Anda di halaman 1dari 16

Tugas Individu

Ilmu Ternak Unggas

MAKALAH
PERKEMBANGAN INDUSTRI AYAM LAYER

OLEH:

Nama : Nirwana

Nim : I11116013

Kelas : Peternakan A1 (Ganjil)

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunianya, sehinga penulis dapat menyelesaikan
Makalah Perkembangan Industri Ayam Layer
Makalah ini merupakan salah satu mata tugas kuliah yang wajib ditempuh

di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makalah ini disusun sebagai

pelengkap tugas dari Mata Kuliah Ilmu Ternak Unggas .

Dengan selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak

yang telah memberikan masukan-masukan kepada penulis. Untuk itu penulis

mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari makalah ini, baik

dari materi maupun teknik penyajiannya mengingat kurangnya pengetahuan dan

pengalaman penulis. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat

penulis harapkan.

Makassar, 14 Februari 2018

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL............................................................................................................ i

KATA PENGANTAR....................................................................................... ii

DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang ....................................................................................... 1

PEMBAHASAN

Perkembangan Ayam Layer di Indonesia............................................ 2


Perkembangan Industri Ayam Layer................................................... 4
Strategi Perkembangan Industri Ayam Layer..................................... 5
Industri Peternakan Unggas Peterlur di Indonesia............................. 11

PENUTUP

Kesimpulan............................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 13


BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Ayam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa yang dipelihara khusus untuk diambil
telurnya. Asal mula ayam unggas adalah berasal dari ayam hutan dan itik liar yang ditangkap dan
dipelihara serta dapat bertelur cukup banyak. Tahun demi tahun ayam hutan dari wilayah dunia
diseleksi secara ketat oleh para pakar. Arah seleksi ditujukan pada produksi yang banyak, karena
ayam hutan tadi dapat diambil telur dan dagingnya maka arah dari produksi yang banyak dalam
seleksi tadi mulai spesifik. Ayam yang terseleksi untuk tujuan produksi daging dikenal dengan
ayam broiler, sedangkan untuk produksi telur dikenal dengan ayam petelur. Selain itu, seleksi
juga diarahkan pada warna kulit telur hingga kemudian dikenal ayam petelur putih dan ayam
petelur cokelat. Persilangan dan seleksi itu dilakukan cukup lama hingga menghasilkan ayam
petelur seperti yang ada sekarang ini. Dalam setiap kali persilangan, sifat jelek dibuang dan sifat
baik dipertahankan (“terus dimurnikan”). Inilah yang kemudian dikenal dengan ayam petelur
unggul.
Prospek usaha peternakan ayam ras petelur di Indonesia dinilai sangat baik dilihat dari
pasar dalam negeri maupun luar negeri, jika ditinjau dari sisi penawaran dan permintaan. Di sisi
penawaran, kapasitas produksi peternakan ayam ras petelur di Indonesia masih belum mencapai
kapasitas produksi yang sesungguhnya (Abidin, 2003). Hal ini terlihat dari masih banyaknya
perusahaan pembibitan, pakan ternak, dan obat-obatan yang masih berproduksi di bawah
kapasitas terpasang. Artinya, prospek pengembangannya masih terbuka. Di sisi permintaan, saat
ini produksi telur ayam ras baru mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri sebesar 65%. Sisanya
dipenuhi dari telur ayam kampung, itik, dan puyuh.
Iklim perdagangan global yang sudah mulai terasa saat ini, semakin memungkinkan
produk telur ayam ras dari Indonesia untuk ke pasar luar negeri, mengingat produk ayam ras
bersifat elastis terhadap perubahan pendapatan per kapita per tahun dari suatu negara.

BAB II
PEMBAHASAN

Perkembangan Ayam Layer di Indonesia


Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola
kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain
selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa
Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Ayam liar ini kemudian
dinamakan ayam lokal yang kemudian disebut ayam kampung karena keberadaan ayam itu
memang di pedesaan. Sementara ayam orang Belanda disebut dengan ayam luar negeri yang
kemudian lebih akrab dengan sebutan ayam negeri (kala itu masih merupakan ayam negeri galur
murni).
Ayam yang pertama masuk dan mulai diternakkan pada periode ini adalah ayam ras
petelur white leghorn yang kurus dan umumnya setelah habis masa produktifnya. Antipati orang
terhadap daging ayam ras cukup lama hingga menjelang akhir periode 1990-an. Ketika itu mulai
merebak peternakan ayam broiler yang memang khusus untuk daging, sementara ayam petelur
dwiguna/ayam petelur cokelat mulai menjamur pula..
Ayam kampung memang bertelur dan dagingnya memang bertelur dan dagingnya dapat
dimakan, tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai ayam dwiguna secara komersial-unggul.
Penyebabnya, dasar genetis antara ayam kampung dan ayam ras petelur dwiguna ini memang
berbeda jauh. Ayam kampung dengan kemampuan adaptasi yang luar biasa baiknya. Sehingga
ayam kampung dapat mengantisipasi perubahan iklim dengan baik dibandingkan ayam ras.
Hanya kemampuan genetisnya yang membedakan produksi kedua ayam ini. Walaupun ayam ras
itu juga berasal dari ayam liar di Asia dan Afrika.
Pengembangan usaha ternak layer (ayam petelur) di Indonesia masih memiliki prospek
yang bagus, terlebih lagi konsumsi protein hewani masih kecil. Sesuai standar nasional,
konsumsi protein per hari per kapita ditetapkan 55 g yang terdiri dari 80% protein nabati dan
20% protein hewani . Hal itu berarti target konsumsi protein hewani sekitar 11 g/hari/perkapita.
Namun yang terjadi, konsumsi protein hewani penduduk Indonesia baru memenuhi 4,7
g/hari/perkapita, jauh lebih rendah dibanding Malaysia, Thailand dan Filipina.
Dalam dunia peternakan, kita tidak asing lagi dengan ayam yang sengaja diternakan
untuk dihasilkan daging atau telurnya, karena sudah banyak peternakan ayam yang menyebar
diseluruh Indonesia bahkan sampai diluar negeri, baik peternkan pabrik ataupun peternakan
individu. Seperti pada peternakan ayam petelur yang kami kunjungi, yang dimana peternakan
tersebut dimiliki individu. Adapun nama pemiliknya yaitu Rochman Hadi, peternakan ini terletak
di daerah Jalan Klogeng Gribig No 22.
Ayam itu sendiri terbagi ke dalam dua jenis yaitu ayam jenis pedaging dan ayam jenis
petelur. Ayam jenis pedaging, pastinya dibudidayakan karena untuk dihasilkan daging dalam
jumlah yang banyak dengan kualitas yang baik, sedangkan ayam petelur dibudidayakan untuk
dihasilkan telur dengan jumlah yang banyak dan kualitas yang baik. Dalam beternak, kita perlu
memperhatikan mulai dari pakan, kandang, penyakit serta pengobatannya, sifat genetikanya, asal
usulnya, vaksinasi dan sebagainya.
Kami melakukan kunjungan atau observasi ke peternak dengan maksut untuk mengetahui
situasi dalam membudidayakan ternak khususnya komoditi ayam petelur, yang dipilih oleh
peternaknya tersebut. Ayam Petelur tersebut dipilih untuk dijadikan pilihan dalam beternak
karena dirasa ayam petelur tersebut mampu untuk menghasilkan telur dalam jumlah yang cukup
dengan waktu yang cepat. Sehingga peternak tersebut memilih komoditi ayam petelur untuk
diternakan.
Dalam hal kandang yang perlu diperhatikan diantaranya yaitu pendirian kandang yang
jauh dari pemukiman, tapi dekat dengan sumber pakan, air, dan pemasaran. Selain itu yang perlu
diperhatikan yaitu mengenai struktur atau desain kandang, bahan kandang yang dipakai,
memperhatikan sanitasi, sirkulasi udara, suhu pada kandang, kapasitas yang baik untuk jumlah
ternak yang dihuni didalamnya.
Dalam hal penyakit pada ayam petelur juga perlu diperhatikan karena sangat penting juga
dalam hal mengawinkan ternaknya, agar anakannya yang dihasilkan nanti dalam kulaitas yang
baik. Penyakit pada ayam umumnya sama, yaitu diantaranya penyakit tetelo, pilek atau flu, cacar
ayam dan sebagainya.
Perkembangan Industri Ayam Layer
Sementara itu, dari sisi produksi terlihat kecenderungan yang meningkat pada produksi
DOC broiler (Daily Old Chick) atau dikenal sebagai ayam pedaging yaitu melonjak menjadi 1,2
juta ekor pada 2008 dari tahun sebelumnya hanya 1,1 juta ekor. Demikian juga dengan produksi
DOC layer atau ayam petelur tercatat naik dari 64 juta ekor pada 2007 menjadi 68 juta ekor pada
2008. Walaupun demikian bukan berarti tidak ada maslah yang dihadapi industri perunggasan.
Hingga pertengahan 2009 pasar dalam negeri mengalami kelebihan pasokan ayam mencapai
27%. Hal ini mengakibatkan harga ayam di pasar lokal menjadi tertekan. Sedangkan pada tahun
sebelumnya kondisi kelebihan pasokan hanya sekitar 5% saja.
Selain itu, industri peternakan ayam juga menghadapi permasalahan kenaikan harga
pakan dan biaya produksi yang diikuti dengan kenaikan harga ayam hidup. Hal ini terkait dengan
daya beli masyarakat yang sangat tergantung terhadap pendapatan. Sejauh ini daya beli
masyarakat terhadap produk perunggasan dalam pemenuhan gizi (protein hewani) masih rendah
dibandingkan dengan gaya hidup masyarakat yang sangat konsumtif.
Walaupun demikian bukan berarti tidak ada masalah yang dihadapi industri perunggasan
penghasil telur. Berdasarkan pada masalah peternak ayam dalam menghadapi ketidakstabilan
harga telur yang berlangsung sejak beberapa tahun lalu, kita melihat ada tiga penyebabnya yang
perlu dicermati untuk memecahkan masalah tersebut. Masalah pertama adalah di beberapa waktu
tertentu terjadinya kelebihan pasokan yang tidak diimbangi penyerapan pasar yang jelas,
sebaliknya diwaktu yang lain pasokan telur berkurang sehingga harga telur naik. Kedua,
rendahnya daya beli masyarakat Indonesia yang mengakibatkan kurangnya daya serap dan
penigkatan produksi terhadap produk peternakan ini. Dan ketiga, terdesaknya pasar telur segar
oleh telur olahan impor dalam bentuk tepung telur yang akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan
industri makanan dan perhotelan karena lebih praktis dan daya tahannya lebih lama. Apabila
ketidakstabilan harga telur tidak cepat diantisipasi dengan menempuh langkah-langkah yang
terencana dan dilakukan secara bersama, maka akan sulit bagi peternak untuk mempertahankan
usaha yang sudah mereka geluti selama ini.

Sementara itu, produksi bibit ayam ras (DOC FS) layer pada triwulan pertama tahun 2008
dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007 terjadi penurunan dari produksi DOC FS
0.73 juta ekor per minggu menjadi 0.70 juta ekor per minggu atau terjadi penurunan sebesar 4.1
%. Penurunan ini disebabkan karena penundaan masyarakat untuk mengganti ternak ayam layer.
Hal ini disebabkan karena melonjaknya harga penunjang seperti pakan yang tidak sebanding
dengan harga telur. Turunnya minat masyarakat peternak tersebut juga didukung oleh data
jumlah pemasukan Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS) tahun 2007 yang lebih
rendah dibanding tahun 2006.
Produksi bibit ayam ras (DOC FS) layer mengalami peningkatan pada triwulan kedua
tahun 2009 dibandingkan dengan periode yang sama pada 2008 sama besar yaitu sejumlah 1,55
juta ekor/minggu. Kondisi ini disebabkan karena sikap keragu-raguan dari peternak untuk
meningkatkan demand terhadap DOC FS layer membuat para pembibit masih menahan
produksinya.
Pada triwulan kedua tahun 2009 tercatat pemasukan PS layer sebesar 51.660 ekor, sedangkan
pada triwulan kedua tahun 2008 tidak ada pemasukan PS layer. Para pembibit PS layer optimis
Strategi Perkembangan Industri Ayam Layer

Langkah pertama yang harus ditempuh dan harus dilakukan bersama adalah
mengorganisasikan dan melaksanakan promosi/kampanye gizi hasil unggas secara berkelanjutan.
Selama ini sebagai bagian penting dari edukasi pasar, promosi/kampanye mengenai pentingnya
mengonsumsi telur dan daging ayam untuk kesehatan dan kecerdasan nyaris tidak pernah
dilakukan. Bandingkan dengan intensif dan maraknya promosi rokok, minuman penyegar,
bumbu masak yang rajin muncul di media publik dalam rangka membina konsumen.
Langkah kedua, yang dalam jangka dekat ke depan harus didorong pencapaiannya adalah
membangun industri tepung telur. Hal ini penting agar industri perunggasan di Indonesia,
khususnya peternakan ayam petelur, akan dapat berperan untuk meningkatkan penyerapan
komoditas telur, menstabilkan harga telur, dan pasti akan mendorong peningkatan produksi telur.
Pemerintah harus mengambil perannya yang aktif dalam upaya mewujudkan dibangun dan
beroperasinya pabrik tepung telur baik dalam perannya sebagai pemberi/penyedia fasilitas
maupun dalam peran pendampingan aspek bisnisnya, mengingat akan cukup pentingnya
perangkat yang satu ini bagi keberlangsungan usaha perunggasan di Indonesia dan dengan
demikian juga kepastian bagi peternak terbebas dari ancaman sulitnya pemasaran hasil
peternakan. Peluang pun tersedia bagi investor asing maupun dalam negeri untuk masuk dan
menstabilkan harga telur dan meningkatkan produksi telur sehingga menurunkan biaya produksi
dan harga jual yang pasti akan menjamin berkembang sehatnya usaha budidaya ayam petelur.
Langkah ketiga adalah meningkatkan efisiensi dalam industri peternakan ayam petelur
dan mendorong peningkatan kualitas produk telur yang dihasilkan. Salah satu cara untuk
meningkatkan efisiensi dan kualitas telur adalah dengan memanfaatkan kandang close house
yang telah banyak digunakan pada ayam broiler. Penggunaan kandang close house untuk ayam
petelur belum banyak berkembang di Indonesia. Kandang closed house adalah sebuah kandang
yang digunakan untuk tempat hidup ayam selama masa pemeliharaan. Hanya saja sarana yang
ada di dalam kandang tersebut seluruhnya menggunakan bahan yang serba modern dan otomatis
tanpa banyak campur tangan manusia secara langsung. Aktivitas di dalam kandang tersebut
memang hanya memberi pakan, memberi minum, menjaga kesehatan ayam, tetapi semua
aktivitas ini dikerjakan oleh mesin secara otomatis yang dirancang sesuai dengan tujuan
pemeliharaan itu. Di daerah Jawa Timur terdapat kandang closed house ayam petelur yang berisi
ayam sebanyak 36.000 ekor dan 54.000 ekor per unitnya. Untuk memenuhi membangun kandang
close house beserta fasilitas penunjang secara kasar biaya untuk membangun kandang tersebut
tidak kurang dari Rp. 50.000,- per ekornya. Bila angka ini dikalikan dengan populasi per
kandang yang 36.000 ekor atau 54.000 ekor, maka akan didapat angka Rp. 1,8 milyar dan Rp.
2,7 milyar harga per unit kandang closed house.
Hasil dari analisa performance produktifitas ayam petelur di kandang closed house yang
berada di Jawa Timur. Peternakan di bawah bimbingan perusahaan penyedia sarana produksi
ternak. Analisa performance dilakukan dengan rentang umur 20 hingga 80 minggu berdasarkan
tanggal DOC masuk saat pemeliharaan. Perbandingan performance dibandingkan dengan standar
salah satu strain ayam komersial yang ada di Indonesia. Pullet (ayam yang siap bertelur) berasal
dari salah satu perusahaan penyedia bibit ayam siap telur yang ada di Pulau Jawa yang dibawa ke
kandang pada umur 16 minggu. Pakan menggunakan pakan komplit sesuai dengan kebutuhan
nutrisi tiap fase umurnya sejak fase grower, early production, peak production dan end
production. Pakan tersebut telah dirancang sesuai dengan tipikal ayam petelur di daerah tropis
dengan prinsip cafetaria feeding. Pemberian pakan bukan ad-libitum (sepuasnya) melainkan
dibatasi sesuai dengan petunjuk dari strain komersial yang maksimal hanya 115 hingga 117
gr/ekor/hari. Pemberian air minum dilakukan secara ad-libitum menggunakan nipple dan saat re-
vaksinasi ND dan IB menggunakan paralon di bawah nipple. Secara kumulatif, tiap ekor ayam
tersebut mampu berproduksi telur sebanyak 336 butir setara dengan 21,3 kg telur dengan
konsumsi pakan 47,2 kg, dan kematian 3,57% (umur 20-80 minggu). Padahal standarnya adalah
350 butir setara dengan 22,1 kg telur dengan konsumsi pakan 47,4 kg , dan kematian 6,8% (umur
20-80 minggu).
Sehingga FCR (Feed Covertion Ransum) kumulatifnya adalah 2,21 dari standarnya 2,14.
Bahkan produksi telur mencapai 336 butir setara dg 21,3 kg telur merupakan sebuah pencapaian
yang luar biasa mengingat itu terjadi pada populasi sebanyak 15.000 ekor. Tingginya
produktifitas ini akibat rendahnya tingkat kematian dan stabilitas produksi yang baik. Rendahnya
kematian dan stabilnya produktifitas ini akibat kondisi microclimate dari kandang closed house
yang mendekati comfort zone bagi ayam. Tingginya produktifitas dan rendahnya FCR ayam
petelur di kandang closed house otomatis menekan biaya produksi per kg telur. Rendahnya biaya
produksi telur akan melindungi dari ketidakstabilan harga jual telur yang sering terjadi.
Tingginya investasi dan operasioanl listrik kandang closed house mendapat kompensasi dari
tingginya produktifitas ayam. Bila menggunakan prinsip studi kelayakan proyek, maka kandang
closed house ayam petelur adalah pilihan yang tepat. Tingginya investasi awal kandang closed
house sebetulnya berkontribusi kecil pada per unit telur yang dihasilkan karena umur pakai
kandang yang sangat panjang. Jangan sampai mahalnya investasi menutupi potensi profit yang
sangat mungkin akan raih di masa depan. Bicara untung dan rugi pada closed house ayam petelur
sebaiknya menggunakan prinsip studi kelayakan proyek dengan melibatkan variabel-variabel di
dalamnya (NPV, BCR, IRR, Pay Back Period). Dengan prinsip tersebut studi kelayakan proyek
maka closed house ayam petelur akan feasible (mungkin) dalam sudut pandang perbankan
sebagai sebuah aktivitas investasi yang menguntungkan. (Sofyan,
http://unggasindonesia.wordpress.com/)
Produk pertanian yang menunjang industri perunggasan di Indonesia, yaitu bahan baku
pakan seperti jagung dan bungkil kedele dari negara-negara pemasok seperti USA, Argentina,
Brazil, Peru, Chili, dan negara lainnya, masih tetap cukup dan aman untuk diimpor ke Indonesia.
Demikian pula halnya dengan Grand Parent Stock (GPS) dan Parent Stock (PS). Diharapkan
pada tahun-tahun ke depan nanti, negara-negara bersangkutan tetap stabil dari segi politik dan
keamanan, sehingga tidak mengganggu kegiatan impor dan ekspor bahan baku pakan dan bibit.
Namun, satu hal yang perlu diingat adalah bahwa peningkatan produksi tetap tidak dapat berjalan
mulus. Banyak hal yang perlu diwaspadai di samping peran aspek ekonomi, politik dan
keamanan tadi, salah satunya keberadaan mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit
pada ternak. Indonesia merupakan negara tropis dengan suhu dan kelembaban yang diduga dapat
mendukung pertumbuhan berbagai macam mikroorganisme, apakah yang bersifat patogen
ataupun yang non patogen. Kehadiran mikroorganisme ini jelas dapat mengganggu pertumbuhan
ternak yang dipelihara, bahkan kehadirannya dapat menimbulkan kematian bila tak tertangani
dengan baik.
Menurut Prof. Drh. Charles Rangga Tabbu MSc PhD, mikroorganisme dapat tumbuh di
bagian manapun di lokasi peternakan. Mulai dari lantai kandang, celah-celah lantai kandang, di
permukaan tempat makan dan tempat minum, bagian parsial atau permukaan bahan-bahan
bangunan kandang ataupun dari anak kandang yang menangani atau yang menjadi operator
kandang selama proses produksi. Mikroorganisme masuk dan keluar dari lokasi peternakan tanpa
dapat diketahui oleh peternak. Indikasi awal yang dapat dijadikan dasar bahwa kandang telah
terpapar mikroorganisme adalah munculnya tanda-tanda penyakit, baik gejala umum maupun
tanda-tanda khusus yang mencirikan kepada jenis peyakit tertentu. Penyakit yang sering muncul
di usaha peternakan adalah dari kelompok penyakit viral seperti ND, Gumboro dan penyakit
viral lainnya. Namun penyakit lain misalnya penyakit bakteri, parasit dan jamur juga tetap
menjadi perhatian utama. Hal ini mengingat kondisi wilayah Indonesia dengan dua musimnya,
yakni musim hujan dan musim kemarau atau pada saat peralihan kedua musim tersebut. Sejauh
ini, peran penyakit bakteri, parasit dan jamur masih dipandang strategis dalam mengurangi nilai
akhir berupa laba atau untung dari usaha peternakan. Untuk menekan kerugian yang disebabkan
oleh mikroorganisme tersebut maka diperlukan kewaspadaan peternak terkait masuknya bibit
penyakit ke lokasi usaha peternakannya. Bila dipelajari rentetan kasus penyakit ayam pada tahun
2009 sampai tahun 2010, kasus terbesar pada ayam petelur masih seputar penyakit korisa, ND
dan kolera. Ketiga penyakit ini menurut Prof. Charles menduduki posisi tiga besar dalam
menimbulkan kerugian pada peternak ayam petelur.
Sementara itu, untuk penyakit AI, peternak tetap diminta waspada melalui penerapan
tatalaksana pemeliharaan maupun pelaksanaan vaksinasi secara tepat, baik tepat waktunya
maupun tepat dosisnya. Selain itu, peternak jangan sampai mengesampingkan pelaksanaan
program biosekuriti secara ketat dan menyeluruh di lokasi usaha peternakannya. Perhatian
peternak sebaiknya bukan tertuju semata pada kasus penyakit AI, namun untuk kasus penyakit
lainnya, penanganan yang menyeluruh hendaknya juga diterapkan.
Populasi ayam petelur di Indonesia dapat dipantau adalah dengan cara melakukan
kontrol terhadap jumlah ayam berumur sehari (DOC) yang dipasok oleh perusahaan.
Berdasarkan berbagai sumber seperti Majalah Poultry Indonesia dan Direktorat Pembibitan
Ditjennak semua strain komersial tersebut angka produksi DOC mencapai 1,7 juta ekor/minggu.
Setelah dikurangi 10% kematian dapat diperkirakan jumlah ayam petelur di Indonesia adalah
122,4 juta ekor ayam petelur umur 1-80 minggu. Dari 122,4 juta ekor tersebut 80% diantaranya
merupakan ayam dalam masa produktif yaitu sebanyak 91.8 juta ekor. Tiap ekor ayam petelur
diperkirakan mampu bertelur sebanyak 300 butir setara dengan 19 kg dalam rentang waktu 1
tahun atau 365 hari. Jadi total produksi telur adalah 91,8 juta ekor ayam petelur dikalikan 300
butir/ekor/tahun adalah 27.540 juta butir atau 27,54 milyar butir telur atau setara dengan 91,8
juta ekor ayam petelur dikalikan 19 kg telur/ekor = 1.744,2 juta kg telur alias 1,74 milyar kg telur
dalam setahun.
Populasi penduduk Indonesia adalah sekitar 241 juta jiwa dan apabila diasumsikan setiap
penduduk di Indonesia mengkonsumsi telur maka produksi 27.540 juta butir telur dibagi dengan
241 juta penduduk Indonesia didapat angka 114 butir telur/kapita/tahun. Produksi 1.744,2 juta
kg telur dibagi 241 juta penduduk Indonesia didapat angka 7,4 kg telur/kapita/tahun. 1,74 milyar
kg telur Indonesia naik dari 0,89 milyar kg telur (1,5% dari produksi telur dunia yang mencapai
59,2 milyar kg) pada tahun 2005 (Total produksi telur dunia 59,2 milyar kg dan 60% nya
diproduksi dari Asia (China 41, 1%, India 4,2%, Jepang 4,2% dan Indonesia hanya 1,5%).
(http://www.incredibleegg.org/kids-and-family/holiday-and-special-occassions/world-egg-
day/global-egg-statistics).
Penduduk Indonesia merupakan keempat terbesar setelah China, Amerika Serikat dan
India, tetapi produksi telurnya bukan keempat terbesar di dunia. Idealnya, 1 ekor ayam petelur
sama dengan 1 jiwa populasi penduduk. Artinya Indonesia harusnya memiliki ayam petelur
sebanyak minimal 241 juta ekor, dan saat ini masih 91,8 juta ekor. Butuh double populasi untuk
menyamai populasi ayam petelur dengan populasi penduduk Indonesia. Di sinilah peluang bisnis
masih terbuka 59,2 milyar kg telur adalalah produksi dunia tahun 2005, dan target tahun 2030
adalah 89 milyar kg telur.
Target produksi telur nasional tahun ini suatu saat sangat mungkin bisa tercapai. Apalagi,
populasi ternak unggas terus meningkat. Kenaikan produksi telur ini karena ada kenaikan
populasi ayam petelur. Kenaikan populasi ternak unggas ini juga akan berimbas pada kenaikan
konsumsi pakan ternak. Padahal, sejak tahun lalu harga pakan ternak mengikuti kenaikan harga
bahan baku ternak seperti jagung dan bungkil kedelai yang memang naik akibat pasokan
terbatas. Sementara itu, tahun ini harga pakan ternak sepertinya tidak ada tanda penurunan.
Bahkan, kenaikan harga pakan nampaknya akan terus berlanjut karena per 22 Desember 2010
lalu Kementerian Keuangan memberlakukan bea masuk bahan baku pakan ternak sebesar 5%.
Aturan ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 241 tahun 2010.

Industri Peternakan Unggas Ayam Petelur di Indonesia


Hingga kini industri peternakan di dalam negeri masih didominasi oleh investor asing
seperti Charoen Pokphand, Japfa Comfeed, Sierad Produce dan CJ Feed. Produsen besar tersebut
umumnya terintegrasi dengan industri pakan ternak dan pengolahan produk ternak. PT. Charoen
Pokphand salah satu peternakan ayam terbesar, merupakan industri terpadu yang memiliki
industri pakan ayam, industri pakan udang dan peternakan ayam. Disamping itu, Charoen
Pokphand juga memiliki industri pengolahan daging ayam berupa sosis yang dipasarkan dengan
merk Prima Food.
PT. Japfa Comfeed juga memiliki indutri yang terintegrasi mulai dari industri pakan
ternak ayam, industri peternakan ayam dan industri pengolahan daging ayam. Produk olahan
daging ayam berbentuk sosis dipasarkan dengan merk So Good.
Walaupun para breeder telah berusaha memprogramkan untuk dapat memenuhi semua
keunggulan diatas, namun masing-masing strain ternyata tetap memiliki keterbatasan, sehingga
tidak mungkin seluruh kriteria keunggulan tersebut dapat dicapai oleh semua strain. Akan tetapi,
para breeder dalam mendistribusikan produknya yang berupa DOC, biasanya selalu menyertakan
juga data-data keunggulan tiap produknya. Data yang disertakan biassanya mengenai
produktivitas, konversi pakan, daya hidup, bobot telur dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Menginjak awal tahun 1900-an, ayam liar itu tetap pada tempatnya akrab dengan pola
kehidupan masyarakat dipedesaan. Memasuki periode 1940-an, orang mulai mengenal ayam lain
selain ayam liar itu. Dari sini, orang mulai membedakan antara ayam orang Belanda (Bangsa
Belanda saat itu menjajah Indonesia) dengan ayam liar di Indonesia. Selain itu, industri
peternakan ayam juga menghadapi permasalahan kenaikan harga pakan dan biaya produksi yang
diikuti dengan kenaikan harga ayam hidup. Hal ini terkait dengan daya beli masyarakat yang
sangat tergantung terhadap pendapatan. Sejauh ini daya beli masyarakat terhadap produk
perunggasan dalam pemenuhan gizi (protein hewani) masih rendah dibandingkan dengan gaya
hidup masyarakat yang sangat konsumtif. Langkah pertama yang harus ditempuh dan harus
dilakukan bersama adalah mengorganisasikan dan melaksanakan promosi/kampanye gizi hasil
unggas secara berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Iriyanti,N., M. Mufti dan T . Widiyastuti . 2007 . Manipulasi Pakan Dengan Imunostimulan
Probiotik Dan Prebiotik Terhadap Tampilan Sistem Immunologik Berdasarkan
Profil Darah Dan Mikroba Saluran Pencernaan Ayam Petelur, Laporan
Penelitian DIPA Program Pascasarjana Fakultas Peternakan, Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto.
Irianto, H.E. dan I. Soesilo. 2007. Dukungan Teknologi Penyediaan Produk Perikanan.
Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan Dan Perikanan.
Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia. Cimanggu, Bogor, 21 Nopember 2007.

Anda mungkin juga menyukai