PENULIS :
1. Cecep Kurnia (111 0211 067)
2. Indah Susanti (111 0211 049)
3. Desi Rasmiyani S. (111 0211 137)
4. Saffanah Nur Hidayah (111 0211 152)
5. Danar Pratama Putra (111 0211 155)
6. Syifa Puspa Pertiwi (111 0211 165)
7. Ardina Miastuti (111 0211 177)
8. Sabrina (111 0211 181)
9. Uchi Erian Febriana (111 0211 149)
10. Elisa Dewi L. (111 0211 011)
A. Overview Case
B. Embriologi
C. Anatomi
D. Histologi
E. Fisiologi
F. Mekanisme Pertahanan Sistem Pernapasan
G. Radiografi Paru
H. Analisa Gas Darah
1
A. Tutorial Case
Case 1
Respiratory System
Page 1
Sepulang sekolah, sesampainya di rumah An. S (10 tahun) tampak basah kuyup dan kedinginan
karena kehujanan. An. S tidak henti-hentinya bersin dan batuk serta keluar cairan yang encer yang
keluar dari hidungnya.
Setelah ditanya ibunya, S menceritakan di tengah perjalanan pulang, tiba-tiba hujan deras dan ia
tetap melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan bersepeda. Saat ini S merasakan pilek, batuk,
hidung terasa gatal, sering bersin-bersin dan kedinginan. Terdengar suara napasnya berbunyi.
Page 2
Ibu segera meminta S untuk berganti dan beristirahat di tempat tidur serta menyelimutinya.
Tidak lupa ibu membawakan makanan dan segelas susu hangat untuk S kedalam kamarnya.
Keesokan harinya, tampak S sudah bersiap-siap memulai aktifitasnya kembali untuk berangkat
ke sekolah tetapi sesekali masi terdengar batuk.
2
A. EMBRIOLOGI SISTEM PERNAPASAN
Saat mudigah berusia sekitar 4 minggu, terbentuk divertikulum respiratorium (lung
bud, tunas/bakal paru) sebagai suatu tonjolan dari dinding ventral usus depan . Epitel laring,
trakea, bronkus, dan alveolus berasal dari endoderm. Komponen-komponen jaringan kartilago,
otot, dan ikat berasal dari mesoderm .
Pada awalnya tunas paru mempunyai hubungan terbuka dengan usus depan . Namun
ketika divertikulum membesar ke arah kaudal, terbentuk dua bubungan longitudinal,
trakeoesofageale ridge yg memisahkannya dari usus depan. Selanjutnya, saat kedua bubungan
menyatu untuk membentuk septum trakeoesofageale , usus depandibagi menjadi dorsal,
esofagus & ventral ,trakea & tunas paru .
LARING
Lapisan dalam laring berasal dari endoderm . Kartilago dan otot berasal dari mesenkim
arkus faring keempat dan keenam . Akibat proliferasi cepat mesenkim ini, penampakan aditus
laringis berubah dari celah sagital menjadi lubang berbentuk T. Selanjutnya, bentuk aditus
3
laringis seperti orang dewasa sudah dapat dikenali ketika mesenkim dari kedua arkus berubah
menjadi kartilago tiroidea, krikoidea, dan aritenoidea .
Pada saat kartilago terbentuk, epitel laring juga berproliferasi dengan cepat sehingga
terjadi oklusi lumen untuk sementara. Kemudian terjadi vakuolisasi dan rekanalisasi yang
menghasilkan sepasang resesus lateral, ventrikulus laringis. Cekungan ini dibatasi oleh lipatan-
lipatang jaringan yang berdiferensiasi menjadi pita suara sejati dan palsu .
Karena perototan laring berasal dari mesenkim arkus faring keempat dan keenam,
semua oto laring disarafi oleh cabang-cabang saraf cranial kesepuluh, nervus vagus. Nervus
laringeus superior menyarafi turunan arkus faring keempat, dan nervus laringeus rekurens
menyarafi turunan arkus faring keenam .
Tunas paru berkembang menjadi trakea dan dua kantong tunas lateral, tunas bronkus .
Pada awal minggu ke-5 tunas membesar membentuk bronkus utama kanan dan kiri . Tunas
kanan membentuk 3 bronkus sekunder, tunas kiri membentuk 2 bronkus sekunder .
4
Mesoderm yang menutupi bagian luar paru, berkembang menjadi pleura viseralis.
Lapisan mesoderm somatik , yang menutupi dinding tubuh dari bagian dalam menjadi pleura
parietalis . Ruang antara pleura parietalis dan viseralis adalah rongga pleura .
PEMATANGAN PARU
5
Sampai bulan ke-tujuh pranatal, bronkiolus terus bercabang-cabang menjadi saluran yang
semakin banyak dan semakin kecil (periode kanalikular) , dan jumalah pembuluh darah terus
meningkat . Pernafasan sudah dapat berlangsung ketika sebagian sel bronkiolus respiratorius
kuboid berubah menjadi sel gepeng tipis . Sel-sel menempel erat dengan sejumlah besar kapiler
darah dan limfe, dan ruang disekitarnya sekarang dikenal sebagai sakus terminalis atau
alveolus primitif .
Selama 2 bulan terakhir kehidupan prenatal dan selama beberapa tahun sebelumnya,
jumlah sakus terminalis terus meningkat. Sel-sel yang melapisi sakus dikenal sebagai sel epitel
alveolus tipe 1, menjadi lebih tipis sehingga kapiler di sekitarnya menonjol ke dalam sakulus
alveolaris . hubungan erat antara sel epitel dan endotel ini membentuk sawar darah-udara .
Pada akhir bulan keenam, terbentuk sel epitel alveolus tipe II yg menghasilkan surfaktan
(cairan kaya fosfolipid yg dpt menurunkan tegangan permukaan di pertemuan udara-alveolus)
6
B. ANATOMI
Tabung atau pipa yang mengangkut udara antara atmosfer dan kantung udara (alveolus),
alveolus merupakan tempat pertukaran gas antara udara dan darah.
• Saluran nafas bagian atas :
– Hidung/ nasi
– Faring
– laring
• Saluran nafas bagian bawah :
– Trakea
– Rongga thoraks :
• Bronkhus
• Paru
1. Berdasarkan funsinya upper respiratory tract (nose to larynx) dan lower respiratory
tract ( trachea onwards) . Dibedakan menjadi:
Septum nasi
Kavum nasi
Basis
os palatina dan os palatum
Bagian superior
kartilago, os. Nasal, os maksila, os. Etmoid, os. Sphenoid, lamina kribosa dilalui n. Olfactorius
Bagian lateral
os. Lakrimalis, konka superior, konka media
Konka - konka
o Meatus inferior = celah terbesar antara konka inferior dgn dasar hidung
o Meatus media = celah antara konka inferior dan konka media
o Meatus superior = celah tersempit diatas konka media
7
o Konka suprema, superior, media berasal dari os etmoid bagian lateral. Konka media
terpisah sendiri melekat pada maxila
Nares atau Koana
Pertemuan antara kavum nasi dengan nasofaring
KOM
Komplex osteo Meatal bagian dari sinus etmoid anterior berupa celah pada dinding lateral
hidung
o Bagian atas = dari a. Etmoid anterior dan posterior cabang dari a. Oftalmika dan a. Karotis
interna
o Bagian bawah = dari cabang a. Maxilaris interna
o Bagian depan = dari cabang a. Fasialis
o Bagian depan septum = anastomosis cabang a. Sfenopalatina, a. Etmoid anterior, a. Labialis
superior, a. Palatina mayor ( Pleksus Kiesselbach)
Inervasi Hidung
Bagian depan dan atas (persarafan sensoris) n. Etmoidalis anterior cabang dari n. Nasosiliaris
dari n. Oftalmikus
Ganglion Sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media
Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bulbus olfaktorius
Serabut sensoris = n. Maxilla
Serabut parasimpatis = n. Petrosus superfisialis mayor
Serabut simpatis = n. Petrosus profundus
Faring
Adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan esofagus
sampai batas kartilago krikoid.
Orofaring adalah bagian dari faring yang merupakan gabungan sistem resporasi dan pencernaan.
Panjang faring = 13 cm
Terdiri atas :
a. Nasofaring
Bagian posterior terdapat tonsil faringeal (adenoids) dan tuba eustachii sebagai saluran
penghubung dengan telinga bagian tengah
b. Orofaring
c. Laringofaring
Terpisah menurut fungsi dibagian bawahnya. Makanan masuk ke bagian belakang dan udara
masuk ke arah depan masuk ke laring
8
Laring
Otot-otot laring:
- M. Hypoglosus
- M. Arytenoid transversus
- M. Crycoarytenoideus posterior
- M. Crycoarytenoideus lateralis
- M. Vocalis
- M. Cricothyroideus
Bagian-bagian laring:
Epiglotis : berbentuk seperti lidah yang berada diatas laring menutupi ostiumnya ketika
menelan makanan
Glotis : ostium antara pita suara dalam laring
Kartilago thyroid : terbesar sebagai pembentuk jakun (Adam’s Apple)
Kartilago krikoid : di bawah kartilago thyroid
Kartilago aritenoid : dua kartilogo kecil berbentuk piramid di basis kartilago cricoid. Plica
vokalis melekat di bagian posterior sudut piramid
Plica vokalis : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara
9
10
• Pipa silinder, terbentuk ¾
cincin tulang rawan
berbentuk huruf C.
• Bagian belakang di
hubungkan o/ membran
fibroelastic yang menempel
pd esophagus dan ujung
posterior kartilago yang
bebas dihubungan oleh otot
polos (otot trachealis)
• Bronchus kanan (utama) lebih besar, lebih pendek dan lebih vertikal. Panjang 2,5 cm.Bercabang
menjadi : lobus superior, medius, inferior
• Bronchus kiri lebih sempit, lebih panjang dan lebih horizontal. Panjang 5cm.Bercabang menjadi :
lobus superior dan inferior
11
Secondary Bronchi (bronkus lobaris)
• Percabangan bronchus berjalan terus menjadi ukuran yang semakin kecil -> bronkhiolus
terminalis
• Bronkhiolus terminalis, saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli mempunyai
kantong lembut pada dindingnya , Panjang 0,5-1mm, dikelilingi o/ otot polos shgg ukurannya
dapat berubah (saluran penghantar ke alveoli).
Respiratory portion pertukaran gas. Terdiri dari small airways disebut respiratory
bronchioles,alveolar ducts dan alveoli .
• Saccus alveolaris, terdiri dari beberapa alveoli yang terbuka ke suatu ruangan.Masing- masing
alveolus di kelilingi oleh jaringan kapiler yang padat. Antar alveolus dipisahkam oleh
septum,terdapat lubang kecil yg memungkkinkan hub atau aliran udara antar sakus alveolaris
yaitu pori-pori kohn.
12
Paru-paru
• Pleura visceral, selaput paru
Masing-masing paru diliputi oleh sebuah kantong pleura yang langsung membungkus
yang terdiri dari dua selaput serosa disebut pleura paru
pleura parietalis dan visceralis berhubungan satu dengan yang lainnya pada lipatan pleura yg
mengelilingi alat2 yg masuk dan keluar dari hilus pulmonalis
Persarafan pleura
13
3. Pars diaphragmatica ; kubah oleh nervi phrenicus
• Pleura visceralis oleh saraf otonom dari plexus pulmonalis,pleura visceralis peka thdp tarikan
tapi tdk peka thdp sensasi umum (nyeri,raba)
Paru-paru
Pulmo dextra
Pulmo dextra sedikit lebih besar dari pulmo sinistra dan dibagi oleh fissure oblique dan fissure
horizontalis pulmonalis dextri menjadi 3 lobus :
1.lobus superior
2.lobus medius
3.lobus inferior
14
1.lobus superior
2.lobus inferior
Pada pulmo sinistra
tdk ada fissure
horizontalis
Pulmo sinistra
Pulmo sinistra dibagi oleh fissure oblique dgn cara yg sama menjadi 2
lobus yaitu:
15
• Seiap bentuk paru terdapat :
– Apeks pulmonalis, tumpul dan menonjol ke dalam leher 2,5 cm diatas clavicula
Hilus pulmonalis
Dextra :
• A. pulmonalis dextra
• V. pulmonalis
• Noduli lymph
Sinistra :
• A.pulmonalis
• V. pulmonalis
• Noduli lymph
Perdarahan paru :
• bronchial circulation :memperdarahi bronchus ,jar ikat paru dan pleura visceralis.
Arteri bronchiales merupakan cabang dari aorta desenden
16
• Pergerakan pernafasan di suplai melalui:
1. Hidung
Mukosa pernapasan (respiratorius) : Lebih banyak di sebagian besar rongga
Hidung.
Epitel thorax berlapis semu + bersilia + bersel
goblet.
Mukosa penghidu (olfactorius) : Banyak di atap rongga hidung, konka superior, &
1
/3 atas septum.
Epitel thorax berlapis semu, bersilia.
17
Di dalam lamina propria terdapat plexus vena besar (swell bodies) setiap 20 – 30
menit penuh terisi darah mukosa konka membengkak aliran udara berkurang
epitel respirsi dapat pulih dari kekeringan.
Darah dari belakang mengalir ke depan dalam arah berlawanan dengan aliran udara
inspirasi sehingga udara yang masuk dihangatkan secara efisien oleh system arus
balik.
2. Sinus paranasal
Merupakan rongga bilateral di tulang frontal, maxilla, ethmoid dan sphenoid
tengkorak.
Sinus-sinus ini dilapisi epitel respiratorik yang lebih tipis dengan sedikit sel goblet.
3. Nasofaring
Dilapisi epitel respiratorik & memiliki tonsila pharingeus di media & muara bilateral
tuba auditorius di setiap telinga tengah.
1. Laring
Saluran kaku pendek (4 x 4 cm) untuk udara antara faring dengan trakea. Dindingnya
diperkuat kartilago hialin dan kartilago elastic yang lebih kecil yang keduanya
dihubungkan oleh ligament.
Terdapat epiglottis yang berfungsi sebagai katup untuk mencegah masuknya
makanan / cairan yang ditelan ke dalam trakea.
Epiglottis memiliki permukaan laryngeal & permukaan lingual. Permukaan laryngeal
dekat basis epitel bertingkat silindris bersilia. Di bawah epitel ada kelenjar
campuran mukosa & serosa di lamina propria.
Dibawah epiglottis, mukosanya membentuk 2 pasang lipatan yang meluas ke dalam
lumen laring yaitu pita suara palsu (plica vestibularis) dan pita suara (plica vocalis).
18
2. Trakea
Saluran dengan panjang 12 – 14 cm mukosanya dilapisi epitel bertingkat silindris,
bersilia, bersel goblet.
Di lamina propria terdapat :
Banyak kelenjar seromukosa untuk menghasilkan mucus encer.
16 – 20 cm cincin kartilago hialin berbentuk C menjaga agar lumen trakea tetap
terbuka.
Pars kartilaginea bagian trakea yang mengandung tulang rawan.
Pars membranasea celah pada dinding tulang rawan yang ditutupi oleh jaringan
ikat (mencegah distensi berlebih) dan kerangka jaringan otot polos (memungkinkan
pengaturan lumen).
Trakea terbagi jadi 2 bronkus primer yang memasuki paru di hilus setelah
masuk ke paru menyusur ke bawah dan keluar membentuk 3 bronkus sekunder
(lobaris) di paru kanan dan 2 di paru kiri bercabang membentuk bronkus tersier
(segmental).
3. Bronkus
Mukosa dilapisi epitel bertingkat silindris bersilia bersel goblet.
Lamina propria mengandung serat elastn & memiliki banyak kelenjar seromukosa
serta terlihat anyaman berkas otot polos yang tersusun menyilang.
Banyak limfosit di lamina propria dan diantara sel-sel epitel.
19
Serat elastin dan otot polos tambah banyak seiring mengecilnya bronkus &
berkurangnya kartilago & jaringan ikat lain.
4. Bronkiolus
Merupakan jalan napas intralobular, diameter 5 mm atau kurang. Tidak memiliki
kartilago maupun kelenjar dalam mukosanya. Hanya sebaran sel goblet dalam epitel
segmen awal.
Pada bronkiolus yang besar, epitelnya masih bertingkat silindris bersilia makin ke
distal dari bronkiolus besar ke kecil, epitelnya makin rendah & sederhana menjadi
epitel selapis silindris bersilia / selapis kuboid.
Epitel bronkiolus terminalis mengandung sel clara sel-sel yang tidak punya silia,
memiliki granul sekretori di dalam apeksnya, mensekresi protein yang melindungi
terhadap polutan oksidatif & inflamasi.
Badan neuroepitel kumpulan 80 – 100 sel yang mengandung granul secret &
menerima ujung saraf kolinergik. Berfungsi sebagai kemoreseptor yang bereaksi
terhadap perubahan kadar O2 udara.
20
5. Bronkiolus Respiratorius
Mukosanya secara structural identik dengan mukosa bronkiolus terminalis, kecuali
dindinngnya yang diselingi banyak alveolus.
Bronkiolus respiratorius dilapisi epitel kuboid bersilia & sel clara tapi pada tepi
muara alveolus epitel bronkiolus menyatu dengan sel-sel alveolus gepeng.
6. Duktus Alveolaris
Dicabangkan dari bronkiolus respiratorius. Duktus alveolaris & alveolus dilapisi sel
alveolus gepeng yang sangat halus.
Dari ujung duktus alveolaris terbuka pintu lebar menuju beberapa sakus alveolaris
terdiri dari beberapa alveolus yang bermuara bersama membentuk ruangan yang
disebut atrium.
Serat elastin (memungkinkan alveolus mengembang saat inspirasi & kontraksi secara
pasif selama ekspirasi) dan serat reticular (membantu mencegah pengembangan
alveolus secara berlebih & mencegah kerusakan jaringan paru) menyusun sakus
alveolaris, atrium & alveolus.
7. Alveolus
Merupakan penonjolan mirip kantung (diameter 200 µm), jumlahnya 300 juta.
Di dalam alveolus berlangsung pertukaran O2 dan CO2 antara udara dan darah.
Udara dalam alveolus dipisahkan dari darah kapiler oleh 3 komponen :
Lapisan permukaan & sitoplasma sel alveolus.
Lamina basal, yang menyatu dari sel alveolus & sel endotel kapiler.
Sitoplasma sel endotel.
Terdapat pori pada septum interalveolus menghubungkan alveolus yang
berdekatan dan bermuara ke berbagai bronkiolus. Berfungsi untuk menyetarakan
21
tekanan udara alveolus dan meningkatkan sirkulasi kolateral udara saat sebuah
bronkiolus tersumbat.
Sel alveolus tipe I, melapisi permukaan alveolus. Menempati 97 % dari permukaan
alveolus. Fungsi utamanya untuk membentuk sawar dengan ketebalan minimal yang
dapat dilalui gas dengan mudah.
Sel alveolus tipe II, tersebar diantara sel alveolus tipe I bentuknya bundar,
berkelompok, jumlahnya 2 – 3 di sepanjang permukaan alveolus. Sel ini membelah
diri secara mitosis untuk mengganti dirinya sendiri dan sel tipe I. Sel ini menghasilkan
surfaktan paru yang berfungsi untuk menurunkan tegangan alveolus paru.
Makrofag ditemukan di dalam alveolus dan septum interalveolus berfungsi untuk
memfagosit debris yang berasal dari lumen alveolus.
22
Mukosa respiratorius : epitel thorax
berlapis semu + bersilia + bersel goblet
Hidung
Mukosa olfaktorius : epitel thorax
berlapis semu bersilia
Epitel respiratorik Faring
Bronkiolus terminalis
Epitel kuboid bersilia bersilia
+ sel clara
Bronkiolus respiratorius
23
D. FISIOLOGI RESPIRASI
1. Sistem Respirasi
Tdd suatu rangkaian saluran udara yg menghantarkan udara luar agar bersentuhan
dengan membran kapiler alveolus terjadi pergerakkan udara masuk & keluar dari
saluran udara .
2. Sistem Saraf Pusat
Memberikan dorongan ritmik dari dalam untuk bernafas merangsang thorax dan
otot – otot pernafasan sebagai tenaga pendorong gerakan udara .
3. Sistem Kardiovaskular
Menyediakan pompa, jaringan pembuluh & darah yg diperlukan untuk mengangkuat
gas – gas antara paru & sel – sel tubuh .
Fungsi NonRespiratorik :
24
Klasifikasi Respirasi :
1. Respirasi Eksternal
- Adalah proses pertukaran gas ( O2& CO2 ) antara udara atmosfer udara & darah
- Terdiri dari 4 proses :
o DIFUSI pertukaran O2& CO2 antara udara di alveolus & darah di dlm kapiler
pulmonalis
o PERFUSI pertukaran O2& CO2 antara jaringan & darah di kapiler sistemik
2. Respirasi Internal
- Adalah proses respirasi sel ( tingkat selular )
- Dilakukan di Mitokondria sel
VENTILASI
Adalah pertukaran gas antara atmosfer & alveolus . Sebelum udara masuk ke dalam
paru – paru , maka udara akan melewati saluran napas bagian atas terlebih dahulu , baru bisa
masuk ke paru – paru , antara lain :
Pada saat Ventilasi pertama kali , akan menyebabkan rongga thorax membesar oleh
karena paru – paru mengembang karena terisi oleh udara . Hal tersebut bisa terjadi oleh karena
ada nya bekerjanya otot – otot pernafasan yang mengatur fase – fase respirasi .
25
Fase – Fase Respirasi
FASE INSPIRASI
- Adalah proses awal saat menghirup udara sampai terisinya paru – paru oleh udara
- Proses ini membutuhkan kontraksi otot – otot pernafasan Proses Aktif
- Kondisi sebelum bernafas :
o Otot – otot melemas
o Tidak ada udara yang mengalir ke
dalam alveolus paru
o Tekanan intraalveolus = Tekanan
atmosfer
- Otot – otot Inspirasi Utama :
o M. Intercostalis eksterna
o M. Interkartilaginus parasternal
o M. Diafragma
- Otot – otot Inspirasi Tambahan :
o M. Sternocleidomastoideus pars sternalis
o M. Skalenus anterior , medius , posterior
o M. Serratus anterior
- Proses :
Saat bernafas / menghirup udara otot – otot pernafasan akan berkontraksi (
setelah ada rangsangan dari pusat pernafasan di otak ) otot – otot :
M. Intecostalis eksterna mengangkat costae ke atas
M. Diafragma menurun / mendatar
M. Sternocleidomastoideus mengangkat sternum ke atas
M. Scalenus anterior & medius mengangkat costae 1
M. Scalenus posterior mengangkat costae 2
M. Serratus anterior mengangat costae ke atas & depan
26
Menyebabkan volume rongga thorax membesar ( ke arah anterior , lateral , vertikal
) oleh karena paru – paru mengembang tekanan intra alveolus menurun udara
mengalir masuk ke tekanan yang lebih ↓ udara terhirup
FASE EKSPIRASI
- Adalah proses akhir dari inspirasi sampai udara keluar dari paru – paru ke udara
atmosfer
- Proses ini pada umumnya tidak memerlukan kontraksi otot – otot pernafasan oleh
karena terjadi karena penciutan ( Recoil ) dari paru itu sendiri Proses Pasif
- Tetapi, jika dibutuhkan pengeluaran udara secara maksimal , maka fase ekspirasi
pun membutuhkan kontraksi otot – otot pernafasan Fase Ekspirasi Aktif /
Ekspirasi Paksa
- Kondisi sebelum Ekspirasi ( akhir Inspirasi ) :
o Otot – otot inspirasi melemas
o Ada daya Recoil paru
- Otot – otot Ekspirasi Aktif :
o M. Intercostalis interna & eksterna
o M. Interkartilaginus parasternal
o M. Obliquus abdominis eksternus
o M. Rektus abdominis
- Proses Normal Ekspirasi :
Saat otot inspirasi melemas volume rongga thorax mengecil paru akan
terkompresi & mengalami penciutan ( Recoil ) tekanan intra alveoulus meningkat
udara mengalir keluar ke tekanan yang lebih ↓ udara keluar
27
volume rongga thorax mengecil paru akan terkompresi & mengalami penciutan (
Recoil ) tekanan intra alveoulus meningkat udara mengalir keluar ke tekanan
yang lebih ↓ udara keluar
28
- Akibat adanya ke 3 tekanan tersebut akan menimbulkan :
o Daya kohesifitas cairan intrapleura
Terdapat molekul – molekul air polar di dalam cairan rongga pleura
yang menimbulkan gaya tarik menarik antar molekul
Fungsi :
1. Menahan ke 2 pleura agar tetap menyatu
2. Pelekat antara didinding thorax dengan paru – paru
3. Dapat membuat paru meregang untuk mengisi rongga dada
o Gradien tekanan Transmural ( Tekanan Transpulmonal )
Adalah tekanan yang melintasi paru
Terdapat diantara dinding thorax dan alveolus – pleura
Proses 1 :
Tek. Intra alveolus = Tek. Atmosfer = 760 mmHg
↓
Tek. Intrapleura = 756 mmHg
↓
gaya yang menekan ke luar >> ke dalam
↓
∆p = 4 mmHg
↓
29
mendorong paru ke arah luar
↓
meregangkan paru ke arah luar
↓
Paru mengembang ( ekspansi ) mengisi dinding thorax
Proses 2 :
Di dinding thorax
Tek. Atmosfer = 760 mmHg ke arah dalam >> Tek. Intrapleura = 756
mmHg
↓
∆p = 4 mmHg
↓
Mendorong paru ke arah dalam
↓
↓menekan dinding thorax / terkompresi
↓
Oleh karena paru >> mudah teregang daripada dinding thorax
↓
Efek gradien tansmural >> terdapat pada dinding paru
↓
Paru – paru menciut / terkompresi
30
Kerja Pernafasan :
Paru – paru bisa bekerja ( mengembang & menciut ) oleh karena ada udara
yang masuk ke dalam alveolus paru melalui perbedaan tekanan . Masuknya udara ke
dalam paru , harus melewati saluran penafasan yang terdapat tahanan ( Resistensi )
pada saluran / jalan nafas . Otot – otot pernafasan yang bekerja , akan menimbulkan
perubahan volume paru pada saat inspirasi & Ekspirasi . Kerja paru tersebut terdiri dari :
31
- Elastisitas
oAdalah sifat elastisitas jaringan
oYaitu kemampuan paru untuk dapat mengembang saat Inspirasi & kembali
pada keadaan semula saat Ekspirasi ( Recoil )
oSifat elastik paru tergantung dari :
Jaringan ikat paru yang elastik
Tegangan permukaan alveolus
oSaat Fase Inspirasi perlu elastisitas aktif (+)
oSaat Fase Ekspirasi elastisitas pasif (-)
oRecoil terjadi sewaktu otot – otot pernafasan melemas di akhir Inspirasi
- Komplians
oAdalah seberapa besar paru dapat meregang dalam kondisi berdilatasi
oNilai komplians total orang dewasa :
200 mL udara / cm Tek. Transpulmonal H2O atau 0,2 1/H2O
oKomplians paru ditentukan oleh daya elastisitas paru pada saat inspirasi aktif
(+) sangat tergantung pada volume udara yang masuk ke paru
Gradien Tekanan
# makin besaar tekanan parsial suatu gas dalam cairan, semakin banyak gas tersebut larut.
32
DIFUSI
• Luas permukaan
• Ketebalan membran
# koefisiensi CO₂ 20x lebih besar dari pada O₂ karena CO₂ lebih mudah larut dalam jaringan
tubuh
TRANSPORTASI
Oksigen diangkut ke jaringan melalui Darah dan Hb, tetapi lebih besar peran Hb
dikarenakan 97% O2 diangkut oleh Hb
33
TRANSPORT O2
Terdapat 2 cara :
Hb + O₂ HbO₂
Peningkatan dua kali lipat tekanan parsial tidak melipatgandakan persentase saturasi
Hb.
34
Faktor yang mempengaruhi penurunan afinitas Hb terhadap O₂ :
Pengaruh CO2 dan asam pada pembebasan O2 dari Hb disebut efek Bohr, yaitu CO2 dan
ion hidrogen (H+) asam mampu berikatan secara reversible dengan hb pada tempat
selain ikatan O2
3. Suhu
Menggerser kurva ke kanan
Metabolisme sel (olahraga) >>, konsumsi O2 >> dan Po2 <<
Maka
Mempermudah pembebasan O2
Pada kapiler paru efek ini dihilangkan dengan:
Pengeluaran CO2 dan H+
Penurunan suhu
4. 2,3-difosfogliserat (DPG)
Efek (+): mendorong pembebasan O2 dari Hb di tingkat jaringan, sehingga membantu
mempertahanakan kesediaan O2 di tingkat jaringan
Efek (-): Menurunkan kemampuan Hb menyerap O2 di tingkat paru
TRANSPORT CO2
Terdapat 3 cara :
• Sebagai bikarbonat
35
Pergeserah Klorida :
HCO3 bermuatan negative keluar dari eritrosit karena lebih larut dalam plasma, namun tidak
diimbangi dengan difusi keluar ion positif sehingga terbentuk gradient listrik yang
menyebabkan ion Cl berdifusi menuruni gradient listrik (menetralkan)
Efek Haldane :
Secara rerata, pada orang dewasa sehat, udara maksimal yang dapat ditampung paru
sekitar 5,7 L (pria) dan 4,2 L (wanita). Ukuran anatomik, usia dan daya regang paru, serta ada
tidaknya penyakit pernapasan mempengaruhi kapasitas paru total ini. Pada akhir ekspirasi
tenang normal, paru masih mengandung sekitar 2200 ml udara. Selama bernapas biasa, sekitar
500 ml udara masuk dan keluar paru sehingga selama bernapas tenang volume paru bervariasi
antara 2200-2700 ml.
Saat ekspirasi maksimal, volume paru dapat turun sampai 1200 ml, tetapi paru tidak
pernah dapat dikempiskan secara total karena saluran-saluran pernapasan kecil kolaps ketika
ekspirasi paksa sehingga menghambat pengeluaran udara. Karena paru tidak pernah dapat di
kempiskan secara total, sehingga pertukaran gas terus berlangsung antara darah yg mengalir
melalui paru dan udara alveolus yg tersisa bahkan selama ekspirasi maksimal. Perubahan
volume paru yang terjadi selama berbagai upaya bernapas dapat diukur dengan spirometer,
suatu alat untuk menentukan berbagai volume dan kapasitas paru.
36
Volume Paru
1. Volume Tidal (VT) / Tidal Volume (TV) : volume udara yang masuk atau keluar selama
satu kali bernapas normal. Nilainya 500 ml.
2. Volume Cadangan Inspirasi (VCI) / Inspiratory Reserve Volume (IRV) : volume udara
tambahan yang dapat dihirup diatas volume tidal. Nilainya 3000 ml.
3. Volume Cadangan Ekspirasi (VCE) / Expiratory Reserve Volume (ERV) :volume udara
tambahan yang dapat dikeluarkan melebihi volume tidal. Nilainya 1000 ml.
4. Volume Residu (VR) / Residual Volume (RV) : volume udara yang masih tetap berada
dalam paru setelah ekspirasi paling kuat. Nilainya 1200 ml.
Untuk menguraikan peristiwa-peristiwa dalam siklus paru, kadang perlu penyatuan dua
atau lebih siklus diatas. Kombinasi seperti itu disebut kapasitas paru.
1. Kapasitas Inspirasi (KI) / Inspiratory Capacity (IC) : jumlah udara maksmial yang dapat
dihirup diatas volume tidal, volume tidal + volume cadangan inspirasi. Nilainya 3500 ml.
2. Kapasitas Residu Fungsional (KRF) / Functional Residual Capacity (FRC) : jumlah udara
yang tersisa di paru setelah akhir ekspirasi normal, volume residu + volume cadangan
ekspirasi. Nilainya 2200 ml.
3. Kapasitas Vital (KV) / Vital Capacity (VC) : jumlah udara maksimal yang dapat dikeluarkan
oleh paru, yang sebelumnya inspirasi maksimal lalu ekspirasi sebanyak2nya, volume
cadangan inspirasi + volume tidal + volume cadangan ekspirasi. Nilainya 4500 ml.
4. Kapasitas Paru Total (KPT) / Total Lung Capacity (TLC) : volume udara maksimal yang
dapat ditampung oleh paru, kapasital vital + volume residu. Nilainya 5700 ml.
37
Volume dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20-25% lebih kecil dari pria, dan lebih
besar lagi pada orang yang atletis dan bertubuh besar daripada orang yang bertubh kecil dan
astenis (kurus).
Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah
pertukaran gas, tetapi hanya mengisi saluran napas yang tidak mengisi pertukaran gas. Pada
waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara dalam ruang rugi, sebelum udara
alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian untuk
pengeluaran gas ekspirasi dari paru.
Volume ruang rugi normal pada laki-laki dewasa muda 500 ml. Nilai ini meningkat dengan
bertambahnya usia. Ruang rugi pernapasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruang rugi
anatomis dan ruang rugi fisiologis.
Tidak semua udara yang dihirup sampai ke tempat pertukaran gas di alveolus. Sebagian
tetap berada di saluran napas penghantar, dimana tidak terjadi pertukaran gas. Volume saluran
napas penghantar pada orang dewasa muda rerata adalah 150 ml. Volume ini dianggap sebagai
ruang rugi anatomis, karena udara di saluran napas penghantar tidak berguna untuk
pertukaran.
Ruang rugi anatomik sangat mempengaruhi efisiensi ventilasi paru. Pada efeknya,
meskipun 500 ml udara masuk dan keluar setiap kali bernapas namun hanya 350 ml yang
benar-benar dipertukarkan antara atmosfer dan alveolus karena 150 ml menempati ruang rugi
anatomik.
38
Setelah inspirasi saluran napas terisi oleh 150 ml udara atmosfer.
Pada inspirasi berikutnya, 500 ml gas masuk ke alveolus. Sebanyak 150 ml udara
pertama yang masuk ke alveolus adalah udara lama yang berada di ruang rugi anatomik selama
ekspirasi sebelumnya. Sebanyak 350 ml lainnya yang masuk ke alveolus adalah udara segar
yang dihirup dari atmosfer.
39
Ruang rugi fisiologis
Terkadang sebagian alveoli sendiri tidak berfungsi atau hanya sebagian berfungsi karena
tidak adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru yang berdekatan. Oleh
karena itu, dari segi fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi. Bila ruang
rugi alveolus disertakan dalam pengukuran ruang rugi total, ini disebut ruang rugi fisiologis.
Pada orang normal, ruang rugi anatomis dan ruang rugi fisiologis hampir sama sebab
pada paru normal semua alveoli berfungsi, tetapi pada orang yang alveolinya hanya berfungsi
sebagian atau tidak berfungsi sama sekali di sebagian paru, ruang rugi fisiologisnya dapat
mencapai 10 kali ruang rugi anatomis, atau sebesar 1-2 liter.
Kontrol Pernapasan
40
1. KRD terdiri atas neuron inspirasi yang serat desendennya berakhir di neuron motorik
yang mempersarafi otot inspirasi. KRD mencetuskan potensial aksi => inspirasi, saat tdk
mencetuskan potensial aksi => ekspirasi
2. KRV terdiri atas neuron inspirasi dan ekspirasi yang keduanya tetap inaktif selama
bernapas tenang. Diaftikan oleh KRD sbg mekanisme (penambah kecepatan) selama
periode saat kebutuhan ventilasi meningkat. KRV penting dalam keadaan ekspirasi akrif
3. Pusat Pneumotaksik untuk membatasi durasi inspirasi
4. Pusat Apnustik untuk mencegah neuron inspirasi dari switch off sehingga menambah
durasi inspirasi
Paru merupakan organ di dalam tubuh yang berhubungan langsung dengan udara atmosfer, sehingga
paru memiliki kemungkinan besar terpajan bahan atau benda yang berbahaya seperti partikel debu, gas
toksik, kuman penyakit, bahkan terhadap suhu.
Partikel udara yang berukuran>10 mikro meter akan tertangkap di dalam ronggahidung
Partikel yang berukuran 5-10 mikro meter akan tertangkap di bronkus dan percabangannya
Partikel yang <3 mikro meter akan masukke alveoli
Reflex batuk ini merupakan mekanisme yang kuat untuk mengangkat partikel tersebut ke saluran
pernafasan ata suntuk di keluarkan.
41
Impuls aferen dari saluran pernafasan yang terangsang oleh partikel di dalam bronkus maupun
trakea, akan berjalan melalui N. Vagus ke medulla oblongata. Di medulla oblongata akan di proses
sehinggaterjadimekanismeseperti :
mendorongdiafragmadanterjadipeningkatanotot-otot
ekspirasi di paru
Kecepatan udara ini bias mencapai 75-100 mil/jam. Udara yang mengalir cepat ini akan
membuat benda asing di bronkus dan trakea terbawa keluar.
42
Bersin
Reflex bersin hampir sama dengan reflex batuk, hanya saja yang membedakan letaknya. Bersin
terjadi jika terdapat partikel pada hidung dan ekskresi melalui hidung, sedangkan batuk pada saluran
nafas bawah (bronkusdantrakea)
Rangsangan berupa iritasi pada saluran hidungakan memberikan impuls aferen dan berjalan
dari saraf maksilaris menuju medulla oblongata. Kemudian terjadi reflex sepertibatuk.
Pada reflex bersin, uvula akan tertekan sehingga sejumlah besar udara akan mengalir dengan
cepat melalui hidung dan mulutmembersikan saluran hidung
Sistem saraf otonom : mengontrol suplai darah dalam mukosa nasal dan sekresi mukus
Kongesti nasal
Hidung tersumbat
Sulit bernafas
43
F. RADIOGRAFI PARU
Karena struktur yang membentuk sistem pernapasan terletak di dalam rongga toraks, sering
diperlukan radiografi dalam kasus pulmonologi atau respirologi sebagai fasilitas penunjang
diagnostik.
1. Foto toraks rutin yang dilakukan pada seseorang yang mempunyai riwayat kontak
dengan penderita TB paru; pada general medical check up; dan pada pemeriksaan
berkala pada pekerja dalam lingkungan yang udaranya tidak bersih (polusi).
2. Terdapat gejala yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di rongga dada.
3. Terdapat gejala umum yang menimbulkan kecurigaan adanya lesi di rongga dada,
seperti demam yang tidak diketahui penyebabnya (FUO), juga untuk mengetahui
4. apakah terdapat metastasis keganasan ke paru.
Foto paru standar pada orang dewasa adalah foto posteroanterior (PA).
Cara :
a) pasien berdiri
b) kaset film menempel pada dada
c) dan tabung rontgen di belakang pasien kira-
kira berjarak 2 meter dari kaset
d) agar skapula tidak menutupi lapangan paru,
pasien dalam posisi tangan di pinggang dan
siku ditarik ke depan
e) pengambilan foto biasanya dilakukan saat
pasien berada dalam inspirasi maksimal. Foto
yang diambil saat ekspirasi diperlukan untuk
menilai terperangkapnya udara dalam paru
(the trapping of pulmonary air), apakah lokal
atau difus. Selain itu, untuk konfirmasi adanya
pneumotoraks.
44
Foto Anteroposterior (AP)
Cara :
Radiografi foto toraks pada orang normal menggambarkan keadaan rongga dada normal.
Proses penyakit dapat menghasilkan gambaran tambahan dan menghasilkan perubahan
gambara anatomi yang sesuai dengan karakteristik penyakitnya.
Paru
Gambar paru lokasinya terletak pada daerah yang translusen. Di dalam lapangan paru, tampak
stuktur yang kurang lusen di bandingkan jaringan paru. Stuktur tersebut adalah pembuluh
darah (arteri) dan cabangnya di daerah hilus, vena pulmonalis, dan sekat pemisah. Bronkus
tidak memberikan bayangan yang jelas karena berisi udara.
45
Mediastinum
Diafragma
Diafragma lebih berbentuk konveks sedangkan sudut kostofrenikus tajam. Bagian tertinggi
diafragma terletak setinggi ICS anterior ke 5-6, atau persilangan antara bayangan costae
anterior ke-6 dan costae posterior ke-10. Diafragma kanan biasanya le3bih tinggi 1-2 cm
dibandingkan dengan diafragma kiri.
Pastikan dahulu apakah foto yang di baca adalah foto PA atau foto AP agar penilaian
terhadap besarnya jantung tepat-untuk hal ini, di lembar foto selalu terdapat tulisan PA
atau AP, atau terdapat tanda sisi kanan atau kiri. Untuk membedakan foto AP atau foto
PA dapat dilihat pada bayangan klavikula. Pada foto PA, biasanya bagian medial
klavikula mengarah ke kaudal, sedangkan foto AP, bagian medial klavikulanya mengarah
ke kranial.
46
Apakah penetrasi film cukup. Pada film yang penetrasinya cukup, masih terlihat ruang
intervetebra di belakang jantung. Pada film yang penetrasinya kurang (underpenetrate),
lesi di belakang jantung akan tampak kabur (obscured).
Apakah foto dalam keadaan simetris. Sedikit saja terdapat rotasi sikap dada saat difoto,
gambar yan di hasilkan akan berbeda. Untuk mengetahui apakah terdapat rotasi dapat
dilihat dengan cara membedakan posisi ujung medial klavikula kanan dan klavikula kiri
terhadap satu sisi lateral korpus vetebra, jika jaraknya sama berarti simetris. Jika
terdapat rotasi, akan terdapat ruang antara bayangan klavikula dengan bayangan
korpus vetebra, sedangkan pada sisi berlawanan terdapat bayangan yang saling
menumpuk (overline).
Pemeriksaan foto dimulai dengan memeriksa bayangan jaringan diluar paru apakah
terdapat anomali, kemudian banyangan otot; bagaimana tebalnya dinding dada, mamnae,
dan puting susu.
Rangka toraks
Tulang rangka toraks harus diperiksa apakah terdapat kelainan seperti patah, destruksi
karena metastasis keganasan.
Bayangan jaringan lunak.
Pada perempuan apakah terdapat asimetris akibat mestektomi. Banyangan puting susu
tampak sebagai bayangan padat denga diameter 0,5-1,5 cm pada lapangan bawah paru.
Bayangan puting susu dapat menyebabkan kesalahan pada pembaca karena diperkirakan
sebagai lesi paru. Jika terdapat keraguan, ulangi foto dengan cara puting susu diberi marker
(petanda). Jika bayangan berbeda tempat dengan marker, dapat ditentukan bahwa
banyangan tersebut adalah lesi.
Diafragma
Jantung
Ukuran maksimalnya adalah 15,5 cm.
47
Trakea
Tampak sebagai pipa translusen vertikal, terletak sentral, di sepertiga bagian bawah dan
mengarah agak ke kanan.
Hilus
Bayangan hilus normal adalah bayangan pembuluh darag. Banyangan kelenjar hilus
dalam keadaan normal tidak tampak, kecuali jika terdapat pembesaran. Bayangan hilus
berbentuk V terbaring dan sudutnya mengarah ke medial. Kaki atas merupakan
bayangan vena lobus atas yang melintas hilus menuju atrium kiri, sedangkan kaki bawah
sebagai bayangan cabang arteri pulomanalis yang menuju ke lobus bawah. Bagian
tengah hilus kanan yang merupakan titik sudut V terletak setinggi fisura horizontal pada
costae ke-6 di linea aksilaris. Bagian tengah hilus sebelah kiri terletak 1-1,5 cm lebih
tinggi dibandingkan hulis kanan.
Fisura horizontal
Tampak pada 80% dari seluruh foto toraks sebagai garis horizontal pada costae ke-6 di
lineanaksilaris kanan.
Lapangan paru.
Lapangan paru dibaca paling akhir agar objek lain yang tidak berkaitan dengan paru
tidak terlewat oleh pemeriksa; biasanya saat pemeriksa menemui kelainan pada
lapangan paru, objek lain mungkin terlupakan.
Perhatikan: 1) cosate, apakah ada penyempitan atau retraksi; 2)apakah ada penarikan
ataupun pendorongan organ; 3) apakah terdapat daerah yang lebih radiolusen akibat
tersisihnya parenkim paru; 4) bagaimana corakan bronkovaskular-jika bertambah dapat
disebabkan oleh batuk,flu atau bronkitis,pasca batuk darah, serangan asma, atau pada
status asmatikus; 5) gambaran fibrotik; 6) gambaran pengapuran.
48
RADANG PARENKIM FOTO TORAKS
PNEUMONIA konsolidasi sebagian
atau seluruh lobus:
pneumonia
bercak bercak
tersebar mengikuti
alveoli tersebar:
bronchopneumonia
49
RADANG FOTO TORAKS
BRONKUS
BRONKITIS gambaran radiologis (-)
AKUT
BRONKITIS tidak khas
KRONIK umumnya corakan ramai di
basal paru karena penebalan
dinding bronchus dan
peribronchus.
FOTO TORAKS
EMFISEMA • Hiperaerasi paru
(paru terisi banyak
udara) ukuran
paru bertambah
• Hiperlusen
• Diafragma
mendatar
50
ATELEKTASIS • Kolaps bagian paru
tidak terisi
udara
• Perselubungan
homogen
• Batas tegas
• Penarikan jaringan
sekitar
pengurangan
volume paru
(kolaps)
51
FOTO TORAKS
TUBERCULOSIS Sarang-sarang
PARU berbentuk
awan atau
bercak-bercak
opasitas rendah
atau sedang
batas tidak
tegas.
Kavitas : selalui
berarti proses
aktif kcl bila
sudah sangat
kecil.
PPOK Hiperlusen
Diafragma
mendatar
Corakan
bronkovas
52
PNEUMOTORAKS Lebih
hiperlusen
Terdapat pleura
line
Bulat
Batas
irreguler/
kabur
53
EFUSI PLEURA Gambaran
opak
Terdapat
bercak putih
Tujuan
Indikasi
54
9. Pasien dengan perubahan status respiratori
10. Anestesi yang terlalu lama
1. Minta pasien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan tekanan langsung pada arteri
radialis dan ulnaris, minta pasien untuk membuka tangannya,
2. lepaskan tekanan pada arteri, observasi warna jari-jari, ibu jari dan tangan.
3. Jari-jari dan tangan harus memerah dalam 15 detik, warna merah menunjukkan test allen’s
positif.
4. Apabila tekanan dilepas, tangan tetap pucat, menunjukkan test allen’s negatif.
5. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan periksa tangan yang lain.
1) Gelembung udara
Tekanan oksigen udara adalah 158 mmHg. Jika terdapat udara dalam sampel darah maka ia
cenderung menyamakan tekanan sehingga bila tekanan oksigen sampel darah kurang dari
158 mmHg, maka hasilnya akan meningkat.
2) Antikoagulan
Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam tabung. Pemberian heparin yang
berlebihan akan menurunkan tekanan CO2, sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek
penurunan CO2 terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin.
3) Metabolisme
Sampel darah masih merupakan jaringan yang hidup. Sebagai jaringan hidup, ia
membutuhkan oksigen dan menghasilkan CO2. Oleh karena itu, sebaiknya sampel diperiksa
55
dalam 20 menit setelah pengambilan. Jika sampel tidak langsung diperiksa, dapat disimpan
dalam kamar pendingin beberapa jam.
4) Suhu
Ada hubungan langsung antara suhu dan tekanan yang menyebabkan tingginya PO 2 dan
PCO2. Nilai pH akan mengikuti perubahan PCO2. Nilai pH darah yang abnormal disebut
asidosis atau alkalosis sedangkan nilai PCO2 yang abnormal terjadi pada keadaan hipo atau
hiperventilasi. Hubungan antara tekanan dan saturasi oksigen merupakan faktor yang
penting pada nilai oksigenasi darah
Interpretasi Klinik :
pH = 7,35 – 7,45 –> jika naik = alkalosis, jika turun = acidosis.
pCO2 = 35 – 45 —> jika naik = acidosis, jika turun = alkalosis
pHCO3 = 22 – 26 –> jika naik = alkalosis, jika turun = acidosis
pO2 = 80-100
BE = -2 (acidosis) s/d +2 (alkalosis)
SaO2 = 95 – 100%
Klasifikasi :
1. Acidosis
Acidosis Respirasi (penyebabnya adalah pCO2)
Acidosis Metabolik (penyebabnya adalah pHCO3)
2. Alkalosis
Alkalosis Respirasi (penyebabnya adalah pCO2)
Alkalosis Metabolik (penyebabnya adalah pHCO3)
56
Cara analisis gas darah
Lihat pH ; pH normal dari darah antara 7,35 – 7,45. Jika pH darah di bawah 7,35 berarti
asidosis, dan jika di atas 7,45 berarti alkalosis.
Lihat CO2 ; Kadar pCO2 normal adalah 35-45 mmHg. Di bawah 35 adalah alkalosis, di atas 45
asidosis.
Lihat HCO3; kadar normal HCO3 adalah 22-26 mEq/L. Di bawah 22 adalah asidosis, dan di atas
26 alkalosis.
Lihat apakah kadar pCO2 atau HCO3 berlawanan arah dengan pH.
Apabila ada yang berlawanan, maka terdapat kompensasi dari salah satu sistem pernapasan
atau metabolik. Contohnya jika pH asidosis, CO2 asidosis dan HCO3 alkalosis, CO2 cocok dengan
pH sehingga kelainan primernya asidosis respiratorik. Sedangkan HCO3 berlawanan dengan pH
menunjukkan adanya kompensasi dari sistem metabolik.
Lihat pO2 dan saturasi O2; jika di bawah normal maka menunjukkan terjadinya hipoksemia.
Komplikasi
57
CASE 2
(Pulmonary Tuberculosis)
PENULIS :
1. Dwi Puspitasari (111 0211 123)
2. Irnanita Pratiwi (111 0211 179)
3. Mutiara Sundasari (111 0211 063)
4. Novia Dwi Tirta Sari (111 0211 133)
5. Candrika Faza Prawira (111 0211 091)
6. Yuni Rahmawati (111 0211 055)
7. Qisthina Novita Quddus (111 0211 162)
A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Mycobacterium tuberculosis
E. Tuberkulosis pada Anak
F. Tuberkulosis pada
G. Penatalaksanaan Tuberkulosis
H. Pneumonia
58
A. Tutorial Case
Case 2
Respiratory System
Page 1
Seorang ibu membawa anaknya berinisial K (3 tahun 4 bulan), laki-laki, ke puskesmas dengan
keluhan berat badan yang sulit naik dan K terlihat lebih kecil dibandingkan teman-teman seusianya. An.
K tampak terlihat lesu dan tidak ada nafsu makan. Sejak 2 minggu yang lalu An. K juga mengalami
demam yang tidak terlalu tinggi dan hilang timbul juga disertai keringat malam. Sejak 1bulan ini timbul
batuk yang tidak sembuh-sembuh. Selama ini untuk mengurangi keluhan K, ibunya hanya memberi obat
yang dibeli di warung.
An. K merupakan anak ke-5 dari 6 bersaudara. Orang tuanya tinggal mengontrak rumah petak,
di lingkungan yang padat dipinggir kali ciliwung, ayahnya tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Saat ini
ayahnya sedang berobat rutin ke puskesmas untuk penyakit paru yang dideritanya. Riwayat imunisasi
An. K tidak pernah.
59
B. Overview Case
An. K (3 tahun 4 bulan)
Dibawa ke puskesmas
KU: berat badan yang sulit naik dan terlihat lebih kecil dibandingkan teman-teman seusianya
RPS : RPK
Tampak terlihat lesu dan tidak nafsu makan Merupakan anak ke-5 dari 6
Sejak 2 minggu lalu juga mengalami demam bersaudara
yang tidak terlalu tinggi dan hilang timbul. Ayah rutin ke puskesmas
Ada keringat malam berobat untuk penyakit
RPD parunya
Sejak 1 bulan lalu timbul batuk yang tidak
sembuh-sembuh
RpSOS
RPO
Tinggal di rumah petak di lingkungan yang
Untuk mengurangi keluhan, ibunya hanya
padat di pinggir kali ciliwung
memberi obat dari warung.
Ayah tdk memiliki pekerjaan tetap
RIWAYAT IMUNISASI
Tidak pernah
Hipotesis
Tuberculosis Anak
C. Interpretasi Kasus
An. K (3th 4 bln), laki-laki
ANAMNESIS
KU : berat badan sulit naik, terlihat lebih kecil di banding teman-teman seusia dapat
disebabkan oleh : Malnutrisi, Penyakit Bawaan (penyakit jantung kongenital), atau infeksi
kronik
RPS :
- Tampak lesu, tidak nafsu makan dapat disebabkan oleh keadaan anemia, infeksi
kronik
- Sejak 2 minggu, demam tidak terlalu tinggi, hilang timbul disertai keringat malam
demam tidak terlalu tinggi merupakan tanda khas infeksi kronik. Sedangkan keringat
malam dapat disebabkan oleh peningkatan metabolisme dan merupakan usaha tubuh
untuk mengeluarkan panas. 2 keadaan ini khas ditemukan pada penyakit TB
- 1 bulan ini timbul batuk tidak kunjung sembuh batuk merupakan mekanisme
pertahanan saluran nafas untuk mengeluarkan benda asing. Bila batuk sudah 1 bulan
tidak kunjung sembuh. Batuk dapat ditemukan pada penyakit : ISPA, Bronchitis, TB.
Namun gejala yang batuk yang berlangsung > 3 minggu khas ditemukan pada penyakit
TB
61
- Ayah tidak berkeja tetap berkaitan dengan status ekonomi yang akan berdampak
pada status gizi pasien
- Ayah sedang berobat untuk penyakit paru bila ayah pasien menderita penyakit paru
yang menular maka akan sangat mungkin anggota keluarga yang tinggal serumah dapat
tertular. Penyakit yang di derita pasien ini mungkin akibat di tularkan dari ayahnya.
::
RPO
- Untuk mengurangi keluhan ibu hanya memberi obat warung
- Riwayat imunisasi tidak pernah akan mempengaruhi status imunitas anak. Imunisasi
yang biasanya diberikan pada anak adalah BCG, DPT
hipotesis :
- ISPA : merupakan penyakit yang paling banyak pada anak. Gejala di tandai dengan
demam, batuk, penurunan nafsu makan sehingga anak terlihat lesu.
- TB anak : infeksi menular yang berlangsung kronik disebabkan oleh bakteri M.
Tuberculosis yang di tandai dengan gejala demam subfebris, batuk > 3 minggu,
gangguan nutrisi. Pada pasien anak ini di dapatkan pula faktor resiko terinfeksi TB pada
pasien ini :
Faktor resiko infeksi TB : kontak dengan orang dewasa TB aktif, daerah endemis,
lingkungan tidak sehat, status ekonomi rendah
Faktor resiko sakit TB : anak <5th, bayi <1, malnutrisi, imunokompromise
- Bronchitis : peradangan saluran bronkial atau bronkus yang disebabkan oleh virus,
bakteri, polusi atau rokok. Gejala ditandai demam, batuk yang awalnya non produktif
lalu dapat berkembang jadi batuk produktif. Namun pada anak usaha mengeluarkan
sekret yang lengket dapat merangsang reflex muntah. Terdapat 2 jenis bronchitis yaitu
akut dan kronik. Kronik biasanya terjadi pada onset usia yang lebih tua dan jarang pada
anak.
- Malnutrisi : di dapatkan dari berat badan yang sulit naik dan terlihat lebih kecil dari anak
seusianya. Terlebih status ekonomi keluarga pasien yang rendah. Malnutrisi dapat
disebabkan karena ketidakseimbangan intake gizi dengan metabolisme (untuk usia 1-3
tahun kebutuhan nutrisi 1000 kkal/hari), gangguan absorbsi makanan karena infeksi
kronik yang mengganggu pusat lapar di otak.
62
PEMERIKSAAN
PF :
TB : 90cm, BB : 11kg seharusnya berat normal sesuai usia = 14kg gangguan nutrisi
Tanda vital : TD : 90/60 mmHg n usia 2-6 th= 80-110 (s), 50-80 (d)
Parut BCG (-) BCG (Bacille Calmette-guerin) adalah pencegahan infeksi TB. BCG diberikan
secara intrakutan (sehingga meninggalkan bekas parut) dengan jarum no 25-27 dan panjang
10mm disuntikan didaerah deltoid agar reaksi limfadenitis di aksila lebih mudah terdeteksi.
Imunisasi ini sebaiknya diberikan pada usia <2 bulan. Pada usia >3 bulan sebaiknya dilakukan uji
tuberkulin agar mengurangi komplikasi akibat telah adanya imunitas terhadap antigen M.TB
karena pasien ini belum di imunisasi BCG maka kemungkinan keluhan berkaitan dengan TB.
HEENT : Mata : konjungtiva anemis anemia merupakan kedaan dimana kadar Hb di bawah
normal. Anemia dapat disebabkan oleh kurangnya nutrisi (Fe,As folat,B12), karena perdarahan
atau karena penyakit kronik
Leher : teraba KGB pada r. Colli posterior dextra et sinistra, diameter 1,5-2cm,
multiple, tdk melekat dasar, padat kenyal, tidak nyeri KGB berfungsi sebagai barier
terhadap kuman yang masuk ke tubuh dan sel-sel ganas serta berfungsi membentuk sel limfosit
darah tepi. pembesaran KGB dapat disebabkan infeksi akut/kronik dan neoplasma.
Pada TB terdapat klasifikasi TB Paru dan Extra Paru. TB extra paru bisa mengenai beberapa
organ salah satunya kelenjar getah bening. KGB yang paling sering terkena adalah KGB regio
colli, aksila dan inguinal. Manifestasi klinis dari TB extra paru pada KGB (limfadenitis TB) :
Bersifat unilateral/bilateral, membesar perlahan, kenyal, tidak keras, tidak nyeri, discrete,
terfiksasi dengan jaringan di atas/di bawahnya, setelah pemberian OAT tidak mengecil kembali
ke normal selama beberapa bulan/tahun. (pedoman nasional tuberkulosis pada anak hal 54 )
63
Thorax (paru) : Inspeksi : simetris saat statis & dinamis
Auskultasi : suara nafas dasar vesikuler melemah dan terdengar suara amforik.
Rhonkhi -/-
Px.penunjang
MCV : 62 fl (n=80-100)
64
Radiologi AP dan Lateral kanan :
** LAMPIRAN :
Secara ringkas, gejala umum atau nonspesifik pada TB anak adalah sebagai berikut.
1. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak naik dalam 1 bulan dengan
penanganan gizi.
2. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik
dengan adekuat (failure to thrive).
3. Demam lama (> 2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam
tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain), yang dapat disertai keringat
malam. Demam pada umumnya tidak tinggi.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit dan biasanya multipel.
5. Batuk lama lebih dari 3 minggu, dan sebab lain telah disingkirkan
6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan diare
65
Sistem skoring diagnosis TB Anak :
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas - Laporan BTA +
keluarga (BTA -
/tdk jelas)
Uji tuberkulin - - - + (> 10mm atau
> 5mm pada
imunosupresi)
BB/keadaan gizi - BB/TB <90% Klinis gizi buruk -
atau BB/U <80% atau BB/TB
<70% atau BB/U
<60%
Demam yg tdk - > 2minggu - -
diketahui sebab
Batuk kronik - > 3 minggu - -
Pembesaran - > 1cm, jumlah - -
KGB colli, aksila, >1, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan - Ada - -
tulang/sendi pembengkakan
lutut, panggul,
falang
Foto toraks Normal/kelainan Gambaran - -
tdk jelas sugestif TB*
Catatan :
66
D. Mycobacterium tuberculosis
• Taksonomi : Kingdom : Bacteria Family : Mycobacteriaceae
SubOrdo : Corynebacterineae
Morfologi :
- Merupakan bakteri berbentuk Basil, tipis, berukuran 0,2-0,4 x 3 um
- Termasuk Gram +
- Memiliki dinding tebal, mengandung lapisan lilin dan lemak, dan asam mikolat (ester As.
Lemak rantai C78-C90) sehingga tahan asam pada pewarnaan (BTA)
- Dapat ditemukan tunggal atau berkelompok, tidak bergerak, tidak berspora, tidak
bersimpai
Kultur
- Kuman bersifat aerob obligat (mutlak membutuhkan oksigen untuk hidup)
- Sifat pertumbuhan (waktu generasi 2-6mg)
- Suhu optimum 370C dan pH 6,4-7
- Tumbuh subur pd perbenihannya dapat diperkaya denganpenambahan telur, gliserol,
kentang, daging, ataupun asparagin.
- Kuman ini tahan terhadap desinfektan kimia dan pengeringan.
- Dapat mati pada suhu 60˚C selama 20 menit, ataupun pada suhu 100˚C dengan waktu
yang lebih singkat.
- Jika terkena sinar matahari, biakan kuman mati dalam waktu 2 jam. Pada dahak kuman
ini dapat bertahan 20 sampai 30 jam walaupun disinari matahari.
- Selain itu, kuman mati oleh tincture iodii , etanol 80%, dan fenol 5%.
67
Tuberkel pada mulanya memperbanyak diri dalam alveoli dan duktus alveolaris.
Kebanyakan dapat dimatikan, namun sebagian dalam bentuk non aktif di dalam makrofag.
Selanjutnya makrofag itu akan dibawa ke limfonodi regional melalui vasa limfatika. Kemudian
parenkim paru sendiri mengalami reaksi jaringan (2-12 minggu) karena terjadi hipersensitivitas
jaringan. Bagian parenkim sembuh dengan fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkejuan dan pembentukan kapsul atau menimbulkan rongga sisa (kaverna). Tetapi juga dapat
menyebar menjadi pneumonitis dan pleuritis.
Bila dari paru, limfonodi hilus yang dialiri oleh vasa limfatika dapat mengalami
peradangan. Nodus limfoid terlihat membesar di gambaran X-ray akibat fibrosis dan berkapsul.
Hal ini adalah gambaran khas dari infeksi tuberculosis primer.
Komplikasi :
Manifestasi klinis :
Cara diagnosis
Mendiagnosis tuberculosis pada anak tidak cukup dengan pemeriksaan sputum BTA dan
radiografi saja, tetapi banyak aspek yang harus dinilai untuk menentukan diagnose tersebut
dikarenakan anak sulit mengeluarkan dahak dan juga gejala klinis tidak khas bahkan gambaran
radiografi bisa terlihat normal. Sehingga dibutuhkan scoring untuk menentukan diagnosis
tuberculosis.
68
Parameter 0 1 2 3
Laporan keluarga,
Kontak TB Tidak jelas BTA (+)
BTA tidak jelas
Bawah garis
Berat badan / merah KMS Klinis gizi buruk
keadaan gizi atau BB/U (BB/U <60%)
<80%
Demam tanpa
>2 minggu
sebab jelas
Batuk >3 minggu
Pembesaran >1 cm, jumlah
kelenjar limfe >1, tidak nyeri
Pembengkakan
tulang/sendi
+
Normal/
Foto toraks Kesan TB
tidak jelas
Catatan :
- Seorang anak didiagnosis tuberculosis bila hasil scoring >6 (max 13)
- Sample BTA dapat diambil dari sputum, bilas lambung maupun LCS
- Kontak TB discore 2 bila terdapat kontak langsung pada penderita TBC seperti orang tua,
saudara maupun tetangga
- Uji tuberculin positif bila >10mm pada imunokompeten, dan >5mm pada imunosupresi
- Pasien balita dengan score 5, dirujuk ke RS untuk dievaluasi lebih lanjut
1. Tanda bahaya
- Kejang, kaku kuduk
- Penurunan kesadaran
- Kegawatan lain seperti sesak
2. Foto thoraks menunjukan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
3. Gibus, koksitis
69
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGIS TB ANAK
A. Cara penularan
Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang tercemar dengan bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anak-
anak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC dewasa. Dapat menyebar melalui
pembuluh darah atau kelenjar getah bening. Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi
hampir seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran pencernaan, tulang,
kelenjar getah bening, dan lain-lain.
B. Patogenesis
Saat Mycobacterium tuberculosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular (bulat). Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TBC ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di sekeliling
bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat jaringan di
sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TBC akan menjadi dormant (istirahat). Bentuk-
bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada pemeriksaan foto
rontgen.
Di daerah ini reaksi jaringan parenkim paru dan kelenjar getah bening sekitar akan menjadi
semakin hebat dalam waktu kira-kira 2 – 12 minggu,. Setelah kekebalan tubuh terbentuk, fokus
primer akan sembuh dalam bentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar getah bening regional juga mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tapi tidak akan
sembuh sempurna. Kuman TB dapat hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar
ini.
70
Anak berumur <5 tahun
Tertular orang
dewasa BTA (+)
Droplet nuclei kuman TB
Masuk paru-paru
Inhalasi kuman TB
Reaksi Lokal
Demam Dipresentasikan
Mukus
MHC II ke sel TCD4
71
>3 minggu
Proliferasi sel DTH
Pajanan ulang
Penyakit berjalan
kronis
Fase efektor
Nekrosis kaseosa
Kompleks
Ikut keluar, Gohn (lesi
shg primer )
terbentuk
kavitas
Limfangitis dan Tuberkel
limfadenitis (dapat
regional pecah) 72
F. Tuberkulosis pada Dewasa
(consensus TB pdpi)
Definisi
Penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.
Epidemiologi
- WHO Report 2010, kasus Tuberkulosis (TB) di Indonesia mengalami penurunan. Saat
ini Indonesia berada di urutan kelima (setelah India, China, Afrika Selatan dan
Nigeria) setelah selama sembilan tahun terakhir menempati urutan ketiga (setelah
India dan China).
- Di seluruh dunia TB menyerang 10 juta orang dan menyebabkan 3 juta kematian
setiap tahun. Di Negara maju, TB jarang terjadi yaitu menyerang kira-kira 1 per
10.000 populasi. TB paru paling sering menyerang masyarakat di Negara miskin dan
berkembang.
Factor Resiko
a. Jeniskelamin
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak ada perbedaan
di antara laki dan perempuan sampai pada umur pubertas.
b. Status gizi
Malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga akan menurunkan resistensi
terhadap berbagai penyakit termasuk TB.
c. Sosioekonomi
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari kalangan
sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan permukiman yang terlampau
padat sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB.
d. Pendidikan
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan
cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikapd an perilaku sebagai orang sakit
dan akhinya berakibat menjadi sumber penularan.
73
Klasifikasi
BTA (+)
Pemeriksaan
Dahak
BTA (-)
Kasus Baru
TB Paru
Kasus Kambuh
TB
Kasus Lalai
Tipe Pasien
Berobat
Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura
dan hilus.
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
Tuberkulosis Paru BTA (+)
- minimal 2 dari 3 spesimen dahak hasilnya BTA positif
- Satu spesimen dahak hasilnya BTA positif dan radiologic menunjukkan
gambaran tuberculosis aktif
- Satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
74
b. Kasus Kambuh
Penderita yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan lengkap dan telah
dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil BTA positif
atau biakan positif.
c. Kasus lalai berobat
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 minggu atau
lebih, kemudian datang kembali berobat dengan hasil BTA positif.
d. Kasus Gagal
- Penderita BTA positif yang masih tetappositif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
- Penderita dengan hasil BTA negative dan gambaran radiologic positif
menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan gambaran
radiologic ulang mengalami perburukan.
e. Kasus kronik
Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
Tuberculosis Ekstra Paru
a. Ringan : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang
belakang), sendi dan kelenjar adrenal.
b. Berat : Meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB
tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan genital.
GejalaKlinis
- Batuk ≥ 3 minggu
- Demam
- Batuk darah
- Malaise
- Sesak napas
- Keringat malam
- Nyeri dada
- Nafsu makan dan berat badan
menurun
75
Patogenesis & Patofisiologi
Granuloma/Fokus Ghon/Tuberkel
Menekan pertumbuhan
mtb (mtb nya jadi Nekrosis kaseosa/perkejuan
dorman)
TB DOTS Reinfeksi
Re-aktivasi tuberkel
Reaksi hipersensitivitas
Hemoptysis
Kel. Limfe Pembuluh darah Perkontinuatum
Bronkogen
TB Ekstraparu bercak milier
Diagnosis:
Uji tuberculin
Indikasi
- Seseorang dengan anamnesis mengarah ke penyakit TB dengan atau tanpa kelainan
radiologic dan atau BTA negative.
- Seseorang dengan kelainan foto thoraks sesuai dengan TB paru atau bekas TB.
- Seseorang dengan kondisi resiko tinggi menderita TB paru seperti DM, HIV, limfoma
atau keganasan darah, terapi imunosupresan.
- Diduga kontak dengan penderita TB.
- Anak yang dicurigai menderita TB.
- Dicurigai TB ekstrapulmoner
Kontraindikasi
- Absolut : Terbukti terinfeksi TB.
- Relatif : Kelainan kulit yang luas pada daerah pemeriksaan.
Uji ini dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1 ml Tween-stabilized liquid
PPD (Purified Protein Derivative) pada bagian punggung atau dorsal dari lengan bawah. Dinilai
dalam waktu 48 – 72 jam.
(+) bila terjadi bula atau vesikel atau terjadi penonjolan (indurasi)
Pemeriksaan Sputum
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak yaitu sewaktu - pagi- sewaktu (SPS).
Diagnosis utama TB Paru pada orang dewasa adalah ditemukannya kuman TB pada
pemeriksaan BTA.
Pemeriksaan foto thoraks dan biakan digunakan sebagai penunjang diagnosis, bukan untuk
77
menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik SPS ialah bila :
- 2 kali positif, 1 kali negatif →Mikroskopik positif
- 1 kali positif, 2 kali negatif →ulang pemeriksaan SPS, kemudianbila:
o 1 kali positif, 2 kali negatif →Mikroskopik positif
o 3 kali negatif → Mikroskopik negatif
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral. Gambaran radiologik
yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apical dan posterior lobus atas paru dan
segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
78
- Alur DIagnosis
79
G. PENATALAKSANAAN TUBERCULOSIS
1. Tujuan
• Mencegah resistensi
2. Pengawasan
Bila pasien mampu datang teratur , misal tiap minggu maka paramedis atau
petugas sosial dapat berfungsi sebagai PMO . Bila pasien diperkirakan tidak
mampu datang secara teratur , sebaiknya dilakukan koordinasi dengan
puskesmas setempat.
80
Rumah PMO harus dekat dengan pasien TB untuk penatalaksanaan DOT .
• Petugas kesehatan
• Suami/istri/keluarga/orang serumah
• Pasien Dirawat
4. Persyaratan PMO
5. Tugas PMO
• Mengenali efek samping ringan obat dan menasehati pasien agar tetap mau
menelan obat
81
• Merujuk pasien bila efek samping semakin berat
1. TIPE PASIEN
82
2. KATEGORI PENGOBATAN TB
NB : perhitungan dosis obat berdasarkan berat badan pasien sebelum pengobatan dimulai.
3. KEMASAN OBAT
a. Obat Program Nasional
a. Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
b. Kombipak
b. Obat yang diresepkan
a. Obat lepas/obat tunggal : obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH,
rifampisin, pirazinamid, dan etambutol.
b. Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
83
Kombinasi Dosis Tetap (KDT)
Terdiri dari :
Alasan penggunaan :
H : 10 R : 10 Z : 35 S : 15 E : 30
Isoniazid
Rifampisin
84
- Beraksi melawan kuman di semua populasi (kecuali dorman)
- Diberikan pada fase intensif dan fase lanjutan
- Efek samping : sakit kepala, pusing, mual dan muntah, kram pada perut, hepatitis, ruam
kulit dan gejala-gejala seperti flu, efek hematologik
Pirazinamid
Etambutol
Streptomisin :
85
5. EFEK SAMPING
86
Ruam
- Gejala-gejala GI meliputi mual, muntah, nafsu makan yang menurun, nyeri abdomen
o Umum, bisa terjadi hanya sementara, disebabkan oleh banyak OAT, terutama
pada beberapa minggu pertama
- Gangguan GI biasanya dapat diatasi dengan perubahan jadwal minum obat dan terapi
simtomatik (H2 blockers, proton pump inhibitors, anti emetik atau motility agents)
o Pertama, singkirkan hepatitis (lihat nilai enzim transaminase yaitu SGOT dan
SGPT)
o Jika tidak ada hepatitis, pertimbangkan :
Merubah jam minum obat
Meminum obat dengan makanan
- Karena hepatitis imbas obat merupakan efek samping berat yang paling umum terjadi
- Dapat disebabkan oleh INH, rifampisin dan pirazinamid
- Kriteria hepatitis imbas obat :
o Tanpa gejala : peningkatan enzim transaminase 5 kali batas atas nilai normal
o Dengan gejala : peningkatan enzim transaminase 3 kali batas atas nilai normal
87
o Ikterik
- Kolestasis (peningkatan bilirubin dan alkalin fosfatase) dikaitkan dengan rifampisin
Kolestasis adalah kondisi terhambatnya pembentukan atau aliran cairan empedu
yang secara klinis dapat ditandai dengan fatigue, pruritus, dan ikterus.
- Tatalaksana hepatitis imbas obat :
o Tunda semua pengobatan dan pantau enzim transaminase
o Pengobatan TB dimulai kembali secara bertahap
Gangguan penglihatan
Rasa terbakar, kebas atau kesemutan pada tangan atau kaki (neuropati perifer)
Nyeri sendi
88
6. INTERAKSI OBAT
NB : selalu rujuk pasien yang mendapatkan obat-obatan lain untuk evaluasi klinis dan
penyesuaian dosis.
7. EVALUASI PENGOBATAN
Evaluasi klinis :
- Keluhan (ada tidaknya efek samping obat, ada tidaknya komplikasi penyakit)
- Pemeriksaan fisis
- Berat badan
Evaluasi bakteriologi (px dahak mikroskopik) untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak & evaluasi radiologi (foto toraks) pada :
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan untuk pasien baru yang mendapatkan kategori I atau setelah 3 bulan
pada pasien pengobatan ulang yang mendapatkan kategori II
- Akhir pengobatan (akhir bulan keenam untuk kategori I atau bulan kedelapan untuk
kategori II)
Alasan tidak terjadi konversi dahak (BTA tetap positif) pada akhir fase intensif :
- Pengobatan fase intensif tidak diawasi dengan baik dan kepatuhan pasien tidak baik
- Kualitas OAT yang buruk
- Dosis OAT di bawah standar
- Resolusi lambat karena adanya kavitasi yang luas pada pasien dan jumlah kuman
yang banyak pada awal pengobatan
- Terdapat kondisi komorbid (penyakit penyerta) yang mengganggu baik kepatuhan
maupun respons tubuh terhadap obat
89
- Pasien mungkin memiliki strain M. Tuberculosis yang resisten obat sehingga tidak
memberikan resspons terhadap pengobatan lini pertama
- Walaupun bakteri sudah tidak mampu hidup akan tetap terlihat dengan mikroskop
Yang dievaluasi :
- Semua OAT lini pertama aman, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik pada fetus
- Jangan berikan OAT lini kedua
- Untuk pertimbangan pemberian profilaksis atau vaksin BCG pada bayi yang dilahirkan
dari ibu TB, sebaiknya konsultasi ke spesialis anak
- Jangan berikan BCG saat kelahiran jika ibu HIV+
- Terapi pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi berdasarkan berat badan
90
- Ibu dan anak tidak perlu dipisahkan, dan bayi tetap dapat terus diberikan ASI, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidak
menyebabkan toksik pada bayi
- Tidak ada indikasi pengguguran pada pasien TB dengan kehamilan
- Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormon (pil KB, injeksi, dan implan) yang
dapat mengurangi efektivitas alat kontrasepsi ini
- Pasien TB wanita harus menggunakan kontrasepsi non hormon atau kontrasepsi yang
mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg)
- Tatalaksana :
o Bila klinis (+) yaitu ikterik, gejala mual dan muntah, maka OAT stop
o Bila gejala mual dan muntah (+), SGOT-SGPT ≥ 3 kali, maka OAT stop
o Bila gejala klinis (-), tapi :
Bilirubin > 2, maka OAT stop
SGOT-SGPT ≥ 5 kali, maka OAT stop
SGOT-SGPT ≥ 3 kali, maka terukan OAT tapi dengan pengawasan
Apabila tidak dimungkinkan untuk melakukan tes fungsi hepar, maka sebaiknya
menunggu 2 minggu lagi setelah jaundice dan nyeri/tegang perut menghilang sebelum
diberikan OAT kembali.
Apabila hepatitis imbas obat telah teratasi, maka OAT dapat dicoba satu per
satu. Pemberian OAT sebaiknya dimulai dengan rifampisin yang jarang menyebabkan
hepatotoksik dibandingkan INH dan pirazinamid. Setelah 3-7 hari baru INH diberikan.
Pasien dengan riwayat jaundice tetapi dapat menerima rifampisin dan INH,
sebaiknya tidak lagi mendapatkan pirazinamid.
Jika terjadi hepatitis imbas obat pada fase lanjutan dan hepatitis sudah teratasi,
maka OAT dapat diberikan kembali (INH dan rifampisin) untuk menyelesaikan fase
lanjutan selama 4 bulan.
91
TB dengan kelainan hati kronik
- Jika ada kecurigaan kelainan hati sebelum dimulainya terapi TB, maka lakukan tes fungsi
hati (SGOT-SGPT)
- Jika SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali, maka OAT tidak diberikan dan jika terapi
sudah berjalan, maka OAT harus dihentikan
- Jika peningkatan kurang dari 3 kali, terapi dapat diteruskan dengan pengawasan ketat
- Pada pasien dengan kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
- OAT yang dapat direkomendasikan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE
- Sebaiknya rujuk ke dokter spesialis paru
- INH dan rifampisin mengalami ekskresi di bilier sehingga tidak perlu penyesuaian dosis
- Pirazinamid juga dapat diekskresikan di bilier
- Etambutol mengalami ekskresi di ginjal begitu pula dengan metabolit pirazinamid
sehingga keduanya perlu penyesuaian dosis
- Karena dapat meningkatkan risiko nefrotoksik maka streptomisin sebaiknya
dihindarkan. Apabila streptomisin harus digunakan maka dosis yang dipakai adalah 15
mg/kgBB 2-3 kali seminggu dengan dosis maksimal 1 gram. Sebaiknya kadar obat dalam
darah juga dimonitor.
- Pasangan OAT yang paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2RHZ/4RH
- Pemberian OAT 3 kali seminggu dengan dosis yang disesuaikan
o Dosis etambutol : 25 mg/kgBB
o Dosis etambutol : 15 mg/kgBB
- Rujuk ke dokter spesialis paru
Terapi TB dengan DM
92
TB dengan HIV/AIDS
Pada daerah dengan angka prevalensi HIV yang tinggi, pemeriksaan HIV diindikasikan.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV hanya
diindikasikan pada pasien TB dengan keluhan dan tanda-tanda yang diduga berhubungan
dengan HIV dan pasien TB dengan riwayat risiko tinggi terpajan HIV.
Jadi tidak semua pasien TB perlu diuji HIV. Hanya pasien TB tertentu saja yang memerlukan
uji HIV, misalnya:
EFV adalah pilihan pertama dari NNRTI. Kada EFV dalam darah akan menurun bila
ada rifampisin. Dosis standar EFV adalah 600 mg per hari.
Kada NVP juga menurun dengan adanya rifampisin. Namun dianjurkan penggunaan
NVP dengan dosis standar.
93
Paduan lini pertama adalah suatu kombinasi obat yang digunakan pasien yang belum
pernah mendapatkan ART sebelumnya. Lini pertama : 2 NRTI + 1 NNRTI
- AZT-3TC-EFV
- AZT-3TC-NVP
- D4T-3TC-EFV
- D4T-3TC-NVP
94
Tatalaksana TB Anak
• Diagnosis TB pada anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosa . Pada anak-anak batuk
bukan merupakan gejala utama .
• Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit , maka diagnosa TB anak perlu kriteria lain
yaitu dengan menggunakan sistem skor
• Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 , harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT
Parameter 0 1 2 3
95
Batuk >3minggu
Pembengkakan Ada
tulang /sendi pembengkakan
panggul,lutut,tulang
• Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan .
• OAT pada anak diberikan setiap hari , baik pada tahap intensif maupun tahap
lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak .
96
Keterangan :
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet
• Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke RS
• Obat harus diberikan secara utuh , tidak boleh dibelah
• OAT KDT dapat diberiakan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum .
• Pengobatan pencegahan (profilaksis) untuk anak
• Pada semua anak , terutama yang tinggal serumah atau kontak erat dengan
penderita TB dengan BTA positif , perlu dilakukan pemeriksaan menggunakan
sistem skoring .
• Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem didapat skor <5 kepada anak tsb
diberikan Isoniazid (INH) dengan dosis 5-10 mg /kg BB/hari selama 6 bulan . Bila
anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan
setelah pengobatan pencegahan selesai .
97
Efek Samping OAT :
98
MDR (Multi Drug Resistant)
TB resisten OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena buatan manusia, sebagai akibat
dari pengobatan yang TIDAK adekuat.
Resistensi ganda adalah M. Tuberculosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan
INH dengan atau tanpa OAT lainnya.
Mono resisten : kuman resisten terhadap satu OAT lini pertama, paling sering mono
resisten terhadap INH. Mono resisten terhadap rifampisin dapat terjadi tetapi jarang, bila
terjadi seringnya pada pasien dengan HIV/AIDS.
Poli resisten : kuman resisten terhadap lebih dari satu OAT tetapi bukan kombinasi INH
dan rifampisin.
TB MDR ( TB Multi Drug Resistant) : kuman resisten setidaknya terhadap INH dan
rifampisin (2 OAT yang paling efektif). Pasien TB MDR membutuhkan pengobatan dengan
rejimen yang mengandung OAT lini kedua.
TB XDR (TB Extensively Drug Resistant) : TB MDR disertai resistensi terhadap OAT lini
kedua yang efektif yaitu fluorokuinolon dan setidaknya 1 dari 3 obat suntik (amikasin,
kanamisin, kapreomisin). Untuk TB XDR umumnya sudah resisten terhadap OAT lini pertama
(RHES).
Resistensi obat primer, terjadi pada TB kasus baru : terjadi pada pasien yang tidak
pernah mendapatkan pengobatan OAT sebelumnya atau pernah dengan waktu pengobatan
kurang dari 1 bulan. Resistensi obat yang terjadi akibat terinfeksi strain kuman yang resisten
dari sumber kasus resistensi obat.
Resistensi obat sekunder (didapat), terjadi pada kasus TB dengan riwayat pengobatan
TB sebelumnya : resistensi obat yang terjadi pada pasien yang telah mempunya riwayat
pengobatan OAT lebih dari 1 bulan.
Faktor penyebab :
- Pasien tidak patuh
- Malabsorpsi obat
- Timbulnya reaksi efek samping
- Kurangnya informasi untuk pasien, sarana transportasi atau uang
- Hambatan sosial untuk kepatuhan pengobatan
- Gangguan akibat ketergantungan NAPZA
- Paduan atau rejimen pengobatan fase intensif yang tidak adekuat (rejimen atau dosis
atau keduanya), tidak sesuai pedoman
- Luput mendeteksi riwayat pengobatan
- Tidak menyadari terdapatnya resistensi obat
- Tidak melakukan uji kepekaan atau hasinya tertunda
- Pengobatan yang tidak berdasar pada kasus pengobatan ulang karena tidak melakukan
uji kepekaan atau hasil tertunda atau tidak dapat mengidentifikasi pola resistensi obat
99
- Akses yang tidak konsisten terhadap pelayanan
- Obat habis atau gangguan pada distribusi
- Kualitas OAT buruk, kondisi penyimpanan obat buruk
- Program penanggulangan TB yang lemah
- Pedoman tatalaksana yang tidak tepat atau bahkan tidak ada
- Ketiadaan fasilitas pemeriksaan laboratorium atau kualitas layanan laboratorium yang
buruk
Identifikasi faktor risiko :
- Riwayat pengobatan sebelumnya
- Jika terdapat riwayat pengobatan sebelumnya perlu dipastikan tempat asal pengobatan
- Riwayat ketidakpatuhan
- Warga daerah endemik TB MDR
- Kontak erat dengan kasus TB MDR atau kasus yang sangat dicurigai TB MDR (TB tidak
sembuh-sembuh atau TB yang membutuhkan pengobatan berkali-kali)
- Infeksi HIV
Identifikasi dini :
- Keluhan (batuk) yang tidak membaik dengan pengobatan (seharusnya 2 minggu
pengobatan adekuat, gejala batuk berkurang)
- Jumlah kuman yang tetap banyak, ditandai dengan tidak konversinya sputum BTA,
disertai klinis yang belum membaik seperti batuk menetap atau berulang, demam
berkepanjangan, keringat malam dan BB tidak naik
Pasien suspek TB MDR :
- Pasien yang gagal pengobatan kategori II
- Pasien yang gagal pengobatan kategori I
- Pasien yang tidak konversi setelah 3 bulan terapi pada tahap intensif pengobatan
kategori II
- Pasieng dengan riwayat pengobatan yang tidak konsisten dengan pengobatan standar
terutama yang memiliki riwayat penggunaan OAT lini kedua
- Pasien TB kambuh
- Pasien TB pengobatan ulang dengan BTA positif dengan riwayat putus obat
- Pasien TB yang tidak konversi setelah 2 bulan terapi pada tahap intensif pengobatan
kategori I
- Individu atau tenaga kesehatan yang memiliki gejala TB dan mempunyai kontak erat
dengan pasien TB MDR
100
Hasil laboratorium untuk :
- Memastikan diagnosis TB resistensi obat
- Acuan pilihan obat/rejimen pengobatan sebelumnya
Rujuk pasien suspek TB MDR, jangan mencoba mengobati!
Tatalaksana TB MDR :
Rejimen pengobatan berdasarkan :
- Ketersediaan OAT lini kedua
- Pola resistensi pada daerah/wilayah dan riwayat penggunaan OAT lini kedua pada
individu
- Uji kepekaan obat untuk OAT lini pertama dan kedua
Strategi pengobatan :
Pengobatan standar
Digunakan sebagai dasar regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji
kepekaan individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan yang sama. Pasien
yang dicurigai TB MDR sebaiknya dikonfirmasi dengan uji kepekaan.
Regimen standar TB MDR di indonesia :
6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
Z = pirazinamid, E = etambutol, Kn = kanamisin, Lfx = levofloksasin, Eto = etionamid,
Cs = sikloserin
NB : Etambutol tidak diberikan bila terbukti resisten.
Pengobatan empiris
Setiap regimen pengobatandibuat berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien
sebelumnya dan data hasil uji kepekaan populasi representatif. Biasanya regimen empiris akan
disesuaikan setelah ada hasil uji kepekaan individual.
Pengobatan individual
Regimen pengobatan berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji
kepekaan.
Pencegahan TB MDR :
- Pasien TB paru BTA positif kasus baru harus sembuh pada pengobatan pertama kali
- Kasus pengobatan ulang menyelesaikan pengobatannya dan sembuh
- Kepatuhan pengobatan yang baik selama fase intensif dan fase lanjutan
- Persediaan OAT tidak terhenti
- Pengobatan TB disediakan secara gratis jika memungkinkan
- PMO untuk semua pasien
101
H. Pneumonia
Definisi:
inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme
(virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll).
Etiologi:
pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroorganisme, harus dibedakan penyebabnya,
apakah virus atau bakteri.pneumonia seringkali dipercaya diawalai oleh infeksi virus yang
kemudian mengalami komplikasi infeksi bakteri. Secara klinis pada anak seringkali sulit
dibedakan pneumonia viral dengan pneumonia bakteri. Demikian pula pada pemeriksaan
radiologis dan lab juga tidak menunjukan perbedaan yang spesifik. Namun sebagai pedoman
dapat disebutkan bahwa pneumonia bakterial awitannya cepat, batuk progresif, pasien tampak
toksis, leukositosis, dan perubahan pada pemeriksaan radiologis.
Terdapat berbagai faktor resiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas pada
pneumonia anak dan balita pada negara berkembang. Diantara lain: pneumonia pada masa
bayi, BBLR, tidak mendapat imuniasasi, tidak mendapat asi yang adekuat, malnutrisi,
tingginyapajanan atau polusi udara (polusi industri atau asap rokok)
102
Streptococcus grub B Streptococcus grub D
Listeria monocytogenes Haemophylus influenzae
Lahir- 20 hari Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
VIRUS
Virus sitomegalo
Virus herpes simpleks
BAKTERI BAKTERI
Chlamydia trachomatis Bordella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus Influenzae
grub B
3 minggu – 3 bulan VIRUS Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenzae Ureaplasma urealyticum
Virus Parainfluenzae 1, 2, 3 VIRUS
Respiratory syncytial virus Virus sitomegalo
BAKTERI BAKTERI
Chamidia pneumoniae Haemophyllus Influenzae
tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
4 bulan – 5 tahun Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
VIRUS
Virus Adeno
Virus Influenza
Virus Rhino
Respiratory Syncytial virus
BAKTERI BAKTERI
Chlamidia pneumoniae Staphylococcus influenzae
5 tahun – remaja Mycoplasma pneumoniae
Streptococcus pneumoniae
Epidemiologi:
Pneumonia banyak terjadi pada anak dan neonatus, pada remaja atau dewasa biasanya terjadi
pada perokok. Usia lanjut juga rentan terjadi pneumonia karena terjadinya penurunan fungsi
tubuh. Pada penderita PPOK juga rentan terjadinya pneumonia.
103
Manifestasi klinis:
Klasifikasi
Berdasarkan penyebab:
104
Pneumonia virus = biasanya disebabkan olehvirus Influenza dan adenovirus, leukosit
normal atau bisa menurun, batuk tidak berdahak
Pneumonia atipikal = disebabkan oleh non-bakteri (mycoplasma pneumoniae, clamidia
pneumoniae dll). Biasanya demam berkisar antara 38-40:c disertai batik non produktif,
sesak nafas, malaise, mialgia dan nyeri karena gesekan pada pleura
Pneumonia lobaris = sering pada pneumonia bakterial dan terjadi pada lobus atau
segmen, kemungkinan sekunder karena PPOK. Terdapat 6 fase patologis yaitu Red
hepatisation (hemoragic atau peradangan disertai peradangan. Hari 1-2), Grey
hepatisation (fibrin exudat atau peradangan fibrin. Hari 2-4), yellow hepatisation (abses
atau peradangan dengan disertai nanah. Hari 5-6), lyse (fase resorpsi atau penyerapan.
Hari 9-10), restitutio ad integrum. Disebut hepatisation karena jaringan paru
menyerupai jaringan organ hati dalam histologinya.
Bronkopneumonia = ditandai dengan adanya bercak infiltrat pada lapang paru dan
dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, sering terjadi pada bayi
Pneumonia intersitial = lokasi inflamasi pada jaringanintersitial. Penyebabnya
kebanyakan virus. Mempunyai khas histologi infiltrat limfosit
Diagnosis
Dari anamnesa yaitu adanya gejala klinis, serta pemeriksaan fisik seperti:
inspeksi = terlihat tertinggal di bagian yang sakit
palpasi = fremitus dapat meningkat
perkusi = redup
auskultasi = berdengar suara bronkovesikuler sampai bronkial dan terdapat ronkhi basah halus
maupun kasar.
Penatalaksanaan
Terapi supportif
Terapi O2
Humidifikasi dengan nebulizer
Kortikosteroid pada fase sepsis berat
105
Ventilasi mekanis
Drainase empiema bilaada
Bila gagal nafas diberi nutrisi yang cukup kalori terutama lemak
Terapi farmakologis
Bakteri
Antibiotik spektrum luas, setelah didapatkan bakteri spesifik dari hasil kultur diubah
menjadi antibiotik spesifik untuk bakteri penyebab
Terapi antibiotik diberikan 7-10 hari
Antibiotik yang biasa digunakan adalah eritromisin, fluorokuinolon, doksisiklin,
azirtromisin dll
Untuk pneumonia nosokomial diberikan sefalosporin generasi 3 dan 4, karbapenen,
fluorokuinolon, aminoglikosida dan vankomisin
virus
Antiviral sesuai virus penyebab, contoh pada influenza diberikan amantadin, rimantadin,
oseltamivir
Jamur
Anti jamur seuai penyebab
Pencegahan
Vaksinasi influenza dan pneumokokus pada orang dengan resiko tinggi seperti pasien
gangguan imun, PPOK, penyakit hati, diabetes dan pasien usia lanjut
Berhenti merokok
106
CASE 3
(Chronic Obstructive Pulmonary Disease)
PENULIS :
1. An’umillah Arini Zidna (111 0211 123)
2. Mianda Utami (111 0211 179)
3. Ikhsan Naufal Gunadi (111 0211 063)
4. Ramadhani Eka Saraswati (111 0211 133)
5. Barbie Nurdila (111 0211 091)
6. Illina Dewi Nur (111 0211 055)
A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Chronic Obstructive Pulmonary Disease
E. Bronkiektasis
F. Emfisema
G. Bronkitis Kronik
107
A. Tutorial Case
Case 3
Respiratory System
Page 1
Tn. B (60 tahun) datang ke poliklinik umum dengan keluhan sesak napas sejak 4 hari yang lalu.
Sesak napas semakin berat saat pasien melakukan aktifitas, kadang-kadang sampai membuat pasien
tidak bisa berjalan. Keluhan lain yang dirasakan yaitu demam, batuk berdahak dan beliau merasa mudah
lelah dan tidak ada asupan makan. Dada berdebar-debar, mual, muntah, bengkak pada kedua kakii,
disangkal.
Dari anamnesa selanjutnya, Tn. B adalah seorang perokok sejak berusia 14 tahun. Dalam sehari
bisa menghabiskan 15-20 batang rokok. Pasien menyangkal mempunyai riwayat penyakit kencing manis
dan tekanan tinggi. Dia mengatakan belum pernah merasakan keluhan ini sebelumnya. Riwayat keluarga
untuk penyakit serupa disangkal.
108
B. Overview Case
Tn. B, (6 tahun)
Datang ke poliklinik
KU: sesak napas sejak 4 hari yang lalu
RPS : RPK
Sesak semakin berat saat melakukan Riawayat keluarga untuk
aktifitas keluhan serupa disangkal
Kadang-kadang sempat membuat pasien Kencing manis (-)
tdk bisa jalan hipertensi (-)
Ada demam, natuk berdahak, mudah lelah,
dan tdk nafsu makan.
(-) dada berdebar-debar, mual, muntah, RpSOS
bengkak pada kedua kaki Perokok sejak umur 14 tahun
RPD Sehari 15-20 batang rokok perhari
Belum pernah mengalami keluhan seperti
ini sebelumnya
HIPOTESIS
Congestive Heart Failure (CHF) Cor Pulmonale Pneumonia
Pneumothorax Spontan Primer COPD Bronchiectasis
pH : 7,35
PaCO2 : 35 mmHg
PaO2 : 85 mmHg
HCO3- : 22 mEq/L
SaO2 : 95%
BE : -2 mEq/L
DIAGNOSA
C. Interpretasi Kasus
KU: dyspnea sejak 4 hari yang lalu, memburuk saat beraktivitas kadang sampai pasien tidak
bisa berjalan.
KT: demam → curiga ada infeksi, batuk berdahak, mudah lelah, tidak nafsu makan
RPD: ≠ DM, ≠ hipertensi → bukan merupakan komplikasi dari kedua penyakit tersebut
Riwayat kebiasaan: merokok sejak usia 14 tahun, 15-20 batang/hari → derajat merokok
menurut Index Brinkman: 20 x 46 = 920 → perokok berat
HIPOTESIS:
110
e. PPOK ec adanya dyspnea yang progresif, dyspnea d’effort, batuk berdahak, dan
merokok sebagai faktor resiko
f. Bronkhiektasis ec adanya dyspnea dan batuk berdahak
PEMERIKSAAN FISIK:
o KU: tampak sesak dan lemah → pasien dapat langsung diberikan terapi oksigen untuk
mengatasi sesak sambil mencari tahu underlying disease-nya.
o Kesadaran: CM → sesak napas yang terjadi belum sampai mempengaruhi tingkat
kasadaran pasien
o TB: 172 cm, BB: 48 kg → BMI: 16,2 → underweight
o BP: 110/70 mmHg
o Suhu: 38°C → subfebril
o Nadi: 109x/menit (↑)→ diduga berhubungan dengan sedikit naiknya suhu tubuh
o RR: 26x/menit (↑)
o Pursed-lips breathing → memperkuat hipotesis PPOK dan bronkhiektasis ec pada
keduanya terjadi obstruksi saluran napas sehingga terjadi retensi CO2 dan pursed-lips
brething terjadi sebagai kompensasinya
o JVP: 5+1 cmH2O (N) → dapat mencoret hipotesis cor pulmonale dan CHF ec terjadi
distensi vena jugular pada temuan fisiknya
o Thorax:
Barrel chest → ↑ diameter anterior-posterior dinding dada, ↑ kapasitas paru, ↑
jarak sela iga, paling sering berhubungan dengan emfisema → mendukung
hipotesis PPOK
Simetris dalam keadaan statis dan dinamis → saat bernapas kedua dinding dada
bergerak bersamaan → tidak ada ganggguan anatomis → dapat mencoret
hipotesis Pneumonia dan PNeumothorax ec pada keduanya terdapat gangguan
pengembangan dinding dada sehingga ada dinding dada yang tertinggal saat
bernapas
Vocal femitus melemah → terjadi karena transmisi suara ke dinding dada
terhalang. Terjadi pada pneumothorax, efusi pleura, fibrosis pleura dan PPOK →
mendukung hipotesis PPOK
Sela iga melebar ec barrel chest → mendukung hipotesis PPOK
Hipersonor pada lapang paru → akumulasi udara dalam paru → hiperaerasi
(emfisema) → mendukung hipotesis PPOK
Suara napas dasar dan vesicular melemah → menandakan adanya obstruksi jalan
napas → mendukung hipotesis PPOK
Ekspirasi memanjang → adanya obstruksi jalan napas, sebagai mekanisme untuk
mengeluarkan retensi CO2 → mendukung hipotesis PPOK
111
Ronkhi +/+ → menandakan adanya cairan di saluran napas → mendukung
hipotesis PPOK
o Jantung: dbn → dapat mencoret CHF dan cor pulmonale
o Abdomen: dbn → mencoret CHF dan cor pulmonale
o Ekstremitas: dbn → mencoret CHF dan cor pulmonale
PEMERIKSAAN PENUNJANG:
o Darah:
WBC: 10.800/mm3 (N: 4000-11000) → dapat mencoret hipotesis Pneumonia
Hematokrit: 57% (N pada pria: 41-50%) → diduga terjadi ↑ eritrosit ec hipoksia
Hb: 14,5 g/dl (N)
Trombosit: 130.000/mm3 (N: 150.000-400.000/mm3) → trombositopenia
GDS: 68 mg/dl (N: 70-140 mg/dl)
Rontgen thorax: tampak corakan bronkovesikular marking berkurang, hiperaerasi,
sela iga melebar, letak diafragma rendah, jantung menggantung seperti pendulum
→ gambaran khas untuk emfisema → mendukung hipotesis PPOK → mencoret
hipotesis pneumonia, bronkhiektasis, pneumothorax, CHF, dan cor pulmonale
Spirometri: FEV1/FVC= 65% → menurun → menunjukkan adanya obstruksi (N: >
80%) → mendukung hipotesis PPOK
AGD:
pH: 7,35 (N: 7,35-7,45)
PaCO2: 35 mmHg (N: 35-45 mmHg)
PaO2: 85 mmHg (N: 80-100 mmHg)
HCO3-: 22 mEq/l (N: 22-25 mEq/l)
Saturasi O2: 95% (N: 94-100%)
Base excess: -2 mEq/l (N: -2 sampai +2)
DBN, namun berada pada batas bawah, belum terjadi asidosis respiratorik
112
Patofisiologi Kasus
114
Area Difusi << ↓ recoil paru ↑ Retensi saluran napas
115
D. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) / COPD (Chronic Obstructive
Pulmonary Disease)
Definisi
PPOK adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara
napas yang biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi kronik di saluran
napas dan paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya.
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi
saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi
pada setiap induvidu.
Definisi Lainnya
Penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepernuhnya reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru
terhadap partikel atau gas beracun/berbahaya
1. Asma
2. Bronkitis kronis
3. Emfisema
4. Bronkiektasis
1. Emfisema
2. Bronkitis kronis
116
Hubungan antara etiologi COPD
Epidemiologi
Prevalens PPOK di Amerika dan Eropa tahnun 2000 berkisar 5 - 9% pada individu usia >
45 tahun
Prevalensi PPOK Indonesia dari 12 negara Asia Tenggara sebesar 5,6% (Regional COPD
working Group, 2003)
Laki : perempuan 3 : 1
Menurut hasil penelitian Setiyanto dkk.(2008) di ruang rawat inap RS. Persahabatan
Jakarta selama April 2005 sampai April 2007 menunjukkan bahwa dari 120 pasien, usia
termuda adalah 40 tahun dan tertua adalah 81 tahun.
Dilihat dari riwayat merokok, hampir semua pasien adalah bekas perokok yaitu 109
penderita dengan proporsi sebesar 90,83%.
Hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001 menunjukkan bahwa
sebanyak 62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan
yang merokok.
117
Sebanyak 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah,
ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar
anggota rumah tangga merupakan perokok pasif.
Faktor risiko
1. Merokok: penyebab hingga 85 - 90% dari semua penderita PPOK. Perlu diperhatikan:
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata
batang rokok dihisap sehari dikalikan (x) lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja (20 - 30%)
4. Genetik: defisiensi antitripsin alfa-1. Antitripsin adalah suatu inhibitor protease serin
yang paling banyak dalam tubuh.
6. Sosial ekonomi
118
Patofisiologi
Patofisiologi
Diagnosis
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK
klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri dapat menentukan diagnosis PPOK
sesuai derajat penyakit.
ANAMNESIS
Gejala utama PPOK adalah sesak napas, batuk kronis atau produksi dahak dan riwayat terpapar
dengan faktor resiko terutama merokok.
119
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara. (PDPI 2011,
GOLD 2011)
Untuk menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran sesak napas
sesuai skala sesak menurut Modified Medical Research Council (mMRC) (GOLD 2011)
PEMERIKSAAN FISIK
- Inspeksi: pursed lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), barrel chest,
penggunaan dan hipertrofi otot-otot napas tambahan, pelebaran sela iga, dan bila telah
terjadi gagal jantung kanan terlihat distensi vena jugularis dan edema tungkai
- Perkusi: hipersonor
- Auskultasi: suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronkhi,
dan mengi (PDPI, 2011)
Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas yang disebabkan oleh
penyempitan saluran napas kecil dan destruksi alveoli.
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed-lips breathing.
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema
tungkai dan ronkhi basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
120
a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). Obtruksi jika:
% VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat ditentukan klasifikasi (derajat)
PPOK, yaitu (GOLD 2013)
GOLD 2013
Gejala Klinis Faal Paru
Stage
GOLD 1: Gejala batuk kronik dan produksi VEP1 ≥ 80% prediksi
PPOK Ringan sputum ada tetapi tidak sering, pasien VEP1 / KVP < 70%
sering tidak menyadari bahwa faal
paru mulai menurun.
GOLD 2: Gejala sesak mulai dirasakan saat 50% < VEP1< 80% prediksi
PPOK Sedang aktivitas, kadang ditemukan gejala VEP1 / KVP < 70%
batuk + produksi sputum, pasien
mulai memeriksakan kesehatannya.
GOLD 3 : Gejala sesak lebih berat, penurunan 30% < VEP1< 50% prediksi
PPOK Berat aktivitas, rasa lelah, eksaserbasi makin VEP1 / KVP < 70%
sering, berdampak pada kualitas
hidup pasien.
GOLD 4 : Gejala di atas + tanda-tanda gagal VEP1< 30% prediksi
PPOK Sangat Berat napas atau gagal jantung kanan dan VEP1/ KVP < 70%
ketergantungan O2, kualitas hidup
pasien memburuk.
VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa Detik 1
121
KVP = Kapasiti Vital Paksa
- Adanya komorbiditi (keadaan ketika seseorang menderita dua penyakit atau lebih)
122
Dampak PPOK pada pasien secara individu diperoleh dengan menggabungkan penilaian
1. Tentukan skor gejala dengan mMRC atau CAT, apabila masuk kotak kiri berarti gejala
sedikit (less symptoms), apabila masuk kotak kanan berarti gejala banyak (more
symptoms).
2. Tentukan skor risiko eksaserbasi, apabila masuk kotak bawah berarti risiko rendah,
kotak atas berarti risiko tinggi. Penetapan risiko dapat dilakukan dengan salah satu
metode yaitu dengan memakai kategori spirometri GOLD 1 atau 2, atau dengan risiko
eksaserbasi. Apabila setelah ketiga indikator digabung diperoleh kategori yang dobel
(mis B atau D), pilih kategori dengan risiko tertinggi.
123
Kesimpulan penilaian sebagai berikut:
Diagnosis Banding
Asma
Pneumotoraks
124
(PDPI 2003)
Terapi
b. Antiinflamasi: digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison inhalasi.
125
c. Tambahan: antibiotik→ hanya diberikan bila terdapat infeksi, mukolitik,
antioksidan.
(GOLD 2013)
3. Non farmakologi:
a. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi
psikososial
b. Terapi oksigen
c. Nutrisi
d. Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat memperbaiki fungís paru atau
gerakan mekanik paru)
126
E. Bronkiektasis
Definisi
Bronkiektasis merupakan kelainan morfologi yang terdiri dari pelebaran bronkus yang abnormal
dan menetap disebabkan kerusakan komponen elastis dan muskular dinding bronkus(kapsel).
Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus
berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Bronkus yang terkena
umumnya adalah bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terkena
Epidemiologi
Di negeri-negeri barat, kekerapan bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3 % di antara populasi.
Kekerapan setinggi itu ternyata mengalami penurunan yang berarti sesudah dapat ditekannya
frekuensi kasus-kasus infeksi paru dengan pengobatan memakai antibiotik.
Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai penyakit ini.
Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik dan diderita oleh laki-laki
maupun wanita. Penyakit ini dapat diderita mulai sejak anak-anak, bahkan dapat merupakan
kelainan kongenital
Etiologi
Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan jelas. Pada
kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat2.
Bronkiektasis pada umumnya terjadi oleh karena obstruksi dan inflamasi pada saluran napas.
Obstruksi dan inflamasi bisa disebabkan oleh infeksi akut tuberkulosis, adenovirus, measles,
Mycobacterium avium, atau Aspergillus fumigatus
127
PATOLOGI
Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang
terkena maupun beratnya penyakit.
a. Dinding bronkus
Dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel.
Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses
inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain
otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis.
b. Mukosa bronkus
Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan
metaplasia skuamosa dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi
infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi dan pernanahan.
128
b. Bentuk kantong (Saccular bronchiectasis)
Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan
bronkus yang bersifat ireguler, Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista (Cystic bronkiektasis).
c. Varicose bronchiectasis
Merupakan bentuk antara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan
bentuk bronkus menyerupai varises pembuluh vena2.
Adanya variasi bentuk-bentuk anatomis bronkus tadi secara klinis tidak begitu penting, karena
kelainan-kelainan yang berbeda tadi dapat berasal dari etiologi yang sama dan tidak
mempengaruhi gejala klinis dan manajemen pengobatannya sama saja. Bahkan beberapa
bentuk kelainan tadi bisa terdapat pada satu pasien.
5. Pseudobronkiektasis
Ini bukan termasuk bronkiektasis yang sebenarnya. Pada bentuk ini terdapat pelebaran bronkus
yang bersifat sementara dan bentuknya silindris. Kelainan ini bersifat sementara karena dalam
beberapa bulan akan menghilang. Bentuk ini biasanya merupakan komplikasi pneumonia.
PATOGENESIS
Tergantung penyebabnya. Apabila bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak
diketahui, diduga erat hubungannya dengan genetik serta faktor pertumbuhan dan
perkembangan fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya
diduga melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut berperan, antara
lain: (1) obstruksi bronkus, (2) infeksi pada bronkus atau paru, (3) adanya beberapa penyakit
tertentu seperti fibrosis paru, asthmatic pulmonary eosinophilia dan (4) faktor intrinsik dalam
bronkus atau paru.
Patogenesis pada kebanyakan bronkiektasis yang didapat, diduga melalui dua mekanisme
dasar.
1. Permulaannya didahului adanya infeksi bakterial. Mula-mula karena adanya infeksi pada
bronkus atau paru, kemudian timbul bronkiektasis. Mekanisme kejadiannya sangat rumit.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti proses
destruksi dinding bronkus daerah infeksi dan kemudian timbul bronkiektasis.
2. Permulaannya didahului adanya obstruksi bronkus. Adanya obstruksi bronkus oleh beberapa
penyebab (misalnya tuberkulosis kelenjar limfe pada anak, karsinoma bronkus, korpus alineum
dalam bronkus) akan diikuti terbentuknya bronkiektasis. Pada bagian distal obstruksi biasanya
akan terjadi infeksi dan destruksi bronkus, kemudian terjadi bronkiektasis.
129
Pada bronkiektasis didapat, pada keadaan yang amat jarang, dapat terjadi atau timbul sesudah
masuknya bahan kimia korosif (biasanya bahan hidrokarbon) ke dalam saluran nafas dan karena
terjadinya aspirasi berulang bahan/cairan lambung ke dalam paru1
Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang mengenai bronkus dan sifatnya
kronik. Keluhan-keluhan yang timbul berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang
timbul berhubungan erat dengan: (1) luas atau banyaknya bronkus yang terkena, (2) tingkatan
beratnya penyakit, (3) lokasi bronkus yang terkena dan (4) ada atau tidak adanya komplikasi
lanjut.
Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat adanya beberapa hal
berikut: (1) adanya kerusakan dinding bronkus, (2) adanya kerusakan fungsi bronkus dan (3)
adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya. Kerusakan dinding bronkus
dapat berupa dilatasi dinding bronkus, kerusakan elemen elastis dan otot-otot polos bronkus,
kerusakan mukosa dan silia. Kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan
ekspektorasi, gangguan reflek batuk dan sesak nafas
Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis, dapat dijelaskan sebagai
berikut:
b. Infeksi sekunder
Tiap pasien bronkiektasis tidak selalu disertai infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis).
Secara praktis apabila sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih,
menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila sputum pasien yang
semula berwarna putih jernih kemudian berubah warnanya menjadi kuning atau kehijauan atau
130
berbau busuk berarti telah terjadi infeksi sekunder. Untuk menentukan jenis kumannya bisa
dilakukan pemeriksaan mikrobiologis. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi
sekunder oleh kuman anaerob. Contoh kuman anaerob ini: Fusiformis fusiformis, treponema
vincenti, anaerobic streptococci dan sebagainya. Kuman-kuman aerob yang sering ditemukan
dan menginfeksi bronkiektasis misalnya: Streptokokus pneumonia, hemopilis influenza,
klebsiela ozeona dan sebagainya.
GAMBARAN KLINIS
Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung pada luas dan
beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya komplikasi lanjut. Ciri khas
penyakit ini adalah adanya batuk kronik disertai produksi sputum, adanya hemoptisis dan
pneumonia berulang. Gejala dan tanda klinis tersebut dapat demikian hebat pada penyakit
yang berat, dan dapat tidak nyata atau tanpa gejala pada penyakit yang ringan.
Bronkiektasis yang mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala, sebagai
berikut :
a. Batuk
Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk produktif berlangsung kronik dan
frekuensi mirip seperti pada bronkitis kronik, jumlah sputum bervariasi, umumnya jumlahnya
banyak terutama pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun. Kalau tidak
ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya
purulen, dapat memberikan bau mulut yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh
kuman anaerob akan menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kasus yang ringan,
pasien dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder. Pada kasus
yang sudah berat, misalnya pada sacular type brokiektasis, sputum jumlahnya banyak sekali,
purulen dan apabila ditampung beberapa lama, tampak terpisah jadi tiga lapisan: 1. Lapisan
131
teratas agak keruh terdiri atas mukus, 2. Lapisan tengah jernih terdiri atas saliva dan 3. Lapisan
terbawah keruh terdiri atas nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak.
b. Hemoptosis
Hemoptisis atau hemoptoe terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis. Keluhan ini terjadi
akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai pembuluh darah dan timbul
perdarahan. Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling ringan sampai perdarahan
yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat hebat atau terjadi nekrosis
yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari peredaran darah sistemik).
Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan gejala satu-satunya, karena jenis ini
letaknya di lobus atas paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang
menimbulkan reflek batuk. Pasien tanpa batuk atau batuknya minimal. Dapat diambil pelajaran,
bahwa apabila kita menemukan kasus hemoptisis hebat tanpa adanya gejala-gejala batuk
sebelumnya atau tanpa kelainan fisis yang jelas hendaknya diingat dry bronciektasis ini.
Hemoptisis pada bronkiektasis walaupun kadang-kadang hebat jarang fatal. Pada tuberkulosis
paru, bronkiektasis (sekunder) ini merupakan penyebab utama komplikasi hemoptisis.
d. Demam berulang
Bronkiektasis merupakan penyakit yang berjalan kronik, sering mengalami infeksi berulang
pada bronkus maupun pada paru, sehingga sering timbul demam.
Kelainan Fisik
Pada saat pemeriksaan fisis, mungkin pasien sedang mengalami batuk-batuk dengan
pengeluaran sputum, sesak nafas demam atau sedang batuk darah. Tanda-tanda fisis umum
yang dapat ditemukan meliputi sianosis, jari tabuh, manifestasi klinis komplikasi bronkiektasis.
Pada kasus yang berat dan lebih lanjut dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik
maupun payah jantung kanan. Kelainan paru yang timbul tergantung pada beratnya serta
tempat kelainan bronkiektasis terjadi dan kelainannya apakah lokal atau difus. Pada
pemeriksaan fisis paru, kelainannya harus dicari pada tempat predisposisi. Pada bronkiektasis
biasanya ditemukan ronkhi basah yang jelas pada lobus bawah paru yang terkena dan
132
keadaannya menetap dari waktu ke waktu, atau ronkhi basah ini hilang sesudah pasien
mengalami drainase postural dan timbul lagi di waktu yang lain. Apabila bagian paru yang
diserang amat luas serta kerusakannya hebat, dapat menimbulkan kelainan berikut: terjadi
retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena serta dapat terjadi
penggeseran mediastinum ke daerah paru yang terkena. Bila terdapat komplikasi pneumonia
akan ditemukan kelainan fisis sesuai dengan pneumonia. Wheezing sering ditemukan apabila
terjadi obstruksi bronkus.
Kelainan Laboratorium
Umumnya tidak khas. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat
ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya normal. Sering-
sering ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya infeksi kronik, atau ditemukannya
leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi supuratif.
Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi amiloidosis akan ditemukan
proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan langsung dapat dilakukan untuk
menentukan kuman apa yang terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji
sensitivitas terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi
sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder apabila misalnya dijumpai sputum
pada hari-hari sebelumnya warnanya putih jernih, yang berubah menjadi warna kuning atau
hijau.
Kelainan Radiologis
Gambaran foto dada (plain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat bervariasi,
tergantung berat ringannya kelainan serta letak kelainannya. Dengan gambaran foto dada
tersebut kadang-kadang dapat ditemukan kelainannya, tetapi kadang-kadang sukar. Gambaran
radiologis khas untuk bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista kecil dengan fluid level,
mirip seperti gambraran sarang tawon pada daerah yang terkena. Gambaran seperti ini hanya
dapat ditemukan pada 13% kasus. Kadang-kadang gambaran radiologis paru menunjukkan
adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis atau kolaps (atelektasis), bahkan kadang-kadang
gambaran seperti pada paru normal (7% kasus). Gambaran bronkiektasis akan jelas pada
bronkogram.
133
kelainan. Penurunan PaO2 ini menunjukkan adanya abnormalitas regional (maupun difus)
distribusi ventilasi, yang berpengaruh pada perfusi paru.
• Tingkatan Beratnya Penyakit
134
• Kalau penyakitnya luas atau pengobatan tidak adekuat, dapat timbul beberapa
komplikasi lanjut
• Apabila penyakit ini berlnjut terus, keadaan umum pasien dapat menjadi sangat
menurun, akan berakibat daya tahan tubuh yang menurun mudah terkena infeksi
berulang, nafsu makan menurun menimbulkan malnutrisi dsb
Diagnosis
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang
135
– Dapat ditegakkan bila ditemukan adanya dilatasi dan nekrosis dinding bronkus
dengan prosedur pemeriksaan bronkografi, melihat bronkogram yang
didapatkan. CT scan
Diagnosis banding
• Bronkitis kronik
• Tuberkulosis paru
• Abses paru
Komplikasi
• Bronkitis kronik
• Pleuritis
• Hemoptisis
• Sinusitis
• Kegagalan pernapasan
Pengobatan
P. Konservatif P. pembedahan
136
• Pengobatan konservatif
• Pengelolaan umum
• Drainase postural
• Pengelolaan khusus
• Pengobatan simtomatik
• Diberikan bila timbul simtom yang mungkin mengganggu atau membahayakan pasien
– Pengobatan obstruksi bronkus (hasil uji faal paru VEP1 < 70% dapat diberikan
bronkodilator)
137
– Pengobatan hipoksia (terutama pada waktu terjadi eksaserbasi infeksi akut perlu
diberikan oksigen, apabila ada komplikasi bronkitis kronik oksigen diberikan
dengan aliran rendah cukup 1 liter/menit)
– Pengobatan hemoptisis
– Pengobatan demam
• Pengobatan Pembedahan
Pencegahan
• Bronkiektasis dapat dicegah kecuali apabila bentuk dr kongenital karna tidak dapat
dicegah
• Pengobatan dengan antibiotik untuk bentuk pneumonia yang timbul pada anak, akan
mengurangi timbulnya bronkiektasis
• Tindakan vaksin terhadap pertusis dan lain – lain (influenza, pneumonia) pada anak
dapat pula diartikan sehingga tindakan preventif terhadap timbulnya bronkiektasis
Prognosis
• Bergantung pada berat ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama
kali
• Padaa kasus – kasus yang berat dan tidak diobati prognosis jelek, survivalnya tidak akan
lebih dari 5-15 tahun.
138
F. Emphysema
Definisi
Perbesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari bronkiolus terminal disertai
destruksi dinding rongga tersebut (Robbins)
Distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis disertai dengan destruksi
septum alveolaris (Harrison)
A condition of lung characterized by abnormal, permanent enlargement of airspace
distal to terminal bronchiole, accompanied by destruction of the wall, and without
obivious fibrosis (Fishman)
Etiologi
Two ways (Sherwood)
Pelepasan berlebihan enzim perusak misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai
mekanisme pertahanan terhadap pajanan kronik asap rokok dan bahan polutan lain
Ketidakmampuan tubuh secara genetik menghasilkan alfa1-antitripsin sehingga jaringan
paru tidak terlindungi dari tripsin
Klasifikasi
Centrilobular Emphysema
Panlobular Emphysema
Paraseptal Emphysema
139
1. Centrilobular Emphysema
Emfisema sentriasinar
Dibagian lobulus, sentral/proksimal asinus, yng dibentuk oleh bronkiolus respiratopik
Maka akan ditemukan, rongga udara yang emfitomatosa dan normal
Lesi sering parah di lobus atas, terutama pada segmen apeks
Emfisema tipe ini sering terjadi pada perokok yang tidak menederita defisiensi kongenital
alfa-antitri
2. Panlobular Emphysema
140
3. Paraseptal Emphysema
Disebut juga dengan emfisema asinar distal
Bagian proksimal normal, namun di distal yang umumnya terkena
Emfisema lebih nyata di dekat pleura, disepanjang septum jaringan ikat lobulus dan tepi
lobulus
Emfisema ini terjadi disekitar jaringan fibrosis, jaringan parut, atau atelektasis
Biasanya lebih parah di separuh atas paru
Epidemiologi
Emfisema adalah penyakit yang umum, tetapi insidensi pastinya sulit diketahui karena
diagnostig pastinya harus melalui autopsi
50% orang dewasa yang diautopsi mengalami emfisema
Laki-laki lebih sering
Faktor Resiko
Merokok
Polusi Udara
Pekerjaan
Faktor Familial
Manifestasi klinis
Dispneu dalam jangka waktu yang cukup lama
Disertai batuk ringan, sedikit menghasilkan sputum yang mukoid
Bentuk tubuh tampak astenik dengan bukti adanya penurunan berat badan
Pasien terlihat terganggu dengan menggunakan otot-otot tambahan (m.accesorius)
sehingga pada saat inspirasi, sternum terangkat kearah antero superior
Gejala takipnue dengan ekspirasi yang cenderung memanjang lewat mulut yang
mencucu
Pada saat duduk, pasien menyandarkan tubuhnya kedepan sambil memeluk tubuhnya
sendiri
Pembuluh vena dapat terlihat mnggembung pada saat ekspirasi
Rongga interkostalis bawah memperlihatkan retraksi setiap kali pasien menarik napas
dan dengan palpasi, dinding dada lateral bawah dapat terasa bergerak ke dalam.
Nada suara yang terasa pada waktu perkusi adalah hipersonor
auskultasi terdengar suara pernapasan yang berkurang dengan bunyi ronki bernada
tinggi yang samar-samar menjelang akhir ekspirasi.
141
Dispnue dan hiperventilasi tampak jelas sehingga oksigenasi hemoglobin masih kuat dan
tampak pink puffer
Adanya tahanan dari CO2 menimbulkan sianotik maka tampak blue bloaters
Patogenesis
Patofisiologi
Paru yang flasid, kemampuan elastisitas paru makin menghilang
Pada orang tua, biasanya terjadi peningkatan volume alveolus terhadap permukaan
alveolus
Elatase : sejenis proteinase (serin elatase dari granulosit, metaloelatase dari makrofag)
142
Komplikasi
Hipertensi pulmonal secara perlahan
Spasme vaskular yang dipicu hipoksia
Berkurangnya luas kapiler paru akibat kerusakan alveolus
Kematian
Kegagalan pernafasan disertai asidosis respiratorik, hipoksia, dan koma
Gagal jantung sisi kanan (Cor-Pulmonale)
143
G. Chronic Bronchitis
Definisi:
Bronkitis kronik didefinisikan berdasarkan klinis sebagai batuk yang persistent disertai sputum
sedikitnya 3 bulan sedikitnya 2 tahun yang berturut-turut dengan tidak diketahuinya penyebab
yang pasti. Bronkitis kronik juga sering dijumpai pada perokok dan orang yang hidup di
lingkungan polusi. Penderita dengan bronkitis menahun dapat menyebabkan PPOK, memicu cor
pulmonae dan gagal jantung atau atipikal metaplasia dan displasia dari epitel saluran respirasi
serta timbulnya kanker.
Patogenesis:
Faktor primer atau faktor pencetus adalah iritasi yang berlangsung lama yang terhirup,
contohnya seperti merokok, debu dll. Manifestasi awal yang terlihat dari bronkitis adalah
hipersekresi mukus di saluran nafas besar, disertai dengan hipertrofi dari kelenjar submukosal
di trakea dan bronkus. Hipersekresi mukus diinduksi oleh adanya protease yang dilepaskan oleh
neutrifil, contohnya elastase, caphtesin dan matrixmetalloproteinase. Ada juga peningkatan
pada sel goblet di saluran pernafasan kecil seperti bronkus segmental dan bronkiolus yang
menyebabkan produksi mukus yang mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Bisa disertai juga
infeksi sekunder yang bisa menyebabkan bronkitis terus menetap pada penderita, atau
menyebabkan eksaserbasi akut.
Gejala Klinis
Gejala utama dari bronkitis kronik adalah batuk yang persisten disertai sputum yang produktif.
Selama beberapa tahun tidak ada kegagalan fungsi respirasi yang timbul. Tapi bisa terjadi
dyspnea pada ekspirasi. Seiring berjalannya waktu jika kebiasaan merokok masih terus
berlangsung,gejala PPOK lainnya bisa terlihat seperti hiperkapnia, hipoksemia dan sedikin
sianosis (blue bloaters). Kematian juga bisa terjadi namun biasanya disebabkan oleh infeksi
sekundernya.
144
CASE 4
(Asma Bronkial Episodik Sering Serangan Sedang)
PENULIS :
1. Mesiwisani (111 0211 072)
2. Indra Pramana Putra (111 0211 193)
3. Dias Amardeka Putri G. (111 0211 091)
4. Luthfiani Azahra (111 0211 078)
5. Muhammad Dimas Rizaputra (111 0211 126)
6. Lathifah Nur Afuw (111 0211 200)
A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Asma Anak dan Dewasa
E. Manajemen Asma Anak dan Dewasa
F. Terapi Pada Asma
145
A. Tutorial Case
Case 4
Respiratory System
Page 1
An. H (8 tahun) dibawa ke RSPAD pada pukul 23.30 dengan keluhan sesak napas sejak 3 jam
yangf lalu. Menurut ibu, H batuk-batuk sejak pulang dari bermain bola bersama teman-temannya.
Menjelang tidur, H tampak gelisah dan batuk terus menerus. Batuk berdahak dan warna dahak bening.
Ibu H memberikan obat batuk yang dibeli di took obat, namun batuk tidak berkurang bahkan H terlihat
sesak. Akhirnya diputuskan untuk membawa H ke rumah sakit terdekat.
Saat datang ke IGD, H masih bisa bicara walaupun terputus-putus, menyatakan dadanya terasa
berat dan lebih suka diperiksa dalam keadaan duduk.
Ibu bercerita, H sering batuk-batuk sejak berusia 4 tahun. Batuk muncul setelah H kelelahan
akibat aktivitas terutama pada malam harinya, namun mereda keesokan hari setelah beristirahat.
Sejak 1 tahun terakhir, hampir setiap bulan H pergi ke dokter karena batuk dan sesak. Malam
hari sering terbangun dari tidur karena batuk dan mereda bila diberikan obat batuk dari dokter klinik.
Sesak yang dialami saat ini lebih berat dari yang sebelumya.
Ibu H memiliki alergi terhadap makanan laut. Ayah H seorang perokok, kadang merokok di
dalam rumah. Sedangkan adik laki-laki H saat ini tidak memiliki keluhan yang sama.
Page 3
Pemeriksaan penunjang, dilakukan pemeriksaan spirometri saat datang dengan hasil FEV1
(volume ekspirasi paksa dalam 1 menit) 46%.
An. H segera diberi oksigen 3L/menit melalui kanul hidung dan pemberian bronkodilator melalui
nebulisasi. Setelha 20 menit nebulisasi dilakukan evaluasi, An. H masih mengeluhkan sesak napas pada
pemeriksaan fisik masih terdapat wheezing. Maka dilakukan nebulisasi kedua. Hasil evaluasi kedua
didapatkan keluhan sesak masih ada walaupun berkurang. Wheezing masih terdengar, dilakukan
nebulisasi ketiga dengan bronkodilator dan antikolinergik. Pasca nebulisasi ketiga, pasien tidak Nampak
sesak, wheezing tidak terdengar.
Page 4
Setelah mengetahui respon baik, An. H diobservasi di ruang rawat sehari. Oksigen dilanjutkan
dan diberikan metilprednisolon oral 3 × 4 mg. nebulisasi setiap 2 jam kemudian dilanjutkan 4 jam.
Selama pemantauan 12 jam, pasien klinis stabil, dokter pun memperboehkan An. H pulang dengan
memberikan obat bronkodilator inhalasi dan kortikosteroid oral (selama 3 hari) serta memastikan An. H
control 2 minggu mendatang untuk dilakukan pemeriksaan spirometri.
146
B. Overview Case
An. H (8 tahun)
Dibawa ke UGD RS pukul 23:30
KU: Sesak napas sejak 3 jam yang lalu
RPS : RPK
Sebelumnya batuk-batuk sejak pulang dari Ibu alergi makan laut
bermain bola bersama teman-temannya Ayah perokok, didalam rumah
Menjelang tidur tampak gelisah dan batuk Adik H tidak memiliki keluhan
terus menerus yang sama
Diberikan obat batuk namun batuk tidak
berkurang dan terlihat sesak
RPD
Saat di IGD masih bicara walaupun putus-
putus, dada terasa berat dan labih suka An. H sering batuk-batuk sejak berusia 4
diperiksa dalam keadaan duduk tahun
Ssesak yang dialami saat ini lebih berat dari Muncul setelah beraktivitas terutama pada
yang sebelumnya malam hari dan mereda setelah beristirahat
Sejak setahun terakhir hampir setiap bulan H
pergi ke dokter karena batuk dan sesak.
Malam hari sering terbangun karena batuk
dan mereda bila diberikan obat batuk dari
dokter.
Hipotesis
Asma Cardiac
Asma Bronchial
Bronchitis virus acute
Bronchiolitis
Pemeriksaan penunjang
Hb : 13 gr/dl
Ht : 38,8%
Leukosit : 7800/uL
Trombosit : 230.000/uL
LED : 20 mm/jam
Diff count : 1/10/5/55/23/6
FEV1 : 72% (nilai terbaik)
Saturasi O2: 98%
Diagnosa
FARMAKOLOGIS
Diobservasi di ruang rawat sehari dengan terapi sbb:
o Oksigen dilanjutkan
o Metil prednisolone oral 3 × 4 mg
o Nebulisasitiap 2 jam dan dilanjutkan tiap 4 jam
Selama 12 jam pasien klinis stabil, An. H boleh pulang
o Bronkodilator inhalasi
o Kortikosteroid oral (selama 3 hari)
o Kontrol 2 minggu mendatang untuk pemeriksaan spirometri
148
C. INTERPRETASI KASUS
ANAMNESIS
An.H 8 th dibawa ke IGD RSPAD pada pkl 23.30
KU : Sesak napas sejak 3 jam yang lalu
Analisa : Sesak napas merupakan salah satu keluhan utama sistem respiratorik. Sesak
napas/dispnea adalah gejala subyektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya
mendapatkan udara pernapasan.
KT :
1. Batuk-batuk sejak pulang dari bermain bola bersama teman-temannya
2. Menjelang tidur, H tampak gelisah dan batuk terus menerus
3. Batuk berdahak, warna dahak bening.
Analisa :
1. Batuk merupakan mekanisme saluran napas untuk bersihkan saluran napas.
Bermain bola hiperventilasi udara yang masuk tidak sempat dihangatkan iritasi
bronkus merangsang refleks batuk.
Menjadi patologis bila frekuensi dan amplitudonya terlalu dalam.
2. Menandakan progresifitas batuknya bertambah parah
3. Mekanisme pertahanan salauran napas yang lainnya adalah sekresi mukus yang
kemudian dikeluarkan dari sis.respiratori dengan bantuan silia.
Produksi lendir berlebih pengeluaran tidak efektif lendir tertumpuk berupa dahak
/sputum
RPS :
1. Ibu H memberikan obat batuk yang dibeli di toko obat batuk tidak berkurang
bahkan terlihat sesak diputuskan untuk dibawa ke RS terdekat
Di IGD
2. Masih bisa berbicara walaupun terputus-putus
3. Menyatakan dadanya terasa berat dan lebih suka diperiksa dalam keadaan duduk
Analisa :
1. Obat batuk berisi antitusif/supresan yang bekerja dengan mengontrol atau menekan
refleks batuk di tenggorokan dan paru. Caranya, dengan meningkatkan ambang
rangsang batuk di pusat batuk pada otak.
Obat batuk dengan tambahan dekongestan biasanya berfungsi melegakan saluran napas
dan membersihkan saluran hidung dari lendir.
149
Diberikan obat batuk dan tidak berkurang karena obat batuk tidak mengurangi dari
penyebab terjadinya batuk pada pasien ini yang kita curigai sebagai asma dimana pada
asma terjadi hipersekresi mukus, brokospasme dan edema bronkus.
2. Menandakan derajat penyakitnya
3. Duduk (ataupun berdiri) pengaruh gravitasi diafragma tertekan kebawah
Dibandingkan berbaring akan lebih sesak karena sudah ada keluahan sesak ditambah
saat berbaring volume paru akan lebih berkurang
RPD :
1. Sering batuk-batuk sejak usia 4 tahun
2. Batuk muncul setelah H kelelahan akibat aktivitas terutama pada malam harinya,
namun mereda keesokan hari setelah beristirahat
3. Sejak 1 tahun terakir, hampir setiap bulan H pergi ke dokter karena batuk dan sesak.
4. Malam hari sering terbangun dari tidur karena batuk dan mereda bila diberikan obat
batuk dari dokter klinik
Analisa :
1 dan 3Keluhan yang dialaminya sudah lama dan makin memburuk
2 dan 4 Kemungkinan pencetusnya adalah aktivitas fisik dan udara malam
RPK :
Ibu H punya alergi terhadap makanan laut.
Ayah H seorang perokok kadang merokok didalam rumah
Adik laki-laki H saat ini tidak memiliki keluhan yang sama
Analisa :
Ada riwayat keluarga alergi
Merokok salah satu faktor predisposisi gangguan saluran napas
HIPOTESIS
1. Asma Bronkial
Adalah mengi berulang dan atau batukpersisten dengan karakteristik :
a. Timbul episodik
b. Cenderung malam atau dini hari (nokturnal)
c. Musiman
d. Setelah aktivitas fisik
e. Ada riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan keluarganya
(Pedoman Nasional Ama anak 2004)
150
Alasan diambil hipotesis :
a. Dari gejala : sesak dan batuk
b. Dari usia 8 tahun pada asma bronkial onset biasanya pada anak-anak
c. Ada variabilitas dari keluhan utama dari riwayat penyakit dahulu keluhan batuk
terutama pada malam hari namun mereda keesokan hari
d. Bersifat reversibel keluhan dapat mereda setelah istirahat
e. Ada riwayat keluarga alergi makanan laut atopi bisa diturunkan ke anak
dengan manifestasi penyakit atopi lain (asma)
f. Ayah merokok anak H mengirup asap rokok faktor predisposisi asma
2. Asma Kardiale
Adalah asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung disebut juga edema paru
kardiogenik karena gagal jantung kiri
.Alasan diambil hipotesis :
a. Sesak setelah aktivitas
4. Bronkiolitis
Adalah penyakit infeksi respiratori akut bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi
pada bronkiolus
Alasan diambil hipotesis :
a. Batuk
b. Kemudian disertai sesak napas
151
PEMERIKSAAN FISIK
KU : Sakit sedang terlihat sesak napas dan mengambil posisi duduk berpegangan pada
lengan kursi
Analisa : Memastikan sesuai dengan KU dan RPS
BB : 19,5cm TB : 125cm
Tanda vital : TD : 100/70 mmHg
Nadi : 120 x/menit
Analisa :
• Normal pada usia 3- 8 th : 110/menit
• Pada anak H nadinya meningkat
• Sebagai mekanisme kompensasi karena kurangnya pasokan O2 ke jantung
SaO2 : 91 % (tanpa oksigen)
Analisa :
• Normal : >95%
• Pada anak H saturasi oksigen turun dibawah normal.
• Saturasi oksigen adalah ukuran seberapa banyak oksigen yang berikatan dengan Hb
• Saturasi oksigen salah satunya dipengaruhi oleh kadar Co2 darah (faktor lain :
keasaman, suhu, 2,3 bisfosfogliserat)
• Bisa disebabkan karena adanya gangguan konduksi dan pertukaran gas keparu
S : 36,5 °C
Analisa : Normal KU bukan disebabkan karena infeksi
Frekuensi napas : 40 x/menit
Analisa :
• Normal 6-8 tahun : < 30 menit
• Pada kasus meningkat karena adanya perangsangan kemoreseptor sentral yang
disebabkan peningkatan Co2 karena adanya gangguan konduksi dan difusi karena
adanya obstruksi jalan napas
Kepala : Tampak napas cuping hidung
Mukosa nasal dbn
Analisa :
• Tanda adanya sesak napas sesuai anamnesis
152
• Menandakan sesak napasnya bukan karena adanya sekret ataupun proses inflamasi di
cavum nasi pasien
Thorax, Paru
Inspeksi :
• Pergerakan simetris Pergerakan paru normal
• Retraksi suprasternal (inspiratory effort) tanda sesak napas
• Tampak ekspirium memanjang usaha untuk mengeluarkan udara yang terhambat
pengeluarannya karena obstruksi memanjangnya saat ekspirium karena ekspirasi
merupakan proses pasif jadi lebih sulit untuk mengeluarkan udara daripada proses
inspirasi
Auskultasi :
• suara napas vesikuler Normal
• Tidak tedengar ronkhi
• Terdengar wheezing sepanjang ekspirasi wheezing adalah bunyi abnormal akibat
udara melewati daerah yang sempit yang bisa diakibatkan oleh ekstraluminer ; desakan
tumor ataupun intraluminer ; spasme bronkus, edema, lendir kental, benda asing
memperkuat asma dan bronkiolitis
Thorax, Jantung :
• Dbn melemahkan asma kardiale
Abdomen : dbn
Ekstremitas :
• Tidak ada clubbing finger Melemahkan asma kar diale
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Spirometri saat datang : FEV1 (Volume ekspirasi paksa dalam 1 menit) 46% tanda obstruksi
jalan napas menguatkan asma selanjutnya untuk nilai derajat asma dan respon terapinya
Pengukuran spirometri dapat dilakukan pada anak >6tahun
Melemahkan bronkiolitis bronkiolitis biasanya tidak disertai penurunan FEV1
Diagnosis
Asma Bronkhial Pada Anak Episodik Sering Serangan Sedang
153
Derajat ditegakkan berdasarkan (lihat tabel pembagian derajat penyakit asma pada anak
PNNA 2004) :
1. Frekuensi serangan
RPD Sejak 1 tahun terakhir, hampir setiap bulan H pergi ke dokter karena batuk dan sesak
menandadakan frekuensi serangan yang >1x/bulan
2. Tidur dan aktivitas
RPD Malam hari sering terbangun dari tidur karena batuk dan mereda bila diberikan obat
batuk dari dokter klinik menandakan tidur dan aktivitasnya sering terganggu
Didapatkan Ama episodik sering (Asma Sedang)
154
PENATALAKSANAAN (sesuai alur tatalaksana)
155
Oksigen 3 L/menit melalui kanul hidung untuk perbaiki oksigenasi ke jaringan
Dan pemberian bronkhodilator melalui nebulisasi bronkhodilator untuk melebarkan jalan
napas biasanya digunakan beta adrenergik kerja pendek (Short Acting Beta Agonis/SABA)
menstimulasi reseptor-reseptor beta adrenergik menyebabkan perubahan ATP menjadi
cyclic-AMP timbul relaksasi otot polos jalan napas bronkodilatasi. Efek lain: peningkatan
klirens mukosilier,penurunan permeabilitas vaskular, dan berkurangnya pelepasan mediator
dari sel mast.
Bronkodilator yang biasa dipakai : salbutamol, terbutalin dan fenoterol.
Dosis salbutamol nebulizer : 0,1 -0,15 mg/kgBB (maks 5mg/x)
Pada kasus : 0,1x19,5 – 0,15x 19,5 : 1,95 – 2,925 mg/kgBB
Evaluasi kedua : sesak masih ada walaupun berkurang, wheezing masih terdengar besar
derajat sedang nebulisasi ketiga dengan bronkodilator dan antikolinergik
Antikolinergik : Ipratroipium bromida dosis : 0,1 mg/kgBB
Pasca nebulisasi ketiga pasien tidak tampak sesak, wheezing tidak terdengar
Pada px penunjang :
Hb : 13 gr/dl Nilai normal anak 11-16 gram/dL
Ht : 38,8 % Nilai normal anak 31-45%
Leukosit 7.800/Ul normal
Trombosit :230.000/Ul normal
Led : 20 mm/jam Nilai normal anak <10 mm/jam pertama menandakan inflamasi akut
Hitung jenis : 1 / 10 / 5 / 55 / 23 / 6 eosinofil meningkat bantu dx asma pada asma
eosinofil meningkat sebagai hasil dari reaksi fase lambat Melemahkan bronkhitis dan
bronkiolitis
156
Nilai normal Diff count : Basofil : 0 – 1 (%)
Eosinofil : 1 – 3 (%)
Batang : 2 – 6 (%)
Segmen : 50 – 70 (%)
Limfosit : 20 – 40 (%)
Monosit : 2 – 8 (%)
157
Patofisiologi Kasus
An. H 8 tahun
Produksi IgE
Remodelling Airway
Berikatan dengan
reseptornya di sel
Mast dan Basofil
158
Reaksi fase cepat Reaksi fase lambat
Kerusakan epitel,Hipereaktifitas,
kontraksi bronkus
Peningkatan Aktivasi
saraf Ekspirasi
Napas Retraksi co2 CES otak
memanjang
cuping suprastrenal simpatis
hidung
Co2+H2O
Nadi
meningkat
H2c03
159
H+merangsang
H+ +HCO3 Peningkatan kemoreseptor RR
H+ di CES otak sentral
D. ASMA ANAK dan DEWASA
Definisi
Asma adalah suatu penyakit obstruksi saluran pernapasan akibat penyempitan saluran
napas yang di tandai dengan gejala sesak napas, batuk dan mengi. Penyempitan saluran napas
yang dapat menimbulkan manifestasi tersebut dapat disebabkan oleh
Terjadinya bronkokonstriksi
Pembengkakan mukosa bronkus
Hipersekresi lender karena hipersensitivitas
Definisi lainnya
Asma yaitu penyakit yang dikarenakan oleh peningkatan respon dari trachea dan
bronkus terhadap berbagai macam stimuli yang ditandai dengan penyempitan bronkus atau
bronkhiolus dan sekresi yang berlebih – lebihan dari kelenjar – kelenjar di mukosa bronchus.
Etiologi
Etiologi asma belum dapat ditentukan dengan pasti ,tampaknya ada hubungan antara
asma dengan alergi. Sebagian besar penderita asma ditemukan dengan riwayat alergi, selain itu
serangan asma nya sering ditimbulkan oleh alergennya. Namun adapula yang serangan
asmanya didahului dengan adanya infeksi saluran napas bagian atas.
Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama pada
usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih
memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan
perempuan.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat ini jumlah penderita asma di
dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang.
Faktor resiko
Faktor resiko asma dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
1. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai
keluarga dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
160
2. Hiperreaktivitas bronkus
Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun
iritan.
3. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia
remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa.
4. Ras
5. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI) merupakan faktor resiko
asma. Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan
dan meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat mempengaruhi gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
Faktor pencetus
Beberapa faktor pencetus yang sering menjadi pencetus serangan asma adalah :
1. Faktor Lingkungan
a. Alergen dalam rumah
b. Alergen luar rumah
2. Faktor Lain
a. Alergen makanan
b. Alergen obat – obat tertentu
c. Bahan yang mengiritasi
d. Ekspresi emosi berlebih
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif
f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan
Ada juga yang membaginya kedalam factor intrinsic dan ekstinsik
1. Faktor ekstrinsik
Asma yang timbul dikarenakan reaksi hipersensitivitas yang dikarenakan oleh
adanya ige yang bereaksi terhadap antigen yang ada di udara ( antigen – inhalasi ),
layaknya debu tempat tinggal, serbuk – serbuk dan bulu binatang.
2. Faktor intrinsik
a. infeksi :
virus yang mengakibatkan adalah para influenza virus, respiratory syncytial virus (
rsv )
bakteri, umpamanya pertusis dan streptokokkus
161
jamur, umpamanya aspergillus
b. cuaca :
Perubahan tekanan udara, suhu udara, angin dan kelembaban dihubungkan dengan
percepatan iritan bahan kimia, wangi-wangian, asap rokok, polutan udara
emosional : takut, kuatir dan tegang
kegiatan yang berlebihan, umpamanya berlari
Klasifikasi
A. Asma saat tanpa serangan
Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri dari: 1) Intermitten; 2)
Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4) Persisten berat .
(Tabel.1)
162
B. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan
sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat-ringannya serangan. Global Initiative for
Asthma (GINA) membuat pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda
klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menentukan terapi yang
akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi asma serangan ringan, asma serangan sedang dan
asma serangan berat. Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat dapat mengalami serangan
ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada pasien yang tergolong episodik jarang mengalami
serangan asma berat, bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.
(Tabel. 2)
163
Patologi
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yaitu saluran napas amat gampang bereaksi
terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi berbentuk serangan asma.
kelainan yang diperoleh yaitu : otot bronkus akan mengkerut ( terjadi penyempitan ), selaput
lendir bronkus udemaproduksi lendir semakin banyak, lengket dan kental, hingga ketiga perihal
tersebut mengakibatkan saluran lubang bronkus jadi sempit dan anak akan batuk apalagi dapat
sampai sesak napas. Serangan tersebut dapat hilang sendiri atau hilang dengan pertolongan
obat.
Pada stadium permulaan serangan tampak mukosa pucat, ada edema dan sekresi jadi
tambah. lumen bronkus menyempit disebabkan spasme. tampak kongesti pembuluh darah,
infiltrasi sel eosinofil di dalam secret di dalam lumen saluran napas. bila serangan kerap terjadi
dan lama atau menahun akan tampak deskuamasi (mengelupas) epitel, penebalan membran
hialin bosal, hyperplasia serat elastin, juga hyperplasia dan hipertrofi otot bronkus. Pada
serangan yang berat atau pada asma yang menahun ada penyumbatan bronkus oleh mucus
yang kental.
Manifestasi klinik
wheezing
dyspnea dengan lama ekspirasi, pemakaian otot- otot asesori pernapasan
pernapasan cuping hidung
batuk kering ( tidak produktif ) dikarenakan secret kental dan lumen jalur napas sempit
diaphoresis
sianosis
nyeri abdomen dikarenakan terlibatnya otot abdomen didalam pernapasan
kekhawatiran, labil dan penurunan tingkat kesadaran
tidak toleran terhadap kegiatan : makan, bermain, berjalan, apalagi bicara
Stadium asma
Stadium 1
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, dikarenakan iritasi dan batuk
kering. Sputum yang kental dan mengumpul adalah benda asing yang merangsang batuk
Stadium 2
Sekresi bronkus jadi tambah banyak dan batuk dengan dahak yang jernih dan berbusa. Pada
stadium ini anak akan mulai jadi sesak napas berupaya bernapas lebih didalam. Ekspirasi
memanjang dan terdengar bunyi mengi. Terlihat otot napas tambahan turut bekerja. Ada
retraksi supra sternal, epigastrium dan barangkali juga sela iga. Anak lebih suka duduk dan
164
membungkuk, tangan menekan pada pinggir area tidur atau kursi. Anak terlihat gelisah, pucat,
sianosisi seputar mulut, toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat dan bergerak lambat
pada pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal, retraksi
supra sternal dan interkostal.
Stadium 3
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat, aliran udara amat sedikit hingga nada napas nyaris
tidak terdengar. Stadium ini amat berbahaya dikarenakan kerap disangka ada perbaikan. juga
batuk layaknya ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan frekuensi napas yang mendadak
meninggi.
Patofisiologi
Allergen tubuh
Rangsang induksi sel TCD4 + TH2
Mengeluarkan IL-4
Produksi IgE oleh sel B
Sampai di sel mast
Peningkatan eosinofil
Penyempitan jari-jari saluran pernafasan
Obstruksi jalan nafas (bronkus)
Retensi saluran nafas ventilasi terganggu
Aliran udara melewati sal.udara yang menyempit
Wheezing
Otot-otot Ekspirasi Sesak nafas
pernafasan sulit 165
paksa
Komplikasi
1. status asmatikus
2. bronkhitis kronik, bronkhiolus
3. ateletaksis : lobari segmental dikarenakan obstruksi bronchus oleh lender
4. pneumo thoraks
Kerja pernapasan meningkat, keperluan O2 meningkat. Arang asam tidak sanggup memenuhi
keperluan O2 yang amat tinggi yang diperlukan buat bernapas melawan spasme bronkhiolus,
pembengkakan bronkhiolus, dan m ukus yang kental. kondisi ioni bisa menimbulkan
pneumothoraks disebabkan besarnya teklanan buat lakukan ventilasi
5. kematian
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak napas,
mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor yang
mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran napas.
Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat,
ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.
Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral Cursshman, kristal Charcot
Leyden).
Pemeriksaan Penunjang
o Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan
ciri khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%
atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
166
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan
histamin.
o Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan penyakit
lain yang memberikan gejala serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi
saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan
asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
167
Diagnosis Banding
Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk
yang disertai sputum dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama
kelamaan disertai mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.
Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan
mengi jarang menyertainya.
Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada
malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun
pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila
duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung.
Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan disertai darah (haemoptoe).
Penatalaksanaan
- Pencegahan terhadap pemajanan alergi
- Oksigen nasal atau masker dan terapi cairan parenteral.
- Adrenalin 0,1- 0,2 ml larutan : 1 : 1000, subkutan. Bila perlu dapat diulang setiap 20 menit
sampai 3 kali.
-Dilanjutkan atau disertai salah satu obat tersebut di bawah ini ( per oral ) :
Golongan Beta 2- agonist untuk mengurangi bronkospasme :
Efedrin : 0,5 – 1 mg/kg/dosis, 3 kali/ 24 jam
Salbutamol : 0,1-0,15 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Terbutalin : 0,075 mg/kg/dosis, 3-4 kali/ 24 jam
Efeknya tachycardia, palpitasi, pusing, kepala, mual, disritmia, tremor, hipertensi
dan insomnia.
Golongan Bronkodilator, untuk dilatasi bronkus, mengurangi bronkospasme dan meningkatkan
bersihan jalan nafas.
Aminofilin : 4 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Teofilin : 3 mg/kg/dosis, 3-4 kali/24 jam
Pemberian melalui intravena jangan lebih dari 25 mg per menit.Efek samping tachycardia,
dysrhytmia, palpitasi, iritasi gastrointistinal,rangsangan sistem saraf pusat;
168
gejala toxic;sering muntah,haus, demam ringan, palpitasi, tinnitis, dan kejang
Golongan steroid, untuk mengurangi pembengkakan mukosa bronkus. Prednison : 0,5 – 2
mg/kg/hari, untuk 3 hari (pada serangan hebat).
169
Kebijakan Step Up dan Step Down
Syarat Step Up :
1. Pengendalian lingkungan dan hal-hal yang memberatkan asmanya sudah dilakukan
2. Pemberian obat sudah tepat susunannya dam sudah tepat caranya
170
3. Tindakan 1 dam 2 itu sudah tepat caranya
4. Efek samping ICS (inhaled corticosteroid)
Maka baru ICS boleh dinaikkan.
Syarat Step Down :
1. Pengendalian lingkungan harus tetap baik
2. Asma sudah terkendali selama 3 bulan berturut-turut
3. ICS hanya boleh diturunkan 25% setiap 3 bulannya sampai dengan dosis terkecil yang
masih dapat mengendalikan asmanya
4. Bila step down gagal, perlu dicari sebab-sebabnya dan kalau sudah dikoreksi maka ICS
dapat diturunkan bersama-sama penambahan LABA (Long Acting B2-Agonist) dan/atau
LTRA (Leukotriene Receptor Agonist)
TATALAKSANA JANGKA PANJANG ASMA PADA ANAK
Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah menjamin tercapainya potensi tumbuh
kembang anak secara optimal.
1. Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak pada umumnya, termasuk
bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
3. Gejala tidak timbul pada siang ataupun malam hari.
4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok.
5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
6. Efek samping obat dapat dicegah sehingga tidak/sesedikit mungkin timbul, terutama
yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Algoritma Tatalaksana Asma
Sumber : UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman Nasional Penanganan Asma pada Anak. Indonesian
Pediatric Respiratory Meeting I: Focus on asthma, Jakarta, 2003.
171
Cara Pemberian Obat
Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan usia anak karena perbedaan kemampuan
menggunakan alat inhalasi.
172
5 – 8 tahun Nebuliser
MDI dengan spacer
DPI (dry powder inhaler); Diskhaler,
Turbuhaler
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi obat dalam mulut (orofaring)
sehingga mengurangi jumlah obat yang akan tertelan dan akibatya, mengurangi efek sistemik.
Sebaliknya, deposisi dalam paru menjadi lebih banyak sehingga didapatkan efek terapetik yang
baik. (Evidence B) Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (dry powder inhaler, DPI) seperti
Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhakerm Easyhaler, dan Twisthaler, memerlukan inspirasi
yang kuat. Umumnya, bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.
Sebagian alat bantu, misalnya spacer (Volumatic, Nebuhaler, Aerochamber, Babyhaler,
Autohaler), dapat dimodifikasi menggunakan gelas atau botol minuman bekas, atau
menggunakan botol dengan dot yang telah dipotong untuk anak kecil dan bayi. (Evidence D)
PENCEGAHAN ASMA
Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya sensitisasi pada bayi yang belum
tersensitisasi, baik pada prenatal dan pascanatal.
Pencegaha sekunder bertujuan untuk mencegah terjadinya inflamasi /asma pada bayi/anak
yang sudah tersensitisasi.
Pencegahan tersier bertujuan mencegah terjadinya serangan akut atau eksaserbasi pada
bayi/anak asma.
Beberapa langkah penanganan asma pada anak adalah sebagai berikut :
1. Pemberian edukasi pada pasien dan keluarganya tentang asma
2. Penilaian dan pemantauan derajat asma
3. Penghndaran terhadap faktor risiko
4. Pembuatan rencana tatalaksana jangka panjang
5. Menatalaksana eksaserbasi atau serangan
6. Follow-up secara teratur
173
Pencegahan Primer
Orang tua dihindari terhadap lingkungan yang dapat bersifat sebagai faktor risiko.
Contohnya indoor pollutans asap rokok, debu rumah yang mengandung banyak tungau debu
rumah dan lain-lain.
Pascanatal : bayi dihindari dari pemberian ASI yang mengandung makanan yang dapat
menyebabkan alergi.
Pencegahan Sekunder
Mencegah terjadinya asma/inflamasi pada seorang anak yang sudah tersensitiasi. Secara klinis
hal ini telah dibuktikan dengan menggunakan obat antihistamin. Pada eraly treatment of the
atopic child (ETAC), pemberian cetrizine selama 18 bulan pada anak dengan dermatitis atopi
yang orang tuanya atopi, dapat mencegah terjadinya asma sebanyak 50% bila anak tersebut
hanya alergi terhadap debu rumah dan serbuk sari.
Selain itu, hindari juga faktor risiko lain, yaitu alergen.
Pencegahan Tersier
Mencegah terjadinya serangan pada seorang anak yang sudah menerita asma. Pencegahan
terhadap hal tersebut merupakan salah satu langkah pencegahan tersier. Faktor lain yang dapat
menyebabkan serangan asma adalah gagalnya terapi jangka panjang. Yang dimaksud dengan
terapi jangka panjang adalah pemberian obat pengendali (controller) berupa kortikosterois,
baik yang diberikan tersendiri ataupun kombinasi dengan B-agonis kerja panjang atau
antileukotrien.
174
175
Manajemen dan Pencegahan Asma Dewasa
Tujuan :
- Mencapai dan mempertahankan kondisi mengontrol gejala
- Mempertahankan kemampuan beraktivitas normal
- Mempertahankan faal paru
- Menghindari efek samping obat
- Mencegah kematian karena asma
Tujuan :
Membentuk manajemen terarah sehingga pasien mampu mengontrol asmanya
176
Tinjauan kepatuhan pasien, dengan cara:
- Lakukan komunikasi dengan baik
- Melakukan strategi jangka panjang
Tujuan :
Mencapai asma terkontrol dengan memberikan pengobatan sesuai
penilaian mll tahapan pengobatan
# kapan pasien mencapai asma terkontrol?
80 – 90% pasien Hp stabil selama 24 minggu dan kestabilan tersebut
Tidak dipengaruhi oleh beratnya asma tetapi lebih dipengaruhi oleh
panduan pengobatan
177
Tabel: Tahapan pengobatan asma (dewasa dan anak > 5 tahun)
Edukasi Asma
Kontrol Lingkungan
Pelega, jika perlu
Agonis beta-2 kerja singkat
Pengontrol Pengontrol Pengontrol Pengobatan tahap
Pelega jika pilihan utama pilihan utama pilihan utama 4 ditambah
perlu
Inhalasi Kombinasi Kombinasi Kortikosteroid oral
kortikosteroid inhalasi inhalasi (metilprednisolon)
Agonis beta-2
dosis rendah kortikosterois kortikosteroid dosis terendah
kerja singkat
dosis rendah & dosis sedang-
agonis beta-2 tinggi & agonis
kerja lama beta-2 kerja
(LABACS) lama (LABACS)
Alternatif Alternatif Dapat
ditambahkan :
Leukotrien Inhalasi
modifier (Anti- kortikosteroid Antileukotrien/
leukotrien) dosis sedang- leukotrien
tinggi, atau modifiers
kombinasi
inhalasi Teofilin lepas
kortikosteroid lambat
dosis rendah &
antileukotrien/
leukotrien
modifiers
Alternatif lain
Kombinasi
inhalasi
kortikosteroid
dosis rendah &
teofilin lepas
lambat
178
Tabel : Dosis harian kortikosteroid inhalasi (analog dosis antara berbagai kortikoseroid
inhalasi)
Dosis rendah Dosis Sedang Dosis Tinggi
Kortikosteroid Inhalasi (Ug)
(Ug) (Ug)
200-500 >500-1000 >1000-2000
Beklometason
dipropionat
200-400 >400-800 >800-1600
Budesonid
80-160 >160-320 >320-1280
Siklesonid
500-1000 >1000-2000 >2000
Flunisonid
100-250 >250-500 >500-1000
Plutikason
200-400 >400-800 >800-1200
Mometason furoate
400-1000 >1000-2000 >2000
Triamsinolon
Tahapan pengobatan
1. Tahap 1
Kapan diberikan tahapan 1 ?
Saat didapatkan gejala asma sangat jarang
- Diantara episodik tiadak ada gejala
- Faal paru normal
- Tidak ada riwayat pengobatan dengan pengontrol kortikosteroid inhalasi
179
- Pelega hanya diberikan jika perlu
Alternatif : - leucotrien muclifiers (berikan pada orang yang terutama tidak bisa memakai
inhalasi, seperti rhinitis alergika dominan)
- teofilin lepas lambat (terutama pada pasien asma malam/nocturnal asma)
3. Tahap 3
Kapan pasien diberikan pengobatan tahap 3?
Jika pasien dalam tahap 2 selama + 12 minggu dan belum terkontrol
- Pasien dengan gejala sering, dengan atau tanpa pengobatan kortikosteroid inhalis.
- Berikan pengontrol kombinasi : LABA CS = kombinasi kortikosteroid dosis rendah + agonis
beta-2 kerja lama (LABA)
- Alternatif pengontrol lain : - kortiku steroid inhalusi (ILS) dosis sedang diberikan mll IDT
dengan spacer untuk meningkatkan pengantaran obat kesal napas
# Jika dalam pengobatan tahap 3 dan pasien belum terkontrol rujuk ke dokter Spesialis
4. Tahap 4
Kapan pasien diberikan pengobatan tahap 4?
- Pengontrol kombinasi inhalasi kortikosteroid (ICS) dosis tinggi/sedang + agonis beta-2 kerja
lama (LABASC)
- Dapat ditambah dengan = antileukotrien inhalasi
- Alternatif : kombinasi inhalasi kortikosteroid dosis rendah dan teofilin lepas lambat
5. Tahap 5
Kapan pasien diberikan pengobatan tahap 5?
Belum terkontrol
Jika pada tahap 4
Sering eksaserbasi
- LABCS dg ICS dosis tinggi dan kombinasi pengontrol lain (sesuai tahap 4)
- Dapat ditambah = kortikosteroid oral dosis rendah / anti Ig
180
# Setelah diberikan obat sesuai tahapannya
181
D. Mengatasi eksaserbasi akut
Eksaserbasi perburukan asma ditandai sesak napas, batuk mengi, dada terasa berat ,VEP
1. Pasien mengalami eksaserbasi : Nilai berat eksaserbasi
182
pem. AGDA <45 mmHg Sianosis
<45 mmHg mungkin
PaCO2 >45 mmHg
>95% 91 - 95% <90%
SaO1
Tabel : Penilaian awal eksaserbasi akut pada anak balita
Parameter Ringan Berat
Tidak ada Teragitasi, bingung, pusing
Gangguan kesadaran
Kalimat Kata
Bicara dalam ….
<100x/mnt >200x/mnt (0-3 tahun)
Denyut dani
>180x/mnt (4-5 tahan)
Variable Mungkin tidak nyata
Mengi
Tidak ada Kemungkinan ada
Sianosis sentral
≥94% <90%
Oksimetri
E. Terapi medikamentosa
1. Beta adrenergic
Mekanisme kerja: menstimulasi reseptor-reseptor beta adrenergic yang
menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic Amp sehingga timbul relaksasi otot
polos jalan nafas yang menyebab kan terjadinya bronkodilatasi.
Efek lain: menurunkan permeabilitas vascular dan berkurangnya pelepasan
mediator dari sel mast
Reseptor B2 berada di epitel jalan nafas, otot pernafasan, alveoulus
Golongan obat ini terdiri dari dari golongan selektif dan non selektif:
183
B. Golongan B2 agonis selektif
a. Kerja singkat
Salbutamol (Oral 0,1-0,5 mg/kgbb/kali minum tiap 6 jam, Inhalasi
MDI(metered dosis inhaler) 100ug/kali)
Terbutaline oral 0,05 -0,1 mg/kgbb/kali)
OA= cepat (15-30min), 5 min via inhalasi
DOA 3-4 jam
Digunakan pada serangan asma akut
MDI 2-4 semprotan tiap 3-4 jam untuk serangan ringan, serangan
sedang 6-10 semprtotan tiap 1-2 jam, berat lebih dari 10
semprotan
b. Kerja panjang
Prokaterol 1-1,25 mikrogram/kgbb/x
Merupakan bronkodilator kerja panjang (12 jam)
Tidak digunakan untuk serangan akut
Dikombinasikan dengan kortikosteroid
Digunakan pada asma yg timbul pada waktu malam hari sebagai
pencegahan
184
Harus monitor konsentrasi obat di darah, harus dijaga sekitar 10-20mcg/ml agar
tetap memiliki efek terapi
3. Anti kolinergik
Ipratropium bromide 0,1ml/kgbb, nebulisasi tiap 4jam
Farmakodinamik
Bronkodilator
Kurang efektif dibandingkan agonis b2
Penggunaan
Ppok
Tambahan untuk agonis b2 dan steroid untuk serangan asma akut
Pasien yang tidak toleran terhadap aginis b2
Efek samping kekeringan dan rasa tidak enak di mulut
4. Kortikosteroid
Dengan mengurangi inflamasi di jalan nafas mengurangi spasme jalan nafas
Glukokortikoid:
Mekanisme kerja
o Hambatan terhadap phospholipase A2 menurunkan sinstesis
asam arakhidonat dan prostaglandin leukotriene
o Mengurangi jumal sel inflammatory di jalan nafas missal :
makrofah
Cara pemberian
o Oral prednisone dosis 1-2mg//kgbb/hari diberikan 2-3x sehari
selama 3-5 hari
Farmakokinetik
o Memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk mencapai
perbaikan klinis, efek maksimum di capai dalam waktu 12-24 jam
Indikasi
o Terapi inhalasi b2 agonis kerja cepat gagal mencapai perbaikan
o Lini pertama asma sedang pada anak
o Kombinasi dengan b2 agonis
Efek samping
o Sindrom cushing
185
CASE 5
(Left Spontaneous Secondary Pneumothorax)
PENULIS :
1. Bethari Lekso Aji (111 0211 140)
2. M. Eger Pratama (111 0211 051)
3. Arsyani Lizaria (111 0211 012)
4. Ita Masitoh Ardi (111 0211 092)
5. Novia Khairulbaria (111 0211 169)
6. Ignatius Abimanyu Putra (111 0211 080)
A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Pneumothorax
E. Efusi Pleura
F. Emphyema
G. Efusi Pleura Tuberkulosis
H. Emboli Paru
I. Hemothorax dan Efusi Pleura Lainnya
J. Atelektasis
K. Tension Pneumothorax
L. WSD dan Tindakan Operatif Lainnya
186
A. Tutorial Case
Case 5
Respiratory System
Page 1
Datang pasien diantar keluarganya di RS tempat anda bertugas sebagai ko-ass. Anda segera
melakukan anamnesis dan diketahui pasien tersebut bernama Tn. J, 40 tahun. Ia mengeluhkan sesak
napas dan nyeri pada dada kiri atas. Keluhan ini dirasakan sejak 3 jam yang lalu. Sesak napas tidak
disertai dengan napas berbunyi ngik-ngik dan dikuti dengan nyeri dada yang semakin lama semakin
bertambah berat. Keluhan ini timbul saat dia menonton televisi. Dia juga mengeluhkan pusing, batuk
dan badannya terasa lemah.
Keluhan lain seperti dada berdebar-debar, mual, muntah, bengkak pada kedua kaki, disangkal.
Tn. J juga menceritakan, dua bulan yang lalu pasien pernah menderita sesak napas seperti ini.
saat itu, dokter di RS melakukan WSD dan dia kembali bisa bernapas biasa.
Saat ini pasien sedang dalam pengobatan OAT bulan ke-5. Riwayat trauma disangkal oleh Tn. J.
Page 2
Anda pun segera melakukan pemeriksaan dan melaporkan ke dokter jaga IGD.
(Melakukan px.fisik)
Sambil merencanakan untuk pemeriksaan penunjang, anda pun memberikan pasien terapi
oksigen dengan kanul nasal sebanyak 6 L/menit.
Page 4
Sesudah mendapatkan hasil pemeriksaaan penunjang dokter jaga menegakan diagnosis dan
segera memberi terapi awal kepada Tn. J sebelum masuk ruang perawatan.
Terapi Awal : Dilakukan pemasangan WSD
187
B. Overview Case
Tn J, 40 tahun
KU: sesak nafas KT: pusing, RPS: sesak nafas dan RPD: 2 bulan yang lalu pernah
dan nyeri dada batuk, dan nyeri dada kiri atas menderita sesak nafas seperti
kiri atas sejak 3 badan terasa terasa semakin berat ini. Dokter melakukan WSD
jam yang lalu. lemah. tidak disertai nafas dan dia kembali bisa bernafas
berbunyi ngik- ngik, biasa. Saat ini pasien dalam
batuk dan badan pengobatan OAT bulan ke 5.
terasa lemah.
Riwayat trauma disangkal.
Hipotesis:
Px fisik: Px. Penunjang:
Kesadaran CM tampak sesak. Kanul hidung 1) Pneumotoraks
2) Efusi pleura AGD: ph 7,27; PCO2 71,5; PO2 80;
terpasang dengan oksigen 3L/menit.
3) IMA HCO3 30 mEq; BE + 2,8; saturasi O2
Nadi:130x / mnt
4) TB. Paru 90%
TD: 147/75 mmHg 5) Empyema
Suhu: 37,3 6) Pneumonia Pada pemeriksaan rontgent: trakea
RR: 30 x/mnt 7) PPOK dan mediastinum bergeser ke sisi
HEENT: trakea tampak deviasi ke kanan, JVP kanan dan terlihat gambaran
5+2 cm H2O avaskular dan pleural line pada
Toraks: lapangan paru kiri.
Inspeksi: statis dada kiri menonjol,
dinamis dada kiri tampak tertinggal. IC
tidak tampak.
Palpasi: fremitus taktil kiri < kanan, Diagnosis:
IC tidak kuat angkat.
Perkusi: hipersonor pada dada Penumotoraks sinistra spontan
sebelah kiri sekunder
Auskultasi: suara nafas dasar
melemah pada dada kiri
BJ 1-2 murni- reguler
Abdomen & ekstremitas normal
Penatalaksanaa:
188
C. Interpretasi kasus
Hipotesis diambil:
1) Penumotorax (rongga pleura berisi udara)
Karena berdasarkan anamesa terdapat tanda pneumotorax diantaranya sesak nafas,
nyeri dada. Kemudian diperkuat oleh riwayat TB paru, karena salah satu penyebab
pnumotoraks adalah infeksi paru. Dan di perkuat lagi dengan riwayat pemasangan WSD
karena salah satu indikasi dilakukan WSD adalah pneumotorax.
2) Efusi pleura (rongga pleura beris cairan berlebih)
Karena berdasarkan anamesa terdapat tanda efusi pleura diantaranya sesak nafas, nyeri
dada. Di tambah riwayat TB paru, karena salah satu penyebab efusi pleura adalah infeksi
paru. Di perkuat oleh riwayat pemasangan WSD karena salah satu dari indikasi
pemasangan WSD adalah efusi pleura.
3) IMA (Infark Miokard Akut)
Karena terdapat sesak nafas dan nyeri dada pada pasien sebagai tanda IMA, untuk
penapisan dilakukan pemeriksaan jantung.
4) TB paru
Karena berdasarkan anamesa terdapat riwayat penyakit TB paru dan sedang mengalami
pengobatan OAT, mungkin penyakit TB paru masih aktif dalam pasien sehingga
menimbulkan gejala sesak dan nyeri dada.
5) Empyema (perdangan supurasi/ terdapat abses pada rongga pleura)
Diambil karena terdapat sesak dan nyeri dada yg merupakan tanda dari emyema.
Diperkuat oleh riwayat infeksi paru yang berupa TB yang menjadi salah satu faktor
predisposisi empyema. Terdapat juga riwayat pemasangan WSD, karena salah satu dari
indikasi pemasangan WSD adalah emyema.
6) Pneumonia (infeksi parenkim paru)
Diambil karena terdapat 2 dari trias pneumonia yaitu nyeri dada dan sesak, namun
belum terlihat tanda infeksi. Untuk memperkuat dilakukan pemeriksaan fisik dan
penunjang.
189
7) PPOK (penyakit paru obstruktif kronik)
Diambil karena terdapat riwayat batuk, dan pula sesak nafas. Batuk tersendiri
merupakan gejala utama dari PPOK. Untuk penapisan dapat dilihat dari gambran
rontgent.
Pemeriksaan Fisik
Nadi dan tekanan darah sistol meningkat menunjukan kompensasi tubuh untuk suply
oksigen jaringan yang tidak adekuat asalnya.
Respiration rate meningkat menunjukan terjadinya peningkatan PCO2 pada paru dan
darah akibat gangguan ventilasi pada paru.
Suhu tubuh normal (melemahkan pneumonia dan empyema, biasanya pneumonia dan
empyema disertai demam)
HEENT: tampak deviasi ke kanan.
Menunjukan adanya tekanan yang kuat pada paru kiri, biasanya terdapat pada keadaan
paru yang kolaps akibat pneumotoraks, efusi pleura, dan emyema. (menguatkan
pneumotorax, efusi pleura, dan emyema)
Toraks:
Inspeksi: statis dada kiri menonjol, dinamis dada kiri tertinggal
Palpasi: fremitus taktil kiri < kanan
Perkusi: hipersonor pada dada kiri, batas jantung bergeser ke kanan. (menguatkan
pneumotoraks dan PPOK karena terdengar hipersonor yg menunjukan akumulasi udara
pada ruang paru. Melemahkan pneumonia, efusi pleura dan empyema yang biasanya
redup bahkan pekak karena akumulasi cairan)
BJ 1- 2 murni – reguler (melemahkan IMA yang biasanya terdengar kelainan pada bunyi
jantung akibat penyakit jantung)
190
Pemeriksaan Penunjang
191
Patofisiologi Kasus
Terlihat
pleural line Dyspneu Nyeri kepala
Terbentuk bula pada alveolus
yg robek
RR Hipertensi Nadi
Masuknya udara ke rongga pleura meningkat sistolik meningkat
192
D. Pneumothorax (Pneumotoraks)
Definisi
1
a. Adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura
b. Pneumotoraks didefinisikan sebagai akumulasi udara di rongga pleura dengan kolaps
sekunder dari paru sekitarnya.
“A pneumothorax is defined as the accumulation of air in the pleural space with secondary
collapse of the surrounding lung.”2
Etiologi
1. Trauma
2. Masuknya udara dengan perantara jarum, kateter, atau insisi melewati dinding dada
dan masuk ke cavitas pleura.
3. Rusaknya pleura visceral, seperti bleb, kista, atau bulla yang pecah dan menyebabkan
udara masuk ke rongga pleura.
4. Infeksi paru, seperti pneumonia ataupun tuberkulosis. Terutama terjadi pada
penederita penyakit imunodefisiensi
Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya
i. Pneumotoraks spontan:
1. Primer: Pneumotoraks yang terjadi tanpa ada peristiwa pencetus pada orang
tanpa bukti klinis menderita penyakit paru.3
2. Sekunder: Pneumotoraks yang terjadi sebagai komplikasi dari penyakit paru
penyerta (underlying lung disease).4
1
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 2.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
3
Ibid.
4
Ibid.
193
b. Pneumotoraks Traumatik: Pneumotoraks yang terjadi sebagai hasil dari trauma
tumpul atau tajam yang mengenai paru, bronkus, atau esofagus.5
c. Pneumotoraks Iatrogenik: Merupakan subkategori dari pneumotoraks traumatik.
Pneumotoraks yang terjadi sebagai konsekuensi dari manuver diagnostik atau
terapeutik. Contohnya adalah torasentesis, insersi kateter vena sentral, atau ventilasi
mekanik.6
5
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4th Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
6
Ibid.
194
Gambar 1 Ilustrasi pneumotoraks
Keterangan Gambar:
• Einatmung:Inspirasi
• Ausatmung: Ekspirasi
• Offener Pneumothorax: Pneumotoraks terbuka
• Geschlossener Pneumothorax: Pneumotoraks tertutup
• Spannungspneumothorax: Tension Pneumothorax
195
Oksigen diabsorbsi 62 kali lebih cepat dari nitrogen. Karbon dioksida diabsorbsi 23 kali
lebih cepat daripada oksigen. Sedangkan, nitrogen adalah gas yang paling lama untuk
direabsorbsi.
a. Area kontak antara udara pleura dan pleura.
“The area of contact between the pleural gas and pleura.”
b. Permeabilitas permukaan pleura (contohnya adalah pleura yang menebal, fibrotik
akan daya absorbsinya kurang daripada pleura normal.
“The permeability of the pleural surface (i.e., a thickened, fibrotic pleura will absorb
less than normal pleura).” 7
Bila terdapat gas di rongga pleura maka tekanannya berada di bawah tekanan atmosfer
yaitu sekitar 755-758 mmHg. Sedangkan, tekanan gas pada darah vena sebagai berikut: PO2 =
40 mmHg, PCO2 = 46 mmHg, PN2 = 573 mmHg, and PH2O = 47 mmHg. Maka, tekanan gas total
dalam darah vena adalah 706 mmHg, kira-kira 50 mmHg di bawah tekanan rongga pleura.8
Sehingga terdapat gradien tekanan menyebabkan udara di rongga pleura dapat diserap oleh
darah vena hingga terjadi keseimbangan.
Waktu yang diperlukan untuk mengabsorbsi semua gas di pneumotoraks cukup bervariasi.
Diperkirakan 1-6% dari pneumotoraks diabsorbsi dalam 24 jam.9
Epidemiologi
Pneumotoraks Spontan Primer
Pada umumnya, terjadi pada pria muda berumur antara 20-40 tahun. Walaupun wanita
memiliki insiden yang jauh lebih rendah, mereka cenderung mengalaminya 2-5 tahun lebih awal
daripada wanita. Pasien berumur 40 tahun ke atas jarang mengalami episode primer/episode
awal terjadinya PSP.10
Pasien yang datang cenderung tinggi, kurus, dan punya riwayat merokok. Menurut studi
dari Melton dan teman-temannya, PSP cenderung meningkat bersamaan dengan tingginya
badan.11
Merokok tembakau secara signifikan meningkatkan risiko pneumotoraks spontan. Pada
satu studi ditemukan bahwa hal ini berhubungan dengan meningkatnya risiko 9 kali lipat untuk
mengalami serangan PSP pertama. Risiko relatif PSP bergantung pada kuantitas rokok yang
dihisap per haru dan lamanya pajanan, risiko relatif meningkat lebih dari 20 kali pada pria yang
7 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
8 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
9
Fishman, Alfred P. et. al. op. cit.
10
Ibid.
11 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
196
merokok setengah bungkus per hari dan 100 kali lebih tinggi pada pria yang merokok satu
bungkus per hari dibandingkan dengan pria bukan perokok. Risiko seumur hidup pada pria
merokok yang sehat sebanyak 12% sedangkan untuk pria bukan perokok yang sehat sebanyak
0,1%.12
Insiden PSS mirip dengan PSP. Umumnya, pasien PSP berusia 15-20 tahun lebih tua
daripada pasien PSP.13 Umumnya terjadi pada pasien 60-65 tahun. Insidens 6,3 kasus/100.000
orang per tahun untuk pria sedangkan untuk wanita insiden 2 kasus/100.000 orang per tahun.
Rasio pria: wanita = 3,2:1. Penyebab yang umum adalah COPD.
Pneumotoraks Traumatik
Antara tahun 1950 dan 1974, ada 318 kasus pneumotoraks di Olmsted County,
Minnesota. Trauma sebagai penyebab pada 177 kasus (56 persen), 102 di antaranya
iatrogenik.14
Kasus pneumotoraks akibat aspirasi jarum transtoraks berkisar antara 20-40 persen,
diikuti oleh kateterisasi vena sentral dengan kisaran antara 2-12 persen, sedangkan yang paling
rendah insidennya adalah akibat torasentesis yaitu sekitar 5 persen. Ventilasi mekanik
merupakan sumber tersering dan berpotensi menimbulkan kematian dalam terjadinya
pneumotoraks iatrogenik. Insiden total antara 4-15 persen dan semakin tinggi pada pasien
penderita pneumonia aspirasi.
Gambaran Klinis
Gejala:
o Nyeri dada pleuritik yang akut dan terlokalisir di bagian yang sakit.
o Dispneu.
12
Ibid.
13
Ibid.
14
Ibid.
197
Tanda Fisik:
o Suara napas asimetris antara paru kiri dengan paru kanan atau berkurang.
o Hipersonor.
Keluhan seperti batuk, hemoptisis dan ortopneu adalah manifestasi yang jarang terjadi.
Pada pneumotoraks spontan, biasanya terjadi saat istirahat dan kurang dari 10% yang terjadi
saat aktivitas berat.
Pada pneumotoraks spontan primer, ada dispneu dan nyeri dada yang kurang menonjol
untuk 24 jam pertama sehingga hampir separuh pasien baru mencari pengobatan setelah 2 hari
dan 18% pasien mencari pengobatan setelah lebih dari seminggu.
Pada pneumotoraks spontan sekunder, psasien mengalami gejala yang lebih berat
daripada pasien PSP, dan derajat dispneu tidak sesuai dengan ukuran pneumotoraks.
• Pada pemeriksaan dada, sisi yang terkena lebih besar dan geraknya lebih lambat saat
respirasi. Bila diperkusi akan terdengar hipersonor. Suara napas tidak terdengar atau
berkurang pada sisi yang sakit.
• Pneumotoraks yang kecil (<20 persen) biasanya tidak terdeteksi pemeriksaan fisik.
15 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
16 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
17
Ibid.
198
• Pada pasien penyakit paru obstruktif, pneumotoraks yang ukurannya besar sekalipun
akan sulit dideteksi karena penyakit paru obstruktif itu sendiri sudah memiliki tanda
fisik seperti penumotoraks yaitu suara napas yang melemah dan hipersonor.18
18
Ibid.
19
Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 2.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
199
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik , serta dikonfirmasi
dengan foto toraks. Karakteristik pneumotoraks adalah terdapatnya pleural line. Pleural line
merupakan sebuah garis lengkungan manifestasi radiografik dari batas paru/pleura visceral
yang terpisah dari dinding dada. Di antara dinding dada dengan pleura visceral itu akan tampak
rongga pleura sebagai gambaran lusen tanpa ada tanda vaskular normal paru yang terlihat. Bila
pneumotoraks kecil, maka pemisahan plaura visceral dan parietal akan terlihat di bagian atas
film tepat di apex dimana udara pertama kali terakumulasi. Bila ukurannya besar, maka volume
paru akan berkurang secara signifikan dan densitasnya akan lebih besar daripada biasanya.
Bila terjadi hydropneumothorax, dimana udara dan cairan ada di rongga pleura, maka cairan
tersebut tidak lagi membentuk meniskus atau cekungan seperti yang biasa terlihat pada efusi
pleura melainkan turun searah gravitasi dan berbatas tegas dengan udara/ air-fluid level. Batas
cairan lurus tegak. Warna cairan terlihat opak. Sedangkan, udara tampak lusen Bila terjadi
tension pneumothorax, maka dapat dilihat terjadinya pergeseran mediastinum ke arah yang
sehat serta ditemui deviasi trakea.21
20 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
21
Ibid.
200
Gambar 3 Gambar radiografik dari hydropneumothorax kanan. 22
22
Ibid.
23 th
Weinberger, Steven E. et. al. 2008. Principles of Pulmonary Medicine 5 Edition. Philadelphia:
Saunders, an imprint of Elsevier, Inc.
201
Diagnosis Banding
1. Emfisema
2. Infark jantung
3. Infark paru
4. Efusi pleura
5. Pleuritis
6. Emboli paru
7. Edema paru
8. Gagal jantung kongestif
9. tamponade jantung
24 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
202
Gambar 5 Cara menghitung ukuran pneumotoraks.
Terapi
Prinsip terapi pneumotoraks adalah mengevakuasi udara dari rongga pleura, menutup
kebocoran, dan mencegah atau mengurangi risiko terjadinya penumotoraks. Pemilihan terapi
berdasarkan banyak faktor, seperti satatus klinis pasien, penyebab pneumotoraks, bukti
penyakit paru yang mendasari, riwayat pneumotoraks terdahulu, risiko rekurensi, pengalaman
dan teknik yang dipilih dokter, serta pilihan terapi spesifik yang tersedia.
Kategori utama terapi sebagai berikut:
Observasi
Observasi dilakukan bila ada bukti bahwa kebocoran sudah tertutup atau tidak ada
progresi dari pneumotoraks dengan cara melakukan foto toraks secara serial dalam waktu 24
jam pertama. Manajemen ini dilakukan untuk pasien asimptomatik dengan pneumotoraks kecil
(<20%) unilateral.
Manajemen ini berisiko karena komplikasi dapat terjadi secara cepat. Pada sebuah studi
mengenai observasi, dilaporkan 5% kematian akibat perkembangan kebocoran pleura yang
tidak diketahui menjadi tension pneumothorax.
Selama observasi kita bisa memberikan oksigen 100% dengan harapan mempercepat
laju absorpsi udara pleura. Gas yang ada di rongga pleura sama komposisinya dengan udara
atmosfer. Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa kandungan nitrogen di udara
sebenarnya adalah yang paling banyak, sedangkan nitrogen sulit untuk diabsorbsi. Maka itu,
diharapkan dengan menambah kandungan oksigen maka kandungan gas di dalam rongga
203
toraks disusun sebagian besar oleh oksigen dan tidak mengandung nitrogen. Pneumotoraks
diserap lebih cepat karena 2 alasan: pneumotoraks diisi oleh oksigen yang lebih mudah larut,
dan gradien tekanan antara pneumotoraks dan darah vena lebih besar, karena oksigen 100%
membilas nitrogen dari alveoli dan darah vena. Bergantung pada keadaan dan tingkat
komplians pasien, follow-up lanjutan bisa dilakukan dengan cara rawat jalan.
Aspirasi
Pada pasien dengan pneumotoraks besar (>20%) maka dilakukan tindakan aspirasi.
Tindakan aspirasi ada dua macam yaitu:
Aspirasi Sederhana25
Prosedurnya dengan memasukkan kateter plastik 16G atau 18G (gauge) dengan teknik
steril yang sebelumnya pasien dianestesi lokal terlebih dahulu. Titik rekomendasi utuk insersi
adalah di ICS 2 garis midclavicula. Kateter kemudian dihubungkan dengan three-way stopcock
dan sebuah syringe bervolume besar. Aspirasi dilakukan hingga tidak ada gas tersisa. Foto
toraks sebagai follow-up dilakukan. Bila percobaan pertama tidak berhasil maka lakukan
percobaan aspirasi kedua. Bila percobaan aspirasi kedua tidak berhasil atau volume yang
diaspirasi banyak tapi tidak ada resolusi, maka tube thoracostomy harus dilakukan.
25 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
26 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
204
Selang itu kemudian dihubungkan dengan sistem drainase pleura yang terdiri dari 3
ruangan. Ruangan pertama merupakan ruangan untuk mengumpulkan cairan. Ruangan ini
terhubung dengan ruangan waterseal yang mampu mengalirkan udara keluar dari rongga
pleura, tapi dalam satu arah. Hubungan terakhir dengan botol manometer, yang meregulasi
derajat penghisapan yang digunakan sistem.
Setelah pemasangan tube thoracostomy, perawatan harus dilakukan karena potensi
edema paru pasca ekspansi. Setelah sebagian besar pneumotoraks dievakuasi, penghisapan
diterapkan untuk 24 jam ke depan. Jika ada kebocoran udara, dibuktikan dengan keluarnya
udara secara kontinyu atau intermiten melalui water seal chamber, penghisapan
dipertahankan. Bila tidak ada bukti kebocoran udara, selang dapat dipasang ke underwater seal.
Setelah periode observasi tambahan 12-24 jam, chest tube dapat dilepas jika
pneumotoraks tidak terjadi lagi. Tube thoracostomy sendiri akan menghasilkan penutupan
kebocoran udara pada kebanyakan kasus dengan evakuasi sempurna rongga pleura dan aposisi
pleura visceral dengan pleura parietal. Kebocoran udara yang persisten >72 jam umumnya
menandakan bahwa kebocoran itu tidak bisa menutup dengan regimen ini dan segera
pertimbangkan terapi yang lebih agresif, biasanya bedah dengan atau tanpa pleurodesis.
Banyak perdebatan mengenai aspirasi sederhana dengan insersi chest tube. Menurut
British Thoracic Society, aspirasi sederhana merupakan lini pertama terapi penumotoraks untuk
semua pasien dengan episode pertama pneumotoraks spontan. Hal ini berbeda dengan
pendapat dari American College of Chest Physicians Delphi Consensus Statement yang
menggambarkan sifat kontroversial dari terapi jenis ini. Sebuah percobaan acak terkontrol
membuktikan aspirasi sederhana bermanfaat karena waktu hospitalisasi yang lebih singkat dan
tidak ada perbedaan signifikan tingkat rekurensi selama setahun. Pada studi ini, 66% pasien
sembuh. Pasien dengan pneumotoraks spontan sekunder atau rekurens umumnya tidak
memiliki hasil yang baik bila diterapi dengan aspirasi sederhana.
205
Gambar 7 Alat untuk water sealed drainage.
Bedah
Indikasi terapi bedah:
Bila tindakan non invasif gagal
Pneumotoraks persisten atau rekurens
Bila gambaran awal pasien menunjukkan faktor-faktor yang
diperkirakan akan meningkatkan risiko rekurensi kemudian hari.
Untuk menurunkan risiko rekurensi.
Pasien dengan gaya hidup yang berisiko tinggi, seperti pilot atau
penyelam, aau pasien yang tidak punya akses segera ke pusat
kesehatan
Pasien dengan pneumotoraks bilateral ataupun tension
pneumotoraks.
Kebocoran udara yang gagal menutup setelah >72 jam
penghisapan dimana kesempatannya kecil untuk menutup
spontan.
Pasien yang pada terapi sebelumnya menghasilkan reekspansi
paru tidak sempurna yang mungkin diakibatkan terjebaknya paru
karena jaringan fibrotik yang mengelupas atau lokulasi
pneumotoraks.
Tindakan bedah yang dapat dilakukan berupa:
206
Torakotomi Terbuka
Torakotomi secara klasik dipercaya sebagai cara paling efektif dan ampuh untuk terapi
pneumototraks. Tingkat rekurensi <2 persen. Dengan cara ini dapat dilakukan pemeriksaan
daerah yang mengalami kebocoran udara, dapat melepaskan jaringan fibrotik yang mengelupas
yang biasanya terbentuk, dan dapat melisiskan adhesi sebelumnya yang menyebabkan lokulasi
pneumotoraks. Kekurangan prosedur adalah rasa tidak nyaman pasca operasi.
Untuk mengurangi rasa tidak nyaman, beberapa variasi dilakukan seperti insisi yang
diperkecil seperti muscle-sparing thorcotomies dan axillary thoracotomy. Pemeriksaan paru,
penutupan kebocoran udara, dan pleurodesis atau pleurektomi masih dpaat dilakukan.
Walau torakoskopi sudah menggantikan torakotomi sebagai terapi bedah
pneumotoraks di berbagai institusi, torakotomi masih menjadi pilihan untuk terapi pada kasus
yang rumit.
207
Dari semua jenis-jenis terapi di atas, ada beberapa guidelines yang harus diperhatikan dalam
penatalaksanaan pneumotoraks, yaitu:
Pneumotoraks Spontan Primer27
Pasien yang pertama kali kena dilihat apakah dia asimptomatik atau dia simptomatik.
Bila asimptomatik atau diperkirakan <20% bisa diobservasi terlebih dahulu dan bila perlu diberi
oksigen 100%. Bila simptomatik atau diperkirakan >20% maka langsung dilakukan aspirasi
sederhana bila tidak berhasil lakukan WSD/tube thoracostomy. Bila berhasil dengan re-ekspansi
paru total dan tidaka da kebocoran udara bisa dipertimbangkan untuk pleurodesis dengan talc
atau doksiklin untuk mengurangi rekurensi tapi tindakan ini bukan suatu keharusan. Bila setelah
di WSD masih ada kebocoran > 72 jam maka segera lakukan terapi bedah. Pada pasien yang
sudah pernah kena dan kemudian terjadi rekurensi untuk pertama kalinya harus dilakukan
prosedur bedah bisa dengan torakoskopi atau torakostomi terbuka dan pleurodesis kimia.
27 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
208
Pneumotoraks Spontan Sekunder28
o PPOK
Umumnya dilakukan WSD/tube thoracostomy. Bila pasien bukan kandidat yang bagus
untuk operasi (tidak sesuai indikasi) maka dilakukan pleurodesis kimia dengan talc atau
deoksisiklin setelah reekspansi paru total dan tidak ada kebocoran udara.
Bila pasien kandidat yang baik untuk bedah atau ada kebocoran persisten > 72 jam maka
tindakan lebih agresif dilakukan. Terapi rekomendasi seperti torakoskopi, VATS, atau
torakotomi dengan pleurodesis mekanik atau kimia, pleurektomi, serta stapling resection.
o Fibrosis Kistik
Dilakukan terapi bedah dimana hasilnya lebih baik dan episode rekurensi serta
komplikasi lebih jarang. Perlu juga dilakukan pleurodesis sebagai tambahan penutupan
kebocoran udara selain dengan cara bedah.
o AIDS
WSD merupakan pilihan utama terapi insial. Karena tingginya kegagalan terapi primer
dan sekunder, maka pasien tanpa kebocoran udara dengan reekspansi paru total harus
dilakukan pleurodesis dengan talc.
o Kondisi Lainnya
Pasien dengan pneumotoraks iatrogenik diterapi dengan observasi atau aspirasi sesuai
dengan guidelines yang sudah dipaparkan sebelumnya. Pasien pneumotoraks akibat trauma
harus dilakukan WSD karena berhubungan dengan hemotoraks dan tingkat keselamatan
menurun karena adanya cedera lain. Pasien dengan pneumotoraks bilateral atau tension
pneumothorax harus dilakukan tube thoracostomy. Terapi lanjutan dengan pleurodesis kimia
ataupun bedah bergantung pada patologi paru yang mendasari.
Komplikasi
1. Edema paru
2. Fistula bronkopleura
3. Tension pneumothorax
28 th
Fishman, Alfred P. et. al. 2008. Fishman’s Pulmonary Diseases and Disorders 4 Edition. New York:
The McGraw-Hills Companies, Inc.
209
Patofisiologi
Ventilasi berkurang
Deviasi trakea mempersempit
ruang jantung dan
meninkatkan tekanan
Perfusi O2 ke jaringan Sesak napas Perfusi O2 ke otak ↓ di dalam jantung
berkurang sedangkan
jaringan terus
bermetabolisme Pusing Venous return ↓
Aktivasi saraf
menghasilkan CO2
simpatis
Hipotensi
TD ↑ Nadi ↑
PaCO2 ↑ RR ↑
Asidosis respiratorik
210
E. Efusi Pleura
Definisi :
Definisi lainnya:
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan
visceralis dan parietal. Biasanya merupakan penyakit sekunder terhadap penyakit lain.
Etiologi :
Sehingga, effusi pleura dapat terjadi ketika terjadi salah satu atau dua kejadian dibawah ini :
1. Pembentukkan cairan berlebih (dari rongga interstitial paru, pleura parietalatau rongga
peritoneal)
2. Penurunan absorbsi limfatik.
Etiologi lainnya
1. Hambatan reabsorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan seperti pada
dekompensasi gagal jantung.
3. Penyebab lain: pembedahan jantung, cadera di dada, obat- obatan, pemasangan selang
untuk makan / IV yg kurang baik.
Klasifikasi
1. Efusi transudat: Terjadi bila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan
osmotik koloid terganggu sehingga terbentuknya cairan akan melebihi reabsorbsinya.
Biasanya terjadi akibat komplikasi dari gagal jantung, dan hipertensi pulmonal pada
gagal jantung.
211
2. Efusi eksudat: Terjadi bila proses peradangan menyebabkan permeabilitas kapiler dan
pembuluh darah pleura meningkat.
• Nyeri: akibat akumulasi cairan intrapleural menekan saraf parenkim paru. Biasanya nyeri
pada efusi pleura berhubungan dengan bernafas.
• Dyspneu: akibat akumulasi cairan intrapleural yang menekan parenkim paru sehingga
kemampuan ekspansi paru berkurang, difusi oksigen berkurang dan dengan mekanisme
kompensasi pernafasan permenit meningkat.
• Adanya gejala penyakit penyebab: gejala pneumonia (demam, batuk, nyeri dada), TB
(demam, berkeringat malam, batuk).
• Fremitus melemah, pada perkusi ditemui redup sampai pekak, pada auskultasi didapati
vesikuler melemah dengan ronki basah.
212
Pemeriksaan diagnostik
213
Penatalaksanaan
3. Bila penyebab dasar sudah diketahui maka lakukan pengobatan sesuai etiologi.
4. WSD bila terjadi efusi berulang selang beberapa hari setelah torakosentesis.
214
Dilakuan aspirasi dengan jarum yang besar dan terhubung dengan pipa dan tabung untuk
menyalurkan dan menampung cairan pleura pada efusi pleura. Dilakukan di regio aksilaris
posterior atau anterior (bergantung akumulasi cairan), dengan posisi pasien duduk.
Setelah cairan keluar, dilakukan pleurodesis dengan tujuan mencegah efusi berlanjut dengan
mekanisme obliterasi plura viserali dan parietalis sehingga saling menempel. Digunakan
tetrasiklin 500mg dilarutkan dalam 20cc Nacl, dimasukan dalam pleura, di tunggu dalam 6 jam.
Kemudian cairan di keluarkan lagi dengan traceosentesis.
215
F. Empyema
Definisi :
Etiologi :
Tersering oleh karena perluasan langsung dari infeksi parenkim paru ke rongga pleura
(>50%)
20% dari post-operasi
Trauma tajam atau tumpul
Terkadang bakteri dari infeksi abdomen (contoh : abses subdiafragmatik) melewati
diafragma dan masuk ke rongga pleura
Jarang, dari komplikasi thorakosentesis atau biopsi pleura
60-70% pasien dengan empyema memiliki penyakit yang mendasarinya, COPD dan
neoplasmaditemukan pada 1/3 pasien
Penyakit lain yang berhubungan antara lain :
o Alcoholism
o Diabetes
o esophageal disease
o disorders of the central nervous system that lead to aspiration of oropharyngeal
contents.
Patogenesis :
Pembentukkan empyema dapat dibedakan menjadi 3 fase :
1. fase eksudatif : cairan efusi kaya akan protein tetapi masih belum kental, sel neutrofil
meningkat tetapi kadar glukosa dan Ph masih normal
2. fase fibrinolitik : cairan pleura bertambah kental, dijumpai banyak fibroblas, kada
glukosa dan pH menurun
3. fase perlengketan (organizing) : terjadi perlengketan sehingga cairan pleura (pus)
terperangkap (loculated pus).
Gejala :
Gejala empyema non-spesifik
Berkaitan dengan gejala pneumonia : demam, keringat berlebih, nafsu makan menurun,
malaise, batuk, dyspnea dan nyeri pada daerah yang terkena.
80% pasien mengalami sesak napas dan demam
70% mengalami batuk atau nyeri dada.
216
Tetapi. Beberapa pasien memperlihatkan gejala klonstitusional seperti : penurunan berat
badan, fatig, malaise.
Gejala klinis
1. Stadium akut: demam tinggi, nyeri pluritik, terdapat tanda cairan dlm pleura. Bila nanah
tidak dikeluarkan akan timbul fistel bronkopleura/ empiema nasesitasis.
2. Stadium kronis: proses berlangsung lebih dari 3 bulan. Badan tampak kurus, lemah,
pucat, jari tabuh, dada datar sampai mencekung di bagian yang sakit. Dapat timbul
fibrotoraks.
• Batuk produktif
Radiologi
217
Diagnostik pasti
Didapat nanah yang berasal dari rongga pleura melalui aspirasi, drainase, dll. Dari nanah
tersebut dicari kuman penyebab dan untuk menentukan jenis serta kepekaan terhadap
antibiotik.
218
Analisa cairan berdasarkan sel radang:
Diagnosis banding
Efusi pleura: biasanya cairan jernih atau kuning kehijauan dan tingkat konsistensi mukopurulen
Penatalaksanaan
1. Pada tingkat eksudatif atau efusi pleura parapneumonik pemberian Antibiotik saja
dapat memberi penyembuhan.
2. Jika pemberian antibiotik tidak memberi hasil segera drainase pus dengan
torakosentesis atau WSD pembilasan rongga pleura melalui irigasi dengan cairan
garam fisiologis jika belum menolong torakoskopi atau torakotomi.
Prognosis
Angka kematian meningkat pada usia tua / penyakit dasar yg berat dan karena terlambat
pemberian pengobatan.
G. EFUSI TUBERKULOSIS
Pleuritis dengan efusi biasanya merupakan komplikasi dini TB primer
Epidemiologi
219
Jenis
etiologi
dapat teradi baik karena penyebaran perkontinuitatum dari inflamasi parenkim, pleurisy yang
menyertai penyakit post-primer, atau penetrasi basil tuberkel ke rongga pleura.
Patogenesis
Terbentuk sebagai reaksi Hipersensitivitas tipe lambat antigen kuman TB didalam rongga
pleura.
Pecahnya fokus subpleura, aliran getah bening, robeknya perkijuan kearah saluran KGB yang
menuju rongga pleura, hematogen
gejala klinis
- demam akut
- batuk nonproduktif
- nyeri dada
- penurunan BB
- malaise
- menggigil
- sebagian besar bersifat unilateral, agak lebih sering disisi kanan
220
Patogenesis
Diagnosis
Adanya kuman TB dalam cairan efusi (biakan) atau dengan biopsi jaringan pleura
Pengobatan
Dengan OAT dosis dan cara pemberian seperti pengobatan TB paru. Pengobatan menyebabkan
cairan efusi dapat diserap kembali, tetapi untuk menghilangkan eksudat dalam waktu cepat
dapat dilakukan torakosentesis. Umumnya cairan dapat diresolusi secara sempurna, tapi
kadang-kadang dapat diberi kortikostreoid sistemil (prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu
kemudian dosis diturunkan perlahan).
221
H. EMBOLI PARU
Definisi
Peristiwa infark jaringan paru akibat tersumbatnya pembuluh darah narteri pulmonalis oleh
peristiwa emboli.
Etiologi
Penyebab utama emboli paru adalah tromboemboli vena (venous troboembolism), namun
penyebab lain dapat berupa emboli udara, emboli lemak, cairan tumor, fragmen tumor dan
sepsis.
Diagnosis
Gambaran klinis
- Dyspneu berat
- Sinkop
- Sianosis
- Nyeri pleuritik menunjukkan emboli paru kecil dan terletak di arteri pulmonalisdistal,
berdekatan dengan garis pleura
Klasifikasi
222
Nyeri pleuritik, hemoptisis, pleural rub, atau bukti adanya konsolidasi paru, khasnya
berupa emboli perifer yang kecil, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan
5. Emboli paru paradoksikal (paradoxycal embolism)
Emboli sistemik yang tiba-tiba seperti stroke, jarang disertai disfungsi ventrikel kanan
6. Emboli nontrombus (Nontrombotic embolism)
Penyebab tersering berupa udara, lemak, fragmen tumor,atau cairan amnion, jarang
ada disfungsi ventrikel kanan.
Penatalaksanaan
1. Tatalaksana umum :
a. Tirah baring di ruang intensif
b. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit
c. Pemasangan jalur intravena untuk pemberian cairan
d. Pemantauan tekanan darah
2. Tatalaksana khusus :
a. Trombolitik : diindikasikan untuk emboli paru masif dan submasif
Sediaan yang diberikan :
Streptokinase 1,5 juta dalam 1 jam
Rt-PA 100 mg IV dalam 2 jam
Urokinase 4400/kg/jamdalam 12 jam
Dilanjutkan dengan unfractined heparin/ low molecular weight heparin
selama 5 hari
b. Ventilator mekanik diperlukan pada emboli pari masif
c. Heparinisasi sebagai piliha pada emboli paro nonmasif/nonsubmasif
d. Anti inflamasi nonsteroid bila tidak ada komplikasi perdarahan
e. Embolektomi dilakukan bila ada kontraindikasi heparinisasi/ trombolitik pada
emboli paru masif dan submasif
f. Pemasangan folter vena cava dilakukan bila ada perdarahan yang memerlukan
transfusi, emboli paru berulang meskipun telah menggunakan antikoagulan
jangka panjang.
223
Patofisiologi
224
I. Hemothorax dan Efusi Lainnya
Hemothorax adalah kumpulan darah di dalam ruang antara dinding dada dan paru-paru (rongga
pleura). Penyebab paling umum dari hemothorax adalah trauma dada.Trauma misalnya :
Luka tembus paru-paru, jantung, pembuluh darah besar, atau dinding dada.
Trauma tumpul dada kadang-kadang dapat mengakibatkan lecet hemothorax oleh
pembuluh internal.
Diathesis perdarahan seperti penyakit hemoragik bayi baru lahir atau purpura Henoch-Schönlein
dapat menyebabkan spontan hemotoraks. Adenomatoid malformasi kongenital kistik: malformasi
ini kadang-kadang mengalami komplikasi, seperti hemothorax.
Etiologi
1. Traumatik
Trauma tumpul.
Trauma tembus (termasuk iatrogenik)
2. Nontraumatik / spontan
Neoplasma.
komplikasi antikoagulan.
emboli paru dengan infark
robekan adesi pleura yang berhubungan dengan pneumotoraks spontan.
Bullous emphysema.
Nekrosis akibat infeksi.
Tuberculosis.
fistula arteri atau vena pulmonal.
telangiectasia hemoragik herediter.
kelainan vaskular intratoraks nonpulmoner (aneurisma aorta pars thoraxica, aneurisma
arteri mamaria interna).
sekuestrasi intralobar dan ekstralobar.
patologi abdomen ( pancreatic pseudocyst, splenic artery aneurysm, hemoperitoneum).
Catamenial
225
Patofisiologi
Pada trauma tumpul dada, tulang rusuk dapat menyayat jaringan paru-paru atau arteri,
menyebabkan darah berkumpul di ruang pleura. Benda tajam seperti pisau atau peluru
menembus paru-paru. mengakibatkan pecahnya membran serosa yang melapisi atau menutupi
thorax dan paru-paru. Pecahnya membran ini memungkinkan masuknya darah ke dalam rongga
pleura. Setiap sisi toraks dapat menahan 30-40% dari volume darah seseorang.
Perdarahan jaringan interstitium, Pecahnya usus sehingga perdarahan Intra Alveoler, kolaps
terjadi pendarahan. arteri dan kapiler, kapiler kecil , sehingga takanan perifer pembuluh darah
paru naik, aliran darah menurun. Vs :T ,S , N. Hb menurun, anemia, syok hipovalemik, sesak
napas, tahipnea,sianosis, tahikardia. Gejala / tanda klinis
Hemothorak tidak menimbulkan nyeri selain dari luka yang berdarah didinding dada. Luka di
pleura viseralis umumnya juga tidak menimbulkan nyeri. Kadang-kadang anemia dan syok
hipovalemik merupakan keluhan dan gejala yang pertama muncul.
Secara klinis pasien menunjukan distress pernapasan berat, agitasi, sianosis, tahipnea berat,
tahikardia dan peningkatan awal tekanan darah, di ikuti dengan hipotensi sesuai dengan
penurunan curah jantung.
1. Pemeriksaan diagnostik.
2. Sinar X dada : menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleura,
dapat menunjukan penyimpangan struktur mediastinal (jantung).
3. GDA : Variabel tergantung dari derajat fungsi paru yang dipengeruhi, gangguan mekanik
pernapasan dan kemampuan mengkompensasi. PaCO2 kadang-kadang meningkat. PaO2
mungkin normal atau menurun, saturasi oksigen biasanya menurun.
4. Torasentesis : menyatakan darah/cairan serosanguinosa (hemothorak).
5. Hb : mungkin menurun, menunjukan kehilangan darah.
Komplikasi
Perbedaan tekanan yang didirikan di rongga dada oleh gerakan diafragma (otot besar di dasar
toraks) memungkinkan paru-paru untuk memperluas dan kontak. Jika tekanan dalam rongga
dada berubah tiba-tiba, paru-paru bisa kolaps. Setiap cairan yang mengumpul di rongga
226
menempatkan pasien pada risiko infeksi dan mengurangi fungsi paru-paru, atau bahkan
kehancuran (disebut pneumotoraks ).
DERAJAT PERDARAHAN
Pasien biasanya mengalami takipnea dan takikardi, penurunan tekanan darah sistolik,
oliguria, dan perubahan status mental yang signifikan, seperti kebingungan atau agitasi.
Pada pasien tanpa cedera yang lain atau kehilangan cairan, 30-40% adalah jumlah
kehilangan darah yang paling kecil yang menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik.
Sebagian besar pasien ini membutuhkan transfusi darah, tetapi keputusan untuk
pemberian darah seharusnya berdasarkan pada respon awal terhadap cairan.
Prognosis
227
Apabila dibiarkan tidak dirawat, akumulasi darah akan sampai pada titik dimana mulai menekan
mediastinum dan trakea
FAKTOR RESIKO
DIAGNOSIS
Perkusi : redup di bagian basal karena darah mencapai tempat yang paling rendah
Auskultasi : vesikuler
Tachypnea
Pada perkusi redup
Jika kehilangan darah sistemik substansial akan terjadi hipotensi dan takikardia.
Gangguan pernafasan dan tanda awal syok hemoragi.
Selain dari pemeriksaan fisik hemotoraks dapat ditegakkan dengan rontgen toraks akan
didapatkan gambaran sudut costophrenicus menghilang, bahkan pada hemotoraks masif akan
didapatkan gambaran pulmo hilang.
Pemeriksaan penunjang
Biasanya tidak diperlukan untuk pasien hemotoraks traumatik. Diperlukan untuk analisis dari
efusi yang mengandung darah dengan penyebab nontraumatik. Dalam kasus ini, efusi pleura
228
dengan hematokrit lebih dari 50% dari hematokrit sirkulasi mengindikasikan kemungkinan
kemotoraks
Chest X-ray
USG
CT-scan
Diagnosis Banding
1. Tension pnemothorax
2. Massive thorax
3. Cardiac temponade
Penatalaksanaan
1. Resusitasi cairan. Terapi awal hemotoraks adalah dengan penggantian volume darah
yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus
cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pemnberian darah
dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan
dalam penampungan yang cocok untuk autotranfusi bersamaan dengan pemberian
infus dipasang pula chest tube ( WSD ).
2. Pemasangan chest tube ( WSD ) ukuran besar agar darah pada toraks tersebut dapat
cepat keluar sehingga tidak membeku didalam pleura. Hemotoraks akut yang cukup
banyak sehingga terlihat pada foto toraks sebaiknya di terapi dengan chest tube kaliber
besar. Chest tube tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura mengurangi
resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam
memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah / cairan juga memungkinkan
dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik.
WSD adalah suatu sistem drainase yang menggunakan air. Fungsi WSD sendiri adalah
untuk mempertahankan tekanan negatif intrapleural / cavum pleura.
3. Thoracotomy.
a. Jika pada awal hematotoraks sudah keluar 1500ml, kemungkinan besar penderita
tersebut membutuhkan torakotomi segera.
229
b. Pada beberapa penderita pada awalnya darah yang keluar < 1500ml, tetapi perdarahan
tetap berlangsung terus.
c. Bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200cc / jam dalam waktu 2 –
4 jam.
d. Luka tembus toraks di daerah anterior, medial dari garis puting susu atau luka di daerah
posterior, medial dari scapula harus dipertimbangkan kemungkinan diperlukannya
torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus
atau jantung yang potensial menjadi tamponade jantung.
Tranfusi darah diperlukan selam aada indikasi untuk torakotomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan chest tube dan kehilangan darah
selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (
artery / vena ) bukan merupakan indikator yang baik untuk di pakai sebagai dasar dilakukannya
torakotomi.
Torakotomi sayatan yang dapat dilakukan di samping, di bawah lengan (aksilaris torakotomi); di
bagian depan, melalui dada (rata-rata sternotomy); miring dari belakang ke samping
(posterolateral torakotomi); atau di bawah payudara (anterolateral torakotomi) . Dalam
beberapa kasus, dokter dapat membuat sayatan antara tulang rusuk (interkostal disebut
pendekatan) untuk meminimalkan memotong tulang, saraf, dan otot. Sayatan dapat berkisar
dari hanya di bawah 12.7 cm hingga 25 cm.
Efusi Pleura
Efusi Pleura (Fluid in the chest; Pleural fluid) adalah pengumpulan cairan di dalam rongga
pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru
dan rongga dada. Dalam keadaan normal, hanya ditemukan selapis cairan tipis yang
memisahkan kedua lapisan pleura.
Jenis cairan lainnya yang bisa terkumpul di dalam rongga pleura adalah darah, nanah, cairan
seperti susu dan cairan yang mengandung kolesterol tinggi. Hemotoraks (darah di dalam rongga
pleura) biasanya terjadi karena cedera di dada.
230
Darah di dalam rongga pleura tidak membeku secara sempurna, sehingga biasanya mudah
dikeluarkan melelui sebuah jarum atau selang. Empiema (nanah di dalam rongga pleura) bisa
terjadi jika pneumonia atau abses paru menyebar ke dalam rongga pleura.
Kilotoraks (cairan seperti susu di dalam rongga dada) disebabkan oleh suatu cedera pada
saluran getah bening utama di dada (duktus torakikus) atau oleh penyumbatan saluran karena
adanya tumor. Rongga pleura yang terisi cairan dengan kadar kolesterol yang tinggi terjadi
karena efusi pleura menahun yang disebabkan oleh tuberkulosis atau artritis rematoid.
PENYEBAB
Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi permukaan
pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru).
1. Efusi pleura transudativa, biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan
normal di dalam paru-paru.
Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah gagal jantung kongestif.
2. Efusi pleura eksudativa terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali
disebabkan oleh penyakit paru-paru.
Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis
merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.
Gagal jantung
Kadar protein darah yang rendah
Sirosis
Pneumonia
Blastomikosis
Koksidioidomikosis
231
Tuberkulosis
Histoplasmosis
Kriptokokosis
Abses dibawah diafragma
Artritis rematoid
Pankreatitis
Emboli paru
Tumor
Lupus eritematosus sistemik
Pembedahan jantung
Cedera di dada
Obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin,klorpromazin, nitrofurantoin,
bromokriptin, dantrolen, prokarbazin)
Pemasanan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.
GEJALA
Gejala yang paling sering ditemukan (tanpa menghiraukan jenis cairan yang terkumpul ataupun
penyebabnya) adalah sesak nafas dan nyeri dada (biasanya bersifat tajam dan semakin
memburuk jika penderita batuk atau bernafas dalam). Kadang beberapa penderita tidak
menunjukkan gejala sama sekali.
DIAGNOSA
Pada pemeriksaan fisik, dengan bantuan stetoskop akan terdengar adanya penurunan suara
pernafasan.
Rontgen dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk
mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya menunjukkan adanya cairan.
232
CT scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan
adanya pneumonia, abses paru atau tumor
USG dada
USG bisa membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya
sedikit, sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap contoh cairan yang diperoleh melalui torakosentesis
(pengambilan cairan melalui sebuah jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam
rongga dada dibawah pengaruh pembiusan lokal).
Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi,
dimana contoh lapisan pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita, meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh,
penyebab dari efusi pleura tetap tidak dapat ditentukan.
Analisa cairan pleura
Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang
terkumpul.
PENGOBATAN
Jika jumlah cairannya sedikit, mungkin hanya perlu dilakukan pengobatan terhadap
penyebabnya. Jika jumlah cairannnya banyak, sehingga menyebabkan penekanan maupun
sesak nafas, maka perlu dilakukan tindakan drainase (pengeluaran cairan yang terkumpul).
Cairan bisa dialirkan melalui prosedur torakosentesis, dimana sebuah jarum (atau selang)
dimasukkan ke dalam rongga pleura. Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi pada prosedur ini juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah
cairan yang harus dikeluarkan lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding
dada.
Pada empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah. Jika nanahnya sangat
kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka pengaliran nanah lebih sulit
dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus diangkat sehingga bisa dipasang selang yang
lebih besar. Kadang perlu dilakukan pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura
(dekortikasi).
233
Pada tuberkulosis atau koksidioidomikosis diberikan terapi antibiotik jangka panjang.
Pengumpulan cairan karena tumor pada pleura sulit untuk diobati karena cairan cenderung
untuk terbentuk kembali dengan cepat. Pengaliran cairan dan pemberian obat antitumor
kadang mencegah terjadinya pengumpulan cairan lebih lanjut.
Jika pengumpulan cairan terus berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga pleura. Seluruh
cairan dibuang melalui sebuah selang, lalu dimasukkan bahan iritan (misalnya larutan atau
serbuk doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan iritan ini akan menyatukan kedua lapisan
pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang tempat pengumpulan cairan tambahan.
Jika darah memasuki rongga pleura biasanya dikeluarkan melalui sebuah selang. Melalui selang
tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan darah (misalnya
streptokinase dan streptodornase). Jika perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat
dikeluarkan melalui selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan.
Pengobatan untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan saluran getah bening.
Bisa dilakukan pembedahan atau pemberian obat antikanker untuk tumor yang menyumbat
aliran getah bening.
Pleuritis Fungsi
Pleuritis karena fungi amat jarang. Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi dari
jaringan paru. Jeni fungi penyebab pleuritis adalah : aktinomikosis, koksidioimikosis, aspergilus,
kriptokokus, histoplasmolisis, blastomikosis, dll. Patogenesis timbulnya efusi pleura adalah
karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
Penyebaran fungi keprga tubuh lain amat jarang. Pengobatan dengan amfoteresin B
memberikan respons yang baik. Prognosis penyakit ini relatif baik. Jamur paru sering tidak lekas
didiagnosa secara dini. Pasien baru tertegakkan diagnosanya sebagai penderita jamur paru
dalam keadaan sudah lanjut atau terlambat, sehingga pengobatan sering tidak berhasil.
Infeksi jamur paru dapat sebagai infeksi primer maupun sekunder. Timbulnya infeksi sekunder
pada paru disebabkan terdapatnya kelainan atau kerusakan jaringan paru seperti pada TB paru
berupa kavitas, bronkiectasis, destroyed lung dan sebagainya.
Gejala umum infeksi jamur paru sama dengan infeksi mikroba lainnya,
antara lain batuk-batuk, batuk darah, banyak dahak, sesak, demam, nyeri dada
dan bisa juga tanpa gejala.
Oleh karena infeksi jamur paru sering menyertai penyakit lain dan tidak
234
ada gejala yang khas sehingga infeksi jamur paru sering tidak terdiagnosa,
sehingga pengobatan terhadap infeksi jamur paru sering terlambat diberikan.
INFEKSI PARASIT
Parasit yang dapat menginfeksi ke dalam rongga pleura hanyalah amoeba. Efusi pleura karena
parasit ini terjadi karena peradangan yang ditimbulkannya. Selain itu dapat juga terjadi
emfiema karena amoeba yang cairannya berwarna khas merah – coklat. Efusi parapneumonia
karena amoeba dari abses hati lebih sering terjadi daripada emfiema amuba.
Efusi pleura juga sering setelah 48-72 jam pasca operasi abdomen seperti splenektomi. Operasi
terhadap obstruksi intestinal atau pasca orerasi atelektasis. Biasanya terjadi unilateral dan
jumlah efusi tidak banyak. Caiaran biasanya bersifat eksudat dan mengumpul pada sisi operasi,
efusi pleura operasi biasanya bersifat meligma dan kebanyakan akan sembuh secara spontan.
J. Atelektasis
Ateletaksis atau juga dikenal sebagai kolaps adalah berkurangnya volume paru akibat tidak
mamadainya ekspansi rongga udara. Kelainan ini mengakibatkan pengalihan darah yang kurang
teroksigenasi dari arteri ke vena paru sehingga terjadi ketidakseimbangan ventilasi- perfusi
sehingga mengakibatakn hipoksia.
Kalsifikasi
1. Ateletaksis resopsi
Disebut juga ateletaksis absorbsi terjadi jika suatu obstruksi menghambat udara
mencapai jalan nafas sebelah distal. Uadara yang sudah ada dalam alveolus secara
bertahap diserap (di absorbsi) sedikit demi sedikit ke aliran darah segingga kemudian
terjadi kolaps alveolus.
Penyebab ateletaksis absorbsi: obstruksi bronkus oleh sumbatan mukus, penyulita pada
asma bronkialis, bronkiektasis, bronkitis kronik, aspirasi benda asing, dan tumor.
2. Ateletaksis kompresi
Disebut ateletaksis pasif biasanya berkaitan dengan penimbunan cairan, darah, atau
udara dalam rongga pleura, yang secara mekanis menyebabkan paru disekitarnya
kolaps.
Biasanya terjadi pada: efusi pleura, empyema, pneumotoraks.
3. Mikroateletaksis
Ateletaksis akibat berkurangnya ekspansi paru secara generalisata akibat serangkaian
proses dan terpenting adalah hilangnya surfraktan. Mikroateletaksis terdapat dalam
235
sindrom gawat nafas akut paru pada neonatus, serta penyakit parenkim paru yang
berkaitan dengan peradangan interstinum. Dapat juga terjadi pasca bedah.
4. Ateletaksis kontraksi
Biasanya disebut sikatrik, terjadi jika fibrosis total paru / generalisata di paru/ pleura
menghambat ekspansi paru dan meningkatkan recoil elastik sewaktu ekspirasi.
Manifestasi klinis
Dyspneu
Takikardia
Sianosis
Temperature tinggi
Perbedaan gerak dinding toraks, gerak sela iga, dan diafragma
Pada perkusi, batas jantung bergeser, letak diafragma meninggi
Pemeriksaan diagnostik
Gambaran radiologis terlihat pergeseran trakea, diafragma tertarik, batas jantung bergeser,
tampak paru terkena menjadi lebih opak.
Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan adalah mengeluarkan dahak dari paru dan kembali mengembangkan
paru yang terkena. Tindakan yang bisa dilakukan adalah:
Berbaring pada sisi paru yang sehat, sehingga paru terkena kembali bisa mengembang.
Menghilangkan penyumbatan, baik melalui bronkoskopi maupun prosedur lainnya.
Latihan menarik nafas dalam.
Postural drainase.
Antibiotik untuk semua infeksi.
Jika ada tumor, lakukan penatalaksanaan sesuai.
236
K. TENSION PNEUMOTHORAX
Tension Pneumothorax adalah pengumpulan udara
atau gas dalam rongga pleura dengan tekanan dalam
rongga pleura yang lebih tinggi daripada tekanan
atmosfer. Terjadi ketika udara masuk dengan tekanan
positif seperti pada pemberian Ventilasi Tekanan
Positif atau efek katup satu arah (memungkinkan udara
memasuki celah pleural namun tidak dapat keluar
kembali). Tekanan positif di dalam rongga pleura terse-
but menggeser mediastinum ke arah berlawanan
sehingga mengganggu respirasi.
237
Prosedur melakukan needle thoracostomy pada pasien tension pneumothorax adalah sebagai
berikut:
- Gunakan kanul dengan spuit ukuran besar 14-16G
- Lakukan terlebih dahulu tindakan asepsis dengan cairan antiseptic di lokasi pungsi yaitu ICS II
(dekat atas tulang costae III) di linea clavicularis media.
- Lakukan pungsi pada sampai memasuki celah pleural atau terdapat udara yang keluar.
- Jika udara sudah berhasil keluar tarik jarum perlahan dan biarkan kanul terbuka ke udara
sampai udara di dalam rongga dada keluar.
- Prinsip penatalaksanaan adalah meringankan penderita dari keadaan tension pneumothorax
menjadi keadaan pneumothorax biasa.
- Setelah itu lakukanlah prosedur thoracostomy dengan tabung seperti penatalaksanaan pada
pneumothorax.
238
Trauma tusuk/trauma tumpul Riwayat pneumothorax
↓ ↓
Efek katup satu arah pada pleura Tidak tertatalaksanan dengan baik
↓
Udara terperangkap pada celah pleural
TENSION PNEUMOTHORAX
↓
Celah pleural dipenuhi oleh udara
trakea
Venous return ↓ Menekan reseptor nyeri
- Depresi
↓ paru ↓
Gangguan pernapasan TD ↓ JVP ↑
↓
Dyspneu
↓
Hipoksia
↓
Sianosis
Tujuan
1. Mengeluarkan cairan / udara dari rongga pleura dan rongga toraks.
2. Mengembalikan tekanan negatif rongga pleura.
3. Mengembalikan kembali paru yang kolaps.
4. Mencagah refluks drainase kembali ke dalam rongga dada.
239
Tempat pemasangan WSD
a. Bagian apeks (anterolateral ICS 1-2) untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura.
b. Bagian basal (posterolateral ICS 8-9) untuk mengeluarkan cairan dari rongga pleura.
Indikasi
• Hemotoraks, efusi pleura
• Pneumotoraks ( > 25 % )
• Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
• Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator
Kontraindikasi pemasangan
Pemasangan WSD
Setinggi SIC 5 – 6 sejajar dengan linea axillaris anterior pada sisi yang sakit .
2) Lakukan infiltratif kulit, otot dan pleura dengan lidokain 1 % diruang sela iga yang sesuai,
biasanya di sela iga ke 5 atau ke 6 pada garis mid axillaris.
5) Buat incisi kecil dengan arah transversal tepat diatas iga, untuk menghindari melukai
pembuluh darah di bagian bawah iga
240
6) Dengan menggunan forceps arteri bengkok panjang, lakukan penetrasi pleura dan
perlebar lubangnya
7) Gunakan forceps yang sama untuk menjepit ujung selang dan dimasukkan ke dalam kulit
8) Tutup kulit luka dengan jahitan terputus, dan selang tersebut di fiksasi dengan satu
jahitan.
9) Tinggalkan 1 jahitan tambahan berdekatan dengan selang tersebut tanpa dijahit, yang
berguna untuk menutup luka setelah selang dicabut nanti. Tutup dengan selembar kasa
hubungkan selang tersebut dengan sistem drainage tertutup air
241
TRAKEOSTOMI
adalah prosedur operatif dengan membuat lubang untuk bernapas pd dinding depan trakea.
Indikasi
- elektif : trakeostomi dilakukan untuk mempertahankan aliran udara saat saluran napas atas
tidak dapat dilakukan
THORACOTOMY
adalah pembedahan dinding dada dan dapat juga dilakukan denganpembelahan antara tulang2
rusuk (intercostal atau lateral thoracotomy) atau dengan pemisahan dari sternum (median
sternotomy).
Lobectomy pulmonary adalah pemotongan satu lobus paru-paru (complete) atau sebagian dari
lobus paru-paru (partial).
Pneumonectomy adalah pembuangan dari semua jaringan paru-paru pd satu bagian dari ruang
thorac.
242
CASE 6
(Bronkiolitis Berat)
PENULIS :
1. Meilani Sulaeman (111 0211 062)
2. Izzatun Nisa (111 0211 058)
3. Via Arsita Dewi (111 0211 048)
4. Ferdila Khalidia (111 0211 131)
5. Rizky Takdir Ramadhan (111 0211 089)
6. Tantri Tyas Chandra D. (111 0211 068)
7. Dewa Ayu Sita (111 0211 010)
A. Tutorial Case
B. Overview Case
C. Interpretasi Kasus
D. Bronkiolitis
E. ARDS
F. SARS
G. Flu Burung
H. Influenza
I. Terapi Oksigen pada Anak dan Dewasa
J. Imunisasi Wajib pada Anak dan Jadwalnya
K. ASI dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
243
A. Tutorial Case
Case 6
Respiratory System
Page 1
Seorang bayi laki-laki, By. R, usia 8 bulan) dibawa ibunya ke rumah sakit tempat anda bekerja
dengan keluhan sesak disertai batuk berdahak selama 4 hari, dahak berwarna putih. Badan agak demam
walaupun tidak tinggi selama 3 hari dan telah diberikan parasetamol drops 3 kali sehari. Bayi malas
makan, ia juga muntah sejak 2 hari dengan yang dimuntahkan berupa air, susu maupun makanan yang
dimakan. BAB dan BAK normal.
Riwayat Persalinan
Lahir cukup bulan dengan persalinan normal di bisan dengan Apgar 7/10. Berat badan lahir 3000
gram, panjang badan 47 cm, air ketuban jernih. Selama kehamilan dan persalinan, ibu tidak pernah
demam dan tidak mempunyai riwayat TB/alergi.
Riwayat Makan
Bayi tidk pernah diberi ASI oleh karena ASI ibu tidak keluar. Ia diberikan susu Nan-HA semenjak
usia 6 hari, karena bayi alergi susu sapi. Pada usia 5 bulan, telah diberikan pisang dan usia 6 bulan telah
diberikan nasi tim yang dihaluskan.
Riwayat Imunisasi
TIdak diberikan imunisasi kepada bayi dengan alasan keagamaan.
Riwayat Lingkungan
Keadaan lingkungan rumah kurang baik, disekitar banyak orang berternak bebek, udara disekitar
rumah baud an kurang bersih. Ventilasi rumah tidak baik.
Page 3
Tatalaksana :
A. Terapi Suportif :
1. IVFD KAEN 1B : 50 tetes/menit (mikro)
2. O2 Kanul Hidung 2L/menit
B. Terapi Kausatif
Injeksi Amphicillin 500 mg/hari IV
C. Terapi Simptomatik
1. Injeksi Dexamethasone 1 mg IV
2. Nebulizer : NaCl : Combivent = 1:1 / 8 Jam
3. Paracetamol 25 mg/kali IV
244
B. Overview Case
By. R, 8 tahun
Hipotesis :
1. Bronkiolitis
2. Pneumonia
3. Asma Bronkial
Penatalaksanaan :
Paru : Pneumonia
246
e. R.Makan
Bayi tidak pernah diberikan ASI kemungkinan sistem pertahanan bayi rendah
karena tidak diberikan ASI(Komposisi Imunoglobulin dalam ASI sangat tinggi)
Sehingga rentan terkena infeksi
Bayi alergi susu sapi, diberikan susu nan-HA sejak usia 6 hari susu nan-HA
ialah susu hipoalergik untuk bayi
Usia 5 bulan telah diberikan pisang dan usia 6 bulan telah diberi nasi tim yang
dihaluskan Bayi telah diperkenalkan MPA atau Makanan Pendamping ASI
lebih awal. Normalnya diberikan usia 6 bulan.
f. R. Imunisasi
Tidak diberikan imunisasi dasar sistem kekebalan tubuh rendah sehingga lebih rentan
terkena suatu penyakit
g. Keadaan Lingkungan
Keadaan lingkungan rumah kurang baik Rumah dan lingkungan tidak
Disekitar rumah banyak orang berternak bebek sehat menjadi faktor
Udara bau dan ventilasi tidak baik (bukan rumah sehat) predisposisi munculnya suatu
penyakit
HIPOTESIS :
1. Bronkiolitis : Penyakit yang terjadi pada saluran nafas kecil bawah (bronkiolus) yang
menyebabkan gejala obstruksi bronkiolus dengan manifestasi bervariasi batuk, demam,
sesak nafas hingga distres nafas.
2. Pneumonia : Peradangan parenkim paru yang biasanya disebabkan oleh infeksi dengan
gejala demam, batuk, salesma.
3. Asma Bronkial : Gangguan inflamasi kronik jalan napas yang melibatkan berbagai sel
inflamasi dan elemennya sehingga menyebabkan gejala episodik berulang berupa mengi,
sesak napas, rasa berat di dada dan batuk terutama malam hari.
4. Bronkitis akut : proses inflamasi selintas yang mengenai trakea, bronkus utama dan
menengah yang bermanifestasi sebagai batuk yang diawali oleh ISPA.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Nampak Sangat Sesak Sesak Berat
b. Kesadaran : gelisah, menangis, agak lemah, gerak kurang aktif tanda hipoksia berat
c. Panjang Badan 68 cm dan BB 10 kg : menurut kurva NCHS termasuk normal
d. Nadi = 140 c/menit (N:120-130) Meningkat (usaha kompensasi tubuh untuk
meningkatkan aliran darah karena kekurangan pasokan oksigen)
e. Suhu = 38°C axilla (N:36,6°C – 37,2°C) febris sebagai respon tubuh terhadap suatu
infeksi mikroorganisme tertentu
f. RR : 65x/menit (N: 30-40x/menit) dispneu karena hiperventilasi sebagai usaha
pengeluaran CO2 >>
g. Kepala : UUB masih terbuka normal, biasanya tertutup saat usia 10-18 bulan
247
h. Wajah :
napas cuping hidung (+) untuk meningkatkan usaha inspirasi
sianosis perioral (+) Tanda hipoksia berat
Tidak ada tanda-tanda ISPA melemahkan ISPA
i. Leher :
Retraksi suprasternal (+) kontraksi yang terjadi pada otot napas tambahan
sehingga akan tertarik ke dalam saat menarik napas bertujuan untuk
meningkatkan usaha napas Bisa ditemukan pada penderita ASMA,
bronkiolitis dan pneumonia
KGB colli tidak teraba membesar
j. Thorax :
Pernafasan abdominothorakal (normal pada bayi), retraksi intercosta (+),
perkusi hipersonor menandakan adanya hiperaerasi (banyak udara yang
terperangkap) Bisa ditemukan pada penderita ASMA, bronkiolitis dan
pneumonia
Cor : DBN mencoret gagal jantung
Pulmo :
Suara dasar napas vesikuler (bernada rendah terdengar lebih panjang
pada inspirasi dari pada saat ekspirasi),
ronkhi basah halus (+) menandakan adanya suara nafas tambahan
sonor yang kontinu pada akhir ekspirasi yang timbul di bronkioli
gangguan jalan nafas bronkioli (memperkuat adanya bronkiolitis),
Ekspirasi memanjang disertai wheezing kemungkinan adanya suatu
peningkatan resistensi (hambatan) pada jalan nafas sehingga usaha nafas
terutama ekspirasi terhambat menyebabkan terjadinya turbulensi udara
yang bermanifestasi sebagai wheezing bisa ditemukan pada asma
bronkial dan bronkiolitis
k. Abdomen : soefel, hepar teraba 2 jari bawah arcus costa, lien tidak teraba,BU (+) DBN
Tidak ada kemungkinan sesak nafas ec gagal jantung
l. Ekstremitas : Edema (-) mencoret gagal jantung; Sianosis perifer Tanda hipoksia
berat kompensasi tubuh dengan periferal shutting down darah perifer
terdeoksigenasi menyebabkan sianosis.
248
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah
Leukosit 4000 dengan Limfosit 35% infeksi virus
Eosinofil DBN Mencoret asma bronkial
b. AGD
PO2 65 ; Saturasi 02 : 86% PO2 dan saturasi O2 rendah hipoksemia
pH darah 7,32 (N: 7,35-7,45)
PCO2 56 mmHg (N:35-45 mmHg) Asidosis Respiratorik Terkompensasi
HCO3- 29,2 mEq/L (N: 22-28 mEq/L)
BE: -3
c. Foto Thoraks PA dan Lateral
Pulmo hiperaerasi adanya air trapping (terperangkapnya udara dalam paru
karena terjadi peningkatan resistensi jalan nafas) bisa ditemukan pada
bronkiolitis
Bercak-bercak konsolidasi menyebar pada kedua lapang paru konsolidasi
merupakan bentuk pemadatan yang ditemukan pada paru bisa karena inflamasi
atau infeksi bisa ditemukan pada pneumonia
Diameter anteroposterior membesar pada foto lateral air trapping
menyebabkan terdorongnya rongga thorak sehingga diameter anteroposterior
membesar bisa ditemukan pada bronkiolitis berat
Diagnosis :
249
Selanjutnya Bayi R dipuasakan untuk mencegah aspirasi yang dapat memperberat sesak nafas
Penatalaksanaan
A. Terapi Supportif :
1. IVFD KAEN 1 B : 50 tetes/menit (mikro) Intravenous fluid therapy yang berisi cairan
dengan komposisi elektronit yang disesuaikan dengan BB bayi untuk mengurangi
dehidrasi akibat usaha nafas yang besar serta ketidakmampuan minum dan makan.
2. O2 kanul hidung 2L/menit Pemberian O2 dengan konsentrasi rendah (24-40%) sebanyak
2L melalui selang bantu pernafasan untuk mengurangi hipoksemia
B. Terapi Causatif
Koreksi terapi injeksi ampicillin merupakan terapi profilaksis untuk mencegah infeksi
sekunder bakteri indikasi pemberian jika nafas semakin berat dan sulit di atasi serta
didapatkan gambaran infiltrat pada kedua paru (bilateral)
Adapun terapi kausatif untuk bronkiolitis (etiologi: Respiratory Syncitial Virus/RSV) ialah
antivirus (Ribavirin) akan tetapi dari beberapa penelitian penggunaan obat ini kurang
efektif dan harus sesuai indikasi
Berikut adalah beberapa indikasi penggunaan antivirus Ribavirin
Pada bayi R tidak terdapat indikasi pemberian Ribavirin sehingga tidak di berikan terapi
antivirus.
250
C. Terapi Simptomatik
Injeksi dexametason 1 mg IV
Dexametason merupakan steroid untuk menghambat inflamasi (inhibisi phospolipase A2
menurunkan sintesis asam arakidonat menurunkan sintesis prostagladin dan
Leukotrien ).
Nebulizer : NaCL : combivent = 1:1/8 Jam
Inhalasi solution kombinasi dari 2 jenis bronkodilator (ipratropium dan
salbutamol)bekerja dengan cara merelaksasi otot disekitar bronkiolus
Paracetamol 25 mg/kali IV
Terapi simptomatik untuk menurunkan suhu (antipiretik) dengan cara menghambat
enzim siklooksigenase (COX) sehingga produksi pirogen endogen yang menyebabkan
peningkatan set point suhu menurun.
D. BRONKIOLITIS
DEFINISI
Penyakit Infeksi respirasi akut-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolus
ETIOLOGI
95% dari kasus secara serolgis karena invasi RSV (Respiratory Sinsitial Virus).
Family : Paramyxoviridae
Genus : Pneumovirus
Genom: RNA beruntai tunggal. RNA dalam nukleokapsid berbentuk spiral dikelilingi
A dan B. Strain A menyebabkan gejala pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan sekuele.
251
EPIDEMIOLOGI
DIAGNOSA
- Anamnesa
Gejala awal IRA karena virus :
pilek ringan, batuk, dan demam, 1-2 hari kemudian timbul batuk serta sesak napas.
AGD :
dilakukan untuk penderita sakit berat, khusus yang membutuhkan ventilator mekanik
Rontgen thorax :
hiperinflasi dan infiltrat ( tapi tidak spesifik karena dapat ditemukan pada asma,
pneumonia viral/atipikal, dan aspirasi).
Dapat ditemukan pula gambaran atelektasis, diafragma datar dan peningkatan
diameter antero-poaterior.
252
PATOFISIOLOGI
BRONKIOLITIS
Fase ekspirasi: udara terperangkap peningkatan VR, tahanan sal napas, dead space, shunt
Hipoksemia
hipoksia
Untuk menentukan kegawatan seorang pasien, menggunakan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)
253
PENATALAKSANAAN
E. ARDS
Definisi
Sindrom gagal pernafasan mendadak yang timbul pada penderita tanpa kelainan paru
yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema
paru nonkardiogenik merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan
oksigen arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius.
254
ARDS meliputi peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal, menyebabkan
edema pulmonal nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut infiltrasi pulmonal yang
berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi meskipun diberi suplemen oksigen dan
pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) kurang dari 18 mmHg.
Epidemiologi
Tahunan kejadian ARDS adalah 1,5-13,5 % per 100.000 orang dalam populasi umum.
Etiologi
1. Pneumonia (34%)
2. Sepsis (27%)
3. Aspiration (15%)
4. Trauma (11%)
a. Pulmonory Contusion
b. Multiple Fracture
5. Emboli lemak
6. Emboli paru
7. Perdarahan
Patofisiologi
ARDS terjadi sebagai akibat cedera atau trauma pada membran alveolar kapiler yang
mengakibatkan kebocoran cairan kedalam ruang interstisiel alveolar dan perubahan dalam
jaring- jaring kapiler, terdapat ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi yang jelas akibat
kerusakan pertukaran gas dan pengalihan ekstansif darah dalam paru-paru.
ARDS menyebabkan penurunandalam pembentukan surfaktan, yang mengarah pada
kolaps alveolar. Komplians paru menjadi sangat menurun atau paru-paru menjadi kaku
akibatnya adalah penurunan karakteristik dalam kapasitas residual fungsional, hipoksia berat
dan hipokapnia.
255
Ada 3 fase dalam patogenesis ARDS:
1. Fase Eksudatif
Fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium, inflamasi, dan
eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase Proliferatif
Terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan proliferasi fibroblast,
sel tipeII, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding alveolus dan perubahan
eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/membran hialin. Fase proliferatif
merupakan fase menentukan yaitu cedera bisa mulai sembuh atau menjadi menetap,
adaresiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase Fibrotik/Recovery
Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan mengalami remodeling dan
fibrosis.Fungsi paru berangsurangsur membaik dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat
bervariasiantar individu, tergantung keparahan cederanya.
256
rusak dan diganti oleh sel-sel yang tidak menghasilkan surfaktan ,dengan demikian
memeningkatkan tekanan pembukaan alveolar.
Sindroma gawat pernafasan akut terjadi dalam waktu 24-48 jam setelah kelainan
dasarnya.Mula-mula penderita akan merasakan sesak nafas, bisanya berupa pernafasan yang
cepat dan dangkal.
Karena rendahnya kadar oksigen dalam darah, kulit terlihat pucat atau biru,dan organ
lain seperti jantung dan otak akan mengalami kelainan fungsi. Hilangnya oksigen karena
sindroma ini dapat menyebabkan komplikasi dari organ lain segera setelah sindroma terjadi
atau beberapa hari/minggu kemudian bila keadaan penderita tidak membaik.
257
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah :
Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 )
Penatalaksanaan
Tujuan terapi
a. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
b. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat
c. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)
Farmakologi
a. Inhalasi NO2 dan vasodilator lain
b. Kortikosteroid (masih kontroversial: no benefit, kecuali bagi yang inflamasi eosinofilik)
c. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat
biosintesisleukotrienes mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS
258
Non-farmakologi
a. Ventilasi mekanis dgn berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator, mengatur
PEEP (positive-end expiratory pressure)
b. Pembatasan cairan
c. Pemberian surfaktan tidak dianjurkan secara rutin
Definisi:
Infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh virus jenis coronavirus (SARS-CoV)
Etiologi:
SARS disebabkan oleh coronavirus yang pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron sama
dengan coronavirus pada binatang. Virus ini stabil pada tinja dan urine pada suhu kamar
selama 1 – 2 hari dan dapat bertahan lebih dari 4 hari pada penderita diare.
Virus SARS kehilangan infektivitasnya terhadap berbagai disinfektan dan bahan-bahan fiksasi.
0 0
Pada pemanasan dengan suhu 54 C (132.8 F) akan membunuh coronavirus SARS dengan
kecepatan sekitar 10.000 unit per 15 menit.
Cara penularan:
SARS ditularkan melalui kontak dekat, misalnya pada waktu merawat penderita, tinggal satu
rumah dengan penderita atau kontak langsung dengan sekret/cairan tubuh dari penderita
suspect atau probable. Diduga cara penyebaran utamanya adalah melalui percikan (droplets)
dan kemungkinan juga melalui pakaian dan alat-alat yang terkontaminasi.
Dilain kesempatan virus diduga ditularkan melalui media lingkungan yaitu dari saluran limbah
(comberan) yang tercemar bahan infeksius; dengan aerosolisasi mencemari udara atau secara
mekanis dibawa oleh vector. Cara penularan melalui saluran limbah tercemar ini sedang diteliti
secara retrospective.
Gejala Klinis:
Umumnya gejala SARS muncul dalam waktu 2-7 hari setelah terkena dengan (virus) penyakit,
tetapi masa inkubasinya berkisar 10 hari. Gejala SARS menyerupai gejala penyakit influenza.
Pasien penderita SARS biasanya mengalami demam yang tinggi (di atas 38∞C atau lebih), dan
kadang kala disertai bercak merah, rigors, kepala pusing, limbung, nyeri otot atau bahkan diare
(beberapa penderita / pasien mengalami kesulitan pernafasan). Setelah beberapa hari, gejala
awal tersebut diikuti dengan infeksi saluran pernafasan yang ringan, termasuk batuk tanpa
259
dahak (sputum) dan kesulitan bernafas. Pada sekitar 10% pasien, penyakit SARS dapat
menyebabkan kepada terganggunya pernafasan yang memerlukan perawatan medis intensif.
Gejala SARS tidak sama kondisinya pada pasien lanjut usia.
Diagnosa:
Beberapa test labolatorium dapat mendeteksi SARS-CoV, bisa dilakukan pemeriksaan sputum,
ataupun uji serologi seperti uji ELISA, namun uji serologi pada penderita SARS baru dapat
ditegakkan setelah 10 hari penderita mengalami sakit.
260
Seluruh staf medis dan tenaga pembantu harus dilatih tentang cara-cara pencegahan infeksi
dan cara-cara penggunaan Personal Protective Equipment (PPE) alat-alat perlingdungan diri
berikut ini :
• Pengunaan penutup muka/face mask untuk melingdungi penularan melalui
saluran pernafasan. Jenis face mask yang dianjurkan adalah NRP 95/99/100
atau FFP 2/3 atau jenis yang sama sesuai dengan standar nasional negara
yang bersangkutan.
• Penggunaan sepasang sarung tangan
• Penggunaan pelindung mata
• Penggunaan jas sekali pakai
• Penggunaan apron
• Alas kaki yang dapat didekontaminasi
Pada waktu merawat dan mengobati penderita SARS sedapat mungkin digunakan peralatan
dan bahan-bahan sekali pakai (disposable) dan setelah dipakai bahan atau peralatan tersebut
dibuang sebagaimana mestinya.
Apabila peralatan yang telah digunakan akan dipakai lagi, hendaknya disterilkan terlebih
dahulu sesuai dengan petunjuk dari pabrik pembuatnya. Alat-alat tersebut hendaknya
dibersihkan dengan disinfektan yang mempunyai efek antiviral.
Hindari pemindahan penderita SARS dari ruang isolasi ketempat lain. Kalau penderita SARS ini
karena sesuatu dan lain hal harus dipindahkan ketempat lain penderita harus diberi cungkup
muka (face mask).
Visite dibatasi seminimal mungkin dan petugas harus menggunakan pakaian pelindung (PPE =
Personal Preventive Equipment) dengan supervisi yang ketat. Mencuci tangan mutlak harus
dilakukan sebelum dan sesudah kontak dengan penderita, sesudah melakukan kegiatan yang
memungkinkan terjadi kontaminasi, sesudah melepaskan sarung tangan. Oleh karena itu harus
tersedia fasilitas air bersih yang mengalir dalam jumlah yang memadai. Untuk disinfeksi cukup
digunakan alkohol apabila tidak ada riwayat kontak dengan bahan-bahan organik yang
infeksius.
Perhatian khusus harus diberikan kepada petugas apabila melakukan tindakan-tindakan seperti
pada pemberian fisioterapi thorax, pada tindakan bronkoskopi atau gastroskopi, nebulizer dan
tindakan-tindakan lain pada saluran pernafasan serta tindakan yang menempatkan petugas
kesehatan kontak sangat dekat dengan penderita dan dengan sekret infeksius, sehingga
kemungkinan tertular sangat besar.
Seluruh instrumen tajam harus ditangani dengan tepat dan ketat. Linen penderita harus
dikemas ditempat oleh petugas, ditempatkan didalam kantong khusus (biohazard bags)
sebelum dikirim ke laundry/binatu.
261
3) Pelacakan terhadap kontak (contact persons) : yang disebut kontak secara epidemiologis
adalah mereka yang merawat dan atau tinggal dengan atau mereka yang kontak dengan sekret
saluran nafas, cairan tubuh atau tinja penderita suspect atau probable SARS.
Pelacakan kontak harus dilakukan secara sistematis. Periode waktu seseorang dianggap sebagai
kontak harus disepakati terlebih dahulu. Kesepakatan ini menyangkut berapa harikah sebelum
timbul gejala seseorang dianggap sebagai kontak apabila mereka terpajan dengan penderita
suspect atau probable SARS.
G. FLU BURUNG
ETIOLOGI
Penyebab flu burung adalah virus influenza, yang termasuk tipe A subtipe H5, H7 dan
H9. kelompok famili Orthomyxoviridae.
Ada beberapa tipe virus influenza pada manusia dan binatang yaitu :
1. tipe A
memiliki dua sifat mudah berubah : antigenic shift dan antigenic drift
dapat menyebabkan epidemi dan pandemi
2. tipe B
3. tipe C
Pada manusia, virus A dan B dapat menyebabkan wabah flu yang cukup luas.
TRANSMISI
Influenza pada manusia ditularkan melalui droplet infeksius, kontak langsung, kontak
tidak langsung (fomite), ataupun dengan self-inculation pada saluran pernafasan atas atau
mukosa konjungtiva. Sedangkan infeksi influenza A (H5N1) pada manusia, berdasarkan bukti
penularan terjadi dengan rute burung-ke-manusia, mungkin juga lingkungan-ke-manusia.
a. Hewan-Ke-Manusia
Pada suhu 70°C virus avian influensa dapat dimatikan , sehingga membuat aman untuk
dimakan meskipun daging mentahnya telah tercemari virus H5N1 (WHO 2005).
262
b. Manusia-Ke-Manusia
Transmisi dari manusia ke manusia telah diduga terjadi dalam satu rumah dan yang
paling terlihat terjadi child-to-mother transmission.
c. Faktor Lingkungan
kontaminasi air melalui oral ingestion, atau kontak intranasal secara langsung, atau
inoklusi konjungtiva.
TEMUAN KLINIS
Inkubasi
Masa inkubasi avian influenza lebih lama dibanding dengan influenza lain yang menyerang
manusia, yaitu interval 2 s/d 8 hari sejak terpapar virus.
Gejala awal
Kebanyakan pasien memiliki gejala awal yaitu :
a. Demam tinggi (khasnya > 38°C).
b. Gejala infeksi saluran pernafasan bawah.
c. Infeksi saluran pernafasan atas dapat terjadi tetapi jarang.
d. Tidak seperti pasien dengan avian influenza A (H7) viruses, pasien dengan with avian
influenza A (H5N1) jarang menderita konjungtivitis.
e. Diare dan muntah ; biasanya mendahului gejala respiratorik hingga satu minggu lebih
awal.
f. Nyeri perut.
g. Nyeri pleuritis.
h. Perdarahan hidung dan gusi.
Gejala Utama
Manifestasi pada saluran pernafasan bawah biasanya ditemukan ketika pasien datang.
Kebanyakan memiliki gejala pneumonia.
a. Dispneu terlihat pada hari ke-5 dari onset.
b. Stress respirasi.
c. Takipneu
263
d. Inspiratory crackles
e. Produksi sputum
f. Gambaran radiologi : difus, multifokal, infiltrat merata, infiltrat intersisial, konsolidasi
segmental atau lobular. Gambaran abnormal muncul tuuh hari setelah onset.
g. ARDS rentang waktu kearah ARDS sekitar enam hari sejak onset.
Pemeriksaan Lain
1. Hematologi :
a. Leukopenia, khususnya lymphopenia.
b. Trombositopenia sedang sampai berat.
c. Peningkatan aminotransferase.
d. Peningkatan kreatinin.
e. Hiperglikemia
264
2. Kimia :
a. penurunan albumin
b. peningkatan SGOT/SGPT
c. peningkatan ureum dan kreatinin
d. peningkatan kreatin kinase
e. analisa gas darah dapat normal atau abnormal.
3. Pemeriksaan Radiologi :
Pemeriksaan foto toraks Pa dan lateral. Dapat ditemukan gambaran infiltrat di paru
yang menunjukkan bahwa kasus ini adalah pneumonia.
PATOFISIOLOGI
Flu burung bisa menulari manusia bila manusia bersinggungan langsung dengan ayam
atau unggas yang terinfeksi flu burung. Unggas yang terinfeksi dapat pula mengeluarkan virus
ini melalui tinja, yang kemudian mengering dan hancur menjadi semacam bubuk. Bubuk inilah
yang dihirup oleh manusia atau binatang lainnya dapat menginfeksi..
Satu- satunya cara virus flu burung dapat menyebar dengan mudah dari manusia ke
manusia adalah jika virus flu burung tersebut bermutasi dan bercampur dengan virus flu
manusia. Virus ditularkan melalui saliva dan feses unggas. Penularan pada manusia karena
kontak langsung, misalnya karena menyentuh unggas secara langsung, juga dapat terjadi
melalui kendaraan yang mengangkut binatang itu, di kandangnya dan alat-alat peternakan (
termasuk melalui pakan ternak ).
Penyebaran virus Avian Influenza (AI) terjadi melalui udara (droplet infection di mana
virus dapat tertanam pada membran mukosa yang melapisi saluran nafas atau langsung
memasuki alveoli (tergantung dari ukuran droplet).
Virus yang tertanam pada membran mukosa akan terpajan mukoprotein yang
mengandung asam sialat yang dapat mengikat virus. Reseptor spesifik yang dapat berikatan
dengan virus influenza berkaitan dengan spesies darimana virus berasal. Virus avian influenza
manusia (Human influenza viruses) dapat berikatan dengan alpha 2,6 sialiloligosakarida yang
265
berasal dari membran sel di mana didapatkan residu asam sialat yang dapat berikatan dengan
residu galaktosa melalui ikatan 2,6 linkage.
Virus AI dapat berikatan dengan sel membran sel mukosa mealui ikatan yang berbeda
yaitu ikatan 2,3 linkage. Adanya perbedaan pada reseftor yang terdapat pada membran mukosa
diduga sebagai penyebab mengapa virus AI tidak dapat mengadakan replikasi secara efisien
pada manusia.
Mukoprotein yang mengandung reseftor ini akan mengikat virus sehingga perlekatan
virus dengan sel epitel saluran napas dapat dicegah. Tetapi virus yang mengandung
proteinneuraminidase pada permukaannya dapat memecah ikatan tersebut. Virus selanjutnya
akan melekat pada epitel permukaan saluran napas untuk kemudian bereplikasi di dalam sel
tersebut. Replikasi virus terjadi selama 4-6 jam sehingga dalam waktu singkat virus dapat
menyebar ke sel-sel didekatnya.
Masa inkubasi virus 18 jam sampai 4 hari, lokasi utama dari infeksi yaitu pada sel-sel
kolumnar yang bersilia. Sel-sel yang terinfeksi akan membengkak dan intinya mengkerut dan
kemudian mengalami piknosis. Bersamaan dengan terjadinya disintegrasi dan hilangnya silia
selanjutnya akan terbentuk badan inklusi.
TERAPI
a. Rawat Inap
Pasien yang diduga atau terbukti influenza A (H5N1) harus dirawat di rumah sakit
di isolasi untuk pemantauan klinis, sesuai diagnostik pengujian, dan terapi antivirus.
Pada pasien dengan terapi nebulizers dan high–air flow oxygen masks harus
dipehatikan tindakan pemantauan yang ketat, karena resiko nosokomial (SARS) yang
tinggi.
b. Antiviral
Departemen kesehatan RI dalam pedomannya memberikan petunjuk sebagai berikut:
1. Pada kasus suspek flu burung diberikan Oseltamivir 2x75 mg selama 5 hari,
antibiotik jika ada indikasi.
266
2. Pada kasus probable flu burung diberikan Oseltamivir 2x75mg selama 5 hari,
antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika
perlu seperti pada kasus pneumonia berat, ARDS. Respiratory Care di ICU sesuai
indikasi.
c. Imunomodulator
PENCEGAHAN
1. Imunisasi
Sekarang telah komersial vaksin H5 untuk manusia
2. Pencegahan di Rumah Sakit
pasien non-pandemik saat ini telah direkomendasikan untuk penggunaan surgical mask
dan 75 mg oseltamivir sekali
sehari selama 7 sampai 10 hari dibenarkan untuk orang yang
berkontak dengan pasien infeksius.
3. Kelompok berisiko tinggi ( pekerja peternakan dan pedagang )
a. Mencuci tangan dengan desinfektan dan mandi sehabis bekerja.
b. Hindari kontak langsung dengan unggas yang terinfeksi flu burung.
c. Menggunakan alat pelindung diri (contok : masker dan pakaian kerja ).
d. Meninggalkan pakaian kerja di tempat kerja.
e. Bahan yang berasal dari saluran cerna unggas, seperti tinja harus ditatalaksana
dengan baik ( ditanam atau dibakar ) agar tidak menjadi sumber penularan bagi
orang di sekitarnya.
f. Kandang dan tinja tidak boleh dikeluarkan dari lokasi peternakan.
g. Alat-alat yang digunakan dalam peternakan harus dicuci dengan desinfektan.
h. Bersihkan kandang dan alat transportasi yang membawa unggas.
i. Lalu lintas orang keluar masuk kandang dibatasi.
j. Imunisasi unggas yang sehat
4. Masyarakat Umum
a. Menjaga daya tahan tubuh dengan makan makanan bergizi dan istirahat cukup.
267
b. Tidak mengimpor daging ayam dari tempat yang diduga terkena wabah avian flu
c. Mengolah unggas dengan cara yang benar, yaitu : Pilih unggas yang sehat (tidak
terdapat gejala-gejala penyakit di tubuhnya), Memasak daging ayam sampai
dengan suhu ± 80°C selama 1 menit dan telur sampai dengan suhu ± 64°C selama
5 menit
H. INFLUENZA
Definisi
Influenza yang dikenal sebagai flu adalah penyakit pernapasan yang sangat menular dan
disebabkan oleh virus influenza tipe A, B dan bisa juga C.
Influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran pernapasan terutama ditandai
oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit kepala dan sering disertai pilek, sakit tenggorok dan
batuk non produktif.
Influenza adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang burung dan mamalia yang
disebabkan oleh virus RNA famili orthomyxoviridae.
Epidemiologi
268
diperkirakan kematian yang berkaitan influenza kurang lebih 30 hingga lebih dari 150 kematian
/ 100.000 penderita dengan usia > 65 tahun. Lebih dari 90% kematian yang disebabkan oleh
pneumonia dan influenza terjadi pada penderita usia lanjut.
Etiologi
Pada saat ini dikenal 3 tipe virus influenza yakni A, B dan C. Ketiga tipe ini dapat
dibedakan dengan complement fixasion test. Tipe A merupakan virus penyebab influenza yang
bersifat epidemik. Tipe B biasanya hanya menyebabkan penyakit yang lebih ringan dari tipe A
dan kadang-kadang saja sampai mengakibatkan epidemi. Tipe C adalah tipe yang diragukan
patogenitasnya untuk manusia, mungkin hanya menyebabkan gangguan ringan saja. Virus
penyebab influenza merupakan suatu orthomixovirus golongan RNA dan berdasarkan namanya
sudah jelas bahwa virus ini mempunyai afinitas untuk myxo atau musin.
Virus influenza A dibedakan menjadi banyak subtipe berdasarkan tanda berupa tonjolan
protein pada permukaan sel virus. Ada 2 protein petanda virus influenza A yaitu protein
hemaglutinin dilambangkan dengan H dan protein neuraminidase dilambangkan dengan N. Ada
15 macam protein H, H1 hingga H15, sedangkan N terdiri dari sembilan macam, N1 hingga N9.
Kombinasi dari kedua protein ini bisa menghasilkan banyak sekali varian subtipe dari virus
influenza tipe A.
Semua subtipe dari virus influenza A ini dapat menginfeksi unggas yang merupakan
pejamu alaminya, sehingga virus influenza tipe A disebut juga sebagai avian influenza atau flu
burung. Sebagian virus influenza A juga menyerang manusia, anjing, kuda dan babi. Variasi virus
ini sering dinamai dengan hewan yang terserang, seperti flu burung, flu manusia, flu babi, flu
kuda dan flu anjing. Subtipe yang lazim dijumpai pada manusia adalah dari kelompok H1, H2,
H3 serta N1, N2 dan disebut human influenza .
Patogenesis
Transmisi virus influenza lewat partikel udara dan lokalisasinya pada traktus
respiratorius. Penularan bergantung pada ukuran partikel (droplet) yang membawa virus
tersebut masuk ke dalam saluran napas. Pada dosis infeksius, 10 virus/droplet, maka 50%
orang-orang yang terserang dosis ini akan menderita influenza. Virus akan melekat pada epitel
sel di hidung dan bronkus.
Setelah virus berhasil menerobos masuk kedalam sel, dalam beberapa jam sudah
mengalami replikasi. Partikel-partikel virus baru ini kemudian akan menggabungkan diri dekat
permukaan sel, dan langsung dapat meninggalkan sel untuk pindah ke sel lain. Virus influenza
dapat mengakibatkan demam tetapi tidak sehebat efek pirogen lipopoli-sakarida kuman Gram-
negatif.
269
Masa inkubasi dari penyakit ini yakni satu hingga empat hari (rata-rata dua hari). Pada
orang dewasa, sudah mulai terinfeksi sejak satu hari sebelum timbulnya gejala influenza hingga
lima hari setelah mulainya penyakit ini. Anakanak dapat menyebarkan virus ini sampai lebih dari
sepuluh hari dan anak-anak yang lebih kecil dapat menyebarkan virus influenza kira-kira enam
hari sebelum tampak gejala pertama penyakit ini. Para penderita imunocompromise dapat
menebarkan virus ini hingga berminggu-minggu dan bahkan berbulan-bulan.
Gambaran Klinis
Pada umumnya pasien yang terkena influenza mengeluh demam, sakit kepala, sakit
otot, batuk, pilek dan kadang-kadang sakit pada waktu menelan dan suara serak. Gejala-gejala
ini dapat didahului oleh perasaan malas dan rasa dingin. Pada pemeriksaan fisik tidak dapat
ditemukan tanda-tanda karakteristik kecuali hiperemia ringan sampai berat pada selaput lendir
tenggorok.
Gejala-gejala akut ini dapat berlangsung untuk beberapa hari dan hilang dengan
spontan. Setelah periode sakit ini, dapat dialami rasa capek dan cepat lelah untuk beberapa
waktu. Badan dapat mengatasi infeksi virus influenza melalui mekanisme produksi zat anti dan
pelepasan interferon. Setelah sembuh akan terdapat resistensi terhadap infeksi oleh virus yang
homolog.
Pada pasien usia lanjut harus dipastikan apakah influenza juga menyerang paru-paru.
Pada keadaan tersebut, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bunyi napas yang abnormal.
Penyakit umumnya akan membaik dengan sendirinya tapi kemudian pasien acapkali mengeluh
lagi mengenai demam dan sakit dada. Permeriksaan radiologis dapat menunjukkan infiltrat di
paru-paru.
Diagnosis
Menetapkan diagnosis pada saat terjadi wabah tidak akan banyak mengalami kesulitan.
Di luar kejadian wabah, diagnosis influenza kadang-kadang terhambat oleh diagnosis penyakit
lain. Diagnosis pasti penyakit influenza dapat diperoleh melalui isolasi virus maupun
pemeriksaan serologis. Untuk mengisolasi virus diperlukan usap tenggorok atu usap hidung dan
harus diperoleh sedini mungkin; biasanya pada hari-hari pertama sakit. Diagnosis serologis
dapat diperoleh melalui uji fiksasi komplemen atau inhibisi hemaglutinasi. Akan dapat
ditunjukkan kenaikan titer sebanyk 4 kali antara serum pertama dengan serum konvalesen atau
titer tunggal yang tinggi. Pada saat ini antiinfluenza IgM dapat digunakan di beberapa tempat.
Diagnosis cepat lainnya dapat juga diperoleh dengan pemeriksaan antibodi fluoresen yang
khusus tersedia untuk tiper virus influenza A. PCR dan RT-PCR sangat berguna untuk diagnosa
cepat virus lainnya yang dapat pula menyerang saluran napas antara lain adeno-virus,
parainfluenza virus, rinovirus, respiratory syncyial virus, cyomegalovirus dan enterovirus.
270
Keterlibatan berbagai jenis virus ini dapat ditunjukkan dengan pemeriksaan serologis atau
isolasi langsung.
Diagnosis Banding
Banyak penyakit yang memiliki gejala yang menyerupai flu (flu like syndrom) sehingga
influenza dapat didiagnosis banding :
1. SARS (Severe Acute Respiratory Syndrom) adalah penyakit infeksi saluran napas yang
disebabkan oleh virus Corona dengan sekumpulan gejala klinis yang berat. Perbedaan
dengan influenza adalah cara penularannya, yaitu dengan kontak langsung membran
mukosa, serta pada gejala pernapasan rasa sesak lebih berat dirasakan di banding pada
influenza yang tidak terdapat sesak napas.
2. Common cold (selesma) adalah suatu infeksi virus pada selaput hidung, sinus dan
saluran udara besar yang disebabkan oleh rhinovirus (80%). Gejala-gejala penyakit ini
biasanya tidak timbul demam, tetapi demam yang ringan dapat muncul saat gejala, dan
gejala-gejala yang lain tidak sehebat influenza. Hidung mengeluarkan cairan yang encer
dan jernih dan pada hari-hari pertama jumlahnya sangat banyak sehingga mengganggu
penderita. Selanjutnya sekret hidung menjadi lebih kental, berwarna kuning-hijau dan
jumlahnya tidak terlalu banyak.
3. Infeksi saluran pernapasan atas merupakan suatu penyakit infeksi pada saluran
pernapasan atas yang banyak disebabkan oleh virus dan mempunyai gejala-gejala
seperti flu, akan tetapi pada infeksi saluran pernapasan atas mempunya gejala-gejala
lain seperti rhinitis, sinusitis, nasopharyngitis, pharyngitis, epiglotitis, laryngitis,
laringotrakeitis dan trakeitis.
4. Infeksi parainfluenza virus juga mempunyai gejala yang hampir sama dengan infeksi
virus influenza dimana yang terdiri dari HPIV-1, HPIV-2, HPIV-3 dan HPIV-4
5. Meningitis merupakpan penyakit radang pada selaput otak. Dimana gejala awal dari
penyakit ini menyerupai flu seperti demam, sefalgia, nausea, vomitus, photofobia
sedangkan pada pemeriksaan fisik terdapat kaku kuduk positif.
Penatalaksanaan
Pasien dapat diobati secara simtomatik. Obat oseltamivir 2x75 mg sehari selama 5 hari
akan memperpendek masa sakit dan mengurangi keperluan tambahan antimikroba untuk
infeksi bakteri sekunder. Zanamivir dapat diberikan secara lokal secara inhalasi, makin cepat
obat diberikan makin baik. Untuk kasus dengan komplikasi yang sebelumnya mungkin
menderita bronkitis kronik, gangguan jantung atau penyakit ginjal dapat diberikan antibiotik.
Pasien dengan
271
bronkopneumonia sekunder memerlukan oksigen. Pneumonia stafilokok sekunder harus diatasi
dengan antibiotik yang tahan betalaktamase dan kortikosteroid dosis tinggi.
Komplikasi
Pencegahan
Yang paling pokok dalam menghadapi influenza adalah pencegahan. Infeksi dengan virus
influenza akan memberikan kekebalan terhadap infeksi virus yang homolog. Karena sering
terjadi perubahan akibat mutasi gen, antigen pada virus influenza akan berubah, sehingga
seseorang masih mungkin diserang berulang kali dengan galur (strain) virus influenza yang telah
mengalami perubahan ini. Kekebalan yang diperoleh melalui vaksinasi sekitar 70%. Vaksin
influenza mengandung virus subtipe A dan B saja karena subtipe C tidak berbahaya.
B. Tujuan
Tujuan utama terapi oksigen adalah mempertahankan PaO2 >60 mmHg atau SaO2 >90%.
Sehingga dapat mencegah terjadinya hipoksia sel dan jaringan, menurunkan kerja pernapasan
dan menurunkan kerja otot jantung.
272
Oksigen diberikan sebagai :
1) Suplemen : Pada suatu keadaan akut yng memerlukan oksigen kurang dari 30 hari,
misalnya pada pneumonia dan asma akut.
2) Terapi
a) Short-term oxygen therapy : bila memerlukan oksigen antara 30-90 hari. Misalnya
pada pendeerita gagal jantung kongestif.
b) Long-term oxygen therapy : bila memerlukan oksigen >90 hari, misalnya pada PPOK.
273
Masker rebreathing
Masker nonrebreathing
c) Venture mask
Merupakan salah satu alat terapi O2 dengan cara pemberian arus tinggi. Alat
yang digunakan berbeda- beda sesuai konsentrasi O2 yang diinginkan, antara lain 24%,
28%, 30%, 35%, dan 40%.
Komplikasi yang sering timbul adalah kulit rusak dan ketidaknyamanan saat
makan dan minum.
d) Continuous positive airway pressure (CPAP)
Suatu metode memberikan tekanan positif konstan pada jalan napas selama
ekspirasi dan inspirasai. Bantuan ventilasi ini memberikan tekanan udara dengan
tekanan tertentu pada jalan napas sehingga meningkatkan tekanan transpulmoner.
274
2) Alat
Semua alat untuk pemberian oksigen diperiksa ulang minimal 1 kali sehari.
E. Bahaya terapi Oksigen
Kerusakan retina pada bayi premature
Kerusakan membrane kapiler alveoli karena edema alveoli akibat radikal bebas.
Pemberian oksigen dengan konsentrasi <50% dapat ditoleransi dengan baik utuk
pemberian jangka panjang.
Penurunan aktivitas mukosiliar serta meningkatnya resiko trakeitis bakterialis
Atelektasis akibat “nitrogen wash out”.
275
J. Imunisasi Wajib bagi bayi dan Jadwal imunisasi
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menetapkan ada 5 jenis imunisasi yang wajib
diberikan pada bayi di Indonesia, Yaitu:
2. Hepatitis B
Imunisasi Hepatitis B berguna untuk mencegah adanya virus hepatitis B yang menyerang
hati. 12 jam setelah bayi lahir, imunisasi hepatitis B sebaiknya langsung diberikan, lalu diberikan
lagi 4 minggu kemudian dan saat bayi berumur 3-6 bulan.
3. Polio
Imunisasi polio wajib dilakukan beberapa kali agar bayi terhindar dari virus polio. Imunisasi
ini diberikan setelah ia lahir lalu saat berumur 2, 4 dan 6 bulan. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dan terhindar dari kelumpuhan, imunisasi polio harus diberikan lagi saat bayi
berumur 18 bulan dan 5 tahun.
5. Campak
Imunisasi yang dilakukan saat bayi berumur 9 bulan ini bermanfaat untuk mencegah bayi
dari virus campak.
276
Table 1. Jadwal Imunisasi IDAI 2011
Kebijakan tentang pemberian makan pada bayi, menurut WHO,UNICEF & IDAI :
- Memberikan ASI segera setelah bayi lahir – 1 jam pertama
- Memberikan hanya ASI saja atau ASI eksklusif sejak lahir sampai usia 6 bulan
- Memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada bayi mulai usia 6 bulan
- Tetap memberikan ASI sampai anak umur 2 tahun atau lebih
277
1. Pemberian ASI eksklusif
- ASI eksklusif : Bayi hanya diberikan ASI saja tanpa tambahan cairan lain (susu formula,
jeruk, madu, air teh, air putih) dan tanpa tambahan makanan padat (pisang, papaya,
bubur susu, nasi tim, biscuit).
- ASI eksklusif diberikan secara “on demand”, maksudnya ASI diberikan sesuai dengan
kemauan bayi, biasanya ditandai dengan menangisnya bayi tersebut.
- Selama pemberian ASI, harus dimonitor kenaikan BB bayi tersebut, dimana :
Trimester 1 25-30 g/hari = 200 g/mgg = 750-900 g/bln
Trimester 2 20 g/hari = 150 g/mgg = 600 g/bln
Trimester 3 15 g/hari = 100 g/mgg = 400 g/bln
Trimester 4 10 g/hari = 50-75 g/mgg = 200-300 g/bln
- Bila kenaikan BB tidak sesuai, kita harus cari penyebabnya, dengan memperhatikan :
a) Apakah ibu dalam keadaan sehat atau sakit?
b) Apakah cara menyusui sudah benar?
-Posisi ibu dan bayi berhadapan
-Kepala dan punggung bayi lurus
-Mulut bayi mencakup seluruh putting dan aerola
-Bibir bawah bayi tidak melipat ke dalam
c) Apakah anak dalam keadaan sehat atau sakit?
d) Bila cara menyusui sudah benar dan ibu serta anaknya tidak sakit, maka sangat
mungkin ASI
yang tidak mencukupi
278
2. MP-ASI
- Proses penyapihan (weaning) : Proses dimulainya pemberian makanan khusus selain ASI
secara bertahap baik jenis maupun konsistensinya, sampai seluruh kebutuhan nutrisi
anak dipenuhi oleh makanan keluarga.
- Cara pemberiannya :
a) Berhati-hati, sedikit demi sedikit, dari bentuk cair sampai yang lebih padat
b) Makanan diperkenalkan satu-persatu, apakah dapat diterima oleh bayi
c) Makanan sebaiknya diberikan saat bayi lapar
279
- Jadwal pemberian MP-ASI :
a) Makanan pokok 3x (pagi,siang,malam)
b) Makanan selingan 2x (pukul 10.00 & 16.00)
c) ASI / PASI 3x (bangun pagi, sebelum tidur siang, sebelum tidur malam)
3. Makanan keluarga
Diberikan jika rahangnya sudah stabil dan koordinasi tangannya sudah baik
280