Anda di halaman 1dari 12

Target AKI dan AKB

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Kemenkes RI 2012. Sesuai target MDGs 2015, AKI harus diturunkan sampai
102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Sehingga untuk dapat mencapai target
MDGs, diperlukan terobosan dan upaya keras dari seluruh pihak, baik Pemerintah, sektor
swasta, maupun masyarakat (www.Kesehatanibu.Depkes.go.id).
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Rikesdas) tahun 2010 dalam penelitian di Universitas
Sumatra Utara oleh Rossi Sanusi, yang menyatakan bahwa kematian ibu di Indonesia
228/100.000 kelahiran hidup, angka kematian bayi 34/1000 kelahiran hidup, artinya dengan
jumlah penduduk 225.642.000 berarti ada 9.774 ibu meninggal per tahun atau 1 orang ibu
meninggal per jam dan 17 bayi meninggal per jam oleh sebab yang berkaitan dengan
kehamilan, persalinan dan nifas (www.Repository.Usu.ac.id).
Pada hasil dokumentasi provinsi Jawa Barat didapatkan target angka kematian ibu yang
harus di capai pada tahun 2013 harus diturunkan sampai 205-210/100.000 kelahiran hidup.
Target angka kematian bayi pada tahun 2013 harus mencapai 26-30/1000 kelahiran hidup
(www.Jabarprov.go.id/IX.doc).
Sedangkan jumlah yang didapatkan dari provinisi Jawa Barat tahun 2007 pada lampiran
profil kesehatan Jawa Barat angka kematian ibu sebanyak 788 per 822.481 kelahiran hidup.
Pada angka kematian bayi sebanyak 4.277 per 822,481 kelahiran hidup (Depkes Jabar. 2007).
Pada hasil pendokumentasian di Kota Depok didapatkan target angka kematian bayi pada
tahun 2013 harus mencapai 23,97/1000 kelahiran hidup (www.Jabarprov.go.id/IX.doc).
Berdasarkan profil Kesehatan Kota Depok menyebutkan angka kematian ibu sebanyak
18/27,131 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian bayi sebanyak 115/27,131 kelahiran
hidup (Depkes Depok. 2007).
Dalam upaya mempercepat penurunan AKI dan AKN tersebut, Sekretaris Jenderal
Kementerian Kesehatan dr. Ratna Rosita, MPHM telah meluncurkan program Expanding
Maternal and Neonatal Survival (EMAS). Program EMAS merupakan program hasil kerja
sama antara Pemerintah Indonesia dengan lembaga donor USAID, yang bertujuan untuk
menurunkan AKI dan AKN di Indonesia sebesar 25%. Untuk mencapai target tersebut,
pemerintah mendapatkan enam daerah yang merupaka penyumbang AKI dan AKB terbesar
yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan,
dimana pada tahun pertama akan dilaksanakan pada 10 kabupaten. karena berdasarkan data
Kementerian Kesehatan sekitar 52,6% dari jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia
berasal dari enam provinsi tersebut.
Demikian pula dengan kematian neonatal, sekitar 58,1% dari jumlah total nasional juga
“disumbangkan” oleh keenam provinsi tersebut. Dari hasil analisis, diyakini bahwa
percepatan penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Neonatal (AKN) di
Indonesia akan dapat diakselerasi apabila kematian ibu dan kematian neonatal di enam
provinsi tersebut dapat dikurangi secara signifikan (Kemenkes RI. 2012).
SEMINAR KONTROVERSI SDKI 2012 DAN
STRATEGI PENURUNAN KEMATIAN IBU DAN BAYI

Senin, 25 November 2013


di Ruang Teather Perpustakaan FK UGM Yogyakarta

Akan disiarkan secara live streaming melalui website


www.kebijakankesehatanindonesia.net dan www.kesehatan-ibuanak.net

Latar Belakang

Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak telah menjadi prioritas
utama dari pemerintah, bahkan sebelum Millenium Development Goal's 2015 ditetapkan.
Angka kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator
utama derajat kesehatan suatu negara. AKI dan AKB juga mengindikasikan kemampuan dan
kualitas pelayanan kesehatan, kapasitas pelayanan kesehatan, kualitas pendidikan dan
pengetahuan masyarakat, kualitas kesehatan lingkungan, sosial budaya serta hambatan dalam
memperoleh akses terhadap pelayanan kesehatan. (www.depkes.go.id)

Saat ini status kesehatan ibu dan anak di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, ditandai
dengan masih tingginya angka kematian ibu (AKI), dan angka kematian bayi (AKB).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 didapatkan data angka
kematian ibu (AKI) sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup, mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka kematian ibu (AKI) tahun 2002 yaitu 307 per 100.000 kelahiran
hidup. Data AKI tersebut membuat Indonesia mulai optimis bahwa target MDGs untuk AKI
tahun 2015 adalah sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup dapat tercapai. Sehingga tidak
ada lagi sebutan sebagai negara yang memiliki AKI tertinggi dibandingkan negara tetangga
seperti Malaysia (62 per 100.000 kelahiran hidup), Srilanka (58 per 100.000 kelahiran hidup),
dan Philipina (230 per 100.000 kelahiran hidup). Optimisme tersebut menjadi kecemasan
setelah melihat hasil SDKI 2012 bahwa AKI tercatat mengalami kenaikan yang signifikan
yaitu sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup,

Sedangkan untuk data Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia walaupun masih jauh dari
angka target MDGs yaitu AKB tahun 2015 sebesar 23 per 1000 kelahiran hidup tetapi tercatat
mengalami penurunan yaitu dari sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2002) menjadi
sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI 2007), dan terakhir menjadi 32 per 1000
kelahiran hidup (SDKI 2012). namun angka kematian bayi (AKB) di Indonesia masih tetap
tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Singapura (3 per
1000 kh), Brunei Darussalam (8 per 1000 kh), Malaysia (10 per 1000 kh), Vietnam (18 per
1000 kh), dan Thailand (20 per 1000 kh). Target AKB dalam MDGs adalah 23 per 1000 kh.

Dari data di atas jelas terlihat bahwa AKI dan AKB di Indonesia masih sangat tinggi,
terutama untuk AKI yang berdasarkan trend data SDKI beberapa tahun ini mengalami
fluktuasi yang angkanya semakin jauh dari target MGDs. Dalam rangka menurunkan AKI
dan AKB memerlukan kerjasama lintas sektor dan lintas program. Alasan tersebut menjadi
dasar diselenggarakannya seminar tentang "Kontroversi AKI dan AKB (SDKI 2012) di
Indonesia, dan apa yang bisa dilakukanselanjutnya?" kerjasama PKMK FK UGM, Pokja KIA
FK UGM, dan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Pengda DI Yogyakarta ini.
Seminar yang sasaran pesertanya dari berbagai kalangan seperti organisasi profesi (IAKMI,
PPNI, IBI, dan IDI), Dinas Kesehatan, lembaga pendidikan, akademisi, LSM peduli
kesehatan ini diharapkan dapat menjadi tempat diskusi dalam rangka mengkritisi AKI dan
AKB tersebut, dan bagaimana tindaklanjutnya?.

Tujuan Kegiatan:

1. Mendapatkan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya angka


sedemikian rupa dalam SDKI 2012 dan SDKI periode-periode sebelumnya.
2. Mendapatkan masukan strategi pemecahan masalah AKI dan AKB di Indonesia.
3. Mendapatkan gambaran mapping peran berbagai sektor terkait seperti organisasi
profesi, Dinas Kesehatan, lembaga pendidikan, akademisi, dan LSM peduli kesehatan
dalam rangka menurunkan AKI dan AKB.

Diharapkan, setelah mengikuti seminar ini, para peserta seminar dapat menindaklanjuti
dengan menyusun rencana tindak lanjut yang tepat untuk penurunan AKI dan AKB sesuai
peran yang dapat diperankannya di masyarakat.
Berita

BKKBN GANDENG IBI DAN IDI DEMI CAPAI TARGET MDGS 2015

Hits: 3623 | Ditulis pada: 19/04/2013 00:00

BKKBN, Jakarta, 11 April 2013 - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Kemitraan antara
BKKBN dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) pada hari
Kamis - Sabtu, 11 - 13 April 2013 di Hotel Bidakara, Jakarta. Rakornas bertema ”Dengan
Komitmen Bersama IDI dan IBI, Kita Percepat Pembangunan KKB menuju Pencapaian
MDGs 2015” ini dibuka secara resmi oleh Menteri Kesehatan RI dr. Nafsiah Mboi, SpA,
MPH pada Kamis, 11 April 2013. Plt. Kepala BKKBN Dr. Sudibyo Alimoeso, MA
memberikan sambutan selamat datang kepada para peserta Rakornas. Turut hadir dalam
Rakornas kali ini Ketua Umum Pengurus Besar IDI periode 2012-2015 dr. Zaenal Abidin,
MHKes, dan Plt. Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia Dr. Emi Nurjasmi,
MKes.

Sebagai tindak lanjut Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Kependudukan dan
Keluarga Berencana (KKB), yang telah diselenggarakan di Jakarta pada 30 Januari 2013
yang lalu, Rakornas ini diikuti oleh 173 peserta yang terdiri atas para pejabat eselon I dan II
BKKBN, Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi seluruh Indonesia, Pengurus Besar (PB) dan
Pengurus Wilayah (PW) IDI, serta Pengurus Pusat (PP) dan Pengurus Daerah (PD) IBI.
Rakornas ini bertujuan mewujudkan komitmen politis dan operasional program KKB melalui
kemitraan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) untuk
mencapai MDGs 2015. Secara khusus, Rakornas ini mempunyai tujuan mencapai komitmen
operasional dari IDI dan IBI dalam pelaksanaan pembangunan KKB tahun 2013 serta
menjabarkan dan melaksanakan strategi dan langkah-langkah operasional kemitraan
pembangunan KKB tahun 2013. Rakornas membahas materi berikut: Kebijakan dan Strategi
Akselerasi Pembangunan Kependudukan dan KB Nasional Tahun 2013 oleh Deputi Bidang
Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN dr. Julianto Witjaksono, MOG,
SpOG, KFer; Pengaruh Kontrasepsi Hormonal pada Wanita Usia Subur (WUS) Usia di atas
35 tahun oleh perwakilan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI); Pelaporan Dokter dan Bidan Swasta melalui Wireless Application Protocol (WAP)
Gateway oleh Plt. Direktur Pelaporan dan Statistik BKKBN; Round Table Discussion IDI;
dan Program Kerja IBI Tahun 2013 dalam Mendukung Pencapaian KB Menuju Penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB).
Jumlah anak yang meninggal adalah salah satu indikator kesehatan yang sangat penting.
MDG 4 menargetkan penurunan angka kematian anak (AKA) tahun 1990 sebanyak
duapertiganya. Hasil SDKI tahun 1991 menunjukkan bahwa AKA adalah 97 kematian per
1.000 kelahiran hidup. Artinya, target AKA di Indonesia pada tahun 2015 adalah 32 kematian
per 1.000 kelahiran. Hasil sementara SDKI tahun 2012 mengindikasikan bahwa AKA
menurun menjadi 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. AKA mencakup Angka Kematian
Bayi (AKB) di dalamnya. Berdasarkan hasil SDKI tahun 1991, AKB mencapai 68 kematian
per 1.000 kelahiran hidup. Ini berarti pada tahun 2015 diharapkan AKB dapat diturunkan
menjadi 22 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Hasil sementara SDKI 2012 memperlihatkan
bahwa AKB menurun menjadi 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Diperkirakan pada
tahun 2015 target AKA dan AKB akan dapat dicapai.

Sementara itu, salah satu target MDG 5 adalah menurunkan AKI atau maternal mortality ratio
(MMR) hingga tiga perempatnya dari tahun 1990. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1991, AKI adalah 390 kematian per 100.000 kelahiran
hidup. Dengan demikian, target AKI di Indonesia pada tahun 2015 adalah 102 kematian per
100.000 kelahiran hidup. Namun, hasil SDKI tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI baru
dapat diturunkan menjadi 228 kematian per 100.000 kelahiran hidup. Ini berarti diperlukan
upaya keras semua pihak untuk mencapai target tersebut.

Seharusnya, kelahiran adalah peristiwa yang membahagiakan. Namun, seringkali proses


melahirkan berubah menjadi tragedi. Diperkirakan sekitar 20.000 perempuan di Indonesia
meninggal setiap tahun akibat komplikasi dalam persalinan (Staker 2008). Padahal,
sebetulnya hampir semua penyebab kematian ibu tersebut dapat dicegah.

Dalam upaya penurunan AKI, bidan mempunyai peran yang sangat strategis. Hal ini
dikarenakan bidan mempunyai kapasitas untuk memudahkan akses pelayanan persalinan,
promosi dan pendidikan/konseling kesehatan ibu dan anak, serta melakukan deteksi dini pada
kasus-kasus rujukan terutama di perdesaan. Selain itu, bersama-sama dengan dokter, bidan
mempunyai peran dalam meningkatkan tingkat pemakaian KB sebagai tindakan preventif
terutama bagi wanita dengan resiko 4 (empat) terlalu, yaitu terlalu muda (usia di bawah 20
tahun), terlalu tua (usia di atas 35 tahun), terlalu dekat (jarak kelahiran antara anak yang satu
dengan yang berikutnya kurang dari 2 tahun), dan terlalu banyak (mempunyai anak lebih dari
2). Pendidikan/konseling KB yang dilakukan oleh dokter maupun bidan akan signifikan
dalam menggugah kesadaran masyarakat untuk ber-KB karena pada umumnya masyarakat
lebih mempercayai dokter atau bidan.

Dalam upaya peningkatan pemakaian KB, dokter maupun bidan wajib memberikan informed
choice sebelum calon peserta membuat keputusan dan memilih alat kontrasepsi. Selain
memudahkan calon peserta untuk memilih alat kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi kesehatan mereka, pemberian informed choice juga secara signifikan dapat
mencegah drop out pemakaian kontrasepsi sehingga dapat meningkatkan jumlah peserta KB
aktif (PA).

BKKBN meminta peran serta bidan dan dokter untuk mempromosikan pemakaian metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP), yang terdiri atas implan, IUD, tubektomi, dan
vasektomi. Berdasarkan hasil sementara SDKI 2012, suntik dan pil adalah dua alat
kontrasepsi yang paling populer sedangkan tingkat pemakaian MKJP hanya 10,6% atau
menurun dari 10,9% (SDKI 2007). Padahal, MKJP adalah alat kontrasepsi yang paling efektif
dan efisien.

Salah satu faktor yang dianggap mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi adalah citra
(image) dan persepsi negatif terhadap salah satu alat kontrasepsi. Misalnya, adanya isu bahwa
minyak pelumas kondom menimbulkan gatal-gatal pada alat reproduksi wanita. Karena itu,
diperlukan edukasi, khususnya oleh tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan
calon peserta KB, agar pemilihan alat kontrasepsi menjadi rasional sesuai tujuan (untuk
menunda, menjarangkan, atau membatasi kehamilan) maupun kondisi kesehatan calon
peserta KB yang bersangkutan.
Masalah lain yang sering dihadapi dalam upaya peningkatan pemakaian KB adalah
keterbatasan jumlah tenaga kesehatan yang terlatih untuk melakukan prosedur medis
pelayanan MKJP dan ketersediaan sarana penunjang pelayanan KB MKJP. Untuk mengatasi
masalah ini, sampai tahun 2012, BKKBN telah melakukan pelatihan Contraceptive
Technology Update (CTU) kepada sebanyak 8.425.000 bidan dan 3.024.000 dokter. Pada
tahun 2013 BKKBN menargetkan untuk memberikan pelatihan CTU kepada sebanyak 6.129
bidan dan 384 dokter.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, pada tanggal 18 Januari 2013 yang lalu Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang
Jaminan Kesehatan. Dalam Perpres ini dinyatakan bahwa pelayanan KB merupakan bagian
dari manfaat pelayanan promotif dan preventif. Pelayanan KB tersebut meliputi konseling,
kontrasepsi dasar, vasektomi, dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi
keluarga berencana. Bidan dan dokter akan menjadi mitra kerja BKKBN dalam pelaksanaan
pelayanan KB sebagai bagian dari jaminan kesehatan bagi semua warga negara Indonesia.

Penyelenggaraan jaminan kesehatan semesta (disingkat jamkesta, universal health coverage)


oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) direncanakan untuk diimplementasikan
mulai tanggal 1 Januari 2014. Namun, pemberlakuan jamkesta ini akan membawa implikasi
bagi BKKBN dalam hal penyediaan alat kontrasepsi gratis. Hal ini dikarenakan selama ini
BKKBN menyediakan alat kontrasepsi gratis hanya bagi pasangan usia subur (PUS) dari
kelompok prakeluarga sejahtera (pra-KS) dan keluarga sejahtera I (KS I) atau keluarga
miskin (gakin). Padahal, dalam Perpres di atas disebutkan bahwa Peserta Jaminan Kesehatan
adalah Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan (meliputi orang yang tergolong
fakir miskin dan orang tidak mampu) dan bukan PBI Jaminan Kesehatan (merupakan peserta
yang tidak tergolong fakir miskin dan orang yang tidak mampu). Dengan demikian, alat
kontrasepsi gratis akan harus diberikan kepada seluruh masyarakat, termasuk seluruh PUS
dari berbagai status sosial ekonomi. Implikasi ini harus segera disikapi dan ditanggapi oleh
BKKBN dengan merumuskan kebijakan dan langkah strategis sekaligus mencermati tugas
dan fungsi BKKBN sebagaimana yang ditetapkan dalam Perpres terkait.
Dapat disimpulkan bahwa kemitraan antara BKKBN dengan IDI dan IBI dalam jangka
pendek ditujukan untuk mengoptimalkan akses dan kualitas pelayanan KB dan KR bagi
masyarakat. Dalam jangka panjang, kemitraan BKKBN dengan IDI dan IBI ini diharapkan
akan mampu membantu pencapaian target MDG menurunkan AKI, AKA, dan AKB, serta
mendukung pencapaian terwujudnya keluarga kecil bahagia sejahtera untuk mencapai
penduduk tumbuh seimbang
Ancaman Target MDG: Angka Kematian Ibu Melonjak Drastis
Admin Sep 27th, 2013 0 Comment

JAKARTA, KOMPAS — Pencapaian tujuan milenium di Indonesia terancam tingginya


angka kematian ibu. Pada Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007, angka kematian
ibu 228 per 100.000 kelahiran hidup. Survei yang sama tahun 2012 menunjukkan 359 per
100.000 kelahiran hidup.

Hasil survei itu diluncurkan dalam Temu Nasional Program Kependudukan dan Keluarga
Berencana dalam rangka Hari Kontrasepsi Sedunia 2013, di Jakarta, Rabu (25/9). Survei
dilaksanakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Badan
Pusat Statistik (BPS) per empat tahun.

Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian ibu (AKI)
per 100.000 kelahiran hidup menurun secara bertahap, dari 390 (1991) menjadi 334 (1997),
307 (2003), dan 228 (2007). Tahun 2012 untuk pertama kalinya AKI melonjak.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono mengatakan, dengan kondisi itu,
perjuangan mencapai target MDG makin berat. Target MDG 2015, AKI ditekan menjadi 102
per 100.000 kelahiran hidup.

Selain AKI, angka kematian bayi (AKB) masih jauh dari target MDG. SDKI 2012
menyebutkan, AKB 32 per 1.000 kelahiran hidup, turun sedikit dibandingkan 2007, yaitu 34
per 1.000 kelahiran hidup. Target MDG AKB 23 per 1.000 kelahiran hidup.

Menurut Agung, AKI dan AKB berkait erat dengan program keluarga berencana (KB). Ia
menilai, program KB kurang didukung pemerintah daerah. ”Upaya (penurunan) AKI dan
AKB menjadi utang program kita mengingat MDG akan berakhir tahun 2015,” ujar Agung.

Kepala BKKBN Fasli Jalal mengatakan, SDKI bukan satu-satunya rujukan data AKI. ”Tahun
2010, untuk pertama kalinya Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS mengambil data
AKI. Hasilnya, AKI 259 per 100.000 kelahiran hidup. Data ini lebih valid karena langsung
dari rumah ke rumah dan ada verifikasinya. SDKI 2012 menjadi pembanding,” ujarnya.

Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti mengatakan, AKI di Indonesia salah satu yang
tertinggi di Asia. Upaya menekan AKI untuk memenuhi target MDG adalah pekerjaan berat.

Menurut Ali Ghufron, tingginya AKI terutama akibat keterlambatan penanganan kehamilan.
Untuk menekan AKI dan AKB, pemerintah melakukan terobosan, di antaranya integrasi
program jaminan persalinan dengan program KB dan Jaminan Kesehatan Nasional pada
2014. Kemenkes juga melakukan program promotif kesehatan reproduksi sejak usia remaja.

”Pemerintah saat ini memfokuskan upaya perbaikan layanan primer sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan. Kami akan mewajibkan dokter di pelayanan primer untuk membantu
persalinan,”
PENINGKATAN PERAN DAN FUNGSI FKD DALAM PENURUNAN AKI, AKB DAN
PERMASALAHAN KESEHATAN JIWA (PASUNG) DI KABUPATEN PEMALANG
administrator

Pembangunan kesehatan merupakan upaya mencapai


perwujudan sehat sebagai hak azasi rakyat dan merupakan investasi bagi pembangunan
nasional. Saat ini, tantangan dan masalah kesehatan yang memerlukan perhatian dalam
penanganannya, antara lain tingginya angka kematian ibu dan bayi, gizi buruk, tingginya
angka kesakitan/ kematian penyakit menular tertentu dan masalah kesehatan jiwa.

Angka Kematian Ibu (AKI) di Jawa Tengah pada 3 (tiga) tahun terakhir menunjukkan adanya
kecenderungan yang relatif meningkat yaitu 117,02/100.000 (2009), 104,97/100.000 (2010)
dan 116,01/100.000 kelahiran hidup. Sementara tahun 2013, triwulan I AKI mencapai 174
kasus. Berdasarkan riskesdas 2007, di Provinsi Jawa Tengah terdapat 3,3 % dari jumlah
penduduknya yang berusia diatas 15 tahun mengalami gangguan jiwa berat (74.804 orang)
dan 1.15 % nya yang dipasung oleh keluarganya (860 orang). Memperhatikan masalah AKI
dan Kesehatan Jiwa/Pasung, dibuat program Jawa Tengah bebas Pasung,
penguatan/revitalisasi posyandu, Kelas Ibu Hamil, Pengembangan Desa Siaga.

Jumlah kematian ibu di Kabupaten pemalang pada tahun 2012 sebanyak 35 jiwa, di tahun
2013 sampai bulan Juli jumlah kematian ibu sebanyak 18 jiwa. Sedangkan jumlah gangguan
jiwa sebanyak 813 jiwa di tahun 2012. Pada tahun 2013 sampai bulan Juli jumlahnya masih
sama dengan tahun 2012 yaitu sebanyak 813 jiwa. Sedangkan angka pasung di Kab.
Pemalang pada tahun 2013 sampai bulan Agustus sebanyak 31 jiwa.

Desa/Kelurahan siaga aktif merupakan sarana yang dapat diberdayagunakan oleh semua
program kesehatan guna mewujudkan masyarakat sehat secara mandiri. Masyarakat mampu
melakukan identifikasi, deteksi dini dan mampu melaksanakan upaya pemecahan masalah
kesehatan dan pencegahan/ penanggulangan faktor risiko secara dini.

Masayarakat tahu tentang masalah/faktor risiko kematian ibu dan kesehatan jiwa serta
mampu mengambil peran dalam penanganan masalah tersebut. Forum Kesehatan Desa/
Kelurahan sebagai motor penggerak desa siaga harus mampu melakukan peran dan fungsinya
untuk mewujudkan kemandirian masyarakat dalam memelihara dan meningaktkan
kesehatannya. Kondisi Desa Siaga di Kab. Pemalang dari 222 desa sudah 100% menjadi
Desa Siaga Aktif, yang membedakan adalah strata Desa Siaga. Strata Desa Siaga di Kab.
Pemalang tahun 2012, strata pratama 61,71 %, madya 31,08 %, purnama 6,76 % dan mandiri
0,45 %.
Dalam rangka ntuk meningkatkan pengetahuan, kemauan FKD dan masyarakat pengurus
FKD/FK bersama masyarakat dalam melakukan upaya deteksi dini faktor risiko kematian
ibu/ bayi dan kesehatan jiwa/ pasung serta upaya penanganannya di wilayah desa/ keluarga
sedini mungkin maka dari hari Senin sampai dengan Selasa 26 - 27 Agustus 2013 di Aula
Dinas Kesehatan KAbupaten Pemalang diselenggarakan " Peningkatan Peran dan Fungsi
Forum Kesehatan Desa/ Kelurahan Siaga dalam rangka Penurunan AKI/AKB dan
Masalah Kesehatan Jiwa/ Pasung Tahun 2013". Pertemuan yang diikuti 60 peserta yang
terdiri atas Kepala Desa, Ketua FKD, Ketua BPD, Pengurus FKD, Petugas Promkes
Puskesmas dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi dan role play.

Diharapkan setelah pelatihan FKD beserta pengurusnya dapat lebih baik dalam membangun
kulitas hidup sehat di desa sehinnga masyarakat semakin mengerti pentingnya deteksi dini
pada kasus penurunan AKI dan AKB dan masalah kesehatan jiwa

Anda mungkin juga menyukai