Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH ARSITEKTUR BARAT

“ARSITEKTUR DEKONTRUKSI”

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

NAMA : AGUNG KURNIAWAN


NRP : 142018008
DOSEN : RENY KARTIKA SARY, S.T., M.T

FAKULTAS TEKNIK
PROGAM STUDI ARSITEKUR
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunianya dan kehendaknya lah penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Adapun
tema dari makalah ini yaitu “ARSITEKTUR DEKONTRUKSI”.

Dalam membuat makalah ini penulis yang ditugaskan sangat merasakan


manfaatnya untuk menambah ilmu penulis mengenai “ARSITEKTUR
DEKONTRUKSI”. Selain itu makalah ini juga bermanfaat dalam memberi
pemahaman dan keterampilan penulis dalam menganalisis, mendiskusi, meliput berita,
menulis maupun menyusun berbagai informasi menjadi sebuah makalah.

Akhir kata, penulis menyadari pada makalah ini juga tidak terlepas dari
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak penulis harapkan.
Terima kasih.

Palembang, 04/12/2019

[Agung Kurniawan]
BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Dalam dunia arsitektur sering kali terjadi perubahan yang selaras dengan perkembangan
teknologi, politik, sosial, ekonomi. Modernisasi timbul ketika revolusi industri pada tahun 1863 -
1960. Pada keadaan inilah yang membawa perubahan dalam mayarakat yang akan mempengaruhi
pula perubahan dalam arsitektur. Gagasan modernisme dalam arsitektur dan tumbuh semenjak
akhir abad ke19 di Eropa barat yang diakibatkan oleh berbagai kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Terjadinya spesialisasi dan terpisahnya dua keahlian, yaitu arsitek
dalam hal fungsi ruang dan bentuk disatu pihak dan akhli struktur dan konstruksi dalam hal
perhitungan dan pelaksanaan.

Arsitektur modern itu timbul karena adanya kemajuan dalam bidang teknologi yang membuat
manusia cenderung untuk sesuatu yang ekonomis, mudah dan bagus. Hal itu dapat dilihat dari
adanya penemuan – penemuan seperti dinamit yang memudahkan manusia untuk menggali lubang
atau penggunaan mesin yang dapat mempercepat produksi dan menghemat tenaga manusia. Tapi
itu semua tidak membuat manusia senang karena penggunaanya yang disalahgunakan, karena
dinamit yang mestinya membantu manusia malah mencelakakan manusia, Arsitektur Modern
sebelum Perang Dunia I dimulai dengan adanya pengaruh Art Nouveau yang banyak menampilkan
keindahan plastisitas alam, dilanjutkan dengan pengaruh Art Deco yang lebih mengekspresikan
kekaguman manusia terhadap kemajuan teknologi. Konsep tersebut kemudian dimanifestasikan ke
dalam media arsitektur dan seni, serta gaya hidup.

i
BAB II
PEMBAHASAN

ARSITEKTUR DEKONTRUKSI

 SEJARAH ARSITEKTUR DEKONSTRUKSI


Sejak pameran mengenai Arsitektur Dekonstruksi yang
diadakan di Museum Seni Modern di New York pada bulan Juli
dan Agustus 1988, Dekonstruksi menjadi sebuah aliran baru
dalam Arsitektur dan dapat meneruskan atau menggantikan gaya
Internasional (International Style), yang dalam tahun tigapuluhan
juga diperkenalkan dalam Museum yang sama. Tentu ini
merupakan sukses besar bagi para dekonstruktivis yang ikut
pameran itu, yaitu : Frank O. Gehry, Daniel Libeskind, Ren
Koolhaas, Peter Eisenman, Zaha M. Hadid, Coop Himmelblau
dan Bernard Tschumi. Sebenarnya yang memperkasai untuk
menerapkan konsep dekonstruksi dalam bidang arsitektur
pertama kali adalah Bernard Tschumi. Selanjutnya, bersama
mantan mahasiswanya yang bernama Zaha Hadid dan Peter Jacques Derrida
Eisenman, mencoba memperkenalkannya melalui pameran
dengan nama “Deconstruction Architecture”.

Pada sebuah simposium di “Tate Gallery” di London dalam bulan Maret 1988 terjadi beda
pendapat antara pihak yang berpegangan pada hubungan Dekonstruksi dengan filsafat dan pihak
yang memandang Dekonstruksi sebagai perkembangan Sejarah Seni dan Konstruktivisme Rusia.
Sukses ini berkat kombinasi filsafat Dekonstruksi; Jacques Derrida dan Konstruktivisme Rusia.
Karena itu penting untuk meninjau pertalian antara teori dan praktek, antara renungan dan
rancangan. Pada bulan Oktober tahun 1985 pada Colloquium di Paris duapuluh orang Arsitek,
filsuf dan kritisi membicarakan peran teori dalam Arsitektur dari arti Arsitektur bagi filsafat.

Aliran Dekonstruksi tidak terdapat dalam Arsitektur saja, bahkan Jacques Derrida telah
menemukan logik yang bertentangan dalam akal dan implikasi, dengan tujuan untuk
menunjukkan bahwa sebuah teks tidak pernah setepatnya mengandung arti yang hendak
dikatakannya atau tidak mengatakan yang dimaksudkan. Derrida berpendapat bahwa kegiatan
Tschumi dan Eisenman dalam Arsitektur sama dengan perbuatannya dalam filsafat, yaitu kegiatan
Dekonstruksi.

 Pengertian Arsitektur

Arsitek adalah perencana bangunan, sedangkan Arsitektur adalah hasil dari rancangan
Arsitek yang berbentuk bangunan dengan pemikiran yang matang dalam pembentukan ruang.
Pembaharuan arsitektur secara menerus adalah disebabkan perubahan konsep ruang.

Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas,
arsitektur mencakup merancang dan membangun lingkungan, mulai dari level makro yaitu
perencanaan kota, perancangan perkotaan, arsitektur landscape, hingga ke level mikro yaitu desain
bangunan, desain perabot dan desain produk, arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses
perancangan tersebut.

 Menurut Djauhari Sumintardja : Arsitektur merupakan sesuatu yang dibangun manusia


untuk kepentingan badannya (melindungi diri dari gangguan) dan kepentingan jiwanya
(kenyamanan, ketenangan, dll).

 Menurut Van Romondt : Arsitektur adalah ruang tempat hidup manusia dengan bahagia.
Ruang berarti menunjuk pada semua ruang yang terjadi karena dibuat oleh manusia atau
juga ruang yang terjadi karena proses alam seperti gua, naungan pohon dan lain-lain.

 Menurut Robert Venturi : Arsitektur adalah sebuah permainan tanda, dimana di


dalamnya terdapat hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified).

1
Dalam kamus Merriam Webster mendefinisikan arsitektur sebagai:

 Seni atau praktek merancang dan membangun suatu bangunan dan terutama bangunan
yang layak ditempati.

 Susunan atau konstruksi sebagai (atau seakan akan sebagai) hasil dari tindakan yang
dilestarikan.

 Produk arsitektural atau karya.

 Metode atau gaya suatu bangunan

 Dekonstruksi dalam Arsitektur

 Lahirnya Dekonstruksi

Lahir kira-kira pada musim semi


1977, ketika Peter Eisenman
mempublikasikan editorial ‘Post
Functionlaism’-nya, dengan nama
majalahnya ‘opposition’. Hadir sebagai
reaksi terhadap pameran arsitektur
rasional dan Ecole des Beaux Arts, pada
museum seni modern, Eisenman
mengkarakteristikkan kedua pameran
tersebut sebagai post modern dan bahkan
lebih buruknya mengangkat segi-segi kemanusiaan (humanism) dari sebuah bangunan.
Padahal sebagaimana diketahui bahwa modernisme sangat anti-humanis. Pada dasarnya hal
tersebut merupakan pertanda lahirnya seni abad 19 dan 20 yang mana abstrak, atonal, dan
atemporal. Taktiknya adalah dengan membuat segalanya yang tipikal menjadi ‘tidak’ atau
‘pemecahan’ bentuk yang lain.

Menggunakan ide Michael Foucault dari new episteme yang memecahkan humanisme,
Eisenman mengedepankan bahwa modern arsitektur menjauhkan manusia dari pusat bumi ini,
memperkenalkan ide bahwa sesuatu kepemilikan dan fungsionalisme dapat diubah menjadi
atemporal dan mode dekomposisi. Suatu metode desain dengan bentukan yang diyakini
berasal dari seri bagian-bagian – tanda tanpa makna. Bila ini terdengar familiar, pastilah
karena dekonstruksi telah menjadi salah satu fakultas seni terkemuka di Ivy League, dan
sekarang telah menjadi suatu ortodoks/ paham.

Ditekankan bahwa mereka bukan diibaratkan sebagai orang Ethuopia yang berharap
untuk mengubah lingkungan, melainkan lebih memainkan bentuk modern dengan
memasukkan unsur estetika; kesan esensial mereka bukanlah etik namun bergaya.
Goldbenger mengklaim bahwa bangunan yang dapat dikategorikan neo-modern saat itu
adalah Bernard Tschumi - parc de la Villette, karena rancangannya merupakan hasil fantasi
tanpa adanya ideologi yang pasti. Pendapat ini bisa benar dan salah; benar-karena Tschumi
membuat bentukan paviliun dengan memainkan bentuk konstruktivisme yang melayang;
one-for mannerism merupakan salah satu karakteristik dari purna dan post modern arsitektur.
Tschumi berkeras bahwa folies yang ada mengilustrasikan teori dari dekonstruksi.

Pada ideologi ini, dihubungkan dengan Eisenman, yang benar-benar memperbarui new
modernism dengan bentukannya yang ‘baru’ dalam arsitektur. Anti humanist, decentring,
penghilangan manusia dari dunia, menurut Eisenman akan eksis di filosofi modern, akan
tetapi dalam arsitektur hal itu tidak terjadi. Cukup beralasan sebab, arsitek hingga
sekarang harus menyesuaikan fungsi bangunan mereka dan menyocokkan dengan
lingkungan yang ada. Sekarang new modern tidak lagi mempercayai humanism; mereka lebih
memilih untuk mengerjakan rancangan mereka sebagai self-justifying, yang bermain dengan
ide metafisik. Arsitek-arsitek yang mempelopori aliran ini adalah Peter Eisenman, Bernard
Tschumi, Daniel Libeskind, Fujii, Frank Gehry, Rem Koolhas, Zaha Hadid, Morphosis/

2
Thom Mayne dan Hejduk, tapi bukan Foster, Rogers, Hopkins, Maki dan Pei. Merekalah
pembentuk dekonstruksi dengan melanjutkan gerakan modern dengan cara mengelaborasi
dan menggabungkan bentukan yang kompleks.

 Pengertian Dekonstruksi

Hampir semua orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda sejak konsep ini ada
pada tahun 1971 dan telah menjadi fokus utama teori literatur Amerika dan Perancis. Di luar
itu, kita harus mewaspadai central paradox yang mengatakan bahwa dekonstruksi telah
menjadi akademik ortodoks dalam beberapa universitas Amerika, kampus seni dan arsitektur,
dan lain-lain. Dekonstruksi adalah sekolah filsafat di Perancis pada akhir 1960 dan memiliki
pengaruh yang kuat terhadap kritisme di Amerika. Penciptanya adalah Jacques Derrida. Lahir
sebagai respon komplek terhadap teori dan pergerakan filosofi abad 20. Sedangkan dalam
arsitektur dekonstruksi adalah suatu pendekatan terhadap perancangan bangunan dengan
mencoba melihat arsitektur dari segi bagian dan potongan. Bentuk dasar arsitektur dirombak
semua. Bangunannya tidak memiliki unsur logis: bentuknya tidak berhubungan satu sama
lain, tidak harmoni, abstrak.

Dekonstruksi adalah post-strukturalism – yang merupakan reaksi pertama terhadap teori dan
praktek struktural dari Claude Levi Strauss, Noam Chomsky dan semua yang mendapatkan
pengertian dan pertentangan dalam struktur. Akan tetapi post strukturalisme tidak memiliki sifat
dekonstruksi di dalamnya sebagaimana dimaksudkan adalah adanya proses dislocation,
de-composing, dan de-coding. (Charles Jencks, 1980).

Untuk singkatnya, bila diturutkan dalam dunia dan hubungan etymological dari Nietzche dan
Derrida, kita dapat mendengar bahwa kata ‘de’ dan ‘di’ terangkum dalam kata dekonstruksi. Hal
ini memusatkan, mengkomposisikan, dan memisahkan keseluruhan struktur menjadi 3 bagian:
yakni debunk (menghilangkan); derides (mengejek); dan deprecates (mencela) semua nilai dan
norma yang mana telah ada dalam kehidupan.

Definisi dekonstruksi cenderung subjektif bila dilihat bagi tiap-tiap tokohnya. Hal ini tampak
jelas, di mana karya-karya arsitekturnya memiliki karakter yang berlainan satu sama lain, tetapi
seolah-olah memiliki persamaan pada bentuk ‘luarnya’ yang tidak beraturan, abstrak, hanya
berupa imajinasi namun kenyataannya dapat dibangun. Contoh perbedaan tersebut:

 Menurut Peter Eisenman

a. Wujud dari suatu bangunan tapi mencerminkan segi fungsional dari bangunan
tersebut, tetapi bukan sesuatu yang tematik. Misalnya : suatu dinding fungsinya
sebagai pembatas, tetapi bentuk atau penampilannya tidak selalu harus terbatas
seperti dinding umumnya (Post functional).

b. Dekonstruksi adalah suatu bangunan dengan ide-ide yang tidak dapat dibangun.

 Menurut Bernard Tschumi

a. Arsitektur suatu bangunan bukanlah merupakan suatu kesatuan dari


susunan massa ataupun keterpaduan dari fungsi, struktur, estetika yang melengkapi
secara nyata, tetapi bahkan merupakan anti sintesa yang berlawanan antara satu
dengan yang lainnya.

b. Mencakup hal-hal yang bersifat konflik dari pada menggambarkan suatu objek
dengan perbandingan ukuran yang sebenarnya, dalam arti setiap karyanya tidak
berskala dan tidak dapat diukur dengan tepat.

 Menurut Zaha Hadid

a. Setiap perancangan dari desain suatu karya Arsitektur adalah merupakan suatu
proyek percobaan yang harus menghasilkan sesuatu yang baru, belum pernah
diciptakan orang sebelumnya.

3
b. Nilai dari setiap penciptaan harus abadi, dalam arti berlaku segala masa, terutama
masa akan datang.

 Menurut Frank Gehry

a. Anti post modern; anti classicism-neoclassicism; anti denial; tetapi tidak menutup
kemungkinan untuk mengembangkan post modern sebagai perbendaharaan abstrak.

b. Pemikiran suatu desain bukanlah merupakan pemikiran komplek, tapi hasil dari
pemikiran tidak serius. Hasil yang nampak akan memberi kesan terpecah-pecah.

Dari perbedaan-perbedaan karakter gaya dan aliran 4 tokoh dekonstruksi di atas akan
nampak bahwa makna dekonstruksi itu sendiri seolah-olah kabur karena tidak adanya
kesamaan, sedangkan adanya kesubjektifan yang nyata dari tiap karakter. Dekonstruksi
merupakan suatu kebangkitan kembali dan perkembangan lanjutan dari apa yang telah ada di
era-era tahun sebelumnya, suatu aliran yang popular dan berkembang pesat di Rusia, yaitu
supprematism dan constructivist. Dekonstruksi memiliki arti yang berbeda-beda bagi tiap
orang. Oleh karena itu untuk mengerti artinya, maka harus mengerti perbedaan dari tiap
tokoh dan karyanya masing-masing.

 Aliran-aliran dalam Arsitektur Dekonstruksi

Ada beberapa perbedaan aliran dalam dekonstruksi, yang mana dipengaruhi oleh
pergerakan masing-masing arsitek. Pada dasarnya ada kecenderungan 4 bagian dekonstruksi
yang mana nantinya tiap arsitek akan memiliki cirri khas aliran sendiri yang akan dibahas
pada contoh kasus berikutnya. Bagian dekonstruksi :

a. Fragmentation and Discontinuity

Pecahan dan diskontinu. Aliran ini dianut oleh Frank Gehry – yang mana
memecahkan keseluruhan bentukan menjadi berbagai bagian pecahan dan menjajarkan
pecahan-pecahan tadi dengan filsafat seni.

b. Neo Constructivist yang dipelopori Rem Koolhas dan OMA

Inversional rotasi dari potongan-potongan besar menjadi dekomposisi perspektif


yang distorsinya penuh warna. Atau pula sebagaimana dapat dilihat pada Parc de La
Villette, Tschumi yang mana dapat terlihat permainan sirkulasi, grid, strip, dan confetti.
Dalam Neo constructivist, Zaha Hadid juga terkenal dengan flying beam dan cocktail
stick, dan proyek lain yang membuat dekonstruksi jadi begitu indah, dislokasi –
mengutip kata-katanya dan Leonidov – biasa disebut anti gravitasional. Neo
constructivist ini terkenal optimis dan realistik sehubungan dengan mass culture.

c. Folies, Bernard Tschumi

Persilangan antara late constructivist Chernikov, estetik dari Kandinsky, dan


dekonstruksi Perancis (Foucault dan Derrida). Mereka ini terkenal dan diperhitungkan
sebagai titik pergerakan kemajuan constructivist, akan tetapi ide dan bentuk yang sama
disintesis dan diambil sebagai titik ekstrim oleh Daniel Libeskind. Ia telah menyerap
‘paham’ dari beberapa sumber antara lain: fragmentation milik Gehry ; flying beams dan
cocktail milik Koolhas; representasi hermetic milik Eisenman. Kemudian kesemuanya
itu dikombinasikan dengan suatu bentuk dan bahasa yang lain, yang mana keduanya
sangat bersifat personal dan anti architectural.

d. Positive Nihilism, Peter Eisenman

Peter Eisenman menemukan bahwa representasi itu sendiri merupakan tujuan akhir
dari arsitektur. Adalah benar adanya bahwa Eisenman telah pasti dengan kehilangan
pusat, perbedaan yang tidak dapat dipisahkan dengan modernism, massa yang uprooted,
akhir dari identitas etnik – akan tetapi tema ini selalu menomor duakan figure retorisnya

4
dan disublimasi menjadi satu set perubahan : catachresis, arabesque, grotesques atau
pada masa lampau disebut : scaling, self similarity, dan transformation. Hampir seluruh
bagian arsitekturnya bersifat sangat abstrak (meskipun sekarang beberapa representasi
konvensional telah masuk), ia tetap konsisten. Kebanyakan orang sulit untuk memahami
karyanya, karena konsep yang ia terapkan sangat sulit dipahami. Satu-satunya cara agar
dapat menghargai karya Eisenman adalah dengan membaca dan melihat karyanya,
maka akan ditemukan estetika, keindahan dan sedikit pergerakan, namun tetap privat.

 Prinsip Arsitektur Dekonstruksi

Prinsip-prinsip arsitektur dekonstruksi adalah sebagai berikut :

1. Ideologi dekonstruksi antara lain:

a) Pentingnya perbedaan, keterbedaan dari yang lain.

b) Bentuk asemantik.

c) Memperlihatkan ke-dekonstruksiannya dengan kesan “tulisan” yang didapat


dari bangunan.

d) Tiap arsiteknya memiliki hak penuh atas desain bangunannya.

e) Menaklukkan suatu kasus perancangan.

f) Terpecah-pecah, terbagi-bagi (fragmented), tidak jelas bentuknya


(destructive).

g) Arsitek adalah metafisika.

2. Gaya yang dianut :

a) Kontradiksi antar elemen bangunan, ada irama.

b) Kompleksitas disjungsi, kecenderungan kaku; kacau; bengkok dan berbeda


dari yang lain.

c) Ruang eksplosif dengan lantai miring (tilted floors); cocktail sticks;


penyimpangan/ pembengkokan (warps); distorsi; anamorfisme.

d) Bentuk abstrak yang ekstrim.

e) Frenzled cacophony; violated perfection; random noise.

f) Tidak adanya keterikatan antara bentuk dan ruang yang ada di dalamnya.

g) Estetika nol derajat (degree zero), kekosongan erotik mesin (machine


eroticism).

h) Ornamen pokoknya : pemecahan/ fractal; skala; self similiarity; catachresis;


apocalypse.

i) Memperlihatkan kode pribadi.

j) Pro-restricted metaphors: planetary arch; flying beam/ balok melayang; knife


blades; fish bananas.

k) Memunculkan kembali sejarah yang ada.

l) Kehancuran semu.

5
m) Simbolik pribadi.

3. Ide desainnya antara lain :

a) Non place sprawl; grid point; teori chaos/ kehancuran.

b) Fungsi indeterminan.

c) Ahistorikal dan neo konstruktivis.

d) Mengandung banyak kata-kata yang halus (rhetorically redundant).

e) Ruang dan massa yang saling berpenetrasi – ‘chora’.

f) Objek skulptur yang tidak berkesinambungan.

g) Patahan, ruang yang terjadi karena ‘ketidaksengajaan’.

h) Dekomposisi, pemusatan ulang.

i) Ketidakharmonisan, ‘random noise’.

4. Tanpa disadari dekonstruksi telah menggariskan prinsip-prinsip penting


sebagai berikut:

a) Tidak ada yang absolut dalam arsitektur. Tidak ada satu cara atau gaya yang
terbaik. Gaya klasik, tradisional, modern, dan lainnya mempunyai posisi dan
kesempatan yang sama untuk berkembang.

b) Tidak ada antologi dan teologi dalam artsitektur. Tidak ada tokoh atau figur
yang perlu didewakan.

c) Dominasi pandangan dan nilai absolut dalam arsitektur harus segera diakhiri.
Perkembangan arsitektur selanjutnya harus mengarah pada keragaman
pandangan dan tata nilai.

d) Visiocentrism atau pengutamaan indera penglihatan dalam arsitektur harus


diakhiri. Potensi indera lain harus dimanfaatkan pula secara seimbang.

e) Arsitektur tidak lagi identik dengan produk bangunan. Arsitektur terkandung


dalam ide, gambar, model, dan fisik bangunan dengan jangkauan dan
aksentuasi yang berbeda. Prioritas yang diberikan pada ide, gambar, model, ke
bangunan harus setara karena ide, gambar, dan model tidak hanya berfungsi
sebagai simulasi atau representasi gedung, tetapi bisa menjadi produk atau
tujuan akhir arsitektur.

 Penulusuran Preseden

Membahas dekonstruksi dalam arsitektur tidak bisa dilepaskan dari preseden-preseden


yang dihasilkan oleh arsitek-arsitek yang dikelompokkan dalam arsitek dekonstruksi seperti:
Frank Gehry, Peter Eisenman, Zaha Hadid, Bernard Tschumi, dan Rem Koolhas. Penelusuran
preseden sangat diperlukan untuk menemukan arah kecenderungan dari paradigma (pola)
suatu model sebagai produk dan objek yang kongkrit dalam mempresentasikan image.

6
1. Frank Gehry

Frank Gehry memulai dari beberapa


rumah tinggal di California, kemudia museum
Aerospace di Santa Monica, dan restoran ikan
di Kobe. Kesemuanya tampak sebagai suatu
ekspresi sculptural (barang seni) dari pada
suatu wadah fungsi. Sosok solid masif
mengesankan kenihilan atau suatu presence of
absence.

Di dalam mengkomposisikan ruang dan bidang tidak Nampak prinsip-prinsip order


dari arsitektur klasik yang digunakan, seperti: unity, harmony, dan balance. Secara
keseluruhan, bangunan meninggalkan citra sebagai suatu komposisi yang retak,
terpuntir, dan berkesan belum selesai.

2. Peter Eisenman

Peter Eisenman yang melambung oleh


karya-karyanya yang dekonstruktif seperti House X,
mendasarkan komposisi ruang-ruangnya pada komposisi
diwarnai oleh berbagai patahan, ruang-ruang melayang,
dan balok-balok yang berkesan berterbangan.

Secara keseluruhan komposisi ruangnya sangat naratif


dan mampu mengungkapkan komposisi superposisi dari
sebuah perjalanan sejarah masa silam, merasakan masa
kini, dan sekaligus melayangkan lamunan ke masa datang.

3. Rem Koolhaas

Rem Koolhaas mendasarkan karya-karyanya


pada konsep kombinasi tipologi. Beberapa karya
besarnya seperti apartemen di Belanda, Berlin, dan
Florida membuktikan bahwa tipologi akan menjadi
acuan utama dalam menampilkan blok-blok maupun
fasad yang sangat diwarnai oleh sosok-sosok abstrak
yang terdiri dari kotak-kotak kaca yang sangat
repetitive dan tiba-tiba dipecahkan oleh beraneka
ragam motif garis seperti segitiga merah,
balkon-balkon kuning, dan kotak-kotak biru. Baik dari
penggunaan bahan maupun pemilihan warnanya
Nampak jelas tidak lebih hanya merupakan merupakan
unsur komersial dari pada artisitik.

4. Zaha Hadid

Zaha hadid menjulangkan struktur berlapis yang


berkesan lentur pada karya-karyanya. Denah bersusun
dengan dimensi yang berbeda akan menciptakan komposisi
void dan solid yang sangat kaya dan sekaligus tidak efektif.
Filosofi anti tercermin dalam berbagai konsep “dis-” dan
“de-” pada semua karyanya yang anti pusat, anti as, anti
simetri, anti seimbang, anti selaras, dan anti fungsi.
Berbagai hal tersebut diatas telah menempatkan dirinya
sulit dikelompokkan dalam arsitektur pasca-fungsionalis
karena bukan termasuk pasca-modern maupun neo-klasik.
Karyanya sebenarnya cenderung kepada pasca-strukturalis
atau sejalan dengan dekonstruksi.

7
5. Bernard Tschumi

Bernard Tschumi dalam pendekatan perancangannya


menggunakan teori manhattan transcript yaitu transgresi dan
regresi. Teori ini mendasarkan studi gerak manusia sebagai dasar
untuk menggerakkan titik, garis, dan bidang dalam membentuk
ruang. Hasilnya bisa dilihat pada Parc de la Villette yang
merupakan gambaran nyata dari ideology dekonstruksi. Dari
ideology ini, style bangunan dapat terbaca. Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa dekonstruksi bukan syle (gaya) melainkan
suatu proses yang dapat menghasilkan banyak style.

 Paradigma Konseptual

Dari pembahasan sebelumnya, dapat dipelajari suatu paradigma konseptual untuk


menelusuri pemahamn istilah dekonstruksi dalam arsitektur. Pemahaman tersebut tertuang
dalam kerangka prescription (ketentuan) dibawah ini, meliputi:[ Ibid, hlm 4-6.]

1. Logo-Sentris

Konsep arsitektur yang merupakan gabungan antara pemahaman arsitektural dan


pemahamn filosofis mendasari doktrin logo-sentris. Dari pemahaman filosofis, arsitektur
akan mengalami proses artikulasi metafisik secara multivalensi. Konse ini membuka
peluang bagi dekonstruksi unutk berkembang dalam arsitektur.

Visualisasi dekonstruksi akan mempunyai kecenderungan pada refleksi otoritas


logo-sentris. Sejalan dengan paham derridean, pemahaman filosofis dari arsitektur akan
meluaskan batasan bahwa prinsip order adalahh bukan absolut. Paradigma ini
sebenarnya sejalan pula dengan bebagai perkembangan yang terjadi pada seni, sastra,
filsafat, social, dan fisika.

Bernard Tschumi merupaka arsitek yang sangat berhasil mengungkapkan proses


artikulasi metafisik ke dalam bentuk-bentuk “follies” dalam Parc de la Villette- nya.
Tidak adanya metafora titk awal dan titik akhir dari konfigurasi denah menyebabkan
karya tersebut berkesan “tidak selesai”. Konfigurasi ini mampu memberi peluang bagi
penikmat untuk melengkapi imajinasinya.

2. Anti-Sintesis

Konsep anti-sintesis mengandung konsep penolakan terhadap padangan bahwa


arsitektur adalah sintesis. Suatu hasil yang berasal dari rangkaian proses analisis dari
elemen yang programatis. Merasa tidak puas dengan apa yang dihasilkan melalui
program yang sistematis, dekonstruksi berpaling pada nilai yang lebih hakiki yang akan
menurunkan aturan yang seirama dengan hokum alam yaitu nilai intuisi.

Karena intuisi lebih mewadahi otoritas dalam proses visualisasi, maka arsitektur
akan lebih merupakan sebuah hipotesis dari pada sintesis. Dalam konteks ini, hubungan
antara analisis dan sintesis merupakan hubungan yng bersifat “disjunctive” atau “or”
atau ekivalensi.

3. Anti-Fungsional

Dekonstruksi mendasarkan paham bahwa antara bentuk (form) dan fungsi (function)
bukan merupakan hubungan yang dependent melainkan lebih pada hubungan
independent. Hal ini sejalan pula dengan konsep disjunctive yang telah desibutkan
diatas.

Style yang lahir dari prinsip anti-fungsi ini akan membawa pertanyaan mengenai
metoda merancang yang dipakai. Metoda merancang merupakan suatu proses kegiatan
kreatif. Kecenderungan yang mungkin timbul dari apabila kegiatan kreatif ini

8
memuaskan, maka akan dijadikan suatu kegiatan rutin. Dalam beberapa hal, kegiatan
rutin ini akan membatasi kegiatan kreatif dan munculnya kegiatan kreatif dalam
kegiatan rutin merupakan prosedur yang alami.

Hubungan yang bersifat independent antara form dan function memberi peluang
bagi penggunaan metode kreatif seperti superposisi, fragmentasi, dan kombinasi yang
berdasar pada prinsip-prinsip matematis seperti hal nya yang dilakukan Tschumi pada
Parc de la Villette.

4. Anti-Order

Order akan menghasilkan ekspresi keutuhan dan kestabilan. Order dalam arsitektur
yang berakar pada arsitektur klasik seperti unity, balance, dan harmony, akan memberi
kecenderungan pada pembentukan ruang yang figuratif.

Arsitektur dekonstruksi bukan mengarah pada kecenderungan ruang dan objek


yang figuratif karena arsitektur yang figuratif akan memperkuat keabsolutan order.
Disamping itu, order melahirkan bentuk-bentuk geometri yang programatis yang akan
berlawanan dengan konsep visualisasi simbol/ makna yang retorikal, tidak fixed, dan
multivalen. Karena makna adalah sesuatu yang kontekstual, tergantung atas nilai
masyarakat sesaat.

 Pengaruh Dekonstruksi dalam Desain

Arsitektur modern seringkali menyebut dirinya sebagai arsitektur yang paling rasional,
arsitektur yang paling memiliki teknologi tinggi, dan arsitektur yang memiliki sistem
fungional yang sempurna sehingga pada waktu itu tidak ada alternatif pemikiran lain di
dalam arsitektur selain ‘berpikir monoton’ seperti halnya paham fungsional yang dimiliki
oleh arsitektur modern. Pengaruh dari suatu fenomena dari fungsi-fungsi yang dijanjikan
dapat dirasakan pada bentukan yang terjadi, sehingga menghasilkan bentukan-bentukan yang
tidak berkembang, seperti desain yang penuh dengan ‘kotak-kotak’ sederhana. Makin lama
keadaan ini menimbulkan kejenuhan, sehingga mulai timbul konflik penyangkalan dan
usaha-usaha untuk keluar dari ‘jalur’ yang ada.

Dekonstruksi merupakan salah satu jalan keluar yang patut dipertimbangkan dari
permasalahan-permasalahan yang timbul dari kejenuhan akan arsitektur modern. Sehingga
dapat dihasilkan pemahaman dan perspektif baru tentang arsitektur.

Pada arsitektur dekonstruksi yang ditonjolkan adalah geometri 3-D bukan dari hasil
proyeksi 2-D sehingga muncul kesan miring dan semrawut yang menunjuk kepada kejujuran
yang sejujur-jujurnya. Penggunaan warna sebagai aksen juga ditonjolkan dalam komposisi
arsitektur dekonstruksi sedangkan penggunaan tekstur kurang berperan. Bangunan yang
menggunakan langgam arsitektur dekonstruksi memiliki tampilan yang terkesan ‘tidak masuk
akal’, dan memiliki bentukan abstrak yang kontras melalui permainan bidang dan garis yang
simpang siur. Pada arsitektur dekonstruksi yang dikomunikasikan adalah :

a. Unsur-unsur yang paling mendasar, essensial, substansial yang dimiliki oleh


arsitektur.

b. Kemampuan maksimal untuk berarsitektur dari elemen-elemen yang essensial


maupun substansial.

Arsitektur dekonstruksi tidak mengikatkan diri kedalam salah satu dimensi waktu
(timelessness). Pandangan seperti ini mengakibatkan timbulnya pandangan terhadap
dekonstruksi yang berbunyi "Ini merupakan kesombongan dekonstruksi."

Dekonstruksi dapat dilakukan terhadap program yang dominan dalam tradisi arsitektur
modern, seperti konsep estetika murni, kaitan bentuk dengan fungsi, dan
lain-lain. Dekonstruksi program berusaha mematahkan otonomi modernisme dan

9
kaidah-kaidahnya dengan menggunakan pembalikan konsep-konsep yang diturunkan dari
modernisme sendiri atau sumber-sumber lain. Bernard Tschumi melakukan dekonstruksi
program dengan beberapa pendekatan, yakni :

1. Cross Programming

Menggunakan konfigurasi spasial tertentu untuk program yang sama sekali berbeda;
misalnya bangunan gereja digunakan untuk tempat bowling. Menempatkan suatu
konfigurasi spasial pada lokasi yang tidak berkaitan; misalnya museum diletakkan
dalam bangunan struktur parkir, atau beauty parlour dalam sebuah gudang.

2. Transprogramming

Mengkombinasikan dua program yang sifat dan konfigurasi spasialnya berbeda;


misalnya planetarium dikombinasikan dengan roller-coaster, perpustakaan dengan track
balap mobil.

3. Dispogramming

Mengkombinasikan dua program sedemikian rupa sehingga konfigurasi ruang


program pertama mengkontaminasi program dan konfigurasi ruang kedua; misalnya
supermarket dikombinasikan dengan perkantoran.

Pendekatan-pendekatan tersebut, seperti halnya dengan difference menghasilkan


kontradiksi dan petentangan diantara dua hal yang dioposisikan, karena kedua program ini
dihadirkan sama kuat, maka yang terjadi kedua program ini akhirnya akan menjadi bekas
(trace) bagi lahirnya program baru, program bergerak diantara dua program yang sebelumnya
dioposisikan. Kontradiksi dan oposisi juga dihadirkan oleh Tschumi melalui konsep
superimposisi (superimposition), yaitu penumpukkan satu elemen terhadap elemen lainnya,
penumpukkan satu lapisan (layer) dengan lapisan lainnya, dimana tiap elemen dan lapisan
dibiarkan tetap memiliki karakter serta otonominya sendiri.

Dalam proyek Parc de la Villette Tschumi melakukan dekonstruksi program dengan


beberapa strategi :

1. Menata arsitektur yang kompleks tanpa rujukan pada kaidah desain tradisional
seperti komposisi, hierarki, keteraturan, tetapi pada konsep
“disjunction”, disosiasi dan fragmentasi.

2. Memutarbalik oposisi klasik seperti bentuk-fungsi, struktur-ekonomi, dan


menggantikannya dengan konsep konfiguiti dan superimposisi, permutasi dan
substitusi.

Tschumi menghendaki agar Parc de la Villette yang luasnya 35 ha menjadi pusat budaya
yang terbuka dengan susunan bangunan yang terfragmentasi, alih-alih struktur taman yang
tunggal dan terpadu. Setiap saat program terbuka pada perubahan, sesuai dengan perubahan
kebutuhan. Sebuah folies bisa beralih fungsi, dari restoran menjadi wartel, pusat informasi
atau galeri seni, namun identitas taman secara keseluruhan dijaga konstan. La Villette tidak
memiliki pusat dan hierarki. Bentuk keseluruhan bukanlah hasil karya Tschumi, tetapi hasil
sistem garis (jalur sirkulasi) dan sistem bidang (lahan). Dengan demikian la Villette terhindar
dari proses homogenisasi yang akan membentuknya menjadi totalitas yang utuh. Karena la
Villette senantiasa berada dalam proses perubahan, maknanya pun terus menerus berubah
(undecidable).

Peter Eisenman menggunakan beberapa strategi untuk melakukan dekonstruksi program :

1. Penolakan terhadap “antroposentrisme” dalam desain, yaitu rujukan pada proporsi


fisik tubuh manusia sebagai ukuran ideal bagi segalanya.

10
2. Penerapan proses “scaling”, melalui pengembangan tiga konsep destabilisasi:
“discontinuity”, “recursibility” dan “self-similarities”.

3. Penolakan terhadap “center” sebagai bagian paling pentingn dan memiliki hierarki
lebih tinggi.

4. Penolakan terhadap kekakuan oposisi dialektis dan kategori hierarkis tradisional


seperti “form follows function”, “ornament added to structure”, digantikan oleh
“existing between”, “almost this or almost that, but not quite either”.

5. Pemahaman arsitektur secara tekstual dalam kaitan dengan “ortherness”, “trace”


dan “absence”.

6. Eisenman dalam proyek “Romeo and Juliet” untuk Venice Biennale 1986 mencoba
memperlakukan lahan sebagai “palimpsest” dan “quarry” yang memiliki jejak-jejak
memori dan potensi untuk digali lebih lanjut, sementara dalam proyek “House X”
ia mencoba menghindari adanya pusat di dalam rumah.

 Konsep Dekonstruksi Derridean

Pengaruh Derrida dalam Arsitektur seolah mengisi kehampaan makna yang dirasakan
para arsitek terhadap Arsitektur Modern maupun Post Modern yang muncul
sesudahnya. Pada dasarnya setiap manusia adalah filsuf yang ingin mendapatkan jawaban
atas hal-hal hakiki dari apa yang dilakukannya atau dihadapinya.

Derrida adalah seorang filsuf dan ahli linguistik Perancis yang mempertanyakan kembali
dan menggugat filsafat modern yang menjadi dasar bagi konsep-konsep pemikiran modern di
segala bidang. Dengan cara berfikir retrogresif, ia membongkar pemikiran pada filsuf dan
penulis besar dengan membaca karya tulisnya (text) dengan teliti dan tajam. Dalam text-text
itu ia menemukan konsep-konsep yang kontradiktif, sehingga dengan demikian ia
menunjukkan kekeliruan penulis yang bersangkutan.

Banyak buku yang ditulis oleh Derrida berisi pemikirannya yang menyangkut banyak
bidang meliputi filsafat, bahasa, dan seni. Ia juga menciptakan banyak istilah baru dengan
pengertian yang cukup rumit. Dalam tulisan ini dibahas beberapa pemikiran Derrida yang
mempunyai hubungan langsung dengan rancangan.

1. Pembedaan dan Penundaan Makna

Derrida mempersoalkan seluruh tradisi filsafat Barat yang bermuara pada


pengertian “ada” sebagai “kehadiran”, atau yang disebut metafisika kehadiran. Dalam
bahasa yang mudah dapat dikatakan yang hadir itulah yang “ada”. Kalau sesuatu yang
tidak hadir ingin dihadirkan maka tanda dapat menjadi penggantinya. Jadi tanda
menghadirkan (mempresentasikan) yang tidak hadir (absence).

Menurut Derrida, kata atau tanda kini tidak mampu lagi menghadirkan makna
sesuatu yang dimaksud secara serta merta. Makna harus dicari dalam rangkaian tanda
yang lain yang mendahului tnada yang pertama. Derrida menciptakan konsep
“difference”, ada dua kata dalam bahasa Inggris yang mendekati kata ini yaitu “to
differ” yaitu membedakan dan “to differ” yaitu menunda.

Dalam sistim tanda, konsep difference ini melihat bahwa antara yang hadir dan
yang absen ada dalam kondisi saling tergantung bukannya saling
meniadakan. Kehadiran baru punya makna bila ada kemungkinan absen yang setara.

2. Pembalikan Hierarki

Differensiasi secara ketat menghasilkan perbedaan dua kutub yang dipertentangkan


secara diamatral (oposisi binari). Pandangan ini lebih jelas terlihat dalam faham
Strukturalis yang diajukan oleh Ferdinand de Sausure dalam linguistik atau C.

11
Levi-Strauss dalam Antropologi. Strukturalisme dalam memahami fenomena selalu
mengadakan pemilahan (differensiasi) ke dalam elemen-elemen yang merupakan hasil
abstraksi.

Derrida melakukan dekonstruksi terhadap pandangan oposisi ini dengan


menempatkan kedua elemen tersebut tidak secara hierarkis yang satu di bawah yang lain,
tetapi sejajar sehingga secara bersama-sama dapat menguak makna (kebenaran) yang
lebih luas.

Arsitektur adalah suatu cabang seni yang paling materiil dibanding seni yang
lain. Karena itu Arsitektur menghadapi banyak sekali kondisi oposisional karena harus
mengakomodir banyak hal. Kondisi oposisional yang mencakup aspek non-materi ini
dalam berarsitektur akhirnya harus diwujudkan dalam materi. Transformasi dari aspek
non-materi ketingkat materi merupakan suatu proses metaforis.

3. Pusat dan Marjinal

Perbedaan antara “pusat” dengan “marjinal” merupakan konsekwensi dari adanya


hierarki yang ditimbulkan oposisi binari. Yang “marjinal” adalah yang berada pada
batas, pada tepian, berada di luar (outside) karena itu dianggap tidak penting. Sementara
yang “pusat” adalah yang terdalam, yang di jantung daya tarik dan makna dimana setiap
gerakan berasal dan merupakan tujuan gerakan dari yang marjinal.

Derrida mempertanyakan keabsahan posisi ini dalam konsep “parergon” (para : tepi,
ergon: karya), yaitu bingkai lukisan. Sebagai yang marjinal, parergon oleh Derrida
diberi peranan yang penting untuk menunjukkan sikap pembalikan hierarki.

4. Pengulangan (Iterability) dan Makna

Suatu kata atau tanda memperoleh maknanya dalam suatu proses berulang (iteratif)
pada konteks yang berbeda. Dalam Arsitektur, penggunaan metaphor secara
berulang-ulang akan membuka pemahaman yang lebih baik tehadap makna yang
dimaksudkan.

Derivasi filsafat Dekonstruksi Derrida ke bidang Arsitektur ini juga dilakukan oleh
dua orang Arsitek secara intens yaitu Peter Eisenman dan Bernard Tschumi.

 Dekonstruksi Non-Derridean

Dekonstruksi Non-Derridean mencakupi dekonstruksi bentuk dan struktur bangunan,


yang didasarkan pada konsep-konsep “disruption”, “dislocation”, “deviation” dan
“distortion”, sehingga menyebabkan stabilitas, kohesi dan identitas bentuk-bentuk murni
terganggu.

Dalam pameran “Decontructivist Architecture” yang diselenggarakan


di Museum of Modern Art di New York tahun 1988 terdapat kata-kata: “Pure form has been
contaminated, transforming architecture into an agent of instability, disharmony and conflict”,
kata-kata ini dengan tepat menggambarkan karya-karya yang dipamerkan: bentuk-bentuk
yang tidak murni, semrawut bahkan kontradiktif. Para arsitek yang ditunjuk ikut pameran
tidak mewakili suatu aliran tertentu, masing-masing dengan caranya sendiri megekspresikan
karyanya.

Aaron Betzky dalam bukunya “Violated Perfection” mengelompokkan 210 orang arsitek
yang tergolong garda depan ini kedalam lima kelompok yaitu:[ Ibid]

1. Revelatory Modernist

Diantara semua, kelompok ini yang paling konservatif, masih mengutamakan


prinsip abstraksi dan mengutamakan fungsi mengoptimalkan kemungkinan hasil industri
bahan dan prefabrikasi namun dengan memfragmentasi potongan-potongan, konteks dan

12
program prefabrikasi tersbeut dan hasilnya adalah kumpulan ruang dan obyek yang
terfragmentasi. Yang termasuk kelompok ini : Gunther Behnish & Partner, Jean Nouvel,
Helmut Jahn, Emilio Ambasz, Steven Hall, Eric Owen Moss

2. Shard & Sharks

Kelompok ini menampilkan bentuk-bentuk serpihan batang dan lempeng yang


dikomposisikan sedemikian rupa sehingga kesannya semrawut, menakutkan dan penuh
teka-teki. Diantara semuanya, kelompok ini adalah yang paling radikal, programnya
adalah membedah, mengolok-olok dan merombak proses modernisasi dan
mencerminkan lingkungannya yang chaos, penuh kekerasan dan berbahaya. Yang
termasuk kelompok ini: Fank Gehry, Gunther Domenig, Coop Himmelblau, Kazuo
Shinohara, Zaha Hadid.

3. Textualist

Kelompok ini melihat bahwa arsitektur yang ada sebagai “built Language” yang
tidak mampu lagi mencerminkan struktur dan kebenaran yang ada, seperti halnya kata
sebagai tanda tidak mampu serta merta menyampaikan makna (kelompok ini sebenarnya
termasuk kelompok dekonstruksi Derridean). Denah dan tampak bangunan yang ada
hanyalah menampilkan bias yang pucat (topeng) dari struktur-struktur kenyataan yang
ada, terlalu banyak yang diredam (repressed). Untuk itu struktur-struktur yang diredam
(absence) perlu ditampilkan dengan mengangkat konflik-konflik internal yang
ada. Bernard Tschumi sebagai salah satu eksponen kelompok ini menyatakan :

“Menciptakan arsitektur adalah membayangkan “cation” dengan cara yang kreatif


dan produktif yaitu lewat narasi dengan medium kata (bahasa), fotografi dan gambar”.

Seperti Derrida, Tschumi memanfaatkan kemungkinan kreatif dari komposisi


intertextual antara arsitektur dengan bahasa, fotografi dan film. Yang termasuk
kelompok ini: Peter Eisenman, Bernard Tschumi, Ben Nicholson, Steven Holl, Diller +
Scofidio.

4. New Mythologist

Utopia merupakan mitos yang selalu ada pada setiap kurun waktu, karena tiada
harapan tanpa utopia. Utopia Arsitektur Modern adalah dunia yang satu, utuh dan
nyaris sama (international style) yang telah gagal memenuhi misi kemanusiaannya.
Utopia kedua adalah kebalikannya: Dystopia atau vision of self-destruction yang tidak
berkembang karena kesadaran manusia untuk tetap mempertahankan kehidupan.
Kelompok ingin menciptakan suatu utopia sebagai suatu mitologi baru, suatu dunia yang
lain yang lokasi dan kaitannya dengan masa lalu, masa kini dan mendatang tidak
dikenali. Diilhami cerita dan film fiksion seperti Star Wars, Blader Runner dan Star
Trek kelompok ini menggagas proyek-proyek imajiner yang menerobos kungkungan
gravitasi, iklim, langgam dan semua tatanan yang ada. Yang termasuk kelompok ini:
Paulo Soleri, Lebbeus Woods, Hodgetts & Fung Design Associates.

5. Technomoprisme

Pada mulanya manusia menciptakan alat (tehnologi) hanya sebagai perpanjangan


tangannya, namun dengan berkembangnya teknologi, hubungan manusia dengan
teknologi sudah demikian menyatu. Telekomunikasi jarak jauh telah menghapuskan
jarak dan waktu dan pada gilirannya mengubah tatanan sosial bangsa-bangsa. Dibidang
kedokteran, organ tubuh manusia sudah bisa digantikan dengan peralatan/
mesin. Sebagai penerus proyek modern yang belum selesai, kelompok ini
mengakomodasi teknologi dan membuatnya menjadi artefak yang tidak hanya menjadi
teknologi bisa dilihat sebagai usaha mengekstensi, manipulasi, mediasi, representasi
serta memetakan self-nya. Yang termasuk kelompok ini: Macdonald + Salter, Toyo Ito,
Morphosis Architects, Holt, Hinshaw, PFAU, Jones.

13
 Dekonstruksi Bentuk Arsitektural

Dekonstruksi bentuk arsitektur dapat dilakukan melalui beberapa cara :

1. Secara intelektual melalui permainan sistem-sistem geometri yang komplek dan


canggih, seperti banyak dilakukan oleh Peter Eisenman.

2. Secara pragmatik atau mekanik melalui model trial-and-error, sketsa dan


eksperimen lapangan, seperti dilakukan oleh Frank Gehry, Zaha Hadid dan Coop
Himmelblau.

3. Secara intuitif melalui pengembangan respons dan impuls kreatif dalam diri arsitek,
seperti terjadi pada Rem Koolhaas dan OMA.

 Dekonstruksi Struktur

Dekonstruksi struktur umumnya dilakukan melalui metoda pragmatis trial-and-error,


dan dibedakan sebagai berikut:

1. Dekonstruksi Konstruksi Massa, seperti pada “Choral Work” karya Eisenman dan
Derrida.

2. Dekonstruksi Konstruksi Bidang, seperti pada “Best Products” karya James Wines
dan site atau “Berlin Museum” karya Libeskind.

3. Dekonstruksi Konstruksi Baja, seperti pada karya-karya Coop Himmelblau.

4. Dekonstruksi Konstruksi Kulit, yang masih jarang ditemukan.

 Studi Kasus

 Hysolar Institute Building

Hysolar Building

Arsitek : Gunther Benisch

A. Yang menandai obyek ini sebagai obyek postmodern adalah :

1) Tidak ditemukannya bentukan-bentukan monoton dan fungsional dari


bangunan ini, yang ada justru bentukan-bentukan baru yang sebelumnya
belum ada dalam arsitektur modern.

2) Bangunan ini cenderung memiliki komposisi yang bebas. Tampak bukan


merupakan proyeksi dari denah 2d-nya, akan tetapi merupakan suatu bentukan
yang didapat dari bentukan geometri yang diolah.

14
3) Tidak adanya ruang yang terjadi karena fungsional seperti pada bangunan
arsitektur modern. Pada tampak terlihat cocktail sticks yang menopang
bangunannya dengan ‘tidak pasti’.

4) Bentuk bangunan miringnya diekstrimkan sebagai ciri utama arsitektur


dekonstruksi, sehingga nampak sekali massa bangunan bukan didapat dari
hasil proyeksi denah.

5) Banyaknya sudut bangunan yang muncul tanpa adanya penjelasan dari segi
fungsinya. Hal itu semata-mata dimunculkan untuk segi estetikanya.

B. Tingkat keterkaitannya dengan arsitektur modern :

Bangunan ini berawal dari bentuk geometris. Sama dengan arsitektur modern yang
menggunakan bentuk geometris sebagai dasar perancangannya, di mana bentuk
bangunan terjadi karena fungsi bangunan dan besaran ruang yang membatasinya. Akan
halnya pada bangunan dekonstruksi ini, memang dari bentuk geometris, tapi bentuk
geometris tadi diolah lagi sedemikian rupa. Bentuknya diurai-uraikan dan kemudian
dihadirkan kembali. Tidak hanya dalam bentuk sebuah bidang, namun juga
bentukan massa yang baru yang mengandung unsur sudut dan garis. Sehingga bentukan
yang terjadi pun jadi jauh lebih kompleks dari bentukan awal geometri. Massanya sarat
dengan unsur sudut yang miring, baik itu dari dindingnya, jendela, atap, dan lain-lain.

Hal inilah yang membuatnya berbeda dengan bangunan arsitektur modern. Pada
arsitektur modern, setelah bentukan awal denah geometris terjadi, maka akan langsung
diproyeksikan menjadi tampak dan potongan. Arsitektur dekonstruksi sebaliknya
sebagaimana telah diuraikan di atas.

Kesamaan lain yang mungkin dapat ditemukan adalah penggunaan bahan bangunan
yang bersifat modern, seperti baja, kaca, aluminium, dll. Pada bangunan modern,
kebanyakan dapat kita temui di Amerika, Chicago, penggunaan baja dan kaca dengan
denah tipikal dianggap sebagai bentukan arsitektur yang sangat menarik. Sedangkan
bagi para arsitek dekonstruksi khususnya dan post modern pada umumnya, penggunaan
material modern tidak hanya sekedar menerapkannya pada bangunan sebagai hasil dari
kemajuan teknologi yang ada. Akan tetapi, mereka menerapkannya ke bangunan
berdasarkan imajinasi mereka, berdasarkan kebutuhan mereka akan estetika yang kerap
dilupakan dalam arsitektur modern. Sehingga dapat terlihat berbagai alternatif
pengaplikasian material ke bangunan dalam berbagai bentuk yang baru. Kaca tidak lagi
terbatas persegi, namun bila diolah sesuai tampak bangunan, dimungkinkan saja untuk
menggunakannya dalam bentuk trapezium. Kolom-kolom baja yang awalnya lurus dari
lantai dasar sampai atas, dapat dibuat lain dengan memiringkannya. Sistem strukturnya
pun masih kuat.

Jadi, arsitektur dekonstruksi sebenarnya merupakan bentuk pengembangan dari


arsitektur modern. Berawal dari bentuk geometri dan penggunaan bahan modern.
Arsitektur dekonstruksi melanjutkan pengembangannya dengan menghadirkan alternatif
desain baru di mana di dalamnya menghadirkan unsur estetika dan filsafat baru tentang
bangunan.

Dengan adanya unsur estetika, bangunan post modern menjadi lebih dinamis dan
lugas dalam penyampainnya ke masyarakat. Bangunannya seakan-akan hidup dan tidak
hanya sekedar bangunan yang mati dan hadir sebagai suatu produk hasil produksi.

C. Arsitek obyek ini melakukan olahan hingga menjadi obyek post modern:

1) Gunther tidak memulai perancangan bangunannya dengan denah, melainkan


massa geometri yang diolah, diuraikan, dan dikomposisi ulang hingga
mendapatkan bentukan baru yang kiranya sesuai dengan filosofisnya.

15
2) Gunther memiringkan dengan ekstrim dinding bangunannya sebagai salah satu
bentuk ‘protes/ menentang’ arsitektur modern yang mengenal dinding itu
haruslah tegak lurus bentuknya.

3) Dari tampak terlihat bentukan-bentukan baru bernuansa abstrak dengan


garis-garis miring dan bentuk bangunan yang seakan-akan mau runtuh.

4) Gunther menggunakan banyak bentuk abstrak yang tidak beraturan dan tidak
beralasan. Ia dijuluki arsitek dekonstruksi dengan aliran abstracting the
open-end.

Hysolar Building Plans

Hysolar Building Elevation

Hysolar Building Section

16
 Peak Club Hongkong

Peak Club

Arsitek: Zaha Hadid

Kompetisi ini dimenangkan oleh Zaha Hadid dengan kekhususan desainnya yang terdiri
dari ‘balok-balok’ memanjang yang disusun bertumpangan, seperti lapisan-lapisan horizontal.
Konsep perancangan tersebut terutama karena bentuk dari situasi geologi Hongkong, yang
terdiri dari lapisan-lapisan yang tersusun dengan tidak teratur sampai ke puncak
pegunungannya. Karena itulah, maka bentuk keseluruhan dari Peak Club Building ini seolah
seperti susunan pegunungan buatan manusia, yang tersusun seperti suatu “kesatuan” yang
tidak merata.

Hal inilah yang kemudian menjadikan bangunan ini termasuk sebagai objek post
modern, karena bangunan ini seolah-olah hidup dan berirama.Tidak ada kesan kaku dan
terikat. Semuanya terlihat sangat lugas. Berbeda dengan arsitektur modern yang kaku dan
tidak ‘hidup’ sama sekali. Akan tetapi kesinambungannya dengan arsitektur modern terlihat
dari pemakaian material modern dan ide bentukan massa asal yang berasal dari bentuk
geometri. Bentuk yang tersusun horizontal namun brutal dan dinamis, sesuai dengan situasi
Hongkong sendiri. Peak Club Building direncanakan sebagai suatu fasilitas untuk
bersenang-senang semata. Penampilannya mewah, dan digunakan untuk masyarakat kelas
atas. Sistem struktur yang unik merupakan bentuk keseluruhan dari bangunan ini, yang terdiri
dari 3 balok berbentuk linear, yang disusun secara tidak beraturan, membentuk sudut yang
berbeda. Dan disatukan dengan permainan ruang-ruang kosong yang bervariasi dan terletak
di antara balok-balok tersebut.

Balok pertama terdiri dari ruang-ruang kosong yang terletak di antara balok-balok massa,
difungsikan sebagai ‘club’ itu sendiri yang terdiri dari kolam renang, perpustakaan dan
fasilitas olah raga. Bagian massa-massa balok itu sendiri berfungsi sebagai apartemen dan
studio (2 lantai). Sedangkan bagian paling atas berfungsi sebagai penthouse. Fasilitas club
yang terletak pada ruang-ruang kosong di antara massa-massa tersebut benar-benar terbuka
dan disituasikan sebagai suatu “pegunungan“, dengan cara membedakan ketinggian lantai.
Seolah-olah seperti lapisan-lapisan, mulai dari kolam renang sampai bagian paling bawah.
Mengalir datar dan melalui sesuatu ramp sebagai area sirkulasi, bar-bar, perpustakaan, dan
tempat-tempat latihan. Konsep Zaha mengenai “penyatuan“ antara bangunan dan
lingkungannya telah tampak jelas di sini. Demikian juga dengan penghubung elemen-elemen
bangunan yang berbeda-beda sesuai aktivitasnya melalui sistem sirkulasi yang ada.

Dari bentuk bangunannya tersebut, maka tak heran bila Zaha dimasukkan ke dalam
dekonstruksi aliran neo constructivist, di mana system konstruksi bangunan dibuat seefisien
mungkin sebagai dasar perancangannya. Dapat berarti menciptakan suatu system struktur
yang tidak pernah terpikir sebelumnya, dan ternyata mampu mendukung seluruh bangunan
tersebut. Sehingga dapat disimpulkan, menurut Zaha, suatu bangunan haruslah dirancang
dengan bertolak dari pemikiran-pemikiran sebagai berikut :

17
1) Bangunan adalah suatu proyek/percobaan yang tidak pernah selesai, sehingga akan
selalu menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru yang belum pernah ada.
Bahkan dimungkinkan suatu bentuk dari masa yang akan datang (future). Zaha
Hadid menganut aliran Russian Suprematism, suatu aliran yang mengawali
dekonstruksi pada umumnya.

2) Supprematism menggambarkan “sesuatu yang melawan masa lampau”, seperti


seorang seniman yang melawan hal-hal yang natural. Bagi Zaha Hadid,
berarsitektur adalah bereksperimen tentang seni arsitektur yang bebas dengan
ide-ide yang baru sama sekali.

3) Dari bentuk bangunannya, dapat dilihat bahwa Zaha termasuk seorang


‘Constructivist’. Bangunannya harus dapat menampilkan ide/cerita yang masih
berupa fantasi/ seuatu bentuk abstrak dari pengarangnya, ke dalam suatu bentuk
nyata atau model dari cerita itu sendiri yaitu bentuk bangunan itu sendiri. Pada
bangunan ini terlihat bahwa bentukannya merupakan suatu bentuk abstrak dari
pegunungan.

4) Bangunan harus dapat memancing emosi dan imajinasi dari tiap-tiap orang yang
melihatnya. Untuk memancing emosi dan imajinasi, pada bangunan ini, Zaha
menggunakan warna-warna ‘berani’, terutama pada bagian penyajiannya.

5) Bangunan menggambarkan sesuatu yang abstrak dan liar, bahkan mungkin menjadi
brutal.

6) Bangunan adalah pemersatu ruang dalam dan ruang luar. Antara bangunan dan
lingkungan sekitar, merupakan kesatuan yang utuh dan saling melengkapi.

7) Bangunan adalah tempat untuk melaksanakan aktifitas yang berbeda-beda. Karena


itu, maka bangunan juga terdiri dari elemen-elemen atau bentuk yang berbeda dan
disatukan oleh sistem sirkulasi dengan penonjolan sistem konstruksi.

8) Pembedaan aktifitas dilakukan dengan pembedaan elemen-elemen bangunannya.


Selain itu, juga berfungsi untuk menghindari kesan monoton. Sebagaimana banyak
ditemui pada arsitektur modern.

9) Banyaknya bangunan Zaha yang menggunakan flying beam membuatnya dijuluki


sebagai arsitek dekonstruksi aliran anti-gravitational space. Banyaknya balok yang
melayang menciptakan bangunan seolah-olah tidak ada yang menopang semakin
menambah cirri khas dekonstruksi bangunannya.

18
Peak Club Drawings

 Heydar Aliyev Center

Heydar Aliyev Center

Arsitek : Zaha Hadid Architects.

Lokasi : Baku, Azerbaijan.

Desain : Zaha Hadid, Patrik Schumacher.

Project Designer and Architect : Saffet Kaya Bekiroglu.

Klien : The Republic of Azerbaijan.

Luas Total Bangunan : 101.801 m2.

Luas Lahan : 111.292 m2.

Tahun Proyek Selesai : 2013.

A. Konsep Desain

Desain Heydar Aliyev Pusat memiliki kesan yang terus menerus, hubungan fluida
antara plaza sekitarnya dan interior bangunan sebagai satu kesatuan yang dapat diakses
oleh semua warga sebagai bagian dari kain perkotaan Baku, yang didedikasikan untuk
perayaan kolektif budaya Azeri kontemporer dan tradisional. Formasi yang rumit seperti
undulations, bifurcations, lipatan, dan infleksi memodifikasi permukaan plaza ini ke
lanskap arsitektur yang melakukan banyak fungsi: ‘menyambut’, ‘memeluk’, dan
mengarahkan pengunjung melalui berbagai tingkat interior. Dengan sikap ini, bangunan
mengaburkan perbedaan konvensional antara objek arsitektur dan lansekap kota,
selubung bangunan dan plaza perkotaan, bentuk dan tanah, interior dan eksterior.

19
Bentuk Lipatan pada Heydar Aliyev Center

Kulit Bangunan pada Heydar Aliyev Center

Fluiditas dalam arsitektur tidak baru untuk wilayah ini. Dalam arsitektur Islam,
baris, grid, atau urutan kolom mengalir tanpa batas, seperti pohon di hutan, membangun
ruang non-hirarkis. Pola kaligrafi dan hiasan terus menerus mengalir dari karpet ke
dinding, dinding untuk langit-langit, langit-langit untuk kubah, membangun hubungan
mulus dan mengaburkan perbedaan antara unsur-unsur arsitektur dan tanah yang mereka
huni. Tujuannya adalah untuk berhubungan dengan pemahaman sejarah arsitektur, tidak
melalui penggunaan mimikri atau suatu nilai tetap (norma) membatasi untuk ikonografi
masa lalu, melainkan dengan mengembangkan interpretasi tegas kontemporer,
mencerminkan pemahaman yang lebih bernuansa. Menanggapi penurunan tipis
topografi yang mebuat lahan terbagi menjadi dua bagian, proyek ini membuat lanskap
bertingkat yang mebiarkan koneksi alternatif dan rute antara plaza publik, bangunan,
dan parkir bawah tanah. Solusi ini menghindari penggalian tambahan dan TPA, dan
berhasil mengubah sebuah kelemahan menjadi fitur desain utama.

B. Geometri, Struktur, dan Materialitas

Salah satu elemen menantang yang paling penting dari proyek ini adalah
pengembangan arsitektur kulit bangunan. Ambisinya adalah untuk mebuat suatu bentuk
terus menerus yang berkesan homogen, namun mewadahi berbagai fungsi yang berbeda.
Logika konstruksi, dan sistem teknis harus dibawa bersama-sama dan terintegrasi ke
dalam selubung bangunan. Komputasi canggih digunakan, sebagai kontrol dan
komunikasi dari berbagai macam kompleksitas, antara banyak peserta proyek.

Heydar Aliyev Center prinsipnya terdiri dari dua sistem yang berkolaborasi:
Struktur beton dikombinasikan dengan sistem space frame. Untuk mencapai skala besar
ruang bebas kolom yang memungkinkan pengunjung untuk mengalami fluiditas interior,
elemen struktur vertikal diserap oleh selubung bangunan dan sistem dinding tirai
(curtain). Geometri permukaan tertentu mendorong solusi struktural yang tidak
konvensional, seperti pendekatan melengkung 'booting column' untuk membentuk

20
lengkungan dari permukaan tanah ke Barat bangunan, dan 'pas' meruncing dari balok
kantilever yang mendukung selubung bangunan ke timur site.

Sistem space frame memungkinkan pembangunan struktur bebas-bentuk dan


menghemat waktu yang signifikan selama proses pembangunan, sementara substruktur
dikembangkan untuk menggabungkan hubungan yang fleksibel antara grid kaku dari
rangka ruang dan sistem cladding eksterior bebas terbentuk. Sambungan tersebut berasal
dari proses rasionalisasi kompleks geometri, penggunaan, dan estetika proyek. Kaca
beton serat (GFRC) dan Fiber Glass Reinforced Polyester (GFRP) dipilih sebagai bahan
cladding ideal, karena bahan-bahan tersebut memungkinkan untuk plastisitas kuat dari
desain bangunan sementara menanggapi tuntutan fungsional yang sangat berbeda terkait
dengan berbagai situasi.

Pembangunan Heydar Aliyev Center

Dalam komposisi arsitektur ini, jika permukaan adalah musik, maka bagian
sambungan antara panel adalah irama. Sejumlah penelitian dilakukan pada geometri
permukaan untuk merasionalisasi panel tetap menjaga kelangsungan seluruh bangunan
dan lanskap. Sambungannya mempromosikan pemahaman yang lebih besar dari skala
proyek yang menekankan transformasi menerus dan gerak tersirat dari geometri fluida,
menawarkan solusi pragmatis untuk masalah konstruksi praktis seperti manufaktur,
penanganan, transportasi dan perakitan; dan menjawab permasalahan teknis seperti
menahan gerakan karena defleksi, beban eksternal, perubahan suhu, aktivitas seismik
dan beban angin.

Untuk menekankan hubungan yang berkelanjutan antara eksterior bangunan dan


interior, pencahayaan dari Heydar Aliyev Center sangat hati-hati. Strategi desain
pencahayaan dibedakan antara siang dan malam pada bangunan. Pada siang hari,
volume bangunan memantulkan cahaya, terus-menerus mengubah penampilan bangunan
menurut waktu, dari segi perspektif. Penggunaan kaca semi-reflektif memberikan
kilasan yang menggoda, membangkitkan rasa ingin tahu tanpa mengungkapkan bentuk
fluida dari dalam. Pada malam hari, karakter ini secara bertahap berubah dengan cara
pencahayaan yang menyorot dari interior ke area eksterior, berlangsung komposisi
formal untuk mengungkapkan isi dan mempertahankan fluiditas antara interior dan
eksterior.

21
 Extension Totte Denver Art Museum The Eye and The Wing

Denver Art Museum

Arsitek: Daniel Libeskind

Daniel Libeskind merupakan salah satu penganut gaya anti modern yang selalu dapat
terlihat dalam setiap proyek yang ditanganinya. Ia menyebut bangunannya sebagai “bukan
teori”, dan “bukan arsitektur”. Seperti Leon Krier yang mempengaruhi lewat membangun
tidak berdaar visinya. Libeskind memiliki pengaruh yang mana proyeknya benar-benar
murni dan tidak terkontaminasi dengan kenyataan. Model rancangannya kebanyakan
mengambil bentuk estetika neo modern ke arah ekstrim dengan menampilkan frenzied
cacophony dari ‘cocktail sticks’, ‘flying beams’, ‘excavations/ penggalian’, ‘tilted floor and
walls/ lantai dan dinding yang miring’, dan ‘self contradictory inscription/inskripsi diri yang
kontradiksi’. Semuanya ini dipusatkan pada akhir yang apokalipstik. Hasilnya, Libeskind
memperkenalkan bentukan gaya baru dari bangunan, di mana menghapuskan pendominasian
arsitektur modern setelah sekian lama.

Bentuk Tajam Denver Art Museum

Pada salah satu bangunan hasil rancangannya ini terlihat pemakaian flying beams,
karena dari tampak bangunannya sendiri sudah miring dan tidak beraturan. Dasar bentuk
bangunannya tidak jelas, seakan-akan berasal dari persegi untuk bentuk dua dimensinya,
namun kemudian digabungkan dengan bentuk segitiga dalam bentuk tiga dimensinya. Tilted
floors and walls/ lantai dan dinding yang miring jelas terlihat dari tampak. Terlebih karena
bangunan memang seakan-akan segera rubuh dengan adanya kemiringan-kemiringan tersebut.
Namun Libeskind berhasil menggabungkan semuanya itu dan menghasilkan bentukan yang
memang dinamis dan sebelumnya tidak dapat ditemukan dalam aliran arsitektur modern.
Daniel kerap dijuluki sebagai arsitek dekonstruksi yang beraliran between the lines, karena ia
berada di antara modern dan neo modern serta berupaya menggabungkan keduanya hingga
mendapatkan suatu desain baru.

22
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dalam merancang dengan berpegang pada kaidah kaidah dekonstruksi, suatu objek akan
mengalami dua proses utama secara garis besar, yang pertama adalah objek objek itu akan
diuraikan (deconstructing), ataupun dihancurkan (destroy) ke dalam potongan-potongan
(fragment). Yang kedua adalah potongan potongan tersebut dirangkaikan kembali
(reconstructing)menjadi suatu bentuk baru yangidentitasnya sama sekali berbeda dengan
sebelumnya

Dekonstruktivisme dalam arsitektur telah menjadi suatu fenomena yang berpengaruh dalam
perkembangan perancangan sejak awal kemunculannya. prinsip dekonstruksi telah melahirkan
bangunan-bangunan luar biasa dengan bentukan dan gubahan massa yang tidak teratur, terdistorsi,
abstrak dan bahkan antigravaitasi. Arsitektur dekontruksi memberikan kesempatan untuk
menampilkan realisasi dari model atau ide apapun menjadi bangunan yang dapat digunakan untuk
menambah nilai estetika dan menyampaikan pesan.

Daftar Isi

 https://www.scribd.com/document/327995689/SEJARAH-ARSITEKTUR-DEKONSTRUKS
I

 https://www.academia.edu/33445909/Arsitektur_dekonstruksi_derridean_dan_non_derridean

 http://perkembanganarsitekturdunia.blogspot.com/2013/01/sejarah-dan-perkembangan-arsite
ktur.html

 https://www.academia.edu/6755840/ARSITEKTUR_DEKONTRUKSI_KESAN_MANIPUL
ASI_PADA_FASAD

 https://www.academia.edu/3822309/DEKONSTRUKSI

23

Anda mungkin juga menyukai