3. Sejak 1 tahun terakir, hampir setiap bulan H pergi ke dokter karena batuk dan sesak.
4. Malam hari sering terbangun dari tidur karena batuk dan mereda bila diberikan obat
batuk dari dokter klinik
Analisa :
1 dan 3Keluhan yang dialaminya sudah lama dan makin memburuk
2 dan 4 Kemungkinan pencetusnya adalah aktivitas fisik dan udara malam
RPK :
Ibu H punya alergi terhadap makanan laut.
Ayah H seorang perokok kadang merokok didalam rumah
Adik laki-laki H saat ini tidak memiliki keluhan yang sama
Analisa :
Ada riwayat keluarga alergi
Merokok  salah satu faktor predisposisi gangguan saluran napas
HIPOTESIS
1. Asma Bronkial
Adalah mengi berulang dan atau batukpersisten dengan karakteristik :
a. Timbul episodik
b. Cenderung malam atau dini hari (nokturnal)
c. Musiman
d. Setelah aktivitas fisik
e. Ada riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan keluarganya
(Pedoman Nasional Ama anak 2004)

150
Alasan diambil hipotesis :
a. Dari gejala : sesak dan batuk
b. Dari usia 8 tahun  pada asma bronkial onset biasanya pada anak-anak
c. Ada variabilitas dari keluhan utama  dari riwayat penyakit dahulu  keluhan batuk
terutama pada malam hari namun mereda keesokan hari
d. Bersifat reversibel  keluhan dapat mereda setelah istirahat
e. Ada riwayat keluarga alergi makanan laut  atopi  bisa diturunkan ke anak
dengan manifestasi penyakit atopi lain (asma)
f. Ayah merokok  anak H mengirup asap rokok  faktor predisposisi asma

2. Asma Kardiale
Adalah asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung disebut juga edema paru
kardiogenik karena gagal jantung kiri
.Alasan diambil hipotesis :
a. Sesak setelah aktivitas

3. Bronkhitis Akut Virus


Proses inflamasi selintas yang mengenai trakea dan bronkus utama dan menegah yang
bermanifes sebagai batuk serta biasanya membaik tanpa terapi dalam 2 minggu.
Alasan diambil hipotesis :
a. Batuk
b. Dahak warna bening

4. Bronkiolitis
Adalah penyakit infeksi respiratori akut bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi
pada bronkiolus
Alasan diambil hipotesis :
a. Batuk
b. Kemudian disertai sesak napas

151
PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit sedang terlihat sesak napas dan mengambil posisi duduk berpegangan pada
lengan kursi
Analisa : Memastikan sesuai dengan KU dan RPS
BB : 19,5cm TB : 125cm
Tanda vital : TD : 100/70 mmHg
Nadi : 120 x/menit
Analisa :
• Normal pada usia 3- 8 th : 110/menit
• Pada anak H nadinya meningkat
• Sebagai mekanisme kompensasi karena kurangnya pasokan O2 ke jantung
SaO2 : 91 % (tanpa oksigen)
Analisa :
• Normal : >95%
• Pada anak H saturasi oksigen turun dibawah normal.
• Saturasi oksigen adalah ukuran seberapa banyak oksigen yang berikatan dengan Hb
• Saturasi oksigen salah satunya dipengaruhi oleh kadar Co2 darah (faktor lain :
keasaman, suhu, 2,3 bisfosfogliserat)
• Bisa disebabkan karena adanya gangguan konduksi dan pertukaran gas keparu
S : 36,5 °C
Analisa : Normal  KU bukan disebabkan karena infeksi
Frekuensi napas : 40 x/menit
Analisa :
• Normal 6-8 tahun : < 30 menit
• Pada kasus meningkat karena adanya perangsangan kemoreseptor sentral yang
disebabkan peningkatan Co2 karena adanya gangguan konduksi dan difusi karena
adanya obstruksi jalan napas
Kepala : Tampak napas cuping hidung
Mukosa nasal dbn
Analisa :
• Tanda adanya sesak napas  sesuai anamnesis

152
• Menandakan sesak napasnya bukan karena adanya sekret ataupun proses inflamasi di
cavum nasi pasien
Thorax, Paru
Inspeksi :
• Pergerakan simetris  Pergerakan paru normal
• Retraksi suprasternal (inspiratory effort)  tanda sesak napas
• Tampak ekspirium memanjang  usaha untuk mengeluarkan udara yang terhambat
pengeluarannya karena obstruksi  memanjangnya saat ekspirium karena ekspirasi
merupakan proses pasif jadi lebih sulit untuk mengeluarkan udara daripada proses
inspirasi
Auskultasi :
• suara napas vesikuler  Normal
• Tidak tedengar ronkhi
• Terdengar wheezing sepanjang ekspirasi  wheezing adalah bunyi abnormal akibat
udara melewati daerah yang sempit yang bisa diakibatkan oleh ekstraluminer ; desakan
tumor ataupun intraluminer ; spasme bronkus, edema, lendir kental, benda asing 
memperkuat asma dan bronkiolitis
Thorax, Jantung :
• Dbn  melemahkan asma kardiale
Abdomen : dbn
Ekstremitas :
• Tidak ada clubbing finger  Melemahkan asma kar diale

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Spirometri saat datang : FEV1 (Volume ekspirasi paksa dalam 1 menit) 46%  tanda obstruksi
jalan napas  menguatkan asma  selanjutnya untuk nilai derajat asma dan respon terapinya
Pengukuran spirometri dapat dilakukan pada anak >6tahun
Melemahkan bronkiolitis  bronkiolitis biasanya tidak disertai penurunan FEV1
Diagnosis
Asma Bronkhial Pada Anak Episodik Sering Serangan Sedang

153
Derajat ditegakkan berdasarkan (lihat tabel pembagian derajat penyakit asma pada anak
PNNA 2004) :
1. Frekuensi serangan
 RPD  Sejak 1 tahun terakhir, hampir setiap bulan H pergi ke dokter karena batuk dan sesak
 menandadakan frekuensi serangan yang >1x/bulan
2. Tidur dan aktivitas
 RPD  Malam hari sering terbangun dari tidur karena batuk dan mereda bila diberikan obat
batuk dari dokter klinik  menandakan tidur dan aktivitasnya sering terganggu
Didapatkan  Ama episodik sering (Asma Sedang)

Penilaian derajat serangan asma (berdasarkan tabel derajat serangan asma)


1. Sesak (breathless)  ditandai masih bisa berbicar
2. Posisi  Lebih suka duduk
3. Bicara  terputus-putus  mendandakan penggal kalimat
4. Sianosis  Tidak ada
5. Mengi Nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi  dari.px fisik (Auskultasi)  wheezing
sepanjang ekspirasi
6. Retraksi  sedang, ditambah retraksi supraseternal (inspiratorry effort)
7. Frekuensi napas  takipnea  usia 6-8 tahun normalnya <30 menit
8. Frekuensi nadi  Takikardi  usia 3- 8 tahun normalnya <110/menit
9. FEV1 Pra-bronkodilator  46%
10. SaO2 %  91%
Didapatkan  Derajat Serangan Sedang

154
PENATALAKSANAAN (sesuai alur tatalaksana)

155
Oksigen 3 L/menit melalui kanul hidung  untuk perbaiki oksigenasi ke jaringan
Dan pemberian bronkhodilator melalui nebulisasi  bronkhodilator  untuk melebarkan jalan
napas  biasanya digunakan beta adrenergik kerja pendek (Short Acting Beta Agonis/SABA) 
menstimulasi reseptor-reseptor beta adrenergik  menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP  timbul relaksasi otot polos jalan napas  bronkodilatasi. Efek lain: peningkatan
klirens mukosilier,penurunan permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan mediator
dari sel mast.
Bronkodilator yang biasa dipakai : salbutamol, terbutalin dan fenoterol.
Dosis salbutamol nebulizer : 0,1 -0,15 mg/kgBB (maks 5mg/x)
Pada kasus : 0,1x19,5 – 0,15x 19,5 : 1,95 – 2,925 mg/kgBB

Evaluasi setelah 20 menit


An.H masih mengeluhkan sesak napas dan pada px fisik masih wheezing  nebulisasi ke 2
(pada tatalaksana awal  nebulisasi beta agonis 1 – 2x maka dapat dilakukan nebulisasi
kembali)

Evaluasi kedua : sesak masih ada walaupun berkurang, wheezing masih terdengar  besar
derajat sedang  nebulisasi ketiga dengan bronkodilator dan antikolinergik
Antikolinergik : Ipratroipium bromida dosis : 0,1 mg/kgBB

Pasca nebulisasi ketiga  pasien tidak tampak sesak, wheezing tidak terdengar

Pada px penunjang :
Hb : 13 gr/dl  Nilai normal anak 11-16 gram/dL
Ht : 38,8 %  Nilai normal anak 31-45%
Leukosit 7.800/Ul  normal
Trombosit :230.000/Ul  normal
Led : 20 mm/jam Nilai normal anak <10 mm/jam pertama  menandakan inflamasi akut
Hitung jenis : 1 / 10 / 5 / 55 / 23 / 6  eosinofil meningkat  bantu dx asma  pada asma
eosinofil meningkat sebagai hasil dari reaksi fase lambat  Melemahkan bronkhitis dan
bronkiolitis

156
Nilai normal Diff count : Basofil : 0 – 1 (%)
Eosinofil : 1 – 3 (%)
Batang : 2 – 6 (%)
Segmen : 50 – 70 (%)
Limfosit : 20 – 40 (%)
Monosit : 2 – 8 (%)

Faal paru setelah diberikan bronkodilator :


FEV1 72 % (nilai terbaik)  menandakan derajat sedang (lihat tabel penilaian derajat serangan)
Saturasi 02 : 98%  normal
Respon baik  anak H diobservasi di ruang rawat sehari.
Oksigen dilanjutkan dan diberikan steroid oral : metilprednisolon oral 3x4 mg nebulisasi tiap 2
jam kemudian dilanjutkan tiap 4 jam  kortikosteroid bisa mencegah progresivitas asma
Selama pemantauan 12 jam  pasien klinis stabil, dokterpun memperbolehkan An.H pulang
dengan beri obat bronkodilator inhalasi dan kortikosteroid oral (selama 3 hari) serta
memastikan An, H kontrol 2 minggu mendatang untuk px spirometri

157
Patofisiologi Kasus

An. H 8 tahun

Gen Asma Alergen Olahraga

ADAM 33 EMTU Ditangkap hiperventilasi


sel dendritik

Aabnormalitas Berinteraksi Sel dendritik merangsang Udara yang masuk


Th0  Th2 sekaligus
fungsi saluran dengan Th2 belum sempat
mempresentasikan
napas dan dan sitokin antigen dihangatkan
fibroblas proinflamasi
(IL-4 dan IL-13)
Th2 sekresi IL-4- IL-5 Iritasi bronkus
Hipereaktivitas
dan
remodelling Rangsang sel B
sal.respiratori

Produksi IgE

Remodelling Airway
Berikatan dengan
reseptornya di sel
Mast dan Basofil

Pajanan ulang thdp


antigen yang sama

Ikatan dengan igE

Degranulasi sel Mast

Reaksi fase cepat Reaksi fase lambat

158
Reaksi fase cepat Reaksi fase lambat

Histamin, PG Faktor kemotaktik


eosinofil, neutrofil

Bronkokonstr Permeabili Peningkata Rekrut Eosinofil


iksi tas n sekresi
meningkat mukus
Mayor Basic protein,
Eosinofil Peroksidase,
Eosinofil Cationic Protein

Kerusakan epitel,Hipereaktifitas,
kontraksi bronkus

Obstruksi jalan napas

Gangguan Udara sulit Udara


konduksi dan keluar melewati
daerah yang
pertukaran (terperangkap) sempit akibat
gas intraluminar

sesak Co2 arteri O2 Wheezing


meningkat kejantung Usaha untuk VEP1
menurun mengeluarkan
udara

Peningkatan Aktivasi
saraf Ekspirasi
Napas Retraksi co2 CES otak
memanjang
cuping suprastrenal simpatis
hidung
Co2+H2O
Nadi
meningkat
H2c03
159
H+merangsang
H+ +HCO3 Peningkatan kemoreseptor RR
H+ di CES otak sentral
D. ASMA ANAK dan DEWASA

Definisi
Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran
napas yang di tandai dengan gejala sesak napas, batuk dan mengi. Penyempitan saluran napas
yang dapat menimbulkan manifestasi tersebut dapat disebabkan oleh
 Terjadinya bronkokonstriksi
 Pembengkakan mukosa bronkus
 Hipersekresi lender karena hipersensitivitas
Definisi lainnya
Asma yaitu penyakit yang dikarenakan oleh peningkatan respon dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam stimuli yang ditandai dengan penyempitan bronkus atau
bronkhiolus dan sekresi yang berlebih – lebihan dari kelenjar – kelenjar di mukosa bronchus.
Etiologi
Etiologi asma belum dapat ditentukan dengan pasti ,tampaknya ada hubungan antara
asma dengan alergi. Sebagian besar penderita asma ditemukan dengan riwayat alergi, selain itu
serangan asma nya sering ditimbulkan oleh alergennya. Namun adapula yang serangan
asmanya didahului dengan adanya infeksi saluran napas bagian atas.
Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama pada
usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih
memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan
perempuan.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di
dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang.
Faktor resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
1. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

160
2. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
3. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
4. Ras
5. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
Faktor pencetus
Beberapa faktor pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
Ada juga yang membaginya kedalam factor intrinsic dan ekstinsik
1. Faktor ekstrinsik
Asma yang timbul dikarenakan reaksi hipersensitivitas yang dikarenakan oleh
adanya ige yang bereaksi terhadap antigen yang ada di udara ( antigen – inhalasi ),
layaknya debu tempat tinggal, serbuk – serbuk dan bulu binatang.
2. Faktor intrinsik
a. infeksi :
virus yang mengakibatkan adalah para influenza virus, respiratory syncytial virus (
rsv )
bakteri, umpamanya pertusis dan streptokokkus
161
jamur, umpamanya aspergillus
b. cuaca :
Perubahan tekanan udara, suhu udara, angin dan kelembaban dihubungkan dengan
percepatan iritan bahan kimia, wangi-wangian, asap rokok, polutan udara
emosional : takut, kuatir dan tegang
kegiatan yang berlebihan, umpamanya berlari
Klasifikasi
A. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten; 2)
Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat .
(Tabel.1)

162
B. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for
Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang
akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan
asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan
ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami
serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.
(Tabel. 2)

163
Patologi
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yaitu saluran napas amat gampang bereaksi
terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berbentuk serangan asma.
kelainan yang diperoleh yaitu : otot bronkus akan mengkerut ( terjadi penyempitan ), selaput
lendir bronkus udemaproduksi lendir semakin banyak, lengket dan kental, hingga ketiga perihal
tersebut mengakibatkan saluran lubang bronkus jadi sempit dan anak akan batuk apalagi dapat
sampai sesak napas. Serangan tersebut dapat hilang sendiri atau hilang dengan pertolongan
obat.
Pada stadium permulaan serangan tampak mukosa pucat, ada edema dan sekresi jadi
tambah. lumen bronkus menyempit disebabkan spasme. tampak kongesti pembuluh darah,
infiltrasi sel eosinofil di dalam secret di dalam lumen saluran napas. bila serangan kerap terjadi
dan lama atau menahun akan tampak deskuamasi (mengelupas) epitel, penebalan membran
hialin bosal, hyperplasia serat elastin, juga hyperplasia dan hipertrofi otot bronkus. Pada
serangan yang berat atau pada asma yang menahun ada penyumbatan bronkus oleh mucus
yang kental.

Manifestasi klinik
wheezing
dyspnea dengan lama ekspirasi, pemakaian otot- otot asesori pernapasan
pernapasan cuping hidung
batuk kering ( tidak produktif ) dikarenakan secret kental dan lumen jalur napas sempit
diaphoresis
sianosis
nyeri abdomen dikarenakan terlibatnya otot abdomen didalam pernapasan
kekhawatiran, labil dan penurunan tingkat kesadaran
tidak toleran terhadap kegiatan : makan, bermain, berjalan, apalagi bicara

Stadium asma
Stadium 1
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, dikarenakan iritasi dan batuk
kering. Sputum yang kental dan mengumpul adalah benda asing yang merangsang batuk

Stadium 2
Sekresi bronkus jadi tambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa. Pada
stadium ini anak akan mulai jadi sesak napas berupaya bernapas lebih didalam. Ekspirasi
memanjang dan terdengar bunyi mengi. Terlihat otot napas tambahan turut bekerja. Ada
retraksi supra sternal, epigastrium dan barangkali juga sela iga. Anak lebih suka duduk dan

164
membungkuk, tangan menekan pada pinggir area tidur atau kursi. Anak terlihat gelisah, pucat,
sianosisi seputar mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat dan bergerak lambat
pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi
supra sternal dan interkostal.
Stadium 3
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara amat sedikit hingga nada napas nyaris
tidak terdengar. Stadium ini amat berbahaya dikarenakan kerap disangka ada perbaikan. juga
batuk layaknya ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak
meninggi.
Patofisiologi
Allergen tubuh
Rangsang induksi sel TCD4 + TH2
Mengeluarkan IL-4
Produksi IgE oleh sel B
Sampai di sel mast

Rekasi cepat Reaksi Lambat


Degranulasi sel mast aktivasi fosfolipase A2
Histamin fosfolipid membrane sel mast pecah
pengeluaran Asam arakidonat

Peningkatan Hipersekresi bronkokonstri


permukaan mukus ksi PG Leukotrin
vaskukar

Edema mukosa Peningkatan sekresi mucus f.kemotaktik

Peningkatan eosinofil
Penyempitan jari-jari saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas (bronkus)
Retensi saluran nafas ventilasi terganggu
Aliran udara melewati sal.udara yang menyempit
Wheezing
Otot-otot Ekspirasi Sesak nafas
pernafasan sulit 165
paksa
Komplikasi
1. status asmatikus
2. bronkhitis kronik, bronkhiolus
3. ateletaksis : lobari segmental dikarenakan obstruksi bronchus oleh lender
4. pneumo thoraks
Kerja pernapasan meningkat, keperluan O2 meningkat. Arang asam tidak sanggup memenuhi
keperluan O2 yang amat tinggi yang diperlukan buat bernapas melawan spasme bronkhiolus,
pembengkakan bronkhiolus, dan m ukus yang kental. kondisi ioni bisa menimbulkan
pneumothoraks disebabkan besarnya teklanan buat lakukan ventilasi
5. kematian

Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
 Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor yang
mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.
 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas.
Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat,
ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.
 Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot
Leyden).
 Pemeriksaan Penunjang
o Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan
ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%
atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.

o Uji Provokasi Bronkus


Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma.
Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal sebaiknya
dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi bronkus
merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas

166
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan
histamin.

o Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan
asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.

167
Diagnosis Banding
 Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk
yang disertai sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama
kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.
 Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya.
 Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun
pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila
duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
 Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.
Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).

Penatalaksanaan
- Pencegahan terhadap pemajanan alergi
- Oksigen nasal atau masker dan terapi cairan parenteral.
- Adrenalin 0,1- 0,2 ml larutan : 1 : 1000, subkutan. Bila perlu dapat diulang setiap 20 menit
sampai 3 kali.
-Dilanjutkan atau disertai salah satu obat tersebut di bawah ini ( per oral ) :
Golongan Beta 2- agonist untuk mengurangi bronkospasme :
Efedrin : 0,5 – 1 mg/kg/dosis, 3 kali/ 24 jam
Salbutamol : 0,1-0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/ 24 jam
Efeknya tachycardia, palpitasi, pusing, kepala, mual, disritmia, tremor, hipertensi
dan insomnia.
Golongan Bronkodilator, untuk dilatasi bronkus, mengurangi bronkospasme dan meningkatkan
bersihan jalan nafas.
Aminofilin : 4 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Teofilin : 3 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam

Pemberian melalui intravena jangan lebih dari 25 mg per menit.Efek samping tachycardia,
dysrhytmia, palpitasi, iritasi gastrointistinal,rangsangan sistem saraf pusat;

168
gejala toxic;sering muntah,haus, demam ringan, palpitasi, tinnitis, dan kejang
Golongan steroid, untuk mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Prednison : 0,5 – 2
mg/kg/hari, untuk 3 hari (pada serangan hebat).

E. MANAJEMEN ASMA ANAK DAN DEWASA

SERANGAN ASMA AKUT


Serangan asma adalah episode perburukan progresif gejala-gejala batuk, sesak napas, mengi,
rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut.
Serangan asma biasanya mencerminka kegagalan tatalaksana asma jangka panjang atau adanya
pajanan terhadap pencetus.
Tujuan Tatalaksana Serangan Asma
 Meredakan penyempitan salura respiratorik secepat mungkin
 Mengurangi hipoksemia
 Mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya
 Rencana re-evaluasi tatalaksana jangka panjang untuk mencegah kekambuhan
Alur Tatalaksana Serangan Asma pada Anak
Sumber : Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma management and prevention.
National Institute of Health. National Heart, Lung, and Blood Institute; NIH publ. No. 02-3659,
2002.

169
Kebijakan Step Up dan Step Down
Syarat Step Up :
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asmanya sudah dilakukan
2. Pemberian obat sudah tepat susunannya dam sudah tepat caranya

170
3. Tindakan 1 dam 2 itu sudah tepat caranya
4. Efek samping ICS (inhaled corticosteroid)
Maka baru ICS boleh dinaikkan.
Syarat Step Down :
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis terkecil yang
masih dapat mengendalikan asmanya
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebab-sebabnya dan kalau sudah dikoreksi maka ICS
dapat diturunkan bersama-sama penambahan LABA (Long Acting B2-Agonist) dan/atau
LTRA (Leukotriene Receptor Agonist)
TATALAKSANA JANGKA PANJANG ASMA PADA ANAK
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah menjamin tercapainya potensi tumbuh
kembang anak secara optimal.
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak pada umumnya, termasuk
bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul pada siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah sehingga tidak/sesedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Algoritma Tatalaksana Asma
Sumber : UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Penanganan Asma pada Anak. Indonesian
Pediatric Respiratory Meeting I: Focus on asthma, Jakarta, 2003.

171
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan usia anak karena perbedaan kemampuan
menggunakan alat inhalasi.

Usia Alat Inhalasi

< 5 tahun  Nebuliser


 MDI (metered dose inhaler) dengan alat
perenggang (spacer), Aerochamber,
Babyhaler

172
5 – 8 tahun  Nebuliser
 MDI dengan spacer
 DPI (dry powder inhaler); Diskhaler,
Turbuhaler

>8 tahun  Nebuliser


 MDI (metered dose inhaler) dengan
spacer
 DPI
 MDI tanpa spacer

Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring)
sehingga mengurangi jumlah obat yang akan tertelan dan akibatya, mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalam paru menjadi lebih banyak sehingga didapatkan efek terapetik yang
baik. (Evidence B) Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (dry powder inhaler, DPI) seperti
Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhakerm Easyhaler, dan Twisthaler, memerlukan inspirasi
yang kuat. Umumnya, bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu, misalnya spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler), dapat dimodifikasi menggunakan gelas atau botol minuman bekas, atau
menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi. (Evidence D)
PENCEGAHAN ASMA
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi yang belum
tersensitisasi, baik pada prenatal dan pascanatal.
Pencegaha sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi /asma pada bayi/anak
yang sudah tersensitisasi.
Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau eksaserbasi pada
bayi/anak asma.
Beberapa langkah penanganan asma pada anak adalah sebagai berikut :
1. Pemberian edukasi pada pasien dan keluarganya tentang asma
2. Penilaian dan pemantauan derajat asma
3. Penghndaran terhadap faktor risiko
4. Pembuatan rencana tatalaksana jangka panjang
5. Menatalaksana eksaserbasi atau serangan
6. Follow-up secara teratur

173
Pencegahan Primer
Orang tua dihindari terhadap lingkungan yang dapat bersifat sebagai faktor risiko.
Contohnya indoor pollutans asap rokok, debu rumah yang mengandung banyak tungau debu
rumah dan lain-lain.
Pascanatal : bayi dihindari dari pemberian ASI yang mengandung makanan yang dapat
menyebabkan alergi.
Pencegahan Sekunder
Mencegah terjadinya asma/inflamasi pada seorang anak yang sudah tersensitiasi. Secara klinis
hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan obat antihistamin. Pada eraly treatment of the
atopic child (ETAC), pemberian cetrizine selama 18 bulan pada anak dengan dermatitis atopi
yang orang tuanya atopi, dapat mencegah terjadinya asma sebanyak 50% bila anak tersebut
hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk sari.
Selain itu, hindari juga faktor risiko lain, yaitu alergen.
Pencegahan Tersier
Mencegah terjadinya serangan pada seorang anak yang sudah menerita asma. Pencegahan
terhadap hal tersebut merupakan salah satu langkah pencegahan tersier. Faktor lain yang dapat
menyebabkan serangan asma adalah gagalnya terapi jangka panjang. Yang dimaksud dengan
terapi jangka panjang adalah pemberian obat pengendali (controller) berupa kortikosterois,
baik yang diberikan tersendiri ataupun kombinasi dengan B-agonis kerja panjang atau
antileukotrien.

174
175
Manajemen dan Pencegahan Asma Dewasa

A. Membangun B. Mengidentifikasi C. Menilai & D. Mengatasi E. Kondisi


Hubungan dokter - & mengurangi mengobati serta eksaserbasi khusus
pasien pajanan faktor memonitor akut
resiko asma

Tujuan :
- Mencapai dan mempertahankan kondisi mengontrol gejala
- Mempertahankan kemampuan beraktivitas normal
- Mempertahankan faal paru
- Menghindari efek samping obat
- Mencegah kematian karena asma

A. Membangun Hubungan Dokter – Pasien

Tujuan :
Membentuk manajemen terarah sehingga pasien mampu mengontrol asmanya

Sebagai dokter, wajib menyediakan informasi, pelatihan dan nasihat


a. Diagnose harus jelas d. penggunaan obat inhalasi
b. Control asma e. pengobatan eksasarbasi
c. Mengenal pengobatan asma

Saat pasien melakukan kunjungan awal, yang harus dilakukan:


a. Informasikan tentang asma dan diagnosis serta tatalaksana umum
b. Alasan tentang pengobatan yang kita berikan
c. Strategi untuk menghindari Fx pencetus
d. Mendemonstrasikan obat inhaler yang diresepkan

Kemudian tidak lanjut/follow up pasien, dengan cara:


a. Masalah mengenai asma dan tatalaksanaan awal ditinjau ulang
b. Nilai secara teratur teknik penggunaan obat inhalasi
c. Nilai kepatuhan pasien

176
Tinjauan kepatuhan pasien, dengan cara:
- Lakukan komunikasi dengan baik
- Melakukan strategi jangka panjang

B. Mengidentifikasi dan mengurangi pejanan faktor resiko

1. Identifikasi dan mengendalikan pencetus

- Allergen hirup  binatang, jamur, debu, dll


- Pajanan lingkungan kerja  tempat kerja, iritasi
- Asap rokok

2. Hindari pajanan pencetus

Jika allergen yang ditelan/dimakan pajanan allergen hirup/polutan

≠ Makan makanan yang sudah terbukti kenali pencetus


menyebabkan perburukan asma
hindari pencetus
C. Menilai dan mengobati serta memonitor asma

Tujuan :
Mencapai asma terkontrol dengan memberikan pengobatan sesuai
penilaian mll tahapan pengobatan
# kapan pasien mencapai asma terkontrol?
 80 – 90% pasien Hp stabil selama 24 minggu dan kestabilan tersebut
Tidak dipengaruhi oleh beratnya asma tetapi lebih dipengaruhi oleh
panduan pengobatan

Jika kondisi terkontrol stabil (3 – 6 bulan)

Pengobatan dapat diturunkan bertahap

Dapat dibaca pada table tahapan pengobatan asma


(dewasa dan anak > 5 th)

177
Tabel: Tahapan pengobatan asma (dewasa dan anak > 5 tahun)

TAHAP 1 TAHAP 2 TAHAP 3 TAHAP 4 TAHAP 5

Edukasi Asma
Kontrol Lingkungan
Pelega, jika perlu
Agonis beta-2 kerja singkat
Pengontrol Pengontrol Pengontrol Pengobatan tahap
Pelega jika pilihan utama pilihan utama pilihan utama 4 ditambah
perlu
Inhalasi Kombinasi Kombinasi Kortikosteroid oral
kortikosteroid inhalasi inhalasi (metilprednisolon)
Agonis beta-2
dosis rendah kortikosterois kortikosteroid dosis terendah
kerja singkat
dosis rendah & dosis sedang-
agonis beta-2 tinggi & agonis
kerja lama beta-2 kerja
(LABACS) lama (LABACS)
Alternatif Alternatif Dapat
ditambahkan :
Leukotrien Inhalasi
modifier (Anti- kortikosteroid Antileukotrien/
leukotrien) dosis sedang- leukotrien
tinggi, atau modifiers
kombinasi
inhalasi Teofilin lepas
kortikosteroid lambat
dosis rendah &
antileukotrien/
leukotrien
modifiers
Alternatif lain

Kombinasi
inhalasi
kortikosteroid
dosis rendah &
teofilin lepas
lambat

178
Tabel : Dosis harian kortikosteroid inhalasi (analog dosis antara berbagai kortikoseroid
inhalasi)
Dosis rendah Dosis Sedang Dosis Tinggi
Kortikosteroid Inhalasi (Ug)
(Ug) (Ug)
200-500 >500-1000 >1000-2000
Beklometason
dipropionat
200-400 >400-800 >800-1600
Budesonid
80-160 >160-320 >320-1280
Siklesonid
500-1000 >1000-2000 >2000
Flunisonid
100-250 >250-500 >500-1000
Plutikason
200-400 >400-800 >800-1200
Mometason furoate
400-1000 >1000-2000 >2000
Triamsinolon

Tahapan pengobatan
1. Tahap 1
Kapan diberikan tahapan 1 ?
 Saat didapatkan gejala asma sangat jarang
- Diantara episodik tiadak ada gejala
- Faal paru normal
- Tidak ada riwayat pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi

Jika paisen masuk dalam kategori tahap 1

Berikan pelega agonis beta-2 kerja singkat (SABA) inhalasi


Alternatif : - SABA oral
- kombinasi oral SABA + teofilin /aminufilin

2. Tahap 2 (Pengobatan mengontrol teratur dan pelega tk perlu)


Kapan pasien diberikan tahapan 2?
 Didapatkan gejala asma dan eksaserbasi yang periodik
- Dengan/tanpa adanya pengobatan pengontrol kortikosteroid sebelumnya

Jika pasien masuk dalam kategori tahap 2

- Berikan pengontrol kortikosteroid inhalasi dosis rendah

179
- Pelega hanya diberikan jika perlu
Alternatif : - leucotrien muclifiers (berikan pada orang yang terutama tidak bisa memakai
inhalasi, seperti rhinitis alergika dominan)
- teofilin lepas lambat (terutama pada pasien asma malam/nocturnal asma)
3. Tahap 3
Kapan pasien diberikan pengobatan tahap 3?
 Jika pasien dalam tahap 2 selama + 12 minggu dan belum terkontrol

- Pasien dengan gejala sering, dengan atau tanpa pengobatan kortikosteroid inhalis.
- Berikan pengontrol kombinasi : LABA CS = kombinasi kortikosteroid dosis rendah + agonis
beta-2 kerja lama (LABA)
- Alternatif pengontrol lain : - kortiku steroid inhalusi (ILS) dosis sedang diberikan mll IDT
dengan spacer untuk meningkatkan pengantaran obat kesal napas
# Jika dalam pengobatan tahap 3 dan pasien belum terkontrol  rujuk ke dokter Spesialis
4. Tahap 4
Kapan pasien diberikan pengobatan tahap 4?

Terkontrol sebagian kepatuhan pasien


 Jika pd tahap 3 evaluasi kegagalan penggunaan obat inhalasi
≠ Terkontrol komurbiditas

- Pengontrol kombinasi inhalasi kortikosteroid (ICS) dosis tinggi/sedang + agonis beta-2 kerja
lama (LABASC)
- Dapat ditambah dengan = antileukotrien inhalasi
- Alternatif : kombinasi inhalasi kortikosteroid dosis rendah dan teofilin lepas lambat
5. Tahap 5
Kapan pasien diberikan pengobatan tahap 5?

Belum terkontrol
 Jika pada tahap 4
Sering eksaserbasi

Cara penggunaan obat


Kaji ulang kepatuhan
Pencetus lain

- LABCS dg ICS dosis tinggi dan kombinasi pengontrol lain (sesuai tahap 4)
- Dapat ditambah = kortikosteroid oral dosis rendah / anti Ig

180
# Setelah diberikan obat sesuai tahapannya

Pantau dan pertahankan asma terkontrol dengan meninjau derajat asmanya

Asma terkontrol asma terjadi perburukan

Turunkan pengobatan naikkan pengobatan (STEPPING Up)


Pengontrol (STEPPING Down)

Lakukan setelah 3 – 6 bulan pengobatan 1. Berikan bronkodilator berulang sesuai kebutuhan


2. pelega = agonis beta -2 kerja singkat
1. jika pasien sedang mengalami pengobatan 3. Peningkatan kortikosteroid inhalasi 2 x lipat
kortikosteroid inhalasi (ICS) dosis sedang
enggi  turunkan dosis 50% setiap 3 bulan
2. jika sudah dalam ICS dosis rendah
 turunkan pengobatan mnj satu hari sekali
3. jika dalam pengobatan kombinasi
LABA CS  turunkan ICS + 50%
setiap 3 bulan dengan tetap meneruskan
dosis agonis beta -2 LABA
4. jika dalam LABA CS dg ICS dosis rendah
 turunkan LABA CS mng satu kali sehari

Jika pasien tetap stabil asma setelah terkontrol.


Tidak ada gejala asma selama 1 tahun

Hentikan pengobatan pengontrol

181
D. Mengatasi eksaserbasi akut
Eksaserbasi  perburukan asma  ditandai sesak napas, batuk mengi, dada terasa berat ,VEP
1. Pasien mengalami eksaserbasi : Nilai berat eksaserbasi

2. Bagaimana menilai berat/tidaknya eksaserbasi ?


Tabel: Penilaian berat eksaserbasi akut
Berat Ekssaserbasi
Gejala & tanda
Ringan Sedang Berat Mengancam jiwa
Berjalan Berbicara Istirahat
Sesak napas, jika

tidur terlentang Duduk Duduk Berbaring
Posisi
Satu kalimat Bbrpa kata Kata per kata
Cara berbicara
Mungkin gelisah Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah,
Kesadaran
kesadaran menurun
<20x/menit 20 – 30 >30 x/menit
Frekuensi napas
x/menit
- + + Pergerakan
Otot bantu
torakoabdominal
napas & retraksi
paradoksal
suprasternal
Sedang, Keras Keras saat Tidak ada (Silent
Mengi
umumnya hanya umumnya inspirasi dan Chest)
(Wheezing)
pada akhir terdengar ekspirasi
ekspirasi paksa jelas saat
ekspirasi

<100x/menit 100-120x >120x/menit Bradikardia


Nadi
/menit
- 10 - 25 >25 mmHg -
Pulsus
atau <10mmHg mmHg (dewasa) Disebabkan
paradoksus
20-40 mm Hg kelelahan otot
(anak)
< 60% (<100
APE, setelah > 80% 60 - 80%
L/menit,
bronkodilator
dewasa)
awal % prediksi
nilai terbaik
Normal, tidak
PaO2 >60 mmHg <60 mmHg
membutuhkan

182
pem. AGDA <45 mmHg Sianosis
<45 mmHg mungkin
PaCO2 >45 mmHg
>95% 91 - 95% <90%
SaO1
Tabel : Penilaian awal eksaserbasi akut pada anak balita
Parameter Ringan Berat
Tidak ada Teragitasi, bingung, pusing
Gangguan kesadaran
Kalimat Kata
Bicara dalam ….
<100x/mnt >200x/mnt (0-3 tahun)
Denyut dani
>180x/mnt (4-5 tahan)
Variable Mungkin tidak nyata
Mengi
Tidak ada Kemungkinan ada
Sianosis sentral
≥94% <90%
Oksimetri

E. Terapi medikamentosa

1. Beta adrenergic
 Mekanisme kerja: menstimulasi reseptor-reseptor beta adrenergic yang
menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic Amp sehingga timbul relaksasi otot
polos jalan nafas yang menyebab kan terjadinya bronkodilatasi.
 Efek lain: menurunkan permeabilitas vascular dan berkurangnya pelepasan
mediator dari sel mast
 Reseptor B2 berada di epitel jalan nafas, otot pernafasan, alveoulus
 Golongan obat ini terdiri dari dari golongan selektif dan non selektif:

A. Golongan non selektif / epinefrin


 Contoh obat yang merupakan beta adrenergic kerja pendek
 Tidak direkomendasikan lagi kecuali tidak ada obat b2 agonis selektif
 Diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol
 Pemberian subkutan sebagai berikut: larutan epinefrin 1:1000(1mg/ml),
dengan dosisi 0,01 ml/kgbb dapat diberikan 3x dengan selang waktu 20
menit
 Efek puncal 30-120 menit
 Efek samping berupa sakit kepalam gelisah, palpitasi, takiaritmia, dan tremor

183
B. Golongan B2 agonis selektif
a. Kerja singkat
 Salbutamol (Oral 0,1-0,5 mg/kgbb/kali minum tiap 6 jam, Inhalasi
MDI(metered dosis inhaler) 100ug/kali)
 Terbutaline oral 0,05 -0,1 mg/kgbb/kali)
 OA= cepat (15-30min), 5 min via inhalasi
 DOA 3-4 jam
 Digunakan pada serangan asma akut
 MDI 2-4 semprotan tiap 3-4 jam untuk serangan ringan, serangan
sedang 6-10 semprtotan tiap 1-2 jam, berat lebih dari 10
semprotan
b. Kerja panjang
 Prokaterol 1-1,25 mikrogram/kgbb/x
 Merupakan bronkodilator kerja panjang (12 jam)
 Tidak digunakan untuk serangan akut
 Dikombinasikan dengan kortikosteroid
 Digunakan pada asma yg timbul pada waktu malam hari sebagai
pencegahan

2. Methylxanthine (teofiline kerja cepat)


 Efek bronkodilatasi setara dengan b2 agonis tetapi karena efek samping lebih
banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini sebaiknya diberikan hanya pada
serangan asma berat yang dengan pemberian kombinasi b2 agonis dan
antikolinergik yang tidak/kurang memberikan respon
 Famakodinamik:
 Relakasasi oto polos bronkus
 Stimulasi SSP : bias timbul kejang/ tremir
 Otor rangka: meningkatkan kontraksi otot rangka  menambah ventilasi
 Kardiovaskular : peningkatan kontraktilitas otot jantung, peningkatan
denyut jantung
 Gastro intestinal: meningkatkan sekresi asam lambung
 Farmakokinetik:
 Usia 1-6bln: 0,5 mg /kgbb/jam
 Usia 6-12 bln: 1,0mg/kgbb/jam
 Usia 1-9thn 1,2-1,5 mg/kgbb/jam
 Usia lebih dari 10 tahun: 0,9 mg/kgbb/jam

184
 Harus monitor konsentrasi obat di darah, harus dijaga sekitar 10-20mcg/ml agar
tetap memiliki efek terapi

3. Anti kolinergik
 Ipratropium bromide 0,1ml/kgbb, nebulisasi tiap 4jam
 Farmakodinamik
 Bronkodilator
 Kurang efektif dibandingkan agonis b2
 Penggunaan
 Ppok
 Tambahan untuk agonis b2 dan steroid untuk serangan asma akut
 Pasien yang tidak toleran terhadap aginis b2
 Efek samping kekeringan dan rasa tidak enak di mulut

4. Kortikosteroid
Dengan mengurangi inflamasi di jalan nafas  mengurangi spasme jalan nafas
 Glukokortikoid:
 Mekanisme kerja
o Hambatan terhadap phospholipase A2  menurunkan sinstesis
asam arakhidonat dan prostaglandin leukotriene
o Mengurangi jumal sel inflammatory di jalan nafas missal :
makrofah
 Cara pemberian
o Oral prednisone dosis 1-2mg//kgbb/hari diberikan 2-3x sehari
selama 3-5 hari
 Farmakokinetik
o Memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum di capai dalam waktu 12-24 jam
 Indikasi
o Terapi inhalasi b2 agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan
o Lini pertama asma sedang pada anak
o Kombinasi dengan b2 agonis
 Efek samping
o Sindrom cushing

185
CASE 5
(Left Spontaneous Secondary Pneumothorax)

PENULIS :
1. Bethari Lekso Aji (111 0211 140)
2. M. Eger Pratama (111 0211 051)
3. Arsyani Lizaria (111 0211 012)
4. Ita Masitoh Ardi (111 0211 092)
5. Novia Khairulbaria (111 0211 169)
6. Ignatius Abimanyu Putra (111 0211 080)

A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Pneumothorax
E. Efusi Pleura
F. Emphyema
G. Efusi Pleura Tuberkulosis
H. Emboli Paru
I. Hemothorax dan Efusi Pleura Lainnya
J. Atelektasis
K. Tension Pneumothorax
L. WSD dan Tindakan Operatif Lainnya

186
A. Tutorial Case
Case 5
Respiratory System
Page 1
Datang pasien diantar keluarganya di RS tempat anda bertugas sebagai ko-ass. Anda segera
melakukan anamnesis dan diketahui pasien tersebut bernama Tn. J, 40 tahun. Ia mengeluhkan sesak
napas dan nyeri pada dada kiri atas. Keluhan ini dirasakan sejak 3 jam yang lalu. Sesak napas tidak
disertai dengan napas berbunyi ngik-ngik dan dikuti dengan nyeri dada yang semakin lama semakin
bertambah berat. Keluhan ini timbul saat dia menonton televisi. Dia juga mengeluhkan pusing, batuk
dan badannya terasa lemah.
Keluhan lain seperti dada berdebar-debar, mual, muntah, bengkak pada kedua kaki, disangkal.
Tn. J juga menceritakan, dua bulan yang lalu pasien pernah menderita sesak napas seperti ini.
saat itu, dokter di RS melakukan WSD dan dia kembali bisa bernapas biasa.
Saat ini pasien sedang dalam pengobatan OAT bulan ke-5. Riwayat trauma disangkal oleh Tn. J.
Page 2
Anda pun segera melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke dokter jaga IGD.
(Melakukan px.fisik)
Sambil merencanakan untuk pemeriksaan penunjang, anda pun memberikan pasien terapi
oksigen dengan kanul nasal sebanyak 6 L/menit.
Page 4
Sesudah mendapatkan hasil pemeriksaaan penunjang dokter jaga menegakan diagnosis dan
segera memberi terapi awal kepada Tn. J sebelum masuk ruang perawatan.
Terapi Awal : Dilakukan pemasangan WSD

187
B. Overview Case
Tn J, 40 tahun

KU: sesak nafas KT: pusing, RPS: sesak nafas dan RPD: 2 bulan yang lalu pernah
dan nyeri dada batuk, dan nyeri dada kiri atas menderita sesak nafas seperti
kiri atas sejak 3 badan terasa terasa semakin berat ini. Dokter melakukan WSD
jam yang lalu. lemah. tidak disertai nafas dan dia kembali bisa bernafas
berbunyi ngik- ngik, biasa. Saat ini pasien dalam
batuk dan badan pengobatan OAT bulan ke 5.
terasa lemah.
Riwayat trauma disangkal.

Hipotesis:
Px fisik: Px. Penunjang:
Kesadaran CM tampak sesak. Kanul hidung 1) Pneumotoraks
2) Efusi pleura AGD: ph 7,27; PCO2 71,5; PO2 80;
terpasang dengan oksigen 3L/menit.
3) IMA HCO3 30 mEq; BE + 2,8; saturasi O2
Nadi:130x / mnt
4) TB. Paru 90%
TD: 147/75 mmHg 5) Empyema
Suhu: 37,3 6) Pneumonia Pada pemeriksaan rontgent: trakea
RR: 30 x/mnt 7) PPOK dan mediastinum bergeser ke sisi
HEENT: trakea tampak deviasi ke kanan, JVP kanan dan terlihat gambaran
5+2 cm H2O avaskular dan pleural line pada
Toraks: lapangan paru kiri.
 Inspeksi: statis dada kiri menonjol,
dinamis dada kiri tampak tertinggal. IC
tidak tampak.
 Palpasi: fremitus taktil kiri < kanan, Diagnosis:
IC tidak kuat angkat.
 Perkusi: hipersonor pada dada Penumotoraks sinistra spontan
sebelah kiri sekunder
 Auskultasi: suara nafas dasar
melemah pada dada kiri
BJ 1-2 murni- reguler
Abdomen & ekstremitas normal
Penatalaksanaa:

Dilakukan pemasangan chest tube


dengan water seal (WSD) melalui
ruang ICS 5 mid axila

188
C. Interpretasi kasus

Hipotesis diambil:
1) Penumotorax (rongga pleura berisi udara)
Karena berdasarkan anamesa terdapat tanda pneumotorax diantaranya sesak nafas,
nyeri dada. Kemudian diperkuat oleh riwayat TB paru, karena salah satu penyebab
pnumotoraks adalah infeksi paru. Dan di perkuat lagi dengan riwayat pemasangan WSD
karena salah satu indikasi dilakukan WSD adalah pneumotorax.
2) Efusi pleura (rongga pleura beris cairan berlebih)
Karena berdasarkan anamesa terdapat tanda efusi pleura diantaranya sesak nafas, nyeri
dada. Di tambah riwayat TB paru, karena salah satu penyebab efusi pleura adalah infeksi
paru. Di perkuat oleh riwayat pemasangan WSD karena salah satu dari indikasi
pemasangan WSD adalah efusi pleura.
3) IMA (Infark Miokard Akut)
Karena terdapat sesak nafas dan nyeri dada pada pasien sebagai tanda IMA, untuk
penapisan dilakukan pemeriksaan jantung.
4) TB paru
Karena berdasarkan anamesa terdapat riwayat penyakit TB paru dan sedang mengalami
pengobatan OAT, mungkin penyakit TB paru masih aktif dalam pasien sehingga
menimbulkan gejala sesak dan nyeri dada.
5) Empyema (perdangan supurasi/ terdapat abses pada rongga pleura)
Diambil karena terdapat sesak dan nyeri dada yg merupakan tanda dari emyema.
Diperkuat oleh riwayat infeksi paru yang berupa TB yang menjadi salah satu faktor
predisposisi empyema. Terdapat juga riwayat pemasangan WSD, karena salah satu dari
indikasi pemasangan WSD adalah emyema.
6) Pneumonia (infeksi parenkim paru)
Diambil karena terdapat 2 dari trias pneumonia yaitu nyeri dada dan sesak, namun
belum terlihat tanda infeksi. Untuk memperkuat dilakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang.

189
7) PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)
Diambil karena terdapat riwayat batuk, dan pula sesak nafas. Batuk tersendiri
merupakan gejala utama dari PPOK. Untuk penapisan dapat dilihat dari gambran
rontgent.

Pemeriksaan Fisik

 Nadi dan tekanan darah sistol meningkat menunjukan kompensasi tubuh untuk suply
oksigen jaringan yang tidak adekuat asalnya.
 Respiration rate meningkat menunjukan terjadinya peningkatan PCO2 pada paru dan
darah akibat gangguan ventilasi pada paru.
 Suhu tubuh normal (melemahkan pneumonia dan empyema, biasanya pneumonia dan
empyema disertai demam)
 HEENT: tampak deviasi ke kanan.
Menunjukan adanya tekanan yang kuat pada paru kiri, biasanya terdapat pada keadaan
paru yang kolaps akibat pneumotoraks, efusi pleura, dan emyema. (menguatkan
pneumotorax, efusi pleura, dan emyema)
 Toraks:
Inspeksi: statis dada kiri menonjol, dinamis dada kiri tertinggal
Palpasi: fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi: hipersonor pada dada kiri, batas jantung bergeser ke kanan. (menguatkan
pneumotoraks dan PPOK karena terdengar hipersonor yg menunjukan akumulasi udara
pada ruang paru. Melemahkan pneumonia, efusi pleura dan empyema yang biasanya
redup bahkan pekak karena akumulasi cairan)
BJ 1- 2 murni – reguler (melemahkan IMA yang biasanya terdengar kelainan pada bunyi
jantung akibat penyakit jantung)

190
Pemeriksaan Penunjang

 Analisa gas darah menunjukan asidosis respiratorik terkompensasi. Menggambarkan


adanya gangguan ventilasi O2 maupun CO2 yang ke alveolus akibat terdapat gangguan
dari paru sehingga CO2 yg seharusnya dikeluarkan tidak dapat dikeluarkan dengan
normal dan O2 yg seharusnya masuk tidak dapat masuk dengan normal.
 Pemeriksaan rontgent: trakea dan mediastinum bergeser ke sisi kanan dan terlihat
gambaran avaskular dan pleura line pada lapang paru kiri. (menguatkan adanya
pneumotorax, melemahkan pneumonia yg biasanya terdapat infiltrat, melemahkan TB
paru yang juga biasanya terdapat infiltrat pada apex paru walaupun terdapat riwayat
TB namun kemungkinan penyakit TB sudah sembuh bila dilihat dari gambaran rontgent,
melemahkan PPOK yg biasanya terdapat gambaran hiperairasi akibat akumulasi udara
yang berlebih pada alveolus namun pada kasus tidak terlihat, melemahkan IMA yg
biasanya terlihat gambaran hipertrofi jantung namun pada kasus tidak terlihat)

191
Patofisiologi Kasus

Infeksi Tb paru Tek. intrapleura meningkat

Batuk berulang Menekan Menekan Menekan paru


parenkim paru pleura ke arah bagian
parietalis yg normal

Tek. intra bronkial meningkat

Menekan Nyeri pleuritik Trakea deviasi


kemampuan ke arah paru yg
Robekan alveolus + proses ekspansi paru normal
peradangan, pembentukan
kavitas dan fibrosis yg
membuat dinding alveolus Kolaps paru Gangguan O2 ke otak
lemah difusi oksigen menurun

Terlihat
pleural line Dyspneu Nyeri kepala
Terbentuk bula pada alveolus
yg robek

PCO2 meningkat Rangsangan O2 perifer


simpatis tidak adekuat

Menggoyak jar fibrotik


peribronkovaskular yg
sebelumnya ada akibat
perdangan
Merangsang Cardiac Rangsangan
kemoreseptor output simpatis
sentral meningkat
Menyebabkan robekan
pada pleura viseralis

RR Hipertensi Nadi
Masuknya udara ke rongga pleura meningkat sistolik meningkat

192
D. Pneumothorax (Pneumotoraks)

Definisi
1
a. Adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura
b. Pneumotoraks didefinisikan sebagai akumulasi udara di rongga pleura dengan kolaps
sekunder dari paru sekitarnya.
“A pneumothorax is defined as the accumulation of air in the pleural space with secondary
collapse of the surrounding lung.”2

Etiologi
1. Trauma
2. Masuknya udara dengan perantara jarum, kateter, atau insisi melewati dinding dada
dan masuk ke cavitas pleura.
3. Rusaknya pleura visceral, seperti bleb, kista, atau bulla yang pecah dan menyebabkan
udara masuk ke rongga pleura.
4. Infeksi paru, seperti pneumonia ataupun tuberkulosis. Terutama terjadi pada
penederita penyakit imunodefisiensi

Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya
i. Pneumotoraks spontan:
1. Primer: Pneumotoraks yang terjadi tanpa ada peristiwa pencetus pada orang
tanpa bukti klinis menderita penyakit paru.3
2. Sekunder: Pneumotoraks yang terjadi sebagai komplikasi dari penyakit paru
penyerta (underlying lung disease).4

1
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
3
Ibid.
4
Ibid.

193
b. Pneumotoraks Traumatik: Pneumotoraks yang terjadi sebagai hasil dari trauma
tumpul atau tajam yang mengenai paru, bronkus, atau esofagus.5
c. Pneumotoraks Iatrogenik: Merupakan subkategori dari pneumotoraks traumatik.
Pneumotoraks yang terjadi sebagai konsekuensi dari manuver diagnostik atau
terapeutik. Contohnya adalah torasentesis, insersi kateter vena sentral, atau ventilasi
mekanik.6

Klasifikasi Berdasarkan Fistulanya


 Pneumotoraks Sederhana
 Pneumotoraks Terbuka: Pneumotoraks yang lubang kebocorannya terhubung dengan
udara terbuka. Contoh pada luka tembak. Lubang kebocoran ada di dinding dada dan
pleura parietalis.
 Pneumotoraks Tertutup: Pneumotoraks yang lubang kebocorannya tidak terhubung
dengan udara terbuka. Contoh pada pneumotoraks akibat tuberkulosis, dimana lubang
kebocoran ada pada pleura visceralis sehingga lubangnya berada di dalam paru dan
terhubung ke rongga pleura tanpa ada hubungan ke dunia luar.
 Pneumotoraks ventil: Pneumotoraks yang terjadi dimana lubang kebocorannya
berperan layaknya katup satu pintu atau one-way valve. Udara bisa masuk ke dalam
rongga pleura tapi tidak bisa keluar dari rongga pleura karena lubangnya tertutup saat
ekspirasi.

5
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
6
Ibid.

194
Gambar 1 Ilustrasi pneumotoraks
Keterangan Gambar:
• Einatmung:Inspirasi
• Ausatmung: Ekspirasi
• Offener Pneumothorax: Pneumotoraks terbuka
• Geschlossener Pneumothorax: Pneumotoraks tertutup
• Spannungspneumothorax: Tension Pneumothorax

Reabsorpsi Gas Rongga Pleura


Pada hakikatnya, udara di dalam rongga pleura bisa diabsorpsi dengan cara difusi
sederhana menuruni gradiennya. Difusi ini berlangsung melalui darah vena.
Laju reabsorpsi udara bergantung pada 4 variabel:
a. Gradien tekanan udara antara rongga udara dengan darah vena.
“The pressure gradient for the gases between the pleural space in relation to the venous
blood.”
b. Sifat difusi udara yang ada di dalam rongga pleura.
“The diffusion properties for the gases present in the pleural space.”

195
Oksigen diabsorbsi 62 kali lebih cepat dari nitrogen. Karbon dioksida diabsorbsi 23 kali
lebih cepat daripada oksigen. Sedangkan, nitrogen adalah gas yang paling lama untuk
direabsorbsi.
a. Area kontak antara udara pleura dan pleura.
“The area of contact between the pleural gas and pleura.”
b. Permeabilitas permukaan pleura (contohnya adalah pleura yang menebal, fibrotik
akan daya absorbsinya kurang daripada pleura normal.
“The permeability of the pleural surface (i.e., a thickened, fibrotic pleura will absorb
less than normal pleura).” 7
Bila terdapat gas di rongga pleura maka tekanannya berada di bawah tekanan atmosfer
yaitu sekitar 755-758 mmHg. Sedangkan, tekanan gas pada darah vena sebagai berikut: PO2 =
40 mmHg, PCO2 = 46 mmHg, PN2 = 573 mmHg, and PH2O = 47 mmHg. Maka, tekanan gas total
dalam darah vena adalah 706 mmHg, kira-kira 50 mmHg di bawah tekanan rongga pleura.8
Sehingga terdapat gradien tekanan menyebabkan udara di rongga pleura dapat diserap oleh
darah vena hingga terjadi keseimbangan.
Waktu yang diperlukan untuk mengabsorbsi semua gas di pneumotoraks cukup bervariasi.
Diperkirakan 1-6% dari pneumotoraks diabsorbsi dalam 24 jam.9

Epidemiologi
Pneumotoraks Spontan Primer
Pada umumnya, terjadi pada pria muda berumur antara 20-40 tahun. Walaupun wanita
memiliki insiden yang jauh lebih rendah, mereka cenderung mengalaminya 2-5 tahun lebih awal
daripada wanita. Pasien berumur 40 tahun ke atas jarang mengalami episode primer/episode
awal terjadinya PSP.10
Pasien yang datang cenderung tinggi, kurus, dan punya riwayat merokok. Menurut studi
dari Melton dan teman-temannya, PSP cenderung meningkat bersamaan dengan tingginya
badan.11
Merokok tembakau secara signifikan meningkatkan risiko pneumotoraks spontan. Pada
satu studi ditemukan bahwa hal ini berhubungan dengan meningkatnya risiko 9 kali lipat untuk
mengalami serangan PSP pertama. Risiko relatif PSP bergantung pada kuantitas rokok yang
dihisap per haru dan lamanya pajanan, risiko relatif meningkat lebih dari 20 kali pada pria yang

7 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
8 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
9
Fishman, Alfred P. et. al. op. cit.
10
Ibid.
11 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.

196
merokok setengah bungkus per hari dan 100 kali lebih tinggi pada pria yang merokok satu
bungkus per hari dibandingkan dengan pria bukan perokok. Risiko seumur hidup pada pria
merokok yang sehat sebanyak 12% sedangkan untuk pria bukan perokok yang sehat sebanyak
0,1%.12

Pneumotoraks Spontan Sekunder

Insiden PSS mirip dengan PSP. Umumnya, pasien PSP berusia 15-20 tahun lebih tua
daripada pasien PSP.13 Umumnya terjadi pada pasien 60-65 tahun. Insidens 6,3 kasus/100.000
orang per tahun untuk pria sedangkan untuk wanita insiden 2 kasus/100.000 orang per tahun.
Rasio pria: wanita = 3,2:1. Penyebab yang umum adalah COPD.

Pneumotoraks Traumatik

Antara tahun 1950 dan 1974, ada 318 kasus pneumotoraks di Olmsted County,
Minnesota. Trauma sebagai penyebab pada 177 kasus (56 persen), 102 di antaranya
iatrogenik.14

Kasus pneumotoraks akibat aspirasi jarum transtoraks berkisar antara 20-40 persen,
diikuti oleh kateterisasi vena sentral dengan kisaran antara 2-12 persen, sedangkan yang paling
rendah insidennya adalah akibat torasentesis yaitu sekitar 5 persen. Ventilasi mekanik
merupakan sumber tersering dan berpotensi menimbulkan kematian dalam terjadinya
pneumotoraks iatrogenik. Insiden total antara 4-15 persen dan semakin tinggi pada pasien
penderita pneumonia aspirasi.

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pneumotoraks bergantung pada beratnya penyakit. Dalam persentase


yang kecil pasien bisa asimptomatik atau mengeluh malaise.

Gambaran simptomatik sebagai berikut:

 Gejala:

o Nyeri dada pleuritik yang akut dan terlokalisir di bagian yang sakit.

o Dispneu.

12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.

197
 Tanda Fisik:

o Suara napas asimetris antara paru kiri dengan paru kanan atau berkurang.

o Hipersonor.

o Deviasi trakea (pada tension pneumothorax).

o Tekanan darah menurun (pada tension pneumothorax).15

Keluhan seperti batuk, hemoptisis dan ortopneu adalah manifestasi yang jarang terjadi.
Pada pneumotoraks spontan, biasanya terjadi saat istirahat dan kurang dari 10% yang terjadi
saat aktivitas berat.

Pada pneumotoraks spontan primer, ada dispneu dan nyeri dada yang kurang menonjol
untuk 24 jam pertama sehingga hampir separuh pasien baru mencari pengobatan setelah 2 hari
dan 18% pasien mencari pengobatan setelah lebih dari seminggu.

Pada pneumotoraks spontan sekunder, psasien mengalami gejala yang lebih berat
daripada pasien PSP, dan derajat dispneu tidak sesuai dengan ukuran pneumotoraks.

Pada pemeriksaan fisik:

• Tanda vital biasanya normal, dengan pengecualian takikardia sedang.

• Pada pemeriksaan dada, sisi yang terkena lebih besar dan geraknya lebih lambat saat
respirasi. Bila diperkusi akan terdengar hipersonor. Suara napas tidak terdengar atau
berkurang pada sisi yang sakit.

• Tanda Hamman/Hamman’s sign mungkin terdengar. Tanda Hamman dideskripsikan


sebagai bunyi “klik” atau bunyi renyah/crunching yang sinkron dengan denyut jantung
tapi dipengaruhi respirasi dan posisi tubuh.16

• Tanda-tanda kemungkinan tension pneumothorax berupa denyut jantung di atas 140


denyut per menit, hipotensi, sianosis, atau deviasi trakea.17

• Pneumotoraks yang kecil (<20 persen) biasanya tidak terdeteksi pemeriksaan fisik.

15 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
16 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
17
Ibid.

198
• Pada pasien penyakit paru obstruktif, pneumotoraks yang ukurannya besar sekalipun
akan sulit dideteksi karena penyakit paru obstruktif itu sendiri sudah memiliki tanda
fisik seperti penumotoraks yaitu suara napas yang melemah dan hipersonor.18

Perbedaan dengan efusi pleura:

Efusi Pleura Pneumotoraks

Dispneu bervariasi Dispneu (jika luas)

Nyeri pleuritik Nyeri pleuritik

Trakea bergeser menjauhi Trakea bergeser menjauhi


sisi yang mengalami efusi sisi yang mengalami
pneumotoraks

Ruang interkostal Takikardia dan sianosis


menonjol (efusi berat)

Pergerakan dada berkuran Pergerakan dada berkuran


dan terhambat pada dan terhambat pada
bagian yg terkena bagian yg terkena

Perkusi meredup di atas Perkusi hipersonor di atas


efusi pleura pneumotoraks

Egofoni di atas paru yang Perkusi meredup di atas


tertekan dekat efusi paru yg kolaps

Suara napas berkurang di Suara napas berkurang


atas efusi pleura atau tidak ada pd sisi yg
terkena

Fremitus vokal dan raba Fremitus vokal dan raba


berkurang berkurang

Tabel 1 Perbedaan efusi pleura dan pneumotoraks19

18
Ibid.
19
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 2.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

199
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik , serta dikonfirmasi
dengan foto toraks. Karakteristik pneumotoraks adalah terdapatnya pleural line. Pleural line
merupakan sebuah garis lengkungan manifestasi radiografik dari batas paru/pleura visceral
yang terpisah dari dinding dada. Di antara dinding dada dengan pleura visceral itu akan tampak
rongga pleura sebagai gambaran lusen tanpa ada tanda vaskular normal paru yang terlihat. Bila
pneumotoraks kecil, maka pemisahan plaura visceral dan parietal akan terlihat di bagian atas
film tepat di apex dimana udara pertama kali terakumulasi. Bila ukurannya besar, maka volume
paru akan berkurang secara signifikan dan densitasnya akan lebih besar daripada biasanya.

Gambar 2 Pneumotoraks spontan kiri. Tanda panah menunjukkan pleural line.20

Bila terjadi hydropneumothorax, dimana udara dan cairan ada di rongga pleura, maka cairan
tersebut tidak lagi membentuk meniskus atau cekungan seperti yang biasa terlihat pada efusi
pleura melainkan turun searah gravitasi dan berbatas tegas dengan udara/ air-fluid level. Batas
cairan lurus tegak. Warna cairan terlihat opak. Sedangkan, udara tampak lusen Bila terjadi
tension pneumothorax, maka dapat dilihat terjadinya pergeseran mediastinum ke arah yang
sehat serta ditemui deviasi trakea.21

20 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
21
Ibid.

200
Gambar 3 Gambar radiografik dari hydropneumothorax kanan. 22

Gambar 4 Gambaran radiografik dari tension pneumothorax kanan.23

22
Ibid.
23 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.

201
Diagnosis Banding
1. Emfisema
2. Infark jantung
3. Infark paru
4. Efusi pleura
5. Pleuritis
6. Emboli paru
7. Edema paru
8. Gagal jantung kongestif
9. tamponade jantung

Menentukan Ukuran Pneumotoraks


Pengukuran ini ditujukan untuk menentukan terapi yang diberikan. Pengukuran ini
sangat membantu; sayangnya, metode pengukuran ini kurang seragam dan kurang akurat.24
Ada 2 cara untuk melakukan pengukuran:
 Cara Light:
Cara ini dihitung berdasarkan diameter rata-rata paru yang kolaps dengan diameter
hemitoraks yang terkena. Masing-masing diameter ini dipangkat 3 untuk mendapat hasil
estimasi persentase paru yang kolaps.
Sebagai contoh diameter paru yang kolaps 6 cm dan diameter hemitoraks yang terkena
adalah 10 cm. kemudian gunakan persamaan sebagai berikut:
Persentase paru yang kolaps = 100 - diameter paru3/diameter hemitoraks3
Sehingga bila kita masukkan maka 100 − 63/103 hasilnya adalah 78 persen.
b) Cara Rhea:
Rhea dan koleganya mengusulkan penggunaan nomogram untuk menghitung ukuran
pneumotoraks. Dengan meotde ini, jarak rata-rata intrapleura dihitung dengan mengukur jarak
intrapleura di apex dan pada titik tengah paru paling atas dan paru paling bawah. Akan
didapatkan 3 nilai pengukuran yang dirata-rata, kemudian hasilnya dicocokkan dengan
normogram yang akan menghasilkan perkiraan ukuran pneumotoraks.

24 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.

202
Gambar 5 Cara menghitung ukuran pneumotoraks.

Terapi
Prinsip terapi pneumotoraks adalah mengevakuasi udara dari rongga pleura, menutup
kebocoran, dan mencegah atau mengurangi risiko terjadinya penumotoraks. Pemilihan terapi
berdasarkan banyak faktor, seperti satatus klinis pasien, penyebab pneumotoraks, bukti
penyakit paru yang mendasari, riwayat pneumotoraks terdahulu, risiko rekurensi, pengalaman
dan teknik yang dipilih dokter, serta pilihan terapi spesifik yang tersedia.
Kategori utama terapi sebagai berikut:
 Observasi
Observasi dilakukan bila ada bukti bahwa kebocoran sudah tertutup atau tidak ada
progresi dari pneumotoraks dengan cara melakukan foto toraks secara serial dalam waktu 24
jam pertama. Manajemen ini dilakukan untuk pasien asimptomatik dengan pneumotoraks kecil
(<20%) unilateral.
Manajemen ini berisiko karena komplikasi dapat terjadi secara cepat. Pada sebuah studi
mengenai observasi, dilaporkan 5% kematian akibat perkembangan kebocoran pleura yang
tidak diketahui menjadi tension pneumothorax.
Selama observasi kita bisa memberikan oksigen 100% dengan harapan mempercepat
laju absorpsi udara pleura. Gas yang ada di rongga pleura sama komposisinya dengan udara
atmosfer. Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kandungan nitrogen di udara
sebenarnya adalah yang paling banyak, sedangkan nitrogen sulit untuk diabsorbsi. Maka itu,
diharapkan dengan menambah kandungan oksigen maka kandungan gas di dalam rongga

203
toraks disusun sebagian besar oleh oksigen dan tidak mengandung nitrogen. Pneumotoraks
diserap lebih cepat karena 2 alasan: pneumotoraks diisi oleh oksigen yang lebih mudah larut,
dan gradien tekanan antara pneumotoraks dan darah vena lebih besar, karena oksigen 100%
membilas nitrogen dari alveoli dan darah vena. Bergantung pada keadaan dan tingkat
komplians pasien, follow-up lanjutan bisa dilakukan dengan cara rawat jalan.
 Aspirasi
Pada pasien dengan pneumotoraks besar (>20%) maka dilakukan tindakan aspirasi.
Tindakan aspirasi ada dua macam yaitu:
 Aspirasi Sederhana25
Prosedurnya dengan memasukkan kateter plastik 16G atau 18G (gauge) dengan teknik
steril yang sebelumnya pasien dianestesi lokal terlebih dahulu. Titik rekomendasi utuk insersi
adalah di ICS 2 garis midclavicula. Kateter kemudian dihubungkan dengan three-way stopcock
dan sebuah syringe bervolume besar. Aspirasi dilakukan hingga tidak ada gas tersisa. Foto
toraks sebagai follow-up dilakukan. Bila percobaan pertama tidak berhasil maka lakukan
percobaan aspirasi kedua. Bila percobaan aspirasi kedua tidak berhasil atau volume yang
diaspirasi banyak tapi tidak ada resolusi, maka tube thoracostomy harus dilakukan.

Gambar 6 Alat untuk melakukan aspirasi sederhana.

 Insersi Chest Tube/Water Sealed Drainage/Tube Thoracotomy26


Pemasangan chest tube digunakan untuk pembuangan gas dalam rongga pleura secara
kontinyu. Untuk pneumotoraks tanpa komplikasi dan tanpa jumlah cairan atau darah yang
signifikan, bisa digunakan selang ukuran No. 16-French hingga 24-French untuk meminimalisir
ketidaknyamanan selang yang lebih besar di ICS.

25 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
26 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.

204
Selang itu kemudian dihubungkan dengan sistem drainase pleura yang terdiri dari 3
ruangan. Ruangan pertama merupakan ruangan untuk mengumpulkan cairan. Ruangan ini
terhubung dengan ruangan waterseal yang mampu mengalirkan udara keluar dari rongga
pleura, tapi dalam satu arah. Hubungan terakhir dengan botol manometer, yang meregulasi
derajat penghisapan yang digunakan sistem.
Setelah pemasangan tube thoracostomy, perawatan harus dilakukan karena potensi
edema paru pasca ekspansi. Setelah sebagian besar pneumotoraks dievakuasi, penghisapan
diterapkan untuk 24 jam ke depan. Jika ada kebocoran udara, dibuktikan dengan keluarnya
udara secara kontinyu atau intermiten melalui water seal chamber, penghisapan
dipertahankan. Bila tidak ada bukti kebocoran udara, selang dapat dipasang ke underwater seal.
Setelah periode observasi tambahan 12-24 jam, chest tube dapat dilepas jika
pneumotoraks tidak terjadi lagi. Tube thoracostomy sendiri akan menghasilkan penutupan
kebocoran udara pada kebanyakan kasus dengan evakuasi sempurna rongga pleura dan aposisi
pleura visceral dengan pleura parietal. Kebocoran udara yang persisten >72 jam umumnya
menandakan bahwa kebocoran itu tidak bisa menutup dengan regimen ini dan segera
pertimbangkan terapi yang lebih agresif, biasanya bedah dengan atau tanpa pleurodesis.
Banyak perdebatan mengenai aspirasi sederhana dengan insersi chest tube. Menurut
British Thoracic Society, aspirasi sederhana merupakan lini pertama terapi penumotoraks untuk
semua pasien dengan episode pertama pneumotoraks spontan. Hal ini berbeda dengan
pendapat dari American College of Chest Physicians Delphi Consensus Statement yang
menggambarkan sifat kontroversial dari terapi jenis ini. Sebuah percobaan acak terkontrol
membuktikan aspirasi sederhana bermanfaat karena waktu hospitalisasi yang lebih singkat dan
tidak ada perbedaan signifikan tingkat rekurensi selama setahun. Pada studi ini, 66% pasien
sembuh. Pasien dengan pneumotoraks spontan sekunder atau rekurens umumnya tidak
memiliki hasil yang baik bila diterapi dengan aspirasi sederhana.

205
Gambar 7 Alat untuk water sealed drainage.

 Bedah
Indikasi terapi bedah:
 Bila tindakan non invasif gagal
 Pneumotoraks persisten atau rekurens
 Bila gambaran awal pasien menunjukkan faktor-faktor yang
diperkirakan akan meningkatkan risiko rekurensi kemudian hari.
 Untuk menurunkan risiko rekurensi.
 Pasien dengan gaya hidup yang berisiko tinggi, seperti pilot atau
penyelam, aau pasien yang tidak punya akses segera ke pusat
kesehatan
 Pasien dengan pneumotoraks bilateral ataupun tension
pneumotoraks.
 Kebocoran udara yang gagal menutup setelah >72 jam
penghisapan dimana kesempatannya kecil untuk menutup
spontan.
 Pasien yang pada terapi sebelumnya menghasilkan reekspansi
paru tidak sempurna yang mungkin diakibatkan terjebaknya paru
karena jaringan fibrotik yang mengelupas atau lokulasi
pneumotoraks.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan berupa:

 Torakoskopi/Video-assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)


Keuntungan dari prosedur ini terletak pada rasa tidak nyaman pasca operasi lebih
sedikit, masa hospitalisasi berkurang, dan morbiditas berkurang. Teknik ini butuh anestesi
umum tapi pada pasien yang sudah tua atau punya penyakit paru penyerta yang signifikan
dapat menggunakan anestesi lokal dan epidural.
Seluruh paru diinspeksi dan dicari sumber kebocorannya dengan menggunakan kamera
dengan 3 port terpisah di ICS sebagai tempat pemasangannya dan sebagai alat untuk
memanipulasinya. Umumnya, area apikal merupakan lokasinya. Pada area ini bisa ditutup
dengan menggunakan stapler. Pada pasien dengan penyakit paru penyerta, khususnya PPOK,
garis jahitan bisa diperkuat dengan bantuan perikardium sapi untuk meminimalisir kebocoran
udara persisten. Permukasan pleura bisa diberi talc untuk dilakukan pleurodesis agar tercapai
suatu derajat adhesi pleura mengikuti re-ekspansi paru. Follow-up tingkat rekurensi dalam
jangka waktu lama menunjukkan hasil yang sama dengan torakotomi.

206
 Torakotomi Terbuka
Torakotomi secara klasik dipercaya sebagai cara paling efektif dan ampuh untuk terapi
pneumototraks. Tingkat rekurensi <2 persen. Dengan cara ini dapat dilakukan pemeriksaan
daerah yang mengalami kebocoran udara, dapat melepaskan jaringan fibrotik yang mengelupas
yang biasanya terbentuk, dan dapat melisiskan adhesi sebelumnya yang menyebabkan lokulasi
pneumotoraks. Kekurangan prosedur adalah rasa tidak nyaman pasca operasi.
Untuk mengurangi rasa tidak nyaman, beberapa variasi dilakukan seperti insisi yang
diperkecil seperti muscle-sparing thorcotomies dan axillary thoracotomy. Pemeriksaan paru,
penutupan kebocoran udara, dan pleurodesis atau pleurektomi masih dpaat dilakukan.
Walau torakoskopi sudah menggantikan torakotomi sebagai terapi bedah
pneumotoraks di berbagai institusi, torakotomi masih menjadi pilihan untuk terapi pada kasus
yang rumit.

207
Dari semua jenis-jenis terapi di atas, ada beberapa guidelines yang harus diperhatikan dalam
penatalaksanaan pneumotoraks, yaitu:
 Pneumotoraks Spontan Primer27

Gambar 8 Algoritma penatalaksanaan pneumotoraks spontan

Pasien yang pertama kali kena dilihat apakah dia asimptomatik atau dia simptomatik.
Bila asimptomatik atau diperkirakan <20% bisa diobservasi terlebih dahulu dan bila perlu diberi
oksigen 100%. Bila simptomatik atau diperkirakan >20% maka langsung dilakukan aspirasi
sederhana bila tidak berhasil lakukan WSD/tube thoracostomy. Bila berhasil dengan re-ekspansi
paru total dan tidaka da kebocoran udara bisa dipertimbangkan untuk pleurodesis dengan talc
atau doksiklin untuk mengurangi rekurensi tapi tindakan ini bukan suatu keharusan. Bila setelah
di WSD masih ada kebocoran > 72 jam maka segera lakukan terapi bedah. Pada pasien yang
sudah pernah kena dan kemudian terjadi rekurensi untuk pertama kalinya harus dilakukan
prosedur bedah bisa dengan torakoskopi atau torakostomi terbuka dan pleurodesis kimia.

27 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.

208
 Pneumotoraks Spontan Sekunder28
o PPOK
Umumnya dilakukan WSD/tube thoracostomy. Bila pasien bukan kandidat yang bagus
untuk operasi (tidak sesuai indikasi) maka dilakukan pleurodesis kimia dengan talc atau
deoksisiklin setelah reekspansi paru total dan tidak ada kebocoran udara.
Bila pasien kandidat yang baik untuk bedah atau ada kebocoran persisten > 72 jam maka
tindakan lebih agresif dilakukan. Terapi rekomendasi seperti torakoskopi, VATS, atau
torakotomi dengan pleurodesis mekanik atau kimia, pleurektomi, serta stapling resection.
o Fibrosis Kistik
Dilakukan terapi bedah dimana hasilnya lebih baik dan episode rekurensi serta
komplikasi lebih jarang. Perlu juga dilakukan pleurodesis sebagai tambahan penutupan
kebocoran udara selain dengan cara bedah.
o AIDS
WSD merupakan pilihan utama terapi insial. Karena tingginya kegagalan terapi primer
dan sekunder, maka pasien tanpa kebocoran udara dengan reekspansi paru total harus
dilakukan pleurodesis dengan talc.
o Kondisi Lainnya
Pasien dengan pneumotoraks iatrogenik diterapi dengan observasi atau aspirasi sesuai
dengan guidelines yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pasien pneumotoraks akibat trauma
harus dilakukan WSD karena berhubungan dengan hemotoraks dan tingkat keselamatan
menurun karena adanya cedera lain. Pasien dengan pneumotoraks bilateral atau tension
pneumothorax harus dilakukan tube thoracostomy. Terapi lanjutan dengan pleurodesis kimia
ataupun bedah bergantung pada patologi paru yang mendasari.

Komplikasi
1. Edema paru
2. Fistula bronkopleura
3. Tension pneumothorax

28 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.

209
Patofisiologi

Jarak paru dan Etiologi yang mendasari


dinding thorax
jauh
Terjadi kebocoran pleura sehingga udara Menekan saraf nyeri pleura
Rambat getar dan masuk ke rongga pleura parietalis
suara ↓
Tekanan di rongga pleura ↑ Nyeri dada

Suara napas Vocal


berkurang fremitus Menekan paru
atau tidak ada berkurang

Paru tidak bisa mengembang dengan baik Mendesak mediastinum

Ventilasi berkurang
Deviasi trakea mempersempit
ruang jantung dan
meninkatkan tekanan
Perfusi O2 ke jaringan Sesak napas Perfusi O2 ke otak ↓ di dalam jantung
berkurang sedangkan
jaringan terus
bermetabolisme Pusing Venous return ↓
Aktivasi saraf
menghasilkan CO2
simpatis

Hipotensi
TD ↑ Nadi ↑

PaCO2 ↑ RR ↑

Ion H+ kadarnya meningkat


menyebabkan pergeseran pH karena
sifatnya asam

Asidosis respiratorik

210
E. Efusi Pleura
Definisi :

Akumulasi cairan abnormal di rongga (kavum) pleura.

Definisi lainnya:

Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan
visceralis dan parietal. Biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain.

Etiologi :

Cairan pleura berakumulasi ketika pembentukkan cairan pleura melebihi absopsinya.


Normalnya, cairan memasuki rongga pleura dari dalam kapiler di pleura parietal dan diserap via
limfatik di pleura parietal. Cairan juga dapat masuk ke rongga pleura dari ruang interstitial paru
via pleura visceral atau dari cavum peritoneal melalui lubang kecil di diafragma. Limfa memiliki
kapasitas untuk mengabsorbsi 20 kali kali lebih banyak dari bentuk normalnya.

Sehingga, effusi pleura dapat terjadi ketika terjadi salah satu atau dua kejadian dibawah ini :

1. Pembentukkan cairan berlebih (dari rongga interstitial paru, pleura parietalatau rongga
peritoneal)
2. Penurunan absorbsi limfatik.

Etiologi lainnya

1. Hambatan reabsorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi gagal jantung.

2. Pembentukan cairan yang berlebihan karena radang (TB, pneumonia, virus),


bronkiektasis, tumor.

3. Penyebab lain: pembedahan jantung, cadera di dada, obat- obatan, pemasangan selang
untuk makan / IV yg kurang baik.

Klasifikasi

1. Efusi transudat: Terjadi bila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan
osmotik koloid terganggu sehingga terbentuknya cairan akan melebihi reabsorbsinya.
Biasanya terjadi akibat komplikasi dari gagal jantung, dan hipertensi pulmonal pada
gagal jantung.

211
2. Efusi eksudat: Terjadi bila proses peradangan menyebabkan permeabilitas kapiler dan
pembuluh darah pleura meningkat.

Tanda dan gejala

• Nyeri: akibat akumulasi cairan intrapleural menekan saraf parenkim paru. Biasanya nyeri
pada efusi pleura berhubungan dengan bernafas.

• Dyspneu: akibat akumulasi cairan intrapleural yang menekan parenkim paru sehingga
kemampuan ekspansi paru berkurang, difusi oksigen berkurang dan dengan mekanisme
kompensasi pernafasan permenit meningkat.

• Adanya gejala penyakit penyebab: gejala pneumonia (demam, batuk, nyeri dada), TB
(demam, berkeringat malam, batuk).

• Deviasi trakea menjauh tempat yang sakit.

• Fremitus melemah, pada perkusi ditemui redup sampai pekak, pada auskultasi didapati
vesikuler melemah dengan ronki basah.

212
Pemeriksaan diagnostik

1. Radiologik: menghilangnya sudut kostofrenikus, akan tampak cairan dengan permukaan


melengkung, tampak paru kolaps.

2. Torakosentesis: untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi, berat


jenis. Pemeriksaan ini ditujukan untuk identifikasi penyebab, dan menentukan klasifikasi
afusi pleura.

213
Penatalaksanaan

1. Terapi oksigen 3-4 L/menit

2. Toracosentesis: untuk membuang cairan dan mendapatkan spesimen guna keperluan


analisis dan menghilangkan dyspneu dan sesak nafas. Setelah torakosentesis, dilakukan
pleurodesis dengan tetrasiklin 500mg yg dilarutkan dlm 20cc Nacl dan di masukan dlm
pelura dan berfungsi mencegah efusi berlanjut dengan mekanisme obliterasi pleura.

3. Bila penyebab dasar sudah diketahui maka lakukan pengobatan sesuai etiologi.

4. WSD bila terjadi efusi berulang selang beberapa hari setelah torakosentesis.

214
Dilakuan aspirasi dengan jarum yang besar dan terhubung dengan pipa dan tabung untuk
menyalurkan dan menampung cairan pleura pada efusi pleura. Dilakukan di regio aksilaris
posterior atau anterior (bergantung akumulasi cairan), dengan posisi pasien duduk.

Setelah cairan keluar, dilakukan pleurodesis dengan tujuan mencegah efusi berlanjut dengan
mekanisme obliterasi plura viserali dan parietalis sehingga saling menempel. Digunakan
tetrasiklin 500mg dilarutkan dalam 20cc Nacl, dimasukan dalam pleura, di tunggu dalam 6 jam.
Kemudian cairan di keluarkan lagi dengan traceosentesis.

215
F. Empyema
Definisi :

Terdapatnya pus di rongga pleura (efusi pleura yang bersifat purulen).

Etiologi :

 Tersering oleh karena perluasan langsung dari infeksi parenkim paru ke rongga pleura
(>50%)
 20% dari post-operasi
 Trauma tajam atau tumpul
 Terkadang bakteri dari infeksi abdomen (contoh : abses subdiafragmatik) melewati
diafragma dan masuk ke rongga pleura
 Jarang, dari komplikasi thorakosentesis atau biopsi pleura
 60-70% pasien dengan empyema memiliki penyakit yang mendasarinya, COPD dan
neoplasmaditemukan pada 1/3 pasien
 Penyakit lain yang berhubungan antara lain :
o Alcoholism
o Diabetes
o esophageal disease
o disorders of the central nervous system that lead to aspiration of oropharyngeal
contents.
Patogenesis :
Pembentukkan empyema dapat dibedakan menjadi 3 fase :
1. fase eksudatif : cairan efusi kaya akan protein tetapi masih belum kental, sel neutrofil
meningkat tetapi kadar glukosa dan Ph masih normal
2. fase fibrinolitik : cairan pleura bertambah kental, dijumpai banyak fibroblas, kada
glukosa dan pH menurun
3. fase perlengketan (organizing) : terjadi perlengketan sehingga cairan pleura (pus)
terperangkap (loculated pus).

Gejala :
Gejala empyema non-spesifik
Berkaitan dengan gejala pneumonia : demam, keringat berlebih, nafsu makan menurun,
malaise, batuk, dyspnea dan nyeri pada daerah yang terkena.
80% pasien mengalami sesak napas dan demam
70% mengalami batuk atau nyeri dada.

216
Tetapi. Beberapa pasien memperlihatkan gejala klonstitusional seperti : penurunan berat
badan, fatig, malaise.

Gejala klinis

Dibagi menjadi 2 stadium:

1. Stadium akut: demam tinggi, nyeri pluritik, terdapat tanda cairan dlm pleura. Bila nanah
tidak dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura/ empiema nasesitasis.

2. Stadium kronis: proses berlangsung lebih dari 3 bulan. Badan tampak kurus, lemah,
pucat, jari tabuh, dada datar sampai mencekung di bagian yang sakit. Dapat timbul
fibrotoraks.

Tanda bila terdapat bronkopleura:

• Batuk produktif

• Batuk bercampur darah

• Batuk mengandung nanah

Empiema karena pneumokok: timbul setelah pneumonia membaik

Empiema karena streptokok pneumonia: timbul pada waktu masih akut.

Radiologi

1. Terdapat tanda cairan

2. Bila terdapat air fluid level berarti terdapat udara

3. Bila terjadi fibrosis , trakea akan tertarik ke sisi yg sakit

4. Kantong emyema (pocketed empyema) terbatas di satu tempat

217
Diagnostik pasti

Didapat nanah yang berasal dari rongga pleura melalui aspirasi, drainase, dll. Dari nanah
tersebut dicari kuman penyebab dan untuk menentukan jenis serta kepekaan terhadap
antibiotik.

Analisa cairan pleura berdasarkan konsistensi & warna:

• Kental dan keruh: Empyema

• Berbau busuk: Empyema anaerob

• Jernih: Efusi pleura transudat

• Kuning kehijauan: Efusi pleura eksudat

218
Analisa cairan berdasarkan sel radang:

• Leukosit 25.000/mm: Empyema

• Banyak neutrofil: Pneumonia, infark paru

• Banyak limfosit: TB, limfoma, keganasan

Diagnosis banding

Efusi pleura: biasanya cairan jernih atau kuning kehijauan dan tingkat konsistensi mukopurulen

Penatalaksanaan
1. Pada tingkat eksudatif atau efusi pleura parapneumonik  pemberian Antibiotik saja
dapat memberi penyembuhan.
2. Jika pemberian antibiotik tidak memberi hasil  segera drainase pus dengan
torakosentesis atau WSD  pembilasan rongga pleura melalui irigasi dengan cairan
garam fisiologis  jika belum menolong  torakoskopi atau torakotomi.

3. Antibiotik: Sesuai hasil pemeriksaan cairan pleura. Sembari menunggu hasil


pemeriksaan gunakan antibiotik empirik.

4. Pengobatan kausal: Pengobatan berdasarkan faktor etiologi apabila terdapat tanda


infeksi yg berasal dari paru.

Prognosis

Bergantung pada penyakit penyerta, pengobatan adekuat.

Angka kematian meningkat pada usia tua / penyakit dasar yg berat dan karena terlambat
pemberian pengobatan.

G. EFUSI TUBERKULOSIS
Pleuritis dengan efusi biasanya merupakan komplikasi dini TB primer

Epidemiologi

- Penyebab tersering efusi pleura eksidatif


- sering terjadi pada anak-anak
- biasanya terjadi dalam 6 bulan pertama setelah TB primer
- salah satu etiologi yang perlu dipikirkan bila menjumpai kasus efusi pleura di indonesia
adalah TB

219
Jenis

1. cairan serosa (bentuk yang paling banyk dijumpai)]


2. empiema tb : efusi pleura TB primer yang gagal mengalami resolusi dan berlanjut ke
proses supuratif kronik

etiologi

dapat teradi baik karena penyebaran perkontinuitatum dari inflamasi parenkim, pleurisy yang
menyertai penyakit post-primer, atau penetrasi basil tuberkel ke rongga pleura.

Patogenesis

Terbentuk sebagai reaksi Hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB didalam rongga
pleura.

Pecahnya fokus subpleura, aliran getah bening, robeknya perkijuan kearah saluran KGB yang
menuju rongga pleura, hematogen

Antigen/protein kuman masuk kedalam rongga pleura

Reaksi hipersensitivitas didalam rongga pleura

rangsang pembentukan cairan oleh pleura

gejala klinis

- demam akut
- batuk nonproduktif
- nyeri dada
- penurunan BB
- malaise
- menggigil
- sebagian besar bersifat unilateral, agak lebih sering disisi kanan

220
Patogenesis

Diagnosis

Adanya kuman TB dalam cairan efusi (biakan) atau dengan biopsi jaringan pleura

Pengobatan

Dengan OAT dosis dan cara pemberian seperti pengobatan TB paru. Pengobatan menyebabkan
cairan efusi dapat diserap kembali, tetapi untuk menghilangkan eksudat dalam waktu cepat
dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan dapat diresolusi secara sempurna, tapi
kadang-kadang dapat diberi kortikostreoid sistemil (prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu
kemudian dosis diturunkan perlahan).

221
H. EMBOLI PARU
Definisi

Peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah narteri pulmonalis oleh
peristiwa emboli.

Etiologi

Penyebab utama emboli paru adalah tromboemboli vena (venous troboembolism), namun
penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairan tumor, fragmen tumor dan
sepsis.

Diagnosis

Lebih sulit dibandingkan pengobatan dan pencegahannya

- penilaian gambaran klinis


- pemeriksaan penunjang : foto thoraks, D-dimer test, pencitraan ventilasi-perfusi, CT
angiografi toraks dengan kontras, angiografi paru, Magnetic Resonance Angiography
atau EKG transtorakal

Gambaran klinis

- Dyspneu berat
- Sinkop
- Sianosis
- Nyeri pleuritik  menunjukkan emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalisdistal,
berdekatan dengan garis pleura

Klasifikasi

Terdapat 6 sindroma klinis emboli paru akut

1. Emboli paru massif


Presentasi klinis : sesak napas, sinkop dan sianosis dengan hipotensi arteri sistemik
persisten. Dapat dijumpai disfungsi ventrikel kanan
2. Emboli paru sedang sampai besar (submasif)
Tekanan darah sistemik masih normal tanda-tanda disfungsi ventrikel kanan
3. Emboli paru kecil sampai sedang
Tekanan darah arteri sisteminnormal tanpa disertai tanda-tanda disfungsi ventrikel
kanan
4. Infark paru (Pulmonary Infarction)

222
Nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural rub, atau bukti adanya konsolidasi paru, khasnya
berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan
5. Emboli paru paradoksikal (paradoxycal embolism)
Emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan
6. Emboli nontrombus (Nontrombotic embolism)
Penyebab tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor,atau cairan amnion, jarang
ada disfungsi ventrikel kanan.

Penatalaksanaan

1. Tatalaksana umum :
a. Tirah baring di ruang intensif
b. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit
c. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan
d. Pemantauan tekanan darah
2. Tatalaksana khusus :
a. Trombolitik : diindikasikan untuk emboli paru masif dan submasif
Sediaan yang diberikan :
 Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam
 Rt-PA 100 mg IV dalam 2 jam
 Urokinase 4400/kg/jamdalam 12 jam
 Dilanjutkan dengan unfractined heparin/ low molecular weight heparin
selama 5 hari
b. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli pari masif
c. Heparinisasi sebagai piliha pada emboli paro nonmasif/nonsubmasif
d. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi perdarahan
e. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi/ trombolitik pada
emboli paru masif dan submasif
f. Pemasangan folter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan
transfusi, emboli paru berulang meskipun telah menggunakan antikoagulan
jangka panjang.

223
Patofisiologi

224
I. Hemothorax dan Efusi Lainnya

Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru (rongga
pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.Trauma misalnya :

 Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
 Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax oleh
pembuluh internal.

Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura Henoch-Schönlein
dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid malformasi kongenital kistik: malformasi
ini kadang-kadang mengalami komplikasi, seperti hemothorax.

Etiologi

1. Traumatik

 Trauma tumpul.
 Trauma tembus (termasuk iatrogenik)

2. Nontraumatik / spontan

 Neoplasma.
 komplikasi antikoagulan.
 emboli paru dengan infark
 robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan.
 Bullous emphysema.
 Nekrosis akibat infeksi.
 Tuberculosis.
 fistula arteri atau vena pulmonal.
 telangiectasia hemoragik herediter.
 kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars thoraxica, aneurisma
arteri mamaria interna).
 sekuestrasi intralobar dan ekstralobar.
 patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm, hemoperitoneum).
 Catamenial

225
Patofisiologi

Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-paru atau arteri,
menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam seperti pisau atau peluru
menembus paru-paru. mengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau menutupi
thorax dan paru-paru. Pecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga
pleura. Setiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah seseorang.

Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan Intra Alveoler, kolaps
terjadi pendarahan. arteri dan kapiler, kapiler kecil , sehingga takanan perifer pembuluh darah
paru naik, aliran darah menurun. Vs :T ,S , N. Hb menurun, anemia, syok hipovalemik, sesak
napas, tahipnea,sianosis, tahikardia. Gejala / tanda klinis
Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah didinding dada. Luka di
pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan syok
hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul.
Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi, sianosis, tahipnea berat,
tahikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi sesuai dengan
penurunan curah jantung.

1. Pemeriksaan diagnostik.
2. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura,
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
3. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi, gangguan mekanik
pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2
mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
4. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
5. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.

Komplikasi

1. Komplikasi dapat berupa :


1. Kegagalan pernafasan
2. Kematian
3. Fibrosis atau parut dari membran pleura
4. Syok

Perbedaan tekanan yang didirikan di rongga dada oleh gerakan diafragma (otot besar di dasar
toraks) memungkinkan paru-paru untuk memperluas dan kontak. Jika tekanan dalam rongga
dada berubah tiba-tiba, paru-paru bisa kolaps. Setiap cairan yang mengumpul di rongga

226
menempatkan pasien pada risiko infeksi dan mengurangi fungsi paru-paru, atau bahkan
kehancuran (disebut pneumotoraks ).

DERAJAT PERDARAHAN

a. Perdarahan derajat I (kehilangan darah 0-15%)

 Tidak ada komplikasi, hanya terjadi takikardi minimal.


 Biasanya tidak terjadi perubahan tekanan darah, tekanan nadi, dan frekuensi
pernapasan.
 Perlambatan pengisian kapiler lebih dari 3 detik sesuai untuk kehilangan darah sekitar
10%.

b. Perdarahan derajat II (kehilangan darah 15-30%)

 Gejala klinisnya, takikardi (frekuensi nadi>100 kali permenit), takipnea, penurunan


tekanan nadi, kulit teraba dingin, perlambatan pengisian kapiler, dan anxietas ringan.
 Penurunan tekanan nadi adalah akibat peningkatan kadar katekolamin, yang
menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan selanjutnya
meningkatkan tekanan darah diastolik.

c. Perdarahan derajat III (kehilangan darah 30-40%)

 Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
oliguria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
 Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik.
 Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk
pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.

d. Perdarahan derajat IV (kehilangan darah >40%)

 Gejala-gejalanya berupa takikardi, penurunan tekanan darah sistolik, tekanan nadi


menyempit (atau tekanan diastolik tidak terukur), berkurangnya (tidak ada) urine yang
keluar, penurunan status mental (kehilangan kesadaran), dan kulit dingin dan pucat.
 Jumlah perdarahan ini akan mengancam kehidupan secara cepat.

Prognosis

227
Apabila dibiarkan tidak dirawat, akumulasi darah akan sampai pada titik dimana mulai menekan
mediastinum dan trakea

FAKTOR RESIKO

1. a. Risiko terjangkit Hemotoraks meningkat bila Anda:

 Sebelumnya pernah menjalani Bedah Dada


 Sebelumnya pernah menjalani Bedah Jantung
 Sedang menderita Gangguan Pendarahan
 Sedang menderita Tuberkulosis
 Telah didiagnosa mengidap Kanker Paru

DIAGNOSIS

Dari pemeriksaan fisik didapatkan:

Inspeksi : ketinggalan gerak

Perkusi : redup di bagian basal karena darah mencapai tempat yang paling rendah

Auskultasi : vesikuler

Sumber lain menyebutkan tanda pemariksaan yang bisa ditemukan adalah :

 Tachypnea
 Pada perkusi redup
 Jika kehilangan darah sistemik substansial akan terjadi hipotensi dan takikardia.
 Gangguan pernafasan dan tanda awal syok hemoragi.

Selain dari pemeriksaan fisik hemotoraks dapat ditegakkan dengan rontgen toraks akan
didapatkan gambaran sudut costophrenicus menghilang, bahkan pada hemotoraks masif akan
didapatkan gambaran pulmo hilang.

Pemeriksaan penunjang

1. Hematokrit cairan pleura

Biasanya tidak diperlukan untuk pasien hemotoraks traumatik. Diperlukan untuk analisis dari
efusi yang mengandung darah dengan penyebab nontraumatik. Dalam kasus ini, efusi pleura

228
dengan hematokrit lebih dari 50% dari hematokrit sirkulasi mengindikasikan kemungkinan
kemotoraks

 Chest X-ray
 USG
 CT-scan

Diagnosis Banding

1. Tension pnemothorax
2. Massive thorax
3. Cardiac temponade

Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah untuk menstabilkan pasien, menghentikan pendarahan, dan


menghilangkan darah dan udara dalam rongga pleura. Penanganan pada hemotoraks adalah

1. Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah
yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus
cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah
dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan
dalam penampungan yang cocok untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian
infus dipasang pula chest tube ( WSD ).
2. Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat
cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup
banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber
besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi
resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam
memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan
dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.
WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah
untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural / cavum pleura.
3. Thoracotomy.

Torakotomi dilakukan bila dalam keadaan`:

a. Jika pada awal hematotoraks sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita
tersebut membutuhkan torakotomi segera.

229
b. Pada beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar < 1500ml, tetapi perdarahan
tetap berlangsung terus.
c. Bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc / jam dalam waktu 2 –
4 jam.
d. Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis puting susu atau luka di daerah
posterior, medial dari scapula harus dipertimbangkan kemungkinan diperlukannya
torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus
atau jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.

Tranfusi darah diperlukan selam aada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan chest tube dan kehilangan darah
selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (
artery / vena ) bukan merupakan indikator yang baik untuk di pakai sebagai dasar dilakukannya
torakotomi.

Torakotomi sayatan yang dapat dilakukan di samping, di bawah lengan (aksilaris torakotomi); di
bagian depan, melalui dada (rata-rata sternotomy); miring dari belakang ke samping
(posterolateral torakotomi); atau di bawah payudara (anterolateral torakotomi) . Dalam
beberapa kasus, dokter dapat membuat sayatan antara tulang rusuk (interkostal disebut
pendekatan) untuk meminimalkan memotong tulang, saraf, dan otot. Sayatan dapat berkisar
dari hanya di bawah 12.7 cm hingga 25 cm.

Efusi Pleura

Efusi Pleura (Fluid in the chest; Pleural fluid) adalah pengumpulan cairan di dalam rongga
pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru
dan rongga dada. Dalam keadaan normal, hanya ditemukan selapis cairan tipis yang
memisahkan kedua lapisan pleura.

Jenis cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan
seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Hemotoraks (darah di dalam rongga
pleura) biasanya terjadi karena cedera di dada.

Penyebab lainnya adalah:


- pecahnya sebuah pembuluh darah yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
pleura
- kebocoran aneurisma aorta (daerah yang menonjol di dalam aorta) yang kemudian
mengalirkan darahnya ke dalam rongga pleura
- gangguan pembekuan darah.

230
Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah
dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang. Empiema (nanah di dalam rongga pleura) bisa
terjadi jika pneumonia atau abses paru menyebar ke dalam rongga pleura.

Empiema bisa merupakan komplikasi dari:


- Pneumonia
- Infeksi pada cedera di dada
- Pembedahan dada
- Pecahnya kerongkongan
- Abses di perut.

Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada) disebabkan oleh suatu cedera pada
saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus) atau oleh penyumbatan saluran karena
adanya tumor. Rongga pleura yang terisi cairan dengan kadar kolesterol yang tinggi terjadi
karena efusi pleura menahun yang disebabkan oleh tuberkulosis atau artritis rematoid.

PENYEBAB
Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi permukaan
pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru).

Bisa terjadi 2 jenis efusi yang berbeda:

1. Efusi pleura transudativa, biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan
normal di dalam paru-paru.
Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah gagal jantung kongestif.
2. Efusi pleura eksudativa terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali
disebabkan oleh penyakit paru-paru.
Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis
merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.

Penyebab lain dari efusi pleura adalah:

 Gagal jantung
 Kadar protein darah yang rendah
 Sirosis
 Pneumonia
 Blastomikosis
 Koksidioidomikosis

231
 Tuberkulosis
 Histoplasmosis
 Kriptokokosis
 Abses dibawah diafragma
 Artritis rematoid
 Pankreatitis
 Emboli paru
 Tumor
 Lupus eritematosus sistemik
 Pembedahan jantung
 Cedera di dada
 Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin,klorpromazin, nitrofurantoin,
bromokriptin, dantrolen, prokarbazin)
 Pemasanan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.

GEJALA
Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul ataupun
penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada (biasanya bersifat tajam dan semakin
memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Kadang beberapa penderita tidak
menunjukkan gejala sama sekali.

Gejala lainnya yang mungkin ditemukan:


- batuk
- cegukan
- pernafasan yang cepat
- nyeri perut.

DIAGNOSA
Pada pemeriksaan fisik, dengan bantuan stetoskop akan terdengar adanya penurunan suara
pernafasan.

Untuk membantu memperkuat diagnosis, dilakukan pemeriksaan berikut:

 Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.

232
 CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan
adanya pneumonia, abses paru atau tumor
 USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya
sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
 Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis
(pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam
rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
 Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi,
dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
 Analisa cairan pleura
 Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang
terkumpul.

PENGOBATAN
Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan pengobatan terhadap
penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga menyebabkan penekanan maupun
sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul).

Cairan bisa dialirkan melalui prosedur torakosentesis, dimana sebuah jarum (atau selang)
dimasukkan ke dalam rongga pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah
cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding
dada.

Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat
kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit
dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang
lebih besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura
(dekortikasi).

233
Pada tuberkulosis atau koksidioidomikosis diberikan terapi antibiotik jangka panjang.
Pengumpulan cairan karena tumor pada pleura sulit untuk diobati karena cairan cenderung
untuk terbentuk kembali dengan cepat. Pengaliran cairan dan pemberian obat antitumor
kadang mencegah terjadinya pengumpulan cairan lebih lanjut.

Jika pengumpulan cairan terus berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga pleura. Seluruh
cairan dibuang melalui sebuah selang, lalu dimasukkan bahan iritan (misalnya larutan atau
serbuk doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan iritan ini akan menyatukan kedua lapisan
pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang tempat pengumpulan cairan tambahan.

Jika darah memasuki rongga pleura biasanya dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang
tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan darah (misalnya
streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat
dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan.

Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan saluran getah bening.
Bisa dilakukan pembedahan atau pemberian obat antikanker untuk tumor yang menyumbat
aliran getah bening.

Pleuritis Fungsi
Pleuritis karena fungi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi dari
jaringan paru. Jeni fungi penyebab pleuritis adalah : aktinomikosis, koksidioimikosis, aspergilus,
kriptokokus, histoplasmolisis, blastomikosis, dll. Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah
karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
Penyebaran fungi keprga tubuh lain amat jarang. Pengobatan dengan amfoteresin B
memberikan respons yang baik. Prognosis penyakit ini relatif baik. Jamur paru sering tidak lekas
didiagnosa secara dini. Pasien baru tertegakkan diagnosanya sebagai penderita jamur paru
dalam keadaan sudah lanjut atau terlambat, sehingga pengobatan sering tidak berhasil.

Infeksi jamur paru dapat sebagai infeksi primer maupun sekunder. Timbulnya infeksi sekunder
pada paru disebabkan terdapatnya kelainan atau kerusakan jaringan paru seperti pada TB paru
berupa kavitas, bronkiectasis, destroyed lung dan sebagainya.

Gejala umum infeksi jamur paru sama dengan infeksi mikroba lainnya,
antara lain batuk-batuk, batuk darah, banyak dahak, sesak, demam, nyeri dada
dan bisa juga tanpa gejala.

Oleh karena infeksi jamur paru sering menyertai penyakit lain dan tidak
234
ada gejala yang khas sehingga infeksi jamur paru sering tidak terdiagnosa,
sehingga pengobatan terhadap infeksi jamur paru sering terlambat diberikan.

INFEKSI PARASIT

Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah amoeba. Efusi pleura karena
parasit ini terjadi karena peradangan yang ditimbulkannya. Selain itu dapat juga terjadi
emfiema karena amoeba yang cairannya berwarna khas merah – coklat. Efusi parapneumonia
karena amoeba dari abses hati lebih sering terjadi daripada emfiema amuba.

EFUSI PLEURA POST SURGICAL

Efusi pleura juga sering setelah 48-72 jam pasca operasi abdomen seperti splenektomi. Operasi
terhadap obstruksi intestinal atau pasca orerasi atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan
jumlah efusi tidak banyak. Caiaran biasanya bersifat eksudat dan mengumpul pada sisi operasi,
efusi pleura operasi biasanya bersifat meligma dan kebanyakan akan sembuh secara spontan.

J. Atelektasis
Ateletaksis atau juga dikenal sebagai kolaps adalah berkurangnya volume paru akibat tidak
mamadainya ekspansi rongga udara. Kelainan ini mengakibatkan pengalihan darah yang kurang
teroksigenasi dari arteri ke vena paru sehingga terjadi ketidakseimbangan ventilasi- perfusi
sehingga mengakibatakn hipoksia.

Kalsifikasi
1. Ateletaksis resopsi
Disebut juga ateletaksis absorbsi terjadi jika suatu obstruksi menghambat udara
mencapai jalan nafas sebelah distal. Uadara yang sudah ada dalam alveolus secara
bertahap diserap (di absorbsi) sedikit demi sedikit ke aliran darah segingga kemudian
terjadi kolaps alveolus.
Penyebab ateletaksis absorbsi: obstruksi bronkus oleh sumbatan mukus, penyulita pada
asma bronkialis, bronkiektasis, bronkitis kronik, aspirasi benda asing, dan tumor.
2. Ateletaksis kompresi
Disebut ateletaksis pasif biasanya berkaitan dengan penimbunan cairan, darah, atau
udara dalam rongga pleura, yang secara mekanis menyebabkan paru disekitarnya
kolaps.
Biasanya terjadi pada: efusi pleura, empyema, pneumotoraks.
3. Mikroateletaksis
Ateletaksis akibat berkurangnya ekspansi paru secara generalisata akibat serangkaian
proses dan terpenting adalah hilangnya surfraktan. Mikroateletaksis terdapat dalam

235
sindrom gawat nafas akut paru pada neonatus, serta penyakit parenkim paru yang
berkaitan dengan peradangan interstinum. Dapat juga terjadi pasca bedah.
4. Ateletaksis kontraksi
Biasanya disebut sikatrik, terjadi jika fibrosis total paru / generalisata di paru/ pleura
menghambat ekspansi paru dan meningkatkan recoil elastik sewaktu ekspirasi.

Manifestasi klinis
 Dyspneu
 Takikardia
 Sianosis
 Temperature tinggi
 Perbedaan gerak dinding toraks, gerak sela iga, dan diafragma
 Pada perkusi, batas jantung bergeser, letak diafragma meninggi

Pemeriksaan diagnostik
Gambaran radiologis terlihat pergeseran trakea, diafragma tertarik, batas jantung bergeser,
tampak paru terkena menjadi lebih opak.

Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mengeluarkan dahak dari paru dan kembali mengembangkan
paru yang terkena. Tindakan yang bisa dilakukan adalah:
 Berbaring pada sisi paru yang sehat, sehingga paru terkena kembali bisa mengembang.
 Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya.
 Latihan menarik nafas dalam.
 Postural drainase.
 Antibiotik untuk semua infeksi.
 Jika ada tumor, lakukan penatalaksanaan sesuai.

236
K. TENSION PNEUMOTHORAX
Tension Pneumothorax adalah pengumpulan udara
atau gas dalam rongga pleura dengan tekanan dalam
rongga pleura yang lebih tinggi daripada tekanan
atmosfer. Terjadi ketika udara masuk dengan tekanan
positif seperti pada pemberian Ventilasi Tekanan
Positif atau efek katup satu arah (memungkinkan udara
memasuki celah pleural namun tidak dapat keluar
kembali). Tekanan positif di dalam rongga pleura terse-
but menggeser mediastinum ke arah berlawanan
sehingga mengganggu respirasi.

Gejala yang timbul:


- Hipoksia; terlihat tanda-tanda sianosis pada
bagian perifer.
- Nyeri dada; biasanya terjadi mendadak dan
terasa tajam.
- Dyspneu

Pada hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya:


- Hipotensi
- Apex jantung berpindah tempat, biasanya lebih kea rah kontralateral.
- Deviasi trakea kea rah kontralateral
- Fokal fremitus menurun
- Suara napas menurun sampai menghilang (asukultasi)
- Hipersonor pada perkusi lapang dada.
- Distensi pada vena jugularis (JVP ↑↑)
- Distensi abdominal (asites)
Tension pneumothorax merupakan kasus kegawatdaruratan, karena pneumothorax yang
terjadi sudah semakin parah hingga menekan organ yang terdapat pada mediastinum seperti
jantung dan pembuluh darah besar. Hal tersebut jika tidak tertatalaksana dengan baik dan
segera dapat menyebabkan kematian yang diakibatkan gagal napas dan/atau cardiac arrest.
Penatalaksanaan pada kasus tension pneumothorax adalah menggunakan needle
thoracostomy.

237
Prosedur melakukan needle thoracostomy pada pasien tension pneumothorax adalah sebagai
berikut:
- Gunakan kanul dengan spuit ukuran besar 14-16G
- Lakukan terlebih dahulu tindakan asepsis dengan cairan antiseptic di lokasi pungsi yaitu ICS II
(dekat atas tulang costae III) di linea clavicularis media.
- Lakukan pungsi pada sampai memasuki celah pleural atau terdapat udara yang keluar.
- Jika udara sudah berhasil keluar tarik jarum perlahan dan biarkan kanul terbuka ke udara
sampai udara di dalam rongga dada keluar.
- Prinsip penatalaksanaan adalah meringankan penderita dari keadaan tension pneumothorax
menjadi keadaan pneumothorax biasa.
- Setelah itu lakukanlah prosedur thoracostomy dengan tabung seperti penatalaksanaan pada
pneumothorax.

238
Trauma tusuk/trauma tumpul Riwayat pneumothorax
↓ ↓
Efek katup satu arah pada pleura Tidak tertatalaksanan dengan baik

Udara terperangkap pada celah pleural

TENSION PNEUMOTHORAX

Celah pleural dipenuhi oleh udara

Hipersonor seluruh lapang dada Fokal fremitus ↓

Menekan mediastinum ke arah kontralateral

- Deviasi Menekan jantung dan vena cava

trakea
Venous return ↓ Menekan reseptor nyeri
- Depresi
↓ paru ↓
Gangguan pernapasan TD ↓ JVP ↑

Dyspneu

Hipoksia

Sianosis

L. Water Seal Drainase (WSD)


Merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah, pus)
dari rongga pleura, rongga toraks, mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.

Tujuan
1. Mengeluarkan cairan / udara dari rongga pleura dan rongga toraks.
2. Mengembalikan tekanan negatif rongga pleura.
3. Mengembalikan kembali paru yang kolaps.
4. Mencagah refluks drainase kembali ke dalam rongga dada.

239
Tempat pemasangan WSD
a. Bagian apeks (anterolateral ICS 1-2) untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura.
b. Bagian basal (posterolateral ICS 8-9) untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura.

Indikasi
• Hemotoraks, efusi pleura
• Pneumotoraks ( > 25 % )
• Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
• Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

Kontraindikasi pemasangan

 Tidak diindikasikan pada pneumotoraks minimal


 Penderita dengan ventilator mekanik
 Belum berpengalaman memasang WSD
 Gangguan faktor pembekuan darah (koagulopati)
 Infeksi pada tempat pemasangan

Macam WSD adalah :

WSD aktif : continous suction, gelembung berasal dari udara sistem.

WSD pasif : gelembung udara berasal dari cavum toraks pasien

Pemasangan WSD

Setinggi SIC 5 – 6 sejajar dengan linea axillaris anterior pada sisi yang sakit .

1) Persiapkan kulit dengan antiseptik

2) Lakukan infiltratif kulit, otot dan pleura dengan lidokain 1 % diruang sela iga yang sesuai,
biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid axillaris.

3) Perhatikan bahwa ujung jarum harus mencapai rongga pleura

4) Hisap cairan dari rongga dada untuk memastikan diagnosis

5) Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk menghindari melukai
pembuluh darah di bagian bawah iga

240
6) Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi pleura dan
perlebar lubangnya

7) Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan dimasukkan ke dalam kulit

8) Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi dengan satu
jahitan.

9) Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa dijahit, yang
berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti. Tutup dengan selembar kasa
hubungkan selang tersebut dengan sistem drainage tertutup air

10) Tandai tinggi awal cairan dalam botol drainage.

Komplikasi pemasangan WSD


 Nyeri.
 Perdarahan.
 Infeksi.
 Malposisi WSD.
 Penumotoraks kontralateral.
 Penumpukan cairan bila WSD terlalu lama.
 Syok kardiogenik karena kompresi ventrikel kanan.
 Kerusakan nervus interkosta dan nervus frenikus.
 Fistel bronkopleura.

Hal yang menyebabkan paru tidak mengembang


 Terjadi fistel.
 Sumbatan bronkus.
 Selang WSD tertekuk.
 Sumbatan yang timbul pada selang WSD karena tertumpuknya gumpalan darah / fibrin
sekret yang mengental.
 Plura viseralis menebal.

241
TRAKEOSTOMI

adalah prosedur operatif dengan membuat lubang untuk bernapas pd dinding depan trakea.

Indikasi

- obstruksi saluran napas

- insufisiensi mekanis respirasi

- kesulitan pernapasan akibat sekresi

- elektif : trakeostomi dilakukan untuk mempertahankan aliran udara saat saluran napas atas
tidak dapat dilakukan

- untuk membantu pemasangan alat bantu pernapasan

- mengurangi ruang rugi/ dead air space

THORACOTOMY

adalah pembedahan dinding dada dan dapat juga dilakukan denganpembelahan antara tulang2
rusuk (intercostal atau lateral thoracotomy) atau dengan pemisahan dari sternum (median
sternotomy).

Lobectomy pulmonary adalah pemotongan satu lobus paru-paru (complete) atau sebagian dari
lobus paru-paru (partial).

Pneumonectomy adalah pembuangan dari semua jaringan paru-paru pd satu bagian dari ruang
thorac.

242
CASE 6
(Bronkiolitis Berat)

PENULIS :
1. Meilani Sulaeman (111 0211 062)
2. Izzatun Nisa (111 0211 058)
3. Via Arsita Dewi (111 0211 048)
4. Ferdila Khalidia (111 0211 131)
5. Rizky Takdir Ramadhan (111 0211 089)
6. Tantri Tyas Chandra D. (111 0211 068)
7. Dewa Ayu Sita (111 0211 010)

A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Bronkiolitis
E. ARDS
F. SARS
G. Flu Burung
H. Influenza
I. Terapi Oksigen pada Anak dan Dewasa
J. Imunisasi Wajib pada Anak dan Jadwalnya
K. ASI dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)

243
A. Tutorial Case
Case 6
Respiratory System
Page 1
Seorang bayi laki-laki, By. R, usia 8 bulan) dibawa ibunya ke rumah sakit tempat anda bekerja
dengan keluhan sesak disertai batuk berdahak selama 4 hari, dahak berwarna putih. Badan agak demam
walaupun tidak tinggi selama 3 hari dan telah diberikan parasetamol drops 3 kali sehari. Bayi malas
makan, ia juga muntah sejak 2 hari dengan yang dimuntahkan berupa air, susu maupun makanan yang
dimakan. BAB dan BAK normal.
Riwayat Persalinan
Lahir cukup bulan dengan persalinan normal di bisan dengan Apgar 7/10. Berat badan lahir 3000
gram, panjang badan 47 cm, air ketuban jernih. Selama kehamilan dan persalinan, ibu tidak pernah
demam dan tidak mempunyai riwayat TB/alergi.
Riwayat Makan
Bayi tidk pernah diberi ASI oleh karena ASI ibu tidak keluar. Ia diberikan susu Nan-HA semenjak
usia 6 hari, karena bayi alergi susu sapi. Pada usia 5 bulan, telah diberikan pisang dan usia 6 bulan telah
diberikan nasi tim yang dihaluskan.
Riwayat Imunisasi
TIdak diberikan imunisasi kepada bayi dengan alasan keagamaan.
Riwayat Lingkungan
Keadaan lingkungan rumah kurang baik, disekitar banyak orang berternak bebek, udara disekitar
rumah baud an kurang bersih. Ventilasi rumah tidak baik.
Page 3
Tatalaksana :
A. Terapi Suportif :
1. IVFD KAEN 1B : 50 tetes/menit (mikro)
2. O2 Kanul Hidung 2L/menit
B. Terapi Kausatif
Injeksi Amphicillin 500 mg/hari IV
C. Terapi Simptomatik
1. Injeksi Dexamethasone 1 mg IV
2. Nebulizer : NaCl : Combivent = 1:1 / 8 Jam
3. Paracetamol 25 mg/kali IV

244
B. Overview Case
By. R, 8 tahun

KU : R.Persalinan : R.Makan Bayi R.Imunisasi


 Sesak (slm 4  Aterm  Tdk pernah diberi  Tdk
hari) & Batuk  Antropometri dbn ASI diberikan
berdahak  APGAR 7/10  Diberikan susu imunisasi
wrn putih  Ketuban jernih nan-HA (smnjk
(slm 4 hr)  Slm hamil : usia 6 hari) Keadaan Lingkungan
KT :  Demam (-)  Telah diberikan  Keadaan lingkungan
 Demam tdk  R.TB (-) pisang (usia 5 kurng baik
tinggi (slm 3  R.alergi (-) bln)  Disekitar rumah bnyk
hari)  Telah diberikan orang berternak bebek
 Bayi malas nasi tim yg  Udara disekitar rumah
makan dihaluskan (usia bau
 Muntah sjk 2  Ventilasi rumah tdk
hri (air,susu baik (bkn rumah
maupun
mknn yg
dimakan)

Hipotesis :
1. Bronkiolitis
2. Pneumonia
3. Asma Bronkial

Px. Fisik  Kepala : UUB masih terbuka Px. Penunjang :


 KU : tampak sngt sesak  Wajah : napas cuping hidung(+);  Darah : Leukosit 4000Limfosit
 Kesadaran : sianosis perioral (+) 35%
gelisah;menangis;agak  Leher : Retraksi suprasternal (+),
lemah;gerak kurang KGB colli tidak teraba membesar  AGD : Ph darah 7,32 ; pCO2 : 56
-
aktif  Thorak : pernapasan mmHg; HCO3 :29,2 meq/L ; BE -3
 PB: 68 cm ; BB : 10 kg abdominotorakal, retraksi  asidosis respiratorik
 Nadi : 140x/mnit intercosta (+); perkusi hipersonor
 Suhu : 38°C (axilla)  Cor : DBN  Foto thorak PA dan Lateral :
 RR : 65x/mnit  Pulmo : Suara dasar napas Pulmo hiperaerasi, bercak-bercak
vesikuler; ronkhi basah halus (+) konsolidasi menyebar pada kedua
pada akhir ekspirasi; ekspirasi lapang paru; Diameter
memanjang disertai wheezing anteroposterior membesar pada
 Abdomen : soefel, hepar teraba 2 foto lateral
jari bawah arcus costa
 Ekstremitas : sianosis perifer (+)
Diagnosis : Bronkiolitis Berat

Penatalaksanaan :

Terapi Suportif : Terapi causatif : Terapi Simtomatik


1. IVFD KAEN 1 B : 50 1. Injeksi dexametason 1245
mg IV
tetes/menit (mikro) Injeksi Ampicillin 500 mg/hari 2. Nebulizer : NaCl : combivent =
2. O2 kanul hidung 2L/mnit IV 1 : 1/8 jam
3. Paracetamol 25 mg/kali IV
C. Interpretasi Kasus
1. Anamnesis
a. By R, usia 8 bln
b. KU : Sesak + batuk berdahak warna putih (slm 4 hari) Atas : ISPA
Keluhan sesak bisa berasal dari kelainan respirasi Jalan nafas
Bawah
Asma Bronkial; Bronkitis
; Bronkiolitis

Paru : Pneumonia

Non-respiratorius : Gagal jantung, PJB

 Keluhan sesak disertai batuk berdahak berwarna putih (pengeluaran udara


secara tiba-tiba sebagai upaya pertahanan paru terhadap berbagai
rangsangan/reaksi fisiologis tubuh untuk membersihkan jalan napas); adanya
dahak mengindikasikan bahwa terdapat produksi mukus untuk mentrapping
agen asing; berwarna putih bisa berasal dari dahak bercampur dengan warna
susu yang dimuntahkan/ kelainan disebabkan oleh infeksi virus  keluhan lebih
mengarah pada kelainan respirasi
 Batuk berdahak berwarna putih slm 4 hari  keluhan bersifat akut
c. KT :
 Demam (selama 3 hari)  respon tubuh terhadap suatu infeksi mikroorganisme
tertentu. Tidak terlalu tinggi karena telah diberikan obat parasetamol sebagai
obat simptomatik
 Bayi malas makan  karena sesak napas dapat mengganggu saat makan, selain
itu mediator kimiawi yang dikeluarkan saat terjadi infeksi mo dapat
menurunkan nafsu makan
 Muntah sejak 2 hari hipoksia dan rangsangan kimiawi dapat merangsang
pusat muntah
d. R. Persalinan
 Lahir cukup bulan (APGAR 7/10) tidak asfiksia Pada bayi lahir prematur
surfaktan yang diproduksikan lebih sedikit karena masih imatur berarti
mencoret kemungkinan gangguan nafas disebabkan hal tersebut
 BB dan TB normal
 Air ketuban Jernih  tidak ada sepsis
 Ibu tdk demam dan memiliki riwayat TB/Alergi  Gangguan bukan ditularkan
dari ibu

246
e. R.Makan
 Bayi tidak pernah diberikan ASI kemungkinan sistem pertahanan bayi rendah
karena tidak diberikan ASI(Komposisi Imunoglobulin dalam ASI sangat tinggi)
Sehingga rentan terkena infeksi
 Bayi alergi susu sapi, diberikan susu nan-HA sejak usia 6 hari susu nan-HA
ialah susu hipoalergik untuk bayi
 Usia 5 bulan telah diberikan pisang dan usia 6 bulan telah diberi nasi tim yang
dihaluskan  Bayi telah diperkenalkan MPA atau Makanan Pendamping ASI
lebih awal. Normalnya diberikan usia 6 bulan.
f. R. Imunisasi
Tidak diberikan imunisasi dasar  sistem kekebalan tubuh rendah sehingga lebih rentan
terkena suatu penyakit

g. Keadaan Lingkungan
 Keadaan lingkungan rumah kurang baik Rumah dan lingkungan tidak
 Disekitar rumah banyak orang berternak bebek sehat menjadi faktor
 Udara bau dan ventilasi tidak baik (bukan rumah sehat) predisposisi munculnya suatu
penyakit
HIPOTESIS :

1. Bronkiolitis : Penyakit yang terjadi pada saluran nafas kecil bawah (bronkiolus) yang
menyebabkan gejala obstruksi bronkiolus dengan manifestasi bervariasi batuk, demam,
sesak nafas hingga distres nafas.
2. Pneumonia : Peradangan parenkim paru yang biasanya disebabkan oleh infeksi dengan
gejala demam, batuk, salesma.
3. Asma Bronkial : Gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi dan elemennya sehingga menyebabkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, rasa berat di dada dan batuk terutama malam hari.
4. Bronkitis akut : proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama dan
menengah yang bermanifestasi sebagai batuk yang diawali oleh ISPA.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Nampak Sangat Sesak  Sesak Berat
b. Kesadaran : gelisah, menangis, agak lemah, gerak kurang aktif  tanda hipoksia berat
c. Panjang Badan 68 cm dan BB 10 kg : menurut kurva NCHS termasuk normal
d. Nadi = 140 c/menit (N:120-130)  Meningkat (usaha kompensasi tubuh untuk
meningkatkan aliran darah karena kekurangan pasokan oksigen)
e. Suhu = 38°C axilla (N:36,6°C – 37,2°C)  febris sebagai respon tubuh terhadap suatu
infeksi mikroorganisme tertentu
f. RR : 65x/menit (N: 30-40x/menit)  dispneu karena hiperventilasi sebagai usaha
pengeluaran CO2 >>
g. Kepala : UUB masih terbuka normal, biasanya tertutup saat usia 10-18 bulan

247
h. Wajah :
 napas cuping hidung (+) untuk meningkatkan usaha inspirasi
 sianosis perioral (+) Tanda hipoksia berat
 Tidak ada tanda-tanda ISPA  melemahkan ISPA

i. Leher :
 Retraksi suprasternal (+)  kontraksi yang terjadi pada otot napas tambahan
sehingga akan tertarik ke dalam saat menarik napas bertujuan untuk
meningkatkan usaha napas  Bisa ditemukan pada penderita ASMA,
bronkiolitis dan pneumonia
 KGB colli tidak teraba membesar
j. Thorax :
 Pernafasan abdominothorakal (normal pada bayi), retraksi intercosta (+),
perkusi hipersonor menandakan adanya hiperaerasi (banyak udara yang
terperangkap)  Bisa ditemukan pada penderita ASMA, bronkiolitis dan
pneumonia
 Cor : DBN  mencoret gagal jantung
 Pulmo :
 Suara dasar napas vesikuler (bernada rendah terdengar lebih panjang
pada inspirasi dari pada saat ekspirasi),
 ronkhi basah halus (+)  menandakan adanya suara nafas tambahan
sonor yang kontinu pada akhir ekspirasi yang timbul di bronkioli 
gangguan jalan nafas bronkioli (memperkuat adanya bronkiolitis),
 Ekspirasi memanjang disertai wheezing  kemungkinan adanya suatu
peningkatan resistensi (hambatan) pada jalan nafas sehingga usaha nafas
terutama ekspirasi terhambat menyebabkan terjadinya turbulensi udara
yang bermanifestasi sebagai wheezing  bisa ditemukan pada asma
bronkial dan bronkiolitis
k. Abdomen : soefel, hepar teraba 2 jari bawah arcus costa, lien tidak teraba,BU (+)  DBN
 Tidak ada kemungkinan sesak nafas ec gagal jantung
l. Ekstremitas : Edema (-) mencoret gagal jantung; Sianosis perifer Tanda hipoksia
berat kompensasi tubuh dengan periferal shutting down  darah perifer
terdeoksigenasi menyebabkan sianosis.

248
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
Leukosit 4000 dengan Limfosit 35%  infeksi virus
Eosinofil DBN  Mencoret asma bronkial
b. AGD
 PO2 65 ; Saturasi 02 : 86%  PO2 dan saturasi O2 rendah hipoksemia
 pH darah 7,32 (N: 7,35-7,45)
 PCO2 56 mmHg (N:35-45 mmHg) Asidosis Respiratorik Terkompensasi
 HCO3- 29,2 mEq/L (N: 22-28 mEq/L)
 BE: -3
c. Foto Thoraks PA dan Lateral
 Pulmo hiperaerasi  adanya air trapping (terperangkapnya udara dalam paru
karena terjadi peningkatan resistensi jalan nafas)  bisa ditemukan pada
bronkiolitis
 Bercak-bercak konsolidasi menyebar pada kedua lapang paru  konsolidasi
merupakan bentuk pemadatan yang ditemukan pada paru bisa karena inflamasi
atau infeksi  bisa ditemukan pada pneumonia
 Diameter anteroposterior membesar pada foto lateral air trapping
menyebabkan terdorongnya rongga thorak sehingga diameter anteroposterior
membesar  bisa ditemukan pada bronkiolitis berat

Diagnosis :

Dari hasil anamnesis,px.fisik, dan px.penunjang diagnosisnya ialah Bronkiolitis Berat

249
Selanjutnya Bayi R dipuasakan  untuk mencegah aspirasi yang dapat memperberat sesak nafas

Penatalaksanaan

A. Terapi Supportif :
1. IVFD KAEN 1 B : 50 tetes/menit (mikro)  Intravenous fluid therapy yang berisi cairan
dengan komposisi elektronit yang disesuaikan dengan BB bayi  untuk mengurangi
dehidrasi akibat usaha nafas yang besar serta ketidakmampuan minum dan makan.
2. O2 kanul hidung 2L/menit  Pemberian O2 dengan konsentrasi rendah (24-40%) sebanyak
2L melalui selang bantu pernafasan untuk mengurangi hipoksemia
B. Terapi Causatif
 Koreksi  terapi injeksi ampicillin merupakan terapi profilaksis untuk mencegah infeksi
sekunder bakteri  indikasi pemberian jika nafas semakin berat dan sulit di atasi serta
didapatkan gambaran infiltrat pada kedua paru (bilateral)
 Adapun terapi kausatif untuk bronkiolitis (etiologi: Respiratory Syncitial Virus/RSV) ialah
antivirus (Ribavirin)  akan tetapi dari beberapa penelitian penggunaan obat ini kurang
efektif dan harus sesuai indikasi
 Berikut adalah beberapa indikasi penggunaan antivirus Ribavirin

 Pada bayi R tidak terdapat indikasi pemberian Ribavirin sehingga tidak di berikan terapi
antivirus.

250
C. Terapi Simptomatik
 Injeksi dexametason 1 mg IV
Dexametason merupakan steroid untuk menghambat inflamasi (inhibisi phospolipase A2
 menurunkan sintesis asam arakidonat  menurunkan sintesis prostagladin dan
Leukotrien ).
 Nebulizer : NaCL : combivent = 1:1/8 Jam
Inhalasi solution kombinasi dari 2 jenis bronkodilator (ipratropium dan
salbutamol)bekerja dengan cara merelaksasi otot disekitar bronkiolus
 Paracetamol 25 mg/kali IV
Terapi simptomatik untuk menurunkan suhu (antipiretik) dengan cara menghambat
enzim siklooksigenase (COX)  sehingga produksi pirogen endogen yang menyebabkan
peningkatan set point suhu menurun.

D. BRONKIOLITIS
DEFINISI

Penyakit Infeksi respirasi akut-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus

ETIOLOGI

95% dari kasus secara serolgis karena invasi RSV (Respiratory Sinsitial Virus).

Penyebab lain : Adenovirus, Virus influenza, Virus Parainfluenza, Rhinovirus, mikoplasma

Sekilas tentang RSV

Family : Paramyxoviridae

Genus : Pneumovirus

Genom: RNA beruntai tunggal. RNA dalam nukleokapsid berbentuk spiral dikelilingi

selubung lipid berisi 2 glikoprotein, yaitu :

- Protein G = untuk melekat ke sel


- Protein F = untuk membantu masuknya virus ke dalam sel

Terdapat 2 macam strain antigen RSV :

A dan B. Strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.

Masa inkubasi : 2-5 hari.

251
EPIDEMIOLOGI

 Paling sering usia 2-4 bulan, puncaknya 2-8 bulan


 95% anak usia < 2 tahun.
 1,25 kali lebih banyak pada anak laki-laki.
 Paling banyak pada musim dingin atau musim hujan di negara tropis.

DIAGNOSA

- Anamnesa
Gejala awal IRA karena virus :
pilek ringan, batuk, dan demam, 1-2 hari kemudian timbul batuk serta sesak napas.

Setelah itu ditemukan :


wheezing, sianosis, merintih, penurunan nafsu makan, nafas berbunyi, dan muntah setelah
batuk
- PF
Ditemukan :
Takipnea, takikardi, peningkatan suhu (> 38,5˚C), konjungivitis ringan, faringitism gejala
ekspirasi memanjang sampai wheezing, napas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis,
kadang ditemukan ronki.
- PP
Px lab darah :
Kurang bermakna karena jumlah leukosit dan elektrolit biasanya normal

AGD :
dilakukan untuk penderita sakit berat, khusus yang membutuhkan ventilator mekanik

Rontgen thorax :
 hiperinflasi dan infiltrat ( tapi tidak spesifik karena dapat ditemukan pada asma,
pneumonia viral/atipikal, dan aspirasi).
 Dapat ditemukan pula gambaran atelektasis, diafragma datar dan peningkatan
diameter antero-poaterior.

Untuk menemukan RSV :


kultur virus, ELISA, PCR, pengukuran titer antibodi.
Diagnosa bronkiolitis perhatikan epidemiologi, rentang usia dan musim.

252
PATOFISIOLOGI

RSV masuk ke saluran napas lewat droplet terjadi infeksi demam

batuk di nasofaring virus bereplikasi lalu menyebar

saat di mukosa bronkiolus virus bereplikasi dan berkolonisasi

BRONKIOLITIS

Virus merusak epitel bersilia, menyebabkan

Nekrosis merangsang saraf aferen peningkatan ekspresi ICAM-1


Melepaskan neuropeptida & produksi sitokin

-Edema submukosa kontraksi otot menarik eosinofil & mediator


-Pelepasan debris & fibrin polos sal.napas inflamasi

Lumen bronkiolus <<

Peningkatan resistensi aliran udara Kompensasi paru

Fase ekspirasi: udara terperangkap peningkatan VR, tahanan sal napas, dead space, shunt

Hiperinflasi & air trapping tidak ditangani atelektasis

Ketidakseimbangan pertukaran udara

Hipoksemia

hipoksia

Untuk menentukan kegawatan seorang pasien, menggunakan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)

253
PENATALAKSANAAN

- AIRWAY : bersihkan jalan napas


- BREATHING : Oksigen 1-2 L/menit
- Circulation : IVFD
Neonatus => dektrose 10% : NaCl 0,9% = 4 : 1 + KCl 1-2 mEq/kgBB/hari
Bayi >1 bulan => dektrose 10% : NaCl 0,9% = 3 : 1 + KCl 10 mEq/500 ml cairan
Jumlah cairan sesuai BB, kenaikan suhu, dan status hidrasi
- DRUGS : antibiotik & steroid

E. ARDS
Definisi

Sindrom gagal pernafasan mendadak yang timbul pada penderita tanpa kelainan paru
yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema
paru nonkardiogenik merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan
oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius.

254
ARDS meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal, menyebabkan
edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut infiltrasi pulmonal yang
berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi meskipun diberi suplemen oksigen dan
pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) kurang dari 18 mmHg.
Epidemiologi

 Tahunan kejadian ARDS adalah 1,5-13,5 % per 100.000 orang dalam populasi umum.

Etiologi
1. Pneumonia (34%)
2. Sepsis (27%)
3. Aspiration (15%)
4. Trauma (11%)
a. Pulmonory Contusion
b. Multiple Fracture
5. Emboli lemak
6. Emboli paru
7. Perdarahan

Patofisiologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang
mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam
jaring- jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat
kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru.
ARDS menyebabkan penurunandalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada
kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku
akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat
dan hipokapnia.

255
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
1. Fase Eksudatif
Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi, dan
eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase Proliferatif
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi fibroblast,
sel tipeII, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan perubahan
eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran hialin. Fase proliferatif
merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap,
adaresiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase Fibrotik/Recovery
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan
fibrosis.Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat
bervariasiantar individu, tergantung keparahan cederanya.

Perubahan patofisiologi berikut ini mengakibatkan sindrom klinis yang dikenal


sebagaiARDS:
a. Sebagai konsekuensi dari serangan pencetus, complement ca scade menjadi aktif
yangselanjutnya meningkatkan permeabilitas dinding kapiler.
b. Cairan, lekosit, granular, eritrosit, makrofag, sel debris, dan protein bocor kedalam
ruang interstisial antar kapiler dan alveoli dan pada akhirnya kedalam ruang alveolar.
c. Karena terdapat cairan dan debris dalam interstisium dan alveoli maka area permukaan
untuk pertukaran oksigen dan CO2 menurun sehingga mengakibatkan rendahnyan rasio
ventilasi- perfusi dan hipoksemia.
d. Terjadi hiperventilasi kompensasi dari alveoli fungsional, sehingga mengakibatkan
hipokapnea dan alkalosis resiratorik. Sel-sel yang normalnya melapisi alveoli menjadi

256
rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian
memeningkatkan tekanan pembukaan alveolar.

Tanda dan Gejala


Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah:
a. Distres pernafasan akut: takipnea, dispnea , pernafasan menggunakan otot aksesoris
pernafasan dan sianosis sentral.
b. Batuk kering dan demam yang terjadi lebih dari beberapa jam sampai seharian.
c. Auskultasi paru: ronkhi basah, krekels halus di seluruh bidang paru, stridor, wheezing.
d. Perubahan sensorium yang berkisar dari kelam pikir dan agitasi sampaikoma.
e. Auskultasi jantung: bunyi jantung normal tanpa murmur atau gallop

Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan
dasarnya.Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang
cepat dan dangkal.
Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru,dan organ
lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena
sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma terjadi
atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik.

Gejala tambahan yang mungkin ditemukan:


a. Cemas, merasa ajalnya hampir tiba
b. Tekanan darah rendah atau syok (tekanan darah rendah disertai oleh kegagalan
organlain)
c. Penderita seringkali tidak mampu mengeluhkan gejalanya karena tampak sangat sakit.

257
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :

Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 )

Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi

Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi

Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini

Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut

2. Pemeriksaan Rontgent Dada :

Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru

Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli

3. Tes Fungsi paru :

Pe ↓ komplain paru dan volume paru

Pirau kanan-kiri meningkat

Penatalaksanaan
Tujuan terapi
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Farmakologi
a. Inhalasi NO2 dan vasodilator lain
b. Kortikosteroid (masih kontroversial: no benefit, kecuali bagi yang inflamasi eosinofilik)
c. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat
biosintesisleukotrienes mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS

258
Non-farmakologi
a. Ventilasi mekanis dgn berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator, mengatur
PEEP (positive-end expiratory pressure)
b. Pembatasan cairan
c. Pemberian surfaktan tidak dianjurkan secara rutin

F. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome)

Definisi:

Infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus jenis coronavirus (SARS-CoV)

Etiologi:

SARS disebabkan oleh coronavirus yang pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron sama
dengan coronavirus pada binatang. Virus ini stabil pada tinja dan urine pada suhu kamar
selama 1 – 2 hari dan dapat bertahan lebih dari 4 hari pada penderita diare.
Virus SARS kehilangan infektivitasnya terhadap berbagai disinfektan dan bahan-bahan fiksasi.
0 0
Pada pemanasan dengan suhu 54 C (132.8 F) akan membunuh coronavirus SARS dengan
kecepatan sekitar 10.000 unit per 15 menit.

Cara penularan:

SARS ditularkan melalui kontak dekat, misalnya pada waktu merawat penderita, tinggal satu
rumah dengan penderita atau kontak langsung dengan sekret/cairan tubuh dari penderita
suspect atau probable. Diduga cara penyebaran utamanya adalah melalui percikan (droplets)
dan kemungkinan juga melalui pakaian dan alat-alat yang terkontaminasi.
Dilain kesempatan virus diduga ditularkan melalui media lingkungan yaitu dari saluran limbah
(comberan) yang tercemar bahan infeksius; dengan aerosolisasi mencemari udara atau secara
mekanis dibawa oleh vector. Cara penularan melalui saluran limbah tercemar ini sedang diteliti
secara retrospective.

Gejala Klinis:

Umumnya gejala SARS muncul dalam waktu 2-7 hari setelah terkena dengan (virus) penyakit,
tetapi masa inkubasinya berkisar 10 hari. Gejala SARS menyerupai gejala penyakit influenza.
Pasien penderita SARS biasanya mengalami demam yang tinggi (di atas 38∞C atau lebih), dan
kadang kala disertai bercak merah, rigors, kepala pusing, limbung, nyeri otot atau bahkan diare
(beberapa penderita / pasien mengalami kesulitan pernafasan). Setelah beberapa hari, gejala
awal tersebut diikuti dengan infeksi saluran pernafasan yang ringan, termasuk batuk tanpa

259
dahak (sputum) dan kesulitan bernafas. Pada sekitar 10% pasien, penyakit SARS dapat
menyebabkan kepada terganggunya pernafasan yang memerlukan perawatan medis intensif.
Gejala SARS tidak sama kondisinya pada pasien lanjut usia.

Diagnosa:

Beberapa test labolatorium dapat mendeteksi SARS-CoV, bisa dilakukan pemeriksaan sputum,
ataupun uji serologi seperti uji ELISA, namun uji serologi pada penderita SARS baru dapat
ditegakkan setelah 10 hari penderita mengalami sakit.

Cara – cara pemberantasan


A. Cara – cara pencegahan
1) Lakukan identifikasi segera terhadap semua penderita suspect dan probable sesuai dengan
definisi kasus menurut WHO.
Setiap orang sakit yang datang ke fasilitas kesehatan (RS, Puskesmas, Klinik di Bandara dan
lain-lain) yang akan dinilai terhadap kemungkinan menderita SARS dimasukkan ke ruang triage
dan disini segera dilakukan pemisahan untuk mengurangi risiko penularan. Untuk penderita
yang masuk katagori probable segera dipasangi masker, sebaiknya masker yang dapat
menyaring udara ekspirasi untuk mencegah percikan ludah keudara.
Petugas triage harus memakai masker penutup muka (memenuhi standar yang ditetapkan)
yang dapat melindungi mata dari percikan. Petugas hendaknya selalu mencuci tangan dengan
air mengalir sesuai dengan prosedur sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, setelah
melakukan kegiatan yang diduga dapat menyebabkan kontaminasi, dan setelah melepaskan
sarung tangan.
Sarung tangan yang tercemar, stethoscope dan peralatan lain harus ditangani dengan benar,
dicuci dengan disinfektan untuk mencegah penularan. Disinfektan seperti larutan bahan
pemutih (fresh bleach solution) dalam konsentrasi yang cukup harus selalu tersedia.

2) Lakukan tindakan isolasi terhadap kasus probable.


Setiap penderita probable harus segera diisolasi dan dirawat dengan cara dan fasilitas dengan
urut-urutan preferensi sebagai berikut : diisolasi diruangan bertekanan negatif dengan pintu
yang selalu ditutup, kamar tersendiri dengan kamar mandi sendiri, ditempatkan dalam ruangan
kohort pada daerah dengan ventilasi udara tersendiri dan memiliki sistem pembuangan udara
(exhaust system) serta kamar mandi sendiri. Apabila tidak tersedia sistem supply udara
tersendiri, maka semua AC (mesin pendingin udara) dimatikan dan jendela dibuka untuk
mendapakan ventilasi udara yang baik (catatan : jendela harus yang tidak mengarah ketempat
umum).
Prosedur kewaspadaan universal untuk mencegah infeksi harus diterapkan dengan ketat sekali
terhadap kemungkinan terjadinya penyebaran melalui udara, melalui percikan dan kontak
langsung.

260
Seluruh staf medis dan tenaga pembantu harus dilatih tentang cara-cara pencegahan infeksi
dan cara-cara penggunaan Personal Protective Equipment (PPE) alat-alat perlingdungan diri
berikut ini :
• Pengunaan penutup muka/face mask untuk melingdungi penularan melalui
saluran pernafasan. Jenis face mask yang dianjurkan adalah NRP 95/99/100
atau FFP 2/3 atau jenis yang sama sesuai dengan standar nasional negara
yang bersangkutan.
• Penggunaan sepasang sarung tangan
• Penggunaan pelindung mata
• Penggunaan jas sekali pakai
• Penggunaan apron
• Alas kaki yang dapat didekontaminasi
Pada waktu merawat dan mengobati penderita SARS sedapat mungkin digunakan peralatan
dan bahan-bahan sekali pakai (disposable) dan setelah dipakai bahan atau peralatan tersebut
dibuang sebagaimana mestinya.
Apabila peralatan yang telah digunakan akan dipakai lagi, hendaknya disterilkan terlebih
dahulu sesuai dengan petunjuk dari pabrik pembuatnya. Alat-alat tersebut hendaknya
dibersihkan dengan disinfektan yang mempunyai efek antiviral.
Hindari pemindahan penderita SARS dari ruang isolasi ketempat lain. Kalau penderita SARS ini
karena sesuatu dan lain hal harus dipindahkan ketempat lain penderita harus diberi cungkup
muka (face mask).
Visite dibatasi seminimal mungkin dan petugas harus menggunakan pakaian pelindung (PPE =
Personal Preventive Equipment) dengan supervisi yang ketat. Mencuci tangan mutlak harus
dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, sesudah melakukan kegiatan yang
memungkinkan terjadi kontaminasi, sesudah melepaskan sarung tangan. Oleh karena itu harus
tersedia fasilitas air bersih yang mengalir dalam jumlah yang memadai. Untuk disinfeksi cukup
digunakan alkohol apabila tidak ada riwayat kontak dengan bahan-bahan organik yang
infeksius.
Perhatian khusus harus diberikan kepada petugas apabila melakukan tindakan-tindakan seperti
pada pemberian fisioterapi thorax, pada tindakan bronkoskopi atau gastroskopi, nebulizer dan
tindakan-tindakan lain pada saluran pernafasan serta tindakan yang menempatkan petugas
kesehatan kontak sangat dekat dengan penderita dan dengan sekret infeksius, sehingga
kemungkinan tertular sangat besar.
Seluruh instrumen tajam harus ditangani dengan tepat dan ketat. Linen penderita harus
dikemas ditempat oleh petugas, ditempatkan didalam kantong khusus (biohazard bags)
sebelum dikirim ke laundry/binatu.

261
3) Pelacakan terhadap kontak (contact persons) : yang disebut kontak secara epidemiologis
adalah mereka yang merawat dan atau tinggal dengan atau mereka yang kontak dengan sekret
saluran nafas, cairan tubuh atau tinja penderita suspect atau probable SARS.
Pelacakan kontak harus dilakukan secara sistematis. Periode waktu seseorang dianggap sebagai
kontak harus disepakati terlebih dahulu. Kesepakatan ini menyangkut berapa harikah sebelum
timbul gejala seseorang dianggap sebagai kontak apabila mereka terpajan dengan penderita
suspect atau probable SARS.

G. FLU BURUNG

ETIOLOGI

Penyebab flu burung adalah virus influenza, yang termasuk tipe A subtipe H5, H7 dan
H9. kelompok famili Orthomyxoviridae.
Ada beberapa tipe virus influenza pada manusia dan binatang yaitu :
1. tipe A
 memiliki dua sifat mudah berubah : antigenic shift dan antigenic drift
 dapat menyebabkan epidemi dan pandemi
2. tipe B
3. tipe C
Pada manusia, virus A dan B dapat menyebabkan wabah flu yang cukup luas.
TRANSMISI

Influenza pada manusia ditularkan melalui droplet infeksius, kontak langsung, kontak
tidak langsung (fomite), ataupun dengan self-inculation pada saluran pernafasan atas atau
mukosa konjungtiva. Sedangkan infeksi influenza A (H5N1) pada manusia, berdasarkan bukti
penularan terjadi dengan rute burung-ke-manusia, mungkin juga lingkungan-ke-manusia.

a. Hewan-Ke-Manusia
Pada suhu 70°C virus avian influensa dapat dimatikan , sehingga membuat aman untuk
dimakan meskipun daging mentahnya telah tercemari virus H5N1 (WHO 2005).

262
b. Manusia-Ke-Manusia
Transmisi dari manusia ke manusia telah diduga terjadi dalam satu rumah dan yang
paling terlihat terjadi child-to-mother transmission.
c. Faktor Lingkungan
kontaminasi air melalui oral ingestion, atau kontak intranasal secara langsung, atau
inoklusi konjungtiva.

TEMUAN KLINIS
Inkubasi
Masa inkubasi avian influenza lebih lama dibanding dengan influenza lain yang menyerang
manusia, yaitu interval 2 s/d 8 hari sejak terpapar virus.

Gejala awal
Kebanyakan pasien memiliki gejala awal yaitu :
a. Demam tinggi (khasnya > 38°C).
b. Gejala infeksi saluran pernafasan bawah.
c. Infeksi saluran pernafasan atas dapat terjadi tetapi jarang.
d. Tidak seperti pasien dengan avian influenza A (H7) viruses, pasien dengan with avian
influenza A (H5N1) jarang menderita konjungtivitis.
e. Diare dan muntah ; biasanya mendahului gejala respiratorik hingga satu minggu lebih
awal.
f. Nyeri perut.
g. Nyeri pleuritis.
h. Perdarahan hidung dan gusi.

Gejala Utama
Manifestasi pada saluran pernafasan bawah biasanya ditemukan ketika pasien datang.
Kebanyakan memiliki gejala pneumonia.
a. Dispneu terlihat pada hari ke-5 dari onset.
b. Stress respirasi.
c. Takipneu

263
d. Inspiratory crackles
e. Produksi sputum
f. Gambaran radiologi : difus, multifokal, infiltrat merata, infiltrat intersisial, konsolidasi
segmental atau lobular. Gambaran abnormal muncul tuuh hari setelah onset.

g. ARDS rentang waktu kearah ARDS sekitar enam hari sejak onset.

MODS terkait dengan komplikasi ventilator-associated pneumonia, pulmonary hemorrhage,


pneumothorax, pancytopenia, Reye’s syndrome, sepsis syndrome, gagal ginjal, dilatasi
jantung, dan supraventricular tachyarrhythmias.

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


Pemeriksaan Diagnostik
1. Kultur dan identifikasi virus H5N1.
2. Uji Real Time Nested PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk H5.
3. Uji serologi :
a) Imunofluorescence (IFA) test : ditemukan antigen positif dengan menggunakan
antibodi monoklonal Influenza A H5N1.
b) Uji netralisasi : didapatkan kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1
sebanyak 4 kali dalam paired serum dengan uji netralisasi.
c) Uji penapisan : a). Rapid Test untuk mendeteksi Influenza A. b). H1 Test
dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1. c). Enzyme Immunoassay (ELISA)
untuk mendeteksi H5N1.

Pemeriksaan Lain
1. Hematologi :
a. Leukopenia, khususnya lymphopenia.
b. Trombositopenia sedang sampai berat.
c. Peningkatan aminotransferase.
d. Peningkatan kreatinin.
e. Hiperglikemia

264
2. Kimia :
a. penurunan albumin
b. peningkatan SGOT/SGPT
c. peningkatan ureum dan kreatinin
d. peningkatan kreatin kinase
e. analisa gas darah dapat normal atau abnormal.
3. Pemeriksaan Radiologi :
Pemeriksaan foto toraks Pa dan lateral. Dapat ditemukan gambaran infiltrat di paru
yang menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia.

PATOFISIOLOGI
Flu burung bisa menulari manusia bila manusia bersinggungan langsung dengan ayam
atau unggas yang terinfeksi flu burung. Unggas yang terinfeksi dapat pula mengeluarkan virus
ini melalui tinja, yang kemudian mengering dan hancur menjadi semacam bubuk. Bubuk inilah
yang dihirup oleh manusia atau binatang lainnya dapat menginfeksi..
Satu- satunya cara virus flu burung dapat menyebar dengan mudah dari manusia ke
manusia adalah jika virus flu burung tersebut bermutasi dan bercampur dengan virus flu
manusia. Virus ditularkan melalui saliva dan feses unggas. Penularan pada manusia karena
kontak langsung, misalnya karena menyentuh unggas secara langsung, juga dapat terjadi
melalui kendaraan yang mengangkut binatang itu, di kandangnya dan alat-alat peternakan (
termasuk melalui pakan ternak ).
Penyebaran virus Avian Influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection di mana
virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran nafas atau langsung
memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet).
Virus yang tertanam pada membran mukosa akan terpajan mukoprotein yang
mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor spesifik yang dapat berikatan
dengan virus influenza berkaitan dengan spesies darimana virus berasal. Virus avian influenza
manusia (Human influenza viruses) dapat berikatan dengan alpha 2,6 sialiloligosakarida yang

265
berasal dari membran sel di mana didapatkan residu asam sialat yang dapat berikatan dengan
residu galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage.
Virus AI dapat berikatan dengan sel membran sel mukosa mealui ikatan yang berbeda
yaitu ikatan 2,3 linkage. Adanya perbedaan pada reseftor yang terdapat pada membran mukosa
diduga sebagai penyebab mengapa virus AI tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien
pada manusia.
Mukoprotein yang mengandung reseftor ini akan mengikat virus sehingga perlekatan
virus dengan sel epitel saluran napas dapat dicegah. Tetapi virus yang mengandung
proteinneuraminidase pada permukaannya dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya
akan melekat pada epitel permukaan saluran napas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel
tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat
menyebar ke sel-sel didekatnya.
Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel
kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya mengkerut dan
kemudian mengalami piknosis. Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia
selanjutnya akan terbentuk badan inklusi.

TERAPI
a. Rawat Inap
Pasien yang diduga atau terbukti influenza A (H5N1) harus dirawat di rumah sakit
di isolasi untuk pemantauan klinis, sesuai diagnostik pengujian, dan terapi antivirus.
Pada pasien dengan terapi nebulizers dan high–air flow oxygen masks harus
dipehatikan tindakan pemantauan yang ketat, karena resiko nosokomial (SARS) yang
tinggi.

b. Antiviral
Departemen kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg selama 5 hari,
antibiotik jika ada indikasi.

266
2. Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2x75mg selama 5 hari,
antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika
perlu seperti pada kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory Care di ICU sesuai
indikasi.
c. Imunomodulator

PENCEGAHAN
1. Imunisasi
Sekarang telah komersial vaksin H5 untuk manusia
2. Pencegahan di Rumah Sakit
pasien non-pandemik saat ini telah direkomendasikan untuk penggunaan surgical mask
dan 75 mg oseltamivir sekali
sehari selama 7 sampai 10 hari dibenarkan untuk orang yang
berkontak dengan pasien infeksius.
3. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang )
a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
b. Hindari kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.
c. Menggunakan alat pelindung diri (contok : masker dan pakaian kerja ).
d. Meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja.
e. Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas, seperti tinja harus ditatalaksana
dengan baik ( ditanam atau dibakar ) agar tidak menjadi sumber penularan bagi
orang di sekitarnya.
f. Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan.
g. Alat-alat yang digunakan dalam peternakan harus dicuci dengan desinfektan.
h. Bersihkan kandang dan alat transportasi yang membawa unggas.
i. Lalu lintas orang keluar masuk kandang dibatasi.
j. Imunisasi unggas yang sehat
4. Masyarakat Umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi dan istirahat cukup.

267
b. Tidak mengimpor daging ayam dari tempat yang diduga terkena wabah avian flu
c. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu : Pilih unggas yang sehat (tidak
terdapat gejala-gejala penyakit di tubuhnya), Memasak daging ayam sampai
dengan suhu ± 80°C selama 1 menit dan telur sampai dengan suhu ± 64°C selama
5 menit

H. INFLUENZA

Definisi

Influenza yang dikenal sebagai flu adalah penyakit pernapasan yang sangat menular dan
disebabkan oleh virus influenza tipe A, B dan bisa juga C.
Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai
oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorok dan
batuk non produktif.
Influenza adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang burung dan mamalia yang
disebabkan oleh virus RNA famili orthomyxoviridae.

Epidemiologi

Influenza merupakan penyakit yang dapat menjalar dengan cepat di lingkungan


masyarakat. Walaupun ringan penyakit ini tetap berbahaya untuk mereka yang berusia sangat
muda dan orang dewasa dengan fungsi kardiopulmoner yang terbatas. Juga pasien yang berusia
lanjut dengan penyakit ginjal kronik atau ganggugan metabolik endokrin dapat meninggal
akibat penyakit yang dikenal tidak berbahaya ini. Serangan penyakit ini tercatat paling tinggi
pada musim dingin di negara beriklim dingin dan pada waktu musim hujan di negara tropik.
Pada saat ini sudah diketahui bahwa pada umumnya dunia dilanda pandemi oleh
influenza 2-3 tahun sekali. Jumlah kematian pada pandemi ini dapat mencapai puluhan ribu
orang dan jauh lebih tinggi dari pada angka-angka pada keadaan non-epidemik.
Risiko komplikasi, kesakitan, dan kematian influenza lebih tinggi pada individu di atas 65
tahun, anak-anak usia muda, dan individu dengan penyakitpenyakit tertentu. Pada anak-anak
usia 0-4 tahun, yang berisiko tinggi komplikasi angka morbiditasnya adalah 500/100.000 dan
yang tidak berisiko tinggi adalah 100/100.000 populasi. Pada epidemi influenza 1969-1970
hingga 1994-1995, diperkirakan jumlah penderita influenza yang masuk rumah sakit 16.000
sampai 220.000/epidemik.
Kematian influenza dapat terjadi karena pneumonia dan juga eksaserbasi
kardiopulmoner serta penyakit kronis lainnya. Penelitian di Amerika dari 19 musim influenza

268
diperkirakan kematian yang berkaitan influenza kurang lebih 30 hingga lebih dari 150 kematian
/ 100.000 penderita dengan usia > 65 tahun. Lebih dari 90% kematian yang disebabkan oleh
pneumonia dan influenza terjadi pada penderita usia lanjut.

Etiologi

Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B dan C. Ketiga tipe ini dapat
dibedakan dengan complement fixasion test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang
bersifat epidemik. Tipe B biasanya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dari tipe A
dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemi. Tipe C adalah tipe yang diragukan
patogenitasnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja. Virus
penyebab influenza merupakan suatu orthomixovirus golongan RNA dan berdasarkan namanya
sudah jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo atau musin.
Virus influenza A dibedakan menjadi banyak subtipe berdasarkan tanda berupa tonjolan
protein pada permukaan sel virus. Ada 2 protein petanda virus influenza A yaitu protein
hemaglutinin dilambangkan dengan H dan protein neuraminidase dilambangkan dengan N. Ada
15 macam protein H, H1 hingga H15, sedangkan N terdiri dari sembilan macam, N1 hingga N9.
Kombinasi dari kedua protein ini bisa menghasilkan banyak sekali varian subtipe dari virus
influenza tipe A.
Semua subtipe dari virus influenza A ini dapat menginfeksi unggas yang merupakan
pejamu alaminya, sehingga virus influenza tipe A disebut juga sebagai avian influenza atau flu
burung. Sebagian virus influenza A juga menyerang manusia, anjing, kuda dan babi. Variasi virus
ini sering dinamai dengan hewan yang terserang, seperti flu burung, flu manusia, flu babi, flu
kuda dan flu anjing. Subtipe yang lazim dijumpai pada manusia adalah dari kelompok H1, H2,
H3 serta N1, N2 dan disebut human influenza .

Patogenesis

Transmisi virus influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya pada traktus
respiratorius. Penularan bergantung pada ukuran partikel (droplet) yang membawa virus
tersebut masuk ke dalam saluran napas. Pada dosis infeksius, 10 virus/droplet, maka 50%
orang-orang yang terserang dosis ini akan menderita influenza. Virus akan melekat pada epitel
sel di hidung dan bronkus.
Setelah virus berhasil menerobos masuk kedalam sel, dalam beberapa jam sudah
mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian akan menggabungkan diri dekat
permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah ke sel lain. Virus influenza
dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat efek pirogen lipopoli-sakarida kuman Gram-
negatif.

269
Masa inkubasi dari penyakit ini yakni satu hingga empat hari (rata-rata dua hari). Pada
orang dewasa, sudah mulai terinfeksi sejak satu hari sebelum timbulnya gejala influenza hingga
lima hari setelah mulainya penyakit ini. Anakanak dapat menyebarkan virus ini sampai lebih dari
sepuluh hari dan anak-anak yang lebih kecil dapat menyebarkan virus influenza kira-kira enam
hari sebelum tampak gejala pertama penyakit ini. Para penderita imunocompromise dapat
menebarkan virus ini hingga berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan.

Gambaran Klinis

Pada umumnya pasien yang terkena influenza mengeluh demam, sakit kepala, sakit
otot, batuk, pilek dan kadang-kadang sakit pada waktu menelan dan suara serak. Gejala-gejala
ini dapat didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin. Pada pemeriksaan fisik tidak dapat
ditemukan tanda-tanda karakteristik kecuali hiperemia ringan sampai berat pada selaput lendir
tenggorok.
Gejala-gejala akut ini dapat berlangsung untuk beberapa hari dan hilang dengan
spontan. Setelah periode sakit ini, dapat dialami rasa capek dan cepat lelah untuk beberapa
waktu. Badan dapat mengatasi infeksi virus influenza melalui mekanisme produksi zat anti dan
pelepasan interferon. Setelah sembuh akan terdapat resistensi terhadap infeksi oleh virus yang
homolog.
Pada pasien usia lanjut harus dipastikan apakah influenza juga menyerang paru-paru.
Pada keadaan tersebut, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bunyi napas yang abnormal.
Penyakit umumnya akan membaik dengan sendirinya tapi kemudian pasien acapkali mengeluh
lagi mengenai demam dan sakit dada. Permeriksaan radiologis dapat menunjukkan infiltrat di
paru-paru.

Diagnosis
Menetapkan diagnosis pada saat terjadi wabah tidak akan banyak mengalami kesulitan.
Di luar kejadian wabah, diagnosis influenza kadang-kadang terhambat oleh diagnosis penyakit
lain. Diagnosis pasti penyakit influenza dapat diperoleh melalui isolasi virus maupun
pemeriksaan serologis. Untuk mengisolasi virus diperlukan usap tenggorok atu usap hidung dan
harus diperoleh sedini mungkin; biasanya pada hari-hari pertama sakit. Diagnosis serologis
dapat diperoleh melalui uji fiksasi komplemen atau inhibisi hemaglutinasi. Akan dapat
ditunjukkan kenaikan titer sebanyk 4 kali antara serum pertama dengan serum konvalesen atau
titer tunggal yang tinggi. Pada saat ini antiinfluenza IgM dapat digunakan di beberapa tempat.
Diagnosis cepat lainnya dapat juga diperoleh dengan pemeriksaan antibodi fluoresen yang
khusus tersedia untuk tiper virus influenza A. PCR dan RT-PCR sangat berguna untuk diagnosa
cepat virus lainnya yang dapat pula menyerang saluran napas antara lain adeno-virus,
parainfluenza virus, rinovirus, respiratory syncyial virus, cyomegalovirus dan enterovirus.

270
Keterlibatan berbagai jenis virus ini dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan serologis atau
isolasi langsung.

Diagnosis Banding

Banyak penyakit yang memiliki gejala yang menyerupai flu (flu like syndrom) sehingga
influenza dapat didiagnosis banding :
1. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrom) adalah penyakit infeksi saluran napas yang
disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat. Perbedaan
dengan influenza adalah cara penularannya, yaitu dengan kontak langsung membran
mukosa, serta pada gejala pernapasan rasa sesak lebih berat dirasakan di banding pada
influenza yang tidak terdapat sesak napas.
2. Common cold (selesma) adalah suatu infeksi virus pada selaput hidung, sinus dan
saluran udara besar yang disebabkan oleh rhinovirus (80%). Gejala-gejala penyakit ini
biasanya tidak timbul demam, tetapi demam yang ringan dapat muncul saat gejala, dan
gejala-gejala yang lain tidak sehebat influenza. Hidung mengeluarkan cairan yang encer
dan jernih dan pada hari-hari pertama jumlahnya sangat banyak sehingga mengganggu
penderita. Selanjutnya sekret hidung menjadi lebih kental, berwarna kuning-hijau dan
jumlahnya tidak terlalu banyak.
3. Infeksi saluran pernapasan atas merupakan suatu penyakit infeksi pada saluran
pernapasan atas yang banyak disebabkan oleh virus dan mempunyai gejala-gejala
seperti flu, akan tetapi pada infeksi saluran pernapasan atas mempunya gejala-gejala
lain seperti rhinitis, sinusitis, nasopharyngitis, pharyngitis, epiglotitis, laryngitis,
laringotrakeitis dan trakeitis.
4. Infeksi parainfluenza virus juga mempunyai gejala yang hampir sama dengan infeksi
virus influenza dimana yang terdiri dari HPIV-1, HPIV-2, HPIV-3 dan HPIV-4
5. Meningitis merupakpan penyakit radang pada selaput otak. Dimana gejala awal dari
penyakit ini menyerupai flu seperti demam, sefalgia, nausea, vomitus, photofobia
sedangkan pada pemeriksaan fisik terdapat kaku kuduk positif.

Penatalaksanaan

Pasien dapat diobati secara simtomatik. Obat oseltamivir 2x75 mg sehari selama 5 hari
akan memperpendek masa sakit dan mengurangi keperluan tambahan antimikroba untuk
infeksi bakteri sekunder. Zanamivir dapat diberikan secara lokal secara inhalasi, makin cepat
obat diberikan makin baik. Untuk kasus dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin
menderita bronkitis kronik, gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibiotik.
Pasien dengan

271
bronkopneumonia sekunder memerlukan oksigen. Pneumonia stafilokok sekunder harus diatasi
dengan antibiotik yang tahan betalaktamase dan kortikosteroid dosis tinggi.

Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada virus influenza adalah:


- Pneumonia influenza primer, ditandai dengan batuk yang progresif, dispnea, dan
sianosis pada awal infeksi. Foto rongten menunjukkan gambaran infiltrat difus bilateral
tanpa konsolidasi, dimana menyerupai ARDS.
- Pneumonia bakterial sekunder, dimana dapat terjadi infeksi beberapa bakteri (seperti
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Haemophilus influenza).

Pencegahan

Yang paling pokok dalam menghadapi influenza adalah pencegahan. Infeksi dengan virus
influenza akan memberikan kekebalan terhadap infeksi virus yang homolog. Karena sering
terjadi perubahan akibat mutasi gen, antigen pada virus influenza akan berubah, sehingga
seseorang masih mungkin diserang berulang kali dengan galur (strain) virus influenza yang telah
mengalami perubahan ini. Kekebalan yang diperoleh melalui vaksinasi sekitar 70%. Vaksin
influenza mengandung virus subtipe A dan B saja karena subtipe C tidak berbahaya.

I. Terapi Oksigen pada Anak dan Dewasa

A. Indikasi Terapi Oksigen


Indikasi Primer terapi oksigen adalah Hipoksemia yang telah dibuktikan dengan
pemeriksaan analisa gas darah.
Indikasi lain adalah trauma berat, Infark miokard akut, syok, sesak napas, keracunan gas
CO, pasca anestesi dan keadaan- keadaan akut yang dicurigai terjadi hipoksemia.

B. Tujuan
Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 >60 mmHg atau SaO2 >90%.
Sehingga dapat mencegah terjadinya hipoksia sel dan jaringan, menurunkan kerja pernapasan
dan menurunkan kerja otot jantung.

272
Oksigen diberikan sebagai :

1) Suplemen : Pada suatu keadaan akut yng memerlukan oksigen kurang dari 30 hari,
misalnya pada pneumonia dan asma akut.
2) Terapi
a) Short-term oxygen therapy : bila memerlukan oksigen antara 30-90 hari. Misalnya
pada pendeerita gagal jantung kongestif.
b) Long-term oxygen therapy : bila memerlukan oksigen >90 hari, misalnya pada PPOK.

C. Metode Pemberian Oksigen


Pemilihan metode pemberian O2 tergantung dari :
 Fraksi inspirasi O2 yang dibutuhkan
 Kenyamanan pasien
 Kadar kelembaban yang dibutuhkan
 Kebutuhan terapi nebulasi

Macam- macsm alat untuk terapi oksigen:


a) Kanul Hidung
Suatu pipa plastic lunak dengan ujung buntu yang dikaitkan dikedua telinga dan
dibawah leher. Kanula dihubungkan dengan pipa kecil dan disambungkan ke humidifier.
Kecepatan O2 bervariasi antara 2-6 liter/menit dengan FiO2 0,21-0,4.
Pemakaian kanula hidung biasanya tidak memerlukan pelembab jikan kecepatan
aliran O2 <2liter/menit, apabila lebih dari 2ltr/menit dibutuhkan pelembab.
Komplikasi yang bisa terjadi adalah kerusakan kulit, kekeringan dan
ketidaknyamanan.
b) Pemakaian masker
Masker diberikan apabila level O2 yang diberikan lebih tinggi dibandingkan kanul
hidung. Masker terdiri dari beberapa macam, yaitu :
 Masker simple
 Masker reservoir (masker penampung)

273
 Masker rebreathing
 Masker nonrebreathing
c) Venture mask
Merupakan salah satu alat terapi O2 dengan cara pemberian arus tinggi. Alat
yang digunakan berbeda- beda sesuai konsentrasi O2 yang diinginkan, antara lain 24%,
28%, 30%, 35%, dan 40%.
Komplikasi yang sering timbul adalah kulit rusak dan ketidaknyamanan saat
makan dan minum.
d) Continuous positive airway pressure (CPAP)

Suatu metode memberikan tekanan positif konstan pada jalan napas selama
ekspirasi dan inspirasai. Bantuan ventilasi ini memberikan tekanan udara dengan
tekanan tertentu pada jalan napas sehingga meningkatkan tekanan transpulmoner.

CPAP merupakan ventilasi noninvasive, teknik pemberian tekanan positif pada


jalan napas tanpa pipa trakea. Alat penghubung yang digunakan adalah masker nasal,
oronasal, atau mouthpiece.

D. Evaluasi dan monitoring terapi oksigen


1) Pasien
a) Pemeriksaan fisik
b) Pemeriksaan analisa gas darah dan pulse oximetry.
Analisa gas darah pada umumnya dilakukan 15-20 menit setelah pemberian oksigen
atau segera dilakukan bila terjadi perubahan klinis pasien. Evaluasi selanjutnya
adalah :
 12 Jam setelah pemberian FiO2< 40%
 8 jam setelah pemberian FiO2 > 40%
 72 jam pada infark miokard akut
 2 jam pada pasien PPOK
 1 jam pada neonates

274
2) Alat
Semua alat untuk pemberian oksigen diperiksa ulang minimal 1 kali sehari.
E. Bahaya terapi Oksigen
 Kerusakan retina pada bayi premature
 Kerusakan membrane kapiler alveoli karena edema alveoli akibat radikal bebas.
Pemberian oksigen dengan konsentrasi <50% dapat ditoleransi dengan baik utuk
pemberian jangka panjang.
 Penurunan aktivitas mukosiliar serta meningkatnya resiko trakeitis bakterialis
 Atelektasis akibat “nitrogen wash out”.

Alat yang digunakan O2 (Liter/menit) FiO2


Kanul Hidung 2 0,21-0,24
2 0,23-0,28
3 0,27-0,34
4 0,31-0,38
5-6 0,32-0,44
Venturi 4-6 0,24-0,28
8-10 0,35-0,40
8-12 0,5
Simple 5-6 0,30-0,45
7-8 0,40-0,60
Rebreathing 7 0,35-0,75
10 0,65-1,00
Non- Rebreathing 4-10 0,40-1,00

Tabel 1. Konsentrasi oksigen berdasarkan alat yang digunakan

275
J. Imunisasi Wajib bagi bayi dan Jadwal imunisasi

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menetapkan ada 5 jenis imunisasi yang wajib
diberikan pada bayi di Indonesia, Yaitu:

1. BCG (Bacille Calmette-Guerin)


Imunisasi ini diberikan untuk mencegah bayi terkena tuberculosis (TB) akibat bakteri
Mycobakterium Tuberculosis yang biasanya menyerang paru-paru, walaupun bisa juga
menyerang organ lain pada tubuh. BCG diberikan setelah bayi lahir.

2. Hepatitis B
Imunisasi Hepatitis B berguna untuk mencegah adanya virus hepatitis B yang menyerang
hati. 12 jam setelah bayi lahir, imunisasi hepatitis B sebaiknya langsung diberikan, lalu diberikan
lagi 4 minggu kemudian dan saat bayi berumur 3-6 bulan.

3. Polio
Imunisasi polio wajib dilakukan beberapa kali agar bayi terhindar dari virus polio. Imunisasi
ini diberikan setelah ia lahir lalu saat berumur 2, 4 dan 6 bulan. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dan terhindar dari kelumpuhan, imunisasi polio harus diberikan lagi saat bayi
berumur 18 bulan dan 5 tahun.

4. DTP (Diphteria, Tetanus, Pertussis)


Imunisasi DTP bermanfaat untuk mencegah penyakit difteri, tetanus dan pertusis atau
batuk yang tidak kunjung usai. DTP diberikan setelah bayi berumur 6 minggu lebih, 4 bulan dan
6 bulan.

5. Campak
Imunisasi yang dilakukan saat bayi berumur 9 bulan ini bermanfaat untuk mencegah bayi
dari virus campak.

276
Table 1. Jadwal Imunisasi IDAI 2011

K. ASI DAN MAKANAN PENDAMPING ASI (MP-ASI)

Terdapat 3 periode dalam praktek pemberian makan pada bayi, yaitu :


1. ASI eksklusif
2. ASI + MP-ASI
3. Makanan keluarga

Kebijakan tentang pemberian makan pada bayi, menurut WHO,UNICEF & IDAI :
- Memberikan ASI segera setelah bayi lahir – 1 jam pertama
- Memberikan hanya ASI saja atau ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan
- Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi mulai usia 6 bulan
- Tetap memberikan ASI sampai anak umur 2 tahun atau lebih

277
1. Pemberian ASI eksklusif
- ASI eksklusif : Bayi hanya diberikan ASI saja tanpa tambahan cairan lain (susu formula,
jeruk, madu, air teh, air putih) dan tanpa tambahan makanan padat (pisang, papaya,
bubur susu, nasi tim, biscuit).
- ASI eksklusif diberikan secara “on demand”, maksudnya ASI diberikan sesuai dengan
kemauan bayi, biasanya ditandai dengan menangisnya bayi tersebut.
- Selama pemberian ASI, harus dimonitor kenaikan BB bayi tersebut, dimana :
Trimester 1  25-30 g/hari = 200 g/mgg = 750-900 g/bln
Trimester 2  20 g/hari = 150 g/mgg = 600 g/bln
Trimester 3  15 g/hari = 100 g/mgg = 400 g/bln
Trimester 4  10 g/hari = 50-75 g/mgg = 200-300 g/bln
- Bila kenaikan BB tidak sesuai, kita harus cari penyebabnya, dengan memperhatikan :
a) Apakah ibu dalam keadaan sehat atau sakit?
b) Apakah cara menyusui sudah benar?
-Posisi ibu dan bayi berhadapan
-Kepala dan punggung bayi lurus
-Mulut bayi mencakup seluruh putting dan aerola
-Bibir bawah bayi tidak melipat ke dalam
c) Apakah anak dalam keadaan sehat atau sakit?
d) Bila cara menyusui sudah benar dan ibu serta anaknya tidak sakit, maka sangat
mungkin ASI
yang tidak mencukupi

278
2. MP-ASI

- Proses penyapihan (weaning) : Proses dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI
secara bertahap baik jenis maupun konsistensinya, sampai seluruh kebutuhan nutrisi
anak dipenuhi oleh makanan keluarga.

- Tujuan pemberian MP-ASI :


a) Melengkapi kelengkapan zat-zat gizi
b) Mengembangkan kemampuan untuk menerima berbagai macam makanan &
teksturnya
c) Mengembangkan kemampuan untuk mengunyah dan menelan
d) Beradaptasi terhadap makanan yang mengandung kadar energy tinggi

- Resiko pemberian makanan terlalu dini :


a) Frekuensi & intensitas pemberian ASI menurun  produksi ASI berkurang
b) Bila nilai gizi MP-ASI lebih rendah  tumbuh kembang terganggu
c) Alergi makanan
d) Infeksi, seperti diare

- Makanan yang diberikan :


a) Bentuk : cair, lunak, padat
b) Jenis : jus, biscuit, bubur susu, nasi tim
c) Pemberiannya harus bertahap : konsistensi, jumlah yang diberikan pada sekali makan
dan frekuensi pemberiannya dalam satu hari

- Cara pemberiannya :
a) Berhati-hati, sedikit demi sedikit, dari bentuk cair sampai yang lebih padat
b) Makanan diperkenalkan satu-persatu, apakah dapat diterima oleh bayi
c) Makanan sebaiknya diberikan saat bayi lapar

- Kriteria MP-ASI yang baik :


a) Kaya akan energy dan nutrient
b) Bersih atau higienis dan aman
c) Lembut dan mudah dikonsumsi
d) Mudah didapat
e) Mudah disiapkan

279
- Jadwal pemberian MP-ASI :
a) Makanan pokok 3x (pagi,siang,malam)
b) Makanan selingan 2x (pukul 10.00 & 16.00)
c) ASI / PASI 3x (bangun pagi, sebelum tidur siang, sebelum tidur malam)

- Pemberian MP-ASI harus bertahap :


-usia 6 bulan : 80% ASI/PASI, 20% MP-ASI
-usia 8-10 bulan : 50% ASI/PASI, 50% MP-ASI
-usia 12 bulan : 20% ASI/PASI, 80% MP-ASI

3. Makanan keluarga
Diberikan jika rahangnya sudah stabil dan koordinasi tangannya sudah baik

280

Anda mungkin juga menyukai