Anda di halaman 1dari 52

BAB IV

METODE GEOLISTRIK

Sebelum mempelajari peristiwa kelistrikan di dalam bumi, tentu masih ingat tentang
pelajaran listrik dalam Fisika-2, bahwa arus listrik bisa mengalir dari potensial positif ke
potensial negatif, bagaikan air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat rendah. Mengapa
demikian ? Karena dengan adanya perbedaan potensial sehingga menyebabkan energi
potensial. Hal ini berarti arus listrik (I) mengalir karena adanya perbedaan potensial(ΔV).
Kemudian bila aliran air ditangkap dengan kincir air (sebagai R) yang mengakibatkan kincir
berputar dan putarannya dihubungkan dengan generator sehingga pada ahirnya akan
menghasilkan energi listrik. Maka untuk terjadinya listrik selain ada parameter V, I, dan juga
ada R (Resistansi) yang dirumuskan dalam hukum Ohm sebagai V=IR.
Berangkat dari pengertian tersebut, maka jika arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi
dan buminya sendiri mempunyai tahanan R sehingga akan timbul perbedaan potensial.
Namun potensial disini dipengaruhi oleh jarak karena bila diukur pada jarak dekat antara arus
dengan potensial akan menghasilkan perbedaan potensial yang besar tetapi bila jaraknya jauh,
perbedaan potensial yang dihasilkannya akan semakin kecil. Oleh karena itu R di dalam bumi
juga dipengaruhi oleh jarak dan hasil kalinya akan menghasilkan Resistivitas (ρ), dimana
satuan Resistivitas adalah Ohm.m.
Dalam metode Geolistrik yang paling populer adalah metode Resistivitas (Resistivity),
metode ini termasuk bersifat aktif yaitu dengan cara menginjeksikan arus ke dalam bumi dan
menangkap perbedaan potensialnya maka akan diperoleh Resistivitas seperti yang
diterangkan di atas. Jadi yang paling penting adalah karena adanya arus listrik tersebut maka
dapat diketahui Resistivitas. Namun arus listrik itu bisa diperoleh dengan injeksi dari sumber
arus yang sengaja dibangkitkan atau yang sebelumnya sudah ada di dalam alam yaitu arus
alam sehingga tanpa menginjeksikan arus, bisa menghasilkan potensial alam (Self Potential)
atau disingkat SP. Pengukuran dengan metode SP ini termasuk metode pasif karena hanya
memanfaatkan potensial alam bisa memperkirakan cebakan sumberdaya mineral.
Selain metode Resistivitas dan SP yang telah diungkapkan di atas yaitu bahwa
Resistivitas perlu injeksi arus sedangkan SP tidak perlu injeksi arus tetapi memanfaatkan
potensial yang sudah ada di alam. Maka perbedaan antara Resistivitas dan SP terletak pada
menggunakan arus dan tidak. Sekarang timbul pertanyaan yang dipakai dalam Resistivitas itu
arus listrik yang digunakan arus bolak-balik (AC) atau arus searah (DC). Kebanyakan dalam
metode Resistivitas digunakan arus DC. Penggunaan arus listrik AC untuk kondisi tertentu
saja. Hal ini mengapa ? karena dari pengalaman pengukuran dengan metode Resistivitas ini
sulit sekali membedakan antara batulempung dengan mineral lempung yang sama-sama
mempunyai nilai tahanan jenis rendah. Untuk itu biasanya digunakan metode Polarisasi
terimbas (Induced Polarization) atau disingkat metode IP. Metode ini menggunakan arus
listrik AC. Kemudian listrik AC terjadi karena adanya perbedaan frekuensi dan dengan
adanya perbedaan frekuensi bisa dihitung berapa persen efek dari frekuensi itu yang disebut
Percent Frequency Effect (PFE). Dari besar kecilnya nilai PFE ini bisa ditentukan juga apakah
mengandung logam atau tidak yang diperoleh/dirumuskan dengan Metal Factor (MF). Jadi
untuk membedakan yang sama-sama mempunyai nilai tahanan jenis kecil tersebut apakah
cuma lempung berair atau bisa diharapkan juga sejenis mineral lempung atau biasanya disebut
mineral konduktif. Bilamana ρ rendah dan didukung oleh factor logamnya yang tinggi maka
bisa diinterpretasikan mengandung mineral yang umumnya mineral sulfida.
Selain dari itu, dalam metode IP terbagi dalam domain frekuensi seperti yang di
terangkan di atas yaitu akan menghasilkan parameter parameter ρ, PFE, dan MF. Juga metode
IP sebagai domain waktu (Time domain), Prinsipnya bila bumi dimasukkan arus akan timbul
beda potensial. Akan tetapi potensial disini tidak langsung stabil melainkan perlahan-lahan
menuju stabil. Demikian juga bila arus dimatikan, potensil tidak langsung nol tetapi perlahan-
lahan menuju nol. Hal ini kenapa terjadi ? Proses perlahan-lahan tadi memerlukan waktu
sehingga disebut time domain. Perbandingan potensial yang terukur antara primer dan
sekunder menghasilkan Chargeability(M) yang diartikan sebagai tingkat kemudahan suatu
benda bila dialiri listrik. Semakin besar chargeability maka kemungkinan adanya mineral
sulfide atau benda lainnya yang bersifat logam.
Dengan demikian, dalam metode Geolistrik akan dibahas tentang metode SP,
Resistivity, dan Induced Polarization (IP) baik dalam kawasan (domain) frekuensi maupun
dalam kawasan waktu.
Dalam metode geolistrik ini, disamping akan dibahas teorinya mulai dari matematis
sampai pada arti fisisnya. Juga akan dilengkapi tulisan-tulisan yang diambil dari internet,
seperti misalnya penerapan geolistrik untuk akuifer, panasbumi, dan penyelidikan mineral.
Untuk penerapan akuifer dan panasbumi digunakan pengukuran ke bawah secara vertical.
Sedangkan untuk penyelidikan mineral sulfide (urat-urat kuarsa), dan juga endapan-endapan
mineral lain seperti Mangan, besi dll. digunakan metode Resistivity 2 dimensi. Metode ini
semakin popular karena telah dipopulerkan oleh Profesor dari Malaysia (Loke., M.H.,2004).
4.1 Dasar teori geolistrik

(4.1)

(4.2)

(4.2)

(4.3)

(4.2)

(4.4)

(4.5)

(4.6)
(4.7)

(4.7) 7

(4.8)

(4.9)

(4.10)

(4.11)

4.1)O

(4.11)
(4.12)

4.2)O

Gambar 4.1 Sumber arus tunggal di dalam medium seluruh ruang (whole space)
Atau Arus di dalam bumi akan menimbulkan potensial berbentuk bola
AA

Gambar 4.2 Sumber arus di permukaan bumi sehingga arus menyebar ke semua arah
dan menimbulkan potensial berbentuk setengah bola/ruang (half space)
3.2 Konsep resistivitas semu dan pengukuran geolistrik

(4.12)

4.3).3

(4.13)

Gambar 4.3 Konsep pengukuran geolistrik menggunakan elektroda tunggal (C1, P1)

(4.13)

(4.14)
3.3 Konfigurasi Elektroda

4.4

Gambar 4.4 Penempatan elektroda arus dan potensial pada pengukuran geolistrik

(4.15)

(4.16)

(4.17)
(4.18)

(4.19)

4.4

4.5)

(4.20)
(4.21)

(4.22)

(4.23)
C2 C1

4.5
4.4 Teknik Pengukuran Geolistrik
4.6

4.7
Gambar 4.7 Beberapa tipe kurva sounding yang secara kualitatif menunjukkan variasi kedalaman
4.8
4.5 Pengolahan data Resistivity Sounding (Calculation.hmtl)

Berikut ini adalah contoh pengolahan data lapangan yang diambil dari internet, mulai
data lapangan Resistivity sounding dan pengolahannya dengan menggunakan program
Induced Polarization Interpretation 2 dimensi yang menggunakan windows(IPI2Win).
Progam ini tidak hanya untuk interpretasi kurva sounding tetapi juga untuk IP. Namun ingat
bahwa IP terdiri dari IP - frekuensi domain yaitu : Resistivity, PFE, dan Metal Factor. Dalam
hal ini yang digunakan adalah program untuk pengolahan data resistivity sounding. Juga ada
IP-time domain yaitu untuk menghitung chargeability.
Pemakaian program IPI2Win tersebut sebaiknya sudah mengenal langkah-langkah
yang dilakukan dalam melakukan Matching, dimana ada kurva data lapangan atau kurva
resistivity sounding yang akan dicocokkan dengan kurva standar 2 lapisan dan kurva bantu
yang terdiri dari 4 tipe yaitu H, K, A, dan Q seperti pada gambar 4.7.
Kadang-kadang ada tulisan tentang pengolahan data kurva sounding yang ditemukan
dalam internet terkesan lucu. Mengapa demikian ? Karena dalam program komputer mau
dimasukkan pilihan lapisan bumi berapa saja dia OK tanpa harus mengenal lengkungan
kurva sounding yang kemudian disesuaikan dengan kurva standar dan bantu.
Untuk itu perhatikan langkah-langkahnya dalam contoh berikut yang diambil dari
internet berjudul Calculation, kemudian perhatikan juga ada 2 contoh yang membingungkan
dari 2 penulis yang ditemukan dalam internet.
4.6 Contoh Interpretasi kurva sounding yang kurang tepat :
1) Interpretasi kurva sounding dalam eksplorasi air tanah

Komentar :
1. Penulisnya berlatarbelakang Geologi sehingga kuat dalam interpretasi yang berhubungan
dengan litologi. Akan tetapi sayang melupakan prinsip-prinsip dalam metode matching,
yaitu dari kurva standar 2 lapis bahwa dalam lapisan bumi cuma ada 2 kemungkinan
lengkungan yaitu naik atau turun artinya lebih besar atau lebih kecil dari lapisan-1. Namun
menurut kurva bantu mempunyai 4 tipe, yaitu selain naik-turun(K) dan turun-naik(H) bisa
dimungkinkan naik-naik lagi(A) atau turun-turun lagi(Q). Jadi tidak lebih dari itu. Sedangkan
kalau diperhatikan interpretasi di atas sampai detail sekali bahwa lapisan tipis sekalipun
terdeteksi dengan kurva sounding karena penulisnya menganggap bisa lebih dari 4 tipe tsb.
seperti pada kedalaman 10 – 30 m tidak sesuai karena turun sampai 4x ?
2. Dari perbandingan tersebut penulisnya mengatakan keberhasilan mendapatkan air tanah
> 70 % ? Hebat sekali si penulis tersebut sehingga dengan interpretasi ini diharapkan bisa
menarik banyak investor. Namun jika mengetahui yang sesungguhnya mungkin terbalik ?
3. Perbandingan antara logging (pengukurannya kontinu) dan geolistrik (pengukurannya
diskrit) sulit untuk sesuai sd > 70 % karena pengukuran diskrit ini loncat-loncat berbeda
dengan kontinu yang terus menerus tanpa putus. Sehingga kalau logging hasilnya detail
sedangkan geolistrik tidak mungkin detail kecuali dicocok-cocokkan.

2) Penerapan Geolistrik untuk daerah prospek panasbumi


Komentar :
 Penulis berlatar belakang Fisika sehingga dia unggul dalam bidang processing data tapi
kurang mendalami Ilmu Kebumian sehingga Interpretasinya kurang pas. Hal ini ditunjukkan
dengan pengukuran geolistrik dengan bentangan sd. + 400 m tapi cuma bisa interpretasi
sampai kedalaman 30 m (4 lapisan saja) sehingga kurang dalam. Tapi si penulis tidak
melanjutkan padahal minimal 1 lapisan lagi sekitar 100 m-an masih bisa diinterpretasi.
 Dalam interpretasi kurva sounding di daerah panasbumi diharapkan sampai kedalaman 300 –
500 m. akan ditemukan batuan alterasi dengan nilai ρ< 5 Ohm.m. Daerah seperti ini prospek
karena diduga ada reservoir panas di bawahnya. Karena itu bentangan AB/2 ~ 1000 m.

4.7 Beberapa contoh penerapan metode Resistivity-2D

Contoh 4.7 A
Penerapan Metode Geolistrik Konfigurasi Schlumberger
untuk Penentuan Tahanan Jenis Batubara

1. PENDAHULUAN
Batubara merupakan sumber energi masa depan (Heriawan 2000). Batubara
merupakan batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar berasal dari tumbuhan, berwarna
coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya terkena proses fisika dan kimia yang
mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya (Wolf 1984 dalam Anggayana 1999).
Penyebaran endapan batubara di Indonesia ditinjau dari sudut geologi sangat erat
hubungannya dengan penyebaran formasi sedimen yang berumur tersier yang terdapat secara
luas di sebagian besar kepulauan di Indonesia. Batubara di Indonesia dapat dibedakan tiga
jenis berdasarkan cara terbentuknya.Pertama, batubara paleogen yaitu endapan batubara yang
terbentuk pada cekungan intramontain terdapat di Ombilin, Bayah, Kalimantan Tenggara,
Sulawesi Selatan, dan sebagainya. Kedua, batubara neogen yakni batubara yang terbentuk
pada cekungan foreland terdapat di Tanjung Enim Sumatera Selatan. Ketiga, batubara delta,
yaitu endapan batubara di hampir seluruh Kalimantan Timur (Anggayana 1999). Menurut
Amri (2000) formasi batubara tersebar diwilayah seluas 298 juta ha di Indonesia, meliputi 40
cekungan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Jawa. Dari jumlah cekungan
tersebut baru 13 cekungan dengan luas sekitar 74 juta ha (sekitar 25%) yang sudah diselidiki.
Sementara cekungan yang telah dilakukan penyelidikan terbatas sampai pada tahap
penyelidikan umum, eksplorasi, maupun eksploitasi baru 3% atau seluas 2,22 juta ha. Oleh
karena itu perlu ditingkatkan penyelidikan tentang keberadaan batubara tersebut.
Salah satu metoda gofisika yang dapat digunakan untuk memperkirakan keberadaan
batubara adalah metoda geolistrik tahanan jenis.Metoda ini merupakan salah satu metoda
geofisika yang dapat memberikan gambaran susunan dan kedalaman lapisan batuan, dengan
mengukur sifat kelistrikan batuan (Priyanto 1989 dalam Kalmiawan et al, 2000). Selanjutnya
Loke (1999a) mengungkapkan bahwa survey geolistrik metoda resistivitas mapping dan
sounding menghasilkan informasi perubahan variasi harga resistivitas baik arah lateral
maupun arah vertikal.
Dalam penelitian ini dilakukan pemodelan berskala laboratorium untuk mengukur
tahanan jenis beberapa sampel batubara dari Tambang Air Laya dengan peringkat yang
berbeda seperti Tabel 1 (Heriawan 2000). Dengan dasar pemikiran metoda tahanan jenis telah
banyak dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan ekplorasi lapisan dangkal, maka pada
penelitian ini dipilih metoda pengukuran 2-D dari tahanan jenis. Adapun model konfigurasi
yang digunakan adalah konfigurasi Schlumberger. Berdasar hasil penelitian Heriawan (2000),
sifat fisik batubara Tambang Air Laya dengan peringkat yang bervariasi menunjukkan
semakin tinggi peringkat batubara, kadar airnya semakin kecil, sehingga konduktivitas
listriknya berkurang (Tabel 1).

Di sini terlihat bahwa konduktivitas batuan sangat ditentukan oleh tahanan jenisnya (Speight
1994).
Metoda tahanan jenis merupakan metode geofisika yang dipakai untuk pengukuran
tahanan jenis semu suatu medium. Pengukuran dengan konfigurasi Schlumberger ini
menggunakan elektroda, masing-masing 2 elektroda arus dan 2 elektroda potensial (Gambar
1).
Tahanan jenis semu medium yang terukur dihitung berdasarkan persamaan (van Norstand et
al, 1966; Reynolds 1997; Telford et al, 1990).

dengan harga:
MN = a (spasi elektroda potensial)
AM = NB = n.a
MB = AN = (n + 1).a

Untuk konfigurasi Schlumberger, harga K dapat dihitung menggunakan persamaan:


K = n.(n + 1) π a;
n = 1, 2, 3,4,5,……
dengan:
ρ : tahanan terukur (apparent resistivity)
ΔV : potensial yang terukur antara elektroda P1 dan P2
I : arus listrik yang mengalir ke tanah melalui elektroda C1 dan C2
K : faktor geometri konfigurasi elektroda.

2. BAHAN DAN METODE


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Bumi Jurusan Fisika ITB, dengan
metodologi penelitian sebagai berikut:

1) membuat model fisik pengukuran menggunakan bak kaca berukuran (2 x 1,2 x 0,6 m)
yang diisi lempung setinggi 50 cm sebagai medium pengukuran;

2) mengukur tahanan jenis lempung sebelum pengukuran tahanan jenis batubara;

3) melakukan pengukuran dengan seperangkat alat resistivity meter model SS35X1;

4) batubara yang digunakan adalah jenis bituminous berukuran 14 x 8 x 7,5 cm dan semi-
antrasite berukuran 12 x 10 x 5 cm yang diukur secara terpisah dengan variasi pengukuran
pada kedalaman 10 cm posisi tegak, miring, dan sejajar bidang perlapisan;

5) pengukuran dilakukan dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger dengan spasi (a)


elektroda potensial tetap minimum 5 cm dan panjang bentangan 165 cm (Gambar 2) dan
6) hasil pengukuran diproses dengan menggunakan software Res2dinv (Loke 1999b). Sampel
batubara yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tambang Air Laya Sumatera Selatan
dan lempung sebagai medium pengukuran diambil dari daerah Ciembulueit Kota Bandung.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Untuk menentukan adanya anomali tahanan jenis di bawah permukaan lempung, maka
sebelum ditanam batubara terlebih dahulu diukur tahanan jenis medium lempung tersebut.
Dari hasil inversi dengan program Res2dinv diperoleh penampang tahanan jenis lempung
seperti pada Gambar 3.
Gambar 3 memperlihatkan penampang tahanan jenis lempung hasil inversi dengan
pengukuran menggunakan konfigurasi Schlumberger berharga antara 20,7–403 Ωm yang
terdiri dari 4 lapisan dengan kesalahan iterasi 8,1%. Lapisan pertama tahanan jenisnya 20,7–
48,4 Ωm, lapisan kedua antara 74,0–113 Ωm, lapisan ketiga 173 Ωm dan lapisan keempat
yang paling dasar 403 Ωm diakibatkan lapisan paling bawah lebih kering serta adanya efek
pantulan kaca. Gambar 4 adalah penampang tahanan jenis bituminous posisi sejajar bidang
perlapisan, 10 cm dari bawah permukaan dengan tahanan jenis berkisar antara 138–200 Ωm
dengan kesalahan iterasi 8,8%. Sedangkan pada kedalaman yang sama dengan posisi miring
600 di bawah permukaan diindikasikan oleh anomali tahanan jenis antara 207–345 Ωm
dengan kesalahan iterasi 19,8% (Gambar 5). Selanjutnya dengan posisi tegak bidang
perlapisan pada kedalaman 10 cm, bituminous mempunyai tahanan jenis antara 281–465 Ωm
dengan kesalahan terasi 13,0% (Gambar 6).

Untuk batubara jenis semi antrasite yang ditempatkan pada kedalaman 10 cm dari
bawah permukaan lempung pada posisi tegak bidang perlapisan memiliki tahanan jenis antara
331-485 Ωm dengan kesalahan iterasi 8,4% (Gambar 7) dan pada posisi sejajar tahanan
jenisnya berkisar 463-754 Ωm dengan kesalahan iterasi 11,5% (Gambar 8). Sedangkan posisi
miring 60O terhadap bidang perlapisan mempunyai tahanan jenis antara 234–355 Ωm dengan
kesalahan iterasi 13,7% (Gambar 9).

Dari hasil pengolahan data dengan software Res2dinv untuk pengukuran berbagai
posisi, baik miring, sejajar, maupun tegak bidang perlapisan, ternyata tahanan jenis batubara
yang berbeda peringkat mempunyai tahanan jenis listrik yang berbeda (Tabel 2)
Selanjutnya penetrasi kedalaman pengukuran berdasarkan software Res2dinv (Loke 1999b)
ditentukan dengan persamaan n x ½ a (spasi minimum). Pengukuran pada penelitian ini
dengan n = 6 dan spasi elektroda potensial 5 cm sehingga kedalamannya 6 x ½ (5 cm) = 15
cm. Jika kita perhatikan penampang yang dicitrakan berada pada kisaran 1,3–12,4 cm. Hal ini
mungkin disebabkan terjadinya pergeseran letak elektroda yang kurang dari 5 cm pada
pengukuran. Dari Tabel 2 terlihat perbedaan tahanan jenis antara peringkat batubara yang
berbeda,dimana tahanan jenis semi-antrasite ternyata lebih besar dibanding bituminous. Ini
sesuai dengan kenyataan bahwa semi antrasite lebih kering banding bituminous seperti yang
tertera pada Tabel 1.
Dari hasil inversi penampang tahanan jenis hasil pengukuran seperti pada Gambar 5
sampai 10 terlihat bahwa pada bagian bawah penampangnya memperlihatkan tahanan jenis
besar, hal ini mungkin disebabkan oleh lapisan bagian bawah lebih kering dan pengaruh efek
kaca bagian bawah pengukuran terdapat noise dalam pengukuran.

Untuk mengetahui struktur yang lebih dalam, maka spasi elektroda arus dan potensial
harus ditambah secara bertahap, semakin besar spasi elektroda maka efek penembusan arus
kebawah semakin dalam. Dari hasil inversi Software Res2dinv pada data pengukuran
resistivitas dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger lebih kontras anomali tahanan
jenisnya. Hal ini disebabkan oleh faktor geometri arus dan potensial. Elektroda potensial pada
konfigurasi Schlumberger relatif jarang dirubah, sehingga dapat menyebabkan perbedaan data
relatif kecil antara titik yang satu dengan titik yang lainnya.

4. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa salah satu metoda
gofisika yang dapat digunakan untuk memperkirakan keberadaan dan ketebalan batubara di
bawah permukaan adalah metoda geolistrik tahanan jenis. Metoda geolistrik dapat mendeteksi
lapisan batubara pada posisi miring, tegak dan sejajar bidang perlapisan di bawah permukaan.
Dari pengolahan data dengan Software Res2dinv di dapatkan tahanan jenis resistivitas
batubara bersifat anisotropi yaitu tergantung pada arah pengukurannya. Selanjutnya tahanan
jenis semi-antrasite lebih besar dibandingkan dengan tahanan jenis bituminous. Hal ini sesuai
dengan kenyataan bahwa semi-antrasite lebih kering dibanding bituminous.

5. DAFTAR PUSTAKA

Amri, N.A. 2000. Rescheduling pemanfaatan energi batubara Indonesia. Thesis.


Bandung: ITB.
Anggayana, K. 1999. Genesa Batubara. Bandung: Jurusan Teknik Pertambangan
Fakultas Teknologi Mineral ITB.
Azhar. 2001. Pemodelan fisis metoda resistivity untuk eksplorasi batubara. Thesis.
Bandung: ITB.
Heriawan, M.N. 2000. Aplikasi metode georadar untuk menentukan sifat dielektrik
batubara tambang Air Laya dengan peringkat yang bervariasi. Thesis. Bandung: ITB.
Kalmiawan, P., Sismanto, A. & Suparwoto. 2000. Survey of resistivity method to
investigate the Krakal Hot Spring in Desa Krakal, Kec. Alian, Kab. Kabumen, Prop.
Jawa Tengah. Bandung: Prosiding PIT HAGI ke-25.
Loke, M.H. 1999a. Electrical Imaging Surveys for Environmental and Engineering
Studies: A practical quide to 2-D and 3-D surveys. Malaysia: Penang.
Loke, M.H. 1999b. RES2DINV Rapid 2D Resistivity & IP Inversion (Wenner, dipole-
dipole, pole- pole, pole-dipole, Schlumberger, rectangular arrays) on Land,
Underwater and Cross- borehole Surveys; Software Manual Ver.3.3 for windows 3.1, 95
and NT. Malaysia: Penang.
Van Nostrand, Robert, G. & Kenneth, L Cook. 1966. Interpretation of Resistivity Data.
Washington: Geological Survey.
Reynolds, J.M. 1998. An Introduction to Applied and Environmental Geophysics. New
York: John Willey and Sons.
Speight, J.M. 1994. The Chemistry and Technology of Coal. New York: Marcel Dekker.

Telford, W.M., Gedaart, L.P. & Sheriff, R.E. 1990. Applied Geophysics. New York:
Cambridge.

Contoh 4.7B

PEMETAAN HIDROGEOLOGI DENGAN MENGGUNAKAN METODA GEOLISTRIK

Pemetaan lapisan akuifer untuk memenuhi kebutuhan industri, perhotelan dan


komunitas masyarakat seperti pesantren menjadi sangat signifikan dalam rangka
meminimalkan biaya eksploitasi. Sebuah pesantren X di daerah Cihideung Serang dengan
populasi 550 santri ternyata kebutuhan primer airnya tidak cukup jika hanya mengandalkan
airtanah dari lapisan akuifer permukaan. Apalagi kalau kebutuhan itu digunakan untuk
pengembangan potensi santri seperti pengelolaan kolam renang dan pertanian. Telah
dilakukan pengukuran dan pemetaan lapisan akuifer di daerah Cihideung, Serang Banten
dengan menggunakan metoda geolistrik.
Target pemetaan ini adalah untuk mendapatkan lapisan akuifer dalam yang
diharapkan memiliki debit dan cadangan air yang sangat besar dan tidak bergantung musim.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger dan bentangan kabel
AB/2 hingga mencapai 300 meter. Dari pemodelan 2D diperoleh sebaran airtanah di daerah
pengukuran bahwa lapisan akuifer dalam diperkirakan lapisan pasir tufaan dan berada pada
kedalaman 40 meter hingga 100 meter. Ketebalan lapisannya bervariasi tergantung pada
topografi permukaan dan lapisan kedap air di bawah lapisan akuifer dengan kecenderungan
semakin menebal ke bagian bawah danau. Dengan mempertimbangkan estimasi luas daerah
pengamatan, ketebalan lapisan akuifer dan porositas batuan reservoarnya serta saturasi air,
diperkirakan potensi airtanah di lapisan tersebut mencapai 2,9 juta m3.

1. PENDAHULUAN

Dari hasil penyelidikan sebelumnya terhadap lokasi penelitian dengan menggunakan


metode geolistrik telah dibuat sebuah sumur bor yang memiliki kedalaman hingga 100 meter.
Pembuatan sumur bor hingga kedalaman tersebut bisa menghabiskan banyak dana dan dirasa
kurang efektif khususnya untuk memenuhi seluruh kebutuhan air bagi para penghuni
pesantren yang tersebar pada lokasi yang cukup luas. Untuk itu, keberadaan airtanah yang
lebih terjangkau pada seluruh daerah di lokasi pesantren akan sangat membantu dalam
penentuan lokasi sumur bor yang lebih mudah dan efisien.

Penyelidikan geolistrik lanjutan di lokasi ini diharapkan akan dapat mengetahui letak-
letak airtanah, arah aliran air, volume, serta model hidrogeologi daerah ini. Dengan begitu
diharapkan dapat dimanfaatkan dalam menentukan lokasi pengeboran yang tepat serta
pengelolaan airtanah bagi para santri dan penduduk yang tinggal disana. Dari beberapa
konfigurasi elektroda pada metode geolistrik, konfigurasi Schlumberger menjadi pilihan
terbaik dikarenakan jangkauannya yang paling dalam (Barker, 2001).

Hal ini sesuai dengan kebutuhan di lapangan mengingat dari sumur bor sebelumnya
mencapai kedalaman sekitar 100 meter. Nilai besaran yang dicari melalui metode geolistrik
ialah nilai resistivitas batuan. Resistivitas merupakan nilai intrinsik batuan yang menunjukkan
seberapa besar hambatan listrik batuan tersebut sehingga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi jenis batuan. Nilai resistivitas batuan dapat diketahui dari besaran terukur
yakni ΔV dan I melalui hubungan resistivitas dengan geometri batuan bawah permukaan.
Pada metode resistivitas, arus listrik diinjeksikan oleh sepasang elektrode arus AB.
Arus listrik akan mengalir di bawah permukaan bumi melalui lapisan-lapisan batuan yang
memiliki resistivitas berbeda. Sepasang elektrode tegangan MN yang dibentangkan pada jarak
tertentu akan mengukur besar tegangan listrik di permukaan bumi. Dengan mengetahui nilai
tegangan dan arus listrik maka nilai resistivitas perlapisan batuan bawah permukaan dapat
diprediksi. Hubungan antara resistivitas, beda potensial (ΔV), dan arus listrik (i) yang terukur
dipengaruhi oleh geometri dari konfigurasi yang dipergunakan dalam bentuk:

Persamaan (1) :

Dimana AM, MB, AN, dan NB merupakan jarak antar elektrode. Untuk konfigurasi
Schlumberger nilai resistivitas dapat dihitung dari formula:

Persamaan (2) :

dimana L jarak antar elektrode arus dan a jarak antar elektrode potensial.
Dengan memperhatikan sifat listrik batuan yang tersaturasi fluida di bawah tanah
maka keberadaan akuifer dapat diprediksi. Adapun sifat listrik batuan bergantung pada tingkat
porositas, permeabilitas, jenis fluida pada pori batuan, dan kandungan garam dalam fluida.
Akuifer yang dicari dalam penelitian ini berdasarkan data sumur bor diduga terdiri atas
akuifer dangkal dan dalam serta memiliki tingkat salinitas yang rendah.

2. METODE PENELITIAN

2.1 Tinjauan geologi daerah penelitian

Penelitian dilakukan di area Pesantren X yang terletak di Desa Bantar Waru,


Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten. Berdasarkan penjelasan peta geologi
daerah Anyer diketahui bahwa daerah Bantar Waru didominasi oleh formasi Tufa Banten Atas
yang terdiri atas batuan tufa sela, tufa berbatu apung, dan tufa pasiran di bagian atas serta di
bagian bawah terdiri atas tufa hablur, tufa lapili berbatuapung, tufa kaca, dan sisipan tufa
lempungan warna merah (Santosa et al., 1992).
Menurut penjelasan peta hidrogeologi Indonesia daerah Anyer dan Cikarang, desa
Bantar Waru secara morfologi termasuk kedalam kelompok satuan morfologi perbukitan
bergelombang (Suryaman, 2001). Secara umum, geologi daerah ini disusun oleh berbagai
jenis batuan berumur tua (tersier) sampai muda (kuarter).
Berdasarkan kedudukan akuifer dari muka tanah setempat, maka sistem akuifer di
daerah pemetaan hidrogeologi Anyer dapat dibedakan menjadi akuifer endapan permukaan
(surficial aquifer) dengan kedalaman kurang dari 20 meter di bawah muka tanah (bmt) dan
akuifer batuan dasar (bedrock aquifer) dengan kedalaman lebih dari 20 meter bmt. Akuifer
endapan permukaan pada daerah perbukitan bergelombang terletak pada kedalaman antara
10-20 meter bmt. Sedangkan Akuifer batuan dasar terletak pada kedalaman antara 20 sampai
120 meter bmt. Akuifer daerah Bantar Waru memiliki debit kurang dari 5 liter per detik dan
diduga kedudukannya lebih dari 100 meter di bawah muka tanah (Suryaman, 2001).

2.2 Akuisisi data tahanan jenis

Lintasan pengukuran ditentukan berdasarkan disain interpretasi yang dikehendaki


serta mempertimbangkan kondisi alam daerah sekitar lokasi penelitian. Titik-titik sounding
diusahakan diukur dengan arah bentangan elektrode yang searah untuk memudahkan dalam
proses korelasi dalam interpretasi masing-masing titik sounding. Hal inilah yang menentukan
pemilihan lokasi titik-titik sounding sehingga dalam pengukuran antar titik sounding
memungkinkan untuk membentangkan elektrode pada arah yang sama. Desain pengukuran
dibuat untuk dua lintasan dan 9 titik sounding. Lintasan satu terdiri dari lima titik sounding
yakni NF1, NF2, NF3, NF4, dan NF5. Sementara pada lintasan kedua di sebelah selatan
terdapat titik sounding NF6, NF7, NF8, dan NF9. Lintasan pengkuran dan persebaran titik
sounding dapat dilihat dalam Gambar 1.
Karena target kedalaman yang diinginkan mencapai 100 meter maka bentangan AB/2
dilakukan hingga mencapai bentangan 300 meter. Dalam pengukuran yang dilakukan,
keadaan alam dan cuaca mempengaruhi proses dan hasil pengukuran. Keadaan alam
menentukan arah bentangan yang mungkin dilakukan pada saat pengukuran berlangsung.
Sementara kondisi cuaca dapat berpengaruh pada tingkat kebasahan tanah sehingga
berpotensi mengubah distribusi arus listrik pada saat pengukuran. Permukaan tanah yang
basah akan menjadi penghantar listrik yang baik sehingga arus listrik akan banyak
terdistribusi di permukaan dan kurang terdistribusi pada kedalaman yang jauh.
Permukaan yang terlalu basah juga akan memperbesar kon-duktivitas batuan peng-
hantar di permukaan se-hingga berdampak pada membesarnya arus yang terukur hingga
melampaui kemampuan maksimum-nya sebesar 2 A. Lintasan 1 mem-bentang dengan arah
barat-timur dari perbatasan luar bagian barat Pesantren X hingga lokasi sumur bor airtanah di
samping pintu masuk menuju Pesantren X. Lintasan 2 membentang dengan arah barat-timur
di daerah sebelah selatan lokasi Pesantren X. Pengukuran di titik ini umumnya menghadapi
kendala sulitnya mencari bentangan maksimum hingga 600 meter disebabkan banyaknya
kebun-kebun dan ilalang sehingga pembentangan kabel sering menjumpai masalah.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Pengolahan Data

Dari persamaan (2) perhitungan dilakukan menggunakan microsoft excel untuk


mendapatkan resistivitas semu batuan (apparent resistivity). Harga apparent resistivity inilah
yang kemudian diolah lebih lanjut sehingga didapatkan nilai tahanan jenis sebenarnya (true
resistivity) batuan pada setiap kedalaman.
Gambar 2. Contoh hasil pengolahan data 1-D untuk sounding NF1 dan NF4.

Pengolahan data 1-D daerah penelitian dilakukan menggunakan metode inversi


dengan bantuan model awal yang didapat melalui metode forward. Proses pengolahan data ini
dilakukan menggunakan software Progress. Mengingat adanya prinsip ekuivalensi dalam
interpretasi 1-D data sounding maka data penunjang menjadi rujukan dalam membuat model
yang akan dipakai. Dalam hal ini, data lithologi sumur yang pernah dibor di lokasi penelitian
dan hasil interpretasi awal survey seismik refraksi menjadi data penunjang utama yang
mendasari pembuatan model satu dimensi.
3.2 Pemodelan Hidrogeologi

Pembuatan pemodelan tahanan jenis 2 dimensi dilakukan dengan melakukan korelasi


tahanan jenis antar titik sounding disesuaikan dengan kedalaman hasil interpretasi 1-D.
Korelasi disini merupakan teknik menghubungkan nilai-nilai resistivitas batuan yang
memiliki harga tahanan jenis yang relatif sama berdasarkan interpretasi 1-D dan informasi
geologi yang telah diketahui. Pembuatan pemodelan ini dilakukan secara manual
menggunakan software Surfer8 agar interpretasi dapat mempertimbangkan aspek geologi
bawah permukaan yang telah diketahui sebelumnya dari lithologi sumur dan koreksi topografi
di lapangan yang diketahui penulis.

Dari pengolahan data sounding 1-D yang telah dilakukan dibuatlah korelasi antar titik
sounding NF1, NF2, NF3, NF4, dan NF5 untuk lintasan 1 dan korelasi titik-titik NF6, NF7,
NF8, NF9 untuk lintasan 2. Korelasi ini dibuat setelah sebelumnya dilakukan penempatan
muka tanah dengan elevasi hasil GPS. Secara umum korelasi dilakukan dengan klasifikasi
tahanan jenis rendah (< 20 Ohm-m), sedang (20-100 Ohm-m), dan tinggi (>100 Ohm-m).
Proses korelasi mempertimbangkan kecocokan tahanan jenis yang sama dengan kesesuain
kedalaman dan perkiraan lithologi batuan yang diketahui dari data sumur bor, khususnya
untuk daerah di sekitar sumur bor.
Interpretasi 2 dimensi sangat erat kaitannya dengan pemodelan hidrogeologi yang
akan dibuat karena interpretasi batuan dari model penampang tahanan jenis dua dimensi akan
membantu menafsirkannya menjadi model hidrogeologi. Dalam melakukan interpretasi model
tahanan jenis 2-D maka keterangan dari data geofisika lainnya serta data geologi sangat
diperlukan. Data lithologi batuan hasil logging pada sumur bor menjadi data nyata kondisi
bawah permukaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemodelan hasil interpretasi satu dan
dua dimensi dari survey resistivity yang dilakukan harus dikontrol dengan data sumur
tersebut. Adanya data sumur bor ini dapat mereduksi munculnya ekuivalensi pada interpretasi
data sounding. Dari hasil penyelidikan seismik refraksi pada enam lintasan di daerah sekitar
lokasi penelitian didapatkan keterangan bahwa lapisan yang diduga sebagai akuifer dangkal
pada umumnya ditemui mulai dari kedalaman 15 hingga 20 meter.
Untuk daerah penyelidikan seismik refraksi yang letaknya dekat dengan sounding NF1
dan NF2 ditemui akuifer dangkal pada kedalaman sekitar 20 meter sedangkan untuk daerah di
sekitar sounding NF4 ditemui akuifer dangkal mulai dari kedalaman yang lebih dangkal yakni
sekitar 6 meter (Irpani, 2006). Dengan membandingkan hasil interpretasi resistivity dengan
data bor dan refraksi dibuatlah model hidrogeologi untuk lintasan 1 dan 2 dimana diprediksi
juga jenis batuan dan batuan yang berfungsi sebagai akuifer.
4. KESIMPULAN

Pemodelan hidrogeologi yang dihasilkan dalam penampang dua dimensi yang


didapatkan dari kedua lintasan pengukuran memberikan gambaran bahwa dugaan akuifer
berada pada kedalaman dangkal 10-30 meter dari permukaan yang terdiri atas lapisan pasir,
akuifer dalam pertama berada pada kedalaman 20 hingga 60 meter, dan akuifer yang lebih
dalam lagi diduga terdapat pada kedalaman 40 hingga kedalaman 100 meter yang terdiri atas
lapisan pasir tufaan.
Ketebalan lapisan akuifer bervariasi bergantung pada topografi permukaan dan lapisan
kedap air di bawah lapisan akuifer dengan kecenderungan semakin menebal ke bagian bawah
danau. Dengan estimasi luas daerah yang terlingkupi survey penelitian yakni sebesar 280.000
meter persegi, dan ketebalan rata-rata akuifer sebesar 30 meter, serta porositas batuan yang
berperan sebagai akuifer yaitu pasir tufaan diperkirakan sebesar 35 % (U. S. Army, 1999) dan
asumsi saturasi air dalam pori 100 % maka estimasi potensi air bawah tanah di wilayah
Pesantren X sebesar : Potensi = 280.000 x 30 x 0.35 = 2.940.000

DAFTAR PUSTAKA

Barker, R. D., 2001. Principles of Electrical Imaging, University of Birmingham. UK.


CV Toya Reka Sarana, 2006. Laporan Akhir Penyelidkan Electric Well Logging Pesantren X,
Bandung.
Irpani, Imron., 2006. Pemetaan Lapisan Akuifer Permukaan Kampung Cihideung, Serang,
Banten dengan Menggunakan Seismik Refraksi, Departemen Fisika UI.
Santosa, S., Sutrisno., Turkandi, T. Sukanta, U., 1992. Peta Geologi Lembar Anyer , Jawa,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Dirjen Geologi dan Sumber Daya
Mineral, Bandung.
Suryaman, M., 2001. Penjelasan Peta Hidrogeologi Indonesia Lembar Anyer dan Cikarang.
U.S. Army Corps of Engineers. 1999. Engineering and Design Groundwater Hydrology.
Departement of The Army, USA.
Contoh 4.7 c :
METODA GEOLISTRIK
POLARISASI TERIMBAS
(Induced Polarization)

1.PENDAHULUAN
Geolistrik adalah suatu metoda geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik didalam
bumi dan bagaimana mendeteksinya di permukaan bumi. Dalam hal ini meliputi pengukuran
potensial, arus listrik, SP, dan elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah maupun
akibat injeksi arus ke dalam bumi.
Polarisasi terimbas merupakan salah satu metoda geofisika yang mendeteksi
terjadinya polarisasi listrik pada permukaan mineral-mineral logam di bawah permukaan
bumi.
Pada metoda geolistrik polarisasi terimbas arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi
melalui dua elektroda arus, kemudian beda potensial yang terjadi diukur melalui dua
elektroda potensial. Dalam metoda polarisasi terimbas ada 4 macam metoda pengukuran yaitu
pengukuran dalam domain waktu, domain frekuensi,pengukuran sudut fasa dan Magnetic
Induced Polarization (MIP).
Metoda polarisasi terimbas ini terutama dipahami dalam eksplorasi logam dasar (Base
Metal) dan penyelidikan air tanah (Ground Water). Berdasarkan letak (konfigurasi) elektroda
potensial dan arus, dikenal beberapa jenis metoda polarisasi terimbas antara lain :
1. Metoda Schlumberger
2. Metoda Wenner
3. Metoda Double Dipole
4. Metoda Pole Dipole

2 . D E S K R I P S IALAT U K U R
Polarisasi terimbas terjadi akibat adanya arus induktif yang menyebabkan reaksi
transfer antara ion elektrolit dan mineral logam. IPMGEO-4100 dirancang untuk mengukur
parameter polarisasi terimbas melalui nilai chargeability. Nilai ini merupakan perbandingan
antara peluruhan potensial sekunder terhadap waktu.
IPMGEO-4100 bekerja dalam domain waktu, dimana data akuisisi direkam melalui
A/D card dengan akurasi 12 bit. Prinsip pengukuran IP memiliki susunan konfigurasi yang
serupa dengan survey geolistrik. IPMGEO-4100 telah dikombinasikan sedemikian rupa
sehingga akuisisi data IP dapat dilakukan secara simultan dengan geolistrik. Dengan demikian
dapat dikarakteristik material yang memiliki respon resistivitas yang sama tetapi mempunyai
karakteristik IP yang berbeda. IPMGEO-4100 dapat dikembangkan menjadi instrumen
pengukuranmultichannel 16 channel atau lebih (seri 16100) dengan maksimum jumlah
channel 1000 buah. Melalui instrument multichannel IP pengukuran 2D dan 3Dakan menjadi
lebih efisien, cepat dan mudah.

3 . P ERA L A T A N L A P ANGAN

3.1. Peralatan yang digunakan :


1. IPMGEO-4100/16100
2. Accu
3. Elektroda arus dan potensial
4. Kabel-kabel penghubung
5. Meteran
3.2. Prinsip kerja alat :
Alat ukur IPMGEO-4100/16100 ini terdiri dari dua bagian :
a. Sinyal generator dan transmitter arus
b. Rangkaian receiver untuk mengukur beda potensial.
Transmitter dan sinyal generator mengalirkan arus listrik berbentuk pulsa persegi
melalui kedua elektroda arus ke bumi. Sering kali terjadi polarisasi pada bidang antar muka
elektroda arus dan tanah sekelilingnya yang mengakibatkan terjadinya variasi harga tahanan
tanah terhadap arah pengukuran. Untuk mengatasi hal ini maka secara periodik polaritas arus
listrik dibalikkan arusnya oleh rangkaian sinyal generator. Pembalikan polaritas arus listrik ini
juga berguna untuk mengeliminasi potensial spontan bumi.
Beda potensial yang tejadi antara kedua elektroda pengukur pada saat arus listrik
mengalir dan pada saat arus dihentikan (potensial residual) diukur oleh rangkaian receiver
yang mempunyai kemampuan tinggi. Untuk mencegah terjadinya polarisasi elektroda antara
logam elektroda pengukur (potensial) yang konduktif dengan larutan ionik dalam pori-pori
tanah maka digunakan elektroda non potensial yang disebut porous-pot.Antara unit
transmitter dan receiver dihubungkan oleh rangkaian elektronik pengatur fasa supaya terdapat
keselarasan kerja antara transmitter dan receiver.

4 . Prosedur pengukuran lapangan


4.1 Konfigurasi elektroda
Susunan konfigurasi elektroda dalam metoda IP sama dengan metoda resistivitas
umumnya antara lain : konfigurasi Schlumburger, konfigurasi Wenner, poledipole dan double
dipole. Pada konfigurasi Schlumburger elektroda potensial MN relatif diam pada suatu tempat
dengan elektroda arus digerakkan secara simetri keluar. Pada konfigurasi Wenner harga a
diperbesar dalam langkah tertentu dengan memindahkan setiap elektroda keluar dari pusat
pada konfigurasi dipole-dipole. Kedua pasang elektroda yang berjarak sama saling digerakan
menjauhi. Pada konfigurasi poledipole salah satu elektroda arus diletakan pada tempat yang
sangat jauh.

4.2 Metode pengukuran


Pengukuran tanggapan (respon) IP dapat dilakukan dalam :
- Domain waktu
- Domain frekuensi
- Pengukuran sudut fasa IP.
Ketiganya mengukur gejala fisis yang sama, tetapi dengan parameter pengukuran
yang berbeda. Di samping itu juga ada metoda Magnetic Induced Polarization (MIP) yaitu
pengukuran dalam domain medan magnet.

4.2.1 Pengukuran dalam Domain Waktu


Prosedur pengukuran di lapangan adalah dengan mengalirkan pulsa arus listrik
berbentuk persegi panjang. Pada saat arus listrik dihentikan, potensial antara dua elektroda
pengukur segera turun ke tingkat tanggap sekunder. Potensial sekunder ini kemudian meluruh
dengan waktu. Lihat gambar 2 Pengukuran dalam domain waktu maksudnya pengamatan
peluruhan potensial sekunder(Vs) terhadap waktu.
Gambar 2

Untuk mengukur derajat terpolarisasi suatu bahan pada suatu waktu, didefinisikan
besaran chargeabilitas m(t) yang merupakan besaran makro yang bergantung pada jenis
bahan dan selang waktu pengaliran arus.
Di lapangan chargeabilitas diukur dari definisi

4.2.2 Pengukuran dalam Domain Frekuensi


Untuk mempolarisasikan suatu bahan dengan arus listrik imbas ke suatu tingkat
tertentu, butuhkan waktu tertentu tergantung jenis bahannya karena frekuensi bergantung
terbalik dengan waktu, maka perbedaan tanggap (respon) tegangan pada pemberian arus
listrik dengan frekuensi yang berbeda juga mencerminkan sifat polarisasi bahan yang
bersangkutan. Prosedur pengukuran dengan mengalirkan arus listrik dengan frekuensi yang
berbeda.

 Efek Frekuensi
Parameter pengukuran didefinisikan besaran Frequency Effect (FE)

V2  V1
FE  .................................................................................................
V1
• Faktor Metal

 Hubungan IP kawasan waktu dan kawasan frekuensi

Secara teori, hasil pengukuran IP dalam kawasan waktu dan kawasan frekuensi
menghasilkan hal yang sama. Secara praktis konversi dalam kawasan waktu ke kawasan
frekuensi cukup sulit. Gelombang kotak yang digunakan dalam kawasan waktu mengandung
semua frekuensi. Dalam Telford, 1976 dirumuskan :

M  FE /(1  FE ) (3.29)

dimana FE  1

Parameter MF juga dapat digunakan pada kawasan waktu yaitu

MetalFactor ( MF )  1000M /  (3.30)

dengan M adalah nilai chargeability (msec) dan  nilai tahanan jenis. Perlu diperhatikan
bahwa nilai MF kawasan waktu tidak selalu sama dengan nilai MF kawasan frekuensi.
Parameter MF digunakan untuk mengkompensasi parameter IP terhadap harga tahanan
jenisnya.

4.2.3 Pengukuran Sudut Fasa IP


Metoda ini mengukur beda sudut fasa antara keluaran sinyal tegangan dengan
masukan gelombang arus listrik yang diberikan, dengan asumsi bahwa bentuk gelombang
keduanya sinusoidal dengan frekuensi yang sama.

5. Sumber Polarisasi

Polarisasi pada suatu medium dapat terjadi karena adanya penyimpanan tenaga saat
medium dialiri arus listrik. Secara teoritis, bentuk energi yang tersimpan pada medium dapat
berupa energi mekanik (elektro kinetik) dan energi kimia (elektro kimia).

Penyimpanan energi secara elektrokimia ini dapat diakibatkan oleh :

a. Variasi mobilitas ion dalam fluida yang terkandung pada medium.


b. Variasi antara jalur penghantaran secara elektronik, hal ini terjadi jika di dalam
medium terdapat mineral logam.
Efek elektrokimia akibat adanya variasi ion dalam fluida sering disebut sebagai
polarisasi membran atau polarisasi elektrolit dan dikenal sebagai efek IP normal (normal IP
effect). Efek ini terjadi apabila medium batuan tidak mengandung mineral logam. Efek
elektrokimia disebut juga sebagai polarisasi elektroda atau over voltage effect. Efek ini
biasanya lebih besar dibandingkan efek polarisasi membran, dimana besarnya sangat
tergantung pada kandungan mineral logam yang ada dalam medium batuan (Telford,1976).

5.1 Penyebab Polarisasi Batuan

5.1.1 Polarisasi Membran

Penghantaran secara elektrolit paling mungkin terjadi apabila material tidak memiliki
kandungan mineral logam. Untuk memungkinkan penghantaran jenis ini berlangsung,
diperlukan zona-zona porus yang medium. Kebanyakan material pembentuk batuan muatan
negatif (-) pada bidang batas antara permukaan batuan dengan fluida pada pori. Karenanya,
ion positif (+) akan tertarik ke zona tersebut dan ion negatif akan tertolak dari zona tersebut
apabila medium dialiri arus.
Sering kali polarisasi membran terjadi kontak permukaan mineral lempung bermuatan
negatif akan menarik ion-ion positif sehingga membentuk awan ion positif disekitar
permukaan mineral lempung dan meluas pada larutan. Jika pada kondisi ini kemudian dialiri
arus listrik, maka akan terjadi penumpukan ion positif dan negatif di dekat permukaan
mineral. Terbentuknya membran-membran tersebut akan mengurangi kemampuan mobilitas
ion-ion secara signifikan. Hal ini diilustrasikan dalam gambar 3

Gambar 3. Proses polarisasi membran pada medium oleh mineral lempung dalam batuan
(a). kondisi sebelum medium dialiri arus listrik (b). kondisi ketika medium dialiri arus
(Sumner, 1976)

5.1.2 Polarisasi Elektroda

Polarisasi elektroda merupakan sumber polarisasi terbesar disebabkan oleh keberadaan


mineral logam dalal medium batuan. Penghantaran arus dalam medium batuan yang
mengandung mineral logam dilakukan secara elektronik maupun elektrolitik. Reaksi kimia
berupa reaksi reduksi-oksidasi dan kemungkinan pertukaran ionik akan terjadi pada bidang
batas mineral dengan elektrolit sampai terjadi keadaan setimbang. Apabila arus dialirkan ke
dalam medium, akan timbul gangguan kesetimbangan berupa polarisasi pada bidang batas
mineral logam yang berfungsi sebagai elektroda dan air pada medium batuan yang berfungsi
sebagai eletrolit (gambar 4).

Lapisan kembar listrik didefinisikan sebagai susunan muatan antar bidang batas mineral
logam dengan air pada medium batuan. Susunan muatan ini dapat dianggap sebagai suatu
kapasitor lempeng dengan rapat muatan σ. Potensial yang berhubungan dengan adanya
kapasitor lempeng dengan adanya kapasitor ini dituliskan sebagai Zeta :

4d

D (3.12)
dimana ξ adalah potensial zeta, d jarak kedua lapisan, σ rapat muat bidang dan D tetapan
dielektrikum medium.

Gambar 4. Salah satu kemungkinan keadaan distribusi ion pada bidang batas medium solid-
elektrolit (Sumner,1976).

6. Appendix F : IP data inversion (MH. Loke, 2001)

Koleksi data dari survey IP terdiri dari dua bagian, yaitu pengukuran resistivity semu dan
data IP. Jadi jumlah titik data 2 kali dari survey resistivity normal.
Inversi data IP dilakukan setelah diperoleh resistivity model. Hal ini dikarenakan bilamana
rms error dari model resistivity adalah kecil artinya mewakili resistivity bawah permukaan
yang sesungguhnya. Akan tetapi bila sampai iterasi 5 rms error masih tinggi maka dilanjutkan
dengan inversi data IP.
Program memberikan dua cara untuk merubah data IP. Cara-1 inversi dari data resistivity
dan IP akan keluar secara berurutan, setelah itu secara serentak iterasi dari resistivity dan data
IP akan keluar. Sedangkan cara-2, inversi data IP akan keluar setelah inversi resistivity
lengkap, dalam kasus ini hanya disimpan model resistivity dari ierasi terakhir.
File (i) IPMODEL.DAT, (ii) IPMAGUSI.DAT, (iii) IPSHAN.DAT dan (iv) IPKENN.DAT
adalah file contoh data dengan kedua-duanya yaitu data resistivity dan IP. Program ini
dilengkapi dengan 4 tipe data yang berbeda. (i) pengukuran time domain ; chargeability, (ii)
pengukuran frekuensi domain ; PFE, (iii) pengukuran sudut fase, dan (iv) Nilai metal factor
dari IP.
File IPMODEL.DAT mempunyai data IP khususnya chargeability, dengan komentar
program sebagai berikut :
IPMODEL.DAT file Comments
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Fault and block model | Title
1.00 | Unit electrode spacing
3 | Array type
432 | Number of data points
1 | Location of centre of array given
1 | 1 to indicate IP present
Chargeability | Type of IP data
msec | IP unit
0.1,1.0 | Delay, integration time
1.50 1.00 1 12.04 7.2038 | x-loc., a, n, app. res., app. IP
2.50 1.00 1 12.03 7.1983 | 2nd data point

Sebuah nilai ”1” adalah pengganti ”0” yang dimasukkan kedalam line ke-6
yang mengindikasikan bahwa data IP. Kemudian 3 line berikutnya merupakan informasi
data IP, seperti yang ditunjukkan pada line-7; Chargeability dan line-8 adalah satuannya
dalam msec (millisecond). Chargeability didefinisikan sebagai perbandingan mV/V yaitu
perbandingan DC-voltage yang turun secara perlahan-lahan setelah arus dimatikan.

Sebagai bahan untuk interpretasi data Chargeability untuk berbagai macam


batuan dan mineral dapat digambarkan sbb.:
Hasil dari pemrograman Res2dinv untuk data IPmodel

Oleh karena itu yang berwarna merah (m > 193 msec) diduga sebagai mineral sulfida.

Dalam pengukuran IP frekuensi domain, contoh file datanya IPMAGUSI.dat


yang merupakan data survey di atas sungai Magusi dimana tersingkap ”ore body” dengan
spasi elektroda 100 feet (30.5 m). Dari penampang resistivity menunjukkan resistivity
rendah (ρ < 30 Ωm) sebagai ore body terdapat di tengah-tengah pengukuran.Sedangkan
metal factor digambarkan dengan warna merah (MF >200 ms/ Ωm).

Anda mungkin juga menyukai