Oleh :
Sritomo Wignjosoebroto dan Purnawan Zaini *)
ABSTRAKSI
Kemajuan teknologi dalam industri penerbangan komersial memberikan banyak kemudahan bagi
awak pesawat (pilot) dalam hal pengoperasian maupun pengendalian. Kemudahan-kemudahan
tersebut bisa dicerminkan melalui penerapan Standard Operating Procedures (SOPs) yang semakin
sederhana dan mudah dipahami. Tetapi, kenyataan yang dihadapi masih banyak kecelakaan pesawat
terbang yang diduga diakibatkan oleh kesalahan pilot (human error), meskipun mekanisme kerja pilot
sudah diatur secara ketat langkah demi langkah melalui SOPs tersebut. Berdasarkan studi terakhir
yang dilakukan oleh Civil Aviation Authority (CAA) pada tahun 1998, diperoleh data bahwa dari 447
kecelakaan fatal pesawat terbang di dunia, 76% diantaranya merupakan kesalahan manusia (human
error). Dari berbagai studi kognitif yang telah dilaksanakan banyak faktor yang secara signifikan
memicu terjadinya kesalahan manusia; dimana salah satunya diakibatkan oleh meningkatnya beban
kerja mental (mental work load).
Penelitian diawali dengan identifikasi faktor-faktor signifikan yang patut diduga memberikan
pengaruh terhadap beban kerja mental pilot dalam pelaksanaan prosedur pengendalian pesawat.
Identifikasi dilakukan dengan cara melakukan wawancara terhadap sejumlah responden (pilot pesawat
terbang). Faktor faktor yang berhasil diidentifikasi meliputi fase dan kondisi penerbangan, tingkat
kecerdasan pilot, pengalaman (jam terbang), dan jenis pesawat terbang yang dioperasikan.
Berdasarkan faktor faktor tersebut selanjutnya akan disusun skenario penerbangan menurut fase dan
kondisi penerbangan kritis yang dipilih. Begitu skenario selesai dirancang, maka dengan
mengaplikasikan metode SWAT bisa dilakukan pengukuran beban kerja mental pilot. Dalam
pengukuran ini responden dikelompokkan berdasarkan jam terbang, tingkat kecerdasan dan jenis
pesawat yang dioperasikan. Setelah hasil pengukuran diperoleh maka selanjutnya dengan
memanfaatkan perancangan eksperimen faktorial akan di cari pola pengaruh faktor faktor tersebut
terhadap beban kerja mental pilot.
Kata Kunci : Ergonomi Kognitif, Human Error, Beban Mental Kerja, Metode “SWAT”.
ABSTRACT
Technological advances in the commercial aviation industry provide many simplifications for flight
deck crew in their operating or handling activity. Those simplifications are represented by Standard
Operating Procedures (SOPs) and pilots are expected to follow them whenever possible. Yet, pilot
(human) error is still one of the most often cited contributing factors to aircraft accidents. In a recent
Civil Aviation Authority (CAA) study of 447 global fatal aircraft accidents , 76 % involved a crew
primary causal factor (human error). Several cognitive ergonomics study have taken in short time ago,
there are so many significant factors that hypothetically (might be able to) stimulate the human error,
which one of them is escalating of mental workload.
This research is started with identification of significant factors that might be able to stimulate the
escalating of pilot mental workload in performing aircraft handling procedures. Identification is done
trough direct interview with several pilots beside bibliography study. Many factors will be identified,
there are flight phase, flight condition, Intelegency Quotient, experience (flight hours), and type of
aircraft. After that, flight scenarios will be created refer to critical flight phase and flight condition.
After the flight scenarios have created , then through “Subjective Workload Assesment Technique
(SWAT) Method”, the pilots mental workload can be assessed. In this assessment, the pilots are
grouped based on their experience flight hours, intelegency quotient and the type of aircraft. Finally,
the result of the assessment is used to determine the influence pattern of hypothetically factors toward
mental workload, it can be done by implementing factorial design of experiment.
Berdasarkan hasil studi yang telah dilakukan oleh Civil Aviation Authority (CAA)
pada tahun 1988 diperoleh kesimpulan dari 447 kecelakaan pesawat terbang yang
berakibat fatal, 76% diantaranya merupakan kesalahan manusia (pilot). Meskipun SOPs
sudah dirancang dengan semakin sederhana agar lebih mudah dipahami tetap
menempatkan pilot sebagai kontributor utama terjadinya kecelakaan penerbangan
(Wright, 1999). Dari berbagai studi ergonomi kognitif yang telah dilaksanakan banyak
faktor yang secara signifikan memberikan kecenderungan memicu terjadinya kesalahan-
kesalahan yang dibuat oleh manusia. Salah satunya diakibatkan oleh meningkatnya beban
kerja mental (mental workload) dari operator dalam sebuah sistem kerja (Bridger, 1995).
2. PERUMUSAN MASALAH.
Penelitian ini akan terfokus pada permasalahan beban kerja mental seperti apa yang
sering dialami oleh pilot pesawat terbang yang memiliki kaitan dengan kecenderungan
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia (human error) yang bisa menyebabkan
terjadinya kecelakaan. Data/informasi yang diperlukan untuk penelitian diperoleh dengan
cara mewawancarai beberapa pilot yang memiliki pengalaman (jam terbang) cukup dari
sebuah maskapai penerbangan nasional.
3. ERGONOMI KOGNITIF
Kemajuan pesat di bidang teknologi informasi --- bersamaan dengan keinginan untuk
perbaikan produktivitas dan kondisi manusia --- telah membuat ketrampilan fisiologik
yang hanya meliputi kemampuan motorik dan kekuatan tenaga manual tidak bisa lagi
digunakan sebagai satu-satunya alat untuk melakukan analisa terhadap performansi kerja
manusia. Dilain pihak pertimbangan kemampuan/keterampilan intelektual dan kognitif
juga semakin diperlukan. Sehingga dari perkembangan tersebut, memaksa untuk dengan
segera diperkirakan sebuah pengkajian yang memungkinkan terakomodasikannya
kemajuan-kemajuan yang ada.
2
4. BEBAN KERJA MENTAL (MENTAL WORK LOAD).
Karena kemampuan orang untuk memproses informasi sangat terbatas, hal ini akan
mempengaruhi tingkat kinerja yang dapat dicapai. Pengujian beban kerja dilingkungan
penerbangan muncul dari kebutuhan untuk menyakinkan bahwa kebutuhan untuk
menerbangkan pesawat tidak melebihi batas-batas kemampuan dari seorang pilot.
Prosedur penerapan metode SWAT terdiri dari dua tahapan, yaitu tahap penskalaan
(Scale Development) dan tahap penilaian (Event Scoring). Pada langkah pertama, 27
kombinasi tingkatan beban kerja mental diurutkan dengan berdasarkan persepsi yang di
pahami oleh responden. Data hasil pengurutan kemudian ditransformasikan kedalam
sebuah skala interval dari beban kerja dengan range 0-100. Pada tahap penilaian, sebuah
aktivitas atau kejadian akan dinilai dengan dengan menggunakan rating 1 sampai 3
(rendah, sedang, dan/atau tinggi) untuk setiap tiga dimensi atau faktor yang ada. Nilai
skala yang berkaitan dengan kombinasi tersebut (yang didapat dari tahap penskalaan)
kemudian dipakai sebagai nilai beban kerja untuk aktivitas yang bersangkutan.
Semaksimal mungkin diusahakan agar selama proses pengumpulan data dalam penerapan
metode SWAT tidak mengganggu pekerjaan dari subyek (pekerja) yang diteliti.
6. METODOLOGI PENELITIAN.
3
Tentunya pengujian dengan menggunakan metode ANOVA ini dilakukan setelah asumsi
dasar yaitu normalitas distribusi dan homogenitas varian data terpenuhi. Untuk
memastikan normalitas distribusi data digunakan pengujian (test) Chi-Square; sedangkan
untuk homogenitas varian data akan dilakukan dengan memanfaatkan uji Bartlett.
Untuk faktor jam terbang akan dibagi menjadi 2 (dua) tingkatan, yaitu mereka (pilot)
yang memiliki jam terbang < 5000 jam; dan yang memiliki jam terbang > 5000 jam. Hal
tersebut dengan sebuah anggapan bahwa seorang pilot yang telah memiliki 5000 jam
terbang akan memiliki tingkat kedewasaan yang memadai dalam pengendalian sistem
pesawat. Mereka yang telah mencapai tingkatan seperti ini biasanya sudah dapat
dijadikan sebagai kapten dalam penerbangan. Selanjutnya mengenai faktor tingkat
kecerdasan (IQ) akan dibedakan menjadi Superior dan Very Superior . Sebagian besar
responden penelitian yang akan dijadikan nara-sumber berada pada kedua level tersebut.
4
5.2. Identifikasi Variabel Kontrol
Analisa ini dilakukan untuk tiga tujuan. Pertama adalah prototyping dan penentuan
penggunaan jenis skala pada tiap responden melalui analisa Kendall’s Coefficient of
Concordance. Kedua adalah axiom test yang ditujukan untuk menilai validitas model
aditif dari data; dan yang ketiga adalah scaling solution yaitu merupakan proses
perhitungan skala yang akan digunakan oleh tiap responden.
5
Dalam penelitian yang telah dilakukan, nilai Kendall’s Coefficien of Concordance
yang perhitungannya dilakukan dengan menggunakan software SWAT adalah sebesar
0.6825. Artinya tidak mungkin untuk menggunakan GSS. Solusi yang memungkinkan
adalah menggunakan PSS atau ISS yang pilihan alternatifnya tergantung dari hasil Axiom
Test yang akan dilakukan.
• Axiom Test.
Axiom Test dilakukan untuk menguji kesesuaian model aditif dan kekonsistenan
terhadap pengurutan kartu. Dalam Axiom Test akan di uji 3 (tiga) sifat dasar dari model
aditif, yaitu idependensi, penggagalan ganda dan idependensi gabungan. Axiom Test akan
dilakukan secara bertahap. Sebagai langkah awal dilakukan Prototype Axiom Test untuk
menguji apakah data pengurutan kartu ( scale development) responden dapat dianggap
memenuhi sifat dasar model aditif pada prototype yang bersangkutan (sesuai hasil
perhitungan prototype correlation). Bila pelanggaran terhadap independensi dan
idenpendensi gabungan < 20, maka data pengurutan kartu responden dapat dianggap
memenuhi sifat dasar model aditif pada prototype yang bersangkutan. Dengan demikian
data scale development dapat ditangani dengan menggunakan metode PSS unttuk
menghasilkan skala SWAT. Apabila pelanggaran aksioma > 20, maka harus dilakukan
Individual Axiom Test untuk menyelidiki apakah apakah data pengurutan kartu responden
dapat dianggap memenuhi sifat dasar model aditif. Jika hasil Individual Axiom Test ini
menunjukkan pelanggaran terhadap idependensi dan idependensi gabungan < 20, maka
data pengurutan kartu responden dapat dianggap memenuhi sifat dasar model aditif. Data
scale development dapat ditangani dengan metode ISS untuk menghasilkan skala SWAT.
Bilamana hasil Individual Axiom Test ini masih menunjukkan pelanggaran aksioma > 20,
maka data responden tersebut sebaiknya di drop dari penelitian. Dalam penelitian ini,
Prototype Axiom Test memperlihatkan bahwa pada seluruh prototype terjadi pelanggaran
terhadap sifat-sifat aditifitas < 20. Hal ini berarti akan digunakan metode Prototyped
Scaling Solution (PSS) untuk menghasilkan skala SWAT.
• Scaling Solution
Phase kedua dari SWAT adalah Event Scoring yang merupakan tahap penilaian situasi
yang ingin di evaluasi beban kerja mentalnya. Dalam tahapan ini responden disodori
pernyataan-pernyataan yang merefleksikan situasi-situasi tertentu yang akan diukur beban
kerjanya. Situasi-situasi yang akan dimunculkan merupakan gabungan dari faktor phase
penerbangan dan faktor kondisi penerbangan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam
hal ini responden diminta memberikan rating untuk Time Load, Mental Effort Load, dan
Psychological Strees Load terhadap situasi yang dimunculkan. Tanggapan responden
tentang situasi yang dimunculkan dilakukan dengan memberikan skor 1, 2 atau 3 untuk
ketiga dimensi dalam SWAT. Level 1, 2 atau 3 tersebut sama definisinya dengan apa yang
terdapat dalam kartu-kartu yang digunakan dalam phase penskalaan (scale development).
Responden yang akan melakukan penilaian dipilih secara acak berdasarkan tingkat
kecerdasan (IQ), jam terbang dan jenis pesawatnya. Data mengenai hal tesebut dapat
dilihat pada tabel 1 & 2.
6
5.6. Pengolahan Data Event Scoring Phase (ESP)
Berdasarkan nilai skala SWAT, hasil perhitungan scaling solution yang telah
dilakukan sebelumya, rating event scoring tersebut akan di transformasikan dengan
disesuaikan pada prototype tiap responden. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 3 dan 4.
Data yang berasal dari tabel 3 & 4 tersebut akan dimanfaatkan sebagai dasar untuk
menyelidiki pengaruh faktor dugaan berikut interaksinya terhadap beban kerja mental
melalui aplikasi teori perancangan eksperimen faktorial. Seperti yang dijelaskan
sebelumnya, bahwa sebelum perhitungan ANOVA perlu dilakukan terlebih dahulu
pengujian asumsi dasar dari metode ANOVA tersebut , yaitu melalui pengujian
kenormalan data dan pengujian homogenitas varian data.
7
5.7.1. Uji Kenormalan
Dari hasil Chi-Square Test diperoleh kesimpulan bahwa data yang digunakan dalam
percobaan ini baik untuk block design pesawat Fokker 28 maupun Boeing 737 adalah
normal. Hal tersebut terbukti pada nilai signifikan F sebesar 0.992 untuk block design
Fokker 28, dan 0.380 untuk block design Boeing 737. Angka tersebut lebih besar dari
0.05 (akurasi). Dengan kejadian tersebut cukup kuat untuk menyatakan penerimaan
terhadap H0, dimana H0 data berdistribusi normal.
Hasil uji Bartlett menunjukkan bahwa seluruh faktor baik pada block design Fokker
28 maupun Boeing 737 memiliki nilai X2 hitung < X2tabel pada akurasi 0.05. Sehingga hal
ini memberikan jaminan yang cukup kuat untuk menerima H0, dimana H0 menyatakan
varian dari semua level pada setiap faktor adalah sama atau dapat dikatakan homogen.
8
5.7.3. ANOVA
Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa untuk jenis pesawat Fokker 28 faktor
utama C (IQ), interaksi faktor A x C, B x C, C x D, A x B x C, A x C x D, dan B x C x
D tidak berpengaruh secara siginifikan terhadap beban kerja mental pilot pesawat
Fokker 28 dalam pelaksanaan prosedur kerjanya. Dimana faktor A adalah phase
penerbangan, faktor B kondisi penerbangan, dan faktor D jam terbang pilot. Untuk jenis
pesawat Boeing 737 faktor utama C (IQ), interaksi faktor A x C, C x D, dan A x B x C
x D tidak berpengaruh secara signifikan terhadap beban kerja mental pilot pesawat
Boeing 737 dalam pelaksanaan prosedur kerjanya. Ada satu hal yang cukup menarik
dari hasil ANOVA ini, yaitu ternyata faktor IQ (Intelligency Quotient) secara statistik
tidak pernah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beban kerja mental baik
pada pilot Fokker 28 maupun pilot Boeing 737.
Sebagai tindak lanjut dari ANOVA, maka akan dilakukan pengujian mean setelah
ANOVA pada faktor-faktor utama yang terbukti berpengaruh secara signifikan untuk
melihat pengelompokan dari perlakuan/level dalam memberikan pengaruhnya terhadap
variabel dependen beban kerja mental. Pengujian ini menggunakan SNK test, dan hanya
faktor kondisi penerbangan (faktor B) saja yang akan di uji. Karena faktor ini terdiri dari
4 level ,maka perlu diketahui pengelompokan dari masing-masing level dalam
memberikan pengaruhnya terhadap beban kerja mental pilot. Sedangkan faktor-lainnya,
seperti faktor fase penerbangan (faktor A) dan faktor jam terbang (faktor D) hanya terdiri
dari dua level. Artinya, begitu faktor-faktor tersebut secara statistik terbukti berpengaruh
secara signifikan terhadap beban kerja mental pilot, maka hal itu berarti pula terdapat
perbedaan yang cukup signifikan diantara kedua levelnya. Hasil perhitungan SNK test ini
bisa dilihat bahwa pada pilot pesawat Fokker 28 dimana keempat level dalam faktor
kondisi penerbangan memberikan pengaruh yang berbeda. Artinya terbentuk sub-set dari
empat level tersebut. Sedangkan pada pilot pesawat Boeing 737, hanya terdiri dari 3 sub-
set dari empat level yang ada; dimana engine fire dan engine failure ternyata memberikan
pengaruh yang hampir sama saja terhadap beban kerja mental pilot pesawat Boeing 737.
Untuk mengetahui kondisi mana yang paling terbebani, dapat dilihat pada perhitungan
estimated marginal mean setiap level dari faktor yang ada. Dari hal tersebut bisa diketahui
beban kerja rata-rata dari setiap level pada faktor-faktor utama yang terbukti berpengaruh
signifikan. Dan kondisi yang paling terbebani adalah kondisi yang terletak pada interaksi dari
level tiap faktor dengan rata-rata (mean) beban kerja mental (mental workload) yang paling
besar.
9
Tabel 6. Kondisi Paling Terbebani (B-737)
Dalam perhitungan ini faktor IQ tidak dilibatkan, karena faktor tersebut tidak
berpengaruh secarah siknifikan terhadap beban kerja mental (mental workload) pilot
Fokker 28 maupun Boeing 737. Pada Tabel 5 dan Tabel 6 angka yang bertanda bintang
(*) merupakan level dengan beban terberat pada tiap faktor. Dari tabel tersebut dapat
disimpulkan bahwa kondisi yang paling terbebani oleh faktor-faktor tersebut, baik pada
pesawat Fokker 28 maupun Boeing 737 adalah saat penerbangan sampai pada phase
approach landing, tiba-tiba muncul keadaan abnormal karena faktor kelistrikan (total
electrical fail); dan lebih gawat lagi pesawat justru lagi dikendalikan oleh pilot dengan
jam terbang dibawah 5000 jam.
6. Kesimpulan
Berdasar analisa yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut :
• Secara individu faktor IQ (Intelligency Quotient) sesuai dengan uji statistik tidak
pernah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap beban kerja mental baik pada
pilot Fokker 28 maupun pilot Boeing 737. Disisi lain faktor phase penerbangan,
faktor kondisi penerbangan dan faktor jam terbang pilot telah terbukti memberikan
pengaruh yang cukup signifikan terhadap beban kerja mental pada pilot kedua jenis
pesawat tersebut .
• Dalam hal interaksi antara faktor didapatkan kesimpulan untuk jenis pesawat Fokker
28, faktor AxC, BxC, CxD, AxBxC, AxCxD, dan BxCxD, tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap beban kerja mental pilot pesawat Fokker 28 dalam pelaksanaan
prosedur kerjanya. Dimana faktor A - phase penerbangan, faktor B - kondisi pener
bangan , faktor C – IQ pilot, dan faktor D - jam terbang pilot. Untuk jenis pesawat
Boeing 737, interaksi faktor AxC, CxD, dan AxBxCxD juga tidak berpengaruh secara
signifikan. Interaksi antar faktor selain yang disebutkan diatas telah terbukti
berpengaruh secara signifikan.
• Hasil perhitungan SNK test, menunjukkan pada pilot pesawat Fokker28, keempat
level dalam faktor kondisi penerbangan memberikan pengaruh yang berbeda. Artinya
terbentuk empat sub-set dari empat level tersebut. Sedangkan pada pesawat Boeing
737, hanya terdiri dari 3 sub-set dari empat level yang ada dimana engine fire dan
engine failure ternyata memberikan pengaruh yang hampir sama terhadap beban kerja
mental pilot Boeing 737.
10
• Kondisi terbang pada pesawat jenis Fokker 28 maupun jenis Boeing 737 yang
paling terbebani oleh faktor-faktor yang secara signifikan berpengaruh adalah saat
penerbangan berada dalam phase Approach Landing, dan secara tiba-tiba terjadi
abnormalitas pada sistem kelistrikannya (Total Electrical Fail) dimana pesawat
dikemudikan oleh seorang pilot dengan jam terbang dibawah 5000 jam.
Karena berbagai kendala teknis yang dihadapi, secara sadar penelitian yang
dilaksanakan masih banyak melakukan simplifikasi sehingga kemungkinan bisa
menghasilkan ketidak-telitian maupun validitas dari data yang diperoleh. Oleh karena itu
satu hal yang patut disarankan untuk penelitian semacam ini adalah sebaiknya
menggunakan semacam fasiltas (flight simulator) yang mampu mensimulasikan keadaan-
keadaan (events) yang sebenarnya yang akan dinilai.
7. Daftar Pustaka
Goettl, Barry P. (1996). The Spacing Effect in Aircraff Recognition. The Journal of
Human Factors and Ergnomics Society, Volume 38, No. I, March 1996.
McCormick, Ernest J. and Sanders, Mark S. (1992). Human Factors in Enginering and
Design. New York : McGraw-Hill Book Co.
McFadden, K.L. (1997) . Predicting Pilot Error Incidents of US Airline Pilots Using
Logistic Regression. Journal of Applied Ergonomics : Human Factors in Technology and
Society Volume 28, Number 3, June 1997.
Moray, Nevile. (1979). Mental Workload : Its Theory and Measurement. New York :
Plenum Press.
Reid, Garry B, Scoot S. Potter, Rein Bressler (1989). Subjective Workload Assesment
Technique (SWAT) : A Users Guide (U). Harry G. Human Systems Command-Wright
Patterson Air Force Base, Ohio - USA.
Urban, Julie M, et al. (1996). Effects of Workload and Structure on Team Processes
and Performance: Implications for Complex Team Decision Making. The Journal of
Human Factors and Ergonomics Society. Volume 38 Number 2, June 1996.
Wright, Petter; Pocock, Steven; and Fileds, Bob (1999). work The Prescription and
Practice of on Flight Deck. Departement of Computer Science, University of York, UK.
11