Anda di halaman 1dari 53

thematics

Ma

Ed
of

uca
Journal

t io n

Jurnal Edukasi Matematika

PENALARAN ALJABAR
Latifah Nuraini

DAPATKAH RUMUS LUAS LINGKARAN


DIBUKTIKAN LEWAT SEGITIGA?
Sumardyono

PENGGUNAAN MEDIA BERIBU DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT
Suparman Pilomonu

UPAYA MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA TERHADAP


MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA SISWA KELAS VIII-1 SMP
TAMAN DEWASA JETIS YOGYAKARTA
Imaludin Agus, Arisnawati Dwi Purwani

PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA


DITINJAU DARI GENDER MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH BERKARAKTER PADA SISWA KELAS XI SMA YPK MEDAN
Rahmi Ramadhani

Volume 8
Nomor 15
Halaman 884- 932

Desember 2017
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika
(PPPPTK Matematika)
8
SUSUNAN DEWAN REDAKSI
JURNAL EDUMAT VOLUME 8 NOMOR 15 TAHUN 2017
PPPPTK MATEMATIKA

Pengarah : 1. Kepala PPPPTK Matematika


Dr. Dra. Daswatia Astuty, M.Pd.
2. Kepala Bagian Umum
Nunik Sukeksi, S.H., M.Hum.

Penanggung jawab : Kepala Sub Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga
Harwasono, S.Kom., MM.

Reviewer : 1. Dr. Rachmadi Widdiharto, M.A.


2. Dr. Supinah
3. Fadjar Noer Hidayat, M.Ed.
4. Sri Wulandari Danoebroto, S.Si, M.Pd
5. Untung Trisna Suwaji, S.Pd., M.Si.
6. Agus Dwi Wibawa, M.Si.
7. Sigit Tri Guntoro, M.Si.
8. Joko Purnomo, M.T.
9. Drs. Markaban, M.Si.
10. Titik Sutanti, M.Ed.

Dewan Redaksi :
Pemimpin Redaksi : Dra. Puji Iryanti, M.Sc.Ed.
Anggota Redaksi : 1. Dr. Adi Wijaya, M.A.
2. Estina Ekawati, M.Pd.Si.

Administrasi : 1. Andar Widiyarti, S.Pd.


2. Anggraheni Suharto, S.IP.
3. Lucia Andris Nurini, S.Psi.

Lay Out : 1. Cahyo Sasongko, S.Sn.


2. Muhammad Fauzi

Alamat redaksi : Sub. Bagian Tata Usaha dan Rumah Tangga,


PPPPTK Matematika
Jl. Kaliurang km.6, Sambisari, Depok, Sleman
D.I. Yogyakarta
Telp. (0274)881717, 887755
Fax. (0274) 885752
Website. www.p4tkmatematika.org
Email. jurnaledumat@p4tkmatematika.org
sekretariat@p4tkmatematika.org
PENALARAN ALJABAR
Latifah Nuraini

Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Pati

Abstract. This article is a literature study on algebraic reasoning with examples of


characteristics of algebraic reasoning of seventh graders. Algebra is a branch of
mathematics involving symbols and studying about the structure of abstraction
system on computation and relations, as well as modeling and solving equations. To
understand algebra requires reasoning ability, where the ability is very closely
related to drawing conclusions. Algebraic reasoning is essential for understanding
algebra, as algebraic capability is important for the mastery of mathematical
contents. Due to its importance, teachers are expected to have a clearer and more
comprehensive understanding of algebraic reasoning so they could apply it in
mathematics learning appropriately.

Keywords. Algebraic reasoning, mathematics learning, reasoning

1. Pendahuluan pada kemampuan aljabar yaitu 22%


(Rosnawati, 2013). Rendahnya
Pengetahuan tentang kemampuan kemampuan aljabar siswa Indonesia
penalaran masing-masing siswa sangat mungkin karena siswa belum
diperlukan untuk mewujudkan cukup memahami penggunaan
pembelajaran matematika yang simbol, penyimpulan dari pola-pola
efektif. Kemampuan penalaran tertentu, maupun konsep relasi dan
merupakan salah satu dari sekian fungsi. Kemampuan menghubung-
banyak kecerdasan yang sangat kan, menyimpulkan pola, bilangan,
penting dimiliki dan dikuasai siswa dan simbol dalam materi aljabar
saat mempelajari matematika. sangat erat hubungannya dengan
Sebagaimana kecerdasan dasar lain kemampuan penalaran, maka dari
yang dimiliki anak, kemampuan itu siswa hendaknya menguasai
inilah yang digunakan anak ketika penalaran aljabar agar mumpuni
dihadapkan pada masalah dalam materi aljabar.
matematika (Minarni, 2010).
Penalaran adalah bagian tertentu Teori mengenai penalaran aljabar
dalam memecahkan masalah yang hendaknya dipahami dengan baik
melibatkan proses penyelidikan dan oleh guru agar dapat merancang
penarikan kesimpulan terhadap pembelajaran yang dapat meng-
dugaan-dugaan terkait yang telah optimalkan penalaran aljabar siswa.
dibuktikan kebenarannya. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut
mengenai teori penalaran aljabar
Menurut Trends in International dan bagaimana menerapkannya
Mathematics and Science Study dalam pembelajaran. Artikel ini
(TIMSS) 2011 terhadap siswa merupakan studi literatur untuk
Indonesia pada domain materi, rata- membahas teori penalaran aljabar
rata presentase paling rendah adalah dengan meletakkan Indonesia

884
sebagai kasus. Diberikan contoh dan bekerja mundur untuk
karakteristik penalaran aljabar siswa menyelesaikan masalah, (b)
kelas VII sebagai gambaran rata-rata membuat dan menguji dugaan, dan
kemampuan ajabar yang dimiliki (c) menciptakan argumen.
siswa di Indonesia.
Shadiq (2009:14) menyatakan
2. Penalaran indikator-indikator penalaran yang
dicapai oleh siswa adalah
Penalaran (reasoning) adalah proses kemampuan menyajikan pernya-
berpikir yang dilakukan dengan taan secara lisan, tertulis, gambar
suatu cara untuk menarik dan diagram, kemampuan mengaju-
kesimpulan. Sebagaimana pernya- kan dugaan, kemampuan
taan Suriasumantri (2007: 42) melakukan manipulasi, kemampu-
bahwa penalaran adalah suatu an menyusun bukti, memberikan
proses berpikir dalam menarik alasan/bukti terhadap kebenaran
kesimpulan berupa pengetahuan, solusi, kemampuan menarik
penalaran menghasilkan pengetahu- kesimpulan dari pernyataan,
an yang dikaitkan dengan kegiatan memeriksa kesahihan suatu
berpikir bukan perasaan. argumen, menemukan pola atau
sifat dari gejala matematis untuk
Dominowski (2002:57) menyatakan
membuat generalisasi.
bahwa penalaran adalah jenis
khusus dari pemecahan masalah. Russel (NCTM,1999:l) menyatakan
Intinya, penalaran adalah alat untuk bahwa penalaran matematik adalah
memahami matematika dan pusat belajar matematika.
pemahaman matematik itu Matematika adalah suatu disiplin
digunakan untuk menyelesaikan berkenaan dengan objek abstrak dan
masalah. Pengalaman menyelesai- penalaranlah alat untuk memahami
kan masalah dapat memperkuat abstraksi. Russel menambahkan,
pemahaman dan penalaran penalaranlah yang digunakan untuk
matematik yang kemudian kembali berpikir tentang sifat-sifat
menjadi modal untuk memecahkan sekumpulan objek matematik dan
masalah baru atau masalah yang mengembangkan generalisasi yang
lain lagi, demikian siklus itu dikenakan padanya. Penalaran
seharusnya berlangsung. melibatkan beberapa keterampilan
penting seperti menyelidiki pola,
National Council of Teachers of
membuat dan menguji dugaan
Mathematics (NCTM, 2000)
(conjecture), dan menggunakan
menegaskan bahwa bernalar dan
penalaran deduktif dan induktif
membuktikan adalah salah satu dari
formal untuk memformulasikan
lima kompetensi yang harus tumbuh
argumen matematik.
dan berkembang ketika anak belajar
matematika. Curriculum and Sejalan dengan pernyatan Russel di
Evaluation Standards (NCTM, 1989) atas, Sumarto (2006: 6) menyatakan
memberikan ciri-ciri saat proses penalaran dibedakan menjadi dua,
penalaran sedang berlangsung, yaitu yaitu penalaran deduktif dan
bila: (a) menggunakan coba-ralat

885
induktif. Penalaran deduktif penarikan kesimpulan terhadap
didasarkan atas prinsip, hukum, dugaan-dugaan terkait yang telah
atau teori yang berlaku umum dibuktikan kebenarannya.
tentang suatu hal atau gejala untuk
ditarik kesimpulan tentang sesuatu 3. Aljabar
yang khusus. Sementara penalaran
Aljabar merupakan cabang
induktif merupakan proses
matematika mengenai studi tentang
penalaran untuk sampai pada suatu
struktur, hubungan dan kuantitas.
keputusan, prinsip, atau sikap yang
Nama ini ini berasal dari risalah
bersifat umum, berdasarkan
yang ditulis oleh matematikawan
pengamatan atas hal-hal khusus.
Persia Muhammad ibnu Musa al-
Menurut NCTM (2000: 56), bernalar Khawarizmi dalam Al-Kitab al Jabr
matematik adalah suatu kebiasaan, wal-Muqabala, yang menyediakan
dan seperti kebiasaan lainnya, maka operasi simbolik untuk solusi
ia mesti dikembangkan melalui matematis persamaan linear dan
pemakaian yang konsisten dan kuadrat. Beberapa hal yang menjadi
dalam berbagai konteks. NCTM penyebab kesulitan siswa di
menambahkan, orang yang bernalar antaranya konsep variabel dan
dan berpikir secara analitik akan simbol-simbol yang belum pernah
cenderung mengenal pola, struktur, dijumpai pada pembelajaran
atau keteraturan baik di dunia nyata matematika sebelumnya. Selain itu
maupun pada simbol-simbol. Gigih pemahaman siswa tentang konsep
mencari tahu apakah pola itu terjadi aritmetika yang kurang baik
secara kebetulan ataukah ada menyebabkan kesulitan memahami
alasan tertentu. Membuat dugaan konsep dasar aljabar. Kesulitan ini
dan menyelidiki kebenaran atau berkaitan dengan perbedaan antara
ketidakbenaran dugaan itu. konsep aritmetika dan konsep
Membuat dan menyelidiki dugaan aljabar. Konsep aritmetika
adalah hal yang sangat penting memfokuskan pada hasil operasi
dalam matematika, karena melalui data spesifik, sedangkan pada
dugaan berbasis informasilah konsep aljabar melibatkan
penemuan matematik sering terjadi. pembuatan hubungan yang jelas
Jadi, melalui pemecahan masalah antara suatu yang tidak diketahui
matematik siswa dibimbing, dengan data dan melakukan
didorong, dan difasilitasi untuk manipulasi untuk menyelesaikan
mengasah seluruh kemampuan masalah.
penalaran matematiknya agar dapat
Dalam Kamus Besar Bahasa
tumbuh dan berkembang seperti
Indonesia (2005: 31) aljabar
yang diharapkan.
diartikan sebagai cabang
Berdasarkan definisi di atas dapat matematika yang menggunakan
disimpulkan bahwa penalaran tanda-tanda dan huruf-huruf untuk
merupakan bagian tertentu dalam menggambarkan atau mewakili
memecahkan masalah yang angka-angka (a, b, c, sebagai
melibatkan proses penyelidikan dan pengganti bilangan yang diketahui

886
dan x, y, z untuk bilangan yang menerima kalimat terbuka sebagai
tidak diketahui). jawaban, membandingkan kesama-
an pernyataan-pernyataan berda-
Aljabar adalah proses mengenali sarkan sifat pada evaluasi numerik,
hubungan antara kuantitas dan dan e) memfokuskan kembali makna
operasi (Ontario Ministri of Education, tanda sama dengan.
2013). Aljabar adalah suatu cara
berpikir, suatu kumpulan konsep, Berdasarkan definisi di atas dapat
dan keterampilan yang disimpulkan bahwa aljabar adalah
memungkinkan siswa melakukan ilmu logika yang menggunakan
generalisasi, memodelkan, dan simbol-simbol untuk menentukan
menganalisis situasi matematika hubungan dari suatu yang tidak
(NCTM, 2008). diketahui dengan data, memani-
pulasi relasi yang memuat bilangan
Chiappini dan Lemut menyatakan dan simbol, fokus pada sifat operasi
bahwa tidak seperti aritmetika, tidak hanya pada hasil perhitungan,
tujuan utama aljabar tidak untuk dan mengetahui makna tanda sama
menyatakan perhitungan numerik, dengan dalam suatu persamaan.
tetapi menyediakan jalan untuk
merepresentasikan, menganalisis, 4. Penalaran Aljabar
dan memanipulasi relasi yang
memuat bilangan dan huruf (Dettori Penalaran aljabar diambil dari kata
et al., 2002). penalaran sebagai suatu penarikan
kesimpulan dan aljabar sebagai
Aljabar adalah ilmu logika yang suatu pernyataan bervariabel yang
dinyatakan dengan simbol-simbol mewakili suatu nilai. Jadi
dan memungkinkan untuk berdasarkan arti kata, penalaran
mendeskripsikan dan menganalisis aljabar merupakan proses penarikan
hubungan antar kuantitas kesimpulan dari hal yang khusus
(Dobrynina dan Tsankova, 2005). dan menyatakan kesimpul-an
Hal ini sesuai dengan Kieran (2004) tersebut dalam pernyataan
yang menyatakan untuk bervariabel.
mengembangkan cara berpikir
aljabar diperlukan penyesuaian di Penalaran aljabar (Ontario Ministry of
antaranya: a) fokus pada hubungan Education, 2013) mendasari semua
dan tidak hanya pada jawaban penalaran matematika, karena
berupa perhitungan numerik, b) dalam aljabar struktur matematika
fokus pada operasi-operasi dan dapat dieksplorasi. Kaput dan
inversnya, c) fokus pada langkah Blanton (Ontario Ministry of
dan penyelesaian masalah, bukan Education, 2013) menyatakan bahwa
hanya penyelesaiannya, d) fokus penalaran aljabar adalah proses
pada bilangan dan huruf/variabel, menggeneralisasikan ide matematika
bukan hanya pada angka saja, dari suatu hal yang khusus melalui
termasuk melakukan operasi pada pemberian argumen, dan
sesuatu yang belum diketahui menyatakan secara formal sesuai
misalkan variabel atau parameter, perkembangan usia siswa. De Walle
et al. (Ontario Ministry of Education,

887
2013) menyatakan penalaran aljabar bentuk paling sederhana dari
melibatkan pembentukan formula tersebut disebut generali-
perumuman/generalisasi dari sasi simbolik.
pengalaman dengan bilangan dan
perhitungan, memformalkan ide Penalaran aljabar sebagai
tersebut dengan menggunakan generalisasi aritmetika menurut
sistem simbol, dan mengeksplorasi Carpenter et al. (Ontario Ministry of
konsep dari pola dan fungsi. Education, 2013) adalah penalaran
tentang operasi dan sifat yang
Berdasarkan pernyataan De Walle et berhubungan dengan bilangan.
al. di atas, menunjukkan pentingnya Generalisasi aritmetika adalah
generalisasi dalam penalaran perubahan dari perhitungan pada
aljabar. Generalisasi merupakan bilangan tertentu menuju berpikir
bagian dari penalaran aljabar yang tentang struktur matematika yang
berkembang melalui pengalaman mendasari aritmetika dengan
yang berkelanjutan. Hal tersebut mengidentifikasi pola yang
diungkapkan dalam penelitian ditemukan pada aritmetika. Siswa
Radford (2003) terhadap dapat mengembangkan penalaran
penyelesaian masalah pola bilangan. aljabar dengan beberapa cara dalam
Siswa tidak serta merta dapat generalisasi aritmetika yaitu
melakukan generalisasi terhadap menyelediki sifat dan hubungan,
masalah pola bilangan, generalisasi menyelediki persamaan sebagai
berkembang dari perhitungan hubungan antara kuantitas,
dengan bilangan konkret hingga menggunakan simbol sebagai
penggunaan simbol. variabel.

Radford (2003) mengidentifikasikan Penalaran aljabar sebagai pemikiran


perkembangan generalisasi dalam fungsional menurut Beatty dan
tiga tipe yaitu factual generalization, Bruce (Ontario Ministry of Education,
contextual generalization, dan 2013) adalah menganalisis pola
symbolic generalization. Tipe (numerik dan geometri) untuk
generalisasi faktual adalah mengidentifikasi perubahan dan
generalisasi terhadap objek untuk mengenali hubungan antara
matematika yang menggunakan dua himpunan bilangan. Berpikir
skema numerik yang terbatas pada fungsional adalah bentuk lain dari
level bilangan konkret. Generalisasi generalisasi. Fungsi adalah hubung-
kontekstual adalah tipe generalisasi an antara dua himpunan data
berikutnya yang sudah dimana masing-masing elemen dari
meninggalkan perhitungan dengan satu himpunan dihubungkan
bilangan konkret, penentuan nilai dengan elemen unik dari himpunan
dilakukan dengan memperhatikan yang lain. Siswa dapat mengem-
pola sebelum dan sesudah tanpa bangkan cara berpikir fungsional
melibatkan pola spesifik. pada beberapa cara yang berbeda,
Generalisasi yang telah mengguna- misalnya generalisasi pola, dan
kan huruf sebagai simbol dalam menggunakan invers.
menentukan nilai, dan menentukan

888
Berdasarkan uraian di atas, Level Karakteristik
penalaran aljabar adalah proses
seseorang melakukan generalisasi - objek intensif (intensive
objek matematika dari suatu hal object)
- generalisasi dapat dikenali
yang khusus dan menyatakan dalam dengan jelas dengan bahasa
bentuk umum/formal menggunakan apa adanya, numerik,
Level
simbol/variabel, serta dapat ikonik, dan dengan isyarat
1 tertentu
menentukan hubungan fungsional
- terdapat simbol yang
objek matematika. Hubungan merujuk pada objek intensif,
fungsional ini dapat berupa tetapi tidak melakukan
penentuan suatu nilai berdasarkan operasi terhadap objek
tersebut
formula tertentu, ataupun
- melibatkan variabel yang
menentukan formula apabila dinyatakan dengan bahasa
diketahui nilai-nilainya. simbol yang merujuk pada
objek intensif, tetapi masih
5. Level Penalaran Aljabar Level bersifat sementara
- bentuk umum berupa
2 persamaan Ax±B=C
Ake et al. (2013) mengajukan empat
- tidak melakukan operasi
level penalaran aljabar dengan dengan variabel untuk
menggunakan tiga kriteria berikut. membuat bentuk umum

a. Adanya bentuk umum yang - objek intensif dinyatakan


dihasilkan dari proses dengan bahasa simbol
generalisasi. - melakukan transformasi
b. Langkah-langkah dalam melaku- Level dengan tidak merubah
persamaan (equivalen)
kan generalisasi. 3 - terdapat operasi terhadap
c. Operasi dan transformasi
variabel untuk membuat
terhadap variabel dalam bentuk bentuk umum
umum yang dihasilkan dari
proses generalisasi. (sumber: Ake et al., 2013)
Karakteristik masing-masing level Hasil dari proses generalisasi disebut
aljabar menurut Ake et al. (2013) objek intensif (intensive object),
diuraikan pada tabel berikut. sedangkan objek baru yang
diperoleh melalui operasi terhadap
objek-objek tertentu disebut objek
Tabel 1. Level penalaran aljabar ekstensif (extensive object) (Godino et
Level Karakteristik al., 2007). Kumpulan dari objek
- objek ekstensif (extensive khusus yang diperoleh sebagai hasil
object) generalisasi tidak dianggap intensif
- dinyatakan dengan bahasa jika masih ada batasan terhadap
apa adanya, numerik,
ikonik, dan dengan isyarat
aturan generalisasi tersebut.
Level
tertentu
0 - terdapat simbol (masih 6. Karakteristik Penalaran
berupa gambar) untuk Aljabar Siswa Kelas VII
mewakili suatu nilai
- hasil yang diperoleh berasal Level karakteristik penalaran aljabar
dari operasi pada objek-
beberapa siswa kelas VII SMPN 1
objek khusus

889
Margoyoso Kabupaten Pati, Jawa Indikator Karakteristik
Tengah berdasarkan level penalaran bahwa siswa
aljabar Ake et al (2013) dengan memahami
masalah (K1)
instrumen pola bilangan (Latifah,
- memunculkan
2015) terletak pada level yang lebih variabel dan
tinggi dari level 2 namun belum memahami
mencapai level 3. Pada level tersebut maknanya, hal
ini
siswa masih membutuhkan menunjukkan
dorongan untuk melakukan operasi subjek tidak
pada variabel. menggunakan
bahasa simbol
(K2-1)
- siswa dapat
membuat
perhitungan
untuk
menentukan
kuantitas yang
ditanyakan,
menunjukkan
siswa tidak
bergantung
pada objek
khusus (K2-2)
- memunculkan
Melakukan variabel dan
memahami
generalisasi
maknanya, hal
(K2) ini
menunjukkan
subjek
menggunakan
bahasa simbol
(K2-3)
- memperhatikan
keteraturan
pola yang
Gambar 1. Instrumen yang digunakan
diketahui,
untuk mengetahui karakteristik
kemudian
penalaran aljabar
membuat
Karakteristik penalaran aljabar perhitungan
siswa tersebut sebagai berikut. untuk
menentukan
Tabel 2. Karakteristik penalaran kuantitas pola
aljabar siswa SMP kelas VII yang
ditanyakan. Hal
Indikator Karakteristik ini
- menggunakan menunjukkan
informasi pada subjek
soal untuk melakukan
Memahami menentukan generalisasi
langkah (K2-4)
masalah (K1)
penyelesaian Membuat - membuat
masalah, hal
bentuk umum bentuk umum
tersebut
dengan menggunakan
menunjukkan

890
Indikator Karakteristik masalah
variabel (K3) variabel, dan (K1)
memahami Melakukan
maknanya (K3- K2-1, K2-2, K2-1, K2-2,
generalisasi
1) K2-3, K2-4 K2-3, K2-4
(K2)
- tidak
K3-1, K3-1,
melakukan Membuat
operasi pada belum belum
bentuk
variabel (tidak sepenuh- sepenuhny
umum
berkategori K3- nya a
dengan
2) berkate-gori berkategori
menyelesaikan variabel (K3)
- K3-2 K3-2
masalah (K4-1) Menyelesaik
- memahami
an masalah K4-1, K4-2 K4-1, K4-2
bentuk umum,
sehingga siswa (K4)
Menyelesaikan
dapat di atas di atas
masalah (K4) menggunakan level 2 level 2
Level
bentuk umum namun namun
untuk Penalaran
belum belum
menyelesaikan Aljabar
mencapai mencapai
masalah (K4-2)
level 3 level 3

Siswa pada usia 11 – 12 tahun 7. Implementasi Penalaran


menurut psikologi kognitif Piaget
Aljabar dalam Pembelajaran
berada pada tahap operasional
formal, di mana pada tahap tersebut
Matematika
siswa dapat memikirkan dan
Menerapkan penalaran aljabar
membayangkan konsep abstrak,
dalam pembelajaran matematika
dapat menyimpulkan dengan logis,
dapat dilakukan pada pendidikan
menguji hipotesis, dan meng-
anak usia dini, misalnya
operasikan variabel. Hal tersebut
mengenalkan konsep angka
sesuai dengan level penalaran
(membilang, mencocokkan, dan
aljabar level 3. Namun berdasarkan
membandingkan), mengenalkan
Tabel 3, siswa belum berada pada
konsep pola dan hubungan,
tahap kognitif operasional formal
mengenalkan konsep memilih dan
dan belum berada pada level
mengelompokkan (Lestari, 2011).
penalaran aljabar level 3.
Berdasarkan penelitian tersebut
Mengembangkan kemampuan
siswa masih belum terbiasa
penalaran aljabar tidak dapat
melakukan penalaran aljabar, dilakukan secara instan. Aljabar
sehingga masih memerlukan
yang paling sederhana adalah
dorongan untuk melakukan operasi
mengelompokkan, kemudian
variabel (karakteristik K3-2).
menentukan pola hubungan, dan
konsep aljabar kemudian semakin
Tabel 3. Level penalaran aljabar
kompleks dan abstrak misalnya
siswa kelas VII SMPN 1 Margoyoso pada penggunaan dan operasi
Karakterist Karakterist variabel. Oleh karena itu siswa perlu
Indikator ik yang ik yang dilatih tahap demi tahap agar
penalaran dimiliki dimiliki kemampuan tersebut menjadi
aljabar pada tes pada tes keterampilan.
pertama kedua
Memahami K1 K1

891
Penting untuk mengenalkan aljabar (I) (II) (III)
pada siswa dengan bantuan benda Pola Bagaimana Cara Banyak
konkret sehingga kemudian dapat Ke- Memperolehnya? Tusuk
mengerjakan soal yang disajikan Gigi
dengan gambar (Ontario Ministry of 1 2+3 5
Education, 2013). Perhatikan 2 2+3+3 8
Gambar 2 berikut, siswa diminta 3 2+3+3+3 11
menentukan bagaimana cara yang : :
tepat untuk mencari banyak tusuk 100 :
gigi pada pola tertentu. Soal berikut
dapat diberikan pada siswa pada Siswa mula-mula menuliskan cara
semua kelas, pertanyaan dapat yang berbeda pada kolom kedua,
disesuaikan tergantung kelas. kemudian guru mengarahkan
Misalkan pada siswa SD kelas awal melalui gambar tusuk gigi tersebut
digunakan benda konkret berupa apa yang tetap dan apa yang
tusuk gigi, dan siswa diminta berubah. Siswa dengan
menentukan bagaimana cara untuk kemampuannya menyimpulkan
menentukan banyak tusuk gigi bagaimana cara memperoleh banyak
kesepuluh. Kemudian pada siswa SD tusuk gigi yang dibutuhkan.
kelas tinggi dengan menggunakan Mungkin beberapa siswa dapat
gambar, diminta untuk menentukan dengan mudah menyimpulkan
rumus yang digunakan untuk rumus berdasarkan perhitungannya
menentukan banyak tusuk gigi pada di kolom kedua. Namun ada pula
pola keseratus tanpa menghitung siswa yang membuat tabel tersebut
secara aritmatik (penambahan sampai baris keseratus dan
berulang). melakukan perhitungannya satu per
satu.

Apabila siswa dapat dengan mudah


menentukan rumus 2 + 3n dapat
dikatakan siswa memiliki
Gambar 2. Soal menentukan pola
karakteristik penalaran aljabar level
tusuk gigi
3, atau dalam tahap kognitif Piaget
(sumber: Ontario Ministry of
berada pada tahap operasional
Education, 2013) formal. Sebaliknya jika siswa masih
melakukan perhitungan manual,
Penggunaan tabel seperti gambar
maka siswa masih melakukan
berikut, dapat digunakan untuk
tahapan hitung aritmatika, dan
mempermudah menentukan bagai-
dapat dikatakan belum memiliki
mana cara mencari banyaknya
karakteristik penalaran aljabar.
tusuk gigi yang diperlukan untuk
menyusun pola ke seratus. Pertama Perkembangan kemampuan pena-
menulis urutan pola pada kolom laran aljabar masing-masing siswa
pertama, kemudian menulis banyak berbeda-beda tergantung lingkung-
tusuk gigi pada kolom ketiga, an, pendidikan, dan usia. Hal ini
terakhir siswa menentukan cara memungkinkan pada suatu kelas
yang tepat memperoleh banyak dengan siswa dengan usia yang
tusuk gigi dan menulisnya pada relatif sama memiliki kemampuan
kolom kedua. yang berbeda. Sebagai pendidik
sebaiknya bijak menyikapi hal ini,
Tabel 4. Menentukan rumus dari
misalnya mengondisikan kelas
pola
menjadi kelompok-kelompok yang
terdiri dari 5 sampai 6 siswa dengan

892
kemampuan heterogen. Dengan contoh yang mengakibatkan
pengkondisian tersebut memung- simpulannya salah, maka
kinkan siswa mendiskusikan pe- dugaannya pun salah. Selain itu
mikirannya, dan diharapkan dapat dengan banyak latihan siswa
mengembangkan kemampuan pe- dapat memahami bahwa suatu
nalaran aljabar melalui kegiatan contoh tidak dapat membuktikan
tersebut. sebuah dugaan, dan dengan
membutuhkan banyak contoh
Berikut ini adalah langkah-langkah dari suatu aturan untuk
yang dapat digunakan agar siswa membuktikan dugaan tersebut
dapat mengembangkan kemampuan berlaku.
penalaran aljabar dalam diskusi.
c. Memprediksikan
Langkah-langkah untuk mengem-
Sebuah pola aturan adalah suatu
bangkan kemampuan penalaran
simpulan yang memungkinkan
aljabar (Ontario Ministry of
untuk mem-prediksi jawaban
Education, 2013) di antaranya, (a)
yang tepat. Siswa dapat memulai
mengajukan dan menguji dugaan,
dengan pertanyaan “jawaban apa
(b) menjustifikasi dan membukti-
yang mungkin untuk pola
kan, (c) memprediksikan.
berikut-nya?” kemudian pada
a. Mengajukan dan menguji dugaan jawaban beberapa pola setelah
Untuk menyelidiki hubungan itu, hingga jawaban pola tertentu
aljabar, diperlukan pemikiran yang sangat jauh dari pola awal.
yang lebih. Salah satu hal yang Meminta siswa menjawab pola
paling penting untuk tertentu yang sangat jauh dari
mengembangkan pemikiran pola awal akan mendorong siswa
aljabar siswa adalah membantu untuk mengetahui hubungan,
siswa membuat dugaan menentukan operasi yang
(konjektur) dan membantu mungkin, dan menyimpulkan
mereka menyaring dugaannya formula/rumus yang cocok
yang mungkin salah atau tidak untuk menentukan jawaban yang
tepat. Misalnya pada contoh 12 – diminta. Pada proses tersebut
12 = 0 dan 45 – 45 = 0 sehingga siswa menganalisis karakteristik
memunculkan dugaan bahwa dari data, sehingga ditemukanlah
“jika bilangan pertama sama operasi yang mungkin untuk
dengan bilangan kedua, menyelesaikan masalah yang
jawabannya adalah nol.” diberikan.
Kemudian diperbaiki menjadi
“jika kamu mengurangi bilangan Demikian beberapa cara yang dapat
dengan bilangan yang sama, diimplementasikan untuk mening-
hasilnya adalah nol.” katkan kemampuan penalaran
aljabar pada pembelajaran
b. Menjustifikasi dan membuktikan
matematika. Tentunya masih ada
Sangat penting pula untuk
banyak cara yang dapat digunakan
berlatih menjustifikasi dan
dengan memanfaatkan teori di atas
membuktikan suatu dugaan.
ataupun menggunakan referensi
Pertanyaan yang dapat
lain. Guru dapat memilih maupun
digunakan untuk mengujinya
mengombinasikan berbagai langkah
adalah “apakah ini selalu benar?
tersebut sesuai kemampuan kognitif
Bagaimana kamu mengetahui-
siswa, tersedianya alat peraga,
nya?”
maupun media yang tersedia.
Melalui latihan, siswa dapat
memahami bahwa jika ada satu 8. Kesimpulan

893
Penalaran aljabar adalah proses yang sederhana hingga materi
seseorang melakukan generalisasi kompleks menggunakan operasi
objek matematika dari suatu hal variabel. Penalaran merupakan
yang khusus dan menyatakan dalam berpikir tingkat tinggi sehingga
bentuk umum/formal menggunakan dalam pengembangannya terutama
simbol/variabel, serta dapat pada materi aljabar diperlukan
menentukan hubungan fungsional proses yang tidak instan. Penalaran
objek matematika. Hubungan aljabar dapat diper-kenalkan mulai
fungsional ini dapat berupa pendidikan usia dini hingga siswa
penentuan suatu nilai berdasarkan mengembangkan kemampuan
formula tertentu, ataupun berpikir formal, sehingga nantinya
menentukan formula apabila siswa mudah beradaptasi pada saat
diketahui nilai-nilainya. Penalaran siswa dihadapkan dengan situasi
aljabar sangat penting untuk yang kompleks khususnya pada
memahami materi aljabar mulai dari aljabar.

Daftar Pustaka

Ake, L. P., Godino, J. D., Gonzato, M., &Wilhelmi, M. R. (2013). Proto-Algebraic Level of
Mathematical Thinking. Proceedings of the 37th Conference of the International
Group for the Psychology of Mathematics Education.Vol 2. PME
37/KIEL/GERMANY.
Depdiknas. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Dettori, G., Garuti, R, & Lemut, E. (2002). From Arithmetic to Algebraic Thinking by
Using a Spreadsheet. In Perspectives on School Algebra, R. Sutherland, T.
Rojano, A. Bell and R. Lins (eds.), Mathematics Education Library, V. 22,
Dodrecht: Kluwer Academic Pub., pp. 191-207. ISBN: 978-0-7923-6462-7
DOI10.1007/0-306-47223-6_11.
Dobrynina, G., & Tsankova, J. (2005). Algebraic Reasoning of Young Students and
Preservice Elementary Teachers. Proceedings of the 27th annual meeting of the
North American Chapter of the International Group for the Psychology of
Mathematics Education. Lloyd, G. M., Wilson, M., Wilkins, J. L. M., & Behm, S.
L. (Eds.).
Dominowski, R. L. (2002). Teaching Undergraduates. New Jersey : Lawrence Erlbaum
Associates Publisher.
Godino, J.D., Batanero, C., & Font, V. (2007).The Onto-Semiotic Approach to Research in
Mathematics Education. ZDM The International Journal on Mathematics
Education. Vol. 39 (1 – 2). 127 – 135.
Kieran, C. (2004). Algebraic Thinking in Early Grades: What is it? The Mathematics
Educator. Vol. 8, No. 1, 139 – 151.
Lestari. (2011). Konsep Matematika untuk Anak Usia Dini. Direktorat Pembinaan
Pendidikan Anak Usia Dini. (tersedia online)
Minarni, A. (2010). Peran Penalaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematik Siswa. Makalah dipresentasikan pada 27
November 2010 di Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY)
NCTM. (1989). Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. Reston: VA.
_______. (1999). Developing Mathematical Reasoning in Grade K-12. Reston: VA.
_______. (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston: VA.
_______. (2008). Algebra: What, When, and for Whom. Reston: VA.
Nuraini, L. (2015). Penalaran Aljabar Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Margoyoso Kabupaten
Pati dalam Pemecahan Masalah Matematika Tahun Pelajaran 2014/2015.
Surakarta : Program Pendidikan Matematika, Program Pascasarjana Universitas
Sebelas Maret Surakarta. Tesis.

894
Ontario Ministry of Education. (2013). Paying Attention to Algebraic Reasoning. Toronto,
ON: Queen’s Printer for Ontario.
Radford, L. (2003). Gestures, speech, andthe sprouting of sign: A semiotic-cultural
approach to students’ types of generalization. Mathematical Thinking and
Learning, 5 (1), 37-70. Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Rosnawati, R. (2013). Kemampuan Penalaran Matematika Siswa SMP Indonesia pada
TIMSS 2011. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan
MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 18 Mei 2013.
Shadiq, F. (2004). Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah
disampaikan pada Diklat Instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang
Dasar tanggal 6 - 19 Agustus di PPG Matematika.
Sumantri, J. S. (2007). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Sumarto. (2006). Konsep Dasar Berpikir: Pengantar ke Arah Berpikir Ilmiah. Disajikan
dalam seminar akademik HUT ke-40 FE UPNV Jatim Surabaya: 23 Maret 2006.

895
DAPATKAH RUMUS LUAS LINGKARAN
DIBUKTIKAN LEWAT SEGITIGA?

Sumardyono

PPPPTK Matematika

Abstract. In this paper, we observe some mistakes or misconceptions which


emerge from using triangle shape to derive the formula of circle’s area. Based
on that problem, we construct some alternative methods to prove the formula of
circle’s area using triangle pattern, i.e we use formula of triangle`s area to
derive the formula of circle’s area. The use of formulas of area of other shapes
like trapezoid/trapezium, paralellogram, kite, rhombus, and irregular hexagon
to prove the formula of circle’s area are also provided in this paper.

Keywords: area, circle, proof, triangle

1. Pendahuluan membuktikan rumus luas lingkaran


lewat segitiga.
Banyak dokumen dan literatur yang
menyuguhkan pembuktian rumus
luas lingkaran melalui susunan
juring yang berbentuk mirip segitiga,
lalu dengan rumus luas segitiga
dibuktikan rumus luas lingkaran,
𝜋𝑟 2 . Ilustrasinya pada Gambar 1.

Pertanyaan yang kemudian muncul


adalah:
a. Apakah pembuktian dengan pola
segitiga di atas dapat
dibenarkan?
b. Jika tidak, apakah dimungkinkan
untuk membuktikan rumus luas
lingkaran menggunakan pola
segitiga?

Untuk menjawab permasalahan di Gambar 1. Pola segitiga dengan ukuran


atas, digunakan cara kajian kritis segitiganya.
terhadap beberapa literatur yang
memuat pembuktian di atas, dengan 2. Kekeliruan Pembuktian
menjustifikasikannya menggunakan Rumus Luas Lingkaran
metode induktif maupun deduktif Lewat Pola Segitiga
(formal). Selanjutnya, dengan
mempertahankan pendekatan yang Berikut ini garis besar pembuktian
sama untuk pembuktian pola rumus luas lingkaran menggunakan
segitiga tersebut, penulis pola segitiga tersebut:
mengonstruksi beberapa alternatif
lain yang lebih tepat untuk • Sebarang lingkaran dipotong-
potong menjadi 𝑛2 juring yang

896
kongruen (n suatu bilangan asli). Contoh.
Misalnya, 4, 9, 16 atau 25 juring Pada sebuah prosiding seminar
yang kongruen. nasional (Tisa, 2015), terdapat
• Lalu, kesemua juring disusun penjelasan pembuktian rumus
menjadi berpola segitiga, seperti luas lingkaran ( gambar 2).
Gambar 1. Terlepas dari banyak penulisan
• Oleh karena membentuk pola ekspresi matematika yang tidak
segitiga, kemudian menggunakan tepat, konsep susunan juring dan
rumus segitiga untuk konsep segitiga pada uraian di
menghitung luas lingkaran. Hal Gambar 2, keduanya tidak
ini dilakukan dengan terbedakan dengan jelas dan
menentukan alas segitiga dan tepat. Bahkan dinyatakan bahwa
tinggi segitiga. Dalam kasus (luas) 16 juring sama dengan
umum, alas segitiga disusun dari (luas) segitiga samakaki. Pada
n buah juring sehingga panjang perhitungan luas segitiga,
𝐾
alas dinyatakan dengan 2 𝑛 =
2𝜋𝑟
, misalnya, terdapat penggunaan
𝑛 𝑛 alas segitiga sama dengan ¼
K = keliling lingkaran. Sementara keliling lingkaran.
tinggi segitiga yang juga dibentuk
dari n buah juring dinyatakan
dengan nr. Dengan
menggunakan rumus luas
segitiga diperoleh luas lingkaran
(namakan L) sebagai berikut.
1 2𝜋𝑟
L= ⋅ ⋅ 𝑛𝑟 = 𝜋𝑟 2
2 𝑛

Dengan menelaah langkah


pembuktian seperti di atas dan dari
beberapa literatur atau dokumen
yang memuat pembuktian dengan
cara yang sama, berikut beberapa
kekeliruan yang termuat dalam
pembuktian seperti di atas. Gambar 2. Contoh dokumen yang
memuat kesalahan: luas juring sama
a. Klaim bentuk susunan juring dengan luas segitiga.
sebagai segitiga
Beberapa dokumen yang memuat b. Klaim untuk sebarang n, bentuk
pembuktian dengan cara yang susunan juring adalah segitiga
mirip di atas, mengklaim Bahkan ada dokumen yang
susunan dari beberapa juring mengklaim bahwa susunan
lingkaran membentuk segitiga tersebut adalah segitiga untuk
sempurna. Ini ditandai dengan setiap n buah juring dan dalam
penggunakan rumus segitiga. pembuktiannya menggunakan
Jelas, bahwa secara intuitif, sebarang n buah juring.
bentuk susunan yang dimaksud Contoh.
hanya “mirip” segitiga, karena Perhatikan screenshoot salah
jelas mudah dipahami bahwa satu laman Slideshare.net yang
setiap juring tidak sama dengan memuat dokumen pdf tentang
segitiga. pembuktian rumus luas
lingkaran melalui susunan juring
membentuk “segitiga”. (https://
www.slideshare.net/ abelrb/).

897
Gambar 3a dan 3b merupakan
contoh dokumen yang memuat
kesalahan dengan menyatakan
luas n juring sama dengan luas n
segitiga.

Mudah dipahami dari penjelasan


dari dokumen di Slideshare di
atas, penulis tersebut
menganggap susunan juring
sebanyak n sebagai sebuah
segitiga (sempurna), dengan
menghitung luas setiap juring
menggunakan rumus luas
segitiga.

c. Klaim bahwa untuk n menuju tak


hingga (banyak juring tak-hingga)
maka bentuknya adalah segitiga.
Ada pula dokumen yang
mengklaim untuk sebarang n
termasuk n menuju tak hingga
Gambar 3a. Miskonsepsi luas
maka bentuknya tetap segitiga
sehingga dipergunakan rumus
luas segitiga.

Contoh.
Perhatikan cuplikan dokumen
(Rifandi, 2014) di sebuah laman
berikut ini (Gambar 4).
Terdapat kalimat, “..., semakin
banyak juring maka akan
semakin membentuk segitiga
sama kaki yang lebih mendekati
... “. Kalimat ini mengarahkan
pembaca pada pengertian bahwa
semakin banyak juringnya maka
bentuknya mendekati segitiga
sama kaki yang sempurna.
Padahal kenyataannya harus
disadari bahwa jika banyak
juring menuju tak hingga, maka
bentuknya menjadi garis bukan
lagi secara spesifik berupa
Gambar 3b. Miskonsepsi luas
segitiga samakaki.

898
Gambar 4. Kesalahan bentuk susunan juring menuju bentuk segitiga

Pada “pembuktian” di atas juga Mirip dengan kasus ini, pengerjaan


memuat kekeliruan menyatakan luas pada pembuktian menggunakan pola
lingkaran sama dengan luas susunan segitiga pada bagian sebelumnya,
juring (yang terbatas). Jadi, apa yang tidak dapat dibenarkan, walaupun
sesungguhnya terjadi? Sangat jelas hasilnya benar.
bahwa untuk 𝑛 → ∞ maka alas
“segitiga” tersebut menjadi Tetapi mengapa hasilnya benar?
2𝜋𝑟
lim𝑛→∞ =0 dan tinggi “segitiga” Perhatikan yang berikut ini. Bentuk
𝑛
tersebut menjadi lim𝑛→∞ 𝑛𝑟 = ∞ . “segitiga” yang dipergunakan
Dapatkah bentuk demikian sesungguhnya ekuivalen dalam
dikatakan sebagai segitiga dengan konteks limit dengan bentuk
alas 0 dan tinggi ∞. “persegipanjang” pada gambar di
bawah ini. Secara intuitif, ini
Mengapa pada bukti-bukti di atas, dikarenakan bentuk “segitiga” tadi
diperoleh rumus yang benar? dapat ditransformasi ke bentuk
Tampaknya apa yang membuat “persegipanjang” (tanpa mengubah
beberapa penulis terjebak pada luasnya).
kekeliruan di atas, adalah
“terbuktinya” cara tersebut untuk
membuktikan rumus luas lingkaran,
yang ditandai dengan munculnya
rumus luas lingkaran 𝜋𝑟 2 pada
bagian akhir pembuktian. Tetapi
apakah benar seperti itu?

Perhatikan contoh sederhana di


bawah ini.

Tampak bahwa dengan pengerjaan Gambar 5. Transformasi juring dari pola


menghilangkan angka yang sama di segitiga ke pola persegipanjang.
atas dan di bawah tanda bagi (per)
maka diperoleh hasil berupa angka Perhatikan pula bahwa transformasi
yang tersisa yang membentuk tersebut sesuai dengan kesamaan di
pecahan ½. Hasilnya memang benar, bawah ini.
tetapi apakah pengerjaan di atas 1 𝐾 𝐾
dapat dibenarkan? L = ⋅ ⋅ 𝑛𝑟 = ⋅𝑟
2 𝑛 2

899
Perhitungan di atas berlaku hanya
jika 𝑛 ≠ 0. Untuk sebarang n bilangan
real, tentu hasil di atas benar. Jika
diteruskan, ruas kiri akan sama
dengan 𝜋𝑟 2 (rumus luas lingkaran).

3. Bagaimana Cara Menemukan


Rumus Luas Lingkaran Gambar 6. Lingkaran sebagai gabungan
Melalui Pola Segitiga? juring.

Pada bagian ini, sebagai alternatif Jika banyak juring terbatas, maka
pembuktian menggunakan pola setiap segitiga yang dibentuk dari
segitiga (karena metode sebelumnya kedua sisi juring (panjang r) dan tali
ternyata tidak sebaik yang diduga, busur juring hanya merupakan
mengandung banyak potensi pendekatan untuk juring
kekeliruan dan miskonsepsi), maka bersangkutan. Namun jika banyak
diberikan beberapa cara juring menuju tak hingga (dengan
menggunakan pola segitiga, termasuk memandang setiap juring kongruen),
juga pola bangun datar lainnya selain maka setiap juring
persegipanjang. merepresentasikan sebuah segitiga
(trivial) berbentuk garis, yang jumlah
Agar pembahasan tidak melebar
luasnya tidak trivial, karena jumlah
jauh, apa yang dimaksudkan dengan
alasnya tak lain adalah 2πr dan tinggi
penggunaan pola segitiga adalah
segitiga adalah r. Dengan demikian
menyusun kembali bagian-bagian
luas lingkaran adalah jumlah luas
daerah lingkaran (yang dipotong
segitiga-segitiga tersebut yaitu
dengan cara atau pola tertentu)
hingga menjadi sebuah pola yang 1 1 1
𝑎 𝑟 + 𝑎2 𝑟 + 𝑎3 𝑟 + ⋯ =
mirip segitiga dan limit bentuknya 2 1 2 2
1 1
(untuk banyak potongan menuju tak- (𝑎1 + 𝑎2 + 𝑎3 + ⋯ )𝑟 = (2𝜋𝑟)𝑟 = 𝜋𝑟 2
2 2
hingga) merupakan sebuah segitiga.
Dalam bagian ini, potongan yang Tentu tidak semua orang dengan
dimaksud adalah juring-juring mudah memahami penjelasan di
lingkaran. atas, yang memuat konsep limit
terhadap kuantitas dan bentuk
a. Penggunaan Juring bangun datar.
Lingkaran pada Prinsipnya
menggunakan Rumus Sebagai contoh pada sebuah
Segitiga dokumen modul (Turmudi, 2009),
juga memuat kesalahan dalam cara
Sebenarnya kebanyakan pembuktian menyajikan konsep limit.
luas lingkaran dengan cara induktif
yang menggunakan potongan juring Pada Gambar 7, konsep segitiga dan
menggunakan rumus segitiga di konsep juring, serta hubungannya
dalamnya. untuk bentuk dengan banyak juring
terbatas dan bentuk limitnya (untuk
Perhatikan bahwa secara intuitif, kita banyak juring kongruen menuju tak-
sebenarnya dapat memandang hingga) tidak dideskripsikan dengan
sebuah lingkaran dengan jari-jari r jelas.
sebagai gabungan tak-hingga
banyaknya juring lingkaran.

900
persegipanjang (sempurna), dengan
lebar 𝑟 dan panjang 𝜋𝑟.

b. Beberapa Contoh
Pembuktian Luas Lingkaran
menggunakan Pola Segitiga

Memperhatikan sifat juring yang


akan mendekati garis lurus untuk
ukuran juring yang semakin kecil,
maka tidak ada atau sangat sulit
membentuk kesemua potongan
juring membentuk pola segitiga yang
limitnya juga merupakan segitiga.
Cara yang dapat ditempuh adalah
dengan melakukan pemotongan
dalam membentuk pola segitiga.

1) Pola Segitiga untuk


Pembuktian Rumus
Lingkaran
Gambar 7. Lingkaran sebagai
gabungan juring Berikut ini alternatif pola segitiga
untuk sekali pemotongan (selain
Lalu, bagaimana memahami konsep memotong 1 juring). Pola yang
limit pada pembuktian di atas disajikan juga dipilih yang memiliki
dengan cara yang lebih mudah bentuk yang sederhana.
dipahami secara intuitif?
Transformasi susunan semua juring a) Segitiga Samakaki
menjadi berbentuk pola Banyak juring ganjil dan salah satu
persegipanjang menjadi pilihan yang juring dibagi 2 (ada 6 cara)
terbaik untuk memudahkan orang
memahami penalaran di atas. Pola ini
pula yang sejak ribuan tahun lalu,
telah digunakan matematikawan
untuk membuktikan rumus luas
lingkaran. Berikut bila semua juring
disusun membentuk mirip
persegipanjang yang limit bentuknya
adalah persegipanjang.

Gambar 8. Pola persegipanjang


susunan juring lingkaran Gambar 9. Pola segitiga samakaki
(cara 1)
Dengan susunan ini, lebih mudah
dipahami bahwa jika banyak juring Banyak juring genap dan salah satu
menuju tak-hingga maka bentuk juring tidak dibagi 2 (ada 4 cara).
susunan akan menuju

901
Gambar 13. Pola segitiga siku-siku
(cara 2)

Gambar 10. Pola segitiga samakaki Banyak juring genap dan salah satu
(cara 2) juring tidak dibagi 2 (ada 4 cara)

Perhatikan beberapa pola di atas,


yang awalnya tidak menyerupai
segitiga, tetapi limit polanya
merupakan segitiga samakaki.

Banyak juring ganjil dan salah satu


juring tidak dibagi 2 (ada 1 cara)

Gambar 11. Pola segitiga samakaki


(cara 3)

b) Segitiga Siku-siku
Banyak juring genap dan salah satu
juring dibagi 2 (ada 2 cara) Gambar 14. Pola segitiga siku-siku
(cara 3)

Banyak juring ganjil dan salah satu


juring tidak dibagi 2.

Gambar 12. Pola segitiga siku-siku


(cara 1)

Banyak juring genap (bukan


kelipatan 4) dan salah satu juring
dibagi 2 (ada 2 cara)

Gambar 15. Pola segitiga siku-siku


(cara 4)

902
bilangan genap. Terdapat 2 kasus,
2) Pembuktian Rumus sebagai berikut.
Lingkaran Menggunakan Pola
Segitiga

Berikut ini bukti formal untuk


beberapa pola segitiga di atas.

a) Pola Segitiga ke-1

Untuk membentuk pola ini, maka


Gambar 17. Pola Segitiga ke-2 (banyak
sebarang lingkaran harus dipotong
juring kelipatan 4)
menjadi n buah juring kongruen
dengan n ganjil. Kasus 1: untuk 𝑛 = 2𝑘 dengan k
adalah bilangan genap.

Berapapun banyaknya juring


kongruen, maka selalu berlaku:

𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶

Dengan menggunakan prinsip


Gambar 16. Pola Segitiga ke-1 kesebangunan pada segitiga, tidak
sulit menunjukkan bahwa:
Untuk sebarang n tersebut, maka
1 𝑛 𝜋
selalu berlaku ketaksamaan berikut: 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 = ⋅ 2𝑟 sin ⋅
2 4 𝑛
𝜋 1 𝑛 𝜋 𝑛 𝜋 𝜋
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 𝑟 cos + ⋅ � 2𝑟 sin + 2𝑟 sin � ⋅ 𝑟 cos
𝑛 2 4 𝑛 2 𝑛 𝑛
𝑛 𝜋 𝜋
= 𝜋𝑟 2 sin cos
𝑃𝐸 ⋅ 𝐴𝑃 ≤ 𝐿 ≤ 𝑄𝐶 ⋅ 𝐴𝑄 𝜋 𝑛 𝑛

𝜋 𝜋 𝜋 dan
𝑛𝑟 sin ⋅ 𝑟 cos ≤ 𝐿 ≤ 𝑛𝑟 tan ⋅ 𝑟 𝜋
𝑛 𝑛 𝑛 1 𝑛𝑟 sin𝑛 𝜋
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = ⋅ 𝜋 �3𝑟 − 𝑟 cos � ⋅
2 2𝑟 cos 𝑛
𝑛
Selanjutnya dengan mengambil limit 𝜋 1 𝜋 2
𝑛 → ∞ maka diperoleh �3𝑟 − 𝑟 cos � = 𝜋𝑟 2 ⋅ �3 − cos � ⋅
𝑛 4 𝑛
𝑛 𝜋
𝑛 𝜋 𝜋 tan
𝜋 𝑛
𝜋𝑟 2 ⋅ lim sin ⋅ lim cos ≤ 𝐿
𝑛→∞ 𝜋 𝑛 𝑛→∞ 𝑛
𝑛
2 ⋅ lim tan
𝜋 Jika diambil limit n menuju tak-
≤ 𝜋𝑟 hingga, maka akan diperoleh
𝑛→∞ 𝜋 𝑛
𝜋𝑟 2 ⋅ 1 ⋅ 1 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 ⋅ 1 lim𝑛→∞(𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ) ≤ lim𝑛→∞ 𝐿 ≤
lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶
𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2
𝑛 𝜋 𝜋
𝜋𝑟 2 ⋅ lim𝑛→∞ sin ⋅ lim𝑛→∞ cos ≤ 𝐿 ≤
Secara intuitif, jelas bahwa dengan 𝜋 𝑛 𝑛
1 𝜋 2 𝑛 𝜋
demikian 𝐿 = 𝜋𝑟 2 . Secara analisis, 𝜋𝑟 2 ⋅ �3 − lim𝑛→∞ cos � ⋅ lim𝑛→∞ tan
4 𝑛 𝜋 𝑛
luas lingkaran ini diturunkan dari
Teorema Apit dari ketaksamaan 1
𝜋𝑟 2 ⋅ 1 ⋅ 1 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2 ⋅ (3 − 1)2 ⋅ 1
4
terakhir.
𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2
b) Pola Segitiga ke-2
Kasus 2: untuk 𝑛 = 2𝑘 dengan k
Tanpa kehilangan generalisasi,
adalah bilangan ganjil (banyak juring
sebuah lingkaran dibagi ke dalam n
bukan kelipatan 4).
buah juring kongruen dengan n

903
Dengan kesebangunan ADE dan ABC
𝜋 𝜋
diperoleh BC = �3 − cos � �𝑟 tan �1 −
𝑛 𝑛
𝜋 𝑛 𝜋
cos � + 𝑟 ⋅ sin �
𝑛 2 𝑛

Gambar 20 menyatakan bagian dari


gambar 18.

Gambar 18. Pola Segitiga ke-2 (banyak


juring bukan kelipatan 4)

Berapapun banyaknya juring


kongruen, maka selalu berlaku: Gambar 20. Bagian juring AD dan
trapesium PDEQ
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 + 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 ≤ 𝐿 ≤ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶
𝑛 𝜋 𝑛 𝜋
𝐷𝐸 = 𝑟 sin − 𝑀𝑄 dan 𝐹𝐺 = 𝑟 sin +
Panjang DE, FG, dan BC sedikit sulit 2 𝑛 2 𝑛
untuk ditentukan. Namun dengan 𝑁𝐺.
menggunakan kesebangunan pada
Jelas, bahwa 𝑀𝑄 = 𝑁𝐺, sehingga
segitiga, dapat ditunjukkan sebagai
diperoleh,
berikut. Gambar 19 menyatakan
bagian dari gambar 18. 𝑛 𝜋 𝑛 𝜋
𝑀𝑄 = 𝑟 sin − 𝐷𝐸 = � − 1� 𝑟 sin �1 −
2 𝑛 2 𝑛
𝜋
cos �
𝑛

Juga dapat ditunjukkan bahwa


𝑛 𝜋
𝐹𝐺 = 𝑟 sin + 𝑁𝐺
2 𝑛

𝑟 𝜋 𝜋 𝜋
𝐹𝐺 = 𝑛 sin �2 − cos � − 𝑟 sin �1 −
2 𝑛 𝑛 𝑛
𝜋
cos �
𝑛
Gambar 19. Bagian juring AD dan
trapesium PDEQ Dari hasil-hasil di atas, selanjutnya
diperoleh
Dengan menganggap gambar
1 𝜋
sebelumnya tersusun dari n buah 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 = 𝑟 cos ⋅ 𝐷𝐸
2 𝑛
juring kongruen dan dengan
kesebangunan segitiga PDK dan 1 𝜋 𝜋 𝜋 𝜋
segitiga DAT, maka diperoleh = 𝑟 cos �𝑟 sin �1 − cos � + 𝑟 cos
2 𝑛 𝑛 𝑛 𝑛
𝑛 𝜋
𝜋 𝜋 ⋅ sin �
𝑃𝑄 = 𝑟 �1 − cos � tan + 2 𝑛
𝑛 𝑛
1 𝑛 𝜋 𝜋 Sehingga dapat ditunjukkan bahwa
� − 1� 2𝑟 sin + 𝑟 sin 1
2 2 𝑛 𝑛 lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐷𝐸 = 𝜋𝑟 2
4
𝜋 𝜋 𝑛 𝜋
= 𝑟 tan �1 − cos � + 𝑟 sin 1 𝜋
𝑛 𝑛 2 𝑛 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 = ⋅ (𝐹𝐺 + 𝐼𝐻) ⋅ 𝑟 cos
2 𝑛
Dengan kesebangunan ADE dan APQ 1 𝑟 𝜋 𝜋
diperoleh = � 𝑛 sin �2 − cos � −
2 2 𝑛 𝑛
𝜋 𝜋 𝑛 𝜋 𝜋
𝜋 𝜋 𝜋 𝑛 𝜋 𝑟 sin �1 − cos � + 2𝑟 sin � 𝑟 cos
𝑛 𝑛 2 𝑛 𝑛
DE = 𝑟 sin �1 − cos � + 𝑟 cos ⋅ sin
𝑛 𝑛 𝑛 2 𝑛
Sehingga dapat ditunjukkan bahwa
3
lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐹𝐺𝐼𝐻 = 𝜋𝑟 2
4

904
1
𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = ⋅ 𝐵𝐶 ⋅ 𝑟 �3 − cos �
𝜋 Walaupun terlihat seperti
2 𝑛
persegipanjang, namun pola tersebut
1 𝜋 𝜋 menuju jajargenjang.
= ⋅ �3 − cos � �𝑟 tan �1 −
2 𝑛 𝑛
𝜋
cos � + 𝑟
𝑛 𝜋
⋅ sin � ⋅ 𝑟 �3
𝜋
− cos � 2) Pola Trapesium Samakaki
𝑛 2 𝑛 𝑛
Banyak juring kongruen n ganjil
Sehingga dapat ditunjukkan bahwa
lim𝑛→∞ 𝐿𝑢𝑎𝑠𝐴𝐵𝐶 = 𝜋𝑟 2

Dengan demikian, untuk 𝑛 → ∞


diperoleh 𝜋𝑟 2 ≤ 𝐿 ≤ 𝜋𝑟 2

Dengan kata lain menurut Teorema


Apit, terbukti bahwa 𝐿 = 𝜋𝑟 2 .
Gambar 23. Pola trapesium samakaki
c. Pola Bangun Datar Lain (cara 1)
selain Persegipanjang dan
Segitiga Banyak juring kongruen n genap

Sesungguhnya, selain penggunaan


pola segitiga dalam menyusun semua
juring lingkaran, juga banyak ditemui
penggunaan pola jajargenjang, Gambar 24. Pola trapesium samakaki
trapesium, juga belahketupat yang (cara 1)
mengandung miskonsepsi yang mirip
dengan yang telah ditunjukkan pada 3) Pola Trapesium Siku-siku
bagian di atas.
Banyak juring kongruen n ganjil
Berikut ini beberapa pola bangun
datar lain yang benar, untuk
membuktikan rumus luas lingkaran,
yang dibentuk dengan 1 atau 2
potongan (selain mungkin 1 juring
yang dibagi 2).

1) Pola Jajargenjang
Gambar 25. Pola trapesium siku-siku
Banyak juring kongruen n ganjil
4) Pola Layang-layang (konveks)

Banyak juring kongruen n ganjil

Gambar 21. Pola jajargenjang (cara 1)

Banyak juring kongruen n genap

Gambar 26. Pola layang-layang (cara 1)

Banyak juring kongruen n genap

Gambar 22. Pola jajargenjang (cara 2) Gambar 27. Pola layang-layang (cara 2)

905
Walaupun mungkin awalnya
berbentuk layang-layang konkaf,
namun menuju layang-layang
konveks.

5) Pola Layang-layang (konkaf)


(ada 2 potongan) Gambar 31. Pola belahketupat (cara 2)
Banyak juring kongruen n genap
kelipatan 4
7) Pola Segienam (Konkaf) (ada 2
potongan)

Banyak juring kongruen n genap

Gambar 28. Pola layang-layang konkaf


(cara 1)

Banyak juring kongruen n genap


bukan kelipatan 4 Gambar 32. Pola segienam konkaf

Selain yang telah disajikan di atas,


masih banyak pola lain yang menuju
pada bentuk segitiga, trapesium,
Gambar 29. Pola layang-layang konkaf layang-layang, dan bentuk bangun
(cara 2) datar lainnya, bahkan dari pola
bangun datar yang awalnya tidak
mirip bangun datar yang dikenal.
6) Pola Belahketupat (ada 2 Contoh.
potongan)

Banyak juring kongruen n genap

Gambar 33. Pola trapesium (yang lain)

4. Kesimpulan dan Saran


Gambar 30. Pola belahketupat (cara 1)
Metode pembuktian rumus luas
Walaupun awalnya membentuk lingkaran yang tidak benar dengan
jajargenjang atau layang-layang menggunakan juring-juring kongruen
namun menuju bentuk sebuah lingkaran, dapat menuju
belahketupat. pada penggunaan konsep limit yang
tidak tepat bahkan mengandung
Banyak juring kongruen n genap miskonsepsi, seperti pada
(kelipatan 4 dan bukan kelipatan penggunaan rumus segitiga,
4) jajargenjang, atau trapesium yang
dapat ditemui dalam banyak literatur
resmi dan tidak resmi dengan hanya

906
berdasarkan pada susunan untuk memperkirakan dengan tepat
berhingga juring lingkaran. bentuk limit bangun datarnya (untuk
banyak juring kongruen menuju tak
Cara pembuktian dengan hingga).
menggunakan rumus luas bangun
datar selain persegipanjang, masih Selain berbagai pola bangun datar
dapat dilakukan dengan cara dari juring-juring lingkaran telah
menyusun semua juring membentuk disajikan, masih banyak pola lain
pola persegipanjang lalu dengan yang dapat dibentuk, dengan
memotongnya, dapat dibentuk memperbanyak potongan. Hal ini
berbagai pola bangun datar lainnya. juga dapat menjadi sumber
Cara ini bahkan menyuguhkan pembelajaran menarik bagi guru dan
kemampuan berpikir yang baik siswa.

Daftar Pustaka
Rifandi. (2014). “Pembuktian Luas Lingkaran dengan Pendekatan Luas ke
Bangun Datar Lainnya”. 25 Juni 2014. dalam
http://rifandy23.blogspot.co.id/ 2014/06/pembuktian-luas-lingkaran-
dengan.html (diakses 10 Mei 2017) .

Tisa Oktiana. (2015). Pengembangan Alat Peraga Lingkaran dengan Metode


Penemuan Terbimbing Kelompok untuk Meningkatkan Komunikasi
Matematis. dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika UNY 2015. ISBN. 978-602-73403-0-5.

Turmudi. (2009). Luas Daerah Lingkaran, Modul 8, Modul Pelatihan Guru-guru


Matematika di Sungai Liat, Bangka. Bandung: UPI, Pendidikan
Matematika.

Tanpa Nama (anonim). Sebuah dokumen pdf dalam


https://www.slideshare.net/abelrb/ menghitung-luas-lingkaran-dengan-
rumus-luas-segitiga-dan-belah-ketupat (diakses 11 Mei 2017)

907
PENGGUNAAN MEDIA BERIBU DALAM PEMBELAJARAN
MATEMATIKA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN
BILANGAN BULAT

Suparman Pilomonu

SDN 28 Tibawa

Abstract. This study aims to improve student learning outcomes in learning addition
and subtraction of integers by using learning media named BERIBU. This research
was classroom action research with fourth graders at SDN 28 Tibawa as the
research subject. The initial observation showed that students’ learning outcomes in
learning addition and subtraction of integers was very low. After implementing the
first cycle, the mean was 74 and classical completeness 19% which had not achieved
yet the minimum target completeness. After second cycle, the classical completeness
became 100% with the mean 89. Based on the results, it can be concluded that the
use of a BERIBU was able to improve student learning outcomes in learning addition
and subtraction of integers.

Keywords: addition and subtraction of integers, BERIBU, student learning outcomes

1. Pendahuluan
tahap ketrampilan tersebut harus
Darmansyah (2006:13) menyatakan memperhatikan kemampuan peserta
bahwa hasil belajar merupakan hasil didik dan melalui tahapan
penilaian terhadap kemampuan pembelajaran Matematika menurut
siswa yang ditentukan dalam bentuk Brunner.
angka. Cece Rahmat (dalam Zainal
Abidin, 2004:1) mengatakan bahwa Jerome Brunner membagi proses
hasil belajar adalah penggunaan pembelajaran menjadi 3 tahapan:
angka pada hasil tes atau prosedur
penilaian sesuai dengan aturan a. Tahap Enaktif (konkret)
tertentu, atau dengan kata lain Tahap enaktif adalah tahap
untuk mengetahui daya serap siswa pembelajaran yang bersifat
setelah menguasai materi pelajaran manipulatif (Dahar, 2011:78). Pada
yang telah diberikan. Menurut tahap ini seseorang belajar dengan
Sudjana (2010:22), hasil belajar menggunakan atau memanipulasi
adalah kemampuan yang dimiliki objek-objek secara langsung.
siswa setelah menerima pengalaman
belajar. b. Tahap Ikonik (semi konkret)
Tahap ikonik adalah tahap
Pada kurikulum Matematika SD, pembelajaran yang berdasarkan
konsep pembelajaran Matematika pikiran internal (Dahar, 2011:78).
terbagi atas tiga bagian yaitu Pada tahap ini kegiatan anak-anak
penanaman konsep dasar, tidak lagi memanipulasi objek secara
pemahaman konsep, dan pembinaan langsung melainkan dengan
ketrampilan. penggunaan gambaran dari objek
tersebut.
Pembelajaran Matematika di SD ini
memiliki tujuan agar peserta didik c. Tahap Simbolik (abstrak)
dapat terampil mengaplikasikan Tahap simbolik adalah adalah tahap
konsep Matematika di dalam pembelajaran yang berdasarkan
kehidupannya. Untuk mencapai sistem berpikir abstrak arbitrer dan
lebih fleksibel (Dahar, 2011:78). Di

908
tahap ini anak sudah dapat pembelajaran, dan bahwa tujuan
memanipulasi simbol-simbol secara yang ingin dicapai adalah terjadinya
langsung dan tidak lagi proses belajar.
mengaitkannya dengan objek-objek. Sanjaya dalam Wina (2006:162)
Pada tahapan ini anak telah mengemukakan bahwa dalam suatu
melakukan transisi dari tahap ikonik proses komunikasi selalu melibatkan
ke tahap simbolik. tiga komponen pokok, yaitu
komponen pengirim pesan (guru),
Untuk membelajarkan Matematika, komponen penerima pesan (murid),
hendaknya dimulai dengan dan komponen pesan itu sendiri yang
mengenalkan masalah yang sesuai biasanya berupa materi pelajaran.
dengan situasi terkini (contextual Kadang dalam proses pembelajaran
problem), mengangkat isu sosial, atau terjadi kegagalan komunikasi.
menyajikan fenomena-fenomena Artinya, materi pelajaran atau pesan
alam. Dengan mengajukan masalah yang disampaikan guru tidak dapat
kontekstual, maka secara bertahap diterima oleh murid dengan optimal,
peserta didik dibimbing untuk artinya tidak seluruh materi
menguasai konsep Matematika pelajaran dapat dipahami dengan
secara lebih bermakna. Kemudian baik oleh murid, lebih lagi murid
untuk meningkatkan hasil belajar, sebagai penerima pesan salah
guru dituntut agar mampu menangkap isi pesan yang
memaksimalkan penggunaan media disampaikan. Untuk menghindari
yang sesuai dan efektif menanamkan semua itu, maka guru dapat
konsep Matematika yang dipelajari. menyusun strategi pembelajaran
dengan memanfaatkan berbagai
Penggunaan media yang tidak sesuai media dan sumber belajar.
pun sangat mempengaruhi hasil
belajar yang diperoleh siswa. Media Pembahasan di atas menggambarkan
pembelajaran adalah suatu alat bahwa sebaiknya pembelajaran
bantu yang digunakan oleh guru agar Matematika tidak melulu hanya
kegiatan belajar berlangsung secara muatan logika. Tetapi bisa juga
efektif. Sadiman (2006:7) terintegrasi dengan nilai, norma,
menjelaskan bahwa Media adalah karakter, isu-isu sosial atau pun
segala sesuatu yang dapat digunakan fenomena alam. Namun, kenyataan
untuk menyalurkan pesan dari di lapangan, hal ini belum terlihat.
pengirim ke penerima sehingga dapat Khususnya pada materi penjumlahan
merangsang pikiran, perasaan, dan pengurangan bilangan bulat.
perhatian dan minat serta perhatian Guru tidak mengangkat masalah
siswa sedemikian rupa sehingga kontekstual isu sosial yang sesuai
proses belajar terjadi. dengan kondisi peserta didik dan
situasi terkini. Guru tidak
Briggs (dalam Sadiman 2006:6) menyajikan fenomena-fenomena alam
berpendapat bahwa media adalah sebagai pemantik rasa ingin tahu
segala alat fisik yang dapat peserta didik. Guru justru langsung
menyajikan pesan serta merangsang membelajarkan bilangan bulat
siswa untuk belajar. Menurut Trianto melalui garis bilangan. Guru
(2010: 199), media sebagai komponen langsung mengajarkan penjumlahan
strategi pembelajaran merupakan dan pengurangan bilangan bulat
wadah dari pesan yang oleh sumber melalui pendekatan konsep hutang
atau penyalurnya ingin diteruskan dan uang. Hal ini yang menyebabkan
kepada sasaran atau penerima pesan pembelajaran menjadi tidak efektif
tersebut, dan materi yang ingin dan tidak memperoleh hasil belajar
disampaikan adalah pesan yang maksimal karena tidak terjadi

909
penanaman konsep yang baik dipadukan dalam satu media yang
terhadap peserta didik. disebut BERIBU.

Berdasarkan fakta tersebut, maka Media BERIBU adalah media yang


penulis mengembangkan sebuah memadukan tiga tahapan
media yang disebut BERIBU sebagai pembelajaran Brunner (Enaktif,
media yang digunakan pada Ikonik dan Simbolik) dalam satu
pembelajaran penjumlahan dan media yang disajikan melalui
pengurangan bilangan bulat. Media peristiwa penurunan muka tanah
ini menggabungkan 3 tahapan (Land Subsidence).
pembelajaran Brunner (enaktif,
ikonik, dan simbolik) dengan
pendekatan penurunan permukaan
tanah. Pendekatan penurunan
permukaan tanah digunakan karena
sangat sesuai dengan isu yang
sedang terjadi di kota besar dan
sangat urgen untuk diketahui sejak
dini oleh para peserta didik.

Tujuan penelitian ini adalah untuk Gambar 1 Desain media BERIBU


mengetahui bagaimana peningkatan
hasil belajar peserta didik pada Media BERIBU terdiri dari tiga
materi pembelajaran penjumlahan permukaan yang memiliki grafis
dan pengurangan bilangan bulat dalam menyampaikan konsep
dengan menggunakan media yang Matematika sesuai dengan tahapan
dinamakan Belajar Bilangan Bulat pembelajaran Brunner. Permukaan 1
(BERIBU). (P1) menampilkan grafis tentang
peristiwa penurunan muka tanah
Pada umumnya, materi penjumlahan (tahap enaktif). Permukaan 2 (P2)
dan pengurangan bilangan bulat menampilkan penanaman konsep
diajarkan langsung dengan penjumlahan dan pengurangan
mengenalkan bilangan melalui garis bilangan bulat (tahap enaktif).
bilangan atau melalui analogi hutang Permukaan 3 (P3) menampilkan
dan uang. Tentu sangat keliru jika grafis kotak-kotak tanah (tahap
guru harus mengenalkan hutang dan ikonik) untuk memperdalam konsep
uang kepada peserta didik kelas IV penjumlahan dan pengurangan
SD. Hal ini sangat tidak sesuai bilangan bulat serta area untuk
dengan tingkat psikologis dan level menulis angka penjumlahan dan
berpikir anak. Pemahaman konsep pengurangan bilangan bulat (tahap
pun menjadi tidak maksimal. simbolik). Untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut.
Berdasarkan masalah tersebut,
penulis mendesain pembelajaran 1) Tahap Enaktif (P1 dan P2)
materi penjumlahan dan Pada tahap ini peserta didik
pengurangan bilangan bulat yang memperoleh pengetahuan tentang
menerapkan tiga tahapan penurunan permukaan tanah yang
pembelajaran (enaktif, ikonik dan mutlak terjadi di daerah yang padat
simbolik) yang disampaikan melalui gedung, dimana setiap gedung
peristiwa penurunan permukaan mengambil air bawah tanah (Ground
tanah. Kedua aspek tersebut (3 Water). Peserta didik akan
tahapan pembelajaran Brunner dan memahami bahwa semakin
persitiwa penurunan muka tanah) berkurangnya ketersediaan air bawah

910
tanah, maka tanah di atasnya akan Gambar 4 Contoh operasi
menekan ke bawah sehingga penjumlahan bilangan bulat pada
permukaan tanah menjadi turun media BERIBU
atau amblas.
Pada gambar 3 dapat dijelaskan
bahwa 0 adalah posisi awal dari
permukaan tanah. Kemudian terjadi
penurunan muka tanah (amblas)
sebanyak 2 tingkat (kurang 2). Maka
permukaan tanah turun ke posisi
negatif 2 (-2).
Gambar 2 Ilustrasi penurunan muka
tanah pada media BERIBU Pada gambar 4 dapat dijelaskan pula
Setelah memahami proses terjadinya bahwa -2 adalah posisi awal
penurunan muka tanah melalui permukaan tanah. Kemudian
ilustrasi pada gambar 3, kemudian ditambah 3 tingkat tanah (ditimbun)
peserta didik diajak untuk maka permukaan tanah naik di
memahami konsep penjumlahan dan posisi 1.
pengurangan bilangan bulat melalui
P2. Peserta didik dapat diajak 2) Tahap Ikonik (P3)
langsung memanipulasi P2 untuk
Pada tahap ini peserta didik
memahami konsep penjumlahan dan
memanipulasi gambar kotak-kotak
pengurangan bilangan bulat. Gambar
tanah dengan menggunakan spidol
berikut merupakan contoh
warna. Peraturan yang perlu diingat
penanaman konsep penjumlahan dan
pada tahap ini adalah jika
pengurangan bilangan bulat.
permukaan tanah rata dengan garis 0
tanpa ada kotak yang tidak terisi
Soal: 0 – 2 = -2
tanah (lubang), maka menunjukkan
posisi 0. Apabila terdapat 1 lubang di
bawah garis 0, maka menunjukkan
posisi -1 (lubang 1) begitu
seterusnya. Dan apabila terdapat
satu kotak tanah terisi di atas garis
0, maka menunjukkan posisi 1
(positif 1) begitu seterusnya.

Gambar 3 Contoh operasi Gambar berikut menunjukkan


pengurangan bilangan bulat pada contoh operasi penjumlahan dan
media BERIBU pengurangan bilangan bulat pada
tahap ikonik.
Soal: -2 + 3 = 1
Soal: 0 – 1 = -1

Gambar 5 Contoh operasi


pengurangan bilangan bulat pada
tahap ikonik

911
dalam dua siklus. Setiap siklus
terdiri dari empat tahapan, yaitu
perencanaan/perbaikan, pelaksana-
an, pengamatan/ pengumpulan dan
Soal: -1 + 2 = 1 analisis data, dan refleksi. Penelitian
dilaksanakan di SDN 28 Tibawa
Kabupaten Gorontalo dengan subjek
penelitian kelas IV yang berjumlah
16 orang.
Gambar 6 Contoh operasi
Variabel yang diteliti melingkupi
penjumlahan bilangan bulat pada
penggunaan media BERIBU dalam
tahap ikonik
pembelajaran penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat serta
3) Tahap Simbolik
hasil belajar yang dicapai. Dalam
pengumpulan data penulis
Pada tahap ini peserta didik tinggal
menggunakan tes tertulis sebagai
menuliskan angka pada area
instrumen. Tes tersebut diberikan
penulisan sambil menerapkan
pada saat observasi awal dan pada
konsep penjumlahan dan
setiap akhir pembelajaran di setiap
pengurangan yang telah pahami pada
siklus. Setelah diberikan tes, jawaban
tahapan sebelumnya. Gambar
kemudian diolah dan dianalisis
berikut menjelaskan bagaimana
dengan menggunakan pedoman
operasi penjumlahan dan
penskoran untuk memperoleh nilai
pengurangan pada tahap simbolik.
akhir.
Soal: 0 – 2 = -2
Dari hasil proses tersebut kemudian
penulis melakukan refleksi untuk
mengidentifikasi kelemahan-
kelemahan jika hasil belajar belum
Soal: -2 - 2 = -4 mencapai indikator keberhasilan.
Indikator keberhasilan pada
penelitian yaitu KKM 75 dan
ketuntasan klasikal sebesar 75%.
Jika pada siklus 1 hasil belajar
Gambar 7 Contoh operasi sudah mencapai indikator keber-
pengurangan bilangan bulat pada hasilan, maka penelitian tetap
tahap simbolik dilanjutkan pada siklus 2 untuk lebih
menguatkan kredibilitas hasil yang
Soal: -2 + 3 = 1 diperoleh pada siklus 1.

3. Hasil dan Pembahasan

Hasil tes siswa dari tes (observasi)


Gambar 8 Contoh operasi awal, siklus 1 dan siklus 2 disajikan
penjumlahan bilangan bulat pada pada tabel berikut.
tahap simbolik
Tabel 1 Hasil Tes Siswa
2. Metodologi Penelitian
Jenis Tes Nilai Ketuntasan
Penelitian ini adalah penelitian Rata-Rata
tindakan kelas yang dilaksanakan

912
Tes Awal 21 0% penjumlahan dan pengurangan
Siklus 1 74 19% bilangan bulat dengan baik.
Siklus 2 89 100% Setelah dilaksanakan pembelajaran
pada siklus 2, terjadi peningkatan
Tes atau observasi awal dilaksanakan yang sangat signifikan pada nilai
pada tanggal 4 Januari 2016. rata-rata menjadi 89 dan ketuntasan
Berdasarkan tabel di atas klasikal mencapai 100%. Data ini
menggambarkan bahwa hasil belajar menggambarkan bahwa dengan
tes/observasi awal pada materi memberikan kesempatan kepada
penjumlahan dan pengurangan siswa untuk berpartisipasi aktif
bilangan bulat masih sangat rendah, memanipulasi media dapat
yaitu nilai rata-rata hanya 21 dengan berpengaruh pada pemahaman
ketuntasan klasikal 0%. Berdasarkan konsep penjumlahan dan
data tersebut penulis merencanakan pengurangan bilangan bulat sehingga
tindakan siklus 1 dengan mem- dapat meningkatkan hasil belajar
persiapkan pembelajaran yang siswa.
menggunakan media BERIBU pada
materi penjumlahan dan pengu- Melihat hasil belajar yang telah
rangan bilangan bulat. dicapai pada siklus 2 tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa penelitian
Pada pelaksanaan tindakan siklus 1 ini dianggap berhasil. Progres
guru memeragakan media BERIBU peningkatan hasil belajar dari tes
diintegrasikan dengan pendekatan awal hingga siklus 2 dapat dilihat
penurunan permukaan tanah untuk pada grafik berikut.
menjelaskan konsep penjumlahan
dan pengurangan bilangan bulat.

Setelah dilaksanakan pembelajaran


pada siklus 1, kemudian diberikan
tes akhir kepada siswa. Berdasarkan
hasil belajar yang diperoleh, terlihat
adanya peningkatan nilai rata-rata
menjadi 74 dan ketuntasan klasikal
mencapai 19 %. Namun demikian,
karena hasil ini belum mencapai Gambar 9 Grafik progres
indikator keberhasilan, maka penulis peningkatan hasil belajar siswa
melakukan refleksi untuk
menemukan kelemahan-kelemahan 4. Kesimpulan
pada pelaksanaan siklus 1. Setelah
dilakukan refleksi, kemudian penulis Penggunaan media BERIBU pada
merencanakan kembali pelaksanaan pembelajaran Matematika dapat
siklus 2. membantu siswa dalam memahami
konsep penjumlahan dan
Pelaksanaan siklus 2 dilakukan pengurangan bilangan bulat. Di
dengan lebih memberikan kesempat- samping itu, siswa juga memperoleh
an seluas-luasnya kepada siswa wawasan tentang bahaya peng-
untuk berpartisipasi aktif gunaan air bawah tanah yang
memanipulasi media pembelajaran. berlebihan karena berdampak pada
Hal ini dilakukan agar para siswa penurunan muka tanah. Dengan
dapat lebih memahami konsep pemahaman konsep Matematika yang
baik dibarengi dengan pendidikan

913
lingkungan, maka akan mening- numbuhkan kecintaan pada
katkan hasil belajar siswa, lingkungan dan berusaha menjaga
memudahkan mereka memahami kelestarian lingkungan.
pelajaran-pelajaran selanjutnya, me-

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal. (2004). Evaluasi Pengajaran. Padang: UNP


Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga
Darmansyah. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Padang: UNP
Sadiman, Arief S dkk. (2006). Media Pendidikan Pengertian, Pengembangan, dan
Pemanfaatannya. Jakarta: Raja Grafindo.
Sanjaya, Wina, (Sundayana, Rostina. 2013:13). Media Pembelajaran Matematika.
Bandung: Alfabeta
Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (Cet. XV).
Bandung: PT. Ramaja Rosdakarya.
Trianto. (2009). Mengembangkan Model Pembelajaran Tematik. Jakarta: PT
Prestasi Pustaka.

914
UPAYA MENINGKATKAN SELF-EFFICACY SISWA TERHADAP
MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA SISWA
KELAS VIII-1 SMP TAMAN DEWASA JETIS YOGYAKARTA
1Imaludin Agus, 2Arisnawati Dwi Purwani

1Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Yogyakarta


2SMP Swasta Taman Dewasa Jetis, Yogyakarta

Abstract. This Class Action Research aims to increase self-efficacy towards


mathematics of eighth graders at SMP Taman Dewasa Jetis Yogyakarta. CTL
approach was implemented in two cycles. Data were collected through self-efficacy
questionnaire, observation sheets on teaching and learning process, and field notes.
Data were analyzed through qualitative and quantitative analysis. In the first cycle,
students’ scores on self-efficacy increased in average 123.42 (high), where two
students (6.67%) obtained very high score, 18 students (48.13%) were categorized
high, and 12 students (44.45%) were categorized moderate. The implementation
result of CTL in first cycle was 82.69%. In the second cycle, students’ self-efficacy
scores increased exceeded the target. The average results of the self-efficacy score
were 135.88 (high), with 8 students (26.67%) were categorized very high, 16
students (57.14%) were categorized high, and 4 students (14.29%) were categorized
moderate. Similarly, CTL learning reached 96.15%. Based on these results, it can be
concluded that the students’ self-efficacy towards mathematics may increase after
the implementation of CTL approach.

Keywords: Self-efficacy, Contextual Teaching and Learning (CTL), Junior High


school Mathematics.

1. Pendahuluan belajar matematika diperlukan


keyakinan siswa terhadap
Matematika merupakan pengetahuan
kemampuan, keberhasilan, dan
universal (Van de Wale, 2010: 1) yang
kegigihan mereka dalam belajar dan
digunakan dalam berbagai disiplin
mengerjakan segala tugas-tugas
ilmu pengetahuan seperti fisika,
matematika atau sering disebut
kimia, statistik, dan lain-lain (Muijs
dengan self-efficacy.
& Reynold, 2008: 212).
Memperhatikan begitu besar manfaat Self-efficacy dalam matematika
matematika bagi kehidupan, tidak merupakan tingkat keyakinan siswa
lantas menjadikan matematika atas kemampuannya dalam
sebagai mata pelajaran yang menyelesaikan tugas matematika,
disenangi oleh siswa, namun memecahkan masalah matematika,
sebaliknya. Matematika justru dan berurusan dengan tugas-tugas
menjadi pelajaran yang yang kurang matematika yang berhubungan
disenangi bahkan cenderung tidak dengan kehidupan sehari sehari-hari
disukai dan dihindari (Kennedy, Tipss (Xiu & Koirala, 2009: 1). Selain itu,
& Jhonson, 2008: 4-5). Kondisi ini, menurut Bandura (Slavin, 2006:
salah satunya diakibatkan oleh 159), self-efficacy merupakan variabel
kurang yakinnya siswa atas penting dalam menunjang
kemampuan mereka dalam belajar keberhasilan belajar siswa di sekolah.
serta menyelesaikan masalah
Namun, berdasarkan hasil pra
matematika. Graham & Pajars (1999:
penelitian, siswa tingkatan SMP
126) menyatakan bahwa dalam

915
memiliki self-efficacy yang interaksi antara guru dan siswa yang
berkategori sedang. Justifikasi ini dilakukan melalui berbagai pola
didasarkan pada hasil wawancara pembelajaran yang dilaksanakan baik
dan pretest self-efficacy siswa secara langsung melalui tatap muka
terhadap matematika pada kelas VIII- maupun secara tidak langsung yakni
1 SMP Taman Dewasa Jetis dengan menggunakan bantuan media
rata-rata hasil 118,4 (sedang). pembelajaran.
Menurut hasil observasi dan
Secara spesifik dalan pembelajaran
wawancara yang dilaksanakan pada
matematika, NCTM (2000: 11)
bulan Agustus 2016 sebanyak 2
mendefinisikan “Learning
pertemuan, salah satu faktor
mathematics is maximized when
penyebabnya adalah kurang
teachers focus on mathematical
terlibatnya siswa dalam proses
thinking and reasoning”. Pendapat ini,
pembelajaran dan kurang relevannya
mengindikasikan bahwa matematika
materi matematika dengan
merupakan ilmu tentang berpikir dan
kehidupan mereka.
bernalar, sehingga tidak hanya
Oleh karena itu, diperlukan upaya bermanfaat pada materi matematika,
untuk meningkatkan self-efficacy tetapi dapat diintegrasikan dalam
siswa terhadap matematika yaitu kehidupan sehari-hari. Oleh karena
melalui pemilihan pendekatan yang itu, pembelajaran matematika
mampu melibatkan siswa aktif dan disimpulkan sebagai interaksi yang
mengetahui relevansi materi dengan terjadi antara siswa dan sumber
kehidupannya. Pendekatan tersebut belajar matematika baik langsung
adalah pendekatan contextual maupun tidak langsung, yang
teaching and learning (CTL). bertujuan untuk mengembangkan
Pendekatan CTL merupakan keterampilan berpikir dan bernalar
pendekatan yang membantu siswa
Pendekatan Contextual Teaching
melihat manfaat materi yang
and Learning (CTL)
dipelajari dengan kehidupannya
(Johnson, 2002: 25) Pembelajaran dengan pendekatan
CTL merupakan konsep belajar dan
Dengan demikian, penggunaan
mengajar yang membantu guru
pendekatan CTL menjadi alternatif
mengaitkan antara materi yang
yang digunakan selama beberapa
diajarkan dengan situasi real siswa
siklus. Adapun tujuan yang hendak
dan memotivasi siswa melakukan
dicapai yaitu untuk meningkatkan
hubungan antara pengetahuan dan
self-efficacy siswa terhadap
penerapannya dalam kehidupan
matematika pada Siswa SMP Taman
mereka baik sebagai anggota
Dewasa Jetis Yogyakarta kelas VIII-1.
keluarga, masayarakat, dan
2. Kajian Teori pekerjaan (Berns & Erickson, 2001:
1). Pembelajaran kontekstual pula
Pembelajaran Matematika
diartikan sebagai proses pendidikan
Nitko dan Brookhart (2007: 18) yang bertujuan membantu para
mendefinisikan pembelajaran sebagai siswa melihat manfaat dari setiap
interaksi yang membantu siswa materi yang dipelajari melalui
mencapai target belajar mereka. Hal pembelajaran yang menghubungkan
yang sama di ungkapkan oleh subjek-subjek materi belajar dengan
Rustam (2012: 93) bahwa kehidupan mereka (Johnson, 2002:
pembelajaran sebagai proses 25).

916
Langkah-langkah pendekatan CTL self-efficacy dalam matematika
menurut Crawford (2001: 2-5) dan merupakan tingkat kepercayaan
Komalasari (2013: 9) terdiri atas lima siswa dalam menyelesaikan tugas
strategi yang digunakan guru dalam matematika, memecahkan masalah
pembelajaran berbasis kontekstual. matematika, dan berurusan dengan
Adapun kelima strategi pembelajaran tugas-tugas matematika yang
yang dimaksud adalah relating, berhubungan dengan kehidupan
experiencing, cooperating, applying, sehari-hari. Begitu pula Graham &
dan transfering. Relating adalah Pajares (1999: 133) self-efficacy
strategi menghubungkan materi matematika merupakan variabel
pembelajaran dengan dunia real; motivasi untuk memprediksi kinerja
Experiencing adalah strategi untuk matematika baik di awal maupun
memberikan pengalaman langsung akhir, serta menyelesaikan masalah
dalam kegiatan bereksplorasi, substantif.
menemukan dan inventori; Applying
Menurut Bandura (Maddux, 1995: 9),
adalah strategi untuk memberikan
self-efficacy memiliki 3 aspek yaitu
gambaran terkait pengaplikasian
Magnitude, Strength dan Generality.
konsep pada dunia nyata;
Aspek magnitude merupakan aspek
Cooperating adalah strategi yang
yang berhubungan dengan terus
memberikan kesempatan siswa
meningkatnya kesulitan. Individu
untuk berkomunikasi dan
yang memiliki self-efficacy yang tinggi
menyelesaikan masalah bersama;
akan cenderung memilih
dan Transfering adalah strategi untuk
menyelesaikan masalah-masalah
memecahkan masalah yang baru
yang rumit. Strength merujuk pada
berdasarkan pemahaman yang telah
kekuatan, ketegasan serta keyakinan
diperoleh sebelumnya. Berdasarkan
individu dalam melakukan suatu
penjelasan tersebut maka pada
tindakan dengan kemampuan yang
penelitian tindakan ini menggunakan
dimiliki. Sedangkan Generality
kelima strategi dimaksud.
merupakan aspek menunjukan
Self-efficacy Matematika keyakinan sejauh mana keberhasilan
atau kegagalan individu dalam
Bandura (1997) mendefinisikan self-
menyelesaikan tugas-tugas tertentu
efficacy sebagai keyakinan seseorang
berdasarkan kemampuannya.
terhadap kemampuan yang dimiliki
untuk menciptakan suatu hal yang Berpijak pada berbagai pendapat
baru dan bermanfaat bagi kehidupan tersebut, maka disimpulkan bahwa
mereka. Selain itu, Schunk (2012: self-efficacy matematika merupakan
205) self-efficacy sangat berkaitan keyakinan yang dimiliki siswa atas
dengan usaha individu dalam usaha kemampuan dan kegigihanya dalam
dan keuletan menjalankan tugas. menjalankan dan menyelesaikan
Lebih lanjut, Schunk menyatakan terus meningkatnya tugas-tugas
bahwa individu yang memiliki matematika. Adapun aspek yang
keyakinan self-efficacy yang tinggi menjadi dasar dalam penetapan
cenderung mengeluarkan usaha yang indikator penyusunan angket self-
lebih besar dalam menghadapi efficacy siswa terhadap matematika
kesulitan. yaitu merujuk pada pendapat
Bandura yang meliputi aspek
Dalam konteks matematika, Xiu &
Magnitude, Strength dan Generality.
Koirala (2009: 1) menjelaskan bahwa
Magnitude berupa keyakinan siswa

917
menyelesaikan masalah matematika estimasi reliabilitas sebesar 0.67
dengan tingkat kesulitan yang (baik). Hal ini sesuai dengan
berbeda; Strength berupa kegigihan pendapat (Ebel & Frisbe, 1991: 86)
siswa menyelesaikan masalah nilai estimasi reliabilitas yang baik
matematika; serta Generality berupa minimal 0,65. Instrumen ini diisi oleh
keyakinan siswa atas keberhasilan siswa. Lembar keterlaksanaan pem-
dalam menyelesaikan suatu masalah belajaran terdiri atas 26 pernyataan
matematika. yang merujuk pada rencana
pelaksanaan pembelajaran (RPP)
3. Metode Penelitian
dengan pendekatan CTL. Lembar
Penelitian Tindakan Kelas ini keterlaksanaan pembelajaran ini diisi
dilakukan secara kolaboratif bersama oleh observer yang nantinya akan
guru matematika SMP Taman memberikan komentar terkait
Dewasa Jetis Yogyakarta. Waktu kekurangan pelaksanaan tindakan.
pelaksanaannya dilakukan selama 1
Data yang diperoleh dari instrumen
bulan yang dimulai pada tanggal 3
dianalisis dengan dua cara yaitu
Oktober 2016 sampai tanggal 16
teknik analisis kuantitatif dan
November 2016. Siswa yang menjadi
kualitatif. Teknik analisis kuantitatif
subjek penelitian yaitu kelas VIII-1
dilakukan pada angket self-efficacy
dengan jumlah siswa 28, dengan
dan lembar keterlaksanaan
klasifikasi 13 siswa perempuan dan
pembelajaran. Pada angket self-
15 siswa laki-laki.
efficacy skala 5 (skala likert) yang
Pelaksanaan penelitian tindakan ini terdiri terdiri dari lima pilihan
menggunakan setting kolaboratif jawaban yaitu selalu (SL), sering (SR),
dengan sumber data diperoleh Kadang-kadang (KD), jarang (JR) dan
melalui hasil angket self-efficacy tidak pernah (TP) yang berturut-turut
siswa, observasi lembar nilai penskorannya adalah 5, 4, 3, 2,
keterlaksanaan pembelajaran, dan dan 1 (Sugiono, 2015: 135). Dari
catatan lapangan lainnya. Model hasil tersebut kemudian
tindakan yang digunakan selama dikategorikan seperti pada tabel 1
penelitian merujuk pada model yang berikut.
dikembangkan oleh Kemmis dan
Tabel 1. Kategorisasi Hasil Angket
Robin McTanggart (1988) yang
Self-efficacy Siswa
meliputi tahap: perencanaan
(planning), tindakan (act), No Skor (X) Kriteria
pengamatan (observing), dan refleksi 1 151,2 < 𝑥 ≤ 180 Sangat Tinggi
(reflecting) serta berlangsung paling 2 122,4 < 𝑥 ≤ 151,2 Tinggi
sedikit 2 siklus. 3 93,6 < 𝑥 ≤ 122,4 Sedang
Instrumen yang digunakan meliputi 4 64,8 < 𝑥 ≤ 93,6 Rendah
instrumen angket self-efficacy, 5 36 < 𝑥 ≤ 64,8 Sangat Rendah
lembar keterlaksanaan pembelajaran, (Widoyoko, 2009: 238)
dan catatan lapangan. Instrumen
angket self-efficacy berjumlah 36 Teknik analisis kualitatif dilakukan
butir item yang terdiri atas 12 butir melalui lembar keterlaksanaan
untuk masing-masing aspek self- pembelajaran. Data observasi yang
efficacy. Validitas yang digunakan telah diperoleh dihitung, kemudian
yaitu validitas isi (face dan logic) yang dipersentasekan sehingga dapat
diperiksa oleh 2 expert (Ahli) dan diketahui sejauh mana pendekatan

918
CTL dilaksanakan selama proses Upaya yang dimaksud yaitu dengan
pembelajaran. penggunaan pendekatan CTL selama
pelaksanaan siklus.
Penelitian tindakan kelas ini
dikatakan berhasil jika mencapai Siklus I
indikator keberhasilan yang telah Pelaksanaan tindakan Siklus I
ditetapkan. Adapun indikator dilakukan selama dua pertemuan (4
keberhasilan yang ditetapkan adalah x 40 menit) yaitu hari Jum’at, 4
sebagai berikut: November 2016 dan Sabtu, 5
1) Terjadi peningkatan self-efficacy November 2016. Dari pelaksanaan
siswa untuk tiap siklusnya dan tindakan siklus I diperoleh
mencapai target yang sudah peningkatan hasil self-efficacy siswa
dibuat yaitu 25 % (7 siswa) untuk terhadap matematika. Skor self-
efficacy siswa sudah masuk pada
kategori sangat tinggi dan 60,7 %
kategori tinggi dengan nilai rata-rata
(17 siswa) untuk kategori tinggi
123,42. Adapun data rincian
dan 14,3% (4 siswa) dengan disajikan pada tabel 2 berikut:
kategori sedang.
2) Tingkat keterlaksanaan belajar Tabel 2. Hasil Posttest Self-efficacy
dengan pendekatan CTL mencapai Siklus I
≥ 95%. Kategori Jumlah Presentasi
Siswa
4. Hasil dan Pembahasan Sangat Tinggi 2 6,67%
Tinggi 18 48,13%
Hasil Penelitian Sedang 12 44,45%
Penelitian tindakan ini diawali Rendah 0 0%
dengan memberikan angket pretest Sangat rendah 0 0%
self-efficacy siswa kelas VIII-1 SMP Rata-rata 123,42 (Tinggi)
Taman Dewasa Jetis. Pemberian
angket ini bertujuan untuk Berdasarkan tabel 2, dari 28 siswa
mengetahui kondisi awal subjek yang mengikuti postest diperoleh 2
penelitian. Dari hasil pretest rata-rata siswa (6,67%) dengan kategori sangat
skor siswa berada pada kategori tinggi, 18 siswa (48,13%) dengan
sedang (118,4). Dari 26 siswa yang kategori tinggi, dan 12 siswa (44,45%)
mengikuti pretest hanya terdapat dengan kategori sedang. Jika ditinjau
3,85 % (1 siswa) yang berkategori dari setiap aspek self-efficacy siswa
sangat tinggi, 34,62 % (9 siswa) dalam belajar matematika, memiliki
dengan kategori tinggi, 57,69 % (15 nilai rata-rata yang relatif sama,
siswa) dengan kategori sedang, 3,85% dimana untuk aspek magnitude,
(1 siswa) dengan kategori rendah, strength, dan generality secara
dan tidak ada siswa yang berada berturut-turut yaitu 96, 96, dan 95.
pada kategori sangat rendah. Sejalan Meskipun hasil tersebut sudah
dengan hasil tersebut, untuk setiap mengalami peningkatan dari kondisi
aspek self-efficacy diperoleh rata-rata awal, akan tetapi belum mencapai
89 untuk aspek magnitude, 84 untuk indikator keberhasilan yang telah
aspek strength, dan 85 untuk aspek ditetapkan.
generality. Kaitannya dengan keterlaksanaan
Berdasarkan hasil pretest yang pembelajaran CTL, hasil yang
menunjukan self-efficacy siswa diperoleh hanya mencapai 82,69%.
terhadap matematika masih dalam Secara lebih rinci disajikan pada
kategori sedang, sehingga diperlukan tabel 3 berikut:
upaya untuk meningkatkannya.

919
Tabel 3. Hasil Keterlaksanaan siswa, sehingga dapat terlibat
Pembelajaran Siklus I aktif selama proses
Siklus I
pembelajaran;
Pertemuan Terlaksana Pres 3) Peneliti harus menyusun LKS
Jml yang singkat dan lengkap;
(%)
Terlaksana 19 73,07 4) Peneliti dan guru bersama-sama
Pertama membimbing siswa bertanya dan
Tidak 7 26,92
menanggapi pertanyaan; dan
Terlaksana 24 92,3 5) Setiap akhir pertemuan, guru
Kedua
Tidak 2 7,7 menyiapkan powerpoint untuk
merefleksi pembelajaran.
Berdasarkan tabel 3, diperoleh pada
pertemuan pertama presentasi
Siklus II
keterlaksanaan pembelajaran men-
capai 73,07 % serta pada pertemuan Pelaksanaan tindakan Siklus II
kedua mencapai 92,3 %. Hasil ini dilakukan selama dua pertemuan
belum menunjukan tercapainya pula (4 x 40 menit) yaitu hari Jum’at,
target yang ditetapkan yakni ≥ 95% 11 November 2016 dan Sabtu, 12
terlaksana. November 2016. Berdasarkan refleksi
pada siklus I, maka hasil pretest self-
Hasil siklus I secara keseluruhan
efficacy siswa terhadap matematika
menunjukan peningkatan, akan
pada siklus II mengalami
tetapi belum ada yang mencapai
peningkatan dibandingkan siklus I.
indikator keberhasilan. Melalui
Rata-rata skor self-efficacy siswa
tahapan refleksi antara peneliti dan
yaitu 135,88 dengan kriteria tinggi.
observer diperoleh kekurangan
Hasil posttest self-efficacy disajikan
selama proses pelaksanaan tindakan
pada tabel 4 berikut.
yaitu:
Tabel 4. Hasil Posttest Self-efficacy
1) Menghabiskan waktu yang lama
Siklus II
dalam proses perkenalan;
2) Siswa belum terbiasa dengan Kategori Jumlah Presentasi
pendekatan CTL, sehingga belum Siswa
terlibat aktif dalam pembelajaran; Sangat Tinggi 8 26,67%
3) Contoh dalam LKS yang terlalu Tinggi 16 57,14%
banyak sehingga membutuhkan Sedang 4 14,29%
waktu yang lama; Rendah 0 0%
4) Masih ada siswa belum berani Sangat rendah 0 0%
bertanya dan memberikan Rata-rata 135,88 (Tinggi)
jawaban dengan yakin; dan
5) Pemberian refleksi secara lisan
belum efisien dalam menggam- Berdasarkan tabel 4 diperoleh, dari
barkan keseluruhan materi 28 siswa yang mengikuti postest
pelajaran. diperoleh 8 siswa (26,67%)
berkategori sangat tinggi, 16 siswa
Memperhatikan berbagai kekurangan
(57,14%) berkategori tinggi dan 4
tersebut, maka peneliti merumuskan
siswa (14,29%) berkategori sedang.
solusi yang bertujuan agar siklus
Hasil ini menunjukan indikator
berikutnya diperoleh yang lebih baik.
keberhasilan yang ditetapkan telah
Solusi yang dirumuskan yaitu:
dicapai. Peningkatan ini juga dapat
1) Peneliti harus mampu mengalo-
dilihat dari skor rata-rata untuk
kasikan waktu pada RPP secara
setiap aspek self-efficacy yaitu
tepat;
magnitude sebesar 104, strength
2) Peneliti memberikan motivasi dan
sebesar 108, dan generality sebesar
apersepsi yang kuat kepada

920
104. Hasil ini semakin mempertegas Tabel 6. Skor Angket Self-efficacy
bahwa pembelajaran CTL dapat Siswa dan Keterlaksanaan
meningkatkan self-efficacy siswa Pembelajaran
dalam belajar matematika.
Kriteria Kondisi Siklus
Kaitannya dengan lembar Siklus I
Awal II
keterlaksanaan pembelajaran, hasil ST 3,34% 6,67% 26,67%
yang diperoleh yaitu sebesar 96,15%. T 34,69% 48,13% 57,14%
Berikut ini disajikan tabel S 57,69% 44,45% 14,29%
keterlaksanaan pembelajaran siklus R 3,85% 0% 0%
II: SR 0,00% 0% 0%
Sedang Tinggi Tinggi
Terlaksana - 83,65% 96,16%
Tabel 5. Hasil Keterlaksanaan
Berdasarkan tabel 6 diperoleh, hasil
Pembelajaran Siklus II
untuk self-efficacy yang terus
Siklus II meningkat disetiap siklusnya. Dari
Pertemuan Terlaksana hasil pretest, siswa dengan kategori
Pres
Jml sangat tinggi hanya mencapai
(%)
Terlaksana 25 96,15% presentasi 4%, kemudian setelah
Ketiga diberikan pembelajaran dengan
Tidak 1 3,85 %
pendekatan CTL mengalami
Terlaksana 26 100 % peningkatan. Hal ini dapat dilihat
Keempat
Tidak 0 0% dari hasil postest pada siklus I dan
siklus II yaitu 6,67% dan 26,67%.
Berdasarkan tabel 5 hasil observasi Kondisi ini sama seperti pada
keterlaksanaan pembelajaran siklus kategori tinggi yang juga mengalami
II, diperoleh hasil pada pertemuan peningkatan dari 35% pada pretest
ketiga presentasi keterlaksanaan menjadi 48,13% pada siklus I dan
pembelajaran mencapai 96,15% serta 57,14% pada siklus II. Untuk
pada pertemuan keempat mencapai kategori sedang dan rendah
100%. Hasil ini menunjukan keduanya mengalami penurunan.
keterlaksanaan pembelajaran selama Hasil ini menunjukan bahwa terjadi
tindakan pada siklus II dengan peningkatan self-efficacy matematika
menggunakan pendekatan CTL siswa setelah diterapkan pendekatan
sudah mencapai kriteria yang CTL dalam dua siklus.
ditetapkan yaitu ≥ 95% terlaksanaan.
Oleh karena pada siklus II semua Peningkatan dapat dilihat juga dari
indikator keberhasilan yang setiap aspek self-efficacy pada setiap
ditetapkan telah tercapai maka siklus siklusnya. Aspek magnitude
dihentikan pada siklus ke-II. mengalami peningkatan dari 96 pada
siklus I menjadi 104 pada siklus II;
Pembahasan aspek strength mengalami
peningkatan dari 96 pada siklus I
Penelitian tindakan kelas ini menjadi 108 pada siklus II; serta
berlangsung selama dua siklus pada aspek generality mengalami
kelas VIII-1 SMP Taman Dewasa Jetis peningkatan dari 95 pada siklus I
Yogyakarta. Tindakan dilakukan menjadi 104 pada siklus II.
dengan menggunakan pendekatan Berdasarkan hasil tersebut,
CTL menunjukan peningkatan hasil peningkatan terbesar terjadi pada
self-efficacy siswa disetiap siklusnya. aspek strength disebabkan oleh siswa
Hasil yang diperoleh tersebut disaji- sudah terbiasa menyelesaikan
kan pada tabel 6 berikut. masalah-masalah matematika
melalui pembelajaran CTL, hal ini

921
tercermin melalui kegiatan VIII-1 SMP Taman Dewasa Jetis. Skor
experiencing (menemukan, menye- rata-rata self-efficacy siswa sebelum
lidiki, dan inventori). Selain itu, pada diberikan tindakan mencapai 118,85
kegiatan cooperating dan transfering (sedang) dengan presentasi 62%.
melatih siswa untuk saling bekerja Setelah diberikan tindakan, pada
sama, berbagi informasi, serta saling siklus I rata-rata capaian siswa
menguatkan. sebesar 123,42 (tinggi) dengan
presentasi 54,8%. Namun, hasil
Secara umum, karateristik CTL yang
tersebut belum mencapai target yang
menitikberatkan pada relating atau
ditetapkan, sehingga dilanjutkan
menghubugkan materi matematika
pada siklus II. Pada siklus II skor
yang dipelajari dengan dunia nyata
rata-rata siswa sebesar 135,88
siswa menjadikan self-efficacy siswa
(tinggi) dengan presentasi 83,81%.
terhadap matematika meningkat. Hal
Skor tersebut telah memenuhi target
ini pula dikemukakan oleh Graham
yang ditetapkan sebagai indikator
dan Pajares (1999: 126) self-efficacy
keberhasilan pendekatan CTL
matematika berkaitan dengan
meningkatkan self-efficacy siswa
keyakinan siswa atas manfaat
terhadap matematika. Kaitannya
matematika dalam kehidupan nyata.
dengan keterlaksanaan pembelajar-
Hal ini sejalan dengan hasil studi
an, dari hasil pengamatan diperoleh
yang dilakukan oleh Irjayanti (2014)
peningkatan disetiap siklusnya yaitu
dan Susanti (2016) yang
82,69 pada siklus I dan 96,15% pada
menyimpulkan bahwa pendekatan
siklus II.
CTL yang terdiri atas lima strategi
(REACT) efektif dalam meningkatkan Saran
self-efficacy siswa terhadap
Berdasarkan hasil dan pembahasan
matematika.
yang telah dipaparkan tersebut,
5. Kesimpulan dan Saran penulis menyarankan kepada peneliti
tindakan selanjutnya agar dapat
Kesimpulan
menjadikan pendekatan CTL sebagai
Berdasarkan hasil penelitian dan alternatif cara untuk meningkatkan
pembasahan yang telah diuraikan, self-efficacy matematika siswa. Selain
maka diperoleh kesimpulan bahwa itu, bagi peneliti berikutnya dapat
penggunaan pendekatan CTL dapat mencoba untuk meneliti aspek
meningkatkan self-efficacy siswa kognitif dan afektif yang lain melalui
terhadap matematika siswa kelas penggunaan pendekatan CTL.

Daftar Pustaka
Bandura, A. (1997). Self-efficacy in Changing Societies. New York: Cambridge
University Press.
Erickson, R. G & Bern, F. H (2001). Contextual Teaching and Learning:Preparing
Students for the New Economy. Diakses dari www.nccte.com pada tanggal
11 Mei 2016.
Crawford, M. L. (2001). Teaching Contextually: Research, Rationale, and
Techniques for Improving Student Motivation and Achievement in
Mathematics and Science. Texas: CCI Publishing.

922
Pajares, F & Graham, L. (1999). Self-efficacy , Motivation Constructs, and
Mathematics Performance of Entering Middle School Students. Contenporery
Educational Psychologi, 124-139. Diakses dari www.idealibrary.com pada
tanggal 11 Mei 2016.
Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Konstektual dalam Pembelajaran
abad 21 Kunci Sukses Implementasi Kurikulum 2013. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Irjayanti, R. (2014). Keefektifan Strategi REACT (Relating, Experiencing, Applying,
Cooperating, Transfering) dalam Pembelajaran Turunan Fungsi Ditinjau dari
Pestasi Belajar Matematika, Kemampuan Penyelesaian Masalah Matemtika,
Kemampuan Koneksi, dan Self-efficacy Siswa Kelas XII IPA SMA. Tesis
Magister, Tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Johnson, E. B. (2002). Contextual Teaching and Learning: What it is and Why it's
Here to Stay. California: Corwin Press.
Kemmis, S dan McTaggart. (1988). The Action Research Planner. Victoria: Deakin
University.
Komalasari, K. (2013). Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung:
Refika.
Liu, X & Koirala, H. (2009). The Effect of Mathematics Self-efficacy on
Mathematics Achievement of High School Student. Paper North East
Educational Research Association Annual Conference (p.1-15). Science and
Mathematics Education Commons.
Maddux, J. E. (1995). Self-efficacy , Adaptation, and Adjustment Theory,
Research, and Application. Virginia: Springer Science+Business Media.
NCTM. (2000). National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). New York:
NCTM. Diakses dari www.nctm.org pada tanggal 7 September 2015.
Schunk, D. (2012). Learning Theories and Educational Perspective (Six Edition).
California: Pearson Education.
Slavin, R. E. (2006). Educational Pyscology Theory and Practice (Eight Edition).
Boston: Pearson Education.
Sugiono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Susanti, U. (2016). Keefektifan Pendekatan Contextual Teaching and Learning
(CTL) dan Problem Solving pada Pembelajaran Himpunan Ditinjau dari
Prestasi Belajar dan Kepercayaan Diri Siswa SMP Kelas VII. Tesis Magister,
tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.
Widoyoko, E. P. (2009). Evaluasi Program Pembelajaran (Panduan Praktis bagi
Pendidik dan Calon Pendidik). Yogyakarta: Pustaka Belajar.

923
PENINGKATAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA DITINJAU DARI GENDER MELALUI
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH BERKARAKTER
PADA SISWA KELAS XI SMA YPK MEDAN

Rahmi Ramadhani

Universitas Potensi Utama, Jl. KL. Yos Sudarso KM. 6,5 N0. 3-A Tanjung Mulia, Medan

Abstract. The aims of this research were (1) to analyze improvement of student’s
mathematics problem solving ability using characterized problem based learning; and (2) to
look interaction between student’s gender and learning in increasing student’s
mathematics problem solving ability. This type of research was a quasi experimental. The
population of this research was all students in SMA YPK Medan. The experimental class
consisted of 21 female students and 21 male students in XI MIPA 1 and the control class
consisted of 19 female students and 23 male students in XI MIPA 2. The sample was
chosen by using purposive sampling. The data were analyzed using Two Ways ANOVA.
The result of this research were (1) the improvement of student’s mathematical problem
solving ability using characterised problem based learning was higher than the
improvement of those using conventional learning; (2) there is no interaction between
student’s gender and learning in increasing student’s mathematical problem solving ability.
Based on this research, the characterized problem based learning was able to be used to
improve mathematical problem solving ability of students.

Keywords: Characterized Problem Based Learning, Mathematics Problem


Solving, Gender

1. Pendahuluan mengemukakan bahwa kemampuan


pemecahan masalah sangat penting
Standar proses dari pembelajaran dalam matematika, bukan saja bagi
matematika menurut National Council mereka yang di kemudian hari akan
of Teachers of Mathematics (NCTM) mendalami atau mempelajari
adalah problem solving (pemecahan matematika, melainkan juga bagi
masalah), reasoning dan proof mereka yang akan menerapkannya
(penalaran dan pembuktian), dalam bidang studi lain dalam
communication (komunikasi), kehidupan sehari-hari. Berdasarkan
connections (koneksi), dan beberapa pendapat di atas,
representation (representasi). kemampuan pemecahan masalah
Pemecahan masalah merupakan harus dimiliki siswa untuk melatih
bagian dari standar proses agar terbiasa menghadapi berbagai
matematika yang sangat penting permasalahan, baik masalah dalam
karena dalam proses pembelajaran matematika, masalah dalam bidang
maupun penyelesaian, siswa studi lain, ataupun masalah dalam
dimungkinkan untuk menggunakan kehidupan sehari-hari yang lebih
keterampilan dan pengalaman yang kompleks.
mereka miliki untuk diterapkan
dalam penyelesaian soal-soal yang Pada kenyataannya saat siswa
tidak rutin karena setelah menempuh dihadapkan pada soal-soal yang tidak
pendidikan, para siswa akan terjun rutin, (soal cerita yang terkait
ke masyarakat yang penuh dengan pemecahan masalah yang berkaitan
masalah-masalah kemasyarakatan. dengan kehidupan sehari-hari), nilai
Russefendi (Effendi, 2012: 3) yang diperoleh oleh siswa biasanya

924
akan lebih rendah jika dibandingkan karakter, yaitu sebagai berikut:
dengan soal pilihan berganda. Masih bertakwa (religius), bertanggung
terlihat kesenjangan yang cukup jawab, disiplin, jujur, toleransi,
besar antara apa yang diharapkan kerja keras, kreatif, mandiri, rasa
dalam belajar matematika dengan ingin tahu, semangat kebangsaan,
kenyataan yang akan dicapai. Hal ini menghargai, bersahabat, peduli
menjadi salah satu masalah bagi sosial, cinta damai, demokratis,
guru karena pemecahan masalah peduli lingkungan, gemar membaca,
sangat dibutuhkan untuk mening- cinta tanah air.
katkan daya nalar dan melatih siswa
agar mampu berpikir kritis, logis dan Dari kedelapan belas nilai-nilai
berkarakter. karakter yang telah dipaparkan
sebelumnya, peneliti tertarik untuk
Seyogianya untuk menyelesaikan menerapkan beberapa nilai karakter
soal-soal yang tidak rutin, siswa tersebut ke dalam proses
membutuhkan kemampuan peme- pembelajaran matematika. Nilai
cahan masalah matematika yang karakter yang digunakan pada
baik. Tahapan pemecahan masalah pembelajaran berbasis masalah
menurut Polya yaitu : “(1) memahami berkarakter adalah bertanggung
masalah, (2) merencanakan jawab, disiplin, kreatif, mandiri serta
penyelesaiannya, (3) melaksanakan peduli lingkungan. Melalui
masalah sesuai rencana dan (4) pembelajaran matematika
melakukan pengecekan kembali diharapkan dengan sendirinya
terhadap semua langkah yang tujuan untuk membentuk karakter
dikerjakan.” siswa seperti, bersikap kritis,
cermat, jujur dan lain sebagainya
Selain kemampuan pemecahan dapat dicapai. Soedjadi (Fadillah,
masalah dalam soal-soal tidak rutin 2012: 145) mengatakan pembelajaran
juga dibutuhkan karakter siswa, semacam ini dinamakan
karena dalam memecahkan masalah pembelajaran by chance.
tidak rutin diperlukan juga cara-cara
untuk menyelesaikannya. Pada Setelah melakukan kajian berbagai
kenyataannya pendidikan di model pembelajaran yang ada maka
Indonesia cenderung terbatas pada peneliti menganggap bahwa
penguasaan materi pelajaran atau pembelajaran berbasis masalah yang
bertumpu pada pengembangan aspek selanjutnya disingkat dengan PBM
kognitif tingkat rendah yang tidak merupakan suatu strategi yang cocok
mampu mengembangkan karakter digunakan. Pembelajaran berbasis
siswa. Dalam hal ini, salah satu masalah merupakan salah satu
tujuan pendidikan adalah pembelajaran yang didasarkan
membentuk karakter pada diri kepada psikolog kognitif yang
seseorang yang terwujud dalam berangkat dari asumsi bahwa belajar
kesatuan perilaku dan sikap hidup. adalah proses perubahan tingkah
Namun realitasnya bertolak belakang laku berkat adanya pengalaman.
dengan kenyataan yang ada. Belajar bukan semata-mata proses
Pendidikan cenderung hanya menghafal sejumlah fakta, tetapi
mengejar kecerdasan intelektual, suatu proses interaksi secara sadar
cenderung miskin budi pekerti, dan antara individu dan lingkungannya.
akhlak. Sehingga menjadikan Pembelajaran berbasis masalah
manusia kehilangan karakternya. berkarakter merupakan salah satu
Fadillah (2012: 143) menambahkan solusi yang tepat untuk digunakan
bahwa nilai-nilai dasar pendidikan dalam proses pembelajaran, yang
karakter bangsa terdapat 18 nilai bertujuan untuk menanamkan nilai-

925
nilai karakter kepada siswa, pembelajaran Matematika, Brandon
khususnya siswa SMA. (Nafi’an, 2011: 574) menyatakan
Beberapa pakar pendidikan bahwa perbedaan gender
matematika telah mencoba berpengaruh dalam pembelajaran
mengkaji model-model pembelajaran matematika terjadi selama usia
yang dapat membentuk karakter sekolah menengah.
siswa. Soedjadi (Fadillah, 2012: 145)
mengatakan bahwa pembelajaran Berdasarkan hasil-hasil penelitian
dengan pendekatan kontekstual yang diuraikan di atas menunjukkan
dengan berbagai model dan bahwa adanya keberagaman hasil
metodenya, dapat dijadikan sebagai penelitian mengenai peran gender
alat untuk membangun karakter dalam pembelajaran matematika.
bangsa. Sementara itu Prabowo Beberapa hasil menunjukkan adanya
dan Sidi (Fadillah, 2012: 145) faktor gender dalam pembelajaran
mengatakan bahwa pendekatan matematika, namun pada sisi lain
pembelajaran matematika realistik beberapa penelitian mengungkapkan
(PMRI) dapat memahat karakter bahwa gender tidak berpengaruh
siswa. Pembelajaran berbasis signifikan dalam pembelajaran
masalah juga membantu siswa matematika.
menjadi siswa yang mandiri.
Dari paparan di atas, maka tujuan
Selain dilihat dari aspek kemampuan penelitian ini adalah untuk melihat:
memecahkan soal cerita diperhatikan (1) apakah terdapat peningkatan
juga aspek perbedaan gender, kemampuan pemecahan masalah
perbedaan gender sudah menjadi matematika siswa yang diajar dengan
sorotan sejak jaman dahulu. Maccoby menggunakan pembelajaran berbasis
dan Jacklyn (Nafi’an, 2011: 574) masalah berkarakter?; dan (2)
mengatakan laki-laki dan perempuan apakah terdapat interaksi
mempunyai perbedaan kemampuan (hubungan) antara pembelajaran dan
antara lain sebagai berikut: (1) gender siswa dalam meningkatkan
perempuan mempunyai kemampuan kemampuan pemecahan masalah
verbal lebih tinggi daripada laki-laki; matematika? Dengan menerapkan
(2) laki-laki lebih unggul dalam model pembelajaran berbasis
kemampuan visual spatial masalah berkarakter ini, diharapkan
(penglihatan keruangan) daripada pembelajaran yang akan didapatkan
perempuan; dan (3) laki-laki lebih siswa lebih bermakna, memberi
unggul dalam kemampuan kesan yang lebih kuat pada siswa,
matematika. dapat mengatasi kesulitan siswa
dalam mempelajari matematika dan
Menurut Susento (Nafi’an, 2011: 574) siswa itu sendiri juga dapat
perbedaan gender bukan hanya menyelesaikan pemecahan masalah
berakibat pada perbedaan yang berkaitan dengan kehidupan
kemampuan dalam matematika, sehari-hari serta dapat membentuk
tetapi cara memperoleh pengetahuan karakter siswa.
matematika juga terkait dengan
perbedaan gender. Keitel (Nafi’an,
2011: 574) menyatakan “Gender,
social, and cultural dimensions are
very powerfully interacting in
conceptualization of mathematics
education”. Berdasarkan pendapat
Keitel bahwa gender, sosial dan
budaya berpengaruh pada

926
2. Kajian Teori dan memeriksa kembali hasil dari
suatu matematika yang diberikan.
Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Pembelajaran Berbasis Masalah

Pemecahan masalah memainkan Pembelajaran berbasis masalah


peran penting dalam pendidikan adalah salah satu model
matematika mulai dari siswa tingkat pembelajaran yang berpusat pada
dasar hingga tingkat menengah. peserta didik dengan cara
Namun, mengetahui bagaimana cara menghadapkan para peserta didik
untuk memasukkan pemecahan tersebut dengan berbagai masalah
masalah secara menyeluruh ke yang dihadapi dalam kehidupannya.
dalam kurikulum matematika masih Dengan strategi pembelajaran ini,
sulit bagi para guru matematika peserta didik sejak awal sudah
(NCTM, 2010: 1). Kemampuan dihadapkan kepada berbagai
pemecahan masalah adalah masalah kehidupan yang mungkin
kemampuan siswa dalam akan ditemukan kelak pada saat
menyelesaikan masalah matematika mereka sudah lulus dari bangku
dengan memperhatikan proses sekolah (Nata, 2009: 243).
menemukan jawaban berdasarkan
langkah-langkah pemecahan masalah Menurut Sanjaya (2008: 214),
(memahami masalah; merencanakan pembelajaran berbasis masalah
pemecahan masalah; menyelesaikan (problem based learning) diartikan
masalah; dan melakukan pengecekan sebagai rangkaian aktivitas
kembali) yang dikemukakan oleh pembelajaran yang menekankan
Polya (Author, 2016) kepada proses penyelesaian masalah
secara ilmiah. Sedangkan menurut
Pemecahan masalah merupakan tipe pandangan Arends dalam Trianto
belajar yang paling tinggi (2010: 92), pengajaran berdasarkan
dibandingkan tipe belajar lainnya. masalah merupakan suatu
Menurut Slameto (dalam Pamungkas, pendekatan pembelajaran dimana
2013: 119) pemecahan masalah siswa mengerjakan permasalahan
dipandang sebagai suatu proses yang autentik dengan maksud untuk
untuk menentukan kombinasi dari menyusun pengetahuan mereka
sejumlah aturan yang dapat sendiri, mengembangkan inkuiri dan
diterapkan dalam upaya mengatasi keterampilan berpikir tingkat lebih
situasi yang baru. Kemampuan tinggi, mengembangkan kemandirian,
pemecahan masalah sangat penting dan percaya diri. Trianto
artinya bagi siswa dan masa menambahkan juga bahwa pada
depannya. Para ahli pembelajaran pengajaran berdasarkan masalah
sependapat bahwa kemampuan merupakan pendekatan yang efektif
pemecahan masalah dalam batas- untuk pembelajaran proses berpikir
batas tertentu, dapat dibentuk tingkat tinggi. Pembelajaran ini
melalui bidang studi dan disiplin membantu siswa untuk memeroses
ilmu yang diajarkan. Jadi dapat informasi yang sudah jadi dalam
disimpulkan bahwa kemampuan benaknya dan menyusun
pemecahan masalah matematika pengetahuan mereka sendiri tentang
adalah kemampuan yang harus dunia sosial dan sekitarnya.
dimiliki siswa untuk dapat
memahami masalah, merencanakan Pembelajaran berbasis masalah yang
pemecahan, menyelesaikan masalah, digunakan dalam penelitian ini
adalah pembelajaran berbasis
masalah berkarakter. Dalam

927
mengimplementasikan pembelajaran berbasis masalah berkarakter dan
tersebut, peneliti menyisipkan nilai- biasa).
nilai karakter dalam proses
pembelajaran. Penyisipian nilai-nilai 5. Hasil Penelitian
karakter dilakukan pada langkah-
langkah (sintaks) pembelajaran. Tabel 1 menyajikan informasi hasil
Sintaks pembelajaran berbasis pre test dan post test kemampuan
masalah diantaranya orientasi siswa pemecahan masalah matematika
pada masalah, mengorganisasi siswa siswa baik menggunakan
untuk belajar, membimbing pembelajaran berbasis masalah
penyelidikan individual maupun berkarakter maupun pembelajaran
kelompok, mengembangkan dan biasa (konvensional). Secara
menyajikan hasil karya, serta keseluruhan sesuai dengan katagori
menganalisis dan mengevaluasi gender siswa, kelompok eskperimen
proses pemecahan masalah (Trianto, mendapatkan hasil yang lebih baik
2010: 98). Dari sintaks pembelajaran daripada kelompok kontrol. Dari hasil
di atas, peneliti menyisipkan nilai- Uji Kolmogrof-Smirnov dan Uji Leneve
nilai karakter pada langkah orientasi menunjukkan bahwa sampel yang
pada masalah serta mengembangkan diambil dari populasi yang
dan menyajikan hasil karya serta terdistribusi normal dan memiliki
menganalisis proses pemecahan. varians yang homogen.
Orientasi masalah diambil dari
permasalahan yang berkaitan dengan Tabel 1. Deskripsi Kemampuan
kehidupan sehari-hari para siswa Pemecahan Masalah Matematika
serta berunsur nilai-nilai karakter.
N Min Max �
𝑿 SD Var
3. Populasi dan Sampel Pretes_
42 5.0 12.0 8.12 1.7 2.9
Eksperimen
Populasi dalam penelitian ini adalah Posttes
42 10.0 19.0 14.3 2.2 4.7
_Eksperimen
seluruh siswa kelas XI SMA YPK
Medan. Pengambilan sampel dalam Pretes_
42 5.0 12.0 8.24 1.7 2.8
Kontrol
penelitian ini menggunakan
purposive sampling. Sekolah yang Posttes_
42 10.0 17.0 13.3 1.7 2.9
dijadikan sebagai sampel adalah SMA Kontrol
YPK Medan kelas XI MIPA 1 sebagai Valid N
42
kelas eksperimen dengan jumlah (listwise)
siswa sebanyak 42 orang (21 orang
siswa laki-laki dan 21 orang siswa Tabel 2 dan tabel 3 menyajikan
perempuan). Sedangkan kelas XI deskripsi data kemampuan
MIPA 2 sebagai kelas kontrol dengan pemecahan masalah matematika
jumlah siswa sebanyak 42 orang (19 berdasarkan skor N-Gain dilihat dari
orang siswa laki-laki dan 23 orang kelompok pembelajaran dan
siswa perempuan). kelompok gender siswa.

4. Metode Penelitian Tabel 2. Deskripsi Berdasarkan


N-Gain Setiap Pembelajaran
Penelitian ini merupakan penelitian Data skor N-Gain
eksperimen semu dengan desain Kelom- Kate-
pok 𝑥𝑚𝑖𝑛 𝑥𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑥̅ SD
kelompok kontrol pretes-postes. Unit- gori
unit penelitian ditentukan kategori Ekspe- Se-
0,30 0.90 0,53 0,16
rimen dang
model pembelajaran (pembelajaran Kon- Se-
0,13 0,77 0,43 0,14
trol dang

928
Tabel 3. Deskripsi Berdasarkan Gender .002 1 .002 .081 .777
N-Gain dan Gender Siswa Pembelajaran .027 1 .027 1.187 .279
PBM Biasa/ * Gender
Gender Berkarakter Konvensional Error 1.820 80 .023
N �
𝑿 SD N �
𝑿 SD Total 21.286 84
Laki- 2 0,5 0,1 1 0,4 0,1 Corrected 2.067 83
Laki 1 5 9 9 2 2 Total
Perem 2 0,4 0,1 2 0,4 0,1
-puan 1 9 0 3 3 5 a. R Squared = ,779 (Adjusted R Squared = ,760)

Setelah dilakukan pre test dan post Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa
test kepada siswa, diperoleh N-Gain untuk faktor pembelajaran, diperoleh
masing-masing kelas untuk melihat nilai F hitung sebesar 9.696 dan nilai
apakah terdapat peningkatan signifikan sebesar 0,003. Karena nilai
kemampuan pemecahan masalah signifikan lebih kecil dari nilai taraf
matematika antara siswa yang diberi signifikan 0,05, maka H0 ditolak dan
pembelajaran berbasis masalah H1 diterima. Dengan demikian, dapat
berkarakter dan yang diberi disimpulkan bahwa peningkatan
pembelajaran biasa (konvensional). kemampuan pemecahan masalah
Rata-rata N-Gain kemampuan matematika siswa yang memperoleh
pemecahan masalah matematika pembelajaran berbasis masalah
pada kelas eksperimen sebesar 0,53 berkarakter lebih tinggi daripada
dan pada kelas kontrol sebesar 0,43. kemampuan pemecahan masalah
Jika ditinjau dari faktor gender siswa, matematika siswa yang memperoleh
terlihat pada tabel 3 bahwa gender pembelajaran biasa.
laki-laki mendapatkan nilai rata-rata
lebih tinggi daripada gender Dari tabel 4 juga terlihat bahwa
perempuan pada kelas eskperimen. untuk faktor pembelajaran dan
gender, diperoleh nilai F hitung
Namun, kondisi berbeda terlihat di sebesar 1,187 dan nilai signifikan
kelas kontrol. Siswa dengan gender sebesar 0,279. Karena nilai signifikan
perempuan mendapatkan nilai rata- lebih besar dari nilai taraf signikan
rata lebih tinggi daripada siswa 0,05, maka H1 ditolak dan H0
dengan gender laki-laki. Hasil diterima. Dengan demikian, dapat
perhitungan uji ANAVA 2 Jalur, N- disimpulkan bahwa tidak terdapat
Gain kemampuan pemecahan interaksi yang signifikan antara
masalah matematika siswa kelompok pembelajaran dengan gender siswa
eksperimen dan kelompok kontrol terhadap peningkatan kemampuan
dapat dilihat pada tabel 4 berikut. pemecahan masalah matematika. Ini
menunjukkan bahwa gain rata-rata
Tabel 4. Hasil Uji Hipotesis kemampuan pemecahan masalah
KPMM Menggunakan ANAVA 2 Jalur matematika siswa dengan gender
(laki-laki dan perempuan) siswa yang
Tests of Between-Subjects Effects diajar dengan pembelajaran berbasis
Dependent Variable:NGain_PM masalah berkarakter tidak berbeda
Type III secara signifikan dengan siswa yang
Mean
Source Sum of df
Square
F Sig. diajar dengan pembelajaran biasa.
Squares
Corrected .247a 3 .082 3.619 .017
Model
Intercept 19.172 1 19.17 842.9 .000
0
Pembelajaran .221 1 .221 9.696 .003

929
pada kelas eksperimen sebesar 0,54
dan pada kelas kontrol sebesar 0,33.

Dari paparan hasil tersebut dapat


disimpulkan bahwa siswa masih
kesulitan dalam memahami masalah
yang diberikan, sehingga
penyelesaian yang diberikan oleh
siswa masih tidak sesuai dengan
permintaan permasalahan. Jika
ditinjau dari aspek gender siswa
Gambar 1. Interaksi antara sesuai dengan gambar 1, maka
Kemampuan Pemecahan Masalah didapatkan hasil bahwa tidak ada
dan Gender Siswa interaksi antara pembelajaran dan
gender dalam meningkatkan
Gambar 2 menunjukkan peningkatan kemampuan pemecahan masalah
kemampuan pemecahan masalah matematika. Baik dari gender laki-
matematika siswa berdasarkan laki maupun gender perempuan,
indikator dan kelompok pembelajaran sama sekali tidak mempengaruhi
siswa. proses pembelajaran baik pada kelas
eksperimen maupun pada kelas
kontrol. Dapat dikatakan bahwa
faktor penentu peningkatan
kemampuan pemecahan masalah
matematika adalah murni
dikarenakan perlakuan model
pembelajaran yang diberikan.
Pembelajaran berbasis masalah
berkarakter mempunyai peranan
penting dalam meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa.

Gambar 2. Peningkatan Kemampuan Namun jika ditinjau dari pemberian


Pemecahan Masalah nilai-nilai karakter pada proses
pembelajaran di dalam kelas, peneliti
Dari grafik di atas, terlihat bahwa mendapatkan hasil yang memuas-
siswa yang mendapat pembelajaran kan. Pada pembelajaran berbasis
berbasis masalah berkarakter masalah berkarakter, peneliti
memperoleh peningkatan kemam- menyisipkan nilai-nilai karakter pada
puan pemecahan masalah matemati- langkah-langkah pembelajaran ber-
ka yang lebih tinggi pada indikator basis masalah, hingga pada
melaksanakan penyelesaian (0,65). pemberian masalah non rutin kepada
Sedangkan siswa yang mendapat siswa. Pada langkah-langkah
pembelajaran biasa (konvensional) pembelajaran, peneliti menyisipkan
memperoleh hasil yang lebih tinggi nilai karakter pada langkah
juga pada indikator melaksanakan investigasi kelompok dan presentasi
penyelesaian (0,47). Sedangkan jika hasil diskusi kelompok. Dalam hal
ditinjau dari kemampuan pemecahan ini, peneliti menginginkan munculnya
masalah matematika pada aspek nilai karakter disiplin, mandiri dan
peningkatan terendah, terdapat pada bertanggung jawab. Sedangkan pada
indikator memahami masalah yaitu pemberian masalah non rutin,
peneliti menyisipkan nilai-nilai

930
karakter kreatif dan peduli
lingkungan.

Peneliti mengharapkan para siswa


dapat secara langsung menyerap
makna tersirat dari pemberian
masalah non rutin tersebut. Peneliti
melakukan observasi selama proses
pembelajaran berlangsung serta
melakukan penyebaran angket
untuk melihat apakah siswa
mendapatkan pesan dan makna
tersirat terhadap nilai-nilai karakter
tersebut. Hasil observasi dan angket
siswa dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Hasil Perhitungan Angket


Penerapan Nilai Karakter
Angket Pernyataan Skor
Bertang- Mengerjakan LKS
gung secara berkelompok
3.25 Gambar 3. Salah satu masalah non
Jawab dan tepat waktu
sesuai arahan guru rutin dengan nilai karakter peduli
Mengerjakan LKS lingkungan
tepat waktu dan
Disiplin
menyelesaikan-nya
3.35
5. Simpulan
sesuai dengan
langkah-langkah Untuk meningkatkan kemampuan
Polya pemecahan masalah matematika
Menyelesaikan soal siswa melalui pembelajaran berbasis
tes kemampuan masalah berkarakter membutuhkan
pemecahan masalah komitmen yang tinggi antara siswa
secara pribadi dan dan guru. Penerapan nilai-nilai
Mandiri
sebaik-baiknya, karakter pada proses pembelajaran
serta menggunakan sangat penting dalam proses
langkah-langkah pembentukan karakter diri para
Polya untuk menye-
siswa itu sendiri. Melalui
lesaikan tes tersebut
pembelajaran matematika berbasis
Rata-rata 3.21
masalah berkarakter, para siswa
dapat menyinergikan antara nilai
Contoh berikut merupakan masalah
karakter dengan permasalahan yang
non rutin dengan menyisipkan nilai
dihadapinya dalam sehari-hari.
karakter pada materi matriks.
Dalam proses pembelajaran, faktor
gender tidak memberikan pengaruh
yang signifikan. Keseluruhan proses
pembelajaran dipengaruhi oleh
perlakukan pembelajaran berbasis
masalah berkarakter. Penerapan
pembelajaran berbasis masalah
berkarakter dapat semakin
diterapkan dalam menanamkan nilai-

931
nilai karakter dalam diri siswa, (1) pembelajaran berbasis masalah
khususnya siswa SMA. berkarakter dapat dikembangkan
dan disesuaikan dengan kondisi
Saran sekolah dan budaya lokal.
(2) guru dapat melakukan penelitian
Berdasarkan simpulan hasil lanjutan dengan meneliti
penelitian, dapat dikemukakan saran kemampuan matematis lainnya.
sebagai berikut terutama kepada
guru.

Daftar Pustaka

Author. (2016). Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika yang


Berorientasi pada Model Problem Based Learning. Jurnal KREANO, 7 (2)
Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran matematika dengan metode penemuan
terbimbing untuk meningkatkan kemampuan representasi dan pemecahan
masalah matematis siswa SMP. Jurnal Penelitian Pendidikan, 3 (2): 1-10
Fadillah, Syarifah. (2012). Pembentukan Karakter Siswa Melalui Pembelajaran
Matematika. Jurnal Paradikma, 6 (2): 142-148
Nafi’an, Muhammad Iman. (2011). Kemampuan Siswa dalam Menyelesaikan Soal
Cerita Ditinjau dari Gender di Sekolah Dasar. Prosidding Seminar Nasional
Matematika dan Pendidikan Matematika dengan tema ”Matematika dan
Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran”, FMIPA UNY
Nata, Abuddin. (2009). Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. Kencana:
Jakarta
NCTM. (2010). Why is Teaching with Problem Solving Important to Students’
Learning. Problem Solving Reasearch Brief
Pamungkas, dkk. (2013). Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan
Kreativitas Belajar Matematika dengan Pemanfaatan Software Core Math
Tools (CMT). Prosiding: Seminar Nasional Pendidikan Matematika
Sanjaya, Wina. (2008). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana
Trianto. (2010). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif.
Jakarta: Kencana

932
Redaksi Edumat PPPPTK Matematika menerima artikel naskah jurnal yang terkait
dengan pendidikan matematika.
Ketentuan penulisan dan untuk informasi lebih lanjut, silahkan menghubungi Redaksi.
Jurnal Edukasi Matematika

Anda mungkin juga menyukai