Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karuniaNya sehingga makalah tentang, “DESAIN PEMBELAJARAN MODEL HANAFFIN
AND PECK”, telah dapat penulis selesaikan. Makalah ini sebagai salah satu tugas yang harus
diselesaikan dalam rangka menyelesaikan mata kuliah Desain Model Pembelajaran IPS pada
program Studi Magister Pendidikan IPS di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas
bantuan baik moril maupun materiil sehingga makalah ini dapat kami selesaikan, kepada :
1. Dr. R Gunawan Sudarmato, SPd, SE, MM selaku dosen Mata Kuliah Desain Model
Pembelajaran IPS pada program studi Magister Pendidikan IPS Universitas Lampung.
2. Dr. Herpratiwi, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah Desain Model Pembelajaran IPS
pada Program Studi Magister Pendidikan IPS Universitas Lampung.
3. Teman-teman sejawat yang telah membantu terselesainya makalah ini.
4. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Akhirnya penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap, semoga makalah ini akan bermanfaat
untuk menambah ilmu dan wawasan bagi pembacanya.
SYAMSI
BAB I
PENDAHULUAN
3.1 Kesimpulan
Model Hannafin dan Peck adalah model desain pembelajaran yang terdiri daripada tiga
fase yaitu fase Analisis keperluan, fase desain, dan fase pengembangan dan implementasi
(Hannafin & Peck, 1988). Dalam model ini, penilaian dan pengulangan perlu dijalankan dalam
setiap fase. Model ini lebih berorientasi produk, melalui tiga fase:
1. Fase pertama, adalah analisis kebutuhan dilakukan dengan mengidentifikasi
kebutuhan-kebutuhan dalam mengembangkan suatu media pembelajaran termasuklah di
dalamnya tujuan dan objektif media pembelajaran yang dibuat, pengetahuan dan
kemahiran yang diperlukan oleh kelompok sasaran, peralatan dan keperluan media
pembelajaran.
2. Fase kedua, adalah fase desain, informasi dari fase analisis dipindahkan ke dalam
bentuk dokumen yang akan menjadi tujuan pembuatan media pembelajaran. Fase desain
bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan kaidah yang paling baik untuk
mencapai tujuan pembuatan media tersebut. Salah satu dokumen yang dihasilkan dalam
fase ini adalah dokumen story board yang mengikut urutan aktifitas pembelajaran
berdasarkan keperluan pelajaran dan objektif media pembelajaran seperti yang diperoleh
dalam fase analisis keperluan.
3. Fase ketiga adalah fase pengembangan dan implementasi, terdiri dari penghasilan
diagram alur, pengujian, serta penilaian formatif dan penilaian sumatif. Dokumen story
board akan dijadikan landasan bagi pembuatan diagram alir yang dapat membantu proses
pembuatan media pembelajaran. Untuk menilai kelancaran media yang dihasilkan seperti
kesinambungan link, penilaian dan pengujian dilaksanakan pada fase ini. Model Hannafin
dan Peck (1988) menekankan proses penilaian dan pengulangan harus mengikutsertakan
proses-proses pengujian dan penilaian media pembelajaran yang melibatkan ketiga fase
secara berkesinambungan.
3.2 Saran
Makalah dan Media Pembelajaran yang membahas tentang Model Pembelajaran Hanaffin
and Peck ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi dalam pengajaran maupun dalam
pembelajaran, sehingga dapat membantu berlangsungnya belajar mengajar. Walaupun
pembahasan yang kami buat belum memenuhi kriteria akan tetapi sedikitnya bisa membantu.
DAFTAR PUSTAKA
Pribadi, Benny A. 2009. Model Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
http://instructionaltheorycourse.blogspot.com/2009/02/1-introduction
Dadang Supriatna, Konsep Dasar Desain Pembelajaran, Pusat Pengembangan Dan Pemberdayaan Pendidik
Dan Tenaga Kependidikan Taman Kanak Kanak Dan Pendidikan Luar Biasa 2009
Hannafin, M.J. & Peck, K.L. 1988. The design, development, and evaluation Of instructional software. New
York: Mc Millan Publishing Company
Perencanaan berasal dari kata rencana atau dalam Bahasa Inggris kita biasa
menyebutnya “Planing”. Dari kata rencana itu sendiri kita dapat artikan sesuatu yang akan
dilakukan. Dengan demikin perencanan adalah susunan dari beberapa hal yang akan dilakukan.
Seperti dikutip dalam buku Administrative Action Techniques of Organization and
Management karangn William H. Newman (Abdul Majid, 2011:15) menjelaskan bahwa :
‘ Perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Perencanaan mengandung rangkaian-
rangkaian putusan yang luas dan penjelasan-penjelasan dari tujuan, penentuan kebijakan,
penentuan program, penentuan metode-metode dan prosedur tertentu dan penentuan kegiatan
berdasarkan jadwal sehari-hari.’
Perencanaan erat kaitannya dengan tujuan dari diadakannya suatu kegiatan. Ketika suatu kegiatan
memiliki tujuan yang jelas maka penjabaran dari tujuan tersebut adalah susunan rencana yang akan
dijalankan. Perencanaan menjadi penentu dari kebijakan-kebijakan yang dibuat, mennentukan
program-program yang dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuan awal, serta menentukn metode-
metode dan prosedur tertentu agar kegiatan yng dilaksnakan dapat berjalan dengan lancar dan
memberikan manfaat. Dengan kata lain, perencanaan dapat menghasilkan keputusan-keputusan
yang disusun dan akan dilaksanakan dikemudian hari. Seperti yang dikemukakan oleh Nana
Sudjana dalam Abdul Majid (2011:16) bahwa perencanan adalah proses yang sistematis dalam
pengambilan keputusan tentang tindakan yang akan dilakukan pada waktu yang akan datang.
Pembelajaran menurut Dengeng (Afandi dan Badarudin, 2011:2) adalah upaya untuk
membelajarkan siswa. Artinya bahwa, pembelajran merupakan cara memberikan ilmu pada siswa
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan pengetahuan. Sebelum dilaksanakannya
pembelajaran, seorang guru harus memiliki panduan atau pedoman agar proses pembelajaran
dapat berjalan dengan baik dan lancar serta yang paling penting adalah tujuan dari diadakannya
pembelajarn dapat tercapai.
Pedoman tersebut tidak lain adalah perencanaan. Jadi pada intinya, perencanaan pembelajaran
adalah susunan rencana yang sistematis yang berisi bagaimana proses pembelajaran akan
dilaksanakan dan kendala-kendala apa yang kemungkinan akan terjadi serta media apa sajakah
yang diperlukan untuk menunjang kesuksesan pembelajaran yang berarti tujuan awal telah tercapai.
Model Hanafin dan Peck merupakan salah satu dari banyak model desain pembelajaran yang
berorietasi produk. Model berorientasi produk adalah model desain pembelajaran utuk
menghasilkan suatu produk, biasanya media pembelajaran (Afandi dan Badarudin, 2011:22).
Menurut Hanafin dan Peck (Afandi dan Badarudin, 2011:26) model desain pembelajaran terdiri dari
tiga fase yaitu Need Assessment (Fase Analisis Keperluan), Design (Fase Desain),
dan Develop/Implement (Fase Pengembangan dan Implementasi). Dalam model ini disetiap fase
akan dilakukan penilaian dan pengulangan.
Fase pertama dari model Hanafim dan Peck adalah analisis kebutuhan (Need Assessment). Di
model sebelumnya yakni model ADDIE juga menerangkan bahwa tahap pertama dari model
tersebut adalah analisa (Analysis) yang didalamnya memuat Need Assessment.
Pengertian analisis kebutuhan dalam konteks pegembangan kurikulum menurut John Mc-Neil (Wina
Sanjaya, 2008:91) ialah : ‘the process by which one defines educational needs and decides what
their priorities are’. Artinya, bahwa analisis kebutuhan merupakan sebuah proses yang didefinisikan
sebagai sebuah kebutuhan pendidikan dan ditentukan sesuai dengan prioritasnya. Jadi pada intinya,
proses ini merupakan proses untuk menentukan hal utama dari apa yang dibutuhkan dalam
pendidikan.
Menganalisis kebutuhan menjadi hal dasar dalam mendesin pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Tidak mudah mengidentifikasi apa yang dibutuhkan dalam pembelajaran. Terdapat langkah-langkah
dalam fase analisis kebutuhan, Glasgow dalam Wina Sanjaya (2008:93) mengemukakan secara
detail langkah-langkah need assessment yakni :
Dalam merancang pembelajaran pertama kali seorang desainer perlu memahami terlebih dahulu
informasi tentang siapa dapat mengerjakan apa, siapa memahami apa, siapa yang akan belajar,
kendala-kendala apa yang dihadapi dan lain sebagainya. Berbagai informasi yang dikumpulkan
akan bermanfat dalam menentukan tujuan yang ingin dicapai. Jadi, informsi yang terkumpul
digunakan sebagai dasar dalam merancang sistem pembelajaran. Model Hanafin dan Peck ini
berorintasi pada produk sehingga informasi yang dibutuhkan mislnya bagaimana cara pembuatan
media pembelajaran dengan bahan yang ada.
dalam mengidentifikasi kesenjangan Kaufan dan English dalam Wina Sanjaya (2008), menjelaskan
bahwa terdapat lima elemen yang saling berkaitan yakni Input, Proses,
Produk, Output dan Outcome. Input meliputi kondisi yang tersedi saat ini misalnya tentang
keuangan, waktu, bangunan, guru, pelajar, kebutuhan. Komponen proses, meliputi perencanaan,
metode, pembelajaran individu, dan kurikulum. Komponen produk, meliputi penyelesaian
pendidikan, keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dimiliki. Komonen output, meliputi ijazah
kelulusan, keterampilan prasyarat, lisensi. Komponen Outcome, meliputi kecukupan dan kontribusi
individu atau kelompok saat ini dan masa depan.
Dari analisis diatas dapat digambarkan masalah dan kebutuhan pada setiap komponen
yakni Input, proses, produk dan Output.
3. Analisis Performance
Tahap selanjutnya adalah tahap menganalisis performance. Pada tahap ini sorang guru yang sudah
memahami informasi dan mengidentifikasi kesenjangan yang ada, kemudian mencari cara untuk
memecahkan kesenjangan tersebut. Baik dengan perencanaan pembelajaran atau dengan cara
lain, seperti melalui kebijakan pengelolaan baru, penentuan struktur organsasi yang lebih baik, atau
mungkin melalui pengembangan bahan dan alat-alat. Jika dilihat dari orientasi model Hanafin dan
Peck yang mengarah ke produk maka dalam analisis performance msalah yang mungkin bisa
diselesaikan adalah tentng pengembangan bahan dan alat-alat.
Siswa menjadi pusat dalam pembelajaran, oleh karena itu identifikasi karakteristik siswa sangat
dibutuhkan. Sebab, tidak ada siswa yang sama sehingga penangan dari setiap masalah yang ada di
setiap siswa akan berbeda pula. Identifikasi karakteristik siswa meliputi usia, jens kelamin, level
pendidikan, gaya belajar dan lain sebagainya. Dengan identifikasi tersebut dapat bermanfaat ketika
kita menentuka tujuan yang harus dicaai, pemilihan dan penggunaan strategi embelajaran yang
dianggap cocok.
6. Identifikasi Tujuan
Mengidentifikasi tujuan yang ingin dicapai merupakan tahap keenam dalam need assessment. Tidak
semua kebutuhan menjadi tujuan yang ingin dicapai, namun kebutuhan-kebutuhan yang
diprioritaskanlah yang menjadi tujuan agar dapat segera dipecahkan sesuai kondisi.
7. Menentukan Permasalahan
Tahap terakhir adalah menentukan permasalahan, sebagai pedoman dalam penyusunan proses
desain pembelajaran. Dalam model Hanafin dan Peck berorientasi produk, sehingga masalah yang
biasanya timbul adalah tentang media pembelajaran.
Setelah semua langkah dijalankan, kemudian dilakukan sebuah tes atau penlaian terhadap hasil
dalam fase ini. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidakkah kebutuhan yang
seharusnya ada tetapi tidak tercatat. Sebab, hal ini justru akan menjadikan msalah baru di masa
yang akan datang.
Fase kedua dari Hanfin dan Peck adalah fase desain (Design). Hanafin dan Peck (Afandi dan
Badarudin, 2011) menytakan fase desain bertujuan untuk mengidentifikasikan dan mendokumenkan
kaidah yang paling baik untuk mencapai tujuan pembuatan media tersebut. Dokumen tersebut dapat
berupa story board. Jadi, hasil dari need assessment kemudian dituangkan ke dalam sebuah papan
dan caranya dengan mengikuti aktifitas yang sudah dianalisis dalam need assessment sebelumnya.
Dokumen ini nantiya akan memudahkan kita dalam menentukan tujuan pembuatan media
pembelajaran, karena merupakan sebuah papan.
Dalam fase kedua ini, tidak lupa dilakukan tes atau penilaian sebelum dilanjutkan ke fase
pengembangan dan implementasi. Hanafin dan Peck telah menggambarkan (gambr 1) bahwa harus
ada timbal blik dari setiap fase, hal ini mungkin membuat kita mudah megetahui kesalahan yang kita
buat dan menjadi pembelajaran untuk kita.
Fase terakhir dari model Hanafin dan Peck adalah pengembangan dan implementasi. Hanafin dan
Peck (Afandi dan Badarudin, 2011) mengatakan aktivitas yang dilakukan pada fase ini ialah
penghasilan diagram alur, pengujian, serta penilain formatif dan sumatif. Penilaian formatif ialah
penialain yang dijalankan saat proses pengembangan media berlangsung, sedangkan penilaian
sumatif dijalankan pada akhir proses. Pada fase ini media dikembangkan dan pembelajaran
dilaksanakan sesuai dengan tujuan yang telah dibuat berdasarkan analisis kebutuhan dan desain
yang telah dijalankan.
2. Kurikulum 1975
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat Letjen TNI Dr. Syarif Thajeb (1973-
1978). Ketentuan-ketentuan Kurikulum 1975 adalah:
1. Sifat: integrated curriculum organization.
2. SD mempunyai satu struktur program terdiri atas 9 bidang studi.
3. Pelajaran Ilmu Alam dan llmu Hayat menjadi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
4. Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur menjadi Matematika.
5. Jumlah mata pelajaran SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi.
6. Penjurusan SMA dibagi tiga IPA, IPS dan Bahasa dimulai pada permulaan semester II kelas 1. Ketika
belum semua sekolah mengimplementasikan Kurikulum 1975, mulai dirasakan kurikulum ini tidak bisa
mengejar kemajuan pesat masyarakat. Maka kurikulum 1975 diganti oleh Kurikulum 1984.
3. Kurikulum 1984
Kurikulum ini diterapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto
seorang ahli sejarah Indoesia. Ketentuan-ketentuan dalam Kurikulum 1984 adalah:
1. Sifat: Content Based Curnculum.
2. Program pelajaran mencakup 11 bidang studi.
3. Jumlah mata pelajaran SMP menjadi 12 bidang studi.
4. Jumlah mata pelajaran SMA 15 bidang studi untuk program inti, 4 bidang studi untuk program pilihan.
5. Penjurusan SMA dibagi lima: program A1 (Ilmu Fisika), A2 (Ilmu Biologi), A3 Ilmu Sosial, A4 Ilmu Budaya,
dan A5 (Ilmu Agama).
6. Penjurusan dilakukan di kelas II. Pada Kurikulum 1984 penambahan bidang studi, yakni Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Hal ini bisa dimaklumi karena menteri pendidikan saat itu dijabat oleh seorang sejarawan.
Dalam perjalanannya, Kurikulum 1984 dianggap oleh banyak kalangan dianggap sarat beban sehingga
diganti dengan Kurikulum 1994 yang lebih sederhana.
4. Kurikulum 1994
Kurikulum ini ditetapkan ketika menteri pendidikan dijabat oleh Prof Dr. Ing Wardiman
Djojonegoro seorang teknokrat yang menimba ilmu di Jerman Barat bersama BJ. Habibie. Ketentuan-
ketentuan yang ada dalam Kurikulum 1994 adalah:
1. bersifat: Objective Based Curriculum.
2. nama SMP diganti mejadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) dan SMA diganti SMU (Sekolah
Menengah Umum).
3. mata pelajaran PSPB dihapus.
4. program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran.
5. Program pengajaran SMU disusun dalam 10 mata pelajaran.
6. Penjurusan SMA dilakukan di kelas II terdiri dari program IPA, program IPS, dan program Bahasa.
Ketika reformasi bergulir tahun 1998, Kurikulum 1994 mengalami penyesuaian-penyesuaian
dalam rangka mengakomodasi tuntutan reformasi. Oleh karena itu, muncul suplemen Kurikulurn 1994
yang lahir tahun 1999. Dalam suplemen tersebut ada penyesuaian-penyesuaian materi pelajaran,
terutama mata pelajaran seperti PPKN, Sejarah, dan beberapa mata pelajaran yang lainnya. Lagi-lagi
kurikulum ini pun mengalami nasib yang sama dengan kurikulum sebelumnya. Bersamaan dengan
lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989, pemerinrah melalui Departemen pendidikan Nasional menggagas
kurikulum baru yang diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi.
Kurikulum 1975
Pada tahun 1973, GBHN pertama dilaksanakan sebagai Keputusan MPR No. II/MPR/1973.
Berdasarkan TAP MPR ini dan juga hasil dari beberapa percobaan dalam bidang pendidikan dan
pengajaran maka disusun kurikulum 1975. Untuk pertama kalinya kurikulum ini didasarkan pada
tujuan pendidikan yang jelas. Dari tujuan pendidikan tersebut dijabarkan tujuan-tujuan yang
ingin dicapai yaitu tujuan instruksional umum, tujuanj instruksional khusus, dan berbagai rincian
lainnya sehingga jelas apa yang akan dicapai melalui kurikulum tersebut.
Dalam kurikulum ini, satu hal yang menonjol adalah dengan digunakannya sistem
instruksional. Dalam tiap mata pelajaran, diberikan tujuan kurikulum, dan di tiap bahasan,
diberikan pula tujuan instruksional bagi guru dan siswa apa yang harus dicapai. Jadi dalam
pengajaran, sudah ditentukan tujuan-tujuan yang setelah proses belajar, harus dicapai oleh siswa.
Hal ini tentu saja membuat bahan ajar tidak bisa berkembang. Proses belajar ditentukan terlebih
dahulu oleh pembuat kebijakan tentang output yang ingin dihasilkan. Siswa dan guru akan
cenderung lebih pasif dalam proses belajar mengajar. Adapun ciri-ciri lebih lengkap kurikulum
ini adalah sebagai berikut:
Berorientasi pada tujuan.
Menganut pendekatan integratif dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan
yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan
Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang
spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-
jawab) dan latihan (drill).
Kurikulum1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi
memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntunan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kurikulum 1984
Pendidikan idiologi dalam kurikulum 1984 tetap menjadi warna yang dominan dalam
kurikulum. Pemerintah menetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dalam
kurikulum sejak SD sampai ke perguruan tinggi. Dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1978
ditetapkan Pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dan diarahkan untuk
menumbuhkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1978
ditetapkan pula Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila sebagai “penuntun dan
pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warganegara
Indonesia, setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan kemasyarakatan,
baik di Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh.” Pedoman Penghayatan
dan Pengalaman Pancasila (P-4) dan juga dinamakan Ekaprasetia Pancakarsa ditetapkan sebagai
bagian dari Pendidikan Pancasila melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1983.
Sebelum pemberlakuan kurikulum 1984, yaitu pada tahun 1983 mata pelajaran Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) ditetapkan sebagai mata pelajaran wajib. Penetapan ini
berdasarkan keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 0461/U/1983 yang
ditandatangani Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Posisi PSPB sebagai materi dan mata kuliah
wajib dalam kurikulum mendapat kedudukan hukum yang lebih kuat ketika MPR mengeluarkan
TAP MPR Nomor II/MPR/1983 dimana dinyatakan PSPB sebagai bagian dari Pendidikan
Pancasila. Dengan demikian maka pendidikan idiologi dilakukan melalui Pendidikan Pancasila
yang memiliki komponen Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4), Pendidikan
Moral Pancasila (PMP), dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Meski mengutamakan pendekatan
proses, tapi faktor tujuan tetap penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang
disempurnakan”. Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Kurikulum 1984 ini berorientasi kepada
tujuan instruksional. Didasari oleh pandangan bahwa pemberian pengalaman belajar kepada
siswa dalam waktu belajar yang sangat terbatas di sekolah harus benar-benar fungsional dan
efektif. Oleh karena itu, sebelum memilih atau menentukan bahan ajar, yang pertama harus
dirumuskan adalah tujuan apa yang harus dicapai siswa.
Ciri-Ciri umum dari Kurikulum CBSA adalah:
- Berorientasi pada tujuan instruksional
- Pendekatan pembelajaran adalah berpusat pada anak didik; Pendekatan Cara Belajar Siswa
Aktif (CBSA)
- Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
- Materi pelajaran menggunakan pendekatan spiral, semakin tinggi tingkat kelas semakin
banyak materi pelajaran yang di bebankan pada peserta didik.
- Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan.
- Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian
diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media
digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
Kurikulum 1994
Pada tahun 1989 Indonesia memiliki undang-undang pendidikan baru yaitu Undang-
Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang ini
pasal 12 ayat (1) menetapkan bahwa wajib belajar menjadi 9 tahun. Wajib belajar yang diartikan
sebagai pendidikan minimal yang harus dimiliki bangsa Indonesia. Sebelumnya wajib belajar
tersebut hanya 6 tahun. Oleh karena itu maka kurikulum SMP yang dalam Undang- Undang
nomor 2 tahun 1989 diubah namanya menjadi SLTP adalah bagian dari wajib belajar 9 tahun.
Meski pun Indonesia telah memiliki Undang-Undang pendidikan baru dan banyak
kebijakan tentang pendidikan dan kurikulum yang baru tetapi kurikulum tidak segera berubah.
Pada tahun 1994, sesuai dengan tradisi sepuluh tahunan, Pemerintah meresmikan kurikulum
baru. Kurikulum 1994 ini merupakan revisi terhadap kurikulum 1984 tetapi pada dasarnya
keduanya tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Orientasi pendidikan pada pengajaran disiplin
ilmu menempatkan kurikulum sebagai instrumen untuk ”transfer of knowledge”. Penyempurnaan
terjadi pada materi pendidikan sejarah karena materi pendidikan sejarah yang tercantum dalam
kurikulum SMA 1984 (nama baru SMA berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989
adalah SMU) dianggap tidak lengkap, maka kurikulum SMU 1994 menyempurnakannya.
Kurikulum 1994 dibuat sebagai penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai
dengan UU no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada
sistem pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi tiga tahap
diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima materi pelajaran cukup
banyak. Tujuan pengajaran menekankan pada pemahaman konsep dan keterampilan
menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
KURIKULUM 2013
Muhammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, menegaskan bahwa kurikukulum
terbaru 2013 ini lebih ditekankan pada kompetensi dengan pemikiran kompetensi berbasis sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. Adapun ciri kurikulum 2013 yang paling mendasar ialah
menuntut kemampuan guru dalam berpengetahuan dan mencari tahu pengetahuan sebanyak-
banyaknya karena siswa zaman sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui
perkembangan teknologi dan informasi. Sedangkan untuk siswa lebih didorong untuk memiliki
tanggung jawab kepada lingkungan, kemampuan interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki
kemampuan berpikir kritis. Tujuannya adalah terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan
afektif. Khusus untuk tingkat SD, pendekatan tematik integrative memberi kesempatan siswa
untuk mengenal dan memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA ndan
IPS diajarkan dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Seperti yang dirilis kemdikbud di website http:// kemdikbud.go.id ada empat aspek yang
harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan keterlaksanaan kurikulum 2013.
- Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi
pembelajaran, yang nilainya pada pelaksanaan uji kompetensi guru (UKG) baru mencapai rata-
rata 44,46
- Kompetensi akademik di mana guru harus menguasai metode penyampaian ilmu pengetahuan
kepada siswa.
- Kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asocial kepada siswa dan teman
sejawat lainnya.
- Kompetensi manajerial atau kepemimpinan karena guru sebagai seorang yang akan digugu dan
ditiru siswa.
Kesiapan guru sangat urgen dalam pelaksanaan kurikulum ini. Kesiapan guru ini akan
berdampak pada kegiatan guru dalam mendorong mampu lebih baik dalam melakukan observasi,
bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang telah mereka peroleh setelah menerima
materi pembelajaran.
Apabila kita amati perkembangan (baca: perubahan) kurikulum di Indonesia dari tahun 1947
hingga 2013 yang menjadi faktor terhadap perkembangan tersebut adalah: (1) menyesuaikan
dengan perkembangan jaman, hal ini dapat kita lihat awal perubahan kurikulum dari Rentjana
Pelajaran 1947 menjadi Renjtana Pelajaran Terurai 1952. Awalya hanya mengikuti atau
meneruskan kurikulum yang ada kemudian dikembangkan lagi dengan lebih menfokuskan
pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. (2) kepentingan politis semata, hal ini sangat jelas
terekam dalam perubahan kurikulum 2004 (KBK) menjadi kurklum 2006 (KTSP). Secara
matematis masa aktif kurikulum 2004 sebelum diubah menjadi kurikulum 2006 hanya bertahan
selama 2 tahun. Hal ini tidak sesuai dengan perkembangan sebelum-sebelumnya. Dalam kurun
waktu yang singkat ini, kita tidak bisa membuktikan baik tidaknya sebuah kurikulum. Hal senada
juga diungkapkan oleh Bagus (2008), menyebutkan bahwa lahirnya kurikulum 1968 hanya
bersifat politis saja, yaitu mengganti Rencana pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk
Orde Lama.
Seiring dengan yang telah disebutkan diatas, Hamalik (2003: 19) mengungkapkan bahwa
dalam perubahan kurikulum dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya:
- Tujuan filsafat pendidikan nasional yang dijadikan sebagai dasar untuk merumuskan tujuan
institusional yang pada gilirannya menjadi landasan merumuskan tujuan kurikulum suatu satuan
pendidikan.
- Sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
- Keadaan lingkungan.
- Kebutuhan pembangunan POLSOSBUDHANKAM
- Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sesuai dengan sistem nilai dan
kemanusiaan serta budaya bangsa.