MAKALAH
PERKEMBANGAN INDUSTRI AYAM LAYER
OLEH:
Nama : Nirwana
Nim : I11116013
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya, sehinga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Perkembangan Industri Ayam Layer
Makalah ini merupakan salah satu mata tugas kuliah yang wajib ditempuh
Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik
pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat
penulis harapkan.
Penulis
DAFTAR ISI
SAMPUL............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR....................................................................................... ii
PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................... 1
PEMBAHASAN
PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................. 12
Latar Belakang
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil
telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan
dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia
diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena
ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam
seleksi tadi mulai spesifik. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan
ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi
juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam
petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam
petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat
baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur
unggul.
Prospek usaha peternakan ayam ras petelur di Indonesia dinilai sangat baik dilihat dari
pasar dalam negeri maupun luar negeri, jika ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Di sisi
penawaran, kapasitas produksi peternakan ayam ras petelur di Indonesia masih belum mencapai
kapasitas produksi yang sesungguhnya (Abidin, 2003). Hal ini terlihat dari masih banyaknya
perusahaan pembibitan, pakan ternak, dan obat-obatan yang masih berproduksi di bawah
kapasitas terpasang. Artinya, prospek pengembangannya masih terbuka. Di sisi permintaan, saat
ini produksi telur ayam ras baru mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar 65%. Sisanya
dipenuhi dari telur ayam kampung, itik, dan puyuh.
Iklim perdagangan global yang sudah mulai terasa saat ini, semakin memungkinkan
produk telur ayam ras dari Indonesia untuk ke pasar luar negeri, mengingat produk ayam ras
bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan per kapita per tahun dari suatu negara.
BAB II
PEMBAHASAN
Sementara itu, produksi bibit ayam ras (DOC FS) layer pada triwulan pertama tahun 2008
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007 terjadi penurunan dari produksi DOC FS
0.73 juta ekor per minggu menjadi 0.70 juta ekor per minggu atau terjadi penurunan sebesar 4.1
%. Penurunan ini disebabkan karena penundaan masyarakat untuk mengganti ternak ayam layer.
Hal ini disebabkan karena melonjaknya harga penunjang seperti pakan yang tidak sebanding
dengan harga telur. Turunnya minat masyarakat peternak tersebut juga didukung oleh data
jumlah pemasukan Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS) tahun 2007 yang lebih
rendah dibanding tahun 2006.
Produksi bibit ayam ras (DOC FS) layer mengalami peningkatan pada triwulan kedua
tahun 2009 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2008 sama besar yaitu sejumlah 1,55
juta ekor/minggu. Kondisi ini disebabkan karena sikap keragu-raguan dari peternak untuk
meningkatkan demand terhadap DOC FS layer membuat para pembibit masih menahan
produksinya.
Pada triwulan kedua tahun 2009 tercatat pemasukan PS layer sebesar 51.660 ekor, sedangkan
pada triwulan kedua tahun 2008 tidak ada pemasukan PS layer. Para pembibit PS layer optimis
Strategi Perkembangan Industri Ayam Layer
Langkah pertama yang harus ditempuh dan harus dilakukan bersama adalah
mengorganisasikan dan melaksanakan promosi/kampanye gizi hasil unggas secara berkelanjutan.
Selama ini sebagai bagian penting dari edukasi pasar, promosi/kampanye mengenai pentingnya
mengonsumsi telur dan daging ayam untuk kesehatan dan kecerdasan nyaris tidak pernah
dilakukan. Bandingkan dengan intensif dan maraknya promosi rokok, minuman penyegar,
bumbu masak yang rajin muncul di media publik dalam rangka membina konsumen.
Langkah kedua, yang dalam jangka dekat ke depan harus didorong pencapaiannya adalah
membangun industri tepung telur. Hal ini penting agar industri perunggasan di Indonesia,
khususnya peternakan ayam petelur, akan dapat berperan untuk meningkatkan penyerapan
komoditas telur, menstabilkan harga telur, dan pasti akan mendorong peningkatan produksi telur.
Pemerintah harus mengambil perannya yang aktif dalam upaya mewujudkan dibangun dan
beroperasinya pabrik tepung telur baik dalam perannya sebagai pemberi/penyedia fasilitas
maupun dalam peran pendampingan aspek bisnisnya, mengingat akan cukup pentingnya
perangkat yang satu ini bagi keberlangsungan usaha perunggasan di Indonesia dan dengan
demikian juga kepastian bagi peternak terbebas dari ancaman sulitnya pemasaran hasil
peternakan. Peluang pun tersedia bagi investor asing maupun dalam negeri untuk masuk dan
menstabilkan harga telur dan meningkatkan produksi telur sehingga menurunkan biaya produksi
dan harga jual yang pasti akan menjamin berkembang sehatnya usaha budidaya ayam petelur.
Langkah ketiga adalah meningkatkan efisiensi dalam industri peternakan ayam petelur
dan mendorong peningkatan kualitas produk telur yang dihasilkan. Salah satu cara untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas telur adalah dengan memanfaatkan kandang close house
yang telah banyak digunakan pada ayam broiler. Penggunaan kandang close house untuk ayam
petelur belum banyak berkembang di Indonesia. Kandang closed house adalah sebuah kandang
yang digunakan untuk tempat hidup ayam selama masa pemeliharaan. Hanya saja sarana yang
ada di dalam kandang tersebut seluruhnya menggunakan bahan yang serba modern dan otomatis
tanpa banyak campur tangan manusia secara langsung. Aktivitas di dalam kandang tersebut
memang hanya memberi pakan, memberi minum, menjaga kesehatan ayam, tetapi semua
aktivitas ini dikerjakan oleh mesin secara otomatis yang dirancang sesuai dengan tujuan
pemeliharaan itu. Di daerah Jawa Timur terdapat kandang closed house ayam petelur yang berisi
ayam sebanyak 36.000 ekor dan 54.000 ekor per unitnya. Untuk memenuhi membangun kandang
close house beserta fasilitas penunjang secara kasar biaya untuk membangun kandang tersebut
tidak kurang dari Rp. 50.000,- per ekornya. Bila angka ini dikalikan dengan populasi per
kandang yang 36.000 ekor atau 54.000 ekor, maka akan didapat angka Rp. 1,8 milyar dan Rp.
2,7 milyar harga per unit kandang closed house.
Hasil dari analisa performance produktifitas ayam petelur di kandang closed house yang
berada di Jawa Timur. Peternakan di bawah bimbingan perusahaan penyedia sarana produksi
ternak. Analisa performance dilakukan dengan rentang umur 20 hingga 80 minggu berdasarkan
tanggal DOC masuk saat pemeliharaan. Perbandingan performance dibandingkan dengan standar
salah satu strain ayam komersial yang ada di Indonesia. Pullet (ayam yang siap bertelur) berasal
dari salah satu perusahaan penyedia bibit ayam siap telur yang ada di Pulau Jawa yang dibawa ke
kandang pada umur 16 minggu. Pakan menggunakan pakan komplit sesuai dengan kebutuhan
nutrisi tiap fase umurnya sejak fase grower, early production, peak production dan end
production. Pakan tersebut telah dirancang sesuai dengan tipikal ayam petelur di daerah tropis
dengan prinsip cafetaria feeding. Pemberian pakan bukan ad-libitum (sepuasnya) melainkan
dibatasi sesuai dengan petunjuk dari strain komersial yang maksimal hanya 115 hingga 117
gr/ekor/hari. Pemberian air minum dilakukan secara ad-libitum menggunakan nipple dan saat re-
vaksinasi ND dan IB menggunakan paralon di bawah nipple. Secara kumulatif, tiap ekor ayam
tersebut mampu berproduksi telur sebanyak 336 butir setara dengan 21,3 kg telur dengan
konsumsi pakan 47,2 kg, dan kematian 3,57% (umur 20-80 minggu). Padahal standarnya adalah
350 butir setara dengan 22,1 kg telur dengan konsumsi pakan 47,4 kg , dan kematian 6,8% (umur
20-80 minggu).
Sehingga FCR (Feed Covertion Ransum) kumulatifnya adalah 2,21 dari standarnya 2,14.
Bahkan produksi telur mencapai 336 butir setara dg 21,3 kg telur merupakan sebuah pencapaian
yang luar biasa mengingat itu terjadi pada populasi sebanyak 15.000 ekor. Tingginya
produktifitas ini akibat rendahnya tingkat kematian dan stabilitas produksi yang baik. Rendahnya
kematian dan stabilnya produktifitas ini akibat kondisi microclimate dari kandang closed house
yang mendekati comfort zone bagi ayam. Tingginya produktifitas dan rendahnya FCR ayam
petelur di kandang closed house otomatis menekan biaya produksi per kg telur. Rendahnya biaya
produksi telur akan melindungi dari ketidakstabilan harga jual telur yang sering terjadi.
Tingginya investasi dan operasioanl listrik kandang closed house mendapat kompensasi dari
tingginya produktifitas ayam. Bila menggunakan prinsip studi kelayakan proyek, maka kandang
closed house ayam petelur adalah pilihan yang tepat. Tingginya investasi awal kandang closed
house sebetulnya berkontribusi kecil pada per unit telur yang dihasilkan karena umur pakai
kandang yang sangat panjang. Jangan sampai mahalnya investasi menutupi potensi profit yang
sangat mungkin akan raih di masa depan. Bicara untung dan rugi pada closed house ayam petelur
sebaiknya menggunakan prinsip studi kelayakan proyek dengan melibatkan variabel-variabel di
dalamnya (NPV, BCR, IRR, Pay Back Period). Dengan prinsip tersebut studi kelayakan proyek
maka closed house ayam petelur akan feasible (mungkin) dalam sudut pandang perbankan
sebagai sebuah aktivitas investasi yang menguntungkan. (Sofyan,
http://unggasindonesia.wordpress.com/)
Produk pertanian yang menunjang industri perunggasan di Indonesia, yaitu bahan baku
pakan seperti jagung dan bungkil kedele dari negara-negara pemasok seperti USA, Argentina,
Brazil, Peru, Chili, dan negara lainnya, masih tetap cukup dan aman untuk diimpor ke Indonesia.
Demikian pula halnya dengan Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS). Diharapkan
pada tahun-tahun ke depan nanti, negara-negara bersangkutan tetap stabil dari segi politik dan
keamanan, sehingga tidak mengganggu kegiatan impor dan ekspor bahan baku pakan dan bibit.
Namun, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa peningkatan produksi tetap tidak dapat berjalan
mulus. Banyak hal yang perlu diwaspadai di samping peran aspek ekonomi, politik dan
keamanan tadi, salah satunya keberadaan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit
pada ternak. Indonesia merupakan negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang diduga dapat
mendukung pertumbuhan berbagai macam mikroorganisme, apakah yang bersifat patogen
ataupun yang non patogen. Kehadiran mikroorganisme ini jelas dapat mengganggu pertumbuhan
ternak yang dipelihara, bahkan kehadirannya dapat menimbulkan kematian bila tak tertangani
dengan baik.
Menurut Prof. Drh. Charles Rangga Tabbu MSc PhD, mikroorganisme dapat tumbuh di
bagian manapun di lokasi peternakan. Mulai dari lantai kandang, celah-celah lantai kandang, di
permukaan tempat makan dan tempat minum, bagian parsial atau permukaan bahan-bahan
bangunan kandang ataupun dari anak kandang yang menangani atau yang menjadi operator
kandang selama proses produksi. Mikroorganisme masuk dan keluar dari lokasi peternakan tanpa
dapat diketahui oleh peternak. Indikasi awal yang dapat dijadikan dasar bahwa kandang telah
terpapar mikroorganisme adalah munculnya tanda-tanda penyakit, baik gejala umum maupun
tanda-tanda khusus yang mencirikan kepada jenis peyakit tertentu. Penyakit yang sering muncul
di usaha peternakan adalah dari kelompok penyakit viral seperti ND, Gumboro dan penyakit
viral lainnya. Namun penyakit lain misalnya penyakit bakteri, parasit dan jamur juga tetap
menjadi perhatian utama. Hal ini mengingat kondisi wilayah Indonesia dengan dua musimnya,
yakni musim hujan dan musim kemarau atau pada saat peralihan kedua musim tersebut. Sejauh
ini, peran penyakit bakteri, parasit dan jamur masih dipandang strategis dalam mengurangi nilai
akhir berupa laba atau untung dari usaha peternakan. Untuk menekan kerugian yang disebabkan
oleh mikroorganisme tersebut maka diperlukan kewaspadaan peternak terkait masuknya bibit
penyakit ke lokasi usaha peternakannya. Bila dipelajari rentetan kasus penyakit ayam pada tahun
2009 sampai tahun 2010, kasus terbesar pada ayam petelur masih seputar penyakit korisa, ND
dan kolera. Ketiga penyakit ini menurut Prof. Charles menduduki posisi tiga besar dalam
menimbulkan kerugian pada peternak ayam petelur.
Sementara itu, untuk penyakit AI, peternak tetap diminta waspada melalui penerapan
tatalaksana pemeliharaan maupun pelaksanaan vaksinasi secara tepat, baik tepat waktunya
maupun tepat dosisnya. Selain itu, peternak jangan sampai mengesampingkan pelaksanaan
program biosekuriti secara ketat dan menyeluruh di lokasi usaha peternakannya. Perhatian
peternak sebaiknya bukan tertuju semata pada kasus penyakit AI, namun untuk kasus penyakit
lainnya, penanganan yang menyeluruh hendaknya juga diterapkan.
Populasi ayam petelur di Indonesia dapat dipantau adalah dengan cara melakukan
kontrol terhadap jumlah ayam berumur sehari (DOC) yang dipasok oleh perusahaan.
Berdasarkan berbagai sumber seperti Majalah Poultry Indonesia dan Direktorat Pembibitan
Ditjennak semua strain komersial tersebut angka produksi DOC mencapai 1,7 juta ekor/minggu.
Setelah dikurangi 10% kematian dapat diperkirakan jumlah ayam petelur di Indonesia adalah
122,4 juta ekor ayam petelur umur 1-80 minggu. Dari 122,4 juta ekor tersebut 80% diantaranya
merupakan ayam dalam masa produktif yaitu sebanyak 91.8 juta ekor. Tiap ekor ayam petelur
diperkirakan mampu bertelur sebanyak 300 butir setara dengan 19 kg dalam rentang waktu 1
tahun atau 365 hari. Jadi total produksi telur adalah 91,8 juta ekor ayam petelur dikalikan 300
butir/ekor/tahun adalah 27.540 juta butir atau 27,54 milyar butir telur atau setara dengan 91,8
juta ekor ayam petelur dikalikan 19 kg telur/ekor = 1.744,2 juta kg telur alias 1,74 milyar kg telur
dalam setahun.
Populasi penduduk Indonesia adalah sekitar 241 juta jiwa dan apabila diasumsikan setiap
penduduk di Indonesia mengkonsumsi telur maka produksi 27.540 juta butir telur dibagi dengan
241 juta penduduk Indonesia didapat angka 114 butir telur/kapita/tahun. Produksi 1.744,2 juta
kg telur dibagi 241 juta penduduk Indonesia didapat angka 7,4 kg telur/kapita/tahun. 1,74 milyar
kg telur Indonesia naik dari 0,89 milyar kg telur (1,5% dari produksi telur dunia yang mencapai
59,2 milyar kg) pada tahun 2005 (Total produksi telur dunia 59,2 milyar kg dan 60% nya
diproduksi dari Asia (China 41, 1%, India 4,2%, Jepang 4,2% dan Indonesia hanya 1,5%).
(http://www.incredibleegg.org/kids-and-family/holiday-and-special-occassions/world-egg-
day/global-egg-statistics).
Penduduk Indonesia merupakan keempat terbesar setelah China, Amerika Serikat dan
India, tetapi produksi telurnya bukan keempat terbesar di dunia. Idealnya, 1 ekor ayam petelur
sama dengan 1 jiwa populasi penduduk. Artinya Indonesia harusnya memiliki ayam petelur
sebanyak minimal 241 juta ekor, dan saat ini masih 91,8 juta ekor. Butuh double populasi untuk
menyamai populasi ayam petelur dengan populasi penduduk Indonesia. Di sinilah peluang bisnis
masih terbuka 59,2 milyar kg telur adalalah produksi dunia tahun 2005, dan target tahun 2030
adalah 89 milyar kg telur.
Target produksi telur nasional tahun ini suatu saat sangat mungkin bisa tercapai. Apalagi,
populasi ternak unggas terus meningkat. Kenaikan produksi telur ini karena ada kenaikan
populasi ayam petelur. Kenaikan populasi ternak unggas ini juga akan berimbas pada kenaikan
konsumsi pakan ternak. Padahal, sejak tahun lalu harga pakan ternak mengikuti kenaikan harga
bahan baku ternak seperti jagung dan bungkil kedelai yang memang naik akibat pasokan
terbatas. Sementara itu, tahun ini harga pakan ternak sepertinya tidak ada tanda penurunan.
Bahkan, kenaikan harga pakan nampaknya akan terus berlanjut karena per 22 Desember 2010
lalu Kementerian Keuangan memberlakukan bea masuk bahan baku pakan ternak sebesar 5%.
Aturan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 241 tahun 2010.
Kesimpulan
Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola
kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain
selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa
Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Selain itu, industri
peternakan ayam juga menghadapi permasalahan kenaikan harga pakan dan biaya produksi yang
diikuti dengan kenaikan harga ayam hidup. Hal ini terkait dengan daya beli masyarakat yang
sangat tergantung terhadap pendapatan. Sejauh ini daya beli masyarakat terhadap produk
perunggasan dalam pemenuhan gizi (protein hewani) masih rendah dibandingkan dengan gaya
hidup masyarakat yang sangat konsumtif. Langkah pertama yang harus ditempuh dan harus
dilakukan bersama adalah mengorganisasikan dan melaksanakan promosi/kampanye gizi hasil
unggas secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Iriyanti,N., M. Mufti dan T . Widiyastuti . 2007 . Manipulasi Pakan Dengan Imunostimulan
Probiotik Dan Prebiotik Terhadap Tampilan Sistem Immunologik Berdasarkan
Profil Darah Dan Mikroba Saluran Pencernaan Ayam Petelur, Laporan
Penelitian DIPA Program Pascasarjana Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto.
Irianto, H.E. dan I. Soesilo. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Dan Perikanan.
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia. Cimanggu, Bogor, 21 Nopember 2007.