Anda di halaman 1dari 46

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Bronkhopneumonia

2.1.1 Definisi

Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan

jaringan interstisiel (IDAI, 2009). Bronkopneumonia adalah radang paru-paru

pada bagian lobularis yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang

disebabkan oleh agen infeksius seperti bakteri,virus, jamur dan benda asing, yang

ditandai dengan gejala demam tinggi, gelisah, dispnoe, napas cepat dan dangkal

(terdengar adanya ronki basah), muntah, diare, batuk kering dan produktif

(Price,2012).

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu

peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai

bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-

anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,

virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh

mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non infeksi yang perlu

dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi sekunder

terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa juga

sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang

dewasa (Bradley et.al., 2011).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi

Anatomi saluran pernapasan terdiri atas saluran pernapasan bagian atas

(rongga hidung, sinus paranasal, dan faring), saluran pernapasan bagian bawah

9
10

(laring, trachea, bronchus, dan alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel kanan, arteri

pulmonary, arteriola pulmonary, kapiler pulmonary, venula pulmonary, vena

pulmonary, dan atrium kiri_, paru (paru kanan tiga lobus dan paru kiri dua lobus),

rongga pleura, dan otot – otot pernapasan (Muttaqin, 2008)

1. Saluran pernapasan bagian atas

a. Rongga hidung

Hidung terdiri atas dua nostril yang merupakan pintu masuk

menuju rongga hidung. Rongga hidung adalah dua kanal

sempit yang satu sama lainnya dipisahkan oleh septum.

Dinding rongga hidung dilapisi oleh mukosa respirasi serta sel

epitel batang, bersilia, dan berlapis semua. Mukosa tersebut

menyaring, menghangatkan, dan melembapkan udara yang

masuk melalui hidung. Vestibulum merupakan bagian dari

rongga hidung yang berambut dan berfungsi menyaring

partikel – partikel asing berukuran besar agar tidak masuk ke

saluran pernapasan bagian bawah. Dalam hidung juga terdapat

saluran – saluran yang menghubunkan antara rongga hidung

dengan kelenjar air mata, bagian ini dikenal dengan akntung

nasolakrimalis. Kantung nasolakrimalis ini berfungsi

mengalirkan air melalui hidung yang berasal dari kelenjar air

mata jika seseorang menangis.

b. Sinus paranasal

Sinus paranasal berperan dalam menyekresi mucus, membantu

pengaliran air mata melalui saluran nasokrimalis, dan


11

membantu dalam menjaga permukaan rongga hidung tetap

bersih dan lembap. Sinus paranasal juga termasuk dalam

wilayah pembau di bagian posterior rongga hidung.wilayah

pembau tersebut terdiri atas permukaan inferior palatum

kribiform, bagian superior septum nasal, dan bagian superior

konka hidung. Reseptor di dalam epitel pembau ini akan

merasakan sensasi bau.

c. Faring

Faring (tekak) adalah pipa berotot yang bermula dari dasar

tengkorak dan berakhir sampai persambungan dengan

esophagus dan batas tulang rawan krikoid. Faring terdiri atas

tiga bagian yan dinamai berdasarkan letaknya, yakni nasofaring

(di belakang hidung), orofaring (di belakang mulut), dan

laringofaring (di belakang laring).

2. Saluran pernapasan bagian bawah

a. Laring

Laring (tenggorok) terletak di antara faring dan trachea.

Berdasarkan letak vertebra servikalis, laring berada di ruas ke-4

atau ke-5 dan berakhir di vertebra servikalis ruas ke-6. Laring

disusun oleh 9 kartilago yang disatukan oleh ligament dan otot

rangka pad atulang hyoid di bagian atas dan trachea di

bawahnya.

Kartilago yang terbesar adalah kartilago tiroid, dan di depannya

terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun yang


12

terlihat nyata pada pria. Kartilago tiroid dibangun oelh dua

lempeng besar yang bersatu di bagian anterior membentuk

sebuah sudut seperti huruf V yang disebut tonjolan laryngeal.

Kartilago krikoid adalah kartilago berbentuk cincin yang

terletak di bawah kartiloago tiroid. Kartilago aritenoid adalah

sepasang kartilago yang menjulang di belakang krikoid, dan di

atasnya terdapat kartilago kuneiform dan kornikulata yang

sangat kecil. Di atas kartilago tiroid terdapat epiglottis yang

berupa katup dan berfungsi membantu menutup laring saat

menelan makanan.

b. Trakhea

Trakea adalah sebuah tabung yang berdiameter 2,5 cm dengan

panjang 11 cm. trachea terletak setelah laring dan memanjang

ke bawah setara dengan vertebra torakalis ke-5. Ujung trachea

bagian bawah bercabang menjadi dua bronkus kanan dan kiri.

Percabangan bronchus kanan dan kiri dikenal sebagai karina.

Trachea tersusun atas 16 – 20 kartilago hialin berbentuk huruf

C yang melekat pada dinding trachea dan berfungsi untuk

melindungi jalan udara. Kartilago ini juga berfungsi untuk

mencegah terjadinya kolaps atau ekspansi berlebihan akibat

perubahan tekanan udara yang terjadi dalam system

pernapasan. Bagian terbuka dari bentuk C kartilago trachea ini

saling berhadapan secara posterior ke arah esophagus dan

disatukan oleh ligament elastic dan otot polos.


13

c. Bronkus

Bronkus mempunyai struktur serupa dengan trachea. Bronchus

kiri dan kanan tidak simetris. Bronchus kanan lebih pendek,

lebih lebar, dan arahnya hampir vertical dengan trachea.

Sebaliknya bronchus kiri lebih panjang, lebih sempit, dan

sudutnya pun lebih runcing. Bentuk anatomi yang khusus ini

memiliki implikasi klinis tersendiri seperti jika ada benda asing

yang terhinhalasi, maka benda itu lebih memungkinkan berada

di bronchus kanan dibandingkan dengan bronchus kiri karena

arah dan lebarnya.

Bronkus pulmonaris bercabang dan beranting sangat banyak.

Cabang utama bronchus memiliki struktur serupa trachea.

Dinding bronchus dan cabang – cabangnya dilapisi epithelium

atang, bersilia, dan berlapis semu. Bronkiolus terminalis

disebut sebagai penghantar udara karena fungsi utamanya

adalah mengantarkan udara ke tempat pertukaran gas di paru.

Selain bronkhiolus terminalis terdapat pula asinus yang

merupakan unit fungsional paru sebagai tempat pertukaran gas.

Asinus terdiri atas bronkhiolus respiratorius dan duktus

alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveoli dan sakus

alveolus terminalis yang merupakan struktur akhir paru.

Bronkiolus respiratori terbagi dan bercabang menjadi beberapa

duktus alveolaris dan berkahir pada kantung udara berdinding

tipis yang disebut alveoli. Beberapa alveoli bergabung


14

membentuk sakus alveolaris. Setiap paru terdiri dari sekitar 150

juta alveoli (sakus alveolaris). Kepadatan sakus alveolaris

inilah yang memberi bentuk paru tampak seperti spons.

Jaringan darah mengelilingi alveoli ditahan oleh serat elastic.

Jaringan elastis ini menjaga posisi antara alveoli dengan

bronkhiolus respiratorius. Adanya daya recoil dari serat ini

selama ekspirasi akan mengurangi ukuran alveoli dan

membantu mendorong udara agar keluar dari paru.

d. Alveoli dan Membran Respirasi

Membran respiratorius pada alveoli umumnya dilapisi oleh sel

epitel pipih sederhana. Sel epitel pipih disebut dengan sel tipe I.

Makrofag alveolar bertugas berkeliling di sekitar epithelium

untuk memfagositosis partikel atau bakteri yang masih dapat

masuk ke permukaan alveoli, makrofag ini merupakan

pertahanan terakhir pada system pernapasan. Sel lain yang ada

dalam membrane respiratorius adalah sel septal atau disebut

juga sel surfaktan dan sel tipe II.Surfaktan terdiri atas fosfolipid

dan lipoprotein. Surfaktan berperan utnuk epithelium alveolar

dan mengurangi tekanan permukaan yang dapat membuat

alveoli kolaps. Tanpa adanya surfaktan tekanan pada

permukaan cenderung tinggi dan akhirnya alveoli akan menjadi

kolaps. Apabila produksi surfaktan tidak mencukupi karena

adanya injuri atau kelainan genetic (kelahiran premature), maka


15

alveoli dapat mengalami kolaps sehingga pola pernapasan

menjadi tidak efektif.

Dalam proses pemenuhan kebutuhan oksigenasi (pernapasan) di dalam

tubuh terdapat tiga tahapan yakni ventilasi, difusi, dan transportasi (Hidayat,

2006) :

1. Ventilasi

Proses ini merupakan proses keluar dan masuknya oksigen dari

atmosfer ke dalam alveoli atau dari alveoli ke atmosfer, dalam proses

ventilasi ini terdapat beberapa hal yang memengaruhi, di antaranya

adalah perbedaan tekanan antara atmosfer dengan paru. Semakin tinggi

tempat maka tekanan udara semakin tinggi. Hal lain yang

memengaruhi proses kemampuan thoraks dan paru pada alveoli dalam

melaksanakan ekspansi atau kembang kempisnya, adanya jalan napas

yang dimulai dari hidung hingga alveoli yang terdiri atas berbagai otot

polos yang kerjanya sangat dipengaruhi oleh system saraf ototnom

terjadinya rangsangan simpatis dapat menyebabkan relaksasi

sehihingga dapat terjadi vasoldiatasi , kemudian kerja saraf

parasimpatis dapat menyebabkan kontraksi sehingga dapat

menyebabkan vasokontriksi atau proses penyempitan, dan adanya

reflex batuk dan muntah juga dapat memengaruhi adanya proses

ventilasi , adanya peran mucus ciliaris yang sebagai penangkal benda

asing yang mengandung interveron dapat mengikat virus. Pengaruh

proses ventilasi selanjutnya adalah kompliasn (compliance) dan recoil

yaitu kemampuan paru untuk berkembang yang dapat dipengaruhi oleh


16

berbagai faktor, diantaranya surfaktan yang terdapat pada lapisan

alveoli yang berfungsi utnuk menurunkan ketegangan permukaan dan

masih ada sisa udara sehingga tidak terjadi kolaps dan gangguan

thoraks atau keadaan paru itu sendiri. Surfaktan diproduksi saat terjadi

peregangan sel alveoli, surfaktan disekresi saat klien menarik napas;

sedangkan recoil adalah kemampuan untuk mengeluarkan CO 2 atau

kontraksi atau meyempitnya paru. Apabila compliance baik akan tetapi

recoil terganggun aka CO2 tidak dapat keluar secara maksimal.

Pusat pernapasan yaitu medulla oblongata dan pons pun dapat

memengaruhi proses ventilasi, karena CO2 memiliki kemampuan

merangsang pusat pernapasan. Peningkatan CO2 dalam batas 60 mmHg

dapat dengan baik merangsang pusat pernapasan dan bila pCO 2 kurang

dari sama dengan 80 mmHG makan akan dapat menyebabkan depresi

pusat pernapasan.

2. Difusi Gas

Merupakan pertukaran antara oksigen alveoli dengan kapiler paru dan

CO2 kapiler dengan alveoli. Dalam proses pertukaran ini terdapat

beberapa faktor yang dapat memengaruhinya, di antaranya, pertama,

luasnya permukaan paru. Kedua, tebal membrane

respirasi/permeabilitas yang terdiri atas epitel alveoli dan interstisial

keduanya. Ini dapat memengaruhi proses difusi apabila terjadi proses

penebalan. Ketiga, perbedaan tekanan dan konsentrasi O2, hal ini dapat

terjadi seperti O2 dari alveoli masuk ke dalam darah oleh karena

tekanan O2 dalam rongga alveoli lebih tinggi dari tekanan O2 dalam


17

darah vena pulmonalis juga akan berdifusi ke dalam alveoli. Keempat,

afinitas gas yaitu kemampuan untuk menembus dan saling mengikat

Hb.

3. Transportasi

Merupakan transportasi antara O2 kapiler ke jairngan tubuh dna CO2

jairngan tubuh ke kapiler. Pada proses trasnportasi, O2 akan berikatan

dengan Hb membentuk oksihemoglobin (97%) dan larut dalam plasma

(3%). Kemudian pada trasnportasi CO2 akan berikatan dngan Hb

membentuk karbonminohemoglobin (30%), dan larut dalam plasma

(5%), kemudian sebagian menjadi HCO3 berada pada darah (65%).

Pada transportasi gas terdapat beberapa faktor yang memengaruhi,

diantaranya curah jantung (cardiac output) yang dapat dinilai melalui

isi sekuncup dan frekuensi denyut jantung. Isi sekuncup ditentukan

oleh kemampuan otot jantung untuk berkontraksi dan volume cairan.

Frekuensi denyut jantung dapat ditentukan oleh keadaan seperti over

load atau beban yang dimiliki pada akhir diastole. Pre load atau

jumlah cairan pada akhir diastole, natrium yang paling berperan dalam

menentukan besarnya potensial aksi, kalsium berperan dalam kekuatan

kontraksi dan relaksasi. Faktor lain dalam menentukan proses

transportasi adalah kondisi pembuluh darah, latihan / olahraga

(exercise), hematokrit (perbandingan antara sel darah dengan darah

secara keseluruhan atau HCT/PCV), eritrosit, dan Hb.


18

2.1.3 Etiologi

Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada

sejumlah penyebab noninfeksi yang kadang – kadang perlu dipertimbangkan.

Penyebab noninfeksi ini meliputi, tetapi tidak terbatas pada, aspirasi makanan

dan/atau asam lambung, benda asing, hidrokarbon, dan bahan lipoid; reaksi

hipersensitivitas dan pneumonitis akibat obat atau radiasi. Infeksi pada neonatus

dan hospes terganggu imun lain berbeda dari infeksi yang terjadi pada bayi dan

anak normal (Nelson, 2012).

Pola kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda sesuai dengan

distribusi umur pasien (Price, 2012). Etiologi pneumonia pada neonates dan bayi

kecil meliputi Streptococcus group B dan bakteri Gram negative seperti E.colli,

Pseudomonas sp, atau Klabisella sp. Pada bayi yang lebih besar dan anak balita,

pneumonia sering disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumonia,

Haemophillus influenza tipe B, dan Staphylococcus aureus, sedangkan pada anak

yang lebih besar dna remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi

Mycoplasma pneumoniae (Nastiti, 2008).

2.1.4 Klasifikasi

Macam pneumonia menurut anatominya (Hidayat, 2006) antara lain ;

1. Pneumonia lobaris yang terjadi pada seluruh atau satu bagian besar

dari lobus paru.

2. Pneumonia interstisial yang dapat terjadi di dalam dinding alveolar dan

jaringan peribronkhial serta interlobaris.


19

3. Bronkopneumonia yang terjadi pada ujung akhir bronkhiolus yang

dapat tersumbat oleh eksudat mukopurulen untuk membentuk bercak

konsolidasi dalam lobus.

Sedangkan kalsifikasi pneumonia menurut etiologinya (Nelson, 2012)

antara lain :

1. Pneumonia akibat virus; RSV (respiratory syncitial virus),

parainfluenzae, influenza, dan adenovirus.

2. Pneumonia akibat bakteri; pneumokokus oleh S. pneumonia,

Streptococcus grup A, stafilokokus oleh S. aureus, dan Haemophilus

influenzae.

2.1.5 Faktor Risiko

Sementara sebagian besar anak-anak yang sehat dapat melawan infeksi

dengan pertahanan alami mereka, anak-anak yang sistem kekebalannya terganggu

memiliki risiko lebih tinggi terkena pneumonia. Sistem imun seorang anak

mungkin dilemahkan oleh kekurangan gizi atau kekurangan gizi, terutama pada

bayi yang tidak disusui secara eksklusif. Penyakit yang sudah ada sebelumnya,

seperti infeksi HIV dan campak bergejala, juga meningkatkan risiko anak terkena

pneumonia.

Faktor lingkungan berikut juga meningkatkan kerentanan anak terhadap

pneumonia :

1. Polusi udara dalam ruangan yang disebabkan oleh memasak dan

pemanasan dengan bahan bakar biomassa (seperti kayu atau kotoran).

2. Tinggal di rumah yang padat.

3. Orang tua yang merokok (WHO, 2016).


20

2.1.6 Patofisiologi

Umumnya mikroorganisme penyebab terhisap ke paru bagian perifer

melalui saluran respiratori. Mula – mula terjadi edema akibat reaksi jaringan yang

mempermudah proliferasi dan penyebaran kuman ke jaringan sekitarnya. Bagian

paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadi serbukan sel PMN, fibrin,

eritrosit, cairan edema, dan ditemukannya kuman di alveoli. Stadium ini disebut

stadium hepatisasi merah. Selanjutnya, deposisi fibrin semakin bertambah,

terdapat fibrin dan leukosit PMN di alveoli dan terjadi proses fagositosis yang

cepat. Stadium ini disebut stadium hepatisasi kelabu. Selanjutnya, jumlah

makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin menipis,

kuman dan debris menghilang. Stadium ini disebut stadium resolusi. System

bronkopulmoner jairngan paru yang tidak terkena akan tetap normal (Nastiti,

2008).

2.1.7 Manifestasi Klinis

Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara

ringan hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil

yang berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga

memerlukan perawatan di RS.

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada

anak adalah imunitas anatomic dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang

luas, gejala klinis yang kadang – kadang tidak khas terutama pada bayi,

terbatasnya penggunaan prosedur diagnostic invasive, etiologi noninfeksi yang

relative lebih sering, dan faktor patogenenis.


21

Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-

ringannya infeksi, tetapi secara umum adalah sebagai berikut :

1. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah

atau diare; kadang – kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

2. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada,

takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

Gambaran klinis pneumonia pada neonatus dan bayi kecil tidak khas,

mencakup serangan apnea, sianosis, merintih, napas cuping hidung, takipnea,

letargi, muntah, tidak mau minum, takikardi atau brakikardi, retraksi subkosta,

dan demam. Pada bayi BBLR sering terjadi hipotermi. Gambaran foto rontegn

toraks tidak khas, umumnya terlihat tanda – tanda hiperinflasi bilateral dengan

berbagai bentuk infiltrate difus, seperti inflitrat intersisial, retikulonoduler,

atelektasis, bronkopenumonia, dan gambaran milier (Nastiti, 2008).

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang

1. Darah perifer lengkap

Pada pneumonia virus dan juga pada pneumona mikoplasma

umumnya ditemukan leukosit dalam batas normal atau sedikit

meningkat. Akan tetapi, pada pneumonia bakteri didapatkan

leukositosis yang berkisar antara 15.000 – 40.000/mm3 dengan

predominan PMN. Leukopenia (<5.000/mm3) menunjukkan prognosis

yang buruk. Leukositosis hebat (>30.000/mm3) hampir selalu

menunjukkan adanya infeksi bakteri, sering ditemukan pada keadaan

bakteremi, dan risiko terjadinya komplikasi lebih tinggi. Pada infeksi


22

Chlamydia pneumonia kadang – kadang ditemukan eosinofilia. Efusi

pleura merupakan cairan eksudar dengan sel PMN berkisar antara 300

- 100.000/mm3, protein >2,5 g/dl, dan glukosa relative lebih rendah

daripada glukosa darag. Kadang – kadang terdapat anemia ringan dan

laju endap darah (LED) yang meningkat (Nastiti, 2008).

2. C-Reactive Protein (CRP)

C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh

hepatosit. Sebagai respons infeksi atau inflamasi jaringan, produksi

CRP secara cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6,

IL-1, dan tumor necrosis factor (TNF). Meskipun fungsi pastinya

belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi

mikoorganisme atau sel yang rusak.

Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostic untuk

membedakan antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan

bakteri, atau infeksi bakteri superfisialis dan profunda. Kada CRP

biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan infeksi bakteri

superfisialis daripada infeksi bakteri profunda.

Pemeriksaan CRP, LED, dan pemeriksaan akut lain tidak dapat dapat

membedakan infeksi viral dan bakteri dan tidak direkomendasikan

sebagai pemeriksaan rutin (IDAI, 2009)

3. Uji serologis

Uji serologic untuk mendeteksi antigen dan antibody pada infeksi

bateri tipik mempunyai sensitivitas dan speasifitas yang rendah. Akan

tetapi, diagnosis infeksi Streptococcus group A dapat dikonfirmasi


23

dengan peningkatan titer antibody seperti antistreptomisin O,

streptomisin, atau antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti

adanya infeksi terdahulu. Untuk konfirmasi diperlukan serum fase

akut dan serum fase konvalesen (paired sera)

Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam

mndiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapu utnuk deteksi infeksi

bakter atipik seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus

seperti RSV, Sitomegalo, campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A

dan B, dan Adeno, peningkatan antibody IGM dan IgG dapat

mengkonfirmasi diagnosis.

4. Pemeriksaan mikrobiologis

Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak

rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di RS.

Untuk pemeriksaan mikrobiologik, specimen dapat berasal dari usap

tenggorok, secret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura,

atau aspirasi paru. Diagnosis dikatakan definitive bila kuman

ditemukan dari darah, cairan pleura, atau aspirasi paru. Kecuali pada

masa neonatus, kejadian bakteremia sangat rendah sehingga kultur

darah jarang yang positif. Pada pneumonia anak dilaporkan hanya

10%-30% ditemukan bakteri pada kultur darah. Pada anak besar dan

remaha specimen untuk pemeriksaan mikrobiologik dapat berasal dari

sputum, baik untuk pewarnaan gram maupun untuk kultur. Specimen

yang memenuhi syarat adalah sputum yang mengandung lebih dari 25

leukosit dan kurang dari 40 sel epitel/lapangan pada pemeriksaan


24

mikroskopis dengan pembesaran kecil, specimen dari nasofaring

untuk kultur maupun untuk deteksi antigen bakteri kurang bermanfaat

karena tingginya prevalens kolonisasi bakteri di nasofaring.

5. Pemeriksaan rontgen toraks

Foto rontgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,

hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat.

Kelainan foto toraks pada pneumonia tidak selalu berhubungan

dengan gambaran klinis. Kadang – kadang bercak – bercak sudah

ditemukan pada gambaran radiologis sebelum timbul gejala klinis.

Akan tetapi, resolusi infiltrate sering memerlukan waktu yang lebih

lama setelah gejala klinis menghilang. Pada pasien dengan pneumonia

tanpa komplikasi, ulangan foto rontgen toraks tidak diperluka.

Ulangan foto rontgen toraks diperlukan bila gejala klinis menetap,

penyakit memburuk, atau untuk tindak lanjut.

Secara umum gambaran foto toraks terdiri dari :

a. Infiltrate interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan

bronkovaskular, peribronchial cuffing, dan hiperacrasi.

b. Infiltrate alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air

bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut

dengan pneumonia lobaris, atau terlihat sbeagai lesi tunggal

yang biasanya cukup besar, berbentuk sferis, berbatas yang

tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor paru, dikenal

sebagai round pneumonia.


25

c. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata

pada kedua paru, berupa bercak – bercak infiltrate yang dapat

meluas hingga daerah perifer paru, disertai dengan

peningkatan corakan peribronkial.

Gambaran foto rontgen toraks pada anak meliputi infiltrate ringan

pada satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada suatu

penelitian ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak

berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di

paru kiri, dan terbanyak di lobus bawah, maka hal itu merupakan

predictor perjalanan penyakit yang lebih berat dengan resiko

terjadinya pleuritis lebih meningkat.

2.1.9 Komplikasi

William & Wilkins (2013) menyebutkan komplikasi pada pasien dengan

pneumonia yaitu :

1. Gagal napas akut

2. Empiema

3. Abses paru

4. Efusi pleura

Nastiti (2008) menyebutkan bahwa komplikasi pneumonia pada anak

meliputi empiema torasis, perikarditis purulenta, pneumotoraks, atau infeksi

ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Empiema torasis merupakan

komplikasi tersering yang terjadi pada pneumonia bakteri.

Ilten F. dkk (2003) dalam Nastiti (2008) melaporkan mengenai komplikasi

miokarditis (tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase


26

meningkat, dan gagal jantung) yang cukup tinggi pada seri pneumonia anak

berusia 2 – 24 bulan. Oleh karena miokarditis merupakan keadaan yang fatal,

maka dianjurkan untuk melakukan deteksi dengan teknik noninvasive seperti

EKG, ekokardiografi, dan pemeriksaan enzim.

2.1.10 Penatalaksanaan

Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu rawat inap. Indikasi

perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis,

distress pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain,

komplikasi dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil

dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.

PPM IDAI (2009) menyebutkan kriteria rawat inap untuk bayi yaitu

saturasi oksigen ≤ 92 %, sianosis, frekuensi napas >60 x/menit, distress

pernapasan, apnea intermitten, atau grunting, tidak mau minum/menetek, keluarga

tidak bisa merawat di rumah. Sedangkan kriteria rawat inap pada anak yaitu

saturasi oksigen <92%, sianosis, frekuensi napas >50 x/menit, distress

pernapasan, grunting, terdapat tanda dehidrasi, keluarga tidak bisa merawat di

rumah.

Tata laksana umum pneumonia menurut PPM IDAI (2009) yaitu pasien

dengan saturasi oksigen ≤92% pada saat bernapas dengan udara kamar harus

diberikan terapi oksigen dengan kanul nsal, head box, atau sungkup untuk

mempertahankan saturasi oksigen >92%, pada pneumonia berat atau asupan per

oral kurang, diberikan cairan intravena dan dilakukan balans cairan ketat,

fisioterapi dada tidak bermanfaat dan tidak direkomendasikan untuk anak dengan

pneumonia, antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan


27

pasien dan mengontrol batuk, nebulisasi dengan β2 agonis dan/atau NaCl dapat

diberikan untuk memperbaiki mucocilliary clearance.

Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan

antibiotic yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi

pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan

keseimbangan asam-basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam

dapat diberikan analgetik/antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti

efektif, penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat, komplikasi yang

mungkin terjadi dipantau dan diatasi.

Penggunaan antibiotic yang tepat merupakan kunci utama keberhasilan

pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak dengan

pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri.

1. Pneumonia rawat jalan

Pada pneumonia ringan rawta jalan dapat diberikan antibiotik lini

pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada

pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral

dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis amoksisilin yang

diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah 4

mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol.

Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru, dapat digunakan

sebagai terapi alternative beta-laktam pengobatan inisial pneumonia,

dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap S. pneumonia

dan bakteri atipik.


28

2. Pneumonia rawat inap

Pilihan antibiotik lini pertama dapat menggunakan antibiotik

golongan-beta laktam atau kloramfenikol. Pada pneumonia yang tidak

responsive terhadap beta-laktam dan kloramfenikol, dapat diberikan

antibiotik seperti gentamisin, amikasin, atau sefalosporin, sesuai

dengan petunjuk etiologi yang ditemukan. Terapi antibiotik diteruskan

selama 7 – 10 hari pada pasien dengan pneumonia tapa komplikasi,

meskipun tidak ada studi kontrol mengenai lama terapi antibiotik yang

optimal.

Pada neonatus dan bayi kecil, terapi awal antibiotik intravena harus

dimulai sesegera mungkin. Oleh karena itu, pada neonatus dan bayi

seirng terjadi sepsi dan meningitis, antibiotik yang direkomendasikan

adalah antibiotik spectrum luas seperti kombinasi

beta-laktam/klavulanat dengan aminoglikosid, atau sefalosporin

generasi ketiga. Bila keadaan sudah stabil antibiotik diganti dengan

anitibiotik oral dan berobat jalan.

Rekomendasi UKK Respirologi (IDAI, 2009) menyebutkan antibiotik

untuk community acquired pneumonia untuk neonatus kurang dari dua bulan

diberikan ampisilin + gentamisin sedangkan lebih dari dua bulan, lini pertama

ampisilin bila dalam tiga hari tidak ada perbaikan dapat ditambahkan

kloramfenikol, dan lini kedua seftriakson.

Selain pemberian obat baik secara oral maupun intravena, pemberian

nutrisi juga perlu diperhatikan terutama pada anak yang mengalami distress

pernapasan berat, sehingga pemberian makanan per oral harus dihindari. Makanan
29

yang dapat diberikan lewat nasogastric tube (NGT) atau intravena. Tetapi harus

diingat bahwa pemasangan NGT dapat menekan pernapasan, khususnya pada

bayi/anak dengan ukuran lubang hidung kecil. Jika memang dibutuhkan,

sebaiknya menggunakan ukuran yang terkecil.

Perlu dilakukan juga pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak

mengalami overdehidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan

sekresi hormon antidiuretik (IDAI, 2009).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan

Bronchopneumonia

2.2.1 Pengkajian

Pada anak dengan bronkopneumonia biasanya ditemukan adanya

peningkatan suhu yang mendadak dan kemungkinan juga disertai dengan

kejang, anak gelisah, sesak, sianosis, pernapasan cuping hidungk, kadang

– kadang muntah, dan diare serta awalnya batuk kering kemudian menjadi

produktif. Pada pemeriksaan fisik khususnya suara napas adanya suara

vesikuler dan melemah, adanya ronkhi basah, halus, dan nyaring. Pada

pemeriksaan laboratorium adanya leukositosis, laju endah darah meninggi

(Hidayat, 2006).

2.2.2 Masalah Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif

2. Cemas

3. Bersihan jalan napas tidak efektif

4. Risiko infeksi

5. Intoleransi aktivitas
30

6. Nyeri

7. Perubahan proses keluarga

2.2.3 Rencana Tindakan Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif

Terjadinya pola napas tidak efektif dapat disebabkan akrena adanya

proses inflamasi pada paru atau parenkim paru. Tujuan rencana

keperawatan adalah mengembalikan fungsi pernapasan secara normal.

Tindakan :

a. Aturlah posisi dengan memungkinkan ekspansi paru maksimaum

dengan semi fowler atau kepala agak tinggi kurng lebih 30 derajat.

b. Hindari pakaian anak yang terlalu ketat.

c. Berikan bantal atau sokongan agar jalan napas memungkinkan

tetap terbuka.

d. Berikan oksigenasi sesuai kebutuhan anak.

e. Berikan atau tingkatkan istirahat dan tidur sesuia dengan ekbutuhan

anak atau dengan jadwal yang tepat.

f. Berikan pelembab untuk melancakan jalan pernapasan.

g. Ajarkan teknik relaksasi pada anak yang sudah memahami, sudah

bisa atau mengerti.

h. Monitor pernapasan, irama, kedalaman atau gunakan oksimetri

nadi untuk memantau saturasi oksigen.

2. Cemas

Ketakutan atau kecemasan dapat terjadi pada anak dengan gangguan

system pernapasan. Hal ini dapat disebabkan oelh kaerena adanya


31

kesulitan bernapas, atau prosedur yang dilakukan pada anak. Upaya

tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan menurunkan rasa takut

atau cemas pada anak dan orang ta sehingga tidak terjadi masalah yang

serius.

Tindakan :

a. Jelaskan prosedur atau tindakan yang akan dilakukan serta ciptakan

hubungan dengan anak dan orang tua.

b. Berikan kenyamanan pada lingkungan anak sepert digendong, atau

mengayun, membelai, dan memberikan music.

c. Libatkan orang tua dalam memberikan perawatan sehingga anak

merasakan ketenangan.

d. Jangan berbuat yang menimbulkan anak menjadi cemas atau takut.

e. Berikan obat yang memperbaiki ventilasi seperti bronkodilator atau

ekspektoran sesuai dengan ketentuan pada anak.

3. Bersihan jalan napas tidak efektif

Masalah bersihan jalan napas pada anak dengan peradangan pada paru

dapat disebabkan oleh adanya obstruksi , inflamasi, dan peningkatan

sekresi atau nyeri yang membuat anak tidak mampu batuk secara

efektif. Upaya yang dilakukan adalah dengan cara mempertahank

napas atau kepatenan jalan napas, sehingga diharapkan napasnya

bersih dan mampu mengeluarkan sekresi yang adekuat.

Tindakan :

a. Atur posisi dengan tubuh sejajar yang dapat membuat ekspansi

paru.
32

b. Lakukan penghisapan sekresi jalan napas.

c. Bantu anak untuk mengeluarkan sputum atau latih batuk secara

efektif bila sudah mengerti.

d. Lakukan fisioterapi dada.

e. Berikan ekspektoran yang sesuai untuk memudahkan pengeluaran

sputum.

f. Berikan caifan yang adekuat untuk mengencerkan sekresi.

g. Berikan nebulisasi dengan larutan dan alat yang tepat sesuai

dengan ketentuan.

4. Risiko Infeksi

Risiko terjadi infeksi sekunder pada anak dengan keradangan

pernapasan ini adalah kemungkinan adanya tumpangan

mikroorganisme yang disebabkan oleh menurunnya daya tahan tubuh

pada anak. Rencana pemecahan masalah tersebut dapat berupa

tindakan yang bertujuan menurunkan gejala infeksi tersebut.

Tindakan :

a. Isolasikan anak untuk mencegah penyebaran infeksi nosokomial.

b. Pertahankan lingkungan yang aseptic.

c. Berikan antibiotik yang sesuai untuk mencegah infeksi lanjut.

d. Berikan diet yang seimbang.

e. Anjutkan fisioterapi dada.

f. Ajarkan anak untuk mencegah penyebaran infeksi seperti emncuci

tangan , membuang tisu kotor.

g. Batasi pengunjung.
33

h. Berikan antimikroba bila ditemukan kuman.

5. Intoleransi Aktivitas

Terjadinya intoleransi aktivitas ini akibat adanya proses inflamasi,

ketidakseimbangan antara suplasi dan kebutuhan oksigen. Tujuan

keperawatan yang diharapkan untuk mengatasi masalah ini adalah

dengan cara mempertahankan tingkat energi yang adekuat serta pasien

diharapkan memperoleh istirahat yang optimal.

Tindakan :

a. Bantu anak dalam melakukan aktivitas yang sesuai dna berikan

aktivitas yang menyenangkan sesuai dengan kemampuan dan

minat anak.

b. Anjurkan anak untuk beristirahat sesuai dengan kondisi yang

sesuai.

c. Berikan lingkungan yang tenang.

d. Atur aktivitas yang sesuai agar tidur dapat maksimum.

e. Anjurkan orang tua agar tetap bersama anak.

6. Nyeri

Nyeri yang terjadi pada anak dengan penyakit keradangan paru ini

akibat proses inflamasi. Hal ini dapat diatasi dengan menurunkan

ambang nyeri sampai batas toleransi yang diterima anak.

Tindakan :

a. Berikan kompres panas atau dingin pada daerah yang sakit.

b. Berikan analgesic sesuai dengan ketentuan yang ebrlaku pada anak.


34

c. Berikan aktivitas pengalihan sesuai dengan kondisi dan

kemampuan anak.

7. Perubahan proses keluarga

Terjadinya perubahan proses keluarga dapat disebabkan adanya

penyakit yang diderita anak atau proses hospitalisasi pada anak. Untuk

itu tindakan yang dilakukan adalah upaya peningkatan keluraga dalam

melakukan koping serta mengurangi kecemasan.

Tindakan :

a. Kaji perasaan keluarga dan masalah yang terjadi apda anak.

b. Jelaskan tentang terapi yang dilakukan serta perilaku pada anak.

c. Berikan dukungan pada keluarga.

d. Libatkan keluarga dalam perawatan anak.

2.3 Konsep Malnutrisi Pada Bayi

2.3.1 Definisi

Kebutuhan gizi seseorang adalah jumlah yang diperkirakan cukup untuk

memelihara kesehatan pada umumnya. Secara garis besar, kebutuhan gizi

ditentukan oleh usia, jenis kelamin, aktivitas, berat badan, dan tinggi badan.

Antara asupan zat gizi dan pengeluarannya harus ada keseimbangan sehingga

diperoleh status gizi yang baik. Status gizi bayi dapat dipantau dengan

menimbang anak setiap bulan dan dicocokkan dengan Kartu Menuju Sehat (KMS)

(Lubis, dkk, 2014).

Malnutrisi yaitu suatu kondisi dimana penderita mengalami penurunan

berat badan lebih dari 10% dari berat badan sebelumnya dalam tiga bulan terakhir.
35

Kriteria lain yang digunakan adalah apabila saat pengukuran berat badan kurang

dari 90% berat badan ideal berdasarkan tinggi badan (Rani, 2011).

2.3.2 Etiologi

Malnutrisi dapat akibat kurang dari masukan makanan yang tidak sesuai

atau tidak cukup. Penyediaan makanan yang tidak cukup, kebiasaan diet jelek,

mengikuti mode makanan, dan faktor – faktor emosi dapat membatasi masukan.

Kelainan metabolic tertentu dapat juga menyebabkan malnutrisi. Kebutuhan

nutrient pokok dapat menambah stress dan sakit serta selama pemberian antibiotik

atau obat – obat katabolic atau anabolic. Malnutrisi dapat akut atau kronik,

reversible atau tidak (Barness & Curran, 2012).

Faktor yang mempengaruhi gizi kurang berdasarkan pendapat Soekiman

dalam Materi Aksi Pangan dan Gizi Nasional (Depkes RI, 2000) dalan Waryana

(2010), penyebab kurang gizi adalah :

1. Penyebab langsung

Penyebab langsung timbulnya masalah gizi yaitu makanan yang

dikomsumsi anak dan penyakit infeksi anak. Timbulnya gizi kurang

bukan saja karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit.

Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering diserang

diare atau demam, akhirnya menderita gizi kurang. sebaliknya anak

yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubunya (imunitas)

dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang

nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang. sehingga disini

terlihat interaksi antara komsumsi makanan yang kurang dan infeksi

merupakan hal yang saling mempengaruhi.


36

2. Penyebab tidak langsung

Penyebab tidak langusng yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola

pengasuhan anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan.

Rendahnya ketahanan pangan rumah tangga, pola asuh anak yang tidak

memadai, kurangnya sanitasi lingkungan serta pelayanan kesehatan yang tidak

memadai merupakan tiga faktor yang saling berhubungan. Makin tersedia air

bersih yang cukup untuk keluarga makin dekat jangkauan keluarga terhadap

pelayanan dan sarana kesehatan, ditambah dengan pemahaman ibu tentang

kesehatan, makin kecil risiko anak terkena penyakit dan kekurangan gizi.

Faktor langsung maupun tidak langsung sangat terkait dengan tingkat

pendidikan , pengetahuan, dan keterampilan keluarga. Makin tinggi tingkat

pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan maka akan semakin tinggi ketahanan

pangan keluarga. Makin baik pola pengasuhan anak makin baik memanfaatkan

pelayanan kesehatan yang ada. ketahaanan pangan juga terkait dengan

ketersediaan pangan, harga pangan, dan daya beli keluarga serta pengetahuan

tentang gizi dan kesehatan (Waryana, 2010).

2.3.3 Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala gizi buruk pada umumnya adalah :

1. Kelelahan dan kekurangan energi

2. Pusing

3. System kekebalan tubuh yang rendah

4. Kulit kering dan bersisik

5. Gusi mudah berdarah

6. Sulit untuk berkonsentrasi dan mempunyai reaksi yang lambat


37

7. Berat badan kurang

8. Pertumbuhan yang lambat

9. Kelemahan otot

10. Perut kembung

11. Tulang mudah patah

12. Terdapat masalah pada fungsi organ tubuh

2.3.4 Patofisiologi

Gizi buruk atau malnutrisi bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti

faktor penyebab langsung dan tidak langsung. Kedua faktor ini jika terus terjadi

akan membuat imunitas tubuh sebagai pertahanan dari berbagai infeksi akan

menurun. Sehingga pada penderita gizi buruk atau malnutrisi biasanya rentan akan

infeksi. Kebutuhan nutrisi dan kalori juga semakin meningkat karena tidak adanya

asupan sehingga perlahan – lahan tubuh mengambil cadangan energi yang

tersimpan di dalam lemak baik di kulit atau di organ hati. Jika kebutuhan ini tidak

dipenuhi maka tubuh akan semakin kurus ditandai adanya penurunan berat badan,

turgor kulit menurun, mata cowong, serta rambut yang rontok dan berwarna

kemerahan akibat nutrisi yang tidak terpenuhi. Sel – sel penting seperti sel otak

dan sel tubuh juga mengalami hambatan dalam perkembangannya sehingga terjadi

kegagalan dalam tumbuh kembang.

2.3.5 Komplikasi

1. Anoreksia

2. Pneumonia berat

3. Anemia berat

4. Dehidrasi berat
38

5. Demam sangat tinggi

6. Penurunan kesadaran (Kemenkes RI,2011)

2.3.6 Pemeriksaan Penunjang

Pengukuran status gizi dengan indicator BB/TB merupakan pengukuran

antropometri yang terbaik karena dapat menggambarkan secara sensitive dan

spesifik status gizi saat ini atau masalah gizi akut. Berat badan berkolerasi linier

dnegan tinggi badan, artinya dalam keadaan normal perkembangan berat badan

akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Hal ini berarti

berat badan yang normal akan proporsional dengan tinggi badannya. Ini

merupakan indicator yang baik untuk menilai status gizi saat ini terutama bila data

umur yang akurat sering sulit diperoleh. WHO & UNICEF merekomendasikan

menggunakan indicator BB/TB dengan cut of point < -3 SD dalam kegiatan

identifikasi dan manajemen penanganan bayi dan anak balita gizi buruk akut

(Depkes RI, 2009).

IDAI (2009) menyebutkan pemeriksaan penunjang untuk anak dengan

malnutrisi adalah pemeriksaan kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap,

feses lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin, tes

mantoux, radiologi (dada, AP, dan lateral), serta EKG.


39

2.3.7 Penatalaksanaan

1. MEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi, dan

rehabilitasi)

Gambar 2.1 Gambar Jadwal Pengobatan dan Perawatan Anak Gizi Buruk
(Depkes RI, 2011)

2. Medikamentosa yang terdiri dari ;

a. Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit ;

rehidrasi secara oral dengan resomal, secara parenteral hanya pada

dehidrasi berat atau syok.

b. Atasi / cegah hipoglikemi.

c. Atasi/cegah gangguan elektrolit.

d. Atasi/cegah hipotermi

e. Antibiotika
40

f. Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman

1) Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5

hari

2) Bila infeksi nyata: ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan

dengan oral sampai 7 hari, ditambah dengan gentamisin IM

selama 7 hari

g. Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12

bulan : 100.000 Si, >1 tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan

dan hari ke-15 atau sebelum pulang.

h. Multivitamin mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg,

selanjutnya 1 mg per hari.

3. Suportif/dietetic secara oral dan intravena

4. Edukasi

Memberikan pengetahuan pada orang tua tentang pengetahuan gizi,

melatih ketataan dalam pemberian diet, dan menjaga kebersihan diri dan

lingkungan

2.3.8 Asuhan keperawatan pada pasien dengan malnutrisi

1. Pengkajian

a. Anamnesa

Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang

kurang, anak kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada

keluhan anak kurang/tidak mau makan sering menderita sakit

yang berulang atau timbuknya bengkak pada kedua kaki,

kadang sampai seluruh tubuh (IDAI, 2009).


41

b. Pemeriksaan fisik

Fokus pengkajian dengan pengukuran antropometri yang

biasanya ditemuka gejala penurunan antropometri, perubahan

rambut, gambaran wajah seperti orang tua, adanya gangguan

pada pernapasan (batuk, sesak, retraksi dinding intercostal),

perut tampak membuncit, hati teraba membesar, bising usus

dapat meningkat jika terjadi diare, edema tungkai.

c. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan

terutama jenis normokistik normokrom karena adanya

gangguan sitem eritopoesis akibat hipoplasia kronis sum-sum

tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang dalam

makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbs. Selain itu

ditemukan kadar albumin serum yang menurun. Pemeriksaan

radiologis juga perlu dilakukan untuk menemukan adanya

kelainan pada paru.

2. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

a. Defisit nutrisi dengan tujuan tindakan untuk meningkatkan

status gizi.

Intervensi :

1) Timbang berat badan dan LILA setiap hari

2) Jelaskan kepada keluarga tentang penyebab malnutrisi,

kebutuhan nutrisi pemulihan, susunan menu dan


42

pengolahan makanan sehat seimbang, tunjukkan contoh

dan jenis makanan ekonomis sesuai dengan status

sosial.

3) Ajarkan cara pemberian makanan oral per sonde dan

beri kesempatan anggota keluarga untuk melakukan

sendiri

4) Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian

terapi diit sesuai dengan kebutuhan kalori pasien

b. Hipovolemik

1) Hitung balans cairan

2) Lakukan observasi pemberian cairan per sonde atau

intravena

3) Kaji perkembangan keadaan pasien

4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi cairan

c. Gangguan tumbuh kembang

1) Ajarkan orang tua tentang standar perkembangan fisik

dan tugas perkembangan sesuai usia anak

2) Lakukan pemberian makanan/minuman sesuai program

3) Lakukan stimulasi tingkat perkembangan dan libatkan

anggota keluarga

d. Risiko aspirasi

1) Lakukan pengecekan slang sonde setiap kali

memberikan nutrisi setidaknya satu kali sehari


43

2) Tinggikan kepala pasien untuk mencegah makanan

masuk ke dalam paru

e. Bersihan jalan napas tidak efektif

1) Kaji status pernapasan

2) Lakukan nebulisasi dan fisioterapi dada serta suction

3) Anjurkan untuk minum banyak untuk mengecerkan

sputum

2.4 Konsep Tumbuh Kembang

2.4.1 Definisi

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur sebagian atau

keseluruhan tubuh, sehingga dapat diukur dengan satuan panjang dan berat.

Pertumbuhan anak juga dapat diartikan sebagai perubahan kuantitatif pada

material pribadi sebagai akibat adanya pengaruh lingkungan. Material pribadi

yang dimaksud ialah sel, kromosom, rambut, butiran darah, dan tulang. Adapun

ciri pertumbuhan anak meliputi pertambahan material, baik terkait pertumbuhan

yang bersifat kuantitaif maupun kualitatif, asalkan tidak bergubungan dengan

fungisnya (Fida & Maya, 2012).

Sedangkan perkembangan ialah bertambahnya kemampuan struktur dan

fungsi tubuh yang lebih kompleks, serta bersifat kualitatif yang pengukurannya

lebih sulit daripada pertumbuhan (IDAI, dalam Fida & Maya, 2012). Depkes

(2005) dalam Fida & Maya (2012) menjelaskan perkembangan sebagai

bertambahnya srtruktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam kemampuan

gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian.
44

Pertumbuhan (growth) adalah perubahan yang bersifat kuantitatif, yaitu

bertambahnya jumlah, ukuran, dimensi pada tingkat sel, organ, maupun individu.

Anak tidak hanya bertambah besar secara fisik, melainkan juga ukuran dan

struktur organ-organ tubuh dan otak. Sebagai contoh, hasil dari pertumbuhan otak

adalah anak mempunyai kapasitas lebih besar untuk belajar, mengingat, dan

mempergunakan akalnya. Jadi anak tumbuh baik secara fisik maupun mental.

Pertumbuhan fisik dapat dinilai dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram),

ukuran panjang (cm, meter) umur tulang, dan tanda-tanda seks sekunder

(Soetjiningsih, 2013). Menurut Karl E Garrison (Syamsussabri, 2013)

pertumbuhan adalah perubahan individu dalam bentuk ukuran badan, perubahan

otot, tulang, kulit, rambut dan kelenjar.

2.4.2 Aspek tumbuh kembang

1. Aspek pertumbuhan

Untuk menilai pertumbuhan anak dilakukan pengukuran antopometri,

pengukuran antopometri meliputi pengukuran berat badan, tinggi

badan (panjang badan), lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lingkar

dada (Saputri, 2014). Pengukuran berat badan digunakan untuk menilai

hasil peningkatan atau penurunan semua jaringan yang ada pada tubuh,

pengukuran tinggi badan digunakan untuk menilai status perbaikan

gizi disamping faktor genetik, sedangkan pengukuran lingkar kepala

dimaksudkan untuk menilai pertumbuhan otak. Pertumbuhan otak

kecil (mikrosefali) menunjukkan adanya reterdasi mental, apabila

otaknya besar (volume kepala meningkat) terjadi akibat penyumbatan


45

cairan serebrospinal. (Hidayat, 2011). Pada umur 6 bulan lingkar

kepala rata-rata adalah 44 cm (Angelina, 2014).

2. Aspek perkembangan

a. Motorik kasar (gross motor) merupakan keterampilan meliputi

aktivitas otot-otot besar seperti gerakan lengan, duduk, berdiri,

berjalan dan sebagainya (Saputri, 2014).

b. Motorik halus (fine motor skills) merupakan keterampilan fisik

yang melibatkan otot kecil dan koordinasi mata dan tangan

yang memerlukan koordinasi yang cermat. Perkembangan

motorik halus mulai memiliki kemampuan menggoyangkan

jari-jari kaki menggambar dua tau tiga bagian, menggambar

orang, melambaikan tangan dan sebagainya (Saputri, 2014).

c. Bahasa (Languange) adalah kemampuan untuk memberikan

respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara

spontan, berkomunikasi (Hidayat, 2011 )

d. Sosialisasi dan kemandirian merupakan aspek yang

berhubungan dengan kemampuan mandiri (makan sendiri,

membereskan mainan selesai bermain), berpisah dengan

ibu/pengasuh anak, bersosialisasi dan berinteraksi dengan

lingkungannya ( Rusmil, 2008).

2.4.3 Ciri – Ciri Tumbuh Kembang


46

Ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan anak menurut Soetjiningsih

(2013) adalah :

1. Ciri pertumbuhan

Pertumbuhan dapat dinilai dari beberapa perubahan yaitu : (a)

Perubahan ukuran, terlihat jelas pada pertumbuhan fisik dengan

bertambahnya umur anak terjadi pula penambahan berat badan, tinggi

badan, lingkar kepala dan lain-lain. (b) Proporsi tubuh, perubahan

proporsi tubuh sesuai dengan bertambahnya umur anak, proporsi tubuh

seorang bayi baru lahir sangat berbeda dibandingkan tubuh anak

ataupun orang dewasa. (c) Hilangnya ciri-ciri lama, selama proses

pertumbuhan terdapat hal-hal yang terjadi perlahan-lahan seperti

menghilangnya kelenjar timus, lepasnya gigi susu dan menghilangnya

refleks-refleks primitif. (d) Timbul ciri-ciri baru, dikarenakan

pematangan fungsi-fungsi organ, seperti tumbuh gigi permanen.

2. Ciri perkembangan

Perkembangan melibatkan perubahan, yaitu terjadi bersamaan dengan

pertumbuhan disertai dengan perubahan fungsi. Misalnya,

perkembangan sistem reproduksi disertai dengan perubahan pada

organ kelamin. Perubahan-perubahan ini meliputi perubahan ukuran

tubuh secara umum, perubahan proporsi tubuh, berubahnya ciri-ciri

lama dan timbulnya ciri-ciri baru sebagai tanda kematangan

suatuorgan tubuh tertentu. Perkembangan awal menentukan

perkembangan selanjutnya. Seseorang tidak akan melewati satu tahap

perkembangan sebelum dia melewati tahapan sebelumnya. Misalnya,


47

seorang anak tidak akan bisa berjalan sebelum dia berdiri. Karena itu

perkembangan awal merupakan masa kritis karena akan menentukan

perkembangan selanjutnya. Perkembangan juga memiliki tahap yang

berurutan, tahap ini di lalui seorang anak mengikuti pola yang teratur

dan berurutan, dan tahap-tahap tersebut tidak bisa terjadi terbalik.

Misalnya, anak lebih dahulu mampu berdiri sebelum berjalan, mampu

membuat lingkaran sebelum mampu mampu membuat gambar kotak,

dan lain-lain.

2.4.4 Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang

Tumbuh kembang anak mulai dari konsepsi sampai dewasa dipengaruhi

oleh banyak faktor, seperti faktor genetik dan faktor lingkungan bio-fisiko-

psikososial, yang bisa menghambat atau mengoptimalkan tumbuh kembang anak

(Soetjiningsih, 2013). Menurut Riyadi (2009) setiap orang tua akan

mengharapkan anaknya tumbuh dan berkembang secara sempurna tanpa

mengalami hambatan tertentu. Pola tumbuh kembang secara normal antara anak

yang satu dengan anak yang lainnya pada akhirnya tidak selalu sama, karena

dipengaruhi oleh interaksi oleh banyak faktor (Nursalam, 2008).

Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,

yaitu :

1. Faktor dari dalam (internal)

Faktor dari dalam dapat dilihat dari faktor genetik dan hormonal,

faktor genetik akan mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan

kematangan tulang, alat seksual, serta saraf, sehingga merupakan

modal dasar dalam mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang,


48

yaitu : perbedaan ras. Etnis atau bangsa, keluarga, umur jenis kelamin

dan kelainan kromosom. Kemudian pengaruh hormonal, dimana sudah

terjadi sejak masa prenatal, yaitu saat janin beumur 4 bulan. Pada saat

itu, terjadi pertumbuhan yang cepat. Hormon yang berpengaruh

terutama adalah hormon pertumbuhan somatropin yang dikeluarkan

oleh kelenjar pituitary. Selain itu, kelenjar tiroid juga menghasilkan

kelenjar tiroksin yang berguna untuk metabolisme serta maturasi

tulang, gigi dan otak (Soetjiningsih, 2013).

2. Faktor dari luar (eksternal)

Faktor dari luar dapat dilihat dari : (a) faktor prenatal, antara lain gizi,

mekanis, toksin/zat kimia, endoktrin, radiasi, infeksi, kelainan

imunologi, anoksiembrio dan psikologi ibu. (b) faktor persalinan, yaitu

komplikasi persalinan pada bayi seperti trauma kepala, afaksia dapat

menyebabkan kerusakn jaringan otak. (c) Faktor pasca salin, yaitu gizi,

penyakit kronis/kelainan kongenital, lingkungan fisis dan kimia,

psikologis, endokrin, sosio-ekonomi, lingkungan pengasuhan,

stimulasi dan obat-obatan (Rusmil 2008).

2.4.5 Tahap Tumbuh Kembang Anak

1. Pertumbuhan

a. Berat badan

Pemantauan pertumbuhan bayi dan anak dapat dilakukan dengan

menimbang berat badan, mengukur tinggi badan, dan lingkar

kepala anak. Pertumbuhan berat badan bayi usia 0-6 bulan

mengalami penambahan 150-250 gram/minggu dan berdasarkan


49

kurva pertumbuhan yang diterbitkan oleh National Center for

Health Statistics (NCHS), berat badan bayi akan meningkat dua

kali lipat dari berat lahir pada anak usia 4-7 bulan (Wong, 2008).

Berat badan lahir normal bayi sekitar 2.500-3.500 gram, apabila

kurang dari 2.500 gram dikatakan bayi memiliki berat lahir rendah

(BBLR), sedangkan bila lebih dari 3.500 gram dikatakan

makrosomia. Pada masa bayi-balita, berat badan digunakan untuk

mengukur pertumbuhan fisik dan status gizi diperhaatikan

(Susilowati 2008, dalam Rif’atunnisa, 2014).

b. Panjang badan

Istilah panjang badan dinyatakan sebagai pengukuran yang

dilakukan ketika anak terlentang (Wong, 2008). Pengukuran

panjang badan digunakan untuk menilai status perbaikan gizi.

Selain itu, panjang badan merupakan indikator yang baik untuk

pertumbuhan fisik yang sudah lewat (stunting) dan untuk

perbandingan terhadap perubahan relatif, seperti nilai berat badan

dan lingkar lengan atas (Nursalam, 2008). Pengukuran panjang

badan dapat dilakukan dengan sangat mudah untuk menilai

gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak. Panjang bayi

baru lahir normal adalah 45-50 cm dan berdasarkan kurva yang

ditentukan oleh National Center for Health Statistics (NCHS), bayi

akan mengalami penambahan panjang badan sekitar 2,5 cm setiap

bulannya (Wong, 2008). Penambahan tersebut akan berangsur-

angsur berkurang sampai usia 9 tahun, yaitu hanya sekitar 5


50

cm/tahun dan penambahan ini akan berhenti pada usia 18-20 tahun

(Nursalam, 2008).

c. Pengukuran Lingkar Kepala Anak

Cara yang biasa dipakai untuk mengetahui pertumbuhan dan

perkembangan otak anak. Biasanya ukuran pertumbuhan tengkorak

mengikuti perkembangan otak, sehingga bila ada hambatan pada

pertumbuhan tengkorak maka perkembangan otak anak juga

terhambat. Pengukuran dilakukan pada diameter occipitofrontal

dengan mengambil rerata 3 kali pengukuran sebagai standar

(Chamidah, 2009). Lingkar kepala pada waktu lahir rata-rata

adalah 34-35 cm dan lingkar kepala ini lebih besar daripada lingkar

dada. Pada anak umur 6 bulan, lingkar kepala rata-rata adalah 44

cm, umur 1 tahun 47 cm, 2 tahun 49 cm, dan dewasa 54 cm. Jadi,

pertambaha lingkar kepala pada 6 bulan pertama adalah 10 cm,

atau sekitar 50% pertambahan lingkar kepala sejak lahir sampai

dewasa terjadi 6 bulan pertama kehidupan. (Soetjiningsih, 2013).

2. Perkembangan

a. Perkembangan motorik kasar, aspek perkembangan lokomosi

(gerakan) dan postur (posisi tubuh). Pada usia 6 bulan, bila bayi

didudukkan di lantai, bayi bisa duduk sendiri tanpa disokong tetapi

punggung masih membungkuk, bayi mampu berguling sebagai

aktivitas yang disadari sehingga untuk mencapai benda dengan

jarak dekat, bayi dapat berguling-guling. Kontrol kepala bayi


51

muncul lebih dulu pada posisi tengkurap, sehingga bayi lebih

dahulu berguling dari posisi terlentang.

b. Perkembangan motorik halus, kemampuan motorik halus

dipengaruhi oleh matangnya fungsi motorik, dan koordinasi

neuromuskular yang baik, fungsi visual yang akurat, dan

kemampuan intelek nonverbal. Pada usia 6 bulan bayi mampu

memindahkan objek dari tangan satu ke tangan lainnya, bayi juga

mampu meraih dan mengambil benda dengan baik, tanpa disertai

gerakan simultan pada tangan yang lain, bayi juga mampu

memasukkan balok ke dalam gelas tapi tidak bisa mengambil

kembali

c. Perkembangan bahasa, kemampuan untuk memberikan respons

terhadap suara, mulai mengenal kata-kata “da da, pa pa, ma ma”.

d. Perkembangan sosial, banyak dipengaruhi faktor lingkungan

(pengasuhan). Seorang bayi mewarisi karakteristik emosional-

sosial dan gaya berinteraksi, tetapi sifat bawaan tersebut

dimodifikasi oleh gaya orangtua dan lingkungan sosial, bayi akan

merasa nyaman disekitar orang-orang akrab dan timbul kecemasan

di sekitar orang asing. Pada usia ini bayi senang bermain dengan

bayi lainnya, dan sekali- kali ia akan tersenyum dan meniru suara

masing-masing, diusia ini bayi mulai mengenali orang tua.

2.4.6 Gangguan Pertumbuhan dan Perkembangan

1. Gangguan pertumbuhan fisik


52

Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan diatas

normal dan gangguan pertumbuhan dibawah normal. Pemantauan berat

badan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat). Menurut

Soetjaningsih (2003, dalam Abdul Rajab, 2013) bila grafik berat badan

naik lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau

kelainan hormonal. Sedangkan apabila grafik berat badan dibawah

normal kemungkinan anak mengalami kurang gizi, menderita penyakit

kronis atau atau kelainan hormonal. Lingkar kepala juga menjadi salah

satu parameter yang penting. Ukuran lingkar kepala menggambarkan

isi kepala termasuk otak dan cairan serebrospinal. Lingkar kepala yang

lebih dari normal dapat dijumpai pada anak yang menderita

hidroseflus, megaensefali, tumor otak. Sedangkan apabila lingkar

kepala kurang dari normal dapat diduga anak menderita retardasi

mental, malnutrisi kronis.

2. Gangguan perkembangan motorik

Perkembangan motorik yang lambat dapat disebabkan oleh beberapa

hal. Salah satu penyebab gangguan perkembangan motorik adalah

kelainan tonus otot atau penyakit neuromuskular. Anak dengan

cerebral palsy dapat mengalami keterbatasan perkembangan motorik

sebagai akibat spastisitas, athetosis, ataksia, atau hipotonia. Kelainan

sumsum tulang belakang seperti spina bifida juga dapat menyebabkan

keterlambatan perkembangan motorik. Namun tidak selamanya

gangguan perkembangan motorik selalu didasari adanya penyakit

tersebut. Faktor lingkungan serta kepribadian anak juga dapat


53

mempengaruhi keterlambatan perkembangan motorik. Anak yang

tidak mempunyai kesempatan belajar seperti sering digendong atau

diletakkan di baby walker dapat mengalami keterlambatan dalam

mencapai kemampuan motorik (Nur, 2009 dalam Rajab, 2013)

3. Gangguan perkembangan bahasa

Kemampuan bahasa merupakan kombinasi seluruh sistem

perkembangan anak, kemampuan berbahasa melibatkan kemampuan

motorik, psikologis, emosional dan perilaku (Widyastuti, 2008).

Gangguan perkembangan bahasa pada anak dapat diakibatkan berbagai

faktor, yaitu adanya faktor genetik, gangguan pendengaran, kurangnya

interaksi anak dengan lingkungan, maturasi yang terlambat. Selain itu,

gangguan perkembangan bicara dapat juga disebabkan oleh kelainan

fisik seperti bibir sumbing dan serebral pasli ( Nur, 2009 dalam Rajab,

2013).

4. Gangguan suasana hati (mood disoders)

Gangguan tersebut antara lain adalah major depression yang ditandai

dengan disforia, kehilangan minat, sukar tidur, sukar konsentrasi, dan

nafsu makan terganggu. (Rajab, 2013).

5. Gangguan pervasif dan psikosis pada anak

Meliputi autisme (gangguan komunikasi verbal dan nonverbal,

gangguan perilaku dan interaksi sosial). Asperger (gangguan interaksi

sosial, perilaku, perilaku yang terbatas dan diulang-ulang, obsesif),

childhood disentegrative disorders. (Rajab, 2013).


54

Anda mungkin juga menyukai