HEMOROID
Oleh :
Alief Ilman Zaelany
132011101054
Pembimbing:
dr. Adi Nugroho, Sp. B
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2018
1
DAFTAR ISI
Halaman
2
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Epidemiologi
C. Anatomi
3
Kanalis analis pada dua pertiga bagian bawahnya, ini berlapiskan kulit tipis
yang sedikit bertanduk yang mengandung persarafan sensoris yang bergabung
dengan kulit bagian luar, kulit ini mencapai ke dalam bagian akhir kanalis analis
dan mempunyai epidermis berpigmen yang bertanduk rambut dengan kelenjar
sebacea dan kelenjar keringat. Mukosa kolon mencapai dua pertiga bagian atas
kanalis analis. Pada daerah ini, 6 – 10 lipatan longitudinal berbentuk gulungan,
kolumna analis melengkung kedalam lumen. Lipatan ini terlontar keatas oleh
simpul pembuluh dan tertutup beberapa lapisan epitel gepeng yang tidak
bertanduk. Pada ujung bawahnya, kolumna analis saling bergabung dengan
perantaraan lipatan transversal. Alur – alur diantara lipatan longitudinal berakhir
pada kantong dangkal pada akhiran analnya dan tertutup selapis epitel thorax.
Daerah kolumna analis, yang panjangnya kira – kira 1 cm, di sebut daerah
hemoroidal, cabang arteri rectalis superior turun ke kolumna analis terletak di
bawah mukosa dan membentuk dasar hemorhoid interna.
Bantalan hemoroid adalah jaringan normal dalam saluran anus dan rectum
distal untuk fungsi kehidupan bersosial yang normal dapat berfungsi sebagai
berikut. Fungsi kontinens yaitu menahan pasase abnormal gas, feses cair dan feses
padat Fungsi lainnya adalah efektif sebagai katup kenyal yang “watertight”..
4
Bantalan vaskuler arterio-venous, matriks jar. ikat dan otot polos. Bantalan
hemoroid normal terfiksasi pada jaringan fibroelastik dan otot polos dibawahnya.
Hemoroid interna dan eksterna saling berhubungan, terpisah linea dentate.
Jaringan hemorrhoid mengandung struktur arterio-venous fistula yang dindingnya
tidak mengandung otot, jadi pembuluh darah tersebut adalah sinusoid, bukan
vena.
5
Gambar 3. Arteri Rectum dan Canalis Analis
6
Gambar 4. Vena Rectum dan Canalis Analis
D. Patofisiologi
7
Hemorhoid interna yang merupakan pelebaran cabang-cabang v. rectalis
superior (v. hemoroidalis) dan diliputi oleh mukosa. Cabang vena yang terletak
pada colllum analis posisi jam 3,7, dan 11 bila dilihat saat psaien dalam posisi
litotomi mudah sekali menjadi varises. Penyebab hemoroid interna diduga
kelemahan kongenital dinding vena karena sering ditemukan pada anggota
keluarga yang sama. Vena rectalis superior merupakan bagian paling bergantung
pada sirkulasi portal dan tidak berkatup. Jadi berat kolom darah vena paling besar
pada vena yang terletak pada paruh atas canalis ani. Disini jaringan ikat longgar
submukosa sedikit memberi penyokong pada dinding vena. Selanjutnya aliran
balik darah vena dihambat oleh kontraksi lapisan otot dinding rectum selama
defekasi. Konstipasi kronik yang dikaitkan dengan mengedan yang lama
merupakan faktor predisposisi. Hemoroid kehamilan sering terjadi akibat
penekanan vena rectalis superior oleh uterus gravid. Hipertensi portal akibat
sirosis hati juga dapat menyebabkan hemoroid. Kemungkinan kanker rectum juga
menghambat vena rectalis superior.
8
E. Klasifikasi
Derajat II : Tonjolan keluar dari anus waktu defekasi dan masuk sendiri
setelah selesai defekasi.
Derajat III : Tonjolan keluar waktu defekasi, harus didorong masuk setelah
defekasi selesai karena tidak dapat masuk sendiri.
9
F. Manifestasi Klinis
10
G. Pemeriksaan
Gambar 7:
Left lateral
Posisi pemeriksaan
11
panjang. Hemoroid interna terlihat sebagai struktur vaskuler yang menonjol ke
dalam lumen. Apabila penderita diminta mengejan sedikit maka ukuran hemoroid
akan membesar dan penonjolan atau prolaps akan lebih nyata. Banyaknya
benjolan, derajatnya, letak ,besarnya dan keadaan lain dalam anus seperti polip,
fissura ani dan tumor ganas harus diperhatikan.
H. Diagnosis Banding
I. Komplikasi
Perdarahan akut pada umumnya jarang, hanya terjadi apabila yang pecah
adalah pembuluh darah besar. Hemoroid dapat membentuk pintasan portal
sistemik pada hipertensi portal, dan apabila hemoroid semacam ini mengalami
perdarahan maka darah dapat sangat banyak.
Yang lebih sering terjadi yaitu perdarahan kronis dan apabila berulang dapat
menyebabkan anemia karena jumlah eritrosit yang diproduksi tidak bisa
12
mengimbangi jumlah yang keluar. Anemia terjadi secara kronis, sehingga sering
tidak menimbulkan keluhan pada penderita walaupun Hb sangat rendah karena
adanya mekanisme adaptasi.
J. Penatalaksanaan
1. Terapi non bedah
a. Terapi obat-obatan (medikamentosa) / diet
b. Skleroterapi
13
anoskop. Apabila penyuntikan dilakukan pada tempat yang tepat maka
tidak ada nyeri.Penyulit penyuntikan termasuk infeksi, prostatitis akut jika
masuk dalam prostat, dan reaksi hipersensitivitas terhadap obat yang
disuntikan.
Gambar 8. Skleroterapi
14
kali terapi hanya diikat satu kompleks hemoroid, sedangkan ligasi
berikutnya dilakukan dalam jarak waktu 2 – 4 minggu.
Gambar 9:
Ruber band ligase
Hemoroid dapat pula dibekukan dengan suhu yang rendah sekali. Jika
digunakan dengan cermat, dan hanya diberikan ke bagian atas hemoroid
pada sambungan anus rektum, maka krioterapi mencapai hasil yang serupa
dengan yang terlihat pada ligasi dengan gelang karet dan tidak ada nyeri.
Dingin diinduksi melalui sonde dari mesin kecil yang dirancang bagi
proses ini. Tindakan ini cepat dan mudah dilakukan dalam tempat praktek
atau klinik. Terapi ini tidak dipakai secara luas karena mukosa yang
nekrotik sukar ditentukan luasnya. Krioterapi ini lebih cocok untuk terapi
paliatif pada karsinoma rektum yang ireponibel.
15
e. Infra Red Coagulation ( IRC ) / Koagulasi Infra Merah
Dengan sinar infra merah yang dihasilkan oleh alat yang dinamakan
photocuagulation, tonjolan hemoroid dikauter sehingga terjadi nekrosis
pada jaringan dan akhirnya fibrosis. Cara ini baik digunakan pada
hemoroid yang sedang mengalami perdarahan.
2. Terapi bedah
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun dan
pada penderita hemoroid derajat III dan IV. Terapi bedah juga dapat dilakukan
dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak dapat sembuh dengan cara
terapi lainnya yang lebih sederhana. Penderita hemoroid derajat IV yang
16
mengalami trombosis dan kesakitan hebat dapat ditolong segera dengan
hemoroidektomi.
Bedah konvensional
Teknik ini digunakan untuk tonjolan hemoroid di 3 tempat utama. Teknik ini
dikembangkan di Inggris oleh Milligan dan Morgan pada tahun 1973. Basis massa
hemoroid tepat diatas linea mukokutan dicekap dengan hemostat dan diretraksi
dari rektum. Kemudian dipasang jahitan transfiksi catgut proksimal terhadap
pleksus hemoroidalis. Penting untuk mencegah pemasangan jahitan melalui otot
sfingter internus.
Biasanya tidak lebih dari tiga kelompok hemoroid yang dibuang pada satu
waktu. Striktura rektum dapat merupakan komplikasi dari eksisi tunika mukosa
rektum yang terlalu banyak. Sehingga lebih baik mengambil terlalu sedikit
daripada mengambil terlalu banyak jaringan.
17
Gambar 11. Teknik Miligan-Morgan
2. Teknik Ferguson-Heaton
18
Gambar 12. Teknik Ferguson-Heaton
3. Teknik Whitehead
Teknik operasi yang digunakan untuk hemoroid yang sirkuler ini yaitu dengan
mengupas seluruh hemoroid dengan membebaskan mukosa dari submukosa dan
mengadakan reseksi sirkuler terhadap mukosa daerah itu. Lalu mengusahakan
kontinuitas mukosa kembali.
19
4. Teknik Langenbeck
Bedah Stapler
Teknik ini juga dikenal dengan nama Procedure for Prolapse Hemorrhoids
(PPH) atau Hemoroid Circular Stapler. Teknik ini mulai diperkenalkan pada tahun
1993 oleh dokter berkebangsaan Italia yang bernama Longo sehingga teknik ini
juga sering disebut teknik Longo. Di Indonesia sendiri alat ini diperkenalkan pada
tahun 1999. Alat yang digunakan sesuai dengan prinsip kerja stapler. Bentuk alat
ini seperti senter, terdiri dari lingkaran di depan dan pendorong di belakangnya.
20
Gambar 14. Teknik Bedah Stapler
21
1. Jika terlalu banyak jaringan otot yang ikut terbuang, akan mengakibatkan
kerusakan dinding rektum.
2. Jika m. sfinter ani internus tertarik, dapat menyebabkan disfungsi baik dalam
jangka waktu pendek maupun jangka panjang.
3. Seperti pada operasi dengan teknik lain, infeksi pada pelvis juga pernah
dilaporkan.
4. PPH bisa saja gagal pada hemoroid yang terlalu besar karena sulit untuk
memperoleh jalan masuk ke saluran anus dan kalaupun bisa masuk, jaringan
mungkin terlalu tebal untuk masuk ke dalam stapler.
1. Retensi Urine
Meski penyebab komplikasi ini masih belum jelas akan
tetapi dipercayai ini berkaitan dengan pembatasan cairan maupun
control rasa sakit pada periode perioperative sangat penting untuk
mencegah hal ini.
3. Anal stenosis
Anal stenosis dapat terjadi jika excessive anoderm diangkat
pada waktu hemoroidektomi. kejadian ini sering pada operasi
darurat untuk thrombused hemoroid. Pengobatan bisa
menggunakan obat pencahar tapi mungkin memerlukan pelebaran
atau Anoplasti.
22
4. Fekal inkontinensia
Fekal inkontinensia etiologinya bisa jadi karena kombinasi
hal - hal seperti peregangan sphincter selama prosedur pencabutan,
cedera langsung pada sfingter,atau kehilangan tumpukan
hemorrhoidal yang menyumbang sekitar 10-15% dari kontinuitas.
23
M. Prognosis
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Cintron, H.J. 2007. The ASCRS textbook of colon and rectal surgery:
Anatomy and Embriology the Colon, Rectum, and Anus. Springer-Verlag,
Inc, New York:1-25.
2. Ganz, R.A. 2013. The Evaluation and Treatment Hemorrhoids: A Guide for
the Gastroenterologist. CLINICAL GASTROENTEROLOGY AND
HEPATOLOGY, 11:593–603.
3. Lohsiriwat, V. 2012. Hemorrhoids: From basic pathophysiology to clinical
management. World J Gastroenterol, 18(17): 2009-2017.
4. Cintron, J. 2007. The ASCRS textbook of colon and rectal surgery: Benign
Anorectal: Hemorrhoids. Springer-Verlag, Inc, New York:156–177.
5. Rakinic, J. et. al. 2014. Hemorrhoid and Fistulas: New Solution to Old
Problems. Current Problems in Surgery, 51: 98-137.
6. Lohsiriwat, V. 2015. Treatment of hemorrhoids: A coloproctologist’s view.
World J Gastroenterol, 21(31): 9245-9252.
7. Sjamsuhidajat, R., Karnadihardja, W., Prasetyono, T. O. H., dan Rudiman, R.
2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
8. Hall, J.F. 2013. Modern Management of Hemorrhoidal Disease.
Gastroenterol Clin N Am, 42:759–772.
9. Hardy, A. 2014. The acute management of haemorrhoids. Ann R Coll Surg
Engl,96:508–511.
10. Izadpanah, A.2013. Minimally Invasive Treatment of Hemorrhoidal Disease.
Annals of Colorectal Research,1(2):41-6.
11. Paulsen F. & Waschke J. 2012. Sobota Atlas Anatomi Manusia Jilid 2.
Jakarta: ECG.
12. Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : Keluarga Besar
Asisten Anatomi FKUNS.
25
26