Anda di halaman 1dari 9

EBM

EVIDENCE BASED MEDICINE

Pembimbing :

dr. Moch. Ma’roef, Sp.OG

Oleh:

Farizky Jati Ananto 2017104010110

SMF OBGYN RS BHAYANGKARA KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2018
EBM
EVIDENCE BASED MEDICINE

A. DEFINISI
Evidence – based medicine (EBM) merupakan penerapan epidemiologi
klinik dalam pelayanan pasien (Fletcher dan Fletcher, 2005). Epidemiologi
klinik merupakan perkawinan antara konsep kuantitatif yang digunakan ahli
epidemiologi untuk mempelajari penyakit pada populasi dan pengambilan
keputusan pada individu kasus yang merupakan kegiatan sehari – hari
kedokteran klinis (Last, 1988). Sedangkan epidemiologi sendiri adalah ilmu
tentang distribusi dan determinan keadaan atau peristiwa terkait kesehatan pada
populasi tertentu dan penerapannya untuk mengendalikan masalah kesehatan
(Last, 2001).
Namun tidak semua bukti ilmiah memiliki kualitas yang baik. Sebagian
memang berkualitas tinggi, namun sebagian lain juga dapat berkualitas buruk.
Dalam EBM, semua bukti ilmiah ini harus disaring untuk mendapatkan yang
terbaik. Salah satu cara untuk memilahnya adalah dengan critical appraisal
(CorpBlack, 2010). Sehingga EBM saat ini merupakan integrasi bukti – bukti
riset terbaik dengan keterampilan klinis dan nilai – nilai pasien, atau disebut juga
triad EBM (Sackett et al., 2000).

2
B. TUJUAN
Tujuan dari EBM adalah membantu klinisi memberikan pelayanan medis
yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi
pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan
nilai – nilai pasien.
Untuk mencapai tujuan ini, digunakan dua strategi:
1. Sistem pengambilan keputusan klinis harus berbasis bukti terbaik dari riset
dengan menggunakan metodologi yang benar. Terdapat dua keputusan klinis,
yaitu berbasis bukti dan berbasis opini. Tidak semua informasi yang
didapatkan adalah berbasis bukti. Seringkali tenaga medis berargumen bahwa
pengambilan keputusannya sudah berbasis bukti. Padahal bukti tersebut
belum dibuktikan dengan benar melalui riset dan metode yang benar. Hal ini
dapat dikatakan keputusan yang berbasis opini (Murti, 2010). Selain itu dalam
mengambil keputusan perlu dipadukan dengan ketrampilan klinis dokter
(Evidence-Based Medicine Working Group, 1992).
2. Fokus perhatian yang awalnya berorientasi pada penyakit kini dialihkan
kepada pasien. Dalam hal ini hubungan antara dokter dan pasien sangat
penting (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Pada pasien, relasi ini dapat
menuntun kepada perasaan kepercayaan, harapan, dan diakui oleh dokter, dan
dapat meningkatkan prosentase kesembuhan berdasarkan faktor psikis (Scott
et al., 2008). Hal ini juga menuntut dokter untuk memperhatikan preferensi,
keprihatinan, nilai – nilai, ekspetasi, dan keunikan biologi tiap individu. Nilai
– nilai pasien meliputi biaya, keyakinan dan moral, dan otonomi atau
pengambilan keputusan medis pasien dalam menentukan pilihan yang terbaik
bagi dirinya (Murti, 2010).

C. LANGKAH – LANGKAH EBM


a. Merumuskan pertanyaan klinis
Ada dua macam pertanyaan dalam merumuskan pertanyaan klinis:
a. Background questions: Pertanyaan yang cukup sederhana atau merupakan
pertanyaan rutin yang mudah dijawab. Pertanyaan latar belakang
dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan medis yang bersifat umum

3
yang lazim dikemukakan. Pertanyaan ini dapat terjawab dengan
pengetahuan medis dalam ilmu kedokteran. Contohnya adalah pertanyaan
bagaimana diagnosis tuberkulosis paru, apakah indikasi pemberian
kortikosteroid, dan sebagainya (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005).
b. Foreground questions: Pertanyaan latar depan bertujuan untuk
memperoleh informasi spesifik yang dibutuhkan untuk membuat
keputusan klinis. Pertanyaan ini sulit dijawab dan membutuhkan pencarian
bukti – bukti untuk menjawabnya. Contohnya adalah pertanyaan manakah
yang lebih akurat antara MRI dan CT – scan dalam mengidentifikasi stroke
kecil dalam otak, manakah yang lebih efektif antara parasetamol dan
ibuprofen dalam menurunkan demam pada anak, dan sebagainya (Sackett
et al., 2000; Hawkins, 2005).
Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa
diperoleh dari database, maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan
spesifik, dengan struktur terdiri atas empat komponen, disingkat PICO:
a. Patient and problem: adalah deskripsi yang jelas mengenai karakteristik
dari pasien dan masalah klinis pasien.
b. Intervention: adalah intervensi spesifik yang ingin diketahui manfaat
klinisnya. Intervensi dapat berupa diagnostik maupun terapetik. Intervensi
diagnostik dapat berupa tes skrining, alat atau prosedur diagnostik, dan
biomarker. Intervensi teraptik meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah,
konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatif, intervensi medis,
dan pelayanan kesehatan lain. selain itu intervensi dapat juga berupa
paparan suatu faktor maupun faktor prognostik.
c. Comparison: adalah melakukan perbandingan untuk memperoleh
kesimpulan apakah intervensi tersebut bermanfaat. Perbandingan tidak
hanya dibandingkan dengan plasebo, tetapi juga dapat dibandingan dengan
intervensi alternatif atau intervensi standar.
d. Outcome: adalah penilaian efektivitas berdasarkan perubahan pada hasil
klinis. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah 3D, yaitu
death (kematian), disability (kecacatan), dan discomfort
(ketidaknyamanan) (Murti, 2010).

4
Sebagai contoh, seorang tenaga medis ingin mencari dari pertanyaan
manakah yang paling efektif antara parasetamol dan ibuprofen dalam
menurunkan demam pada anak. Struktur PICO yang didapat adalah:
a. Patient and problem: anak (pediatri), manfaat terapi
b. Intervention: ibuprofen
c. Comparison: parasetamol
d. Outcome: penurunan demam
b. Mencari bukti
Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah
berikutnya adalah mencari bukti – bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi sistematis. Bukti
ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri – ciri EUREKA (Evidence that
is Understandable, Relevant, Extendible, Current and Appraised) yaitu bukti
yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/diekstrapolasi, terkini, dan
telah dilakukan penilaian (Mathew, 2010).

c. Menilai kritis bukti


Untuk membantu klinisi menilai bukti, dilakukan penilaian dengan
dasar “VIA”:

5
a. Validity
Setiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah
kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias adalah
kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan
hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, efektivitas intervensi,
akurasi prognosis, maupun kerugian/etiologi penyakit. Kesalahan
sistematis yang dilakukan peneliti dapat terjadi pada fase pengumpulan
data dan analisis data, sehingga didapat kesumpulan yang salah/bias/tidak
valid (Murti, 2010).
Untuk memperoleh riset yang valid, maka riset tersebut harus
menggunakan desain studi yang tepat. misalnya bukti tentang terapetik,
maka bukti yang baik menggunakan desain seperti meta analisis, RCT,
serta randomisasi. Testimoni pasien, laporan kasus, dan pendapat pakar
memiliki nilai rendah sebagai bukti (Murti, 2010).
b. Importance
Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis
perlu dinilai tidak hanya validitas/kebenarannya tetapi juga apakah
intervensi tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik
yang substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk
menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif. Suatu
intervensi disebut penting jika mampu memberikan perubahan secara
klinis dan statistik dengan signifikan, tidak hanya salah satunya saja
(Murti, 2010).
c. Applicability
Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika
bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis atau dunia nyata
(Murti, 2010).
d. Menerapkan bukti
Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan
struktur PICO, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang
memperhatikan aspek PICO patient, intervention, comparison, dan outcome.

6
Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan kelayakan
(feasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis (Murti, 2010).
a. Pertanyaan – pertanyaan patient sebelum menerapkan intervensi:
1) Apakah pasien dalam penelitian memiliki karakteristik sama dengan
pasien di tempat praktik?
2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?
3) Bagaimana dampak psikologis, sosial, dan kultural pasien sebelumnya
dalam menggunakan intervensi?
b. Pertanyaan – pertanyaan intervention sebelum intervensi diberikan pada
pasien:
1) Apakah intervensi memiliki bukti efektivitas yang valid?
2) Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signifikan?
3) Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten?
c. Pertanyaan – pertanyaan comparison untuk menerapkan bukti:
1) Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/alternatif yang
digunakan oleh peneliti dan pembanding/alternatif yang dihadapi
klinisi pada pasien di tempat praktik?
2) Apakah manfaat intervensi lebih besar daripada kerugian yang
diakibatkannya?
3) Apakah terdapat alternatif intervensi lainnya?
d. Pertanyaan – pertanyaan outcome terkait hasil:
1) Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien?
2) Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan
dan kebutuhan sesungguhnya dari pasien?
3) Apakah pasien memandang manfaat dari intervensi leih penting
daripada kerugian ang diakibatkannya?
Pertanyaan – pertanyaan feasibility/kelayakan intervensi yang akan
diberikan pasien:
1) Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/praktik?
2) Apakah tersedia sumber daya yang dibutuhkan?

7
3) Apakah tersedia tenaga kesehatan yang mampu mengimplementasikan
intervensi?
4) Jika tersedia, apakah intervensi terjangkau secara finansial?
5) Apakah konteks sosial kultural pasien menerima penggunaan intervensi
tersebut?
e. Mengevaluasi kinerja penerapan EBM
Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, dengan tiga kegiatan:
a. Mengevaluasi efisiensi penerapan langkah – langkah EBM. Penerapan
EBM dikatakan belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu
lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat
bukti namun kualitas bukti tidak memenuhi VIA (Hollowing dan Jarvik,
2007).
b. Melakukan audit keberhasilkan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai
dasar praktik klinis. Dalam audit klinis dilakukan kajian pelayanan yang
telah diberikan untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara
pelayanan yang diberiken dengan kriteria yang ditetapkan. Jika belum,
maka audit klinis memberikan saran agar dilakukan upaya perbaikan
pelayanan dan klinis pasien (Hollowing dan Jarvik, 2007).
c. Mengidentifikasi area riset di masa mendatang (Hollowing dan Jarvik,
2007).
Evaluasi ini berguna untuk memperbaiki penerapan EBM menjadi
lebih baik, efektif, dan efisien, sehingga EBM menjadi program perbaikan
kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (Ilic, 2009).

8
DAFTAR PUSTAKA

CorpBlack (2010). The history of evidence based medicine.


http://www.nettingtheevidence.org.uk/the-history-of-evidence-based-
medicine/ – Diakses April 2013.
Evidence – Based Medicine Working Group (1992). Evidence – based medicine. A
new approach to teaching the practice of medicine. JAMA 268 (17):2450 –
5.
Fletcher RH, Fletcher SW (2005). Clinical epidemiology: The essentials.
Philadelphia, PA: Lippincot Williams & Wilkins.
Hawkins RC (2005). The evidence based medicine approach to diagnostic testing:
Practicalities and limitations. Clin Biochem Rev, 26: 7 – 18.
Hollowing W, Jarvik JG (2007). Technology assessment in radiology: Putting the
evidence in evidence – based radiology. Radiology: 244(1): 31 – 38.
Ilic D (2009). Assessing competency in evidence based practice: Strength and
limitation of current tools in practice. http://www.biomedcentral.com/1472-
6920/9/53 – Diakses April 2013.
Last J (1988). What is epidemiology? Editorial guest.
http://www.jstor.org/stable/3343001 – Diakses April 2013.
Last JM (2001). A dictionary of epidemiology. Edisi ke – 4. New York: Oxford
University Press.
Mathew JL (2010). Beneath, behind, besides and beyond evidence – based
medicine. Indian Pediatrics, 47:225 – 227.
Murti B (2010). Pengantar evidence based medicine. Surakarta: UNS.
Sackett DL, Straus SE, Richardson WS, Rosenberg WM, Haynes B (2000).
Evidence based medicine: How to practice and teach EBM. Edisi ke – 2.
Toronto: Chrucill Livingstone.
Scott JG, Cohen D, DiCicco-Bloom B, Miller WL, Stange KC, Crabtree BF (2008).
Understanding healing relationships in primary care. Ann Fam Med. 6(4):
315 – 322.
Shaughnessy AF, Slawson DC (1997). POEMs: Patient-Oriented Evidence That
Matters. Annals of Internal Medicine, 126(8): 667.

Anda mungkin juga menyukai