Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Eksplorasi Geofisika Dengan Geolistrik Resistivitas

Metode geolistrik resistivitas adalah metode eksplorasi geofisika yang

memanfaatkan sifat resistivitas mehdium yang berada di bawah permukaan bumi.

Metode ini dilakukan dengan menggunakan arus listrik searah (Direct Current)

yang diinjeksikan melalui dua buah elektroda arus ke dalam bumi, kemudian

diukur beda potensial yang terjadi melalui dua buah elektroda potensial. Dari hasil

pengukuran tersebut akan diketahui besarnya nilai resistivitas pada suatu

kedalaman tertentu. Untuk mendapatkan variasi harga resistivitas dari masing-

masing lapisan di bawah permukaan bumi, maka dilakukanlah pengukuran arus

dan beda potensial untuk setiap titik pada elektroda yang berbeda.

Berdasarkan tujuannya, cara pengukuran resistivitas terdiri dari dua, yaitu:

1. Metode resistivitas sounding (pendugaan gejala vertikal)

Metode ini bertujuan untuk mempelajari variasi resistivitas batuan secara

vertikal. Pada prakteknya, spasi elektroda (arus dan potensial) diperbesar secara

bertahap sesuai dengan konfigurasi elektroda yang digunakan. Semakin panjang

bentangan jarak elektrodanya, maka semakin dalam pula batuan yang dapat

dideteksi, walaupun masih dalam batas-batas tertentu.

2. Metode resistivitas mapping (pendugaan gejala horizontal)

Metode ini bertujuan untuk mempelajari variasi reisistivitas batuan secara

horizontal. Pada prakteknya, spasi elektroda (arus dan potensial) dibuat sama
untuk semua titik di permukaan bumi. Hasil dari pengukuran ini biasa dijadikan

sebagai peta kontur berupa sebaran nilai resistivitas.

2.2. Konsep Dasar Pengukuran Geolistrik Resistivitas

Tinjaulah suatu kawat dengan panjang L dan luas penampang A yang

kemudian dialiri arus listrik sebesar I seperti gambar 2.1 berikut:

∆V
r
E
I A

L
Gambar 2.1
Seutas kawat yang dialiri arus listrik

Berdasarkan hukum Ohm diketahui bahwa:


r
J
r = σ ............................................................................................................... (2.1)
E

Dimana, σ : konduktivitas listrik (Ωm)-1

r I
J = : rapat arus (A.m-2)
A

r V
E = : medan listrik (V.m-1)
L

Konduktivitas (σ) adalah besaran skalar yang merepresentasikan

kemampuan suatu bahan untuk menghantarkan arus listrik. Sedangkan kebalikan

dari konduktivitas adalah resistivitas (ρ).

Bumi terdiri dari beberapa lapisan (non homogen) dengan ditandai adanya

variasi nilai resistivitas yang berbeda, baik secara horizontal maupun vertikal.

Untuk memudahkan perhitungan maka metode geolistrik resistivitas ini

mengasumsikan bahwa bumi memiliki sifat homogen isotropis. Homogen artinya


setiap lapisan memiliki tahanan jenis yang sama, sedangkan isotropis adalah daya

hantar listrik (konduktivitas) sama dengan harganya untuk ke segala arah dari

aliran arus listrik. Sehingga jika suatu arus diinjeksikan ke dalam bumi yang

homogen isotropis ini, maka arus tersebut akan menyebar ke segala arah dan

permukaan ekuipotensial dalam bumi berupa permukaan bola seperti gambar 2.2.
C Permukaan bumi

Medium homogen
Aliran arus

Bidang ekuipotensial

Gambar 2.2
Aliran arus dan bidang ekuipotensial oleh satu titik sumber di kedalaman tertentu
pada bumi homogen isotropis

Bumi dianggap suatu medium yang homogen isotropis, bila arus listrik
r
dialirkan ke dalam medium dengan rapat arus J , maka arus listrik akan
r
menembus elemen luas permukaan dA sebesar J dA.

dA
r
J

Gambar 2.3
Arus yang menembus luasan permukaan medium homogen isotropis

Maka besarnya medan listrik dapat dinyatakan dalam:


r r
E = −∇V ........................................................................................................... (2.2)

Sehingga rapat arusnya menjadi:


r r
J = −σ∇V ......................................................................................................... (2.3)

Jika dianggap muatannya tetap, berarti tidak ada arus yang keluar ataupun

yang masuk dalam suatu volume tertutup dengan luas permukaan dA, maka dapat

ditulis:
r
∫ JdV = 0 ........................................................................................................... (2.4)
A
Menurut Teorema Gauss, integral volume dari divergensi arus melalui suatu

daerah tertutup adalah sama dengan jumlah muatan total dalam volume tertutup

itu, sehingga:
rr
∫ ∇JdV = 0 ........................................................................................................ (2.5)
v

Dengan v sebagai volume yang sangat kecil, maka dengan mensubstitusikan

persamaan (2.3) ke persamaan (2.5) diperoleh:


rr r
∇J = −∇ 2σV = 0 ............................................................................................... (2.6)

1
Dalam medium homogen isotropis, σ = adalah suatu konstanta, sehingga
ρ

persamaan (2.6) menjadi:

∇ 2V = 0 ............................................................................................................. (2.7)

Persamaan ini memenuhi persamaan Laplace yang menunjukkan distribusi

potensial listrik untuk aliran arus searah dalam medium homogen isotropis.

Jika arus yang masuk ke dalam medium homogen isotropis adalah sumber

arus tunggal, maka garis potensialnya akan berbentuk bola. Sehingga penyelesaian
matematis dari persamaan Laplace di atas adalah dengan menggunakan koordinat

bola:

1 ∂  2 ∂V  1 ∂  ∂V  1 ∂ 2V
∇ 2V =  r  +  sin θ  + = 0 ............. (2.8)
r 2 ∂r  ∂r  r 2 sin θ ∂θ  ∂θ  r 2 sin 2 θ ∂φ 2

Karena medium homogen isotropis maka medium mempunyai simetri bola

dan karena arus yang mengalir simetri terhadap arah θ dan ф, maka V hanya

merupakan fungsi dari jarak (r) sehingga:

1 d  2 dV 
∇ 2V = r  = 0 ................................................................................ (2.9)
r 2 dr  dr 

d 2V 2 dV
∇ 2V = + = 0 .................................................................................. (2.10)
dr 2 r dr

d 2V 2 dV
2
=− ................................................................................................. (2.11)
dr r dr

Kalikan persamaan (2.11) dengan r2, maka akan diperoleh:

d 2V dV
r2 2
= −2 r ........................................................................................... (2.12)
dr dr

Dengan mengintegralkan persamaan (2.12), maka akan diperoleh:

dV A
= − 2 ....................................................................................................... (2.13)
dr r

Dengan mengintegralkan persamaan (2.13) sekali lagi, maka akan diperoleh:

A
V =− + B .................................................................................................... (2.14)
r

Dimana A dan B adalah konstanta sembarang dengan menerapkan syarat

batas r = ∞ dan V = 0, sehingga nilai B = 0, maka akan diperoleh persamaan

berikut:
A
V= .............................................................................................................. (2.15)
r

Arus mengalir keluar secara radial ke semua arah dari titik elektroda,

sehingga total arus yang melewati permukaan bola adalah:


r
I = 4πr 2 J ........................................................................................................ (2.16)
dV
= −4πr 2σ ............................................................................................... (2.17)
dr
= −4πσA ....................................................................................................... (2.18)

r r dV A
Dimana J = −σ∇V dan = 2
dr r

Maka diperoleh:

 Iρ 
A = −   ...................................................................................................... (2.19)
 4π 
 Iρ  1
V =   ...................................................................................................... (2.20)
 4π  r

Jika suatu elektroda arus ditempatkan di permukaan bumi, dimana

konduktivitas udara nol, maka garis ekipotensial yang terjadi akan membentuk

permukaan setengah bola seperti gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4
Aliran arus dan bidang ekuipotensial oleh satu titik sumber di permukaan bumi
yang homogen isotropis
Sehingga total arus yang melewati permukaan setengah bola sekarang

menjadi:
r
I = 2πr 2 J ........................................................................................................ (2.21)

Dengan cara yang sama, maka persamaan potensial elektroda untuk arus

tunggal di permukaan bumi adalah:

 Iρ  1
V =   ...................................................................................................... (2.22)
 2π  r

Pengukuran metode geolistrik resistivitas dalam prakteknya bertujuan untuk

membandingkan potensial suatu titik tertentu, sehingga diperlukan dua buah

elektroda arus (C1 dan C2) di permukaan bumi yang berfungsi untuk memberikan

dan merespon satu sama lain.

Beda potensial di permukaan bumi akan dipengaruhi oleh kedua elektroda

arus tersebut. Harga potensial yang terukur adalah harga perbedaan potensial

antara dua titik penempatan elektroda potensialnya (P1 dan P2).

V
C1 P1 P2 C2
titik ves

r1 r2
r3 r4
Gambar 2.5
Dua elektroda arus dan dua elektroda potensial diinjeksikan di permukaan bumi

Potensial di titik P1 akibat C1 adalah:

A 
V1 = −  1  ...................................................................................................... (2.23)
 r1 
Dimana:
 Iρ 
A1 = −   ..................................................................................................... (2.24)
 2π 

Besarnya arus pada kedua elektroda sama dan berlawanan arah, maka

dengan cara yang sama dapat diperoleh potensial P1 akibat C2 adalah:

A 
V2 = −  2  ..................................................................................................... (2.25)
 r2 

Dimana:

 Iρ 
A2 =   ....................................................................................................... (2.26)
 2π 

Maka diperoleh besarnya potensial total yang dialami P1 sebagai berikut:

Iρ 1 1 
V p1 = V1 + V2 =  −  ........................................................................... (2.27)
2π  r1 r2 

Dengan cara yang sama, dapat ditentukan pula potensial total di titik P2

akibat C1 dan C2 sebagai berikut:

Iρ 1 1
V p 2 = V1 + V2 =  −  .......................................................................... (2.28)
2π  r3 r4 

Sehingga beda potensial antara P1 dengan P2 adalah:

∆V = V p1 − V p 2
Iρ  1 1   1 1  ................................................................... (2.29)
=  −  −  − 
2π  r1 r2   r3 r4 

2.3. Konsep Resistivitas Semu

Pada metode resistivitas ini, bumi dianggap bersifat homogen isotropis,

maka pengukuran akan menunjukan besaran resistivitas yang tidak bergantung


pada jarak elektroda potensial yang digunakan. Akan tetapi, kenyataannya bumi

terdiri dari lapisan-lapisan dengan resistivitas yang berbeda-beda. Oleh karena itu,

nilai resistivitas yang terukur harus bergantung pada jarak elektroda potensial,

sehingga potensialnya merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Maka

nilai resistivitas yang terukur bukanlah nilai resistivitas sebenarnya, melainkan

resistivitas semu (ρa). Resistivitas semu adalah hasil pengukuran yang merupakan

pengganti dari keadaaan variasi resistivitas yang sebenarnya.

∆V
ρa = K ..................................................................................................... (2.30)
I


Dengan: K = ............................................................ (2.31)
 1 1   1 1 
 −  −  − 
 r1 r2   r3 r4 

Dimana: ρa = resistivitas semu (Ωm)

∆V = beda potensial antara dua elektroda P1 dan P2 (volt)

I = arus listrik antara dua elektroda C1 dan C2 (ampere)

K = faktor geometri (m)

Untuk kasus dimana bumi non homogen, bumi diasumsikan terdiri dari

beberapa lapisan, dimana masing-masing lapisan mempunyai nilai resistivitas

yang berbeda. Sebagai ilustrasi lihat gambar 2.6 berikut:

Ρ1
Ρa
Ρ2

Ρ3 Ρ3

Gambar 2.6
Konsep resistivitas semu pada medium berlapis
Ada beberapa asumsi dasar yang digunakan dengan tujuan memudahkan

perhitungan, antara lain:

1. Bumi terdiri dari lapisan-lapisan secara horizontal

2. Tiap lapisan bumi memiliki sifat homogen isotropik

3. Perpisahan lapisan yang satu dan yang lainnya adalah batas tahanan jenis yang

berbeda.

2.4. Konfigurasi Schlumberger

Aturan konfigurasi elektroda ini awalnya dikembangkan oleh Conrad

Schlumberger (1912). Aturan ini dilakukan dengan menempatkan dua elektroda

arus (AB) dengan dua elektroda potensial (MN) pada satu garis lintasan. Jarak

elektroda arus harus lebih besar dibandingkan dengan jarak elektroda potensial.

Sebagai gambaran aturan ini dapat dilihat pada gambar 2.7 berikut:

V
A M N B
titik ves

r m
Gambar 2.7
Aturan penempatan elektroda konfigurasi Schlumberger


K= .................................................... (2.32)
 1 1   1 1 
 r − m − r + m  −  r + m − r − m 
   

= ................................................................................. (2.33)
  1 1 
2 r − m − r + m 
  
π
= ................................................................................... (2.34)
 ( r + m ) − ( r − m) 
 
 (r − m)(r + m) 
π
K= (r 2 − m 2 ) ........................................................................................... (2.35)
2m

π ∆V
Sehingga: ρ a = (r 2 − m 2 ) .................................................................. (2.36)
2m I

Dimana: r = AB dan m = MN
2 2

Pada konfigurasi ini idealnya jarak MN dibuat sekecil-kecilnya, sehingga

jarak MN secara teoritis tidak berubah. Tetapi karena keterbatasan kepekaan alat

ukur, maka ketika jarak AB sudah relatif besar maka jarak MN hendaknya

dirubah.

Keuntungan menggunakan konfigurasi ini adalah mampu mendeteksi bawah

permukaan secara sounding. Sedangkan saat akuisisi data di lapangan, elektroda

potensialnya tidak sering dipindahkan sehingga tidak terlalu membebani.

Kelemahannya adalah tidak mampu mendeteksi bawah permukaan secara

mapping, kecuali jika posisi titik amatnya dirubah. Sedangkan saat akuisisi data

lapangan, pembacaan tegangan pada elektroda MN akan lebih kecil terutama

ketika jarak AB yang relatif jauh, sehingga diperlukan alat ukur multimeter yang

mempunyai karakteristik high impedance.

2.5. Sifat Listrik Batuan

Aliran arus listrik di dalam batuan dapat digolongkan menjadi tiga macam,

yaitu konduksi elektronik, konduksi elektrolitik dan konduksi dielektrik. Konduksi

elektronik terjadi jika batuan mempunyai banyak elektron bebas sehingga arus

listrik dialirkan dalam batuan tersebut oleh elektron-elektron bebas itu. Konduksi

elektrolitik terjadi jika batuan bersifat porus dan pori-pori tersebut terisi oleh
cairan-cairan elektrolitik, sehingga arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolit.

Sedangkan konduksi dielektrik terjadi jika batuan bersifat dielektrik terhadap

aliran arus listrik sehingga terjadi polarisasi saat bahan dialiri arus listrik.

Setiap batuan memiliki nilai resistivitas listriknya masing-masing, dimana

batuan yang sama belum tentu mempunyai nilai resistivitas yang sama.

Sebaliknya, nilai resistivitas yang sama bisa dimiliki oleh batuan-batuan berbeda.

Hal ini karena tergantung pada umur batuan, kandungan elektrolit, massa jenis

batuan, jumlah mineral yang dikandungnya, porositas, permeabilitas dan lain

sebagainya.

Tabel 2.1
Kisaran nilai resistivitas dari berbagai tipe batuan sebagai acuan kualitatif

Resistivity range
Rock type
(Ωm)
Clays 1 - 100
Silt 10 - 200
Marls 3 - 70
Quartzites 10 – 2x108
Sandstones 50 - 500
Limestone 100 - 500
Lavas 100 - 5x104
Ground water 0,5 – 300
Sea water 0,2
Breccia 75 - 200
Andesite 100 - 2000
Tuf Volcanic 20 - 100
Conglomerates 2x103 - 104
Sumber: Telford, 1990; Astier, 1971; Mori, 1993
Berdasarkan nilai resistivitas listriknya, batuan digolongkan menjadi tiga

yaitu konduktor baik (10−8 < ρ < 1) Ωm, konduktor pertengahan (1 < ρ < 107) Ωm

dan isolator (ρ > 107) Ωm.

Resistivitas batuan berhubungan langsung dengan porositas batuan itu.

Resistivitas batuan (ρ) dan porositas (ф) dinyatakan dalam hukum Archi:

......................................................................................... (2.37)

Dengan adalah resistivitas air yang ada dalam pori, a dan m adalah

suatu parameter yang nilainya ditentukan sedemikian sehingga persamaan di atas

cocok dengan sejumlah hasil pengukuran.

2.6. Air Tanah dan Lapisan Akuifer

Bilamana air hujan itu mencapai permukaan tanah, maka sebagian akan

diabsorbsi ke dalam tanah. Bagian yang tidak diabsorbsi akan menjadi limpasan

permukaan. Proses masuknya air hujan ke dalam lapisan permukaan tanah disebut

infiltrasi.

Gambar 2.8
Proses infiltrasi air hujan hingga membentuk Saturated Zone
Sumber: http://taman.blogsome.com/2007/04/03/air-tanah/

Kapasitas infiltrasi air hujan dari permukaan tanah ke dalam tanah sangat

berbeda-beda, bergantung pada kondisi tanah di tempat bersangkutan. Adapun

faktor-faktor yang mempengaruhi infiltrasi:


1. Banyaknya genangan air di atas permukaan tanah

2. Tebal lapisan jenuh air (impermeabel)

3. Pemampatan oleh curah hujan, hewan, manusia

4. Banyaknya tumbuh-tumbuhan di atas permukaan

Air tanah adalah air yang berada di bawah permukaan tanah yang mengisi

rongga-rongga batuan (saturated zone). Air tanah pada umumnya merupakan

bagian dari daur hidrologi. Asal mula air tanah adalah air connate, air juvenil, dan

air metamorf. Air connate adalah air yang terperangkap pada waktu terjadi siklus

hidrologi. Air juvenil adalah air primer yang berasal dari magma dengan

komposisi kaya akan mineral. Air metamorf adalah air yang ada dalam batuan

selama proses metamorfosa.

Secara umum air tanah mengalir melalui suatu celah yang sangat kecil atau

melalui butiran antar batuan. Lapisan batuan yang mampu menyimpan dan

mengalirkan air tanah disebut lapisan akuifer. Berdasarkan kedalamannya, lapisan

akuifer dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu akuifer dangkal dengan kedalaman

1 m – 20 m, akuifer sedang dengan kedalaman 21 m – 50 m dan akuifer dalam

dengan kedalaman > 50 m. Sedangkan berdasarkan sifatnya, lapisan akuifer

dibedakan menjadi dua tipe, yaitu akuifer tidak tertekan (bebas) dan akuifer

tertekan. Akuifer bebas adalah lapisan akuifer yang di bawahnya dibatasi oleh

lapisan lebih kedap air dan di atasnya tidak dibatasi oleh lapisan kedap air. Akuifer

tertekan adalah lapisan akuifer yang terletak antara dua lapisan kedap air.

Lapisan akuifer ini, jika dilihat dari sifat fisisnya, merupakan lapisan batuan

yang memiliki celah-celah antar batuan dan pori-pori batuan, sehingga bisa diisi
oleh air dan juga dapat bergerak melalui celah-celah dan pori-pori itu. Lapisan

batuan yang bisa menjadi lapisan akuifer adalah batuan yang memiliki porositas

besar dan permeabilitas besar. Porositas adalah perbandingan antara seluruh pori-

pori dengan volume total batuan. Sedangkan permeabilitas adalah ukuran

kemampuan suatu batuan untuk mengalirkan air atau fluida lain.

Gambar 2.9
Gambaran antara batuan yang memiliki porositas tinggi dan porositas rendah
Sumber: http://taman.blogsome.com/2007/04/03/air-tanah/

Permeabilitas tanah ditentukan oleh tekstur dan struktur butir-butir tanah.

Tetapi perbedaan tekstur dan struktur menentukan juga kapasitas menahan

kelembaban tanah. Air di dalam tanah ditahan oleh gaya absorbsi permukaan

butir-butir tanah dan tegangan antara molekul air. Di sekeliling butir-butir tanah

terdapat membran yang diabsorbsi secara intensif. Makin jauh air itu dari

permukaan butir tanah, makin lemah gaya absorbsi itu. Pada suatu jarak tertentu

air itu hanya ditahan oleh tegangan antara butir-butir tanah (air kapiler). Jika air

bertambah, maka air itu akan lebih dipengaruhi oleh gaya gravitasi dan akan

bergerak dalam rongga-rongga antara butir-butir tanah (air gravitasi).


Semakin banyak tanah itu mengandung butir-butir yang halus, maka makin

tinggi juga kenaikan airnya dan makin besar butir-butir tanah makin kecil

kenaikan airnya. Sebaliknya makin kecil butir-butir tanah, makin kecil pula

kecepatan airnya, makin besar butir-butirnya makin besar kecepatan airnya.

Karakteristik batuan dan sikapnya terhadap air secara umum dapat

diklasifisikasikan menjadi tiga, yaitu:

1. Batuan beku, yaitu kelompok jenis batuan yang terjadi karena pembekuan

magma, biasanya bersifat padat, kompak dan kedap air (tidak dapat meloloskan

air). Meskipun demikian, air tanah terkadang dapat diperoleh pada rekahan-

rekahan yang biasanya terjadi pada zona struktur patahan. Contoh batuan ini

adalah basalt, andesit, granit, gabro dan lain-lain.

2. Batuan metamorf, yaitu kelompok batuan sedimen atau beku yang berubah dan

terpadatkan karena pengaruh temperatur dan tekanan tinggi. Seperti halnya

pada batuan beku, satuan batuan ini merupakan lapisan kedap air. Air tanah

pada batuan ini hanya dimungkinkan terdapat pada rekahan-rekahan yang

terdapat ada zona struktur patahan. Contoh batuan ini adalah marmer, skist.

3. Batuan sedimen, yaitu kelompok batuan yang terjadi karena proses rombakan

dan pengikisan batuan beku atau metamorf, ditransportasi secara gaya berat

atau melalui media air untuk kemudian diendapkan kembali di tempat lain

sebagai batuan sedimen. Contoh batuan ini adalah konglomerat, pasir, kerikil,

kapur, breksi dan lain-lain. Satuan batuan sedimen yang dapat berfungsi

sebagai akuifer yang baik hanya satuan batuan sedimen yang dibentuk oleh

material kasar seperti pasir, kerikil, bongkah.


Tabel 2.2
Kisaran nilai porositas dan permeabilitas berbagai batuan

Porositas Permeabilitas
Batuan
(%) (cm/jam)
Lempung 45 - 55 0,0008
Lanau 35 - 45 0,0008
Pasir 35 - 40 10,42 -187,5
Kerikil 30 - 40 625 - 1875
Batugamping 1 - 10 3,93
tufan 30 - 65 0,83
Lumpur 55 - 65 < 0,0008
Sumber: Lean Wijaya (Verhoef, 1992); Mori, 1993:96

Tabel 2.3
Kisaran nilai dimensi setiap butir batuan

Batuan Diameter (mm)


Lempung < 0,002
Lanau 0,002 – 0,053
Pasir 0,053 - 2
Kerikil 2-4
Bongkah/kerakal 4 - 64
Breksi > 64
Sumber: Tn. 2008

2.7. Tinjauan Geologi Daerah Penelitian

Secara geografis, lokasi penelitian dibatasi dalam lingkup koordinat UTM

195093 E – 209220 E dan 9565394 N – 9584172 N, dimana secara administratif

termasuk kota Bengkulu dan meliputi beberapa kecamatan seperti Sungaihitam,

Bentiring, Dusunbesar, Kembangnadar, Taliampat, Pekansabtu dan Cahayanegeri.


Runtunan stratigrafi lembar Bengkulu dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu

urutan pra-tersier, tersier dan kuarter. Setiap satuan batuan didasarkan secara

litostratigrafi dan tata namanya sesuai sandi stratigrafi Indonesia dan panduan

stratigrafi Internasional. Sebagai hasilnya, istilah yang digunakan untuk yang

berlapis adalah anggota, formasi dan kelompok.

Stratigrafi daerah ini telah dipelajari sejak awal abad ini. Penyelidikan

pendahuluan dilakukan oleh geologiwan Belanda, kemudian dilanjutkan oleh

geologiwan dari instansi pemerintah dan swasta.

Gambar 2.10
Indeks peta geologi lembar Bengkulu skala 1:100.000
Sumber: Peta Geologi lembar Bengkulu yang dikeluarkan oleh Pusat Survei
Geologi
Penyelidikan dilakukan dengan melakukan survei lapangan berupa

pengambilan sampel batuan yang ada di atas permukaan tanah, kemudian

menganalisisnya berdasarkan umur dan awal mula pembentukannya hingga bisa

dipetakan berdasarkan klasifikasi batuannya.


Berdasarkan indeks peta geologi lembar Bengkulu skala 1:100.000 yang

dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, satuan stratigrafi

yang terdapat di kota Bengkulu dan sekitarnya ditunjukkan dengan tabel berikut:

Tabel 2.4
Klasifikasi satuan stratigrafi batuan daerah penelitian
Satuan batuan Umur Jenis litologi
Undak Aluvium (Qat) Holosen kerikil, pasir, lanau, lempung
bongkah, kerakal, pasir, lumpur,
Aluvium (Qal) Holosen
lempung
Andesit (Tpan) Pliosen andesit
konglomerat, breksi, batugamping
Formasi bintunan (QTb) Plistosen
terumbu, batu lempung tufan

2.8. Cara Interpretasi

Interpretasi terhadap hasil penyelidikan geolistrik terdiri dari dua cara yaitu

interpretasi kualitatif dan interpretasi kuantitatif.

Interpretasi kualitatif dilakukan menggunakan peta resistivitas semu dengan

cara melihat harga dan pola kontur anomali serta membandingkan peta-peta

resistivitas semu untuk setiap jarak elektroda arus (AB/2) yang berbeda. Semakin

besar jarak AB/2, maka semakin dalam pula kedalaman pendugaannya.

Interpretasi ini dimaksudkan untuk melihat penyebaran nilai resistivitas

secara lateral. Jenis batuan berbutir halus seperti lempung dan lanau biasanya

memiliki kisaran nilai resistivitas < 10 Ωm. Jenis batuan sedimen berbutir kasar

seperti pasir dan kerikil memiliki kisaran nilai resistivitas > 10 Ωm. Jenis batuan

breksi memiliki kisaran nilai resistivitas 75 Ωm – 200 Ωm. Untuk batuan beku

memiliki kisaran nilai resistivitas > 200 Ωm. Batuan yang telah terintrusi air laut

akan lebih bersifat konduktif, biasanya memiliki nilai resistivitas < 1 Ωm.
Sedangkan interpretasi kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kurva

nilai resistivitas semu terhadap jarak elektroda AB/2. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan nilai resistivitas sebenarnya, ketebalan dan kedalaman pada setiap

lapisan berbeda.

Konsep dasar penafsiran kurva-kurva ini mengacu pada model kurva bantu

dengan asumsi misalkan terdiri dari tiga lapisan yang masing-masing mempunyai

nilai resistivitas ρ1, ρ2, ρ3.

Macam-macam kurva bantu ini terdiri dari:

1. Kurva bantu tipe A, dengan ciri-ciri kurva lapangan mempunyai bentuk naik

monoton dan memiliki sifat ρ1 < ρ2 < ρ3.

ρs

AB/2

Gambar 2.11
Kurva bantu tipe A

2. Kurva bantu tipe Q, dengan ciri-ciri kurva lapangan mempunyai bentuk turun

monoton dan memiliki sifat ρ1 > ρ2 > ρ3.

ρs

AB/2

Gambar 2.12
Kurva bantu tipe Q
3. Kurva bantu tipe K, dengan ciri-ciri kurva lapangan mempunyai bentuk

parabola tertutup dan memiliki sifat ρ1 < ρ2 > ρ3.

ρs

AB/2

Gambar 2.13
Kurva bantu tipe K

4. Kurva bantu tipe H, dengan ciri-ciri kurva lapangan mempunyai bentuk

parabola terbuka dan memiliki sifat ρ1 > ρ2 < ρ3.

ρs

AB/2

Gambar 2.14
Kurva bantu tipe H

Penafsiran terhadap kurva-kurva resistivitas ini biasanya dilakukan dengan

menggunakan software yang mendukung proses curve matching, seperti Resty,

IP2Win dan lain-lain. Hasil analisa akan menunjukkan kedalaman, ketebalan dan

nilai resistivitas dari berbagai lapisan batuan berbeda sehingga korelasi dengan

keadaan geologi setempat dan nilai resistivitas pada literatur akan menunjukkan

kemungkinan ada atau tidaknya lapisan akuifer di daerah penelitian.

Anda mungkin juga menyukai