Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM EVIDENCE BASED MEDICINE (EBM)

Soal :

Bagaimanakah efektivitas ibuprofen dibandingkan dengan parasetamol untuk

menurunkan demam pada anak usia di bawah 12 tahun ?


Evidence-based Medicine (EBM)

Adapun langkah-langkah Evidence-based Medicine (EBM), yaitu:

a. Langkah 1:

Teori

Merumuskan pertanyaan klinis dengan menggunakan background question.

Ketika seorang dokter memberikan pelayanan medis kepada pasien hampir

selalu timbul pertanyaan di dalam benaknya tentang diagnosis, kausa,

prognosis, maupun terapi yang akan diberikan kepada pasien. Sebagian dari

pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang mudah

dijawab, disebut pertanyaan latar belakang (background questions) (Sackett et

al., 2000; Hawkins, 2005). Selain itu langkah 1 ini berguna untuk merubah

kebutuhan akan informasi (mengenai terapi, pencegahan, diagnosis, prognosis,

etiologi, dll) menjadi pertanyaan yang dapat dijawab.

Pertanyaan latar belakang dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan

medis yang bersifat umum yang lazim dikemukakan oleh mahasiswa

kedokteran, misalnya fisiologi dan pato-fisiologi penyakit. Bagi kebanyakan

dokter praktik, pertanyaan latar belakang mudah dijawab dengan

menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dokter,

pengalaman praktik klinis, mengikuti seminar, continuing medical education

(CME), membuka buku teks, ataupun membaca kajian pustaka.


Selain itu terdapat langkah merumuskan masalah dengan menggunakan

foreground question. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit dijawab,

yang tidak memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca

buku teks, atau mengikuti seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut

pertanyaan latar depan (foreground questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins,

2005). Pertanyaan latar depan bertujuan untuk memperoleh informasi spesifik

yang dibutuhkan untuk membuat keputusan klinis.

Langkah-langkah merumuskan pertanyaan klinis dengan menggunakan rumus

“PICO” :

 Patient dan problem

Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas karakteristik pasien

dan masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis. Karakteristik

pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar bukti-

bukti yang dicari dari database hasil riset relevan dengan masalah pasien

dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang berasal dari riset yang

menggunakan sampel pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien/

populasi pasien yang datang pada praktik klinik (bagaimana pasien dan

masalah apa, yaitu kausa/etiologi/ harm, diagnosis, terapi, atau prognosis).

 Intervention

Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesifik intervensi yang ingin

diketahui manfaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining,

tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi


terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan,

upaya rehabilitatif, intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya.

 Comparison

Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan tentang

manfaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu

dibandingkan dengan keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes

diagnostik yang lebih akurat yang disebut rujukan standar (standar emas),

atau tes diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan maka

dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanfaat atau tidak

untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati

keberadaan penyakit yang sesungguhnya, atau mendekati hasil tes

diagnostik standar emas, maka tes diagnostik tersebut memiliki akurasi

yang baik, sehingga bermanfaat untuk dilakukan. ( jika relevan, misalnya

terapi standar, gold standard, plasebo).

 Clinical outcome

Efektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis

(clinical outcome). Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang

penting hasil akhir yang berorientasi pasien (patient-oriented outcome)

dari sebuah intervensi medis (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Patient-

oriented outcome dapat diringkas menjadi disability dan discomfort.

Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah kematian dini,

mencegah kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan.


1. Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika

terjadi dini atau tidak tepat waktunya. Contoh balita yang mati akibat

dehidrasi pasca diare, kematian mendadak (sudden death) yang dialami

laki-laki usia 50 tahun pasca serangan jantung, merupakan kematian dini

yang seharusnya bisa dicegah.

2. Disability (kecacatan) adalah ketidakmampuan untuk melakukan

aktivitas sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas

sosial, atau melakukan rekreasi. Contoh, kebutaan karena retinopati

diabetik pada pasien (Patient-Oriented Evidence that Matters, misalnya,

perbaikan klinis, mortalitas, morbiditas, kualitas hidup) Evidence-based

Medicine (EBM) jurnal yang berjudul “Meta-analysis of prostate-specific

antigen and digital rectal examination as screening tests for prostate

carcinoma” diabetes melitus, hemiplegi pasca serangan stroke, merupakan

kecacatan yang seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi

kualitas hidup pasien, diukur dengan QALY (quality-adjusted life year),

DALY (disability-adjusted life year), HYE (healthy years equivalent), dan

sebagainya.

3. Discomfort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala seperti nyeri,

mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala

lainnya yang mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan

menyebabkan penderitaan fisik dan/ atau psikis manusia. Contoh, dispnea

pada pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan ketidaknyamanan

yang menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi

daripada gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit


itu sendiri. Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup

pasien. Bukti yang digunakan dalam EBM adalah bukti yang bernilai bagi

pasien (Patient Oriented Evidence that Matters, “POEM”), bukan bukti

yang berorientasi penyakit (Disease Oriented Evidence) (Shaughnessy dan

Slawson, 1997, Mathew, 2010). Bukti yang berorientasi penyakit meliputi

bukti prematur (premature evidence), atau hasil antara (intermediate

outcome) , misalnya hepatitis B surface antigen, kadar glycohemoglobin,

volume akhir diastolik ventrikel kiri, persentase stenosis arteri koroner,

saturasi O2, ukuran tumor, waktu operasi, dan sebagainya.

Hasil Praktikum :

Langkah 1: Rumuskan Pertanyaan Klinis tentang Pasien

 Patient dan Problem

Bagaimanakah efektivitas ibuprofen dibandingkan dengan parasetamol untuk

menurunkan demam pada anak usia di bawah 12 tahun ?

 Intervention

Terapi obat apakah yang terbaik atau bisa menjadi gold standar pada

pengobatan demam anak di bawah 12 tahun ?

 Comparison

Manakah yang menjadi pengobatan yang lebih efektif antara ibuprofen dan

parasetamol yang mendekati gold standar pengobatan demam anak di bawah

12 tahun ?
 Clinical outcome

Apakah dengan diketahui efektiftas dari ibuprofen dan parasetamol dalam

menurunkan demam pada anak di bawah 12 tahun dapat memperbaiki keadaan

klinis pasien ?

Langkah 2 : Mencari Bukti-Bukti yang Bisa Menjawab Pertanyaan

Teori

Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah berikutnya

adalah mencari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah

hasil dari pengamatan dan eksperimentasi sistematis (McQueen dan Anderson

2001). Jadi pendekatan berbasis bukti sangat mengandalkan riset, yaitu data yang

dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan kuat setelah perencanaan

riset (Banta 2003). Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri-ciri

EUREKA ( Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current and

Appraised ) – yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/

diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian (Mathew, 2010). Mencari

bukti-bukti klinis yang terbaik dalam menjawabnya

Pencarian bukti-bukti biasanya melalui literatur (literature search) dengan

mengakses Medline, Pubmed, Cochrane Collaboration, dan sebagainya. Situs

pencarian literatur lain adalah:

Sumber bukti “sistem”:

• BMJ Clinical Evidence (http://www.clinicalevidence. com)

• UpToDate (http://www.uptodate.com),
• PIER: The Physician’s Information and Education Resource

(http://pier.acponline.org/index.html)

• WebMD (http://webmd.com)denan

• ACP Medicine (www.acpmedicine.com)

• Bandolier (http:// www.ebandolier.com/).

Sumber bukti “sinopsis” (CATS= Critically Appraised Topics)

• ACP [American College of Physicians] Journal Club (http://www.acpjc.org)

• EBM (http://ebm. bmj.com), CATs (www.cebm.jr2.ox.ac.uk)

• POEMs (www.infopoems.com), BestBETS (www.bestbets.com).

Sumber bukti “sintesis”:

• Cochrane Library (http://www3. interscience.wiley. com/ cgi-

bin/mrwhome/106568753/HOME)

• DARE www.york.ac.uk/inst/crd/welcome.htm)

• Medline, Ovid EBMR, Evidence-Based Medicine / ACP Journal Club, dan lain-

lain.

Sumber bukti “studi”

• MEDLINE/ PubMed (www.pubmed.com/)

• Embase (www.ovid.com)

• Trip database (www.tripdatabase.com/).


Hasil Praktikum

Pada praktikum ini kami memilih mengakses Pudmed. Langkah-langkahnya

adalah sebagai berikut:

- Buka google

- Tulis di search engine: Pubmed

- Lalu pilih Pubmed Clinical Queries

- Setelah terbuka pilih Clinical Study Categories

- Pada kotak Category, pilih Diagnosis

- Pada kotak Scope, pilih Broad

- Pada kotak search engine, tulis “comparison ibuprofen and parasetamol”

“fever pediatric treatment”

- Lalu pilih jurnal yang sesuai

- Kami memilih jurnal yang berjudul: “Comparing efficacy and tollerability of

ibuprofen and parasetamol in fever”

Langkah 3: Menilai Kritis Bukti

Teori

EBM merupakan praktik penggunaan bukti riset terbaik yang tersedia (best

available evidence). Tetapi tidak semua sumber bukti memberikan kualitas bukti

yang sama. Dokter dituntut untuk berpikir kritis dan menilai kritis bukti (critical

appraisal). Nilai bukti ditentukan oleh dua hal: (1) Desain riset; dan (2) Kualitas

pelaksanaan riset.
Secara formal penilaian kritis (critical appraisal) perlu dilakukan terhadap

kualitas buki-bukti yang dilaporkan oleh artikel riset pada jurnal. Intinya,

penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang validitas

(validity), kepentingan (importance), dan kemampuan penerapan (applicability)

bukti-bukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis, pencegahan,

kerugian, yang akan digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat

“VIA”.

a. Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung dari

cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara mengukur

variabel, dan mengendalikan pengaruh faktor ketiga yang disebut faktor

perancu (confounding factor). Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti

dalam memilih sampel pasien sehingga sampel kelompok-kelompok yang

dibandingkan tidak sebanding dalam distribusi faktor perancu, atau sampel

yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran penelitian, sehingga

diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes

diagnostik, efek intervensi, atau kesimpulan tentang faktor risiko/ etiologi/

kausa penyakit atau akibat-akibat penyakit, disebut bias seleksi.

b. Importance

Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu

dinilai tidak hanya validitasnya (kebenaran) tetapi juga apakah intervensi

tersebut memberikan informasi diagnostik ataupun terapetik yang substansial,

yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan

diagnosis ataupun memilih terapi yang efektif. Suatu tes diagnostik

dipandang penting jika mampu mendiskriminasi (membedakan) pasien yang


sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup substansial, sebagaimana

ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik, khususnya Likelihood Ratio

(LR). Jika sebuah tes mengklasifikasikan sakit di antara orang-orang yang

sakit dan yang tidak sakit dalam proporsi sama, maka tes diagnostik tersebut

tidak memberikan informasi apapun untuk memperbaiki diagnosis, sehingga

merupakan tes diagnostik yang tidak penting dan tidak bermanfaat untuk

dilakukan.

c. Applicability

Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa

diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. Bukti terbaik dari sebuah

setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas) kepada

setting praktik klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu perlu dipahami

perbedaan antara konsep efikasi (efficacy) dan efektivitas (effectiveness).

Efikasi (efficacy) adalah bukti tentang kemaknaan efek yang dihasilkan oleh

suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang ditunjukkan

pada situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi yang sangat terkontrol sering

kali tidak sama dengan situasi praktik klinis sehari-hari. Suatu intervensi

menunjukkan efikasi jika efek intervensi itu valid secara internal (internal

validity), dengan kata lain intervensi itu memberikan efektif ketika diterapkan

pada populasi sasaran (target population).


Gambar 1. Populasi Sasaran, Populasi Eksternal, dan Kemampuan

Penerapan (Applicability) Bukti Riset

Perhatikan nilai
kekuatan bukti
yang bisa
diharapkan dari
sebuah desain
studi ketika
melakukan
Critical
Appraisal

Gambar 2. Tingkatan Kekuatan Bukti dari Desain Study


Hasil Praktikum

Berdasarkan hierarki metode penelitian di atas dapat dilihat bahwa:

- Validity

Berdasarkan hierarki metode penelitian dapat dilihat bahwa Meta

Analisis/Systematic Reviews menempati urutan teratas sehingga

validitasnya juga paling kuat dari yang lain. Dari artikel yang kami peroleh

metode peneltiannya termasuk dalam tingkatakan Randomised Control

Trial (RCT) dengan system paralel yang dilakukan secara double blind.

Hal ini menunjukkan bahwa desain penelitian yang digunakan memiliki

kekuatan bukti yang baik karena berada di tingkatan kedua setelah

systematic review.

- Importance

Temuan ini sangat penting untuk memilih manakah terapi terbaik antara

ibuprofen dan parasetamol dibandingkan dengan gold standar dalam

pengobatan demam pada anak di bawah 12 tahun.

- Applicability

Temuin ini sangat dapat diaplikasikan dalam penelitian yang dilakukan

oleh penulis/peneliti tentang lebih efektifnya penggunaan ibuprofen

dibandingkan penggunaan parasetamol untuk pasien anak di bawah 12

tahun yang menderita demam.


Langkah 4 : Menerapkan Bukti

Teori

Mengintegrasikan hasil evaluasi kritis dengan ketrampilan klinis kita dengan

keadaan biologis, nilai-nilai dan situasi pasien kita yang unik.

Hasil Praktikum

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh John McIntyre dan David Hull tahun

1996 dalam artikel penelitiannya yang berjudul “Comparing efficacy and

tolerability of ibuprofen and parasetamol in fever”, yang diunduh dari Jurnal

Kedokteran Pubmed, dapat disimpulkan bahwa pemberian obat ibuprofen lebih

efektif daripada parasetamol dalam menurunkan demam pada anak usia di bawah

12 tahun. Pasien yang menerima ibuprofen dari berbagai usia dengan rentan (0,4

sampai 11,6 tahun); 26% pasien berusia 12 bulan atau kurang, mereka memiliki

sejumlah penyakit khas praktek pediatrik, 14% memiliki diagnosis utama mengi /

asma dan 28% dengan riwayat mengi atau asma.

Dalam konteks ini parasetamol dan ibuprofen yang ditampilkan sama efektifnya

sebagai antipiretik tetapi dengan dosis yang berbeda. Pada penelitian ini,

ibuprofen diberikan sebanyak 20 mg/kgBB/hari sedangkan parasetamol sebanyak

50 mg/kgBB/hari pada anak-anak yang menjadi pasien pada penelitian.

Pemakaian obat-obat ini dianggap sama-sama baik meskipun proporsi yang lebih

besar dari pasien dalam kelompok parasetamol memiliki skor iritabilitas

membaik, ada kemungkinan bahwa perbedaan mendukung kelompok ini

mencerminkan potensi yang lebih besar untuk perbaikan antara pasien diacak

untuk parasetamol. Pada titik akhir penelitian tidak ada perbedaan statistik yang
signifikan bagi perubahan kondisi klinis, skor median 3 (baik) pada kedua

kelompok, dan keberhasilan secara keseluruhan, skor median 2 (efek yang baik)

pada kedua kelompok. Tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara

kelompok dalam jumlah pasien dengan efek samping. Sepuluh pasien dari 76

(13%) pada kelompok ibuprofen memiliki 16 efek samping dan 14/74 (19%)

pasien dalam kelompok parasetamol memiliki 18 efek samping. Hal ini tergolong

ringan dengan mayoritas dianggap memiliki hubungan diragukan atau tidak untuk

mempelajari pengobatan. Tidak ada efek samping pengobatan terkait dicatat pada

sistem pernapasan bagi pasien dalam kelompok perlakuan ibuprofen. Karena

kekhawatiran sebelumnya tentang penggunaan non-steroid anti-inflamasi pada

asma, 9 evaluasi lebih lanjut ibuprofen pada anak serak / asma akan diperlukan.

Kesimpulannya, ibuprofen dan parasetamol dalam dosis yang digunakan, 20

mg/kgBB/hari untuk ibuprofen dan 50 mg/kgBB/hari untuk parasetamol, yang

terlihat sama-sama efektif dan dapat ditoleransi dalam pengobatan demam pada

anak-anak kecil. Hal ini memperlihatkan bahwa penggunaan ibuprofen sebagai

penurun demam pada anak di bawah 12 tahun lebih efektif dari segi penggunaan

dosis karena membutuhkan dosis yang lebih sedikit untuk menurunkan demam

dibandingkan dengan parasetamol. Meskipun dari hasil penelitian ini penggunaan

kedua obat sama-sama aman dalam menurunkan demam, tetap dibutuhkan

kewaspadaan dari penggunaan ibuprofen untuk anak-anak sebelum ibuprofen

dipercaya sebagai gold standar seperti parasetamol sebagai obat penurun demam

pada anak di bawah 12 tahun. Hal ini mengingat efek samping ibuprofen ke

sistem pencernaan dan ginjal manusia.


Langkah 5: Mengevaluasi Kinerja Penerapan EBM

Teori

Pada langkah terakhir ini, kita mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dalam

melaksanakan langkah 1-4 dan terus berusaha mencari jalan untuk meningkatkan

kemampuan kita.

Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan sebagai berikut

(Hollowing dan Jarvik, 2007). Pertama, mengevaluasi efisiensi penerapan

langkah-langkah EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi membutuhkan

waktu terlalu lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi

mendapat bukti dalam waktu cukup singkat tetapi dengan kualitas bukti yang

tidak memenuhi ―VIA‖ (kebenaran, kepentingan, dan kemampuan penerapan

bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan inefisiensi implementasi EBM.

Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai

dasar praktik klinis. Dalam audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan

yang telah diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara

pelayanan yang sedang/ telah diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah

ditetapkan dan harus dilakukan (should be done). Jika belum/ tidak dilakukan,

maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja yang dibutuhkan agar bisa

dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan klinis pasien. Ketiga,

mengidentifikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM

merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa

mendatang.
Hasil evaluasi kinerja implementasi EBM berguna untuk memperbaiki penerapan

EBM, agar penerapan EBM di masa mendatang menjadi lebih baik, efektif, dan

efisien. Jadi langkah-langkah EBM sesungguhnya merupakan fondasi bagi

program perbaikan kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (continuous

quality improvement) (Ilic, 2009).

Hasil Praktikum

Evaluasi penggunaan ibuprofen sebagai penurun demam pada anak di bawah 12

tahun dari segi efektifitas adalah efektif untuk digunakan. Tetapi penggunaan

ibuprofen ini masih belum bisa menjadi gold standar seperti parasetamol sebagai

penurun demam pada anak mengingat efek samping yang ada.

Sedangkan dari segi efisiensi, ibuprofen cukup efisien sebagai obat penurun

demam pada anak karena harganya yang tergolong murah seperti halnya

parasetamol.

Anda mungkin juga menyukai