Anda di halaman 1dari 12

Makalah Evidence Based

Konsep Evidence based midwfery practice

DOSEN PENGAMPU : Evi Desfauz,SST,M.Kes

Disusun oleh: Kelompok 8

1. Adinda Wulan Dari (P07524419001)


2. Hikmatul Fadhilah Lubis (P07524419022)

POLTEKKES KEMENKES RI MEDAN


JURUSAN KEBIDANAN
T. A. 2020/2021

KATA PENGANTAR

1
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat
rahmat dan hidayahNya kami dapat menyelesaikan makalah Konsep Evidence
based midwfery practice
. Makalah ini disusun dengan harapan dapat dijadikan sebagai bahan ajar
untuk Mata Kuliah Profesionalisme Kebidanan bagi mahasiswa yang mengikuti
pendidikan DIV Kebidanan.

Pada kesempatan ini tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Kami
menyadari keterbatasan kami selaku penulis, oleh karena itu demi
pengembangan kreatifitas dan penyempurnaan makalah ini, kami
mengharapkan saran dan masukan dari pembaca maupun para ahli, baik dari
segi isi, istilah serta pemaparannya. Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas
budi baik semua pihak yang telah memberi kesempatan, dukungan dan bantuan
dalam menyelesaikan makalah ini.Akhir kata, semoga makalah ini dapat
memberi manfaat bagi para pembaca.Amin.

Daftar Isi

2
Judul.................................................................................................................1

Kata Pengantar.................................................................................................2

Daftar Isi...........................................................................................................3

Bab I Pendahuluan

Latar Belakang….............................................................................................4

Rumusan Masalah............................................................................................4

Tujuan /Manfaat...............................................................................................4

Bab II Pembahasan

Pengertian evidance dan perinsip evidance ..........................................5

kekuatan dan kelemahan dalam penerapan evidence based pada praktik

.......................................................10

Bab III Penutup

Kesimpulan.......................................................................................................11

Daftar Pustaka................................................................................................12

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.Latar Belakang

Evidence based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan


pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti. Bukti ini
pun tidak sekadar bukti tapi bukti ilmiah terkini yang bias dipertanggung
jawabkan. 

Tidak semua informasi yang didapatakan bisa dipercaya dan digunakan sebagai
bagai bahan pertimbangan dalam menentukan terapi untuk pasien. Keterampilan
memperoleh informasi dengan cepat dan tepat melalui internet akan sangat
menunjang tugas dan tanggung jawab farmasis dalam praktik
profesionalismenya. Informasi dapat diperoleh darimana saja, baik internet,
jurnal publikasi ilmiah, buku terbaru, cerita tenaga kesehatan lain, maupun
seminar kesehatan yang diselenggarakan.

2.RUMUSAN MASALAH

1. perinsip dalam evidence based midwifery care

2. langkah-langkah dalam evidence based midwifery care

3. kekuatan dan kelemahan dalam penerapan evidence based pada praktik

3. TUJUAN

Tujuan penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa mampu memahami


pengenalan perinsip, langkah-langkah , dan kekuatan dan kelemahan dalam
penerapan evidence based pada praktik .

BAB II

4
PEMBAHASAN

1. Pengertian evidence

Evidence based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan


pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti. Bukti
ini pun tidak sekadar bukti tapi bukti ilmiah terkini yang bias dipertanggung
jawabkan. 

Suatu istilah yang luas yang digunakan dalam proses pemberian informasi
berdasarkan bukti dari penelitian (Gray, 1997). Jadi, Evidence based Midwifery
adalah pemberian informasi kebidanan berdasarkan bukti dari penelitian yang
bisa dipertanggung jawabkan. Praktik dalam kebidanan yang di utamakan
adalah lebih didasarkan pembuktian ilmiah hasil observasi/penelitian dan
pengalaman praktik terbaik dari semua para praktisi dari seluruh penjuru dunia.
Rutinitas yang tidak terbukti manfaatnya kini tidak dianjurkan lagi.

2. Perinsip dalam evidance

Perinsip dalam evidence based midwifery care :

Secara prinsip yang menjadi dasar praktik evidence based health careadalah
bahwa setiap perilaku atau tindakan medis harus dilandasi suatu bukti ilmiah
yang telah diuji kebenaran dan tingkat kemanfaatannya untuk pasien. Bagi
farmasis, segala tindakan dalam rangka pengobatan, pemmilihan jenis obat,
penilihan jenis sediaan dan cara pemberian obat, maupun konsultasi tentang
obat harus didasarkan bukti ilmiah yang sudah valid, terkini dan bermanfaat.

dengan kemajuan di bidang teknologi informasi saat ini, internet dapat


digunakan untuk memperbaharui segala informasi yang diinginkan.

Penelaahan lebih jauh diperlukan sebelum mempercayai informasi baru tentang


obat. Tidak semua informasi yang didapatakan bisa dipercaya dan digunakan
sebagai bagai bahan pertimbangan dalam menentukan terapi untuk pasien.
Keterampilan memperoleh informasi dengan cepat dan tepat melalui internet
akan sangat menunjang tugas dan tanggung jawab farmasis dalam praktik
profesionalismenya. Informasi dapat diperoleh darimana saja, baik internet,
jurnal publikasi ilmiah, buku terbaru, cerita tenaga kesehatan lain, maupun
seminar kesehatan yang diselenggarakan.

5
LANGKAH LANGKAH EVIDENCE BASED MEDICINE

Evidence based medicine dapat dipraktekkan pada berbagai situasi, khususnya


jika timbul keraguan dalam hal diagnosis, terapi, dan penatalaksanaan pasien.
Adapun langkah-langkah dalam EBM adalah:

Memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan masalah penyakit


yang diderita oleh pasien.

Penelusuran informasi ilmiah (evidence) yang berkaitan dengan masalah yang


dihadapi.

Penelaahan terhadap bukti-bukti ilmiah yang ada.

Menerapkan hasil penelaahan bukti-bukti ilmiah ke dalam praktek pengambilan


keputusan.

Melakukan evaluasi terhadap efikasi dan efektivitas intervensi.

Langkah I. Memformulasikan pertanyaan ilmiah

 Setiap saat seorang dokter menghadapi pasien tentu akan muncul


pertanyaan-pertanyaan ilmiah yang menyangkut beberapa hal, seperti
diagnosis penyakit, jenis terapi yang paling tepat, faktor- faktor resiko,
prognosis, hingga upaya apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah yang dijumpai pada pasien.

 Dalam situasi tersebut diperlukan kemampuan untuk mensintesis dan


menelaah beberapa permasalahan yang ada. Sebagai contoh, dalam
skenario 1 disajikan suatu kasus dan bentuk kajiannya.

 Pertanyaan-pertanyaan yang mengawali EBM selain dapat berkaitan


dengan diagnosis, prognosis, terapi, dapat juga berkaitan dengan resiko
efek iatrogenik, kualitas pelayanan (quality of care), hingga ke ekonomi
kesehatan (health economics). Idealnya setiap issue yang muncul
hendaknya bersifat spesifik, berkaitan dengan kondisi pasien saat masuk,
bentuk intervensi terapi yang mungkin, dan luaran (outcome) klinik yang
dapat diharapkan

 Langkah II. Penelusuran informasi ilmiah untuk mencari “evidence”

Setelah formulasi permasalahan disusun, langkah selanjutnya adalah mencari


dan mencoba menemukan bukti-bukti ilmiah yang dapat menjawab pertanyaan-

6
pertanyaan tersebut. Untuk ini diperlukan keterampilan penelusuran informasi
ilmiah (searching skill) serta kemudahan akses ke sumber-sumber informasi.
Penelusuran kepustakaan dapat dilakukan secara manual di perpustakaan-
perpustakaan Fakultas Kedokteran atau rumahsakit-rumahsakit pendidikan
dengan mencari judul-judul artikel yang berkaitan dengan permasalahan yang
ada dalam jurnal-jurnal.

Pada saat ini terdapat lebih dari 25.000 jurnal biomedik di seluruh dunia yang
dapat di-akses secara manual melalui bentuk cetakan (reprint). Dengan
berkembangnya teknologi informasi, maka penelusuran kepustakaan dapat
dilakukan melalui internet dari perpustakaan, kantor-kantor, warnet-warnet
(warung internet), bahkan di rumah, dengan syarat memiliki komputer dan
seperangkat modem, serta saluran telepon untuk mengakses internet

 Langkah III. Penelaahan terhadap bukti ilmiah (evidence) yang ada

Dalam tahap ini seorang klinisi atau praktisi dituntut untuk dapat melakukan
penilaian (appraisal) terhadap hasil-hasil studi yang ada. Tujuan utama dari
penelaahan kritis ini adalah untuk melihat apakah bukti-bukti yang disajikan
valid dan bermanfaat secara klinis untuk membantu proses pengambilan
keputusan. Hal ini penting, mengingat dalam kenyataannya tidak semua studi
yang dipublikasikan melalui majalah (jurnal-jurnal) internasional memenuhi
kriteria metodologi yang valid dan reliabel.

Untuk mampu melakukan penilaian secara ilmiah, seorang klinisi atau praktisi
harus memahami metode yang disebut dengan “critical appraisal” atau
“penilaian kritis” yang dikembangkan oleh para ahli dari Amerika Utara dan
Inggris. Critical appraisal ini dilengkapi dengan pertanyaan-pertanyaan kunci
untuk menjaring apakah artikel-artikel yang kita peroleh memenuhi kriteria
sebagai artikel yang dapat digunakan untuk acuan.

 Langkah IV. Penerapan hasil penelaahan ke dalam praktek

Dengan mengidentifikasi bukti-bukti ilmiah yang ada tersebut, seorang klinisi


dapat langsung menerapkannya pada pasien secara langsung atau melalui
diskusi-diskusi untuk menyusun suatu pedoman terapi. Berdasarkan informasi
yang ada, maka dapat saja pada Skenario 1 diputuskan untuk segera memulai
terapi dengan warfarin. Ini tentu saja didasarkan pada pertimbangan resiko dan
manfaat (risk-benefit assessment) yang diperoleh melalui penelusuran bukti-
bukti ilmiah yang ada.

7
Dalam Tabel Levels of evidence dipresentasikan derajat evidence, yaitu
kategorisasi untuk menempatkan evidence berdasarkan kekuatannya.

Evidence level 1a, misalnya, merupakan evidence yang diperoleh dari meta-
analisis terhadap berbagai uji klinik acak dengan kontrol (randomized
controlled trials). Evidence level 1a ini dianggap sebagai bukti ilmiah dengan
derajat paling tinggi yang layak untuk dipercaya

 Langkah V. Follow-up dan evaluasi

Tahap ini harus dilakukan untuk mengetahui apakah current best evidence yang
digunakan untuk pengambilan keputusan terapi bermanfaat secara optimal bagi
pasien, dan memberikan resiko yang minimal. Termasuk dalam tahap ini adalah
mengidentifikasi evidence yang lebih baru yang mungkin bisa berbeda dengan
apa yang telah diputuskan sebelumnya. Tahap ini juga untuk menjamin agar
intervensi yang akhirnya diputuskan betul-betul memberi manfaat yang lebih
besar dari resikonya (“do more good than harm”). Rekomendasi mengenai
keputusan terapi yang paling baik dibuat berdasarkan pengalaman klinik dari
kelompok ahli yang menyusun pedoman pengobatan.

kekuatan dan kelemahan dalam penerapan evidence based pada praktik

Pengguna pelayanan kesehatan memiliki pengalaman berharga yang dapat


digunakan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan oleh provider terkait.
Adanya persepsi yang berbeda antara bidan dan pasien terhadap pelayanan
asuhan kebidanan, memerlukan keterlibatan pasien dalam upaya peningkatan
mutu pelayanan kesehatan. Tujuan artikel ini untuk mengetahui:

 Aspek mutu pelayanan kebidanan yang paling dihargai oleh pasien


 Aspek mutu pelayanan kebidanan yang dapat ditingkatkan menurut kaum
perempuan
 Bagaimana pengalaman kaum perempuan dapat dipergunakan untuk
menilai mutu dan meningkatkan program mutu oleh praktik kebidanan
individual,

Pelayanan obstetrik di Belanda diberikan oleh primary caregiver (dokter dan


bidan) serta secondary caregiver (dokter spesialis kandungan). Pada tahun
1990, perwakilan dari pasien, provider pelayanan kesehatan, agen asuransi, dan
pemerintah di Belanda bertemu secara formal dalam Leidschendam
Conferences, dimana mereka mendiskusikan bagaimana mutu pelayanan

8
kesehatan terbaik dapat ditingkatkan. Semua pihak sependapat bahwa pelayanan
kesehatan disediakan berdasarkan kebutuhan dibandingkan berdasarkan
ketersediaan. Para bidan di Belanda mempertahankan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dan mutu organisasi, Royal Dutch Midwifery Association
(KNOV) menyusun suatu sistem mutu untuk mengembangkan organisasi secara
sistematis dan pengadaan pelayanan kebidanan.

Pada penelitian yang dilakukan pada 2004 di Belanda, data dikumpulkan dari
358 responden yang merupakan ibu muda dari 57 bidan. Kuesioner yang
dipergunakan memuat berbagai aspek meliputi; prenatal, natal, periode post
partum, dan memuat dua pertanyaan terbuka.

Sebanyak 312 responden berpartisipasi dalam penelitian ini dan diperoleh data
berupa daftar sebanyak 870 aspek yang dihargai oleh responden dalam
perawatan kebidanan yang mereka peroleh. Berikut adalah aspek-aspek
tersebut; sopan santun (337 pernyataan positif), kompetensi profesional (224
pernyataan positif), dukungan (57 pernyataan positif). Aspek-aspek tersebut
dapat dikategorikan sebagai kekuatan dalam pelayanan asuhan kebidanan.
Namun, 177 responden memberikan pernyataan negatif yang memerlukan
perbaikan lebih lanjut terkait aspek-aspek tersebut, yakni; dimensi organisasi
(65 pernyataan negatif), kebijakan (62 pernyataan negatif), dan informasi (46
pernyataan negatif).

Aspek-aspek yang menjadi penekanan bahasan pada penelitian ini mengacu


pada hasil penelitian yang dilakukan, meliputi:

 Aspek Interpretasi Individu


 Kompetensi Profesional
 Informasi
 Sopan Santun
 Dukungan
 Organisasi
 Evaluasi
 Kebijakan

Hasil penelitian ini dapat menjadi awal pengembangan instrumen peningkatan


mutu pelayanan kesehatan dari perspektif kaum perempuan atau pasien yang
menggunakan layanan kebidanan. Namun tidak semua hasil pada penelitian ini
dapat diterapkan pada semua praktik layanan kebidanan. Bersama dengan
seluruh kolega, provider lain, pasien, bidan sebaiknya 'mengenali' pernyataan-
pernyataan yang disampaikan oleh responden. Ketika bidan dapat mengenali
kekuatan dan kelemahan pada pelayanan kebidanan yang mereka berikan, maka

9
suatu strategi yang berfokus pada pasien dapat dikembangkan dan tidak hanya
mengacu pada kebijakan mutu Royal Dutch Midwifery Association (KNOV).

BAB III

10
PENUTUP

Kesimpulan

Langkah awal dan utama untuk memperbaiki adalah kembali lagi kita
melakukan evaluasi dan pemetaan. Baik pemerintah pusat melalui kementerian
kesehatan maupun pemerintah daerah dengan dinas kesehatannya, marilah
kitamempelajarin lebih lanjutnya mengenai 1. perinsip dalam evidence based
midwifery care

2. langkah-langkah dalam evidence based midwifery care

3. kekuatan dan kelemahan dalam penerapan evidence based pada praktik

Evidence based artinya berdasarkan bukti. Artinya tidak lagi berdasarkan


pengalaman atau kebiasaan semata. Semua harus berdasarkan bukti. Bukti
ini pun tidak sekadar bukti tapi bukti ilmiah terkini yang bias dipertanggung
jawabkan. 

Secara prinsip yang menjadi dasar praktik evidence based health careadalah
bahwa setiap perilaku atau tindakan medis harus dilandasi suatu bukti ilmiah
yang telah diuji kebenaran dan tingkat kemanfaatannya untuk pasien. Bagi
farmasis, segala tindakan dalam rangka pengobatan, pemmilihan jenis obat,
penilihan jenis sediaan dan cara pemberian obat, maupun konsultasi tentang
obat harus didasarkan bukti ilmiah yang sudah valid, terkini dan bermanfaat.

Evidence based medicine dapat dipraktekkan pada berbagai situasi, khususnya


jika timbul keraguan dalam hal diagnosis, terapi, dan penatalaksanaan pasien.
Adapun langkah-langkah dalam EBM adalah:

Memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan masalah penyakit


yang diderita oleh pasien.

Penelusuran informasi ilmiah (evidence) yang berkaitan dengan masalah yang


dihadapi.

Penelaahan terhadap bukti-bukti ilmiah yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

11
Evidence based midwifery di royal college midwivesinggris :
http://www.rcm.org.uk/ebm/volume-11-2015/volume

https://www.midwferytoday.com/a rticles midwifestouch.asp

12

Anda mungkin juga menyukai