Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

APPENDICITIS

Disusun Oleh :

Soraya Dwi Khairunnisa

1102012285

Pembimbing :

dr. Ainurrofiq Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD PASAR REBO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

PERIODE 17 JULI – 24 SEPTEMBER 2016


DAFTAR ISI

Daftar Isi ......................................................................................................................... 2

Bab I Pendahuluan .......................................................................................................... 3

Bab II Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 4

Anatomi dan fisiologi .......................................................................................... 4

Appendicitis ......................................................................................................... 6

Definisi ........................................................................................................... 6

Epidemiologi .................................................................................................. 6

Etiologi ........................................................................................................... 6

Patofisiologi ................................................................................................... 8

Manifestasi Klinis ........................................................................................... 9

Diagnosis......................................................................................................... 10

Diagnosis Banding .......................................................................................... 19

Tatalaksana ..................................................................................................... 20

Komplikasi ...................................................................................................... 24

Prognosis ....................................................................................................... 24

Bab III Kesimpulan ......................................................................................................... 26

Daftar Pustaka ................................................................................................................. 27

2
BAB 1

PENDAHULUAN

Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix


merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan
bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi
kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang
berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah.

Appendicitis merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering ditemukan.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum
usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan Appendicitis akut mengalami perforasi setelah
dilakukan operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan
antibiotik yang lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah
masih tetap memiliki angka morbiditas yang signifikan. Diagnosis Appendicitis akut pada anak
kadang-kadang sulit. Hanya 50-70% kasus yang bisa didiagnosis dengan tepat pada saat
penilaian awal. Angka appendektomi negatif pada pasien anak berkisar 10-50%. Riwayat
perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam
mendiagnosis Appendicitis. Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan
dari Appendix yang terinflamasi.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Appendix vermiformis merupakan saluran yang buntu seperti cacing dengan panjang
yang sangat bervariasi, yaitu 2-15 cm dengan rata-rata 9 cm. Appendix mempunyai mesentrium
berbentuk segitiga disebut mesoappendix (mesenteriolum) yang bergabung dengan
mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesoappendix terdapat pembuluh darah
appendix dan saraf.4 Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocaecal. Posisi appendix
bervariasi. Sebagian besar terletak dibelakang caecum, retrocaecalis (64%). Berikutnya yang
mempunyai posisi kearah bawah ke pelvis minor, caudopositio (32%), lalu posisi lateropositio
(2%) dan sisanya posisi mediopositio.3

Caecum mendapat darah dari a. caecalis dan appendix vermiformis dari a.


appendicularis, keduanya cabang dari a. ileocolica. A. appendicularis merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren. Darah vena dialirkan ke v. ileocolica lalu ke v. mesentrica superior. Limfe
cecum dialirkan nodi lymphatici prececalis dan dari appendix vermiformis ke nodus
lymphaticus pada mesoappendix dan dari keduanya dialirkan ke nodi lymphatici ileocolici, lalu
ke nodi lymphatici mesenterici superior. Persarafan caecum dan appendix vermiformis diurus
oleh saraf simpatis (n.torakalis X dan parasimpatis (n. vagus) dari plexus mesentricus superior.
Rasa nyeri dari appendix dialirkan melalui serabut afferen masuk ke medulla spinalis setinggi
T10.3

4
Appendix vermiformis berasal dari struktur primordial yaitu divertikulum caecal yang
muncul pada janin berusia 6 minggu. Bagian proksimal dari divertikulum ini membentuk
caecum sedangkan bagian distal atau apeks terus memanjang membentuk Pada bayi, appendix
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Jaringan lymphoid
pertama kali muncul pada appendix sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat
selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti usia. Setelah
usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendix dan terjadi penghancuran lumen
appendix komplit.2

Gambaran mikroskopis appendix vermiformis secara struktural mirip kolon, terdapat


empat lapisan yaitu, mukosa, submukosa, tunika muskularis, dan tunika serosa. Mukosa
appendix terdiri dari selapis epitel di permukaan. Pada epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel-
sel goblet sel-sel neuro endokrin dan beberapa sel paneth. Lamina propia dari mukosa adalah
lapisan seluler dengan dengan banyak komponen sel-sel migratory dan agregasi limfoid.
Berbeda dengan di colon dimana limfoid folikel tersebar, pada appendix folikel limfoid ini
sangat banyak dijumpai terutama pada appendix individu berusia muda. Lapisan terluar dari
mukosa adalah muskularis mukosa, yang merupakan lapisan fibromuskular yang kurang
berkembang pada appendix.

Lapisan submukosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan ini


tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin serta fibroblast. Lapisan submukosa
juga dapat mengandung sel-sel migratory seperti makrofag, sel-sel limfoid, sel-sel plasma serta
sel mast. Pembuluh darah dan limfe merupakan komponen yang dominan pada lapisan ini.
Pembuluh limfatik terdapat jelas dibawah dasar dari folikel limfoid. Dilapisan ini juga terdapat
struktur neural berupa pleksus meissner.

Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submukosa dan serosa, merupakan
lapisan muskularis eksterna dari appendix. Lapisan ini terpisah menjadi dua bagian yaitu
lapisan sirkular di dalam dan lapisan longitudinal disebelah luar. Diantara dua lapisan otot ini
terdapat pleksus auerbach yang serupa secara morfologi dan fungsi dengan pleksus meisner
dilapisan submukosa.

Lapisan terluar dari appendix adalah lapisan serosa. Lapisan serosa ini merupakan
selapis sel-sel mesotelial kuboidal, yang terdapat pada lapisan tipis jaringan fibrosa.7

5
FISIOLOGI

Appendix menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara appendix tampaknya
berperan pada patogenesis appendicitis.7 Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT
(Gut Associated Lymphoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
appendix, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Pada
pengangkatan appendix tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe
disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh.7

APPENDICITIS

Definisi

Apendicitis merupakan peradangan yang terjadi pada appendix vermiformis, dan


merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering. Appendicitis dapat disebabkan karena
infeksi atau obstruksi pada appendix. Obstruksi menyebabkan appendix menjadi bengkak,
perubahan flora normal dan mudah diinfeksi oleh bakteri. Jika diagnosis lambat ditegakkan,
dapat terjadi perforasi pada appendix. Sehingga akibatnya terjadi peritonitis atau terbentuknya
abses disekitar appendix.6

Epidemiologi

Appendicitis merupakan salah satu kegawatdaruratan bedah.5 Insiden appendicitis akut


di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang.2 Di Amerika Serikat, 250.000
kasus appendicitis dilaporkan setiap tahun.5 Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir
kejadiannya turun secara bermakna. Menurut Departemen Kesehatan RI di Indonesia pada
tahun 2006, appendicitis menduduki urutan keempat penyakit terbanyak setelah dispepsia,
gastritis, dan duodenitis dengan jumlah pasien rawat inap sebanyak 28.040. Selain itu, pada
tahun 2008, insidensi appendicitis di Indonesia menempati urutan tertinggi di antara kasus
kegawatan abdomen lainnya.

Appendicitis dapat ditemukan pada semua usia, hanya pada anak kurang dari satu tahun
jarang dilaporkan. Insiden tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun dan menurun pada usia
diatas usia tersebut. Insiden appendicitis pada laki-laki 8.6% dan perempuan 6.7%.6

Etiologi

Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi pada lumen appendix. Obstruksi
ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan feses yang keras (fecalith), hiperplasia
jaringan limfoid, tumor appendix, striktur, benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat
pula menyebabkan terjadinya sumbatan. Diantara penyebab obstruksi lumen yang telah
disebutkan, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang paling
sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan appendicitis adalah ulserasi mukosa
appendix oleh parasit E. histolytica.2,6

6
Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan mengkonsumsi makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya penyakit appendicitis. Feses yang
keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi. Kemudian konstipasi akan menyebabkan
meningkatnya tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional appendix dan
meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Semua ini akan mempermudah timbulnya
appendicitis.6

Klasifikasi

Adapun klasifikasi appendicitis berdasarkan kliniko patologis adalah sebagai berikut


A. Appendicitis akut

1) Appendicitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis )


Proses peradangan terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan oleh obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendix dan terjadi peningkatan
tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendix jadi
menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah
umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam ringan. Pada appendicitis
cataral terjadi leukositosis dan appendix terlihat normal, hiperemia, edema, dan
tidak ditemukan eksudat serosa.

2) Appendicitis akut purulent (supurative appendicitis)


Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendix dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada appendix. Mikroorganisme
yang ada di kolon berinvasi ke dalam dinding appendix menimbulkan infeksi
serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada
appendix dan mesoappendix terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen
terdapat eksudat fibrinopurulen.
Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di
titik Mc.Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri
dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.

3) Appendicitis akut gangrenosa


Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
appendix mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendix berwarna
ungu hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendicitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.

7
B. Appendicitis infiltrat
Appendicitis infiltrat adalah proses peradangan appendix yang penyebarannya dapat
dibatasi oleh omentum, ileum, caecum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan
masa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

C. Appendicitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka
kanan, lateral dari caecum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.

D. Appendicitis perforasi
Adalah pecahnya appendix yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk kedalam
rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendix tampak daerah
perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

E. Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendicitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten
akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap
lumen. Diagnosis appendicitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri
berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendix secara
makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendix menebal, sub mukosa dan
muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada
sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

Patofisiologi

Patologi appendicitis berawal dari mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan
dinding appendix vermiformis dalam waktu 24-48 jam pertama. Jaringan mukosa pada
appendix vermiformis menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi lumen
menyebabkan sekresi mukus dan cairan, akibatnya terjadi peningkatan tekanan luminal sebesar
60 cmH2O, yang seharusnya hanya berkapasitas 0,1-0,2 mL.

Bakteri dalam lumen appendix vermiformis berkembang dan menginvasi dinding


appendix vermiformis sejalan dengan terjadinya pembesaran vena dan kemudian terganggunya
arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi. Ketika tekanan kapiler melampaui batas, terjadi
iskemi mukosa, inflamasi dan ulserasi. Pada akhirnya, pertumbuhan bakteri yang berlebihan di
dalam lumen dan invasi bakteri ke dalam mukosa dan submukosa menyebabkan peradangan
transmural, edema, stasis pembuluh darah, dan nekrosis muskularis yang dinamakan
apendisitis kataralis. Jika proses ini terus berlangsung, menyebabkan edema dan kongesti
pembuluh darah yang semakin parah dan membentuk abses di dinding apendiks vermiformis
serta cairan purulen, proses ini dinamakan appendicitis flegmonosa. Kemudian terjadi gangren
atau kematian jaringan yang disebut appendicitis gangrenosa. Jika dinding appendix
vermiformis yang terjadi gangren pecah, tandanya appendicitis berada dalam keadaan
perforasi.

8
Untuk membatasi proses radang ini tubuh juga melakukan upaya pertahanan dengan
menutup appendix vermiformis dengan omentum, ileus, atau adneksa sehingga terbentuk
massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat appendix. Pada anak-
anak dengan omentum yang lebih pendek, appendix vermiformis yang lebih panjang, dan
dinding appendix vermiformis yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang masih kurang,
dapat memudahkan terjadinya appendicitis perforasi. Sedangkan pada orang tua, appendicitis
perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah.

Appendix vermiformis yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi
membentuk jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Sehingga suatu saat, organ ini dapat
mengalami peradangan akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.1,2,5,6

Manifestasi klinis

Gejala klasik appendicitis adalah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri
visceral dan nantinya akan terlokalisir pada abdomen kuadran bawah dan biasanya disertai oleh
demam ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.6 Pada appendiks yang terinflamasi,
nyeri tekan dapat dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc Burney yang berada
antara umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Nyeri tekan lepas juga mungkin
akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendix. Bila appendix melingkar dibelakang
sekum, nyeri dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-
tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal.

Appendix yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan
tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum
akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Nyeri pada defekasi menunjukkan ujung
appendix berada dekat rektum. Jika appendix tadi menempel ke kandung kemih atau ureter,
dapat terjadi peningkatan frekuensi miksi, karena rangsangan appendix terhadap dinding
kandung kemih dan nyeri pada saat berkemih. Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus
kanan dapat terjadi. Apabila appendix telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen
dapat terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien akan memburuk.

Bila letak appendix retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum
maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal.
Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi
otot psoas mayor yang menegang dari dorsal.

9
Gejala appendicitis terkadang tidak jelas dan tidak khas, sehingga sulit dilakukan
diagnosis, dan akibatnya appendicitis tidak ditangani tepat pada waktunya, sehingga biasanya
baru diketahui setelah terjadi perforasi.2,3

Diagnosis

A. Anamnesis
 Nyeri/sakit perut
Nyeri terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi, dan terjadi pada
seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut (tidak pin-
point). Mula-mula nyeri dirasakan pada daerah epigastrium kemudian menjalar ke Mc
Burney. Apabila telah terjadi inflamasi (> 6 jam) penderita dapat menunjukkan letak
nyeri, karena bersifat somatik.

Gejala utama appendicitis akut adalah nyeri abdomen. Setiap anak dengan
gejala nyeri abdomen yang belum pernah mengalami appendiktomy seharusnya
10
dicurigai menderita appendicitis. Anak yang sudah besar dapat menerangkan dengan
jelas permulaan gejala nyeri abdomen dan dapat menerangkan lokasi yang tepat.

Perasaan nyeri pada appendicitis biasanya datang secara perlahan dan makin
lama makin hebat. Nyeri abdomen yang ditimbulkan oleh karena adanya kontraksi
appendix, distensi dari lumen appendix ataupun karena tarikan dinding appendix yang
mengalami peradangan Pada mulanya terjadi nyeri visceral, yaitu nyeri yang sifatnya
hilang timbul seperti kolik yang dirasakan di daerah umbilikus dengan sifat nyeri ringan
sampai berat. Hal tersebut timbul oleh karena appendix dan illeum mempunyai
persarafan yang sama, maka nyeri visceral itu akan dirasakan mula-mula di daerah
epigastrium (selama 4-6 jam) dan periumbilikal. Seterusnya akan menetap di kuadran
kanan bawah dan pada keadaan tersebut sudah terjadi nyeri somatik yang berarti sudah
terjadi rangsangan pada peritoneum parietale dengan sifat nyeri terlokalisir.

 Muntah (rangsangan viseral), akibat aktivasi N. Vagus.


Anoreksia, nausea dan vomitus yang timbul beberapa jam sesudahnya,
merupakan kelanjutan dari rasa nyeri yang timbul saat permulaan. Hampir 75%
penderita disertai dengan vomitus, kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua kali.
Gejala disuria timbul apabila peradangan appendix dekat dengan vesika urinaria.

 Obstipasi, karena penderita takut mengejan.


Penderita appendicitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa
nyeri dan beberapa penderita mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak
appendix pelvikal yang merangsang daerah rectum.

 Panas (infeksi akut), bila timbul komplikasi.


Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5° –
38,5°C. Bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.

Pada anak-anak

Gejala awalnya sering hanya menangis dan tidak mau makan. Seringkali anak tidak bisa
menjelaskan rasa nyerinya. Dan beberapa jam kemudian akan terjadi muntah- muntah dan
anak menjadi lemah dan letargi. Karena ketidakjelasan gejala ini, sering appendicitis diketahui
setelah perforasi. Begitupun pada bayi, 80-90 % appendicitis baru diketahui setelah terjadi
perforasi.

Pada orang tua berusia lanjut

Gejala sering samar-samar saja dan tidak khas, sehingga lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah terjadi perforasi.

Pada wanita

Gejala appendicitis sering dikacaukan dengan adanya gangguan yang gejalanya serupa
dengan appendisitis, yaitu mulai dari alat genital (proses ovulasi, menstruasi), radang panggul,
atau penyakit kandungan lainnya. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan trimester, gejala

11
appendicitis berupa nyeri perut, mual, dan muntah, dikacaukan dengan gejala serupa yang biasa
timbul pada kehamilan usia ini. Sedangkan pada kehamilan lanjut, sekum dan appendiks
terdorong ke kraniolateral, sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi
lebih ke regio lumbal kanan.

B. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih tinggi,
mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C.

1. Inspeksi
Penderita berjalan dengan posisi bungkuk dan memegang perut. Penderita
tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung
sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan
bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler. Pada appendisitis akut sering
ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa
ditemukan distensi perut.

2. Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc.Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal
yaitu:

Gambar 5. Titik McBurney garis antara umbilicus dengan SIAS dextra kemudian
dibagi 3. 1/3 lateral adalah letak appendiks (kuadran kanan bawah)

 Nyeri tekan di titik McBurney


 Nyeri lepas Rebound tenderness adalah rasa nyeri yang hebat (dapat dengan melihat
mimik wajah) di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah
sebelumnya dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam di titik Mc Burney.
 Defence Muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan
peritoneum parietal. Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin
tidak ada, yang ada nyeri pinggang.

12
Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung

 Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing). Rovsing sign adalah nyeri abdomen di
kuadran kanan bawah, apabila kita melakukan penekanan pada abdomen bagian kiri
bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi
peritoneal pada sisi yang berlawanan
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,
mengedan.

Appendisitis infiltrat atau adanya abses appendikuler terlihat dengan adanya


penonjolan di perut kanan bawah.2
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan kekiri.
Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul/pangkal
paha kanan. Dasar anatomi dari tes psoas: Appendiks yang mengalami peradangan kontak
dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.

Gambar Psoas sign

Gambar Rovsing sign

13
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping
dari lutut, menghasilkan rotasi femur kedalam. Dasar Anatomi dari tes obturator: Peradangan
appendix dipelvis yang kontak dengan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan
manuver.
Gambar Obturator Sign

Pemeriksaan colok dubur: pemeriksaan ini dilakukan pada appendicitis, untuk


menentukan letak appendix, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan
ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan appendix yang meradang terletak didaerah pelvis. Pada
pemeriksaan didapat tonus musculus sfingter ani baik, ampula kolaps, nyeri tekan pada daerah
jam 09.00-12.00, serta terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses). Pada appendicitis
pelvika tanda perut sering meragukan maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu
dilakukan colok dubur.

3. Perkusi

Perkusi abdomen pada appendicitis akan didapatkan bunyi timpani. Pada peritonitis
umum terdapat nyeri di seluruh abdomen, pekak hati menghilang. Pada appendicitis
retrocaecum atau retroileum terdapat nyeri pada pinggang kanan atau angulus kostovertebralis
punggung.8

4. Auskultasi
Pada auskultasi biasanya didapatkan bising usus positif normal. Peristaltik dapat tidak
ada karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.8

C. Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Laboratorium
o Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP). Darah
lengkap didapatkan leukositosis ringan umumnya pada appendicitis akut tanpa
komplikasi dan sering dijumpai sel neutrofil >75%. Jumlah leukosit lebih dari
13.000/mm3 umumnya pada appendisitis perforasi. Tidak adanya leukositosis tidak
menyingkirkan appendicitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri.6 Pada
CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen

14
protein fase akut yang akan meningkat 4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi,
dapat dilihat melalui proses elektroforesis serum protein. Angka sensitivitas dan
spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.6
o Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit
lebih dari normal bila appendix yang meradang menempel pada ureter atau vesika.

 Pemeriksaan Radiologi
o Foto Abdomen Polos
 Gambaran perselubungan “ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan
cairan – udara di sekum atau ileum)
 Patognomonik bila terlihat gambaran fekalith
 Foto polos pada appendicitis perforasi:
- Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak berbatas di kuadran
kanan bawah
- Penebalan dinding usus di sekitar lemak appendiks, seperti caecum dan
ileum
- Garis lemak pre-peritoneal menghilang
- Skoliosis ke kanan
- Tanda – tanda obstruksi usus seperti garis – garis permukaan cairan –
cairan akibat paralisis usus – usus lokal di daerah proses infeksi.

Gambar Foto Polos Abdomen

15
o APPENDIKOGRAM

Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.


Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada
jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai
metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis kronis. Dimana akan
tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendix, disertai penyempitan
lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.

 Bisa AP, lateral, oblique


 Tetapi untuk appendicitis akut pemeriksaan barium enema merupakan
kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture appendix.9
 Gambaran:
• Akut: Non filling (Tetapi bisa juga karena peristaltic sehingga kontras tidak
terlihat dan berwarna hitam)
• Kronik: Filling (terisi penuh), filling irregular (dinding tidak rata akibat
peradangan), filling parsial, filling mouse tail

Gambar Appendikogram

o USG atau CT Scan


 USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau
nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Pada pemeriksaan USG
ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada
appendiks Adanya peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks
lebih dari normal (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal, divertikulum
meckel’s, endometriosis dan Pelvic Inflammatory Disease (PID) dapat
menyebabkan positif palsu pada hasil USG.

16
Gambar Ultrasonogram appendiks pada potongan longitudinal

 Pada CT Scan khususnya appendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. pada
pemeriksaan ini ditemukan bagian yang menyilang dengan fekalith dan
perluasan dari appendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran
sekum. Selain dapat mengidentifikasi appendiks yang mengalami inflamasi
(diameter lebih dari 6 mm) juga dapat melihat adanya perubahan akibat
inflamasi pada periappendiks.

Gambar CT Scan abdomen. Kiri : Appendisitis perforata dengan abses dan kumpulan
cairan di pelvis. Kanan : Penebalan Appendiks (panah) dengan appendicolith

17
o Laparoskopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam
abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan
di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini
didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung
dilakukan pengangkatan appendix.

o Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis
appendicitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran
histopatologi apendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa
belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendicitis akut secara universal
dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak
dilakukan operasi. Definisi histopatologi apendisitis akut :

 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di lapisan
epitel.
 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.
 Sel granulosit dalam lumen appendix dengan infiltrasi ke dalam lapisan
epitel.
 Sel granulosit diatas lapisan serosa appendix dengan abses apendikuler,
dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukosa.
 Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa
dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi
periapendisitis.

Sistem Score

Sistem skor Alvarado


Sistem skor Alvarado membantu dalam pengambilan keputusan apakah pasien
dipulangkan, diobservasi, ataupun dilakukan intervensi bedah. Alfredo Alvarado tahun 1986
membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan
laboratorium. Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat
keparahan apendisitis.

18
Sistem score respons inflamasi
Menyerupai score Alvarado tetapi lebih bergradasi dan memasukkan nilai CRP.

Interpretasi Alvarado score :

 Dinyatakan appendisitis akut bila > 7 point


 Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
• 1 – 4 dipertimbangkan appendisitis akut
• 5 – 6 kemungkinan besar appendisitis tidak perlu operasi
• 7 – 9 appendisitis akut perlu pembedahan
 Penanganan berdasarkan skor Alvarado :
• 1 – 4 : observasi
• 5 – 6 : antibiotic
• 7 – 10 : operasi dini

Diagnosis Banding
Pada keadaan tertentu, beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding:

 Gastroenteritis. Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistalsis sering ditemukan.
Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan appendiksitis akut.
 Demam dengue (DHF). Demam dengue dapat dimulai dengan rasa sakit perut di
epigastrium mirip peritonitis, juga disertai mual muntah. Didapatkan hasil tes positif
untuk Rumple leede, trombositopenia, dan hematokrit meningkat. Demamnya saddle
type, hal ini membedakannya dengan demam akibat appendisitis.

19
 Demam Typhoid. Gejalanya hampir mirip dengan appendisitis yaitu ada nyeri perut,
mual, muntah, demam tinggi intermitten. Perbedaannya, pada demam thyfoid lidah
penderita tampak kotor.
 Limfadenitis mesenterika. Biasa didahului oleh enteritis atau gastrienteritis ditandai
dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut
samar, terutama kanan.
 Kelainan ovulasi. Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri
perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang
sama pernah timbul lebih dulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasanya hilang
dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari. Jarang
disertai dengan demam dan leukositosis
 Infeksi panggul. Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan appendiksitis akut.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendiksitis dan nyeri perut bagian bawah lebih
difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan ditemukan bakteri
diplococcus pada secret. dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat
di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu
untuk diagnosis banding.
 Kehamilan di luar kandungan. Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan
keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim
dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan
mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
 Kista ovarium terpuntir. Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan
teraba massa dalam atau colok rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan USG dapat
menentukan diagosis.
 Endometriosis eksterna. Endometrium diluar rahim akan memberikan gejala nyeri di
tempat endometriosis tersebut berada, dan ada darah menstruasi terkumpul di tempat
itu karena tidak ada jalan keluar.
 Urolitiasis pielum/ureter kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar
ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan.
Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di
sebelah kanan, dan piuria.
 Penyakit saluran cerna lainnya. Penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah
peradangan perut, seperti divertikulitis Meckel, perforasi tukak duodenum atau
lambung, kolesistisis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal,
perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid, dan mukokel appendiks.

Penatalaksanaan

The Surgical Infection Society menganjurkan pemberian antibiotik profilaksis sebelum


pembedahan dengan menggunakan antibiotik spektrum luas kurang dari 24 jam untuk
appendicitis non perforasi dan kurang dari 5 jam untuk apendisitis perforasi.8,10

20
 Resusitasi
Penggantian cairan dan elektrolit, mengontrol sepsis, antibiotik sistemik adalah
pengobatan pertama yang utama pada peritonitis difus termasuk akibat appendicitis
dengan perforasi. 2

Cairan yang secara masif ke rongga peritonium harus di ganti segera dengan
cairan intravena, jika terbukti terjadi toksik sistemik, atau pasien tua atau kesehatan
yang buruk harus dipasang pengukur tekanan vena sentral. Cairan atau berupa ringer
laktat harus di infus secara cepat untuk mengkoreksi hipovolemia dan mengembalikan
tekanan darah serta pengeluaran urin pada level yang baik. Darah diberikan bila
mengalami anemia dan atau dengan perdarahan secara bersamaan.6,8,10

 Antibiotik
Pemberian antibiotik intravena diberikan untuk antisipasi bakteri patogen,
antibiotik initial diberikan termasuk generasi ke-3 cephalosporin, ampicillin-
sulbaktam, dll dan metronidazol atau klindamisin untuk bakteri anaerob. Pemberian
antibiotik post operasi harus diubah berdasarkan kultur dan sensitivitas. Antibiotik tetap
diberikan sampai pasien tidak demam dengan normal leukosit.6,8,10

Setelah memperbaiki keadaan umum dengan infus, antibiotik serta pemasangan pipa
nasogastrik perlu dilakukan pembedahan sebagai terapi definitif dari appendicitis perforasi.6
Tindakan yang paling tepat apabila diagnosa klinik sudah jelas adalah appendektomi.
Penundaan tindakan bedah sambil dilakukan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses
atau perforasi.

Indikasi untuk appendektomi adalah appendicitis akut, appendicitis infiltrat dalam


stadium tenang, appendicitis kronis dan appendicitis perforasi. Pada appendicitis perforasi
dilakukan segera dengan laparatomi.

Pemeriksaan laboratorium atau USG bisa dilakukan bila dalam observasi masih
terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskopi diagnostik pada diagnosis yang meragukan akan
dapat segera menentukan dilakukan operasi atau tidak.2

Appendicitis akut yang terdiagnostik lebih dari 48 jam memerlukan tindakan, karena
tindakan operasi pada kasus ini lebih sulit dan banyak manipulasi karena sudah banyak
perlengketan, dapat merusak barier yang sudah ada sehingga infeksi mudah menyebar. Pada
waktu pengambilan appendix dapat mengakibatkan pecahnya appendix dan mesoappendix
dalam keadaan edema sehingga jahitan operasi tidak rapat.2

Operasi appendix hari ke 3-7 angka mortalitasnya tinggi walau sudah diberi antibiotik.
Terapi adalah konservatif dulu baru dilakukan operasi bila sudah tenang. Appendisitis dengan
komplikasi peritonitis generalisata perlu dieksplorasi dan membuang appendiks tersebut yang
menjadi sumber infeksi. 1, 4, 6, 8

21
Appendektomi dapat dilakukan secara terbuka ataupun dengan laparoskopi. Bila
appendektomi terbuka, insisi Mc. Burney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita
yang diagnosanya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu.2

Teknik appendektomi :

a. Insisi menurut Mc Burney (Grid Incision or Muscle Splitting Incision) 2, 7

Gambar Letak insisi Mc Burney

Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus dengan garis yang
menghubungkan spina iliaca anterior superior (SIAS) dan umbilicus pada titik Mc
Burney (sepertiga lateral). Sayat kulit sepanjang kurang lebih 10 cm, subcutis dan
fascia. Lalu otot-otot dinding perut (M.oblikus abdominis eksternus, M.abdominis
internus) dibelah secara tumpul mengikuti arah serabutnya. Setelah itu akan tampak
peritoneum parietal yang disayat secukupnya untuk meluksasi caecum. Basis appendiks
dicari pada pertemuan ketiga taenia coli. Teknik ini yang paling sering dikerjakan
karena tidak terjadi benjolan, tidak terjadi herniasi, trauma operasi minimum dan
penyembuhan lebih cepat sehingga masa istirahat pasca operasi singkat. Kerugiannya
adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, waktu operasi lebih lama.

22
Gambar Teknik Operasi Appendektomi

b. Incisi menurut Roux (Muscle Cutting Incision)


Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatan langsung
menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut otot sampai terlihat
peritoneum parietal. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas, mudah
diperluas, sederhana dan mudah. Kerugiannya adalah diagnosis harus tepat sehingga
lokasi dapat dipastikan, perdarahan lebih banyak (lebih banyak memotong saraf dan
pembuluh darah), adanya benjolan, rasa nyeri dan hematom pasca operasi sehingga
masa istirahat pasca bedah lebih lama.

c. Incisi pararectal
Sayatan pada garis batas lateral M. rectus abdominis dextra secara vertikal dari
kranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya adalah dapat dipakai pada kasus
appendiks yang belum pasti dan sayatan dapat diperpanjang dengan mudah.
Kerugiannya adalah sayatan tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau
caecum, lebih besar kemungkinannya memotong saraf dan pembuluh darah dan
memerlukan jahitan penunjang untuk menutup luka operasi.

23
Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendicitis. Faktor keterlambatan


dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Faktor penderita meliputi pengetahuan dan
biaya, sedangkan tenaga medis meliputi kesalahan diagnosa, menunda diagnosa, terlambat
merujuk ke rumah sakit, dan terlambat melakukan penanggulangan. Kondisi ini menyebabkan
peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Proporsi komplikasi appendicitis 10-32%, paling
sering pada anak kecil dan orang tua. Komplikasi 93% terjadi pada anak-anak di bawah 2 tahun
dan 40-75% pada orang tua. CFR komplikasi 2-5%, 10-15% terjadi pada anak-anak dan orang
tua. Anak-anak memiliki dinding appendiks yang masih tipis, omentum lebih pendek dan
belum berkembang sempurna memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan pada orang tua
terjadi gangguan pembuluh darah. Adapun jenis komplikasi diantaranya:

Abses

Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang
menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila appendicitis gangren atau
mikroperforasi ditutupi oleh omentum.

Perforasi

Perforasi adalah pecahnya appendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga
perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam. Perforasi dapat diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis
yang timbul lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,50 C, tampak toksik, nyeri tekan
seluruh perut, dan leukositosis terutama polymorphonuclear (PMN). Perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat menyebabkan peritonitis.

Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat


terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang semakin hebat,
muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

Prognosis

Prognosis untuk appendicitis adalah baik. Dengan diagnosis yang akurat serta
pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan
berulang dapat terjadi bila appendix tidak diangkat.

Hal-hal lain yang mempengaruhi tinggi rendahnya angka kematian akibat appendicitis
adalah usia pasien dan terjadinya perforasi. Pada orang tua dengan komplikasi perforasi maka

24
angka kematiannya menjadi jauh lebih tinggi dbandingkan dengan orang muda tanpa perforasi
2
Tingkat kematian pada anak-anak berkisar antara 0,1% sampai 1%; pada pasien yang lebih
tua dari 70 tahun, tingkat naik di atas 20%, terutama karena keterlambatan diagnostik dan
terapeutik. Risiko kematian apendisitis akut tetapi tidak gangren kurang dari 0,1%, namun
risiko naik menjadi 0,6% pada apendisitis gangren. Mortalitas pada appendisitis adalah karena
keterlambatan diagnosis dan umur pasien. Mortalitas 1% jika appendisitis akut tidak pecah dan
15% jika pecah pada orang tua, kematian biasanya dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi.
Prognosis membaik dengan diagnosa dini sebelum ruptur dan pemberian antibiotik.

25
BAB III
KESIMPULAN

Appendix vermiformis merupakan saluran yang buntu seperti cacing dengan panjang
yang sangat bervariasi, yaitu 2-15 cm dengan rata-rata 9 cm. Peradangan yang terjadi pada
appendix vermicularis disebut appendicitis. Appendicitis merupakan penyebab abdomen akut
yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa. Penyebab terjadinya appendicitis karena
adanya obstruksi pada lumen oleh fecalith ataupun hipertropi jaringan lymphoid.

Gejala khas dari penyakit ini adalah nyeri di kuadran kanan bawah abdomen disertai
demam mual dan muntah. Rovsing sign, psoas sign serta obturator sign hasilnya positif dan
pada pemeriksaan leukosit ditemukan jumlah leukosit lebih dari 10.000/mm3.

Untuk terapi dapat dilakukan secara konservatif dan operatif. Terapi konservatif
dilakukan sebelum melakukan tindakan appendectomy. Dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotic dan resusitasi cairan.

Selama diagnosa dapat ditegakkan secara dini, kasus appendicitis ini tidak akan
menimbulkan komplikasi.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Sabiston. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC. 1995. Hal 490-499


2. Sjamsuhidajat R, De Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC. 2010. Hal 756-
762
3. Widjaja IH. Anatomi Abdomen. Jakarta: EGC. 2008. Hal 87-94
4. Snell RS. Clinical Anatomy by Regions. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
P 229-231
5. Craig S. Appendicitis. http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview#a2.
2015
6. Schwartz’s. Principles of Surgery 9th Edition. United States. Mc-Graw Hill. 2011. P.
1241-1257
7. Zhang SX. An Atlas of Histology. Lexington. Springer. 1999. P. 234-236
8. Hardin M. Acute Appendisitis: Review and Update. The American Academy of Family
Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas
.http://www.aafg.org. 1999
9. Mescher AL. The Male Reproductive System In Junqueira’s Basic Histology Text and
Atlas, 12th Edition. USA. Mc-Graw-Hill. 2010. P. 383-385.
10. Hugh, A.F.Dudley. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta. 1992

27

Anda mungkin juga menyukai