Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karuniaNya sehingga makalah tentang, “DESAIN PEMBELAJARAN MODEL HANAFFIN
AND PECK”, telah dapat penulis selesaikan. Makalah ini sebagai salah satu tugas yang harus
diselesaikan dalam rangka menyelesaikan mata kuliah Desain Model Pembelajaran IPS pada
program Studi Magister Pendidikan IPS di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bantuan baik moril maupun materiil sehingga makalah ini dapat kami selesaikan, kepada :
1. Dr. R Gunawan Sudarmato, SPd, SE, MM selaku dosen Mata Kuliah Desain Model
Pembelajaran IPS pada program studi Magister Pendidikan IPS Universitas Lampung.
2. Dr. Herpratiwi, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Desain Model Pembelajaran IPS
pada Program Studi Magister Pendidikan IPS Universitas Lampung.
3. Teman-teman sejawat yang telah membantu terselesainya makalah ini.
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.

Akhirnya penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap, semoga makalah ini akan bermanfaat
untuk menambah ilmu dan wawasan bagi pembacanya.

Bandar Lampung, Desember 2012


Penulis,

SYAMSI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Desain pembelajaran adalah praktik penyusunan media teknologi komunikasi dan isi
untuk membantu agar dapat terjadi transfer pengetahuan secara efektif antara guru dan peserta
didik. Model-model desain rencana pembelajaran adalah model PPSI, model Banathy, model
Kemp, model Gerlach & Elly, model Dick & Carrey, model ASSURE, model ADDIE, model
Hanafin and Peck, dan model waterfall. Dalam model PPSI pengajaran dipandang sebagai suatu
sistem. Sub-sistem dari pengajaran, diantaranya tujuan pembelajaran, bahan pelajaran, kegiatan
pembelajaran, alat-alat dan sumber pembelajaran dan evaluasi. Model kemp berorientasi pada
perancangan pembelajaran yang menyeluruh. Sehingga guru sekolah dasar dan sekolah
menengah, dosen perguruan tinggi, pelatih di bidang industri, serta ahli media yang akan bekerja
sebagai perancang pembelajaran. Model Banathy bertitik tolak dari pendekatan sistem (sistem
approach), yang mencakup keenam komponen (langkah) yang saling berinterelasi dan
berinteraksi untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Model Gerlach & Elly
menjadi suatu garis pedoman atau suatu peta perjalanan pembelajaran karena model ini
memperlihatkan keseluruhan proses belajar mengajar yang baik, sekalipun tidak menggambarkan
secara rinci setiap komponennya.
Desain pembelajaran dikenal beberapa model yang dikemukakan oleh para ahli. Secara
umum, model desain pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam model berorientasi kelas,
model berorientasi sistem, model berorientasi produk, model prosedural dan model melingkar.
Model berorientasi kelas biasanya ditujukan untuk mendesain pembelajaran level mikro (kelas)
yang hanya dilakukan setiap dua jam pelajaran atau lebih. Contohnya adalah model ADDIE.
Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu produk
biasanya media pembelajaran misalnya, video pembelajaran, multimedia pembelajaran atau
modul. Contoh modelnya adalah model Hannafin and Peck. Model berorientasi system yaitu
model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu system pembelajaran yang cakupannya
luas seperti desain sistem suatu pelatihan kurikulum sekolah. Contohnya adalah model ADDIE.
Selain itu ada pula yang biasa kita sebut sebagai model procedural dan model melingkar.
Contohnya dari model procedural adalah model Dick And Carrey dan contoh model melingkar
adalah model J. E. Kemp.
Adanya variasi model yang ada ini sebenarnya dapat menguntungkan kita. Beberapa
keuntungan itu antara lain adalah kita dapat memilih dan menerapkan salah satu model desain
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik yang kita hadapi dilapangan selain itu juga, kita
dapat mengembangkan dan membuat model turunan dari model-model yang telah ada. Selain itu
kita juga dapat meneliti dan mengembangkan desain yang telah ada untuk dicoba dan diperbaiki.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penulisan makalah ini dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep media pembelajaran?
2. Apakah pengertian pembelajaran model Hanaffin and Pack?
3. Bagaimana langkah-langkah model pembelajaran Hanaffin and Pack?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
1. Untuk menjelaskan bagaimana cara pembelajaran yang diajarkan, sehingga bisa terlaksana
pembelajaran yang diingkan. Melalui konsep media pembelajaran ini peserta didik dapat
mengerti dan memahami bagaimana sistem pembelajaran tersebut.
2. Pembelajaran model Hanaffin and Pack bisa juga membantu peserta didik untuk belajar waupun
tidak semua siswa mengerti akan pembelajaran melalui model assure ini, sehingga cara untuk
menerapkannya sedikit diminati oleh siswa. Akan tetapi apabila model pembelajaran ini
diterapkan dengan baik maka peserta didik juga dapat mengembangkan model
pembelajaran Hanaffin and Pack ini juga.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Model Pembelajaran.


Definisi desain sistem pembelajaran merupakan desain pembentukan keseluruhan,
struktur kerangka atau outline dan urutan atau sistematika kegiatan. Sehingga desain yang dibuat
agar menjadi sebuah kegiatan yang efektif, effisien, dan menarik. Apabila pembelajaran itu
menarik maka peserta didik tidak merasa bosan atau monoton, jadi kita dapat membuat
pembelajaran itu menyenangkan buat pesarta didik. Baik dari cara mengajar, menyampaikan, dan
lain-lain. Prekripsi tentang desain pembelajaran juga untuk mencapai tujuan pembelajaran
tertentu, dengan kondisi yang karakteristiknya mata ajar tertentu dan karakteristik pembelajaran
tertentu.
Selain itu, strategi pembelajaran yang digunakan juga melalui metode, media, dan
lingkungan. Serta komponen utama mendesain pembelajaran dapat melalui beberapa pertanyaan,
misalnya:
1. Apa tujuan (objektives) yang diinginkan?
2. Siapa audiens (learners) yang menjadi sasaran?
3. Materi (subject content) apa yang akan diajar atau dilatihkan?
4. Metode dan media apa yang paling tepat untuk mencapai tujuan?
5. Bagaiman cara utuk mencapai tujuan tersebut diukur atau evaluasi?
Pembelajaran merupakan rangkaian peristiwa atau kegiatan yang disampaikan secara
struktur dan terencana dengan menggunakan sebuah atau beberapa jenis media. Proses belajar
mengajar yang dilakukan harus mempunyai tujuan agar peserta didik dapat mecapai kompetensi
seperti yang diharapkan. Perancangan aktivitas pembelajaran disebut desain sistem
pembelajaran.
2.2 Pengertian Pembelajaran Model Hanaffin and Pack
Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berfikir. (Pribadi,2009:75).
Dalam desain pembelajaran dikenal beberapa model yang dikemukakan oleh para ahli. Secara
umum, model desain pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam model berorientasi kelas,
model berorientasi sistem, model berorientasi produk, model prosedural dan model melingkar.
Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran untuk menghasilkan suatu produk,
biasanya media pembelajaran, misalnya video pembelajaran, multimedia pembelajaran, atau
modul. Contoh modelnya adalah Model Hannafin And Peck.
Para pengguna produk/program pembelajaran yang dihasilkan melalui penerapan desain
sistem pembelajaran pada model ini biasanya tidak memiliki kontak langsung dengan
pengembang programmnya. Kontak langsung antara pengguna program hanya terjadi pada saat
proses evaluasi terhadap prototipa program.
Model-model yang tergolong sebagai model yang berorientasi pada produk biasanya
ditandai dengan empat asumsi pokok yaitu : (a) produk atau program pembelajaran memang
sangat diperlukan, (2) produk atau program pembelajaran baru memang perlu diproduksi, (3)
produk atau program pembelajaran memerkukan proses uji coba dan revisi, (4) produk atau
program pembelajaran dapat digunakan hanya dengan bimbingan dari fasilitator.
Model Hannafin dan Peck adalah model desain pembelajaran yang terdiri daripada tiga
fase yaitu fase Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi
(Hannafin & Peck, 1988). Dalam model ini, penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam
setiap fase. Model ini lebih berorientasi produk, melalui tiga fase. Fase-fase tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
2.3 Langkah-langkah Desain Pembelajaran Model Hanaffin and Peck
Model Hannafin dan Peck ialah model desain pengajaran yang terdiri daripada tiga fase
yaitu fase Analisis kebutuhan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi. Dalam
model ini, penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam setiap fase. Model Hannafin and
Peck adalah model desain pembelajaran yang berorientasi produk.
Fase pertama dari model Hannafin dan Peck adalah analisis kebutuhan. Fase ini
diperlukan untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dalam mengembangkan suatu media
pembelajaran termasuklah di dalamnya tujuan dan objektif media pembelajaran yang dibuat,
pengetahuan dan kemahiran yang diperlukan oleh kelompok sasaran, peralatan dan keperluan
media pembelajaran. Setelah semua keperluan diidentifikasi Hannafin dan Peck menekankan
untuk menjalankan penilaian terhadap hasil itu sebelum meneruskan pembangunan ke fase
desain.
Fase yang kedua dari model Hannafin dan Peck adalah fase desain. Di dalam fase ini
informasi dari fase analisis dipindahkan ke dalam bentuk dokumen yang akan menjadi tujuan
pembuatan media pembelajaran. Hannafin dan Peck dalam fase ini desain bertujuan untuk
mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaedah yang paling baik untuk mencapai tujuan
pembuatan media tersebut. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam fase ini ialah
dokumen story board yang mengikut urutan aktivitas pengajaran berdasarkan keperluan
pelajaran dan objektif media pembelajaran seperti yang diperoleh dalam fase analisis
kebutuhan. Story Board adalah kolom teks, audio dan visualisasi dengan keterangan mengenai
content dan visualisasi yang digunakan untuk produksi sebuah program. Seperti halnya pada fase
pertama, penilaian perlu dijalankan dalam fase ini sebelum dilanjutkan ke fase pengembangan
dan implementasi.
Fase ketiga dari model Hannafin dan Peck adalah fase pengembangan dan
implementasi. Hannafin dan Peck, mengatakan aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah
penghasilan diagram alur, serta penilaian formatif dan penilaian sumatif. Dokumen story
board akan dijadikan landasan bagi pembuatan diagram alur yang dapat membantu proses
pembuatan media pembelajaran. Model Hannafin dan Peck (1988) menekankan proses penilaian
dan pengulangan harus mengikutsertakan proses-proses pengujian dan penilaian media
pembelajaran yang melibatkan ketiga fase secara berkesinambungan. Lebih lanjutHannafin dan
Peck (1988) menyebutkan dua jenis penilaian yaitu penilaian formatif dan penilaian sumatif.
Penilaian formatif ialah penilaian yang dilakukan sepanjang proses pengembangan media
sedangkan penilaian sumatif dilakukan setelah media telah selesai dikembangkan.
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Model Hannafin dan Peck adalah model desain pembelajaran yang terdiri daripada tiga
fase yaitu fase Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi
(Hannafin & Peck, 1988). Dalam model ini, penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam
setiap fase. Model ini lebih berorientasi produk, melalui tiga fase:
1. Fase pertama, adalah analisis kebutuhan dilakukan dengan mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan dalam mengembangkan suatu media pembelajaran termasuklah di
dalamnya tujuan dan objektif media pembelajaran yang dibuat, pengetahuan dan
kemahiran yang diperlukan oleh kelompok sasaran, peralatan dan keperluan media
pembelajaran.
2. Fase kedua, adalah fase desain, informasi dari fase analisis dipindahkan ke dalam
bentuk dokumen yang akan menjadi tujuan pembuatan media pembelajaran. Fase desain
bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaidah yang paling baik untuk
mencapai tujuan pembuatan media tersebut. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam
fase ini adalah dokumen story board yang mengikut urutan aktifitas pembelajaran
berdasarkan keperluan pelajaran dan objektif media pembelajaran seperti yang diperoleh
dalam fase analisis keperluan.
3. Fase ketiga adalah fase pengembangan dan implementasi, terdiri dari penghasilan
diagram alur, pengujian, serta penilaian formatif dan penilaian sumatif. Dokumen story
board akan dijadikan landasan bagi pembuatan diagram alir yang dapat membantu proses
pembuatan media pembelajaran. Untuk menilai kelancaran media yang dihasilkan seperti
kesinambungan link, penilaian dan pengujian dilaksanakan pada fase ini. Model Hannafin
dan Peck (1988) menekankan proses penilaian dan pengulangan harus mengikutsertakan
proses-proses pengujian dan penilaian media pembelajaran yang melibatkan ketiga fase
secara berkesinambungan.

3.2 Saran
Makalah dan Media Pembelajaran yang membahas tentang Model Pembelajaran Hanaffin
and Peck ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam pengajaran maupun dalam
pembelajaran, sehingga dapat membantu berlangsungnya belajar mengajar. Walaupun
pembahasan yang kami buat belum memenuhi kriteria akan tetapi sedikitnya bisa membantu.
DAFTAR PUSTAKA

Pribadi, Benny A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Suparman, Atwi. 2009. Desain Intruksional. Jakarta: Universitas Terbuka

Hamelik, Oemar, Perencanaan Pengajaran BerdasarkanPendekatan Sistem,Jakarta: PT. Bumi Aksara,


2005, cetakan keempat

http://instructionaltheorycourse.blogspot.com/2009/02/1-introduction

Dadang Supriatna, Konsep Dasar Desain Pembelajaran, Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik
Dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak Kanak Dan Pendidikan Luar Biasa 2009

Hannafin, M.J. & Peck, K.L. 1988. The design, development, and evaluation Of instructional software. New
York: Mc Millan Publishing Company

Hasbullah, (2006) Implementasi E-Learning Dalam Pengembangan Pembelajaran di Perguruan Tinggi


(Proceeding), SNPTE 2006, UNY, Yogyakarta
A. PERENCANAAN PEMBELAJARAN

Perencanaan berasal dari kata rencana atau dalam Bahasa Inggris kita biasa
menyebutnya “Planing”. Dari kata rencana itu sendiri kita dapat artikan sesuatu yang akan
dilakukan. Dengan demikin perencanan adalah susunan dari beberapa hal yang akan dilakukan.
Seperti dikutip dalam buku Administrative Action Techniques of Organization and
Management karangn William H. Newman (Abdul Majid, 2011:15) menjelaskan bahwa :

‘ Perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Perencanaan mengandung rangkaian-
rangkaian putusan yang luas dan penjelasan-penjelasan dari tujuan, penentuan kebijakan,
penentuan program, penentuan metode-metode dan prosedur tertentu dan penentuan kegiatan
berdasarkan jadwal sehari-hari.’

Perencanaan erat kaitannya dengan tujuan dari diadakannya suatu kegiatan. Ketika suatu kegiatan
memiliki tujuan yang jelas maka penjabaran dari tujuan tersebut adalah susunan rencana yang akan
dijalankan. Perencanaan menjadi penentu dari kebijakan-kebijakan yang dibuat, mennentukan
program-program yang dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan awal, serta menentukn metode-
metode dan prosedur tertentu agar kegiatan yng dilaksnakan dapat berjalan dengan lancar dan
memberikan manfaat. Dengan kata lain, perencanaan dapat menghasilkan keputusan-keputusan
yang disusun dan akan dilaksanakan dikemudian hari. Seperti yang dikemukakan oleh Nana
Sudjana dalam Abdul Majid (2011:16) bahwa perencanan adalah proses yang sistematis dalam
pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang.

Dilihat dari definsi-definisi perencanan di atas, menunjukkan bahwa perencanaan merupakan


penentu suatu keputusan yang akan dilakukan di masa yang akan datang guna mencapai tujuan
yang diinginkan. Dan dirumuskan pada suatau rangkaian-rangkaian atau langkah-langkah yang
sistematis. Perumusan inilah yang menjadi titik awal dibuatnya rencana-rencana.

Pembelajaran menurut Dengeng (Afandi dan Badarudin, 2011:2) adalah upaya untuk
membelajarkan siswa. Artinya bahwa, pembelajran merupakan cara memberikan ilmu pada siswa
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan. Sebelum dilaksanakannya
pembelajaran, seorang guru harus memiliki panduan atau pedoman agar proses pembelajaran
dapat berjalan dengan baik dan lancar serta yang paling penting adalah tujuan dari diadakannya
pembelajarn dapat tercapai.

Pedoman tersebut tidak lain adalah perencanaan. Jadi pada intinya, perencanaan pembelajaran
adalah susunan rencana yang sistematis yang berisi bagaimana proses pembelajaran akan
dilaksanakan dan kendala-kendala apa yang kemungkinan akan terjadi serta media apa sajakah
yang diperlukan untuk menunjang kesuksesan pembelajaran yang berarti tujuan awal telah tercapai.

B. MODEL HANAFIN DAN PECK

Model Hanafin dan Peck merupakan salah satu dari banyak model desain pembelajaran yang
berorietasi produk. Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran utuk
menghasilkan suatu produk, biasanya media pembelajaran (Afandi dan Badarudin, 2011:22).

Menurut Hanafin dan Peck (Afandi dan Badarudin, 2011:26) model desain pembelajaran terdiri dari
tiga fase yaitu Need Assessment (Fase Analisis Keperluan), Design (Fase Desain),
dan Develop/Implement (Fase Pengembangan dan Implementasi). Dalam model ini disetiap fase
akan dilakukan penilaian dan pengulangan.
Fase pertama dari model Hanafim dan Peck adalah analisis kebutuhan (Need Assessment). Di
model sebelumnya yakni model ADDIE juga menerangkan bahwa tahap pertama dari model
tersebut adalah analisa (Analysis) yang didalamnya memuat Need Assessment.

Pengertian analisis kebutuhan dalam konteks pegembangan kurikulum menurut John Mc-Neil (Wina
Sanjaya, 2008:91) ialah : ‘the process by which one defines educational needs and decides what
their priorities are’. Artinya, bahwa analisis kebutuhan merupakan sebuah proses yang didefinisikan
sebagai sebuah kebutuhan pendidikan dan ditentukan sesuai dengan prioritasnya. Jadi pada intinya,
proses ini merupakan proses untuk menentukan hal utama dari apa yang dibutuhkan dalam
pendidikan.

Menganalisis kebutuhan menjadi hal dasar dalam mendesin pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Tidak mudah mengidentifikasi apa yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Terdapat langkah-langkah
dalam fase analisis kebutuhan, Glasgow dalam Wina Sanjaya (2008:93) mengemukakan secara
detail langkah-langkah need assessment yakni :

1. Tahapan Pengumpulan Informasi

Dalam merancang pembelajaran pertama kali seorang desainer perlu memahami terlebih dahulu
informasi tentang siapa dapat mengerjakan apa, siapa memahami apa, siapa yang akan belajar,
kendala-kendala apa yang dihadapi dan lain sebagainya. Berbagai informasi yang dikumpulkan
akan bermanfat dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai. Jadi, informsi yang terkumpul
digunakan sebagai dasar dalam merancang sistem pembelajaran. Model Hanafin dan Peck ini
berorintasi pada produk sehingga informasi yang dibutuhkan mislnya bagaimana cara pembuatan
media pembelajaran dengan bahan yang ada.

2. Tahapan Identifikasi Kesenjangan

dalam mengidentifikasi kesenjangan Kaufan dan English dalam Wina Sanjaya (2008), menjelaskan
bahwa terdapat lima elemen yang saling berkaitan yakni Input, Proses,
Produk, Output dan Outcome. Input meliputi kondisi yang tersedi saat ini misalnya tentang
keuangan, waktu, bangunan, guru, pelajar, kebutuhan. Komponen proses, meliputi perencanaan,
metode, pembelajaran individu, dan kurikulum. Komponen produk, meliputi penyelesaian
pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dimiliki. Komonen output, meliputi ijazah
kelulusan, keterampilan prasyarat, lisensi. Komponen Outcome, meliputi kecukupan dan kontribusi
individu atau kelompok saat ini dan masa depan.

Dari analisis diatas dapat digambarkan masalah dan kebutuhan pada setiap komponen
yakni Input, proses, produk dan Output.

3. Analisis Performance

Tahap selanjutnya adalah tahap menganalisis performance. Pada tahap ini sorang guru yang sudah
memahami informasi dan mengidentifikasi kesenjangan yang ada, kemudian mencari cara untuk
memecahkan kesenjangan tersebut. Baik dengan perencanaan pembelajaran atau dengan cara
lain, seperti melalui kebijakan pengelolaan baru, penentuan struktur organsasi yang lebih baik, atau
mungkin melalui pengembangan bahan dan alat-alat. Jika dilihat dari orientasi model Hanafin dan
Peck yang mengarah ke produk maka dalam analisis performance msalah yang mungkin bisa
diselesaikan adalah tentng pengembangan bahan dan alat-alat.

4. Mengidentifikasi Kendala Beserta Sumber-sumbernya


Tahap keempat dalam need assessment adalah mengidentifikasi berbagai kendala yang muncul
beserta sumber-sumbernya. Maksudnya, kita harus mengantisipsi kendala yang mungkin akan
muncul. Kendala dapat berupa waktu, fasilitas, bahan, personal dan lain sebginya. Dan sumbernya
bisa berasal dari orang yang terlibat (guru atau siswa), berasal dari fasilitas yang mendukung atau
tidak, dan jumlah pendanaan beserta pengaturannya.

5. Identifikasi Krakteristik Siswa

Siswa menjadi pusat dalam pembelajaran, oleh karena itu identifikasi karakteristik siswa sangat
dibutuhkan. Sebab, tidak ada siswa yang sama sehingga penangan dari setiap masalah yang ada di
setiap siswa akan berbeda pula. Identifikasi karakteristik siswa meliputi usia, jens kelamin, level
pendidikan, gaya belajar dan lain sebagainya. Dengan identifikasi tersebut dapat bermanfaat ketika
kita menentuka tujuan yang harus dicaai, pemilihan dan penggunaan strategi embelajaran yang
dianggap cocok.

6. Identifikasi Tujuan

Mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai merupakan tahap keenam dalam need assessment. Tidak
semua kebutuhan menjadi tujuan yang ingin dicapai, namun kebutuhan-kebutuhan yang
diprioritaskanlah yang menjadi tujuan agar dapat segera dipecahkan sesuai kondisi.

7. Menentukan Permasalahan

Tahap terakhir adalah menentukan permasalahan, sebagai pedoman dalam penyusunan proses
desain pembelajaran. Dalam model Hanafin dan Peck berorientasi produk, sehingga masalah yang
biasanya timbul adalah tentang media pembelajaran.

Setelah semua langkah dijalankan, kemudian dilakukan sebuah tes atau penlaian terhadap hasil
dalam fase ini. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidakkah kebutuhan yang
seharusnya ada tetapi tidak tercatat. Sebab, hal ini justru akan menjadikan msalah baru di masa
yang akan datang.

Fase kedua dari Hanfin dan Peck adalah fase desain (Design). Hanafin dan Peck (Afandi dan
Badarudin, 2011) menytakan fase desain bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan
kaidah yang paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media tersebut. Dokumen tersebut dapat
berupa story board. Jadi, hasil dari need assessment kemudian dituangkan ke dalam sebuah papan
dan caranya dengan mengikuti aktifitas yang sudah dianalisis dalam need assessment sebelumnya.
Dokumen ini nantiya akan memudahkan kita dalam menentukan tujuan pembuatan media
pembelajaran, karena merupakan sebuah papan.

Dalam fase kedua ini, tidak lupa dilakukan tes atau penilaian sebelum dilanjutkan ke fase
pengembangan dan implementasi. Hanafin dan Peck telah menggambarkan (gambr 1) bahwa harus
ada timbal blik dari setiap fase, hal ini mungkin membuat kita mudah megetahui kesalahan yang kita
buat dan menjadi pembelajaran untuk kita.

Fase terakhir dari model Hanafin dan Peck adalah pengembangan dan implementasi. Hanafin dan
Peck (Afandi dan Badarudin, 2011) mengatakan aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah
penghasilan diagram alur, pengujian, serta penilain formatif dan sumatif. Penilaian formatif ialah
penialain yang dijalankan saat proses pengembangan media berlangsung, sedangkan penilaian
sumatif dijalankan pada akhir proses. Pada fase ini media dikembangkan dan pembelajaran
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah dibuat berdasarkan analisis kebutuhan dan desain
yang telah dijalankan.
2. Kurikulum 1975
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb (1973-
1978). Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah:
1. Sifat: integrated curriculum organization.
2. SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang studi.
3. Pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
4. Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika.
5. Jumlah mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi.
6. Penjurusan SMA dibagi tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan semester II kelas 1. Ketika
belum semua sekolah mengimplementasikan Kurikulum 1975, mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa
mengejar kemajuan pesat masyarakat. Maka kurikulum 1975 diganti oleh Kurikulum 1984.
3. Kurikulum 1984
Kurikulum ini diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
seorang ahli sejarah Indoesia. Ketentuan-ketentuan dalam Kurikulum 1984 adalah:
1. Sifat: Content Based Curnculum.
2. Program pelajaran mencakup 11 bidang studi.
3. Jumlah mata pelajaran SMP menjadi 12 bidang studi.
4. Jumlah mata pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program inti, 4 bidang studi untuk program pilihan.
5. Penjurusan SMA dibagi lima: program A1 (Ilmu Fisika), A2 (Ilmu Biologi), A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya,
dan A5 (Ilmu Agama).
6. Penjurusan dilakukan di kelas II. Pada Kurikulum 1984 penambahan bidang studi, yakni Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Hal ini bisa dimaklumi karena menteri pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan.
Dalam perjalanannya, Kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat beban sehingga
diganti dengan Kurikulum 1994 yang lebih sederhana.

4. Kurikulum 1994
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof Dr. Ing Wardiman
Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ. Habibie. Ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Kurikulum 1994 adalah:
1. bersifat: Objective Based Curriculum.
2. nama SMP diganti mejadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah
Menengah Umum).
3. mata pelajaran PSPB dihapus.
4. program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran.
5. Program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran.
6. Penjurusan SMA dilakukan di kelas II terdiri dari program IPA, program IPS, dan program Bahasa.
Ketika reformasi bergulir tahun 1998, Kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian
dalam rangka mengakomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen Kurikulurn 1994
yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian materi pelajaran,
terutama mata pelajaran seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa mata pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi
kurikulum ini pun mengalami nasib yang sama dengan kurikulum sebelumnya. Bersamaan dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, pemerinrah melalui Departemen pendidikan Nasional menggagas
kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Kurikulum 1975
Pada tahun 1973, GBHN pertama dilaksanakan sebagai Keputusan MPR No. II/MPR/1973.
Berdasarkan TAP MPR ini dan juga hasil dari beberapa percobaan dalam bidang pendidikan dan
pengajaran maka disusun kurikulum 1975. Untuk pertama kalinya kurikulum ini didasarkan pada
tujuan pendidikan yang jelas. Dari tujuan pendidikan tersebut dijabarkan tujuan-tujuan yang
ingin dicapai yaitu tujuan instruksional umum, tujuanj instruksional khusus, dan berbagai rincian
lainnya sehingga jelas apa yang akan dicapai melalui kurikulum tersebut.
Dalam kurikulum ini, satu hal yang menonjol adalah dengan digunakannya sistem
instruksional. Dalam tiap mata pelajaran, diberikan tujuan kurikulum, dan di tiap bahasan,
diberikan pula tujuan instruksional bagi guru dan siswa apa yang harus dicapai. Jadi dalam
pengajaran, sudah ditentukan tujuan-tujuan yang setelah proses belajar, harus dicapai oleh siswa.
Hal ini tentu saja membuat bahan ajar tidak bisa berkembang. Proses belajar ditentukan terlebih
dahulu oleh pembuat kebijakan tentang output yang ingin dihasilkan. Siswa dan guru akan
cenderung lebih pasif dalam proses belajar mengajar. Adapun ciri-ciri lebih lengkap kurikulum
ini adalah sebagai berikut:
 Berorientasi pada tujuan.
 Menganut pendekatan integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan
yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
 Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
 Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang
spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
 Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-
jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kurikulum 1984
Pendidikan idiologi dalam kurikulum 1984 tetap menjadi warna yang dominan dalam
kurikulum. Pemerintah menetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dalam
kurikulum sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1978
ditetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dan diarahkan untuk
menumbuhkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978
ditetapkan pula Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai “penuntun dan
pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara
Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan,
baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.” Pedoman Penghayatan
dan Pengalaman Pancasila (P-4) dan juga dinamakan Ekaprasetia Pancakarsa ditetapkan sebagai
bagian dari Pendidikan Pancasila melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1983.
Sebelum pemberlakuan kurikulum 1984, yaitu pada tahun 1983 mata pelajaran Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib. Penetapan ini
berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0461/U/1983 yang
ditandatangani Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Posisi PSPB sebagai materi dan mata kuliah
wajib dalam kurikulum mendapat kedudukan hukum yang lebih kuat ketika MPR mengeluarkan
TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan PSPB sebagai bagian dari Pendidikan
Pancasila. Dengan demikian maka pendidikan idiologi dilakukan melalui Pendidikan Pancasila
yang memiliki komponen Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), Pendidikan
Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan
proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada
tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada
siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan
efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus
dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Ciri-Ciri umum dari Kurikulum CBSA adalah:
- Berorientasi pada tujuan instruksional
- Pendekatan pembelajaran adalah berpusat pada anak didik; Pendekatan Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA)
- Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
- Materi pelajaran menggunakan pendekatan spiral, semakin tinggi tingkat kelas semakin
banyak materi pelajaran yang di bebankan pada peserta didik.
- Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan.
- Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian
diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media
digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.

Kurikulum 1994
Pada tahun 1989 Indonesia memiliki undang-undang pendidikan baru yaitu Undang-
Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang ini
pasal 12 ayat (1) menetapkan bahwa wajib belajar menjadi 9 tahun. Wajib belajar yang diartikan
sebagai pendidikan minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia. Sebelumnya wajib belajar
tersebut hanya 6 tahun. Oleh karena itu maka kurikulum SMP yang dalam Undang- Undang
nomor 2 tahun 1989 diubah namanya menjadi SLTP adalah bagian dari wajib belajar 9 tahun.
Meski pun Indonesia telah memiliki Undang-Undang pendidikan baru dan banyak
kebijakan tentang pendidikan dan kurikulum yang baru tetapi kurikulum tidak segera berubah.
Pada tahun 1994, sesuai dengan tradisi sepuluh tahunan, Pemerintah meresmikan kurikulum
baru. Kurikulum 1994 ini merupakan revisi terhadap kurikulum 1984 tetapi pada dasarnya
keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Orientasi pendidikan pada pengajaran disiplin
ilmu menempatkan kurikulum sebagai instrumen untuk ”transfer of knowledge”. Penyempurnaan
terjadi pada materi pendidikan sejarah karena materi pendidikan sejarah yang tercantum dalam
kurikulum SMA 1984 (nama baru SMA berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989
adalah SMU) dianggap tidak lengkap, maka kurikulum SMU 1994 menyempurnakannya.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
dengan UU no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada
sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap
diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup
banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan
menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.

Ciri-Ciri Umum Kurikulum 1994


Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai
berikut:
- Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
- Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi
kepada materi pelajaran/isi).
- Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk
semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang
khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sekitar.
- Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang
melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan
siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen
(terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
- Dalam pengajaran suatu mata pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok
bahasan dan perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian antara
pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang menekankan
keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
- Pengajaran dari hal yang konkrit ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan
dari hal yang sederhana ke hal yang kompleks.
- Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan
pemahaman.
Selama dilaksanakannya kurikulum 1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai
akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya
sebagai berikut:
- Beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/
substansi setiap mata pelajaran.
- Materi pelajaran dianggap terlalu sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan
berpikir siswa, dan kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-
hari.
- Bersifa populis yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di
seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus
dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sekitar. Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan
strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam
mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban
konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.

Kurikulum 2004 (KBK)


Kurikukum 2004 ini lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan
berbasis kompetensi menitik-beratkan pada pengembangankemampuan untuk melakukan
(kompetensi) tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar performance yang telah
ditetapkan. Secara singkat dengan KBK ini ditekankan agar siswa yang mengikuti pendidikan di
sekolah memiliki kompetensi yang diinginkan. Kompetensi merupakan perpaduan antara
pengetahuan, keterampilan, nilai serta sikap yang ditunjukkan dalam kebiasaan berpikir dan
bertindak (Mulyasa, E., 2010:37). Sehingga KBK diharapkan dapat mengembangkan
pengetahuan, pemahaman, kemampuan, nilai, sikap, dan minat siswa agar dapat melakukan
sesuatu dalam bentuk keterampilan, tepat, dan berhasil dengan penuh tanggung jawab. KBK
mencakup beberapa kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang harus dicapai siswa.
Kegiatan pembelajaran pun diarahkan untuk membantu siswa menguasai kompetensi-kompetensi
agar tujuan pembelajaran tercapai.
Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan
muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2)
keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Puskur, 2002a). Tujuan
yang ingin dicapai menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual
maupun klasikal.
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengemukakan karakteristik KBK, sebagai
berikut:
- Menekankan pada ketercapaian komoetensi siswa baik secara individual maupun klasikal
- Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman
- Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatann dan metode bervariasi
- Sumber belajar bukan hanya guru tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur
edukatif
- Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya poenguasaan atau pencapaian
suatu kompetensi.

Kurikulum 2006 (KTSP)


Berdarakan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, otonomi daerah bidang
pendidikan dan kebudayaan telah diberlakukan sejak tahun 200. Visi pokok dari otonomi dalam
penyelenggaraan pendidikan bermuara pada upaya pemberdayaan terhadap masyarakat daerah
untuk menentukan sendiri jenis dan muatan kurikulum, proses pembelajaran dan sistem
penilaian hasil belajar, guru dan kepala sekolah. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
disusun untuk menjalankan amanah yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintahan
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Muslich,
2009:1)
Otonomi penyelenggaraan pendidikan tersebut pada gilirannya berimplikasi pada
perubahan sistem majanemen pendidikan dari pola sentralisasi ke desentralisasi dalam
pengelolaan pendidikan (Muhaimin, dkk. 2008:2). Guru memiliki otoritas dalam
mengembangkan kurikulum secara bebas dengan memperhatikan karakteristik siswa dan
lingkungan di sekolahnya.
Kurikulum 2006 ini dikenal dengan sebutan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh siswa
hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004. Perbedaan yang
paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran
sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan
kerangka dasar (KD), standar kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi
dasar (SKKD) setiap mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus
dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah koordinasi
dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota.
Tujuan KTSP ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan,
kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum
disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan
kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Tujuan Panduan Penyusunan KTSP ini untuk menjadi
acuan bagi satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, dan
SMK/MAK dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada
tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.

KURIKULUM 2013
Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menegaskan bahwa kurikukulum
terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah
menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-
banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui
perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk memiliki
tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki
kemampuan berpikir kritis. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative memberi kesempatan siswa
untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan
IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti yang dirilis kemdikbud di website http:// kemdikbud.go.id ada empat aspek yang
harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013.
- Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi
pembelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-
rata 44,46
- Kompetensi akademik di mana guru harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan
kepada siswa.
- Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan teman
sejawat lainnya.
- Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan
ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan guru ini akan
berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu lebih baik dalam melakukan observasi,
bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima
materi pembelajaran.
Apabila kita amati perkembangan (baca: perubahan) kurikulum di Indonesia dari tahun 1947
hingga 2013 yang menjadi faktor terhadap perkembangan tersebut adalah: (1) menyesuaikan
dengan perkembangan jaman, hal ini dapat kita lihat awal perubahan kurikulum dari Rentjana
Pelajaran 1947 menjadi Renjtana Pelajaran Terurai 1952. Awalya hanya mengikuti atau
meneruskan kurikulum yang ada kemudian dikembangkan lagi dengan lebih menfokuskan
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. (2) kepentingan politis semata, hal ini sangat jelas
terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurklum 2006 (KTSP). Secara
matematis masa aktif kurikulum 2004 sebelum diubah menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan
selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-sebelumnya. Dalam kurun
waktu yang singkat ini, kita tidak bisa membuktikan baik tidaknya sebuah kurikulum. Hal senada
juga diungkapkan oleh Bagus (2008), menyebutkan bahwa lahirnya kurikulum 1968 hanya
bersifat politis saja, yaitu mengganti Rencana pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk
Orde Lama.
Seiring dengan yang telah disebutkan diatas, Hamalik (2003: 19) mengungkapkan bahwa
dalam perubahan kurikulum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
- Tujuan filsafat pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan
institusional yang pada gilirannya menjadi landasan merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan
pendidikan.
- Sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
- Keadaan lingkungan.
- Kebutuhan pembangunan POLSOSBUDHANKAM
- Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan
kemanusiaan serta budaya bangsa.

Tabel Kronologis Perkembangan Kurikulum di Indonesia


Tahun Kurikulum Keterangan
1947 Rencana Pelajaran 1947 - Kurikulum ini merupakan kurikulum pertama di
Indonesia setelah kemerdekaan.
- Istilah kurikulum masih belum digunakan.
Sementara istilah yang digunakan adalah Rencana
Pelajaran
1954 Rencana Pelajaran 1954 - Kurikulum ini masih sama dengan kurikulum
sebelumnya, yaitu Rencana Pelajaran 1947
1968 Kurikulum 1968 - Kurikulum ini merupakan kurikulum terintegrasi
pertama di Indonesia. Beberapa masa pelajaran,
seperti Sejarah, Ilmu Bumi, dan beberapa cabang
ilmu sosial mengalami fusi menjadi Ilmu
Pengetahuan Sosial (Social Studies). Beberapa mata
pelajaran, seperti Ilmu Hayat, Ilmu Alam, dan
sebagainya mengalami fusi menjadi Ilmu
Pengetahun Alam (IPS) atau yang sekarang sering
disebut Sains.
1975 Kurikulum 1975 - Kurikulum ini disusun dengan kolom-kolom yang
sangat rinci
1984 Kurikulum 1984 - Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1975
1994 Kurikulum 1994 - Kurikulum ini merupakan penyempurnaan dari
kurikulum 1984
2004 Kurikulum Berbasis - Kurikulum ini belum diterapkan di seluruh sekolah
Kompetensi (KBK) di Indonesia. Beberapa sekolah telah dijadikan uji
coba dalam rangka proses pengembangan
kurikulum ini
2006 Kurikulum Tingkat Satuan - KBK sering disebut sebagai jiwa KTSP, karena
Pendidikan (KTSP) KTSP sesungguhnya telah mengadopsi KBK.
Kurikukulum ini dikembangkan oleh BSNP (Badan
Standar Nasional Pendidikan).
2013 Kurikulum 2013 - lebih ditekankan pada kompetensi dengan
pemikiran kompetensi berbasis sikap, keterampilan,
dan pengetahuan
- Kurikulum yang dapat menghasilkan insan
Indonesia yang: Produktif, Kreatif, Inovatif,
Afektif melalui penguatan Sikap, Keterampilan,
dan Pengetahuan yang terintegrasi

Anda mungkin juga menyukai