Anda di halaman 1dari 32

PROPOSAL SKRIPSI

PENGARUH DURASI IMPLANTASI ION N TERHADAP SIFAT


PERMUKAAN DAN KOROSI SUMURAN MATERIAL SS 304

Disusun oleh :
Ahmad Rifki A
NIM : 12/333660/TK/40004

Dosen Pembimbing:
Dr. Priyo Tri Iswantoro, S.T., M.Eng.
NIP. 197006111997021001

PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN


DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN INDUSTRI
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN TUGAS AKHIR

Nama Lengkap : Ahmad Rifki A

NIM : 12/333660/TK/40004

Program Studi : Teknik Mesin

Departemen : Teknik Mesin dan Industri

Modul : Teknologi Bahan

Judul : Pengaruh Durasi Implantasi Ion N Terhadap Sifat


Permukaan dan Korosi Sumuran Material SS 304

Yogyakarta, 28 Februari 2018


Dosen Pembimbing Tugas Akhir Mahasiswa Yang Bersangkutan

Dr. Priyo Tri Iswantoro, S.T., M.Eng. Ahmad Rifki A


NIP. 197006111997021001 NIM : 12/333660/TK/40004

Mengetahui,
Ketua Program Studi Teknik Mesin

Dr. Kusmono, S. T., M. T.


NIP. 197211041998031002
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pertumbuhan ekonomi di Indonesia beberapa tahun terakhir mengalami
peningkatan yang lumayan pesat. Akibat dari pertumbuhan ekonomi tersebut daya
beli masyarakat Indonesia meningkat. Belum lagi syarat-syarat kredit kendaraan
semakin mudah sehingga semakin banyak pula kendaraan pribadi di jalan raya.
Dengan taraf pendidikan masyarakat Indonesia yang cenderung masih rendah,
banyak pelanggaran-pelanggaran lalu lintas seperti belum mempunyai Surat Ijin
Mengendarai tetapi sudah bepergian menggunakan kendaraan. Sehingga angka
kecelakaan di jalan raya juga masih tinggi. Beberapa kasus kecelakaan
mengakibatkan patah tulang, sehingga dibutuhkan teknologi bahan untuk kasus
implantasi tulang. Bahan-bahan pengganti tulang tersebut harus memenuhi kriteria
mempunyai sifat tahan korosi, biocompatible, mempunyai sifat fisis dan mekanis
yang mumpuni, dan mudah dibentuk.
Material yang sering digunakan sebagai material indoprostetik atau implant
tulang adalah titanium dan stainless steel. Pada penelitian ini dipilih material
Stainless Steel SS 304 dimana banyak digunakan untuk pembuatan implan tulang
baik itu Tulang Sendi, Plat Tulang, Stend Protesa. Material ini merupakan salah
satu baja tahan karat, dengan harga yang murah, dan mudah dibentuk. Akan tetapi
sebelum digunakan, material ini harus diberi perlakuan untuk meningkatkan
kekerasan material dan ketahanan terhadap korosi.
Namun kelemahan bahan implan SS 304 dibandingkan dengan SS 316L
adalah laju korosinya lebih tinggi dari pada SS 316L sehingga perlu metode
perlakuan permukaan untuk memperbaiki sifat mekanik bahan SS 304 yang lebih
baik (Sunardi, dkk 2015). Dalam mengatasi hal tersebut perlu dilakukan usaha
dalam meningkatkan sifat fisik dan mekanik bahan, diantaranya melakukan teknik
rekayasa material pada bahan implant.
Teknik ini dilakukan dengan proses perlakuan permukaan (Surface
Threatment) yang diharapkan memiliki kekerasan, kekasaran, ketangguhan, dan
peningkatan ketahanan korosi. Proses Implantasi ion pada permukaan merupakan
metode physical vapor deposition (PVD) untuk meningkatkan sifat mekanik bahan
(B Pribadi et al, 2011).
Teknik implantasi ion merupakan cara paling efektif, Teknik ini dilakukan
dengan cara menyisipkan ion asing (dopan) yang berenergi tinggi kedalam
permukaan material dengan temperature rendah, sehingga kemungkinan timbulnya
thermal stress dapat dihindari karena dapat terjadi distorsi bahan. Selain itu dimensi
bahan tidak berubah setelah implantasi ion (Hongxi et al. 2012). Penyisipan ion
dapat dikendalikan menggunakan tegangan pemercepat ion terimplantasi (Sujitno,
2006). Energi maksimum ion yg didepositkan sangat dipengaruhi oleh massa ion
dan massa atom sasaran sehingga akan menentukan jumlah sisipan yang akan
membentuk fasa baru (Susita et al. 1996).
Jenis Ion nitrogen merupakan salah satu jenis ion dopan untuk aplikasi
biomedis (pudjoraharjo dkk. 2003). Ion nitrogen yang di implantasi pada stainless
steel, akan mengubah struktur mikro permukaan dengan kedalaman tertentu.
Perubahan struktur mikro disebabkan interaksi antar ion yang berenergi tinggi
dengan sasaran sehingga terbentuknya pasangan kekosongan (vacancies) dan
sisipan (interstation) dimana saat kondisi tertentu membentu fasa Fe – N( susita et
al. 1996).
Pada penelitian sebelumnya (Bangun Pribadi et al. 2011) telah dilakukan
proses implantasi ion chrom pada stainless stell dengan durasi waktu 3,5; 4,5; 5.5;
6;5 dan 7;5 . Pada durasi tersebut, terjadi peningkatan baik kekerasan maupun
ketahanan korosi sampai dengan durasi 5.5 jam, setelah itu trennya cenderung
menurun. Kekerasan optimum bahan tidak terjadi pada durasi yang lebih besar,
akan tetapi pada suatu durasi ion tertentu. Hal ini dikarenakan pada durasi yang
semakin lama, pada permukaan bahan akan terbentuk struktur amorf yang akan
menurunkan nilai kekerasan permukaan bahan. Fasa baru yang terbentuk berpotensi
meningkatkan laju korosi pada permukaan stainless steel. Proses implantasi ion
dengan dopan nitrogen diharapkan akan meningkatkan kekerasan dan ketahanan
korosinya. Maka diperlukan durasi waktu ion dengan dopan nitrogen yang optimum
untuk memperoleh karakteristik yang terbaik.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan melakukan proses
implantasi ion nitrogen dengan memperpendek range durasi waktu energi ion,
menurunkan energi implantasi dari 100 keV menjadi 75 keV dan mengganti
material yang sebelumnya SS 316L menjadi SS 304 dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh (Bangun Pribadi at al, 2013) pada durasi 4,0; 4,5; 5,0; 5,5; 60;
menit. Karakteristik stainless steel hasil implantasi ion nitrogen tersebut dapat
dilihat melalui beberapa uji. Uji tersebut meliputi uji kekasaran untuk mengetahui
kontur permukaan logam, uji kekerasan permukaan dan melintang untuk melihat
ketahanan sampel terhadap tekanan, uji mikroskopik untuk melihat struktur mikro
dan mengetahui komposisi unsur, uji wettability, serta uji korosi melihat ketahanan
sampel terhadap korosi.

1.2 Rumusan Masalah


Penelitian ini akan difokuskan pada bagaimana variasi lama durasi waktu
implantasi ion pada material SS 304 dengan penyesuaian energi implantasi alat
yang ada, yaitu 75 keV, terhadap kekerasan permukaan dan kekasaran permukaan
serta pengaruh beberapa media korosif terhadap ketahanan korosi material SS 304.

1.3 Batasan Masalah


Tema yang dijadikan bahasan dalam tugas akhir ini diberikan batasan agar
dalam pembahasan penelitian ini lebih terfokus dan terperinci, sehingga tugas akhir
ini bisa dijelaskan dengan efektif dan efisien. Adapun batasan dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Spesimen yang digunakan adalah SS 304.
2. Pengujian yang dilakukakan adalah pengujian kekerasan, pengujian
kekasaran permukaan, wetabillity dan pengujian struktur mikro.
3. Variasi durasi Implantasi Ion 4,0; 4,5; 5,0; 5,5; 60 menit.
4. Pada penelitian ini menggunakan Nitrogen sebagai ion dopan.
5. Energi implantasi adalah 75 keV
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh variasi durasi ion terhadap karakteristik stainless steel
304.
2. Mengetahui nilai durasi ion yang tepat untuk mendapatkan karakter
stainless steel 304 hasil implantasi terbaik sebagai material implan.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui cara memperoleh data material yang belum diketahui.
2. Mengetahui nilai energi ion yang tepat untuk mendapatkan karakter
stainless steel 304 hasil implantasi terbaik sebagai material implant.

1.6 Struktur Laporan


Laporan ini akan membahas antar bab sesuai dengan struktur laporan sebagai
berikut :

BAB II. Tinjauan Pustaka


Bab ini berisi tentang hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti
terdahulu yang terkait dengan penelitian ini.

BAB III. Dasar Teori


Bab ini menjelaskan landasan dan nilai yang ingin didapatkan dalam
melaksanakan penelitian Pengaruh Durasi Implantasi Ion N Terhadap Sifat
Permukaan dan Korosi Sumuran Material 304. Bab ini juga berisi mengenai
model matematis dan persamaan-persamaan yang berkaitan dengan obyek
yang diteliti.
BAB IV. Metodelogi Penelitian
Bab ini menjelaskan secara detail mengenai sistematika penelitian meliputi
obyek penelitian, alat dan bahan, serta prosedur penelitian.

BAB V. Hasil Penelitian dan Pembahasan


Bab ini beisi tentang hasil penelitian dan analisa pembahasan

BAB VI. Kesimpulan


Bab ini berisi kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian serta saran yang
digunakan untuk pengembangan lebih lanjut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa ilmuwan telah melakukan penelitian terkait dengan pengaruh


durasi implantasi ion terhadap sifat mekanis dan kimia suatu material. Salah
satunya Bangun Pribadi, dkk (2011) telah melakukan research tentang pengaruh
implantasi ion chrom terhadap kekerasan dan laju korosi baja tahan karat AISI 316
L dalam larutan PBS. Pada penelitian ini digunakan ion (dopan) chrom sebagai
lapisan permukaan specimen untuk meningkatkan ketahan laju korosi. Perilaku
korosi diteliti menggunakan alat uji korosi sel tiga elektroda dalam larutan PBS.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses implantasi ion dapat meningkatkan
sifat mekanik material yakni kekerasan dan meningkatkan ketahanan laju korosi
pada AISI 316 L. Apabila proses implantasi dikerjakan terus maka akan tertumpuk
ion-ion chrom di permukaan membentuk lapisan tipis amorphous. Permukaan ini
tentu saja mudah teroksidasi, sehingga bila proses implantasi diteruskan, maka laju
korosi akan naik.

Sulistioso Giat S, dkk(2012) melakukan penelitian tentang implantasi ion


titanium nitride terhadap sifat mekanik biomaterial 316 l. Dalam penelitian tersebut
Telah dilakukan analisis sifat mekanik dari material stainless steel AISI 316Lyang
diimplantasi ion Titanium Nitrida (TiN) dengan variasi waktu implantasi 60
menit,90 menit dan 120 menit. Untuk mengetahui beban maksimum yang diberikan
pada sampel pada waktu uji lelah, maka dilakukan uji tarik dengan menggunakan 3
buah sampel sebelum sampel diimplantasi dengan ion TiN. Kemudian dilakukan
uji lelah (fatique test) untuk melihat pengaruh perlakuan implantasi dengan TiN
pada umur lelah dari AISI 316L, menggunakan metode rotating bending. Pengujian
kekerasan dilakukan dengan metode micro Vickers hardness tester. Hasi dari
penelitian menunjukkan waktu implantasi untuk mendapatkan umur lelah terbaik
adalah 90 menit, tapi untuk kekerasan sampel, semakin lama waktu implantasi
maka sampel semakin keras
Nurfi Ahmadi (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh implantasi ion
nitrogen terhadap kekerasan baja tahan karat tipe AISI 316L yang dideformasi
dingin. Perlakuan implantasi ion diberikan durasi waktu selama 25, 40, 55, 60
menit. Pengujian kekerasan dilakukan dengan metode micro Vickers hardness
dengan beban 300 gram dan waktu indentasi 10 detik. Hasil penelitian gabungan
antara implantasi ion dan deformasi dingin menunjukkan dapat meningkatkan
kekerasan permukaan. akan tetapi untuk durasi waktu selanjutnya kekerasan
menunjukkan penurunan, kemungkinan yang menyebabkan turunnya kekerasan
adalah Tempat/bagian yang diuji kekerasannya dimungkinkan berbeda-beda
fasenya. Hasil implantasi pada permukaan tidak sempurna.
Gaguk Jatisukamto, dkk (2011) melakukan penelitian tentang perbaikan
sifat korosi baja tahan karat AISI 410 dengan perlakuan implantasi ion TIN. Sampel
dari bahan baja tahan karat AISI 410 dibubut sehingga memiliki diameter 14 mm
dan tebal 3 mm. Perlakuan implantasi ion di lakukan dengan lima variasi waktu
yaitu 1, 2, 3, 4 dan 5 jam. Perilaku korosi deteliti menggunakan alat Potensiostat
PGS 201T dalam media NaCl 0,9%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju
korosi baja tahan karat AISI 410 yang diberi implantasi ion TiN mengalami
penurunan laju korosi. Penambahan waktu implantasi melebihi waktu optimalnya
memberikan kecenderungan laju korosi meningkat kembali.

Darmanto (2010) melakukan penelitian tentang pengaruh implantasi ion


nitrogen terhadap kekerasan permukaan AISI 316 L untuk aplikasi sendi lutut
tiruan. Dalam penelitian tersebut AISI 316 L di implantasi dengan ion nitrogen
dengan energi 100 KeV, arus 100 A, dengan memvariasi waktu 30, 45, 60 , 75, 90
dan 120 menit untuk mendapatkan hasil kekerasan yang optimal. Pengujian
kekerasan dilakukan dengan metode micro Vickers hardness dengan beban 10
gram dan waktu indentasi 15 detik mengacu pada standar ASTM E92-82.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu optimal implantasi 90
menit, dapat meningkatkan kekerasannya.
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 Biomaterial
biomaterial digunakan secara fisis digunakan untuk menggantikan
jaringan keras maupun lunak yang telah rusak atau hancur pada fungsi jaringan
tubuh, setelah melalui proses patologis atau pemeriksaan organ, jaringan, cairan
tubuh dan seluruh tubuh (Agrawal, 1998). sehingga hal ini diberikan suatu
batasan – batasan yang ketat pada setiap material yang bisa digunakan sebagai
pengganti fungsi jaringan tubuh atau biomaterial (Agrawal, 1998) . Menurut
(Agrawal, 1998) syarat yang harus dilakukan agar sebuah material dapat
digunakan sebagai biomaterial yaitu:
1. Harus biokompatibel (material mampu menyesuaikan dengan lingkungan
tubuh penerima), tidak mendapat respon negatif dari tubuh, tidak
menyebabkan kerusakan dan dampak berbahaya, tidak beracun serta
noncarcinogenik (tidak mengandung zat yang menyebabkan kanker).
2. Harus memiliki sifat fisis dan mekanis yang memadai untuk proses
augmentation atau penggantian jaringan tubuh.
3. Untuk penggunaan praktis, biomaterial harus mudah dibentuk melalui
proses permesinan, memiliki biaya relatif rendah dan mudah ditemui.

Berdasarkan ASM Handbook of Material for Medical Devices, di dalam


dunia medis, biomaterial biasanya digunakan dalam aplikasi orthopedics (ilmu
bedah tulang), aplikasi pada cardiovascular (sistem peredaran darah),
ophthalmics (sistem penglihatan), aplikasi pada gigi, penyembuhan luka, serta
aplikasi dalam sistem penyebaran obat di dalam tubuh.
3.2 Material Baja Tahan Karat ( Stainless steel )
Stainless steel merupakan baja yang tahan terhadap korosi dan cocok
digunakan sebagai implan tubuh manusia (Park et al. 2007). Selain itu stainless
steel merupakan kelompok baja paduan tinggi berdasarkan pada sistem Fe-Cr,
Fe-Cr-C, dan Fe-Cr-Ni dengan unsur paduan utama 10,5- 18% Krom (Cr).
jumlah yang dibutuhkan untuk mencegah pembentukan karat pada atmosfir yang
tidak berpolusi. Paduan krom pada stainless steel membentuk lapisan pasif
sebagai pelindung pada fenomena oksidasi sehingga stainless steel tahan
terhadap korosi. (Lippold dan Kotecki, 2005).
Menurut (McGuire, 2008) Stainless steel dibagi menjadi lima jenis.
Kelima jenis adalah austenitic stainless steel, duplex stainless steels, ferritic
stainless steel, martensitic stainless steel dan precipitation-hardening stainless
steel.
a. Austenitic Stainless Steel
Material jenis ini adalah material non-magnetik, mudah dibentuk dengan
baik, dan memiliki tingkat keuletan dan ketangguhan pada temperatur tinggi
maupun rendah sekali (cryogenic). Austenitic stainless steel mengandung sekitar
16-25% chromium dan juga mengandung nitrogen, dimana keduanya berfungsi
untuk meningkatkan ketahanan terhadap korosi. Struktur kristal dari baja ini
adalah face centered cubic (FCC) (Callister, 2001).

b. Martensitic Stainless steel


Stainless steel jenis ini merupakan austenitic yang dikeraskan dan ditemper
dengan tujuan meningkatkan keuletan dan ketangguhan. Martensitic stainless
steel memiliki struktur kristal Body Centered Tetragonal (BCT) (Callister,
2001). Kekuatan pada material ini diperoleh melalui proses heat treatment yang
kemudian dilakukan pendinginan secara cepat pada media air. Komposisi karbon
akan mempengaruhi kekuatan material. Apabila komposisi karbon tinggi, maka
akan meningkatkan kekuatan namun keuletan dan ketangguhannya akan
berkurang. Molibdenum dan nikel dapat ditambahkan ke stainless steel martensit
untuk meningkatkan ketahanan korosi dan ketangguhan.
c. Precipitation – Hardening Stainless Steel
merupakan material yang mempunyai ketahanan korosi yang baik dan
kekuatan yang sangat tinggi karena mengandung nikel. Material ini memiliki
keuntungan diantaranya dapat diperlakukan dengan heat treatment untuk
memperoleh sifat yang lebih baik.

d. Duplex Stainless Steel


Stainless steel duplex, merupakan campuran material ferrite dan austenite
pada strukturnya yang memberikan nilai kekuatan yang lebih tinggi dibanding
fase yang lain. Duplex stainless steel mempunyai kandungan minimal 20%
krom, sehingga material jenis ini adalah paduan yang mempunyai ketahanan
korosi yang tinggi namun tidak tahan terhadap temperature yang tinggi
dikarenakan getas. Kandungan nikelnya yang rendah membuat material jenis ini
lebih ekonomis dibanding austenitic walaupun mempunyai tingkat ketahanan
korosi yang sama

e. Ferritic Stainless Steel


Ferritic stainless steel mempunyai tingkat krom sebesar 11.2-27% dengan
tidak atau hanya sedikit penambahan nikel. Ferritic stainless steel merupakan
material paduan dengan struktur Kristal body centered cubic (BCC) (Callister,
2001). Untuk meningkatkan ketahanan korosi maka material paduan jenis ini
perlu ditambahkan molybdenum, sedangkan untuk meningkatkan tingkat
weldability material paduan jenis ini perlu ditambahkan niobium dan atau
titanium.

Baja tahan karat austenitik tipe 304 merupakan baja paduan dengan
kandungan Cr 18 – 20%, dan Ni 8 – 10,5% (Roberge, 2000). Baja jenis ini biasa
digunakan sebagai bahan konstruksi utama dalam beberapa industri seperti
industri nuklir, kimia, dan makanan. Baja ini memiliki ketahanan korosi yang
baik karena terdapat lapisan kromium oksida pada permukaannya (Riszki dan
Harmami, 2015). SS-304 merupakan baja yang memiliki tingkat kekerasan
rendah sekitar 123 HB dan kekuatan tarik sebesar 505 N/mm2 (Nasir, 2014).
Berdasarkan ASTM A240 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Kandungan kimia SS 304 berdasarkan ASTM A240 disajikan pada


Tabel 3.1 Kandungan kimia SS 304
% C Mn Si P S Cr Mo Ni N
Min - - - - - 18 - 8 -
Max 0.08 2 0.75 0.045 0.03 20 - 12 0.1

3.3 Implantasi Ion

Impalntasi ion nitrogen merupakan penempatan ion nitrogen kedalam suatu


bahan.Metode ini dapat dilakukan dengan implantasi ion. Sistem implantasi ion
pada umumnya terdiri atas dua komponen, yakni: (1). komponen utama: sumber
ion, sumber daya tegangan tinggi, sistem hampa, tabung akselerator, kotak sasaran,
dan sistem elektronik, (2) komponen tambahan: lensa kuadrupol, magnet pembelok,
dan penyapu berkas (Dearnaley dkk, 1973). Dosis ion bergantung pada besar arus
ion, luas sasaran, dan lama implantasi. Berkas sapuan dibatasi oleh tingkap dan di
belakang tingkap ada logam pemegang cuplikan (cuplikan dan pemegangnya dalam
kondisi hubungan listrik yang baik). Pemegang cup likan dihubungkan dengan
integrator muatan. Elektron-elektron melewati integrator dan menetralisir muatan-
muatan yang diimplantasikan ke dalam cuplikan. Besar dosis didefinisikan sebagi
berikut:

(3.1)
dengan Q muatan total (C), t waktu implantasi (detik), I arus ion (ampere), e muatan
elektron (1,6 x 10-19 C), dan A luas permukan sasaran (cm2).
Energi ion saat keluar dari tabung akselerator ditentukan oleh besar
tegangan pada tabung akselerator. Tenaga ion ini akan berpengaruh pada jangkauan
terproyeksi, makin besar tenaga ionnya akan semakin besar jangkauan
terproyeksinya. Berarti energi ion akan menentukan tebal lapisan. Jangkauan ion
dalam bahan sasaran didefinisikan sebagai jarak total yang ditempuh ion dalam
bahan yang dihitung mulai ion masuk ke bahan sasaran sampai ion tersebut
berhenti. Jangkauan total ion (Å) dalam bahan dinyatakan dengan persamaan
(Mayer dkk, 1970):

(3.2)
dengan Zi , mi nomor atom dan massa atom ion penembak, Zs, ms nomor atom dan
massa atom sasaran, S adalah rapat massa sasaran (g/cm3) dan E tenaga ion (keV).
Alat deposisi ion yang digunakan adalah implantor ion yang skema alatnya
ditunjukkan pada Gambar 1. Alat ini terdiri atas sumber tegangan terisolasi (0 -220
V) yang digunakan untuk menghasilkan elektron yang dip ercepat dari katoda
menuju anoda. Elektron ini digunakan untuk mengionisasi gas yang ada dalam
tabung sumber ion. Dengan bantuan medan magnet yang dihasilkan oleh kumparan
menyebabkan gerak elektron menuju anoda akan berbentuk spiral yang akan
menambah panjang lintasannya, sehingga menambah peluang terjadinya ionisasi.
Ion -ion positif yang dihasilkan dalm sumber ion, akan ditarik ke luar menuju
tabung akselerator oleh tegangan negatifnya melalui celah sempit pemfokus.
Tabung akselerator terdiri dari beberapa elektroda dengan tegangan yang makin
negatif terhadap elektroda sebelumnya untuk mempercepat berkas ion positif.
Tabung akselerator harus dihampakan sampai 1 0-6 mmHg agar tidak terjadi
tumbukan antara ion yang dipercepat dengan sisa molekul gas.
Gambar 3.1 Sistem Implantasi Ion
3.4 Kekerasan Bahan

Sifat mekanik material yang penting dalam penelitian ini adalah kekerasan
permukaan suatu material. Kekerasan permukaan merupakan ketahanan sebuah
permukaan material terhadap deformasi akibat tumbukan (Sulaiman, 2016).
Sedangkan menurut Sunardi (2014), Kekerasan dapat didefinisikan sebagai
kemampuan material untuk menahan indentasi permanen atau deformasi ketika
dalam kontak dengan indenter dibawah pembebanan. Pengujian kekerasan dibagi
menjadi beberapa macam bergantung pada jenis indenter yang digunakan yakni
bentuk conical (Rockwell Test), spherical (Brinell Test) dan pyramidal (Vickers
Test) (Faqih, 2016). Pada uji kekerasan Brinell, Vickers, dan Knoop nilai kekerasan
adalah beban yang didukung oleh satuan luas dari indentasi, diekspresikan dalam
kilogram per milimeter kuadrat (kgf/𝑚𝑚2 ) (ASM Metalhandbook Volume 8,
Mechanical Testing and Evaluation).

Pada penelitian ini, pengujian kekerasan dilakukan dengan menggunakan


metode indentasi mikro Vickers. Indenter Vickers berbentuk intan piramida dengan
sudut 136° dinjakkan pada material yang kemudian diukur panjang diagonal hasil
injakannya untuk mendapatkan nilai pengukuran kekerasan seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.2 di bawah ini.

Gambar 3.2 Diamond pyramid indenter yang digunakan untuk Vickers Test dan
hasil indentasi pada benda uji (ASM Metalhandbook Volume 8, Mechanical
Testing and Evaluation).

Vickers Hardness Number (VHN) adalah nilai yang digunakan untuk


menentukan kekerasan permukaan yang berhubungan dengan beban yang
diaplikasikan dan luas permukaan identasi terukur, yang dihasilkan oleh square-
based indenter intan piramida (Faqih, 2016). nilai kekerasan vickers (HV) dihitung
dengan persamaan berikut ini (ASM Metalhandbook Volume 8, Mechanical Testing
and Evaluation):

𝜃
2 .𝑃 . sin( 2 ) 𝑃
VHN = = 1,854 ( ) (3.3)
𝑑2 𝑑2

Dimana:

HV = angka kekerasan Vickers (kgf/𝑚𝑚2 )


P = beban yang bekerja pada penetrator intan (kgf)
d = diagonal rata-rata bekas injakan penetrator (mm)
α = sudut piramid intan (136°) a:
3.5 Kekasaran Permukaan:
Kekasaran permukaan adalah suatu merupakan aspek penting dalam penelitian
ini, kekasaran permukan tidak cukup hanya dengan rabaan tangan atau melihat
langsung permukaannya, tetapi harus ada suatu standar yang baku sebagai acuan
para peneliti. Standar baku yang digunakan dapat berupa suatu alat yang digunakan
untuk mengukur kekasaran permukaan material yang sudah disepakati bersama
oleh para peneliti dunia.
Pengukuran kekasaran permukaan dilakukan berdasarkan kekasaran rata-
rata (Ra) yang diperoleh. Kekasaran rata-rata (Ra) merupakan penyimpangan rata-
rata pada suatu permukaan dari garis profil rata-rata permukaan material. Pada garis
profil rata-rata, luas antara bagian atas dengan bagian bawah adalah sama (Sunardi,
2014). Gambar 3.3 memperlihatkan permukaan dan koordinat untuk menghitung
kekasarannya.

Gambar 3.3 Profil permukaan dan koordinat untuk menghitung kekasaran


permukaan (Faqih, 2016)

Nilai kekerasan rata – rata dapat di tentukan dengan penyelesaian rumus 3.4
seperti berikut
𝛴ℎ ℎ1 + ℎ2 + ⋯ + ℎ𝑛
𝑅𝑎 = = (3.4)
𝑛 𝑛
Pada penelitian ini, alat yang akan digunakan untuk mengukur kekasaran
permukaan adalah stylus profilometer. Stylus profilometer bergerak sepanjang garis
lurus permukaan bahan. Pada umumnya, bahan stylus menggunakan intan yang
berbentuk piramid atau kerucut dengan sudut minimal 60° dan radius puncak 20 nm
- 50 μm. Sepanjang perjalanan pengukuran, stylus bergerak naik turun mengikuti
bentuk permukaan spesimen. Data hasil pergerakan stylus dengan jarak horizontal
dan vertikal dirubah menjadi data digital yang bisa diolah secara komputerisasi
(puput, 2016). Keakurasian stylus profilometer ini tergantung pada ukuran stylus
yang digunakan. Keterbatasan radius ujung stylus menyebabkan pengukuran tidak
sampai ke dasar permukaan material, sehingga dapat mengurangi keakurasian atau
ketelitian dari nilai kekasaran yang dihasilkan (puput, 2016). seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3.4

Gambar 3.4 Alat ukur kekasaran, (a) pengukuran kekasaran permukaan


menggunakan stylus profilometer, (b) pola pengukuran yang dihasilkan stylus
profilometer (Sunardi, 2014)

Semakin kecil diameter ujung stylus yang digunakan maka nilai kekasaran yang
dihasilkan akan semakin akurat karena permukaan ujung stylus semakin dekat
dengan permukaan material yang sesungguhnya.
3.6 Wettability
Wettability merupakan kemampuan dari cairan untuk mempertahankan
kontak dengan permukaan padat, yang dihasilkan dari interaksi secara
intermolekuler ketika keduanya bersinggungan. Wettability merupakan salah satu
faktor penting penentu interaksi antara implan dengan jaringan sekitarnya
(Arifvianto dkk., 2012).
Sifat wettability permukaan dari suatu spesimen biasanya dinyatakan
dengan sudut kontak (Yuliwati dan Ismail, 2011). Sudut kontak adalah sudut yang
dibentuk oleh permukaan spesimen dengan tetesan fluida yang diteteskan pada
permukaan tersebut (Gusrita dkk, 2014).
Suatu permukaan dikatakan bersifat hydrophobic jika permukaan tersebut
tidak basah jika terkena air dan permukaan selalu terlihat bersih. Jika terdapat
kotoran yang menempel pada permukaan, maka kotoran tersebut akan terhalau oleh
air yang menggelinding di permukaan tersebut (faqih, 2016)

3.7 Struktur Mikro


Struktur mikro (microstructure) atau metalografi merupakan suatu susunan
struktur yang terbentuk pada suatu material logam dengan ukuran mikro dan tidak
beraturan (Asad, 2016). Bentuk struktur mikro setiap material berbeda-beda
bergantung pada unsur penyusun dan proses yang dialami pada saat
pembentukannya. Bentuk strukturnya hanya dapat dilihat bila menggunakan
microscop optic. Mikro struktur logam dan paduan terbentuk selama proses
solidifikasi dari keadaan cair ke padat akibat perubahan suhu. Sifat mekanis
material logam secara kontinyu mempunyai korelasi terhadap kekuatan, kekerasan
dan keuletan dengan bentuk microstructurenya, sedangkan pengaruh cacat yang
ada pada material logam dan paduannya dikaitkan dengan ketidak normalan
struktur (ASM Handbook Volume 11, Failure Analysis and Prevention).
Pada penelitian ini, tujuan yang ingin dicapai dari pengujian sruktur mikro
adalah untuk melihat dan mengetahui struktur yang terbentuk di permukaan hingga
ke bagian dalam (menjauhi permukaan) spesimen akibat perlakuan Implantasi ion.
Oleh karena itu, pengujian struktur mikro dilakukan dengan melihat penampang
melintang spesimen.
Proses pengujian struktur mikro diawali dengan melakukan pengetsaan dari
suatu raw material yang sudah mengkilap seperti cermin tanpa goresan. Larutan
etsa yang digunakan bergantung pada spesimen yang akan diuji. Seperti pada baja,
digunakan kandungan HNO3 dan HCl sebagai cairan etsa. Fungsi cairan etsa adalah
untuk menghilangkan lapisan oksidasi pada permukaan spesimen (Sulaiman, 2016).
Setelah permukaan dietsa, maka dapat dilakukan proses pengambilan gambar
dengan menggunakan microscop optic yang dilengkapi kamera digital.
3.8 Korosi (Corosion)
Korosi adalah penurunan mutu pada logam akibat reaksi electrokimia
dengan lingkungannya. Reaksi korosi terjadi jika terdapat empat komponen pemicu
korosi, yaitu; anoda, katoda, elektrolit, dan hubungan listrik (asad, 2016) seperti
yang terlihat dalam rangkaian sel korosi basah sederhana pada Gambar 3.5

Gambar 3.5 Skema rangkaian sel korosi basah sederhana (Surdia dan
Saito, 1992)

Korosi pada stainless steel terjadi ketika kromium oksida yang secara
otomatis terbentuk pada permukaan bahan sehubungan dengan afinitas kromium
yang tinggi untuk bergabung dengan oksigen (Mulyaningsih, 2013). Lapisan
kromium oksida yang terbentuk berupa bahan film yang dapat memperbaharui
dirinya sendiri. Dalam keadaan dimana protective layer (lapisan kromium oksida)
tidak dapat lagi terbentuk, maka korosi pada stainless steel akan terjadi. Seperti
pada gambar 3.6 berikut ini.
Gambar 3.6 Selaput kromium oksida dapat terbentuk kembali setelah mengalami
kerusakan (pandu,2016)

Logam yang digunakan sebagai biomaterial harus memiliki sifat ketahanan korosi
yang baik. Oleh karena itu, austenitic stainless steel sangat populer sebagai material
implan. Ketahanan korosi polarization resistance terhadap biocompatibility
material implant seperti yang terlihat pada Gambar 3.7

Gambar 3.7 Hubungan polarization resistance dengan bicompatibility pada


logam murni, paduan Co-Cr, dan stainless steel (ASM Handbook of Material for
Medical Devices, Chapter 3)
Berdasarkan gambar diatas, walaupun austenitic stainless steel memiliki
sifat mekanik yang lebih baik dalam ketahanan laju korosinya, tetapi harus tetap di
waspadai dalam penggunaannya karena masih bisa terserang korosi jenis tertentu.
Berikut akan diuraikan mengenai jenis-jenis korosi pada stainless steel (Surdia dan
Saito, 1992), antara lain:
1. Korosi Lubang atau Celah (Crevice Corrosion)
Korosi lubang disebabkan oleh retakan lapisan yang pasif. Bagian yang
pecah dari lapisan menjadi rusak karena konsentrasi yang kemudian membentuk
lubang (Surdia dan Saito, 1992). Kerusakan pasif disebabkan oleh adanya ion
klor (Cl-). Dalam hal ini korosi terjadi pada daerah dimana kondisi oksidasi
terhadap krom (Cr) SS sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali (miskin
oksigen). Korosi ini terjadi di daerah yang sangat sempit (celah, sudut, takik,
dsb.) seperti celah antara gasket atau packing, celah atau sudut antara dua atau
lebih lapisan metal, celah antara plat penyambung tulang, dan sebagainya.
Agar tahan terhadap terjadinya korosi celah, diperlukan kombinasi yang
tepat dari Cr dan Mo. Dipandang dari sudut ini, baja tahan karat ferit (ferritic
stainless steel) lebih menguntungkan. Mekanisme crevice corrosion seperti
yang ditunjukkan Gambar 3.8 di bawah ini.

(a)
(b)
Gambar 3.8 (a) Crevice corrosion pada flens, (b) Mekanisme crevice
corrosion (Britton, 1997)

2. Stress Corrosion Crack


Korosi ini terjadi pada kondisi dimana bahan mengalami kombinasi
tegangan tarik, torsion, compressive maupun thermal dengan lingkungan yang
korosif secara bersamaan. Lingkungan yang utama adalah yang mengandung
klorida, sulfida, air dengan temperatur dan tekanan tinggi, dan soda kaustik.
Pengujian retakan korosi tegangan (SCC) sering dilakukan dengan pembebanan
pada kelarutan 42% magnesium klorida yang mendidih (Surdia dan Saito, 1992).

Gambar 3.9 Bentuk Stress Corrosion Cracking pada heat exchanger tube
dengan bahan stainless steel 316 (Jones, 1991)

Stress corrosion cracking biasanya memberikan patahan antar butir


(intergranular) maupun memotong batas butir (transgranular) tergantung jenis
paduan, kondisi metalurgi dan lingkungannya, atau seperti yang terlihat pada
Gambar 3.9.
3. Korosi Sumuran (Pitting Corrosion)
Korosi sumuran atau Pitting Corrosion merupakan korosi lokal yang
menyerang permukaan logam. Awalnya korosi ini terlihat kecil pada permukaan
stainless steel tetapi akan membesar pada bagian dalam seperti yang terlihat pada
Gambar 3.10 dibawah ini.

Gambar 3.10 Permukaan material yang terkena pitting corrosion


(Mulyaningsih, 2013)

Hal ini dikarenakan selaput pelindung (protective layer) tergores atau


retak akibat perlakuan mekanik, mempunyai tonjolan akibat dislokasi atau slip
yang disebabkan oleh tegangan tarik yang dialami atau yang tersisa, serta jika
logam mempunyai komposisi heterogen dengan adanya inklusi, segregasi atau
presipitasi (puput, 2016). Mekanisme dari pitting corrosion diperlihatkan pada
Gambar 3.11 berikut.

Gambar 3.11 Mekanisme korosi sumuran akibat aerasi-diferensial dibawah


butir air (Chamberlain 1991)
4. Korosi antar butir (Intergranular Corrosion)
Korosi intergranular terjadi jika daerah batas butir terserang akibat
adanya endapan di dalamnya. Batas butir merupakan tempat yang sering
digunakan untuk proses pengendapan (precipitation) dan pemisahan
(segregation). Skema korosi intergranular seperti yang terlihat pada Gambar
3.12.

Gambar 3.12 Skema korosi intergranular (Mulyaningsih, 2013)

Sebagai contoh korosi intergranular pada SS 304 dengan komposisi


kimia Fe-18Cr-8Ni. Jika baja ini didinginkan secara perlahan dari suhu di atas
1000°C maka pada interval suhu 600-850°C akan terbentuk carbida crom pada
batas butir. Adanya pengendapan (precipitation) carbida crom ini menyebabkan
daerah disekitar batas butir akan mengalami kekurangan Cr sehingga ketahanan
korosi berkurang (peningkatan kerentanan terhadap korosi intergranular dan
embrittlement) (Jingpin dkk, 2015).

3.8.1 Laju Korosi


Pengujian laju korosi dilakukan dengan mengamati dan menentukan
intensitas arus korosi dimana penentuan 𝐼𝑐𝑜𝑟𝑟 sangat penting agar dapat
menentukan laju korosi yang tepat pada logam (Sunardi, 2014). Pengujian laju
korosi dapat dilakukan dengan metode sel tiga elektroda yakni dengan cara
memasang spesimen uji pada elektroda kerja. Bagian spesimen yang halus
dihadapkan keluar agar terjadi kontak dengan media pengkorosi. Metode sel tiga
elektroda ditunjukkan seperti pada Gambar 3.13.
Gambar 3.13 Skema uji korosi sel tiga elektroda (Chamberlain, 1991)

Dalam skema uji terdapat tiga elektroda yang dipakai dalam pengujian
korosi yaitu working electrode, counter electrode, calomel reference electrode
berikut ulasannya.
1. elektroda kerja (working electrode) dimana merupakan elektroda yang akan
diteliti. Elektroda ini digunakan sebagai pengganti dari anoda.
2. elektroda pembantu (counter electrode) yang berfungsi untuk mengalirkan
arus dalam rangkaian dimana tidak digunakan untuk mengukur potensial.
Bahan yang dapat digunakan sebagai elektroda pembantu antara lain emas,
titanium, dan platina.
3. elektroda acuan (calomel reference electrode) sebagai titik awal untuk
mengukur potensial elektroda kerja. Arus yang mengalir pada elektroda ini
dapat diabaikan karena sangat kecil. Ketiga elektroda ini dimasukkan
kedalam tabung yang berisi larutan elektrolit yang terhubung dengan
galvanostat.

Perhitungan untuk mengetahui laju korosi pada pengujian ini dapat


digunakan metode plot kurva potensial vs log intensitas arus korosi seperti pada
Gambar 3.14. Rapat arus korosi diperoleh dari penentuan titik potong dari garis
tafel reaksi reduksi (ηc ) dan garis tafel reaksi oksidasi (ηa ) pada garis potensial
korosi (Ecorr ).
Gambar 3.14 Plotting garis tafel dan penentuan Ecorr (Amin dkk., 2014)
Nilai 𝜂𝑐 dan 𝜂𝑎 ditentukan dengan persamaan berikut (Jones, 1991) :
𝑖𝑎
𝜂𝑐 = 𝛽𝑎 𝑙𝑜𝑔 (3.5)
𝑖𝑜
𝑖𝑐
𝜂𝑎 = 𝛽𝑐 log (3.6)
𝑖𝑜
Dimana : 𝜂𝑎 = tafel reaksi oksidasi
𝜂𝑐 = tafel reaksi reduksi
𝑖𝑎 = arus pada reaksi anoda
𝑖𝑐 = arus pada reaksi katoda
𝛽𝑎 = gradient tafel reaksi anoda
𝛽𝑐 = gradient tafel reaksi katoda

Nilai laju korosi suatu logam dalam lingkungan adalah sebanding


dengan harga rapat arus korosi. Seperti pada persamaan laju korosi berikut
(Jones, 1991) :
𝑎. 𝑖
𝑟 = 0,129 (𝑚𝑝𝑦) (3.7)
𝑛. 𝐷
Dimana: 𝑟 = laju korosi (mpy)
𝑎 = nomor massa atom
𝑖 = rapat arus korosi (μA/𝑐𝑚2 )
𝑛 = valensi atom
𝐷 = berat jenis 28pecimen (gr/cm3 )

Untuk menghitung laju korosi bahan paduan, terlebih dahulu dihitung


nilai dari Equivalent Weight (EW) dengan menggunakan persamaan berikut
(Faqih, 2016) :
𝐸𝑊 = 𝑁𝐸𝑄−1 (3.8)
𝜔 𝜔𝑖 . 𝑛𝑖
𝑁𝐸𝑄 = Σ [𝑎 ⁄𝑖𝑛 ] = Σ [ ] (3.9)
𝑖 𝑖 𝑎𝑖

Dengan : EW = berat jenis 𝑒𝑞𝑢𝑖𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑡


𝑁𝑒𝑞 = nilai 𝑒𝑞𝑢𝑖𝑣𝑎𝑙𝑒𝑛𝑡 total
𝜔𝑖 = fraksi berat
𝑎𝑖 = nomor massa atom
𝑛𝑖 = elektron valensi

Sehingga, persamaan laju korosi adalah:

𝑖𝑐𝑜𝑟𝑟 (𝐸𝑊)
𝑟 − 0,129 (𝑚𝑝𝑦) (3.10)
𝐷

Berdasarkan persamaan 3.9 diperoleh satuan dari laju korosi adalah mils per year
yang diartikan sebagai hilangnya berat sebagian spesimen karena pengaruh
korosi dalam satuan mil per tahun. Konversi mils per year ke satuan metric
ditunjukkan pada persamaan berikut :

𝑚𝑚 𝜇𝑚 𝑛𝑚 𝑝𝑚
1 𝑚𝑝𝑦 = 0.0254 = 25,4 = 22.9 = 0,809 (𝑚𝑝𝑦) (3.12)
𝑦𝑟 𝑦𝑟 𝑦𝑟 𝑠𝑒𝑐
Tabel 3.2. Peringkat Laju Korosi
Relative Crrosion 𝑚𝑚 𝜇𝑚 𝑛𝑚 𝑝𝑚
mpy
Resistance 𝑦𝑟 𝑦𝑟 𝑦𝑟 𝑠𝑒𝑐
Outstanding <1 < 0.02 < 25 <2 <1
Excellent 1-5 0.02-0.1 25-100 2-10 1-5
Good 5-20 0.1-0.5 100-500 10-50 20-50
Fair 20-50 0.5-1 500-1000 50-150 20-50
Poor 50-200 1-5 1000-5000 150-500 50-200
Unacceptabe > 200 >5 > 5000 > 500 > 200
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Objek dan Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Bahan untuk
pembuatan spesimen, uji kekasaran, kekerasan, wettability, striktur mikro, uji laju
korosi, Departemen Teknik Mesin dan Industri, Universitas Gadjah Mada dan Pusat
Sains dan Teknologi Akselerator Badan Tenaga Nuklir Nasional Yogyakarta untuk
proses implantasi ion nitrogen pada SS 316L

4.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Gerinda Tangan.
2. Amplas atau sandpaper dengan ukuran mesh 100, 320, 600, 1200,
2000, dan 5000.
3. Orbital sander atau mesin poles milik Laboratorium Bahan Teknik,
Departemen Teknik Mesin dan Industri UGM.
4. Autosol metal polish atau pasta intan.
5. Ethanol 70 % / 95 %
6. Alat pengujian implantasi ion Akselerator implantasi ion buatan
PSTA-BATAN
7. Alat pengujian kekasaran permukaan milik Laboratorium Bahan
Teknik, Departemen Teknik Mesin dan Industri UGM
8. Alat pengujian wettability
9. Alat pengujian kekerasan milik Laboratorium Bahan Teknik,
Departemen, Teknik Mesin dan Industri UGM
10. Alat pengujian struktur mikro milik Laboratorium Bahan Teknik,
Departemen Teknik Mesin dan Industri UGM
11. Alat pengujian laju korosi.
4.3 Diagram Alir Penelitian

Gambar 4.1 Skema penelitian

Anda mungkin juga menyukai