Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi Pernafasan

1. Anatomi Sistem Pernapasan

Menurut Pearce (2011), saluran pernapasan terdiri dari beberapa bagian

sebagai berikut :

Gambar 2.1. Sistem Pernafasan Pada Bayi

(Maryunani,2014).

a. Nares Anterior

Saluran-saluran di dalam lubang hidung. Saluran-saluran itu

bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga)

hidung. Vestibulum ini dilapisi oleh epitelium bergaris yang

6
7

bersambung dengan kulit. Lapisan nares anterior memuat sejumlah

kelenjar sebaseus yang ditutupi oleh bulu kasar. Kelenjar-kelenjar itu

bermuara kedalam rongga hidung.

b. Rongga hidung

Dilapisi oleh selaput lendir yang sangat kaya pembuluh

darah, bersambung dengan lapisan faring dan selaput lendir ke semua

sinus yang mempunyai lubang masuk kedalam rongga hidung. Daerah

pernapasan dilapisi oleh epitelium silinder dan sel epitel berambut

yang mengandung sel cangkir atau sel lendir. Sekresi setelah itu

membuat permukaan nares basah dan berlendir. Sewaktu udara

melalui hidung, udara disaring oleh buu-bulu yang terdapat didalam

vestibulum. Karena kontak dengan permukaan lendir yang dilaluinya,

udara menjadi hangat, dan karena penguapan air dari permukaan

selaput lendir, udara menjadi lembab.

c. Faring (tekak)

Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar

tengkorak sampai persambungannya dengan esophagus pada

ketinggian tulang rawan cricoid. Maka letaknya di belakang hidung

(nasofaring), di belakang mulut (orofaring) dan di belakang laring

(faring-laring). Nares posterior adalah muara rongga-rongga hidung

ke nasofaring.

d. Laring (tenggorok)
8

Laring (tenggorokan) terletak didepan bagian terendah faring yang

memisahkannya dari columna vertebra, berjalan dari faring sampai

ketinggian vertebra servikalis dan masuk kedalam trakea dibawahnya.

Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang di ikat bersama oleh

ligamen dan membran. Bagian terbesar di antaranya adalah tulang

rawan tiroid, dan disebelah depan terdapat benjolan subkutaneus yang

dikenal sebagai jakun, yaitu di sebelah depan leher.

Laring terdiri atas dua lempeng atau lamina yang bersambung

digaris tengah. Di tepi atas terdapat lekukan berupa V. Tulang rawan

crikoid terletak dibawah tiroid, bentuknya seperti cincin mohor

dengan mohor cincinnya di sebelah belakang (ini adalah tulang rawan

satu-satunya yang berbentuk lingkaran lengkap). Pita suara terdapat di

sebelah dalam laring, berjalan dari tulang rawan tiroid di sebelah

depan sampai di kedua tulang rawan arytenoid. Dengan gerakan dari

tulang rawan arytenoid yang ditimbulkan oleh beberapa otot

laryngeal, pita suara ditegangkan atau dikendurkan.

e. Trachea

Trachea atau batang tenggorok kira-kira Sembilan sentimeter

panjangnya. Trakea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian

vertebra torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua

bronkus (bronki). Trakea tersusun atas 16-20 lingkaran tidak lengkap

berupa cincin tulang rawan yang di ikat bersama oleh jaringan fibrosa

dan yang melengkapi lingkaran disebelah belakang trakea, selain itu


9

juga memuat beberapa jaringan otot. Trachea cervicalis yang berjalan

melalui leher disilang oleh istmus ke kelenjar tiroid, yaitu belahan

kelenjar yang melingkari sisi-sisi trakea. Kedua bronchus yang

terbentuk dari belahan trakea pada ketinggian kira-kira vertebra

torakalis kelima mempunyai struktur serupa dengan trakea dan

dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronchus-bronchus itu berjalan ke

bawah dan kesamping ke arah tampak paru-paru.

Bronkus kanan lebih pendek dan lebih lebar dari pada yang

kiri; sedikit lebih tinggi dari pada arteri pulmonalis dan mengeluarkan

sebuah cabang yang disebut bronchus lobus atas; cabang kedua

timbul setelah cabang utama lewat dibawah arteri, disebut lobus

bawah. Bronchus lobus tengah keluar dari bronchus lobus bawah.

f. Paru-paru

Paru-paru ada dua, merupakan alat pernapasan utama. Paru-

paru mengisi rongga dada. Terletak disebelah kanan dan kiri di tengah

di pisahkan oleh jantung beserta pembuluh darah besarnya dan

struktur lainnya yang terletak didalam mediastinum. Berbentuk

kerucut dengan apeks (puncak) diatas dan muncul sedikit lebih tinggi

dari pada klavikula di dalam dasar leher. Pangkal paru-paru duduk di

atas landau rongga thorak, di atas difragma. Paru-paru mempunyai

permukaan luar yang menyentuh iga-iga, permukaan dalam yang

memuat tampak paru-paru, sisi belakang yang menyentuh tulang

belakang, dan sisi depan yang menutupi sebagian sisi depan jantung
10

g. Lobus paru-paru (belahan paru-paru)

Paru-paru dibagi menjadi beberapa belahan atau lobus oleh

fisura. Paru-paru kanan mempunyai tiga lobus dan paru-paru kiri dua

lobus. Setiap lobus tersusun atas lobula dan semakin bercabang,

semakin menjadi tipis dan berakhir menjadi kantong kecil-kecil, yang

merupakan kantong-kantong udara paru-paru. Jaringan paru-paru

elastis, berpori, dan seperti spons. Di dalam air, paru-paru mengapung

karena udara yang ada di dalamnya.

h. Pleura

Setiap paru-paru di lapisi membrane serosa rangkap dua, yaitu

pleura. Pleura viseralis erat melapisi paru-paru masuk kedalam fisura,

dan dengan demikian memisahkan lobus dari satu dengan yang lain.

Membran ini kemudian di lipat kembali di sebelah tampuk paru-paru

dan membentuk pleura parietalis, dan melapisi bagian dalam dinding

dada. Pleura yang melapisi iga-iga ialah pleura costalis. Bagian yang

menutupi diafragma ialah pleura diafragmatika, dan bagian yang

terletak dileher ialah pleura servicalis. Pleura ini diperkuat oleh

membran yang kuat bernama membran suprapleuralis (fasia Sibson)

dan atas membran ini terletak arteri subklavia.

2. Fisiologi Pernafasan

Menurut Pearce (2011) Fisiologi pernafasan meliputi :

Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan

karbondioksida. Pada pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan


11

eksterna, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut pada waktu

bernapas; oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkial ke alveoli, dan

dapat berhubungan erat dengan darah di dalam kapiler pulmonaris.

Hanya satu lapis membran, yaitu membran alveoli kapiler, yang

memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan di

pungut oleh hemoglobin sel darah merah dan di bawa ke jantung. Dari

sini di pompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah

meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg, dan pada

tingkat ini hemoglobinnya 95% jenuh oksigen.

Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil

pembuangan metabolisme, menembus membran alveoli kapiler dari

kapiler darah ke alveoli, dan setelah melalui pipa bronkial dan trakea,

dinapaskan keluar melalui hidung dan mulut. Empat proses yang

berhubungan dengan pernapasan pulmoner atau pernapasan eksterna :

a. Ventilasi pulmoner : gerak pernapasan yang menukar udara dalam alveoli

dengan udara luar.

b. Arus darah melalui paru-paru

c. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam jumlah

tepat dapat mencapai semua bagian tubuh

d. Difusi gas yang menembus membran pemisah alveoli dan kapiler. CO2

lebih mudah berdifusi dari pada oksigen.

Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang

meninggalkan paru-paru menerima jumlah tepat CO 2 dan O2. Pada waktu


12

gerak badan, lebih banyak darah datang di paru-paru membawa terlalu

banyak CO2 dan terlampau sedikit O2, jumlah CO2 itu tidak dapat

dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini

merangsang pusat pernapasan dalam otak untuk memperbesar kecepatan

dan dalamnya pernapasan. Penambahan ventilasi ini mengeluarkan CO 2

dan memungut lebih banyak O2.

Pernapasan jaringan atau pernafasan interna, melainkan darah yang

telah menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen (oksihemoglobin)

mengitari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler, di mana darah

bergerak sangat lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari hemoglobin

untuk memungkinkan oksigen berlangsung, dan darah menerima, sebagai

gantinya hasil buangan oksidasi yaitu karbon dioksida.

Perubahan-perubahan berikut terjadi pada komposisi udara dalam

alveoli, yang disebabkan pernafasan eksterna dan pernafasan interna atau

pernafasan jaringan.

B. Konsep Dasar Asfikisa Neonatorum

1. Definisi Asfikisia Neonatorum

Asfiksia Neonatorum merupakan keadaan dimana bayi tidak dapat

bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir keadaan tersebut

dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, dan sampai

keasidosis. Keadaan asfiksa ini dapat terjadi karena kurangnya

kemampuan fungsi organ bayi seperti pengembangan paru-paru (Hidayat,

2006)
13

Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan pada bayi baru lahir

dimana mengalami kegagalan bernafas secara spontan dan teratur segera

setelah lahir, sehingga bayi tidak dapat memasukkan oksigen dan tidak

dapat mengeluarkan zat asam arang dari dalam tubuhnya (Dewi, 2013)

Asfiksia Neonatorum adalah keadaan dimana bayi baru lahir tidak

dapat bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini

biasanya disertai dengan keadaan hipoksia dan hiperkapnu serta sering

berakhir dengan asidosis. Asfiksia akan bertambah buruk apabila

penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna,sehingga tindakan

keperawatan dilaksanakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup

dan mengatasi gejala lanjut yang mungkin timbul (Wahyu, 2013)

Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan

pernafasan secara spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau

beberapa saat sesudah lahir. Bayi mungkin lahir dalam kondisi asfiksia

(asfiksia primer) atau mungkin dapat bernafas tetapi kemudian mangalami

asfiksia beberapa saat setelah lahir (asfiksia sekunder) (Sukarni & Sudarti,

2014)

Asfiksia Neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat

bernafas dengan segera, secara spontan dan teratur setelah lahir

(Maryunani, 2014)

2. Etiologi Asfiksia Neonatorum

Menurut Dewi (2013) dan Latief, dkk (2006) Asfiksia bisa disebabkan

oleh beberapa faktor,yakni faktor ibu, plasenta, fetus, neonatus.


14

a. Faktor ibu

Hipoksia ibu, hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala

akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi karena hipoventilasi akibat

pemberian obat analgetika atau anestesia dalam.

Gangguan aliran darah uterus. Mengurangnya aliran darah pada uterus

akan menyebabkan berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan

demikian pula ke janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan :

1) Gangguan kontraksi uterus

2) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan

3) Hipertensi pada penyakit eklampsia dan lain-lain

b. Faktor plasenta

Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi

plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak

pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan

lain-lain

c. Faktor fetus

Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah

dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas

antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada

keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher, kompresi tali

pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.

d. Faktor Neonatus
15

Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena

beberapa hal, yaitu :

1) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu

secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan

janin

2) Trauma yang terjadi pada persalinan, misalnya perdarahan

intracranial

3) Kelainan kongenital pada bayi misalnya hernia diafragma,

atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoksia paru dan lain-

lain.

3. Patofisiologis Asfiksia Neonatorum

Menurut Latief, dkk (2006) patofisiologis asfiksia neonatorum

sebagai berikut : Pernafasan spontan bayi baru lahir bergantung kepada

kondisi pada masa kehamilan dan persalinan. Proses kelahiran sendiri

selalu menimbulkan asfikisa ringan yang bersifat sementara pada bayi

(asfiksia transien). Proses ini dianggap sangat perlu untuk merangsang

kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi “primary gasping“ yang

kemudian akan berlanjut dengan pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak

mempunyai pengaruh buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat

mengatasinya.

Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangukutan

oksigen selama kehamilan/persalinan, akan terjadi asfiksia lebih berat.

Keadaan dimana akan mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak
16

teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini

dapat reversibel atau tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia.

Asfiksia yang dimulai dengan suatu periode apneu (primary apnoea)

disertai dengan penurunan frekuensi jantung. Selanjutnya bayi akan

memperlihatkan usaha bernafas (gasping) yang kemudian diikuti oleh

pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak

tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apneu kedua

(secondary apnoea). Pada tingkat ini disamping bradikardia ditemukan

pula penurunan tekanan darah (Latief,2006)

Disamping adanya perubahan klinis, akan tejadi pula gangguan

metabolisme dan perubahan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi.

Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas mungkin hanya

menimbulkan asidosis respiratori. Bila gangguan berlanjut, dalam tubuh

bayi akan terjadi proses metabolisme anaerob yang berupa glikolisis

glikogen tubuh, sehingga sumber glikogen tubuh terutama pada jantung

dan hati akan berkurang. Asam organik yang terjadi akibat metabolisme

ini akan menyebabkan timbulnya asidosis metabolik. Pada tingkat

selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh

beberapa keadaan dimana diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam

jantung akan mempengaruhi fungsi jantung, terjadinya asidosis metabolik

akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung

sehingga menimbulkan kelemahan jantung, pengisisan udara alveolus

yang kurang adekuat akan menyebabkan tetap tingginya resistensi


17

tingginya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan

demikian pula ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan

(Latief,2006).

Kegagalan penurunan resistensi vaskuler paru menyebabkan

hipertensi pulmonal persistensi (PPH) pada BBL,sehingga duktus

arteriousus botalli tetap berfungsi lagi ( menuju aorta), aliran darah keparu

menjadi inadekuat dan hipoksemia terulang kembali, ekspansi paru yang

inadekuat menyebabkan gagal napas. Asidosis dan gangguan

kardiovaskular yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel

otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbulkan kejadian atau gejala

sisa pada kehidupan bayi selanjutnya. Keadaan yang perlu mendapatkan

perhatian sebaiknya apabila menurunnya kadar O2 darah (PaO2),

meningginya CO2 Darah (PaCO2) , menurunnya Ph (akibat asidosis

respiratorik dan metabolik), dipakainya sumber glikogen tubuh unutk

metabolisme anaerobik, terjadinya perubahan sistem kardiovaskular.

Mengenal dengan tepat perubahan diatas tersebut sangatlah penting,

karena hal itu merupakan manifestasi dari pada tingkat asfiksia yang

terjadi. Tindakan yang dilakukan pada bayi asfiksia hanya akan berhasil

dengan baik bila perubahan yang terjadi dapat dikoreksi secara teratur

(Latief,2006).
18

4. Pathway Asfiksia Neonatorum

Faktor Ibu Faktor Plasenta Faktor Fetus Faktor Neonatus

Hipoksia Ibu Solusio Plasenta, Kompresi Kelainan Kongenital


Perdarahan Plasenta Umbilikus

Janin Kekurangan
O2
ASFIKSIA

Janin Kekurangan O2 Penumpukan Paru-Paru Terisi


dan Kadar CO2 Secret Cairan
Meningkat

MK. Bersihkan Jalan Nafas Tidak Efektif

Gangguan
Metabolisme dan
Nafas Cepat Bayi memerlukan Perubahan Asam
perawatan khusus Basa

Apneu Hipoventilasi/Hiperventilasi Ada bekas luka Asidosis Respiratorik


pada tali pusat
DJJ dan TD Menurun
Gangguan Perfusi
MK. perawatan tali Ventilasi
Ketidakefe pusat

Janin Tidak Bereaksi ktifan Pola Nafas Cuping


Terhadap Nafas Peningkatan Hidung,Sianosis,
Rangsangan paparan Hipoksia
lingkungan

MK. Resiko Syndrom MK. Gangguan


Kematian Mendadak Pertukaran Gas
MK. Resiko Infeksi

Sumber : Dewi (2013), Latief, dkk (2006) & Nurarif (2015)


19

5. Klasifikasi Asfiksia Neonatorum

Menurut Sudarti,Sukarni (2014) dan Latief, dkk (2006) Klasifikasi

Asfiksia Neonatorum sebagai berikut :

a. Vigorous baby

Skor APGAR 7-10, bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan

tindakan istimewa .

b. Mild-Moderate asphyksia

Skor APGAR 4-6, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi

jantung lebih dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan

kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

c. Severe asphyksia

Skor APGAR 0-3, pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi

jantung kurang dari 100/menit, tonus otot buruk, sianosis berat dan

kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada

Asfiksia berat dengan henti jantung, dimaksudkan dengan

adanya henti jantung adalah keadaan dimana bunyi jantung fetus

menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum lahir lengkap dan pada

saat post partum bunyi jantung bayi juga menghilang, dalam hal ini

pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada

penderita asfiksia berat.


20

6. Tanda dan Gejala Asfiksia Neonatorum

Menurut Dewi (2013) Tanda dan Gejala Asfiksia Neonatorum

sebagai berikut :

a. Asfiksia berat (nilai APGAR 0-3)

Pada kasus asfiksia berat, bayi akan mengalami asidosis, sehingga

memerlukan perbaikan dan resusitasi aktif dengan segera.

Tanda dan gejala yang muncul pada asfiksia berat adalah

sebagai berikut :

1) frekuensi jantung kecil, yaitu < 40x / menit

2) tidak ada usaha napas

3) tonus otot lemah bahkan hampir tidak ada

4) bayi tidak dapat memberikan reaksi jika diberikan rangsangan

5) bayi tampak pucat bahkan sampai berwarna kelabu

6) terjadi kekurangan oksigen yang berlanjut sebelum atau sesudah

persalinan.

b. Asfiksia sedang (nilai APGAR 4-6)

Pada asfiksia sedang, tanda dan gejala yang muncul adalah

sebagai berikut :

1) frekuensi jantung menurun menjadi 60-80 kali per menit

2) usaha napas lambat

3) tonus otot biasanya dalam keadaan baik

4) bayi masih bisa bereaksi terhadap rangsangan yang diberikan

5) bayi tampak sianosis


21

6) tidak terjadi kekurangan oksigen yang bermakna selama proses

persalinan

c. Asfiksia ringan (nilai APGAR 7-10).

Pada asfiksia ringan, tanda dan gejala yang sering muncul

adalah sebagai berikut :

1) takipnea dengan napas lebih dari 80 kali per menit

2) bayi tampak sianosis

3) adanya retraksi sela iga

4) bayi merintih (grunting)

5) adanya pernapasan cuping hidung

6) bayi kurang aktivitas

7) Dari pemeriksaan auskultasi hasil ronchi, rales, dan wheezing

positif.

Menurut Maryunani (2014) Tanda dan Gejala Asfiksia

Neonatorum sebagai berikut :

a. Ketidakmampuan bernapas

b. Denyut jantung janin (DJJ):

1) Bradikardia (kurang dari 100x/menit) untuk gejala asfiksia

berat.

2) Takikardia (lebih dari 140x/menit) untuk gejala asfiksia

ringan.

c. Warna:

1) Pucat dan ada tanda-tanda syok (untuk tanda asfiksia berat)


22

2) Sianosis (untuk tanda asfiksia ringan)

d. Tonus otot: hipotonia hebat dan bila dirangsang tidak ada reaksi

e. Mekoneum dalam air ketuban pada presentasi kepala.

(ditemukan mekoneum pada air ketuban menunjukan

kemungkinan adanya gangguan oksigenisasi janin dalam

kandungan ).

7. Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum

Menurut Wahyu (2013), penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum

meliputi :

a. Memberikan jalan nafas dengan penghisapan lendir dan kasa

steril (cara penatalaksanaan lihat pada bayi normal)

b. Potong tali pusat dengan teknik aseptik dan dengan antiseptik

c. Apabila bayi tidak menangis lakukan cara sebagai berikut

1. Rangsangan taktil dengan cara menepuk-nepuk kaki,

mengelus-ngelus dada, perut atau punggung.

2. Bila dengan rangsangan taktil belum menangis lakukan

resusitasi mouth to mouth

3. Pertahankan suhu tubuh agar tidak memperburuk keadaan

asfiksia dengan cara :

a) Membungkus bayi dengan kain hangat

b) Badan bayi harus dalam keadaan kering

c) Jangan memandikan bayi dengan air dingin gunakan

minyak atau baby oil untuk membersihkan tubuhnya


23

d) Kepala bayi ditutup dengan baik atau topi kepala yang

terbuat dari plastik

4. Kepala bayi ditutup dengan baik atau topi kepala yang

terbuat dari plastik

d. Apabila nilai apgar pada menit kelima sudah baik (7-10)

lakukan perawatan selanjutnya : Membersihkan badan bayi,

Perawatan tali pusat, Pemberian ASI sedini mungkin dan

adekuat, Melaksanakan antropometri dan pengkajian kesehatan,

Memasang pakaian bayi, Memasang peneng (tanda pengenal)

bayi.

e. Mengajarkan orang tua/ibu cara : Membersihkan jalan nafas,

Pemberi ASI (meneteki) yang baik, Perawatan tali pusat,

Memandikan bayi, Mengobservasi keadaan pernapasan bayi.

f. Menjelaskan pentingnya : Pemberian ASI sedini mungkin

sampai usia 2 tahun, makanan bergizi bagi ibu, makanan

tambahan buat bayi diatas usia ± 4 bulan, mengikuti program

KB segera mungkin

g. Apabila nilai apgar pada menit kelima belum mencapai nilai

normal, persiapkan bayi untuk dirujuk kerumah sakit. Beri

penjelasan kepada keluarga alasan dirujuk kerumah sakit.

Menurut Rudolf (2006), tindakan yang dapat di lakukan pada bayi

baru lahir dengan Asfiksia Neonatorum adalah resusitasi sebagai berikut :


24

a. Pengikat tali pusat

Kapan tali pusat diikat bergantung pada status respirasi

bayi, usia gestasi, volume intravascular, dan adanya distres

intrapartum. Hipovolemia terjadi jika tali pusat dijepit sebelum

sejumlah darah yang cukup dipindahkan dari plasenta ke bayi.

Derajat hipovolemia dapat diperburuk oleh hipotensi ibu,

asfiksia janin pada akhir persalinan, dan penjepitan tali pusat

sebelum janin mulai menarik napas pertama. Sebaliknya,

penjepit tali pusat yang terlambat atau pengosongan darah dari

tali pusat ke dalam sirkulasi bayi dapat menyebabkan

hipervolemia, dan hal ini bisa menyebabkan takipnea,

keterlambatan absorpsi cairan paru, edema pulmonal,

meningkatkan kerja pernafasan, dan polisitemia.

Bayi yang lahir dari kehamilan, persalinan, serta

kehamilan tanpa komplikasi yang tampak baik saat lahir, harus

dipegang setinggi plasenta sampai bayi tersebut menangis dan

arteri umbilikalis berhenti berdenyut. Kemudian, tali pusat bayi

harus dijepit. jika bayi tampak lemah dan tidak ada usaha

bernafas, hidung serta mulut bayi harus segera dihisap, tali

pusat dijepit tanpa mengurutnya dan bayi diserahkan pada tim

resusitasi.

b. Intubasi trakea
25

Intubasi berhasil paling baik bila posisi kepala bayi

netral, tidak fleksi atau ekstensi. Pegang laringoskop dengan jari

telunjuk dan ibu jari tangan kiri, dan pegang kuat dagu bayi jari

kedua dan ketiga, tekan tulang hioid dengan kelingking tangan

kiri untuk menggerakkan laring anterior bayi kearah posterior

untuk menampakkan pita suara. Masukkan pipa endotrakea

kira-kira 2 cm dibawah glotis. Jarak dari bibir bayi ke ujung

pipa endotrakea seharusnya 7 cm pada bayi dengan berat 1kg, 8

cm untuk bayi 2 kg, 9 cm untuk bayi 3 kg, dan 10 cm untuk

bayi 4 kg. Kembangkan paru dengan lembut menggunakan

kantong anestesi, 20-50 kali permenit. Pantau frekuensi serta

irama denyut jantung selama melakukan laringoskopi karena

sering terjadi disritmia terutama bradikardia. Jika intubasi

trakea tidak dapat di selesaikan dalam 30 detik, jangan di

teruskan. Lakukan ventilasi paru bayi menggunakan kantong

dan sungkup selam 1 menit atau lebih, kemudian coba lakukan

intubasi (Rudolf, 2006).

Segera setelah menyelesaikan intubasi trakea dan

memberikan 10-20 kali pernapasan pada bayi, periksalah dada

bayi untuk memastikan bahwa pipa trakea telah terpasang

dengan baik dan ventilasi adekuat. Bunyi napas harus terdengar

jelas dan sama pada kedua aksila. Kedua belahan dinding

anterior thoraks bagian atas harus naik selama inpirasi. Bunyi


26

napas yang lebih keras pada bagian kanan menyatakan bahwa

inkubasi telah masuk ke brokus utama kanan. Tariklah pipa

tersebut sampai ujungnya berada diatas karina dan bunyi napas

sama kerasnya dikedua sisi. Bunyi napas yang melemah,

mengembangnya perut, serta tidak adanya gerakan respirasi

pada dada bagian atas menyatakan bahwa pipa endotrakea

berada di esophagus. Tariklah pipa tersebut, lakukan ventilisasi

dengan kantong dan sungkup, dan masukan kembali pipa

endotrakea. Bila anda telah yakin terhadap posisi pipa tersebut,

fiksasi dengan plester dan pastikan posisinya menggunakan

foto sinar-x karena temuan pada pemeriksaan fisik tidak

memastikan bahwa pipa berada dalam posisi yang benar

(Rudolf, 2006).

Selama tindakan resusitasi lama yang di lakukan pada

bayi prematur, terdapat resiko tinggi bagi terjadinya retinopati

prematuritas akibat hiperoksia. Oleh karena itu, PaO 2 arteri

harus sering di ukur dan kadar oksigen inspirasi disesuaikan

untuk mempertahankan PaO2 antara 50 dan 80 mmHg, atau

saturasi oksigen di tangan kanan antara 87 dan 92%. Penting

untuk memperhatikan agar praksi oksigen inspirasi dapat

disesuaikan dengan tepat antara 1,0 dan 0,21 (Rudolf, 2006).

c. Pengisapan trakea
27

Bayi yang lahir dengan mekonium partikular atau

mekonium “sup kacang polong” di dalam cairan amnionnya

memerlukan pengisapan trakea segera melalui pipa endotrakea

sebelum memulai ventilasi. Mekonium encer berair tidak

memerlukan pengisapan secara rutin. Bahkan mekonium pekat

pun. Pengisapan mungkin tidak diperlukan jika skor apgar 1

menit adalah 9 atau 10 dan tetap tinggi pada usia 5 menit.

Gambar 2.3 Alat Penghisap Lendir

Sumber : Rudolf,2006

Pengisapan mekonium paling efektif dilakukan dengan

menempelkan salah satu alat penghisap yang dibuat khusus

untuk tujuan ini, langsung ke pipa endotrakea dan melakukan

pengisapan sambil menarik pipa endotrakea tersebut dari jalan

napas. Jangan hisap pipa endotrakea langsung dengan mulut

anda, sekalipun dengan mengguanakan masker, karena resiko

penyakit infeksi. Jika mekonium berhasil dikeluarkan, ulangi

lagi tindakan tersebut, kemudian secara lembut kembangkan


28

paru dengan oksigen dari kantong anestesi sebelum mengulang

tindakan pengisapan, sampai tidak ditemukan lagi mekonium.

Pantau frekuensi denyut jantung secara kontinu selama

pengisapan. Bila terjadi bradikardi atau disritmia lain, lakukan

ventilasi paru dengan oksigen.

d. Resusitasi vaskuler

Bila asfiksia yang terjadi berat bayi dan bayi gagal

segera berespons terhadap bantuan ventilasi, kateter arteri

umbilikalis harus di pasang untuk mengukur gas darah, pH, dan

tekanan darah, serta untuk mencari obat. Teknik kateterisasi

umbilikus di jelaskan pada sebagian besar kasus, ventilasi

semata sudah dapat meningkatkan aliran darah pulmonal

(menurunkan resisitensi pembuluh darah pulmonal) dengan

peningkatan PO2 dan pH arteri. Namun, beberapa bayi yang

mengalami asfiksia berat menderita asidosis metabolik yang

nyata atau hipovolimia, dan memerlukan koreksi asidosis serta

penambahan volume darah.

e. Koreksi asidosis

Asidosis respiratorik dikoreksi dengan memberi cukup

bantuan ventilasi (assisted ventilation) atau ventilasi terkontrol

(controlled ventilation) untuk mengurangi PaCO2, arteri sampai

tercapai rentang yang normal, yaitu 35-40 mmHg. Hipokarbia

berat (PaCO2<20mmHg) akiabat ventilasi berbihan dapat


29

berbahaya (bahkan bila disertai dengan asidosis metabolik dan

pH yang normal) karena menurunkan aliran darah serebral dan

miokardial secara akut. Hipokarbia terutama berbahaya bila

disertai dengan hipotensi.

Pengobatan asidosis metabolik bermakna, memerlukan

pemberian natrium bikarbonat. Jika ventiasi adekuat, infus

natrium bikarbonat atau Tris hidroksimetil-aminometan

(THAM) akan segera meningkatkan pH dan menghilangkan

vasokontriksi intens serta memperbaiki kegagalan miokardial

yang biasanya menyertai asfiksia berat. Kecuali pada situasi

yang sangat buruk, obat-obat ini hanya boleh digunakan

setelah dilakukan pengukuran gas darah yang menunjukkan

bahwa asidosis yang di alami bayi memang berat dan

metabolik. Jika sulit memperoleh darah arteri, sebuah kateter

vena umbilikalis dapat dimasukkan dengan cepat dan darah

dapat diperoleh untuk menentukan pH, PaCO2, serta defisit

basa (Rudolf, 2006).

Jika alkali meningkat pH arteri dan menghilangkan

vasokontriksi perifer, hipotensi dapat terjadi jika volume darah

yang bersirkulasi tidak memadai untuk ruang intravaskular

yang baru. Setelah infus yang pertama diberikan, mungkin

diperlukan tambahan alkali. Jika pH arteri kurang dari 7,1 dan

asidosis terutama bersifat metabolik, koreksi seperempat defisit


30

basa dengan NaHCO3 yang harus diberikan melalui infus = ¼

(0,6 x berat badan dalam kg x base excess). Jika pH 7,1 atau

lebih, teruskan bantuan ventilasi dan ulangi gas darah serta pH

dalam lima menit. Dengan ventilasi yang adekuat, curah

jantung biasanya pH darah secara spontan meningkat di atas 7,2

dan jarang diperlukan pemberian alkali tambahan. Natrium

bikarbonat hipertonik dapat menyebabkan nekrosis hati bila

diberikan kedalam sirkulasi portal (Rudolf, 2006).

f. Ekspansi volume

Hipovolemia di diagnosis bila tekanan arteri serta vena

sentral dan volume nadi rendah meskipun telah dilakukan

normalisasi tekanan gas darah serta pH. Warna kulit pucat,

ekstremitas dingin dan pengisian kapiler lambat (≥3 detik).

Faktor lain, seperti miokardium buruk atau tension

pneumothorak, juga dapat menyebabkan kepucatan serta

perfusi yang buruk. Selain itu mungkin terdapat suatu asidosis

metabolik yang persisten dan penurunan progressif kadar

hematokrit setelah hipoksia dikoreksi.

Tekanan darah arteri dapat di ukur secara kontinu dari

arteri umbilikalis, secara atau intermiten dan tak langsung

dengan sisten doppler selama resusitasi. Nilai normal untuk

tekanan intra-arteri selama 12 jam pertama. Tekanan vena

intrathorak (arteri kanan atau kiri) juga bermanfaat untuk


31

mendiagnosis hipovolemia. Normalnya, tekanan vena kava

inferior intrathorak dan atrium kanan adalah 3-8 cm H 2O di atas

tekanan atmosfer pada akhir ekspirasi. Tekanan dibawah 3 cm

H2O harus menimbulkan kecurigaan terhadap deplesi volume

darah sirkulasi. Karena ekspansi volume darah memiliki potensi

berbahaya bagi bayi yang tidak hipovolemik, terutama yang

baru sembuh dari asfiksia, penambahan atau ekspansi volume

hanya boleh di gunakan bila pemantauan fisiologik

memperlihatkan bukti jelas adanya hipovolemia.

g. Pijat jantung

Jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100 denyut

per menit dan tidak meningkat ke normal dengan rangsangan

serta ventilasi, harus dilakukan pijat dada-tertutup dengan

frekuensi 100-120 kali per menit. Tampak jari-jari kedua

tangan penolong di belakang dada bayi untuk menyokong

pungggung, dan tempatkan ibu jari kedua tangan di atas

pertautan sepertiga bawah dan tengah sternum kemudian, tekan

sternum tersebut sejauh dua per tiga jarak ke columna vertebra

anterior. Efektifitas pijat jantung harus diperiksa dengan

mengukur tekanan darah arteri (menggunakan kateter arteri

umbilikalis), dengan sebuah elektrokardiogram, dan dengan

mengukur lebar pupil. Jika pupil kecil atau dalam posisi tengah,

perfusi berlangsung adekuat. Jika pupil berdilatasi (dan bayi


32

belum diberikan antropin), perfusi ke otak tidak adekuat

mempertahankan tekanan sistolik arteri pada kira-kira 80

mmHg dengan 100-120 kompresi dada permenit biasanya akan

mempertahankan tekanan darah diastolik sebesar 15-20 mmHg,

yang adekuat untuk perkusi koroner sementara melakukan pijat

jantung, lakukan ventilasi pada bayi sebanyak 40 kali atau lebih

per menit. Pijat jantung tidak perlu di hentikan selama

melakukan ventilasi, dan demikian pula sebaliknya.

h. Terapi obat

Selama resusitasi, mungkin perlu diberi obat-obatan

untuk mendukung sirkulasi atau memulai kembali kerja

jantung. Jika pada elektrokardiogram tidak terdapat aktivitas

listrik miokardium berikan 0,1mm per kg epinefrin (1:10000)

sementara terus melakukan pijat jantung obat dapat dimasukan

kedalam selang endotrakea jika ada rute intravaskular yang

tersedia. Obat akan diserap oleh mukosa jalan napas jika pijat

jantung berlangsung adekuat. Jika tejadi bradikardia, atropine

atau isoproterenol dapat diberikan secara intravaskular, dengan

atropine sebagai bolus dalam dosis 0,01-0,03 mg per kg dan

isoproterenol sebagai infus kontinue. Isoproterenol harus

dimulai pada 0,5µg per kg per menit dan dinaikan sesuai

keperluan untuk menaikan jantung ke normal. Perlu

diperhatikan untuk tidak memberi obat secara cepat pada bayi


33

melalui kateter arteri atau vena karena obat dalam bentuk bolus

dapat menyebabkan aritmia jantung. Pemberian kalsium

glukonat 100-200 mg/kg selam 2-5 menit dapat memperbaiki

fungsi jantung secara nyata, terutama pada bayi dengan

penyakit jantung. Namun, pemberian kalsium selama resusitasi

masih kontroversial karena peningkatan konsentrasi kalsium

dapat meningkatkan kerusakan selular. Obat dapat diberikan

melalui kateter umbilikalis yang dimasukkan tepat sekedar

untuk mendapatkan aliran darah balik, atau dapat juga

diberikan intrasoues jika tidak ada rute intravaskular yang

tersedia. Jika perlu, dosis-dosis obat harus diulang.

Anda mungkin juga menyukai