Oleh :
VICHA FITRIANI
NPM. 1926041012.P
Jawaban :
Evidence based medicine dapat dipraktekkan pada berbagai situasi, khususnya jika
timbul keraguan dalam hal diagnosis, terapi, dan penatalaksanaan pasien. Adapun langkah-
langkah dalam EBM adalah:
Setiap saat seorang dokter menghadapi pasien tentu akan muncul pertanyaan-pertanyaan
ilmiah yang menyangkut beberapa hal, seperti diagnosis penyakit, jenis terapi yang paling
tepat, faktor- faktor resiko, prognosis, hingga upaya apa yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah yang dijumpai pada pasien.
Dalam situasi tersebut diperlukan kemampuan untuk mensintesis dan menelaah beberapa
permasalahan yang ada. Sebagai contoh, dalam skenario 1 disajikan suatu kasus dan
bentuk kajiannya.
Secara umum terdapat 2 jenis pertanyaan klinik yang biasa diajukan oleh seorang praktisi
medik atau klinisi pada saat menghadapi pasien.
Contoh:
Contoh:
Langkah II. Penelusuran informasi ilmiah untuk mencari “evidence”
Setelah formulasi permasalahan disusun, langkah selanjutnya adalah mencari dan mencoba
menemukan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Untuk ini diperlukan keterampilan penelusuran informasi ilmiah (searching skill) serta
kemudahan akses ke sumber-sumber informasi. Penelusuran kepustakaan dapat dilakukan
secara manual di perpustakaan- perpustakaan Fakultas Kedokteran atau rumahsakit-
rumahsakit pendidikan dengan mencari judul-judul artikel yang berkaitan dengan
permasalahan yang ada dalam jurnal-jurnal.
Pada saat ini terdapat lebih dari 25.000 jurnal biomedik di seluruh dunia yang dapat di-
akses secara manual melalui bentuk cetakan (reprint). Dengan berkembangnya teknologi
informasi, maka penelusuran kepustakaan dapat dilakukan melalui internet dari
perpustakaan, kantor-kantor, warnet-warnet (warung internet), bahkan di rumah, dengan
syarat memiliki komputer dan seperangkat modem, serta saluran telepon untuk mengakses
internet.
Dalam tahap ini seorang klinisi atau praktisi dituntut untuk dapat melakukan penilaian
(appraisal) terhadap hasil-hasil studi yang ada. Tujuan utama dari penelaahan kritis ini
adalah untuk melihat apakah bukti-bukti yang disajikan valid dan bermanfaat secara klinis
untuk membantu proses pengambilan keputusan. Hal ini penting, mengingat dalam
kenyataannya tidak semua studi yang dipublikasikan melalui majalah (jurnal-jurnal)
internasional memenuhi kriteria metodologi yang valid dan reliabel.
Untuk mampu melakukan penilaian secara ilmiah, seorang klinisi atau praktisi harus
memahami metode yang disebut dengan “critical appraisal” atau “penilaian kritis” yang
dikembangkan oleh para ahli dari Amerika Utara dan Inggris. Critical appraisal ini
dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk menjaring apakah artikel-artikel
yang kita peroleh memenuhi kriteria sebagai artikel yang dapat digunakan untuk acuan.
Dalam Tabel Levels of evidence dipresentasikan derajat evidence, yaitu kategorisasi untuk
menempatkan evidence berdasarkan kekuatannya.
Evidence level 1a, misalnya, merupakan evidence yang diperoleh dari meta-analisis
terhadap berbagai uji klinik acak dengan kontrol (randomized controlled trials). Evidence
level 1a ini dianggap sebagai bukti ilmiah dengan derajat paling tinggi yang layak untuk
dipercaya.
Tahap ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah current best evidence yang digunakan
untuk pengambilan keputusan terapi bermanfaat secara optimal bagi pasien, dan
memberikan resiko yang minimal. Termasuk dalam tahap ini adalah mengidentifikasi
evidence yang lebih baru yang mungkin bisa berbeda dengan apa yang telah diputuskan
sebelumnya. Tahap ini juga untuk menjamin agar intervensi yang akhirnya diputuskan
betul-betul memberi manfaat yang lebih besar dari resikonya (“do more good than harm”).
Rekomendasi mengenai keputusan terapi yang paling baik dibuat berdasarkan pengalaman
klinik dari kelompok ahli yang menyusun pedoman pengobatan.
3. Sebutkan dan jelaskan beserta contoh apa yang dimaksud dengan istilah
“normal” dalam uji diagnosis !
Jawaban :
Beberapa istilah yang dipakai sebagai standar normal adalah :
1) Percentil
2) Factor resiko ( resiko terhadap kesakitan atau kematian )
3) Kriteria kultur (lebih baik langsing dari pada gemuk )
4) Suatu rentang harga dimana suatu terapi memberikan hasil yang bermanfaat
dibanding kerugiannya
- Misal harga normal Tekana Darah adalah 130/80 mmHg
4. Jelaskan bagaimana menilai kriteria outcome yang objektif dan tidan berbias
pada artikel prognosis !
Jawaban :
Kriteria outcome yang diteliti harus mempunyai definisi operasional yang objektif
(tertulis dan dapat diukur) tidak berdasarkan kemampuan diagnosis klinis semata.
Demikian pula penilai outcome yang diteliti sangat diharapkan untuk tidak mengetahui
(“blind”)
terhadap perjalanan klinis pasien, karakteristik maupun faktor-faktor prognosis sampel
yang diteliti. Apabila kita menjawab “ya” pada semua pertanyaan maka penelitian tersebut
valid dan kita dapat melangkah lebih lanjut untuk menilai importance.
Importance Untuk lebih memudahkan penjelasan mengenai makna prognosis suatu
penyakit kepada pasien, biasanya kita menjelaskannya dalam bentuk kuantitatif. Misalnya
dari suatu penelitian disimpulkan bahwa “bayi dengan berat badan lahir sangat rendah
dengan riwayat ventrikulomegali akibat perdarahan intrakranial, mempunyai risiko untuk
menderita kelainan neurologis sebesar 48% apabila bayi tersebut dapat hidup melewati
usia satu tahun.” Kepada orang tua yang mempunyai bayi dengan karakteristik yang serupa
dengan penelitian tersebut akan kita jelaskan sebagai berikut “ Kemungkinan anak ibu
untuk menderita gangguan neurologis setelah anak ibu berusia 1 tahun adalah mendekati
50%”. Agar kita mampu memberitahukan prognosis suatu penyakit, setelah mengetahui
penelitian tersebut valid, maka kita jawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
1. Berapa besarkah kemungkinan terjadinya outcome dikaitkan dengan rentang waktu
tertentu?
2. Berapa besar ketepatan perkiraan prognosis tersebut?
Penelitian mengenai prognosis biasanya menggunakan proporsi sampel yang masih hidup
pada saat tertentu (misalnya 5 year survival rate, median survival