Anda di halaman 1dari 3

Sebuah lukisan dinding di San Fransisco mencontohkan ancangan ini: sang artis

menggabungkan dua buat jendela yang ada sebagai bagian dari suatu lukisan dinding yang baru
daripada menyembunyikannya atau mengandaikan jendela-jendela itu tak ada disana. Case Study
House Charles Eames yang termahsyur di Los Angeles adalah suatu esay arsitektur yang lengkap
dalam adhocisme, tersusun dari unsur-unsur yang langsung dapat diperoleh dari katalogus-
katalogus.

Dalam beberapa hal semua rancangan arsitektur adalah adhocis, karena kebanyakan palet si
arsitek terbatas pada komponen-komponen yang ada. Hanya dari sedemikian banyak jendela
standar orang dapat memilih, dan panel-panel alumunium dapat diperoleh dalam bentuk-bentuk,
ketebalan, ukuran, dan warna tertentu. Tapi rancangan adhocis sejati akan lebh membatasi diri,
dengan menggunakan apa yang paling mudah atau yang diperoleh dengan murah.

Analogi Bahasa Pola. Bila kita sadari bahwa manusia secara biologis adalah serupa, dan
bahwa dalam suatu kebudayaan tertentu terdapat kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk perilaku
dan untuk bangunan, logislah untuk menyimpulkan bahwa perancangan arsitektur mungkin semata-
mata merupakan tugas mengidentifikasi pola-pola baku kebutuhan-kebutuhan san jenis-jenis baku
dari tempat-tempat untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan itu. Pendekatan tipologis atau pola
menganggap bahwa hubungan-hubungan perilaku-perilaku dapat dipandang dalam pengertian
satuan-satuan yang digabungkan oleh perancang untuk membuat suatu bangunan atau sebuah rona
kota.

Tiap pola melukiskan suatu masalah yang terjadi berulang kali di dalam lungkungan itu dan
kemudian menguraikan inti pemecahan bagi masalah tersebut. Demikianrupa hingga anda
dapat menggunakan pemecahan ini jutaan kali lagi, tanpa pernah melakukan hal yang sama
dua kali. (Christopher Alexander et al., A Pattern Language. New York, Oxford University
Press, 1977, lmn. X.)

Suatu contoh dari pola demikian, yang diidentifikasi Christopher Alexander dan yang lain-lain, ialah
pondok bagi usia-usia tua :

Orang-orang tua, terutama bila mereka sendiri, menghadapi dilema yang dahsyat. Di satu
pihak, terdaoat ketakutan-ketakutan tak terelakkan yang mendorong mereka menuju
kemerdekaan : anak-anak mereka pindah; lingkungan sekitar berubah; sahabat-sahabat dan
isteri serta suami meninggal dunia. Di pihak lain, karena sifat sesungguhnya ari lanjut usia,
orang-orang tua jadi semata-mata tergantung pada kemudahan-kemudahan, hubungan-
hubungan sederhana dengan masyarakat disekitar mereka.

Bangunlah pondok kecil khusus untuk orang tua jompo. Bangunlah beberapa diantaranya
di tanah rumah-rumah yanglebih besar, untuk seorang kakek, bangunlah yang lain di bidang-
bidang perorangan yang jauh lebih kecil dari bidang-bidang tanah biasa. Dalam segala hal,
tempatkanlah pondok-pondok ini di tingkat lantai bawah, langsung di jalan, tempat lalu
lintas, dan dekat ke jasa-jasa lingkungan sekitar dan tanah umum. (Ibid., hlm. 730-31)
Analogi Dramaturgi. Kegiatan-kegiatan manusia sering dinyatakan sebagai teater (“seluruh
dunia adalah panggung”), dan karena itu, lingkungan buatan dapat dianggapsebagai pentas
panggung. Manusia memainkan peranan dan demikian pula bangunan-bangunan merupakan rona
rona panggung dan perlegkapan yang menunjang pagelaran panggung. Orang hanya perlu
mencantumkan daftar beberapa istilah dramaturgi yang disunakan para arsitek dan kritikus untuk
melihat bagaimana meresapnya analogi ini : rona perilaku, daerah belakang layar (panggung),
peranan-peranan, petunjuk peranan, di atas pentas, latar belakang dan garis-garis pandangan.

Analogi dramaturgi digunakan dalam dua cara – dari titik pandang para aktor, dan dari titik
pandang dramawan. Dalam hal pertama, arsitek memperhatikan penyediaan alat-alat perlengkapan
dan rona-rona yang diperlukan untuk memainkan suatu peranan tertentu. Pelaksana perusahaan,
umpamanya, harus dikitari dengan macam-macam pakaian yang meningkatkan penampilan pelaku
pria atau wanitanya. Pelaksana juga memerlukan mekanisme turun dari pentas, “menjadi dirinya
sendiri”, karena terus menerus berada di atas pentas, melelahkan. Perabot harus disusun demikian
hingga terdapat pilihan antara jauh dan tak terjangkau (di belakang meja), atau tampaknya sama
kursi berdampigan dan lutut-lutut kelihatan. Sebuah pintu tertutup agar kamar suci khsus
merupakan mekanisme untuk keluar dari pentas.

Penggunaan analogi dramaturgi lain ialah dari titik pandang drmawan. Dalam halni perhatian
sang arsitek terutama tidak banyak pada kebutuhan tokoh-tokohuntuk muncul secara khusus atau
dapat dihilangkan dari peranan seperti pada pengarahan gerak. Para arsitek dapat menyebabkan
orang bergerak ke suatu arah yang lain dengan memberikan petunjuk-petunjuk visual umpamanya.
Suatu daerah yang diterangi dalam konteks kegelapan akan menarik orang. Demikian pula, kata
suatu lorong beratap pada ujung plaza akan menarik pergerakan. Atau melalui lokasi tempat masuk
yang tepat ke suatu auditorium, sang arsitek dapat menyebabkan para penonton mengisi ruang
dengan cara tertentu. Bangku-bangku yang diletakkan berbatasan dengan da sedikit lebih tinggi dari
tempat bermain akan menarik orang, pemanfaatnan analogi dramaturgi ini membuat sang arsitek
bertindak hampir sebagai dalang. Sang arsitek mnegatur aksi seraya menunjangnya.

Apa yang Seharusnya Dilakukan Arsitektur

Teori-teori tentang apa yang sebaiknya dilaksanakan arsitektur memperhatikan bagaimana


mencirikan cita-cita yang memuaskan hati perancang dan bangunan-bangunan. Teori-teori demikian
tidak mempersoalkan cara memandang bangunan-bangunan atau menafsirkannya tapi
memperhatikan tujuan-tujuan yang seharusnya disodorkan kepada mereka. Tujuan bagi arsitektur
pada umumnya memperhatikan dua bentuk – pernyataan-pernyataan umum tentang tugas
arsitektur dan pernyataan-pernyataan tentang hubungan-hubungan yang diinginkan antara
arsitektur dan fenomena-fenomena lain.

Tujuan-tujuan Umum. Vitruvius membuat keterangan tujuan untuk arsitektur yag paling
awal dikenal secara luas: “Arsitektur bergantung pada Aturan, Penataan, Keselarasan dalam
pergerakan, Simetri, Kesesuaian, dan Ekonomi.” Ahli-ahli berikutnya telah mengembnagkan variasi-
variasi pada sistemnya untuk mengidentifikafi sasaran-sasaran dalam perancangan arsitektur. Henry
Wotton, umpamanya mengambil versi Vivitrus yang telah dipreteli ketahanan, kenyamanan dan
keindahan dan menerjemahkannya kedalam versi yang lebih dikenal:”Penyesuaian, Kesungguh-
sungguhan dan kesenangan”. John Ruskuin mengembangkan suatu variasi yang lebih melantur :

Kita menghendaki dari setiap bangunan, (1) Bahwa ia bersikap baik, dan melakukan hal-hal
yang diharapkan dilakukannya dengan cara yang sebaik-baiknya. (2) Bahwa ia berbicara baik,
dan mengatakan hal-hal yang diharapkan diucapkan dnegan cara yang paling baik. (3) Bahwa
penampilannya baik, dan menyenangkan kita dengan kehadirannya, apapun yang harus
dilkukannya atau dikatakannya. (John Ruskin,The Stories Of Venice. Vol.1 . London :
Routledge . 1851. Hal. 39-40)

Albert Bush-Brown merumuskan sitem tujuan-tujuan Vivitrus untuk arsitektur secara


negatif. “Mungkin dia ambruk. Mungkin dia tak menyesuaikan tujuannya. Mungkin dia bukan
merupakan karya seni.”

Perkembangan ilmu-ilmu sosial dalamabad ke sembilan belas dan keduapuluh telah


menyuburkan tumbuhnya sistem-sistem yang agak berbeda guna menentukan tujuan dari arsitektur.
“Membangun tak lain adalah pengaturan: pengaturan sosial, teknik, ekonomi, psikologis.” Kita dapat
mengharapkan bahwa dengan terjadinya perubahan-perubahan besar dalam pemahaman kita akan
hubungan-hubungan masyarakat dengan lingkungan, pernyataan-pernyataan tujuan arsitektur harus
diubah atau dalam banyak hal dapat ditulis kembali guna memberikan tempat bagi kesimpulan-
kesimpulan syarat baru, kehematan energi dan dampak lingkungan merupakan pertimbangan-
pertimbangan baru yang masih harus dituang kedalam pernyataan-pernyataan kita tentang
arsitektur.

Anda mungkin juga menyukai