Anda di halaman 1dari 128

RISET

PROFESIONALISME HAKIM :
Studi Tentang Putusan Pengadilan Tingkat
Pertama dalam Perkara Perdata dan Pidana di
Indonesia

Oleh :
Tim Peneliti Komisi Yudisial RI
Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati.SH.,M.Hum (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Dr. Djohansjah,SH,M.Hum. (Mantan Hakim Agung, Universitas Pelita Harapan)
Alxander Lay, S.H.,LL.M ( Advokat kantor Pengacara Todung Mulya Lubis)
Lousiana Maria,SH ( Advokat kantor Pengacara Todung Mulya Lubis)
Kelik Wardiono,SH.MH (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Abdul Bari,SH (Universitas Pelita Harapan)

Komisi Yudisial
Mei -2009
2

Kata Pengantar

Puji syukur, Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan

karunia dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian ini.

Pemahaman terhadap keadaan dan perkembangan hakim di Indonesia saat ini, antara lain

dapat dilihat dari bagaimana hakim menjalankan tugas-tugas profesionalnya, sebagaimana

tercermin dalam putusan-putusan yang dibuatnya, karena di dalam putusan yang dibuat oleh

hakim tersebut akan terlihat, bagaimana penguasaan hakim atas ilmu hukum, kemampuan

berpikir yuridiknya, kemahiran yuridiknya, serta kesadaran dan komitmen profesionalnya.

Penelitian yang berjudul : PROFESIONALISME HAKIM :Studi Tentang Putusan

Pengadilan Tingkat Pertama dalam Perkara Perdata dan Pidana di Indonesia , merupakan

penelitian yang dilakukan oleh Komisy Yudisial bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi

baik negeri dan swasta yang telah menjadi mitra kerja Komisi Yudisial. Sebagai rasa syukur atas

terselesaikannya penelitian ini, ungkapan rasa terima kasi, kami haturkan kepada Para Komisioner

di Komisi Yidisial berserat seluruh staf-nya, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas

sehingga terlaksananya penelitian ini. Ucapan terimak kasih juga kami haturkan kepada rekan-

rekan peneliti dari masing-masing perguruan tinggi yang menjadi mitra kerja dari komisi Yudisial.

Pada akhirnya penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum

dan hukum pada mmumnya.

Jakarta, September 2009

Tim Peneliti
3

Daftar Isi

H
al
Kata Sambuatan dari ketua Komisi Yudisial…………………………………………………….. i
Kata Pengantar….…………………………………………………………………………………... iii
Daftar Isi……………………………………………………………………………………………... iii
Daftar Tabel …………..………………………………………………………………………….. iv

I PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………………... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………………………………….. 10
D. Metode Penelitian…………………………………………………………………………. 10

BAB. II LANDASAN TEORETIS………………………………………………………………………. 14


A. Putusan Hakim dalam Hierarkhi Struktur Hukum Indonesia…………………………. 14
B. Independensi Kekuasaan Kehakiman…………………………………………………… 19
C. Profesionalisme Hakim……………………………………………………………………. 20

BAB. III KERANGKA PEMIKIRAN……………………………………………………………………… 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………………………………………… 46


A. Penguasaan atas Ilmu Hukum………………………………………………………… 49
1. Penguasaan atas Ilmu Hukum dalam Putusan Pidana……………………… 50
2. Penguasaan Atas Ilmu Hukum dalam Putusan Perdata……………………… 56
B. Kemampuan Berpikir Yuridik ………………………………………………………… 61
1. Kemampuan Berpikir Yuridik dalam Putusan Pidana………………………… 62
2. Kemampuan berpikir yuridik dalam putusan perdata…………………………. 67
C. Kemahiran yuridik ……………………………………………………………………… 76
1. Kemahiran yuridik dalam putusan pidana……………………………………… 78
2. Kemahiran yuridik dalam putusan perdata……………………………………… 91
D. Kesadaran serta komitmen profesional………………………………………………... 105
1. Pendampingan Penasihat Hukum (Advokat)…………………………………… 106
2. Kesalahan Pengetikan …………………………………………………………… 109

BAB. V PENUTUP…………………………………………………………………………………….. 113


A. Simpulan…………………………………………………………………………………. 113
B. Saran……………………………………………………………………………………… 120

DAFTAR PUSTAKA 121


4

Daftar Tabel

H
a
l

Tabel. 1 Penggunaan yurisprudensi dan doktrin dalam putusan pidana………………………. 79

Tabel. 2 Penggunaan yurisprudensi dalam putusan pidana………………………………………


81

Tabel. 3 Penggunaan doktrin dalam putusan pidana…………………………………………… 86

Tabel. 4 Penggunaan yurisprudensi dan doktrin dalam putusan perdata……………………… 91

Tabel. 5 Penggunaan yurisprudensi dalam putusan perdata…………………………………… 95

Tabel. 6 Penggunaan doktrin dalam putusan perdata……………………………………………..


100
5

BAB. I

PENDAHULUAN

E. Latar Belakang Masalah

berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas,


maka dengan undang-undang yang paling buruk pun,
saya akan menghasilkan putusan yang adil

Taverne

Pernyataan Taverne di atas, mengingatkan pada pendapat bahwa hakim sebagai

personifikasi lembaga peradilan, mengemban amanah yang tidak ringan. Didalam membuat

keputusan hakim tidak saja dituntut memiliki kemampuan inteketual, akan tetapi juga diharapkan

memiliki moral dan integritas yang tinggi, bahkan pada titik tertentu, hakim juga harus mempunyai

tingkat keimanan dan ketaqwaan, mampu berkomunikasi dengan baik, serta dapat menjaga peran,

kewibawaan dan statusnya dihadapan masyarakat 1, sehingga hasil-hasil kerjanya dapat

mencerminkan rasa keadilan, menjamin kepastian hukum dan dapat memberikan manfaat bagi

masyarakat.

Dalam konteks yang demikian Ronald Dworkin, menyatakan bahwa: “judges are the

princes of law’s empire”. Sejalan dengan itu J.R. Spencer menyebutkan bahwa : “ the judgment

1
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di Bidang
Peradilan, Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta, 10
Januari 2003, page.iii
6

was the word of God ”. Hal yang relatif sama juga dikemukakan oleh Roeslan Saleh yang

mengungkapkan, bahwa: “kerja hakim merupakan pergulatan melawan kemanusiaan” 2

Demikian luhur misi yang diemban oleh hakim, sehingga konstitusi (Pasal 24 ayat (1)

UUD 1945) dan peraturan perundang-undangan (UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman jo UU No. 14/1985 jo UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung) meletakkan

dasar hukum yang kuat, berkaitan dengan tugas, fungsi dan kedudukan hakim.

Tapi pernyataan yang ingin menunjukkan, bagaimana tugas, fungsi dan kedudukan ideal

yang seharusnya terlihat dari seorang hakim ketika membuat putusan, seperti terungkap di atas,

seringkali tidak mempunyai gema dan kehilangan resonansinya, ketika harus berbenturan dengan

struktur-struktur realitas yang didominasi oleh berbagai kepentingan, yang justru menenggelamkan

makna hakim dan lembaga peradilan sebagai sebuah entitas yang mempunyai kehidupan sendiri.

Dari perspektif internal, proses-proses pembuatan putusan tidak dapat dilepaskan dari

kegiatan bernalar hakim. Kegiatan bernalar dari Hakim dengan beragam motivering3 yang

menopangnya, selalu berada dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir

yuridis4 yang terpelihara dalam sebuah sistem autopoesis, sehingga dapat berkembang menurut

logikanya sendiri, dan eksis sebagai sebuah model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-

tugas profesionalnya.

2
Adi Sulistiyono, Pengembangan Kemampuan Hakim Dari Perspektif Sosiologis, Makalah
disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Kemampuan Hakim, Kerjasama Komisi Yudisial,
Pengadilan Tinggi, Fakultas Hukum Universitas SamRatulangi; tanggal 21-22 Oktober di Hotel Ritzy
Manado
3
Motivering adalah pertimbangan yang bermuatan argumentasi, lihat Bernard Arief Sidharta,
Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum, dalam I.S. Susanto dan Bernard L. Tanya (Ed.), Wajah Hukum
di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, Hal. 206
4
Sidharta, Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum,
hal. 4
7

Di lingkungan peradilan umum, model penalaran hukum yang dipergunakan oleh hakim,

telah berkembang seiring dengan munculnya berbagai pemikiran tentang hukum, baik yang

bersumber dari kelompok pemikir yang berada dalam domain ilmu dogmatik hukum, teori hukum,

maupun domain filsafat hukum, yang berada di dalam lingkungan keluarga sistem hukumnya

masing-masing.

Adanya keragaman tawaran konsep (concept), proposisi atau pernyataan ( proposition,

statement) dan penalaran (reasoning) yang ada pada kelompok pemikir dimasing-masing domain,

menyebabkan setiap pengemban hukum memiliki keleluasaan untuk melakukan pilihan terhadap

satu orientasi berpikir yuridis (model penalaran) tertentu, sesuai dengan tugas-tugas profesional

pengembanan hukum yang dilakukannya .

Hanya saja, pilihan-pilihan tersebut tidaklah dapat dilakukan dalam ruang hampa. Proses-

proses internal (kognitif) dalam kegiatan menalar, haruslah selalu merujuk pada beragam kode 5

5
Penciptaan sistem kode sebagai hasil sistem komunikasi yang dilakukan oleh semua sistem
didalam masyarakat, ebagaimana dekemukakan oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David
Schiff, “ …. To put this in simpler terms, what occurs within modern society is the growth of
specialist languages. This is a system of differentiation. But the differentiation is not at the level of role or
function (law is a dispute resolution system, politics is a decsion making system, etc), but in language.
Different systems of communication encode the world in different ways. The legal system encodes
the world into what is legal and illegal. Medicine encodes the world into what is healthy and
unhealthy. Science encodes the world into what is true or false. Accountancy constructs the
world into debits and credits. The Economy perceives the world in terms of profits and losses . Lihat lebih
lanjut Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David Schiff, The Autonomy Of Law: An Introduction
to Legal Autopoiesis dalam David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence, London :
Butterworth, 2003.
8

yang diproduksi dan direproduksi secara otonom oleh hukum sebagai sebuah sistem autopoesis 6.

Dalam hal ini Hakim sebagai salah satu pengemban hukum praktis, harus mampu menemukan,

membaca, menafsirkan dan menerapkan kode-kode hukum dengan baik dan benar, sebagai

bagian dari upaya untuk melakukan “ .... encodes the world into what is legal and illegal.... ”7

Dalam arena discursive field diantara berbagai metode penalaran yang seharusnya

digunakan oleh para hakim di dalam membuat putusan, metode penalaran deduktif, yang

tertambat erat pada madzab hukum positivistik menjadi pilihan utama (bila tidak dapat dikatakan

menjadi satu-satunya pilihan), yang secara perlahan menjelma menjadi kekuatan yang

menghegemoni, untuk kemudian memarginalisasikan atau bahkan pada taraf-taraf tertentu

membungkam8 metode penalaran lain yang seharusnya juga dapat digunakan.

Alur sejarah pembuatan putusan hakim peradilan umum di Indonesia adalah perjalanan

sejarah penerapan model penalaran deduktif, meskipun di periode tertentu dan dalam kasus

khusus, terdapat putusan pengadilan (hakim) yang menyempal dari mainstream penalaran deduktif

6
Hukum sebagai suatu sistem autopoesis pertama kali diperknalkan oleh Niklass Lukhman, yang
dikembangkan dan diperdalam lebih lanjut oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, David Schiff. Hukum
sebagai suatu sistem autopoesis dibangun dari dua konsep utama, yaitu: (1) The law is defined as an
autonomous system whose legal operations form a closed network. This idea of an autopoietic
operational closure is different from the inadequate concept of relative autonomy (e.g. Lempert
1987), which regards law as being more or less dependent on society and the main question is to
determine empirically the precise balance between its internal and external causation; (2)
Heteronomy (law's interrelationship with other social domains) is treated as 'structural coupling'.
This view, expounded by Maturana, involves the multiple membership of legal communications in
other autonomous domains. lihat lebih lanjut David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence,
Butterworth: London, 2003. bandingkan dengan Gunther Teubner and Alberto Febbranjo, State, Law and
Economy As Autopoeitic System : Regulation and Autonomy in A New Perspective, Milan : Dot. A Giuffre,
1992. sedangkan untuk pengertian unsur-unsur sistem autopoesis, lihat Goerge Ritzer dan Douglas J
Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasij sampai Perkembangan Mutkahir Teori Sosial
Postmodern, diterjemahkan oleh Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008, hal 357-358
7
Ibid.
8
Daniel Sparringa, Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang Demokratis : Kajian
Politik, Disampaikan dalam seminar nasional Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang
Demokratis dan Konggres Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Dipenegoro Semarang, Tanggal 15-15 April 1998, hal. 4.
9

tersebut. Sebuah kekuatan yang oleh Satjipto Rahardjo disebut sebagai kekuatan hukum progresif,

yaitu kekuatan yang menolak dan ingin mematahkan keadaan status quo. Mempertahankan status

quo adalah menerima normativitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka

kelemahan di dalamnya lalu bertindak mengatasi. Hampir tidak ada usaha untuk melakukan

perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara "biasa-biasa" saja

(business as usual).9

Hakim Agung Bismar Siregar10, yang seringkali mengandalkan hati nurani dalam

mengambil keputusan11, dan kadangkala melakukan terobosan hukum dalam menegakkan

keadilan. Demikian pula Benjamin Mangkudilaga, yang tidak mau terkooptasi begiu saja terhadap

kekuasan eksekutif orde baru, serta dipandang sebagai ikon seorang hakim yang punya integritas

9
Satjipto Rahardjo, Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif, http://unisosdem.org/ekopol_ detail.php?
aid=4438&coid=3&caid=21. sumber kompas 6 september 2004
10
Hal ini antara lain terlihat ketika Beliau menjadi hakim Pengadilan Tinggi Sumatra Utara,
menambah vonis pengadilan tingkat pertama sampai 10 kali lipat. Ini dilakukannya pada perkara Cut
Mariana dan Bachtiar Tahir, dari yang semula divonis 10 bulan penjara oleh PN Medan karena tuduhan
memperdagangkan 161 kilogram ganja kering, kemudian dirubah, masing-masing menjadi 15 dan 10
tahun penjara. Demikain pula ketika Bismar mengubah hukuman bagi seorang kepala sekolah yang
mencabuli muridnya sendiri, dari tujuh bulan (oleh PN Tanjungbalai) menjadi tiga tahun (oleh Pengadilan
Tinggi Sumut). Dalam kasus ini Bismar menafsirkan kata barang dalam Pasal 378 KUHP yang
dituduhkan dilanggar oleh terdakwa bisa berarti "jasa". Ini dikaitkannya dengan istilah bonda (barang)
dalam bahasa Tapanuli, yang juga bisa berarti alat kelamin. Lihat Ensiklopedi Tokoh Indonesia, Bismar
Siregar (01) Cermin Kebeningan Nurani Hakim http://tokohindonesia.com/ ensiklopedi/b/bismar-
siregar/biografi/01.shtml, 26-10-2006
11
Sebab baginya, hati nurani tidak bisa diajak berbohong. Dia merasa sangat bersyukur dan bahagia
sekali tidak masuk lingkaran hakim yang bisa disuap atau dibeli. Karena itu Bismar Siregar, satu
pendekar hukum langka yang berani melawan arus demi tegaknya keadilan. Baginya, undang-undang,
hukum dan kepastian hukum, hanya sarana untuk mencapai keadilan.
10

diri dalam menegakkan keadilan. 12 Merupakan contoh dari para hakim yang tidak begitu saja

merapkan logika deduktif di dalam putusan-putusannya.

Dua ikon tersebut memberi sinyal, bahwa ditengah dominasi dan hegemoni penerapan

logika deduktif masih terdapat hakim-hakim “kecil” lain, yang termarginalisasikan dan

terpinggirkan, baik ditingkat nasional maupun lokal 13, yang memilih dengan sadar, penerapan

logika yang berbeda dengan logika deduktif, karena bagaimana pun --- sebagaimana dikemukakan

oleh Satjipto Rahardjo --- kekuatan hukum progresif akan mencari berbagai cara guna

mematahkan kekuatan status quo.

Munculnya model penalaran deduktif yang tertambat erat dengan madzhab filsafat hukum

positivistik demikian kuat mengakar dalam dunia peradilan Indonesia. “Kesetiaan” pada optik yang

bersifat preskriptif, dengan tujuan utama membuat keputusan guna mencapai nilai dasar kepastian

hukum, serta selalu berupaya mensterilkan hukum dari faktor-faktor ekstra legal (memandang

hukum sebagai lembaga otonom), sepertinya tidak pernah tergoyahkan oleh berbagai perubahan

yang terjadi, dan “kebal” terhadap berbagai kritik yang dilontarkan.

Para ahli hukum dari keluarga sistem hukum civil law, pada dasarnya berada dalam arus

besar pemikiran bahwa “law as it is written in the books ”. Pola penalaran ini makin mendapat

penguatan pada abad ke-19, yakni setelah Hans Kelsen mengintrodusir ajaran Hukum Murni

12
Saat menjadi Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, beliau memenangkan
gugatan majalah Tempo yang dibredel pemerintah Orde Baru, terhadap Menteri Penerangan Harmoko.
Sebelumnya, ia juga telah memenangkan gugatan lima perusahaan future trading terhadap Menteri
Perdagangan yang mencabut SIUP mereka. Juga menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap
terdakwa Lince, yang membunuh suaminya sendiri di Pengadilan Negeri Bandung, pada 1986. Serta
putusan menolak gugatan petani Cimacan, Jawa Barat, yang lahannya dijadikan lapangan golf.
13
Hasil penelitan Bank Dunia pada tahun 2004, menemukan sejumlah idealis dan para vigilante di
tingkat lokal. Ada jaksa yang dengan inisiatif sendiri melakukan terobosan untuk mempercepat proses
peradilan. Ada hakim yang tidak mau diajak korupsi meski akhirnya harus dikucilkan, Lihat lebih lanjut
World Bank, Village Justice In Indonesia, Case studies on access to justice, village democracy and
governance, February 2004
11

(Reine Rechtslehre )-nya. Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, para ahli hukum [Eropa] kontinental

memang memandang hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan

hukum nasional. Akibatnya metode penalaran (termasuk metode penelitian) yang dikembangkan

para ahli hukumnya adalah doktrinal, bersaranakan terutama pada logika deduksi untuk

membangun sistem hukum positif14

Interaksi model penalaran deduktif yang dipergunakan oleh hakim di lingkungan peradilan

umum, dengan berbagai model penalaran lain yang dikenal dalam teori hukum dan filsafat hukum

yang bersumber dari keluarga civil law ataupun common law, sepertinya tidak dapat menembus

konsepsi inti mindset dari para hakim yang terbangun oleh tradisi ilmu yang berakar pada ilmu

hukum yang muncul sejak ilmu hukum Romawi muncul pada abad ke 1 s/d 4, 15 kemudian

dikembangkan oleh Irnerius di stadium civile Bologna pada abad ke- 14, dan berpengaruh sangat

kuat di Eropa sampai ke Amerika pada abad ke-19. 16

Dari perspektif eksternal, proses-proses kegiatan pembuatan keputusan oleh hakim, tidak

dapat dilepaskan dari konteks kerangka teoretis, filosofis dan paradigma yang diyakininya, yang

acapkali --- secara sadar ataupun tidak --- dimuati dan tercampur oleh kepentingan-kepentingan

kultural, sosioligis, dan politis. Hal ini yang kemudian menyebabkan, pemikiran apriori, pra-

anggapan, prasangka dan praduga tentang klaim kebenaran dari keputusan yang dibuat tumbuh

subur dilingkungan komunitas hakim. Klaim tersebut kemudian diperkuat oleh argumen-argumen

para filosof hukum, teoretisi, maupun praktisi berdasarkan landasan paradigma, aliran filsafat dan

kerangka teoretisnya yang dikukuhinya.

14
Soetandyo Wignjosoebroto, Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, makalah yan
disampaikan pada penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar, 4 – 5
Februari 1994, hal. 1 – 3.
15
Shidarta, Op. Cit, hal. 171
16
Ibid, hal. 167
12

Selama ini belum pernah dilakukan penelitan secara komprehensif tentang karakteristik

putusan pengadilan tingkat pertama di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Henri Kuok

yang menyatakan bahwa, kajian studi tentang institusi peradilan pada umumnya dan Mahkamah

Agung pada khususnya kurang menarik minat para sarjana. Dibandingkan dengan studi tentang

kepresidenan, parlemen, ataupun militer, studi tentang institusi peradilan Indonesia terbilang

sangat sedikit.17 Untuk itulah melalui penelitian ini akan dikaji lebih jauh dan mendalam bagaimana

sesungguhnya profil putusan hukum dari hakim-hakim di Indonesia, khususnya untuk perkara

pidana dan perdata di lingkungan peradilan umum.

Era reformasi yang bergulir sejak tahun 1998, memberi harapan besar bagi seluruh rakyat

Indonesia, untuk melakukan perubahan dan perbaikan disegala bidang termasuk bidang hukum

dan pengadilan. Hanya saja sebagaimana dikemukakan oleh Moh. Mahfud MD, --- dengan

merujuk pada pendapat M. Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari 3 bagian,

yaitu substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum ----:

Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar menyangkut pada isi
hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum baru menyangkut struktur
organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh para penegak hukumnya. Begitu
juga budaya hukum belum banyak disentuh dalam proses reformasi. Seperti kita
ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah semua UU yang dianggap
tidak kondusif bagi demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari UU bidang
politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan sebagainya
Begitu juga kita sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga
penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk
memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah disatu atapkan
di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk Mahkamah Konstitusi
dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi; bahkan kita juga sudah
membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Peradilan HAM, Peradilan Tipikor,
dan berbagai peradilan khusus lainnya. Namun dalam kaitan structure ini kita
belum memperbaiki birokrasi dalam arti pejabat penegak hukum sehingga upaya

17
Hendri Kouk, Di Antara Reruntuhan Pilar Mahkamah Agung, http://www.asmakmalaikat.com/
go/artikel/hukum/hukum10.htm
13

pemberantasan KKN mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri


aparat sendiri.
Ada pun pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya belum
dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum di sini harus
diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan, dan perilaku
masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi penegakan hukum.
Pembangunan budaya hukum harus dilakukan bukan karena budaya hukum kita
merupakan budaya korup, melainkan karena kita perlu menghidupkan kembali
budaya hukum yang baik yang telah lama kita miliki. 18

Pergumulan antara upaya untuk mewujudkan salah satu nilai dasar hukum, yaitu

kepastian hukum, dengan tuntutan untuk memperhatikan dan mengupayakan terwujudnya nilai

dasar hukum yang lain, yaitu keadilan dan kemanfaatan, menjadi pusaran utama dalam arena

diskursif dalam menentukan model putusan yang idealnya dipergunakan oleh hakim dalam

menjalankan fungsi-fungsi pengembanan hukumnya.

F. Rumusan Masalah

Berdasarkan problematika penelitian sebagaimana terdeskripsi dalam latar belakang di

atas, maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah, :

1. Bagaimanakah karakteristik profesionalisme hakim, dalam

menerima, memeriksa dan memutus tindak pidana, pada peradilan tingkat pertama

(pengadilan negeri) di Indonesia?

2. Bagaimanah karakteristik profesionalisme hakim, dalam

menerima, memeriksa dan memutus sengketa perdata, pada peradilan tingkat pertama

(pengadilan negeri) di Indonesia?

18
Moh. Mahfud MD, Pengadilan dan Demokrasi “Rabaan Diagnosa dan Terapi, makalah
disampaikan dalam dalam Dinner Lecture yang diselenggarakan oleh Komite Indonesia untuk
Demokrasi (KID) di Hotel Ciputra Surabaya, 21 Nopember 2007. hal. 9
14

G. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan yang dicapai melalui penelitian

ini adalah:

1. untuk mendeskripsikan karakteristik profesionalisme hakim,

dalam menerima, memeriksa dan memutus tindak pidana, pada peradilan tingkat pertama

(pengadilan negeri) di Indonesia

2. untuk mendeskripsikan karakteristik profesionalisme hakim,

dalam menerima, memeriksa dan memutus sengketa perdata, pada peradilan tingkat pertama

(pengadilan negeri) di Indonesia

Manfaat yang akan diperoleh melalui penelitian ini adalah sebagai berikut :

2. Dengan mendasarkan pada unsur-unsur yang menentukan profesionalisme hakim, dapat

diketahui, unsur-unsur yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan profesionalisme hakim,

dan unsur-unsur yang perlu dipertahankan atau dikembangkan.

3. Dengan diketahuinya kelemahan-kelemahan dan kelebihan dari putusan pengadilan

tingkat pertama, baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, maka secara praktis

dapat dijadikan sebagai panduan materi bagi hakim dalam menemukan, menfasirkan hukum

dan membuat putusan,

H. Metode Penelitian
15

Adapun metode-metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi hal-hal

sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang dilakukan dengan

pendekatan doktrinal, karena dalam penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma

tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau oleh pejabat negara yang

berwenang. Hukum dipandang sebagai suatu lembaga yang otonom, terlepas dari lembaga-

lembaga lainnya yang ada di masyarakat. Oleh karena itu pengkajian yang dilakukan,

hanyalah ”terbatas” pada putusan pengadilan dilingkungan peradilan umum, khususnya untuk

perkara-perkara pidana dan perdata

Dari berbagai jenis metode pendekatan yuridis normatif yang dikenal, peneliti memilih

bentuk pendekatan normatif yang berupa, penemuan hukum in-conreto.

2. Spesifikasi Penelitian

Tipe kajian dalam penelitian ini lebih bersifat deskriptif, karena bermaksud

menggambarkan secara jelas dan rinci tentang karakteristik profesionalisme hakim dalam

memutus perkara dalam sengketa perdata dan tindak pidana dalam pemeriksaan tingkat

pertama (pengadilan negeri) di Indonesia.

3. Sumber dan Jenis Data

Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berupa

putusan-putusan peradilan di lingkungaan peradilan umum, yang diputuskan pada


16

pemeriksaan tingkat pertama (pengadilan negeri), yang terdiri dari. 149 perkara perdata dan

59 perkara pidana.

Sumber utama data sekunder yang dipergunakan berasal dari pengadilan negeri

yang tersebar di 70 (tujuh puluh) Kabupaten/ kota di Indonesia, yaitu:

Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri Pengadilan Negeri


Medan Cibinong Lumajang Donggala
Pelalawan Riau Bandung Situbondo Tondano
Pekanbaru Yogyakarta Kabupaten Kotamobagu
Pasuruan
Padang Wonosari Kuala Kapuas Singkawang
Tanjung Pati (Kab. Li- Sleman Kolaka Martapura
ma Puluh Kota,
Sumatera Barat)
Bengkulu Bantul Banjarmasin Palu
Arga Makmur Pengadilan Niaga di Kota Baru Putusibau
(Bengkulu Utara) PN. Semarang
Manna (Bengkulu) Surakarta Menado Ketapang
Palembang Sukoharjo Palangkaraya Sintang
Muara Enim Karanganyar (Jateng) Makale Makasar
Kayu Agung Purwokerto Enrekang Mentawai
Lahat Pemalang Ternate Bajarbaru
Lubuk Linggau Cilacap Kendari Sanggau
Sekayu Semarang Sinjai Poso
Jakarta Selatan Kendal Pangkajene Palu
Jakarta Pusat Malang Labuha Pontianak
Tanggerang Kepanjen Mempawah
Serang Kabupaten Magelang Bulukumba

4. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data sekunder adalah studi

kepustakaan. Dalam hal ini pengumpulan data dilakukan dengan cara, mencari,

mengiventarisasi dan mempelajari putusan-putusan pengadilan dari berbagai pengadilan

negeri. Adapun instrumen pengumpulan yang digunakan berupa form dokumentasi, yaitu
17

suatu alat pengumpulan data sekunder, yang berbentuk format-format khusus, yang dibuat

untuk menampung segala macam data, yang diperoleh selama kajian dilakukan.

5. Metode Analisis Data

Data yang telah terkumpul dan telah diolah, dianalisis dengan menggunakan metode

normatif kualitatif, yakni suatu pembahasan yang dilakukan dengan cara menafsirkan dan

mendiskusikan data-data yang telah diperoleh dan diolah, berdasarkan (dengan ) norma-

norma hukum, doktrin-doktrin hukum dan teori hukum yang ada

Analisis pada tahap awal dilakukan dengan cara melakukan inventarisasi terhadap

peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang menjadi objek kajian.

Data yang terkumpul akan diidentifikasikan secara analitis doktrinal, dengan menggunakan

teori Hukum Murni dari Hans Kelsen.

Sedangkan untuk tahap kedua akan dilakukan analisis yang dilakukan dengan cara

mendiskusikan putusan-putusan pengadilan yang telah diiventarisir dengan norma-norma

hukum, doktrin-doktrin hukum dan teori hukum yang ada, sehingga pada tahap akhirnya akan

ditemukan hukum in-concreto-nya.


18

BAB. II

LANDASAN TEORETIS

D. Putusan Hakim Dalam Hierarkhi Struktur Hukum Indonesia

Untuk mengetahui kedudukan putusan Hakim yang oleh Sudikno Mertodikusumo diartikan

sebagai “…suatu pernyataan yang oleh Hakim, sebagai pejabat Negara yang diberi wewenang

untuk itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu

perkara atau sengketa antara para pihak 19, dalam sistem hukum di Indonesia, dapat mendasarkan

pada Teori Reine Rechtslehre (The pure theory of law, teori hukum murni) dari Hans Kelsen.

Teori murni tentang hukum ini, bermaksud melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan

objek ilmu hukum. Meskipun diakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis, sosiologis,

filosofis dan sebagainya, akan tetapi yang dikehendakinya adalah “teori yang murni” mengenai

hukum. Setiap suatu kaidah hukum merupakan suatu susunan dari kaidah-kaidah ( stufenbau).

Dipuncak “stufenbau” terdapat “grundnorm” atau kaidah fundamental yang merupakan hasil

pemikiran yuridis. Suatu tata kaidah hukum merupakan sistem kaidah-kaidah hukum secara

hierarkis, yaitu: (1) Kaidah hukum dari konstitusi; (2) Kaidah hukum umum atau abstrak dalam

undang-undang atau hukum kebiasaan; (3) Kaidah hukum individual atau kaidah hukum konkrit

pengadilan20.

Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan: “Dalam menyelesaikan suatu sengketa antara dua

pihak atau ketika menghukum seorang terdakwa dengan suatu hukuman, pengadilan menerapkan

19
Sudikno Mertodikusumo, Hukum Acara Perdata, Yogjakarta: Liberty, 1988, hal 167
20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: UI-
Press, 1986, hal. 127-128
19

suatu norma umum dari hukum undang-undang atau kebiasaan. Tetapi secara bersamaan

pengadilan melahirkan suatu norma khusus yang menerapkan bahwa sanksi tertentu harus

dilaksanakan terhadap seorang individu tertentu. Norma khusus ini berhubungan dengan norma-

norma umum, seperti undang-undang berhubungan dengan konstitusi. Jadi, fungsi pengadilan,

seperti halnya pembuat undang-undang, adalah pembuat dan penerap hukum. Fungsi pengadilan

biasanya ditentukan oleh norma-norma umum baik menyangkut prosedur maupun isi norma yang

harus ia buat, sedangkan pembuat undang-undang biasanya ditentukan oleh konstitusi hanya

menyangkut prosedur saja.21

Sehubungan dengan hal diatas, Otje Salman berpendapat bahwa “... hukum itu bersifat

hierarkis artinya hukum itu tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas

derajatnya. Dimana urutann\ya adalah sebagai berikut : yang paling bawah itu putusan badan

pengadilan, atasnya undang-undang dan kebiasaan, atasnya lagi kontitusi dan yang paling atas

disebutnya grundnorm. Kelsen tidak menyebutkan apa itu grundnorm, hanya merupakan

penafsiran yuridis saja dan menyangkut hal-hal yang bersifat metayuridis” 22.

Dengan demikian putusan badan peradilan adalah norma yang ditujukan kepada peristiwa

konkrit yang disebut norma khusus. Norma khusus adalah penerapan dan pembentukan hukum

yang bersandar kepada norma umum berupa undang-undang dan kebiasaan. Norma umum juga

merupakan penerapan dan pembentukan hukum yang bersandar kepada norma dasar berupa

21
Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State)
diterjemahkan oleh raisul Muttaqien, Cet. Pertama, Bandung : Penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa,
2006, hal. 193
22
Otje Salman, Sosiologi Hukum, Suatu Pengantar, Bandung: Armico, 1987, hal.. 11
20

konstitusi. Begitupun norma dasar bersandar kepada grundnorm (Hans Kelsen) yang bersifat

metayuridis atau natural law (K.C. Wheare). Struktur norma dapat digambarkan sebagai berikut 23:

Bagan Struktur Norma Hukum

Y Grundnorm
U GN
R
I
S
Konstitusi
Konstitusi
P
R Per. Per-UU-an
U
D Norma Hukum & kebiasaan
E
N
S Putusan Badan
I
Norma Khusus Peradilan

Pendapat Otje Salman yang menggambarkan norma yang bersifat hierarkhis dalam arti

hukum tidak bersifat bertentangan dengan ketentuan yang lebih atas derajatnya. Putusan

pengadilan berada pada urutan paling bawah, dan di atasnya undang-undang dan kebiasaan,

diatasnya lagi konstitusi dan yang paling atas disebutnya grundnorm.

Selanjutnya Hans Kelsen berpendapat bahwa putusan pengadilan adalah suatu tindakan

penerapan norma umum, dan dalam waktu yang bersamaan adalah pembentukan norma khusus,

23
Irfan Fachruddin, Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah ,
Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003, Hal. 252
21

dan norma khusus tidak hanya mengikat bagi kasus tertentu yang ditanganinya, akan tetapi dapat

melahirkan suatu norma yang umum pada kasus-kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh

pengadilan pada masa mendatang. Sebagaimana dijelaskan oleh Hans Kelsen: Putusan

pengadilan dapat juga melahirkan suatu norma umum. Putusan pengadilan bisa memiliki kekuatan

mengikat bukan hanya bagi kasus tertentu yang ditanganinya saja melainkan juga bagi kasus-

kasus serupa yang mungkin harus diputus oleh pengadilan. Suatu putusan pengadilan bisa

memiliki karakter sebagai yurisprudensi, yaitu putusan yang mengikat bagi putusan mendatang

dari semua kasus yang sama. Namun demikian, suatu putusan dapat memiliki karakter sebagai

yurisprudensi hanya jika putusan itu bukan merupakan penerapan suatu norma umum dari hukum

substantif yang telah ada sebelumnya, hanya jika pengadilan bertindak sebagai pembuat

peraturan.24

Putusan pengadilan tidak terlepas dari keadilan yang diberikan hakim. Menurut Hans

Kelsen, keadilan adalah suatu kualitas yang berhubungan tidak dengan isi dari perintah positif,

tetapi pada pelaksanaannya. Keadilan berarti menjaga berlangsungnya perintah positif dengan

menjalankannya secara bersungguh-sungguh. 25

Hans Kelsen mengatakan, keadilan adalah kebahagian sosial. Pendapat Hans Kelsen ini

tercermin dalam Ideologi Negara Republik Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya Sila Kelima:

“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sila Kelima ini mengandung pengertian bahwa

keadilan meliputi pemenuhan tuntutan-tuntutan hakiki bagi kehidupan jasmani dan rohani/materiil

dan spritual manusia, yaitu bagi seluruh rakyat Indonesia secara merata berdasarkan atas asas

24
Hans Kelsen, Op., Cit, hal. 194
25
Djohansjah, J, , ’Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman”, hal. 56
22

kekeluargaan. Sila kelima tersebut menjabarkan keadilan dalam pengertian tata sosial masyarakat,

yaitu lebih ditinjau dalam pengertian kesejahteraan rakyat/masyarakat.

Keadilan yang diberikan hakim dalam putusannya harus berdasarkan hukum positif,

karena hukum positif (peraturan perundangan) merupakan kehendak dari kedaulatan rakyat, yang

mempunyai legitimasi sebagai hukum yang mengikat, sehingga hakim tidak boleh mengambil

putusan yang bertentangan dan menyimpang dari apa yang telah diatur oleh hukum positif dan

hakim tidak dapat menggali hukum apabila hukum tersebut telah diatur dalam hukum positif.

Keadilan semacam ini adalah keadilan dalam arti legalitas, adalah suatu kualitas yang

berhubungan bukan dengan isi dari tata hukum positif, melainkan dengan penerapannya

Oleh karena itu, undang-undang harus dapat mencerminkan keadilan bagi semua individu.

Keadilan berarti juga kebahagian bagi masyarakat atau setidak-tidaknya, untuk sebagian besar

masyarakat (the greatest happiness of the greatest number of people). Pendapat seperti ini

dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang kemudian dikenal sebagai paham Utilitarian yang

merupakan pengembangan dari Aliran Positivisme Hukum. Jeremy Bentham yang didukung oleh

John Stuart Mill, berpendapat bahwa penilaian moral dari suatu perbuatan didasarkan atas hasil

atau akibat dari perbuatan itu. Jeremy Bentham tidaklah membedakan lagi antara upaya mengejar

kebahagian individu dengan upaya mengejar kebahagian umum. Asal saja sebagian besar

masyarakat secara pribadi-pribadi sudah merasa bahagia, maka sudah tercapailah tujuan hukum

diciptakan.
23

E. Independensi Kekuasaan Kehakiman

Hakim dalam mengambil putusan tidak terlepas dari kebebasannya yang dikenal dengan

Independensi Kekuasaan Kehakiman.

Indepensi kekuasan kehakiman tercantum dalam pasal 24 ayat (1) UUD Amandemen ke-

tiga (Tahun 1999) yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia adalah kebebasan atau kemerdekaan

hakim untuk menjalankan tugasnya menyelenggarakan peradilan secara tidak memihak, semata-

mata berdasarkan fakta dan hukum, tanpa pembatasan, pengaruh, bujukan, tekanan atau

intervensi, langsung maupun tidak langsung, dari pihak manapun dan/atau untuk alasan apapun,

demi tujuan keadilan berdasarkan Pancasila. Independensi Kekuasan Kehakiman setidak-tidaknya

mempunyai dua aspek yaitu:

1. Dalam arti sempit, independensi kekuasaan kehakiman berarti “independensi institusional”

atau dalam istilah lain disebut juga “independensi struktural” atau independensi eksternal”

atau “independensi kolektif”

Independensi institusional memandang lembaga peradilan sebagai suatu institusi atau

struktur kelembagaan, sehingga pengertian independensi adalah kebebasan institusi atau

lembaga peradilan dari pengaruh lembaga lainnya, khususnya eksekutif dan legislatif.

2. Dalam arti luas “independesi kekuasaan kehakiman meliputi juga “independensi individual”

atau “independensi internal” atau “independensi fungsional’ atau “independensi normatif”.

Pengertian independensi personal dapat dilihat juga dari setidak-tidaknya 2 sudut, yaitu:
24

a. Independensi personal, yaitu independensi seorang hakim terhadap pengaruh sesama

hakim atau koleganya;

b. Independensi substantif, yaitu independensi hakim terhadap kekuasaan manapun,

baik ketika memutuskan suatu perkara maupun ketika menjalankan tugas dan

kedudukannya sebagai hakim.

Independensi individual meletakkan hakim sebagai titik sentral dari seluruh pengertian

independensi, yaitu kebebasan dari segala pengaruh dari luar apapun bentuknya.

F. Profesionalisme Hakim

Pasal 32 UU N0.4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menetapkan bahwa:

“hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan

berpengalaman di bidang hukum.”

Sebagai pelaku utama badan peradilan, maka posisi dan peran hakim sebagai aparat

penegak hukum di semua tingkat pengadilan menjadi sangat penting, terlebih dengan segala

kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, seorang hakim misalnya : dapat mengalihkan

hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan

sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan

penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu, tugas dan wewenang yang

dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam kerangka penegakkan hukum, kebenaran, dan

keadilan sesuai peraturan perundang-undangan, kode etik tanpa pandang bulu dengan tidak

membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, di mana setiap orang

sama kedudukannya di depan hukum ( equality before the law) dan hakim. Kewenangan hakim
25

yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang

diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

mengandung arti bahwa kewajiban menegakkan kebenaran dan keadilan itu wajib

dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal

dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa 26.

Beranjak dari peran dan posisi hakim sebagaimana dikemukakan di atas, aspek

profesionalisme merupakan salah satu aspek yang harus dimiliki, agar seorang hakim dapat

menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya dengan baik, karena sebagaimana dikemukana oleh

Roscoe Pound, ”problem yang lazim dihadapi oleh berbagai negara adalah di mana penegakan

hukum tidak berjalan menurut seharusnya disebabkan oleh faktor sumber daya manusia dan

bukan karena faktor hukum itu sendiri”. Pendapat yang demikian menunjukkan bahwa faktor

sumber daya manusia (aparat penegak hukum) sangat mempengaruhi efektivitas penegakan

hukum, sebab faktor aparat ini diakui memegang peran utama dalam upaya penegakkan hukum

dan keadilan dan bukan terletak pada peraturan perundang-undangan 27. Hal ini sejalan dengan

ungkapan filosof Taverne, yang menyatakan: “berikanlah saya seorang jaksa yang jujur dan

cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan undang-undang yang

paling burukpun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.” 28

26
Chatamarrasjid Ais, Pola Rekrutmen Dan Pembinaan Karir Aparat Penegak Hukum Yang
Mendukung Penegakan Hukum, Makalah disampaikan dalam kegiatan Seminar Tentang Reformasi
Sistem Peradilan Dalam Penegakan Hukum di Indonesia, yang diselenggarakan oleh BPHN
bekerjasama dengan FH UNSRI dan Kanwil Dephukham Prop. Sumatera Selatan, di Palembang 3 – 4
April 2007, hal. 1-2
27
Ibid, hal. 4.
28
Adi Sulistiyono, Pengembangan Kemampuan Hakim Dari Perspektif Sosiologis, Op. Cit, hal. 9
26

Profesionalisme hakim, antara lain dapat dilihat dari aspek : penguasaan atas ilmu hukum,

kemampuan berpikir yuridik, kemahiran yuridik, kesadaran serta komitmen profesional. 29 Hal ini

sejalan dengan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law

Asia Region (yang kemudian diamandemen di Manila, 28 Agustus 1997) yang menetapkan, bahwa

sikap profesionalisme hakim dibangun oleh tiga pilar utama, yaitu nilai-nilai kecakapan

(competence), kejujuran (integrity), dan kemerdekaan (independence), yang diperlukan untuk

menegakkan kebenaran dan keadilan.

Penguasaan atas Ilmu Hukum meliputi pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan

secara sistematik, metodik dan rasional atas asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan

hukum, baik pada tingkat lokal, nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran

hukum dasar atau bidang-bidang hukum pada sektor-sektor kehidupan manusia.

Dari sudut kompetensi-keras (hard competence), profesionalisme hakim diukur antara lain

dari mutu putusannya. Putusan atas suatu perkara ditentukan oleh penguasaan hakim atas

bidang-bidang keilmuwan yang relevan. Survei yang diselenggarakan Bureau of Labor Statistics di

Amerika Serikat terhadap para hakim pada tahun 2005, sebagai misal, mencatat ada tiga puluh

tiga disiplin ilmu yang dinilai vital untuk dikuasai hakim. Mulai dari bidang hukum dan pemerintahan

(99%) hingga pengetahuan produksi pangan (3%).

Di Indonesia, paling tidak untuk saat ini, tuntutan penguasaan keilmuwan yang variatif

seperti atas jelas sukar dipenuhi. Oleh karena itu, sesuai studi UNODC (2006), yang lebih dapat

diupayakan adalah penekanan hakim pada bidang spesialisasi tertentu. Dengan penguasaan yang

lebih optimal dan spesifik akan materi persidangan, dapat diharapkan putusan hakim menjadi lebih

tinggi kualitasnya.
29
Komisi Hukum Nasional, Reformasi Dan Reorientasi Pendidikan Hukum Di Indonesia,
Jakarta/Bandung, 2004, hlm. 53-54. Tersedia: http://www.khn.go.id. Diakses tanggal 5 September 2006.
27

Penguasaan ilmu hukum yang mendalam, sangat dibutuhkan bagi seorang Hakim karena

adanya kewenangan yang dimilki oleh hakim untuk melakukan penggalian, penemuan hukum dan

penciptaan hukum

Kemampuan berpikir yuridik, yang meliputi kemampuan menalar (reasoning) dalam

kerangka tatanan hukum yang berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional, maupun

internasional) untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya

dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum ( rechtsidee) yang mencakup ide tentang

kepastian hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam

masyarakat melalui penegakan kaidah-kaidah hukum. Termasuk di dalam ide kemampuan Legal

reasoning ini adalah kemahiran intelektual untuk: (a) mengakses, menggunakan serta mengolah

informasi secara tepat dan rasional; (b) berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik secara lisan

maupun tertulis); (c) mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam rangka

pengambilan keputusan hukum ( legal decision making) yang tepat.

Penalaran hukum (legal reasoning) menurut Neil MacCormick adalah, “… one branch of

practical reasoning, which is the application by humans of their reason to deciding how it is right to

conduct themselves in situations of choice .”30 Jika mengikuti batasan tersebut, secara umum

penalaran hukum adalah jenis berpikir praktis (untuk mengubah keadaan), bukan sekadar berpikir

teoretis (untuk menambah pengetahuan).

Legal reasoning diartikan sebagai pencarian “ reason” tentang hukum atau pencarian dasar

tentang bagaimana seorang hakim memutuskan perkara/ kasus hukum, seorang pengacara meng-

argumentasi-kan hukum dan bagaimana seorang ahli hukum menalar hukum. Legal reasoning juga

30
Neil MacCormick, Legal reasoning and Legal Theory (Oxford: Oxford University Press, 1994),
halaman. ix
28

dapat diartikan suatu kegiatan untuk mencari dasar hukum yang terdapat di dalam suatu peristiwa

hukum, baik yang merupakan perbuatan hukum (perjanjian, transaksi perdagangan, dan lain-lain)

ataupun yang merupakan kasus pelanggaran hukum (pidana, perdata, ataupun administratif) dan

memasukkannya ke dalam peraturan hukum yang ada. 31

Bagi para hakim legal reasoning ini berguna dalam mengambil pertimbangan untuk

memutuskan suatu kasus. Sedangkan bagi para praktisi hukum legal reasoning ini berguna untuk

mencari dasar bagi suatu peristiwa atau perbuatan hukum dengan tujuan untuk menghindari

terjadinya pelanggaran hukum di kemudian hari dan untuk menjadi bahan argumentasi apabila

terjadi sengketa mengenai peristiwa ataupun perbuatan hukum tersebut. Bagi para penyusun

undang-undang dan peraturan, legal reasoning ini berguna untuk mencari dasar mengapa suatu

undang-undang disusun dan mengapa suatu peraturan perlu dikeluarkan. Sedangkan bagi

pelaksana, legal reasoning ini berguna untuk mencari pengertian yang mendalam tentang suatu

undang-undang atau peraturan agar tidak hanya menjalankan tanpa mengerti maksud dan

tujuannya yang hakiki.

Bagi beberapa ahli hukum formulasi tentang legal reasoning sebagaimana disebutkan di

atas mengandung pengertian yang ambigu mengenai apakah legal reasoning adalah reasoning

tentang hukum, yaitu apakah reasoning tersebut mengenai: (i) reasoning untuk mencari dasar

tentang substansi hukum yang ada saat ini, atau (ii) reasoning yang diambil dari substansi hukum

yang ada itu yang harus diterapkan pada putusan yang harus diambil terhadap perkara yang

dihadapkan kepada hakim saat ini.

Para ahli juga berbeda pandangan mengenai formulasi tentang bagaimana hakim

memutuskan perkara, yang menurut mereka mengandung juga ambigu, yaitu apakah dalam
31
Sebagian besar bagian ini diambil dari tulisan Asril Sitompul, S.H., LL.M, Pengantar Tentang Legal
reasoning, http://pihilawyers.com/blog/?p=35
29

memutus perkara, hakim harus mencari reasoning dari substansi hukum positif yang ada

mengenai kasus tersebut ataukah hakim harus mempertimbangkan semua aspek yang ada

termasuk isu mengenai moral dan lain-lain?

Dengan perbedaan ini para ahli teori hukum mengambil tiga pengertian tentang legal

reasoning yaitu:

1. Reasoning untuk mencari substansi hukum untuk diterapkan dalam masalah yang sedang
terjadi.
2. Reasoning dari substansi hukum yang ada untuk diterapkan terhadap putusan yang harus
diambil atas suatu perkara yang terjadi.

3. Reasoning tentang putusan yang harus diambil oleh hakim dalam suatu perkara, dengan
mempertimbangkan semua aspek.

Terdapat beberapa Kerangka Analitis tentang Legal reasoning, yaitu :

a. Reasoning melalui contoh

Pola dasar legal reasoning adalah reasoning melalui contoh. Namun dalam pelaksanaannya

terdapat beberapa hal yang menjadi bahan perdebatan di antara pada ahli hukum terutama di

negara yang menganut case law (common law).

Pembatasan terhadap kebebasan para Hakim untuk tidak keluar dari contoh legal reasoning

yang di peroleh dari pengadilan terdahulu. Hal ini oleh para ahli hukum di Amerika Serikat

sebagai membatasi kebebasan para hakim untuk menggunakan kemampuannya untuk melihat

kasus yang diadilinya.

Akibat doktrin yang kaku ini para hakim seakan kehilangan kebebasannya untuk mencari

perbedaan di dalam suatu kasus dengan kasus-kasus yang sudah diputuskan terdahulu.

Dalam perkembangan teori hukum para ahli mengharapkan bahwa hakim tidak hanya

berupaya melihat kasus melalui “mata” para pendahulunya, akan tetapi juga harus dapat
30

melihat kasus yang diadilinya melalui matanya sendiri. Di negara yang menganut sistem

hukum common law seperti Amerika Serikat dan Inggris juga terjadi perdebatan mengenai

penerapan legal reasoning yang didasarkan pada doktrin “ stare decisis” yang mewajibkan para

hakim untuk tetap mengacu kepada preseden dari kasus terdahulu.

Di Inggris, Montrose misalnya telah menyatakan secara eksplisit bahwa dalam kerangka

analitis reasoning melalui contoh, pandangan kebanyakan hakim di Inggris, terutama pada

dekade akhir-akhir ini, adalah bahwa praktek peradilan Inggris modern membatasi kebebasan

hakim Inggris untuk mengesampingkan reasoning yang diajukan oleh pengadilan terdahulu.

Sementara Cross menyatakan keberatannya bahwa akibat dari penerapan doktrin preseden

tersebut secara kaku adalah bahwa hakim-hakim sering harus melihat hukum melalui mata

para pendahulunya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ia tidak sepakat bahwa tugas hakim di

Amerika hanya untuk melihat hukum sebagai suatu yang tetap secara keseluruhan, dan

menurutnya melihat hukum melalui matanya sendiri dan bukan melalui mata para

pendahulunya tidak akan membawa kepada pola yang secara dominan merupakan penolakan

dari reasoning yang diajukan oleh hakim terdahulu atau membuat perbedaan apabila tidak

terdapat alasan untuk membedakan peristiwa yang terjadi.


31

b. Reasoning Kasus per Kasus

Legal reasoning yang telah tersusun melalui kasus yang sudah diputuskan oleh hakim

terdahulu diikuti oleh hakim yang mengadili kasus yang terjadi sesudahnya dengan kegiatan

mencari dan membangun legal reasoning secara kasus per kasus. Jadi meskipun telah terjadi

suatu kasus yang sejenis berkali-kali, namun dalam menyusun argumentasi di dalam opininya,

hakim harus mendasarkan legal reasoning secara khusus untuk setiap kasus tertentu.

Ada berbagai pihak yang menyatakan keberatannya bahwa analisis legal reasoning ini

terlalu banyak menekankan kepada perbandingan antara suatu kasus dengan kasus yang lainnya

dan sedikit sekali penekanan kepada penciptaan konsep-konsep hukum (legal concepts). Memang

benar bahwa persamaan antara suatu kasus dengan kasus lain adalah terlihat dalam susunan

kata-kata, dan ketidakmampuan untuk mengungkapkan kesamaan atau perbedaan akan

menghambat perubahan hukum.

Kata-kata yang ditemukan di dalam suatu putusan kasus di masa lalu mempunyai

ketetapannya sendiri dan mengendalikan keputusan yang telah diambil itu. Sebagaimana

diutarakan oleh Judge Cardozo dalam membicarakan suatu metofora, bahwa: “suatu perkataan

dimulai dengan kebebasan dalam berpikir dan berakhir dengan memperbudaknya”.

Pergerakan dari suatu konsep ke dalam dan keluar bidang hukum harus menjadi

perhatian. Jika suatu masyarakat yang telah memulai untuk memperhatikan pentingnya kesamaan

atau perbedaan, maka perbandingan akan timbul dengan kata-kata. Apabila kata-kata itu akhirnya

diterima, maka ia akan menjadi konsep hukum.


32

Dalam penyusunan konsep hukum berdasarkan legal reasoning ini terjadi lingkaran

konsepsi hukum sebagai berikut:

Tahap yang pertama adalah penciptaan konsep hukum yang terjadi sebagaimana

diutarakan di atas yaitu dengan membandingkan suatu kasus dengan kasus-kasus yang lain,

kemudian tahap yang kedua adalah periode di mana konsep tersebut sedikit banyaknya menjadi

suatu yang tetap, meskipun reasoning melalui contoh terus berlangsung untuk mengklasifikasikan

hal-hal yang ada di luar dan di dalam konsep tersebut. Tahap ketiga adalah tahap di mana terjadi

keruntuhan konsep tersebut, apabila reasoning melalui contoh kasus telah bergerak ke depan dan

membuktikan bahwa ketetapan yang dibuat melalui kata-kata tidak lagi diperlukan, dan dimulai lagi

penciptaan konsep hukum yang baru, dan kemudian mengalami reasoning kembali, demikian

seterusnya yang terjadi sebagai suatu lingkaran yang tak terputus.

Proses reasoning dengan berdasarkan case law adalah cara berpikir induktif dan bahwa

reasoing dengan menggunakan undang-undang adalah cara berpikir deduktif. Namun pendapat ini

tidak sepenuhnya benar. Dengan menggunakan case law konsep yang tercipta didapat dari

contoh-contoh yang tertentu. Hal ini tidak mencerminkan induktif sepenuhnya, tetapi arahnya

memang dari khusus ke umum. Telah dibuktikan bahwa ketentuan umum mendapatkan artinya

dalam hubungan-hubungan yang terjadi pada kasus-kasus khusus. Akan tetapi ia juga mempunyai

kemampuan untuk mendorong implikasi dari kasus yang menjadi hipotesis yang dibawanya dan

bahkan dengan kemampuan untuk mendorong kategori yang lain yang mempunyai kesamaan.

Kata-kata “bahaya yang ada” misalnya mengandung arti “dekat”, “terkait” dan juga “jelas”. Dengan

demikian kata-kata ini mendorong suatu contoh kasus yang terjadi untuk dimasukkan ke dalam

kategori yang sama, dan jika itu terjadi maka akan merupakan cara reasoning yang deduktif
33

Sedangkan dalam penerapan reasoning melalui undang-undang adalah datang dari arah

yang berlawanan. Suatu kata-kata telah disusun di dalam undang-undang, hal ini tidak dapat

dipandang ringan karena kata-kata tersebut merupakan kemauan pembuat undang-undang

(legislatif). Pihak legislatif mungkin saja menyimpan suatu kasus tertentu di dalam pikirannya,

tetapi yang dikeluarkan adalah kata-kata yang berbentuk terminologi umum.

Jadi dalam pelaksanaan undang-undang, keinginan legislatif adalah penting, tetapi kata-

kata yang digunakan tidaklah cukup jelas untuk dimengerti. Laporan-laporan dan catatan dalam

penyusunan undang-undang mungkin dapat menolong. Rancangan-rancangan undang-undang

terdahulu akan menunjukkan perubahan yang terjadi, tetapi bagaimanapun juga akan sulit untuk

menemukan keinginan yang pasti dari pihak legislatif, untuk itu diperlukan keahlian dalam

menafsirkan undang-undang untuk menyusun legal reasoning melalui undang-undang.

Dengan demikian dipandang bahwa penyusunan legal reasoning berdasarkan penafsiran

undang-undang adalah melibatkan cara berpikir yang deduktif, karena ketetapan yang diambil dari

kata-kata yang ada di dalam undang-undang yang sifatnya umum ditarik ke dalam suatu kasus

tertentu secara khusus.

Dalam mengkaji suatu peristiwa dan/ atau perbuatan hukum, proses legal reasoning

diperlukan untuk menjaga agar peristiwa atau perbuatan hukum tersebut tetap berada dalam

koridor ketentuan hukum yang berlaku. Dalam penyusunan undang-undang, peraturan pemerintah,

maupun dalam penyusunan peraturan internal di perusahaan atau instansi, legal reasoning ini

dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi pertentangan antara suatu peraturan dengan undang-

undang atau peraturan lainnya. Demikian pula, untuk menyelesaikan suatu sengketa hukum yang

terjadi, proses legal reasoning sangat diperlukan, untuk mendapatkan esensi dari sengketa agar

dapat menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya dalam lingkup hukum yang berlaku.


34

Pentingnya peranan interpretasi ini timbul dari berbagai dasar di antaranya, bahwa

interpretasi merupakan suatu sarana yang harus digunakan untuk mencari penyelesaian, atau

setidaknya untuk mencari jawaban yang dapat disampaikan terhadap suatu problem

ketidakpastian bahasa dalam menentukan pengertian perundang-undangan. Jika suatu kata atau

kalimat di dalam perundang-undangan tidak mempunyai arti yang tepat dan karena itu tidak dapat

dijadikan suatu dasar hukum melalui proses legal reasoning, maka haruslah ada pihak yang

menjadi penafsirnya yang memberi arti melalui proses interpretasi. Peranan pandangan ahli filsafat

hukum (di antaranya Ronald Dworkin) sangat membantu dalam memperkenalkan teori hukum

sebagai “interpretative concept” yang membawa pengaruh terhadap kegiatan hakim dan para ahli

teori hukum dalam memberi kontribusi terhadap peranan interpretasi dalam legal reasoning.

Interpretasi merupakan suatu konsep janus-faced, yaitu yang harus mempertimbangkan

dua arah, backward dan forward looking, yaitu: mencari dasar ke belakang (konsep hukum yang

sudah ada) dan merancang ke depan (menyusun konsep baru), dengan kata lain dalam

melakukan interpretasi tentang “sesuatu”, terlebih dahulu haruslah menganggap bahwa ada

“sesuatu”, yang original, yang akan ditafsirkan dan terhadap apa penafsiran yang absah itu

dilaksanakan, jadi harus dibedakan antara interpretasi dengan penciptaan murni, interpretasi

janganlah hanya diartikan sebagai upaya untuk melakukan reproduksi, tetapi juga untuk membuat

“sesuatu” atau mengambil “sesuatu” keluar dari yang aslinya.

Dari pengertian yang dualistis tersebut dapat dikatakan bahwa interpretasi mempunyai

peranan yang penting pada dua hal dalam legal reasoning, yaitu: (i) dalam reasoning untuk

menyusun substansi hukum yang ada pada masalah/ kasus yang terjadi, dan (ii) dalam menyusun

reasoning dari substansi hukum yang ada untuk mendapatkan keputusan dalam masalah/ kasus

yang sedang dihadapi.


35

Di Amerika Serikat terdapat pendapat yang menyatakan bahwa dalam menafsirkan

konstitusi, hakim harus berupaya untuk menelusuri bagaimana ketentuan-ketentuan dalam

konstitusi itu dari semula diartikan oleh pihak yang mengesahkannya. Bork menyatakan, bahwa

semakin dekat dengan pengertian aslinya maka semakin “benar” penafsiran tersebut. Pendekatan

ini menekankan pentingkan konsep backward-looking. Sedangkan Levinson menekankan

pentingnya inovasi dan menolak originalisme yang diajukan Bork. Levinson berpendapat bahwa

konstitusi perlu ditafsirkan secara kreatif karena adanya ketidakpastian bahasa dalam undang-

undang (konstitusi).

Seberapa besar peranan persyaratan bahwa hakim harus yakin terhadap sesuatu yang

harus ditafsirkan menjadi hambatan dalam penafsiran hukum, dan adakah hambatan lainnya bagi

hakim dalam penafsiran hukum?

Menurut Owen Fiss aturan disiplin dalam bentuk standar yang diterapkan bagi profesi

hakim menjadi penghambat terhadap penafsiran yuridis yang akan dilakukan oleh hakim dalam

memutus perkara, demikian pula peraturan tentang penggunaan bahasa yang dari semula sudah

merupakan hambatan para pengguna untuk mendapatkan arti yang sebenarnya dari teks undang-

undang.

Raz menolak dua jenis teori umum tentang interpretasi, yaitu teori “operasional” ( recipe-

like theories) yang dirancang untuk menjadi panduan bagi hakim untuk mendapatkan putusan yang

tepat bagi kasus yang diadilinya, dan teori yang meskipun tidak ditujukan sebagai panduan bagi

hakim dalam mengambil keputusan yang tepat akan tetapi dirancang untuk memberikan kriteria

untuk membedakan interpretasi yang baik dengan interpretasi yang tidak baik. Akan tetapi Ronald

Dworkin mendukung adanya teori umum tentang interpretasi yang dapat digunakan kegiatan

penafsiran hukum. Bagi Dworkin, adalah merupakan tujuan semua interpretasi hukum untuk
36

secara konstruktif menafsirkan praktek hukum di dalam masyarakat, dengan menekankan

tujuannya berupa: membuat suatu kemungkinan adanya contoh terbaik yang dapat diambil dari

interpretasi, akan tetapi menurut Dworkin hal itu bukan berarti memberikan panduan yang “ recipe-

like” yang memandu hakim langkah demi langkah yang terancang untuk memberikan keputusan

yang terbaik.

Teori tentang penafsiran yang lazim dianut di Indonesia berlatarbelakang dari ilmu hukum

dogmatis yang bertolak dari tata hukum yang ada dalam bentuk peraturan perundang-undangan

dalam rangka memberi arti agar dapat dimengerti secara umum melalui interpretasi yang bertujuan

memberi makna terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang ada di dalam undang-undang.

Interpretasi merupakan metode yang khas bagi ilmu hukum. Namun, di Indonesia telah ada

pendapat yang berpengaruh bahwa adakalanya penafsiran undang-undang tidak diperlukan,

sebab teks undang-undang itu sudah terang dengan sendirinya, mengerti kalimat atau kata dalam

undang-undang berarti sudah menafsirkannya. Ada beberapa jenis penafsiran yang ada dalam

sistem hukum di Indonesia, yaitu:

a. Penafsiran menurut tata-bahasa (grammaticale, talkundige interpretatie)

Penafsiran menurut tata-bahasa ( grammaticale, talkundige interpretatie ) ialah menjelaskan

maksud perundang-undangan berdasarkan pengertian-pengertian tentang kata-kata dan

istilah-istilahnya menurut tata-bahasa umum maupun bahasa teknis (bahasa hukum).

b. Penafsiran secara historis (historische interpretatie)

Penafsiran secara historis ialah untuk mengetahui maksud dan kehendak dari sang pembuat

perundang-undangan, maka harus diselidiki latar belakang sejarah pembentukannya.

Cara penafsiran ini dapat dibedakan lagi antara lain:


37

(1) penafsiran yang hanya menilik kepada sejarah pembentukan

peraturan perundangannya sendiri ( wetshistoris) dengan mempelajari segala keterangan,

penjelasan dan pembahasan yang dilakukan antara Pemerintah (Daerah) dan Dewan

Perwakilan Rakyat (Daerah) yang berhubungan dengan peraturan tersebut; dan

(2) penafsiran yang melihat kepada sejarah hukumnya

(rechtshistoris) dengan menengok jauh ke masa lampau untuk mengetahui

perkembangan lembaga hukum yang diatur dalam peraturan itu sedari dulu sampai

sekarang.

c. Penafsiran Sistematis atau dinamakan juga penafsiran dogmatis .

Penafsiran Sistematis atau penafsiran dogmatis ialah suatu cara penafsiran dimana kaidah-

kaidah hukum dalam peraturan perundangan dihubung-hubungkan satu sama lain dengan

mengkaitkannya dengan lembaga-lembaga hukum, azas-azas hukum dan sistem hukum yang

ada.

d. Penafsiran Teleologis atau Sociologis

Penafsiran Teleologis atau Sociologis ialah cara penafsiran sedemikian rupa, sehingga

kaidah-kaidah dalam peraturan perundangan yang dibuat di masa lampau dan yang dirasakan

oleh masyarakat tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan sekarang dan sesuai

dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang terdapat di kalangan rakyat. Dengan jalan ini

hakim berusaha untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan kemajuan/perkembangan

masyarakat, mengingat bahwa pada umumnya perundang-undangan ketinggalan dengan

lajunya perkembangan dalam masyarakat.

e. Penafsiran resmi (authentike atau officiele interpretatie)


38

Penafsiran resmi (authentike atau officiele interpretatie ) ialah penafsiran yang dibuat oleh

pembuat perundang-undangan sendiri mengenai arti dari istilah-istilah yang dipakai dalam

perundang-undangan itu. Dalam hal ini hakim terikat dan tidak boleh membuat penafsiran lain

yang bertentangan dengan penafsiran resmi.

f. Penafsiran bebas (vrije interpretatie)

Penafsiran bebas (vrije interpretatie) ialah cara penafsiran lainnya yang diserahkan kepada

kebijaksanaan Hakim dalam hal, cara-cara penafsiran tersebut di atas, belum juga dapat

memberikan penyelesaian yang memuaskan dalam perkara yang dihadapinya.

Selain keenam metode penafsiran tersebut diatas yang sering dan lazim dipergunakan para

Hakim, pada waktu belakangan ini dalam yurisprudensi dipergunakan metode-metode baru

dan masih jarang dipergunakan Hakim, antara lain:

g. Penafsiran fungsional

Penafsiran Fungsional ialah cara penafsiran yang sejalan dengan penafsiran teleologis

dengan perbedaannya terletak pada titik berat penilaiannya. Misalnya dalam hukum pidana

ekonomi maka fungsi ekonomilah yang dipentingkan ( het economisch funtioneren domiheert).

h. Penafsiran rasional

Penafsiran rasional ialah cara penafsiran yang didasarkan pada ratio atau akal sehat

(redelijkheid).

i. Penafsiran antisipasi atau futuristis (anticiperende of futuristische unterpretatie)

Penafsiran antisipasi atau futuristis (anticiperende of futuristische unterpretatie ) ialah cara

penafsiran yang mulai mempelakukan suatu kaidah hukum baru yang dalam kasus yang

bersangkutan, meskipun peraturan itu baru formal belum berlaku, demi untuk

menserasikannya dengan keadaan yang akan datang.


39

j. Penafsiran perbandingan hukum (rechtsvergelijkkende interpretatie)

Penafsiran perbandingan hukum ( rechtsvergelijkkende interpretatie ) ialah penafsiran dengan

jalan membanding-bandingkan keadaannya dengan lembaga-lembaga hukum yang sejenis di

negara-negara lain atau menurut sistem hukum di negara lain.

k. Penafsiran kreatif

Penafsiran kreatif menurut Hazewinkel Suringa ialah cara penafsiran untuk mendapatkan

pengertian atau unsur tertentu dalam perundang-undangan yang tidak termuat, dengan jelas

di situ, tetapi yang hustru membatasi dan mempersempit artinya dan bersifat restriktif.

l. Penafsiran penambah

Akan tetapi terdapat pula pendapat yang menyatakan bahwa penafsiran terhadap undang-

undang diperlukan, yaitu apabila teks undang-undang mengandung arti yang samar-samar,

penafsiran yang utama ada di dalam penjelasan undang-undang itu sendiri.

m. Penafsiran pelengkap

Memahami klausula dalam undang-undang dengan melakukan interpretasi penambah,

ternyata belum lengkap, karena kelengkapan yang dituju di bidang hukum tidak mungkin

keseluruhannya ditentukan oleh undang-undang, hanya sebagian yang sesuai dengan rasa

keadilan yang muncul dari teks undang-undang, sedangkan sebagian lagi tetap membisu di

dalam teks itu. Untuk itu diperlukan pencapaian untuk sampai kepada pengertian undang-

undang yang sesungguhnya sehingga benar-benar dimengerti bagaimana undang-undang

tersebut berfungsi dalam kehidupan. Ilmu hukum bukan suatu sistem yang tertutup melainkan

merupakan sistem yang terbuka bagi pertimbangan-pertimbangan baru. Suatu penafsiran

pelengkap didapatkan melalui suatu penelitian di lapangan, untuk mendapat informasi


40

tambahan bagi suatu penafsiran yang tepat, karena mustahil bagi pembuat undang-undang

untuk memikirkan semua situasi yang dapat muncul.

n. Penafsiran budaya

Di samping kedua penafsiran tersebut di atas masih terdapat suatu penafsiran yang bersifat

total, yang disebut dengan penafsiran budaya, yaitu penafsiran perkara/ kasus di bawah

pengaruh keyakinan suatu masyarakat tertentu yang bukan bersifat politis akan tetapi bersifat

sosial etis, yang menentukan apakah suatu perkara/ kasus atau masalah merupakan hal yang

layak di masyarakat tertentu. Keberatan terhadap teori ini adalah bahwa keyakinan sosial etis

sudah ada sebelum adanya ketentuan hukum atau argumen-argumen yuridis yang cocok.

Oleh karena itu, keyakinan-keyakinan sosial etis itu harus digabungkan dengan argumen

yuridis murni, agar dapat menjadi argumen yang meyakinkan, dengan demikian argumen

tersebut tidak subjektif lagi, dan menjadi penafsiran yuridis yang layak.

Kress, Marmor dan Raz berpendapat bahwa teori koherensi yang mempunyai hubungan

sejak dulu dengan filsafat, akhir-akhir ini mendapatkan tempatnya di dalam filsafat hukum. Teori

koherensi dalam hukum juga mempunyai pengaruh dalam konteks teori koherensi tentang

kebenaran, kepercayaan yang sah, etika dan keadilan. Teori Dworkin tentang hukum sebagai

integritas sebagai pendukung teori koherensi tempaknya menjawab pertanyaan ini secara lengkap:

koherensi, dalam penafsiran hukum sebagaimana berbicara dengan satu suara dengan integritas

mengharuskan adanya nilai yang ditengarai mempunyai hubungan yang relevan dengan

kenyataan hukum, dalam arti bahwa ia mempunyai peranan dalam memandu hakim untuk

mencapai suatu keputusan yang adil. Harus diperhatikan pula bahwa ketentuan-ketentuan hukum

seperti doktrin, preseden, argumen dari analogi, dan keharusan memperlakukan suatu kasus sama

seperti kasus sebelumnya tampaknya diperkuat melalui beberapa penjelasan tentang koherensi.
41

Mac Cormick memandang koherensi dalam bentuk kesatuan azas-azas pada sistem

hukum, dan menyatakan bahwa koherensi dari satu kesatuan norma hukum terdiri dari

keterhubungan mereka baik dalam bentuk realisasi suatu nilai atau nilai-nilai yang sama, atau

dalam bentuk pemenuhan suatu prinsip atau prinsip-prinsip yang sama. Raz juga memandang

koherensi dalam hukum dalam bentuk kesatuan prinsip. Semakin menyatu prinsip-prinsip yang

mendasari putusan hakim dan tindakan legislatif dalam menyusun undang-undang, semakin

koheren hukum yang dicapai.

Menurut Raz teori koherensi apabila diterapkan dalam hukum, mengharuskan adanya

“dasar”atau sesuatu yang harus dibuat koheren, yang membedakan dalam karakternya secara

krusial dari dasar-dasar lain yang ada dalam ranah koherensi di wilayah filsafat lainnya.

Raz berpendapat bahwa putusan yang terbaik adalah putusan atas suatu kasus yang

secara moral didasarkan kepada putusan yang koheren dengan hukum yang berlaku, hakim harus

menanamkan didalam pikirannya bahwa jika mereka memilih suatu jalan/ cara terdahulu, dan

muncul beberapa masalah seperti terbenturnya mereka pada perselisihan hukum yang

mencerminkan perselisihan tujuan sosial dan ekonomi terhadap hukum dan karena itu

menciptakan ketidakseimbangan dengan doktrin hukum yang berlaku, maka hal ini tidak berarti

bahwa legislator harus menyusun hukum yang bertentangan dengan doktrin yang telah diterima di

masa lalu, karena legislator mempunyai kewenangan untuk mengabaikan doktrin yang lalu dalam

memperkenalkan peraturan yang baru, dan untuk itu dapat mereformasi seluruh area hukum

terkait.

Sebaliknya hakim hanya dapat mengambil putusan mengenai masalah yang timbul dalam

suatu kasus hukum yang dibawa ke depannya, dan tidak berwenang untuk melakukan reformasi
42

hukum secara radikal. Hal ini menjadi alasan bahwa hakim harus memberi bobot yang lebih bagi

koherensi dengan hukum yang berlaku dalam memutuskan kasus yang dibawa kehadapannya.

Namun, Dworkin mempunyai pandangan yang berbeda dalam hal ini, baginya baik hakim

maupun ahli hukum teoretis harus memberi penjelasan bagaimana mereka sampai kepada suatu

kesimpulan yang menciptakan hukum. Dworkin menyatakan bahwa hukum adalah suara yang

tersusun dan koheren sebagaimana suatu kumpulan prinsip-prinsip yang berhubungan dimana

setiap anggotanya menerima kenyataan bahwa mereka terhubung dengan kenyataan bahwa hak-

hak dan tanggungjawab mereka diatur dengan prinsip yang umum.

Dworkin mendukung pandangan koherensi global, ia menyatakan bahwa keputusan

pengadilan yang tepat adalah yang didasarkan kepada koherensi yang baik dengan hukum secara

keseluruhan. Sedangkan Lavenbook mengkritik pandangan koherensi global, ia menyatakan

bahwa keunggulan koherensi global mengabaikan fakta bahwa adakalanya putusan yang sah

secara hukum didukung oleh, suatu hubungan yang koheren dengan prinsip-prinsip yang

merupakan wilayah suatu bidang hukum tertentu, akan tetapi prinsip tersebut berbeda secara

substansial dengan, dan oleh karena itu tidak koheren dengan prinsip dari bidang hukum lain.

Dalam pandangan ini, suatu putusan pengadilan yang sangat koheren dengan prinsip hukum di

bidang tertentu dapat saja tidak menghasilkan koherensi dengan keseluruhan sistem hukum.

Argumen dari preseden dan analogi merupakan hal pokok dalam legal reasoning, legal

reasoning ini berbeda dalam beberapa hal dari reasoning yang umum dilakukan orang dalam

kehidupan sehari-hari. Preseden merupakan contoh yang baik dalam hal ini, dalam kehidupan

sehari-hari, orang pada umumnya tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa ia telah

memutuskan sesuatu pada masa lalu dalam mengambil keputusan terhadap masalah yang

dihadapinya dan yang akan diputuskannya di masa depan. Berbeda dengan preseden di bidang
43

hukum, meski hukum bukan satu-satunya bidang di mana orang akan mempertimbangkan

keputusan terdahulu dalam mengambil putusan terhadap masalah yang dihadapi, berbagai praktek

lembaga juga memberi bobot yang cukup signifikan terhadap pertimbangan putusan masa lalu

dalam mengambil putusan selanjutnya. Dalam suatu lembaga biasanya pengambil keputusan akan

selalu mengacu kepada apa yang diputuskan sebelumnya sebagai pertimbangan mengenai apa

yang harus mereka lakukan saat ini, tanpa memandang apakah keputusan yang diambil di masa

lalu sudah benar atau tidak.

Demikian pula pengambil keputusan di suatu lembaga selalu mempertimbangkan

keputusan sebagai suatu kejadian yang relevan meskipun masalah yang dihadapi adalah berbeda

dari masa lalu, yaitu dengan mengutipnya sebagai suatu analogi. Mereka beralasan bahwa karena

keputusan yang lalu dibuat dalam suatu peristiwa, maka akan tidak konsisten apabila sekarang

diambil keputusan yang berbeda.

Dengan Legal reasoning dapat dipertimbangankan apa yang telah diputuskan di masa

lalu tanpa memandang kehadiran para pembuat keputusan secara personal waktu itu. Dengan

legal reasoning dapat dipertimbangkan apakah putusan masa lalu telah diambil secara tepat, akan

tetapi fokus utama adalah bahwa keputusan yang diambil saat ini haruslah tepat dan tidak

dihambat oleh pandangan tentang masalah terdahulu.

Penalaran hukum sangat dipengaruhi oleh sudut pandang dari subjek-subjek yang

melakukan penalaran. Sudut pandang tersebut antara lain dilatarbelakangi oleh keluarga sistem

hukum (parent legal system) dan posisi si penalar sebagai partisipan ( medespeler) dan/atau

pengamat (toeschouwer). Sudut-sudut pandang ini kemudian bermuara menjadi orientasi berpikir

yuridis, yakni berupa model-model penalaran di dalam disiplin hukum, yang biasanya dikenal

sebagai aliran-aliran filsafat hukum.


44

Kemahiran yuridik, yang mencakup keterampilan atau kemahiran dalam menelusuri dan

menemukan bahan-bahan hukum (legal materials), kemampuan untuk menangani bahan-bahan

hukum yang ada.

Kesadaran serta komitmen profesional, yang mencakup upaya penumbuhan sikap,

kepekaan dan kesadaran etik profesional, khususnya berkenaan dengan pembebanan profesi

hukum sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat

serta profesi hukum sebagai profesi yang terhormat ( officium nobile).


45

BAB. III

KERANGKA PEMIKIRAN

Pembuatan putusan oleh hakim, tidaklah dapat dilakukan dalam ruang hampa. Proses-

proses pembuatan putusan haruslah selalu merujuk pada beragam kode yang diproduksi dan

direproduksi secara otonom oleh hukum sebagai sebuah sistem autopoesis. Dalam hal ini Hakim

sebagai salah satu pengemban hukum praktis, harus mampu menemukan, membaca, menafsirkan

dan menerapkan kode-kode hukum dengan baik dan benar, sebagai bagian dari upaya untuk

melakukan “ .... encodes the world into what is legal and illegal.... ”

Dalam perspektif teori sistem, gugatan atau dakwaan dipahami sebagai input,

pemeriksaan perkaranya dari instansi kepolisian sampai ke instansi pengadilan dipahami sebagai

suatu rangkaian throughout, sedangkan putusan hakim dipahami sebagai output. Sementara itu,

semua pemeran yang berperanserta dalam pelaksanaan seluruh proses, baik individu atau dalam

wujudnya sebagai representasi sebuah institusi, dipahami sebagai the functional units. 32

Seluruh proses transformatif telah diatur berdasarkan suatu prosedur yang rasional dan

formal, dalam hukum acara (hukum formil). Materi gugatan atau dakwaan didudukan sebagai input

yang akan segera menggerakkan seluruh aktivitas peradilan. Gugatan (dalam sistem peradilan

perdata) atau dakwaan (dalam sidang peradilan pidana) terdiri dari pernyataan

penggugat/pendakwa mengenai apa fakta hukumnya ( judex factie yang menjadi dasar

gugatan/dakwaan) dan apa akibat hukumnya ( judex iuris, yang dimohonkan kepada hakim agar

dijadikan dasar putusan). Fakta yang akan dijadikan dasar gugatan/dakwaan adalah fakta yang

32
Soetandyo Wignjosoebroto, Ke Arah Reformasi Sistem Peradilan Indonesia , makalah Seminar
“Reformasi Sistem Peradilan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum
Nasional Dep. Hukum dan HAM RI di Palembang, 3-4 April 2007
46

relevan dengan perkara hukum (fakta hukum, rechtsfeit). Dalam perkara perdata, fakta dihimpun

oleh sang penggugat, sedangkan dalam perkara pidana, dlakukan oleh aparat kepolisian, uang

selanjutnya akan didayagunakan oleh jaksa penuntut umum sebagai dasar untuk melakukan

penuntutan. Fakta yang tertulis di dalam BAP akan diteliti kuantitas dan kualitasnya agar segera

dapat ditransformasi menjadi fakta hukum ( judex factie) yang akan di(pro)posisikan sebagai dasar

tuduhan, yang pada gilirannya akan menjadi dasar tuntutan tentang akibat hukumnya.

Dalam praktik hukum nasional yang modern, hubungan antara ‘fakta hukum yang menjadi

dasar gugatan/dakwaan’ dan ‘hukuman yang dinyatakan dalam putusan oleh hakim’ itu selalu

dirumuskan secara umum (in abstracto), dalam bentuk hubungan sebab-akibat, ke dalam pasal-

pasal hukum perundang-undangan.

Pasal-pasal perundang-undangan hukum perdata maupun hukum pidana (yang

difungsikan sebagai sumber hukum yang formal itu), dalam wujudnya sebagai bagian dari

konstelasi hukum positif modern selalu dirumuskan dalam bentuk hubungan sebab-akibat yang

pasti. Dalam ilmu dan praktik peradilan perdata, hubungan sebab akibat itu dikonstruksikan secara

logis antara suatu perbuatan tertentu yang digugat (yang di dalam perkara perdata disebut

wanprestasi) dan sanksi-sanksi keperdataan yang dimohon agar dijatuhkan oleh hakim, misalnya

dalam bentuk ganti-rugi. Dalam ilmu dan praktik peradilan pidana, hubungan sebab-akibat itu

dikonstruksikan secara logis antara suatu fakta perbuatan pidana, yang di dalam hukum pidana

disebut criminal act atau strafbaarfeit dan sanksi-sanksi pemidanaan yang diproposisikan sebagai

akibatnya.

Adalah tugas penggugat atau pengacaranya, atau pula jaksa pendakwa dalam peradilan

pidana, untuk membuktikan bahwa unsur-unsur dalam suatu perbuatan atau suatu peristiwa (yang

boleh dibilangkan sebagai fakta hukum!) telah terjadi. Adalah kemudian tugas hakim untuk
47

mempertimbangkan apakah bukti-bukti telah cukup meyakinkan guna menyatakan bahwa suatu

perbuatan melawan hukum sebagaimana dituduhkan penggugat atau pendakwa telah dilakukan

orang. Dalam tradisi hukum Barat yang mendasarkan diri pada paradigma positivisme, pembuktian

ada tidaknya hubungan sebab-akibat antara fakta hukum dan akibat hukum ini akan berlangsung

dalam suatu proses penalaran bersilogisme deduksi. (proses penalaran yang di dalam bahasa

asingnya disebut legal reasoning atau juridische denken)

Penalaran hukum yang berlangsung berdasarkan konstruksi berpikir deduktif ( deductive

syllogism) seringkali disebut logico-positivism, yang menjadi bagian inheren pada metodologi ilmu

hukum, khususnya yang menganut aliran positivisme, yang pada gilirannya menjadi induk aliran

legisme

Bekerjanya sistem peradilan sebagaimana diutarakan di muka telah dikontrol berdasarkan

suatu standar prosedur operasional SOP, ( Standard Operational Procedure) yang amat rasional,

baik yang dikontrol oleh norma-norma positif yang disebut hukum acara maupun yang didasari

oleh doktrin-doktrin berikut metodologinya sebagaimana yang selama ini telah dikembangkan oleh

para ahli pemikir dan para penggunanya.

Dalam konteks yang demikian, maka munculnya hakim-hakim yang baik, sebagai

penggerak utama berjalannya sistem peradilan menjadi relevan Hakim yang baik sebagaimana

dinyatakan oleh Mustafa Abdullah33 hanya lahir dari suatu sistem yang baik. Sistem yang baik yang

dapat melahirkan hakim yang baik tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Menteri Kehakiman

Belanda Odette Buitendam, yaitu melalui suatu rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang baik. Unsur

integritas dan profesionalisme merupakan dua unsur yang terkandung dalam pengertian hakim

33
Mustafa Abdullah, Pengembangan Integritas dan Profesionalisme Hakim, Makalah pada diskusi
panel yang diselenggarakan oleh BPHN dan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta 24-27 April 2007, Hal.
1
48

yang baik, bukan unsur yang dibawa sejak lahir, melainkan unsur-unsur yang didapat dari

rekruitmen, seleksi dan pelatihan yang baik pula.

Selanjutnya Mustafa Abdullah menyatakan bahwa, terdapat banyak pandangan tentang

kriteria hakim baik antara lain, memiliki kemampuan hukum (legal skill), berpengalaman yang

memadai, memiliki integritas, memiliki kesehatan yang baik, mencerminkan keterwakilan

masyarakat, memiliki nalar yang baik, memiliki visi yang luas, memiliki kemampuan berbahasa dan

menulis, mampu menegakkan hukum negara dan bertindak independen dan imparsial, dan

memiliki kemampuan administratif dan efisien. 34

Apa yang dinyatakan oleh Mustafa Abdullah tersebut sejalan dengan ketentuan dalam

Keputusan Mendikbud No. 0325/U/1994, tentang penyelenggaraan pendidikan Tinggi hukum, yang

menetapkan bahwa pendidikan tinggi hukum di Indonesia diarahkan untuk meningkatkan : (a)

Penguasaan atas Ilmu Hukum, yaitu pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan secara

sistematik, metodik dan rasional atas asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum,

baik pada tingkat lokal, nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran hukum

dasar atau bidang-bidang hukum pada sektor-sektor kehidupan manusia; (b) Kemampuan berpikir

yuridik, yang merupakan kemampuan menalar (reasoning) dalam kerangka tatanan hukum yang

berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional, maupun internasional) untuk

mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya dengan mengacu pada

upaya mewujudkan cita-hukum ( rechtsidee) yang mencakup idea tentang kepastian hukum,

prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam masyarakat

melalui penegakan kaidah-kaidah hukum. Termasuk di dalam idea kemampuan Legal Reasoning

ini adalah kemahiran intelektual untuk: (1) mengakses, menggunakan serta mengolah informasi

34
Ibid. Hal. 2
49

secara tepat dan rasional;; berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik secara lisan maupun

tertulis); (3) mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam rangka

pengambilan keputusan hukum ( legal decision making) yang tepat; (c) Kemahiran yuridik, yang

mencakup keterampilan atau kemahiran dalam menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum

(legal materials), kemampuan untuk menangani bahan-bahan hukum yang ada.; (d) Kesadaran

serta komitmen profesional, yang mencakup upaya penumbuhan sikap, kepekaan dan kesadaran

etik profesional, khususnya berkenaan dengan pembebanan profesi hukum sebagai profesi yang

berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat serta profesi hukum sebagai

profesi yang terhormat (officium nobile).35

Hal ini pun sejalan dengan Beijing Statement of Principles of the Independence of the

Judiciary in the Law Asia Region (yang kemudian diamandemen di Manila, 28 Agustus 1997) yang

menetapkan, bahwa sikap profesionalisme hakim dibangun oleh tiga pilar utama, yaitu nilai-nilai

kecakapan (competence), kejujuran (integrity), dan kemerdekaan (independence), yang diperlukan

untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

35
Komisi Hukum Nasional, Reformasi Dan Reorientasi Pendidikan Hukum Di Indonesia, Loc. Cit.
50

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam perspektif internal, proses pembuatan keputusan tidak dapat dilepaskan dari

kegiatan bernalar hakim. Kegiatan bernalar Hakim dengan beragam motivering36 yang

menopangnya, selalu berada dalam pusaran tarikan keanekaragaman kerangka orientasi berpikir

yuridis37 yang terpelihara dalam sebuah sistem, sehingga dapat berkembang menurut logikanya

sendiri, dan eksis sebagai sebuah model penalaran yang khas sesuai dengan tugas-tugas

profesionalnya.

Namun pilihan tersebut tidak dapat dilakukan dalam ruang hampa. Proses internal

(kognitif) dalam kegiatan menalar harus selalu merujuk pada beragam kode 38 yang diproduksi dan

36
Motivering adalah pertimbangan yang bermuatan argumentasi, lihat Bernard Arief Sidharta,
Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum, dalam I.S. Susanto dan Bernard L. Tanya (Ed.), Wajah Hukum
di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H.
Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000, Hal. 206
37
Sidharta, Penalaran Hukum dalam Sudut Pandang Keluarga Sistem Hukum dan Penstudi Hukum,
hal. 4
38
Penciptaan sistem kode sebagai hasil sistem komunikasi yang dilakukan oleh semua sistem
didalam masyarakat, sebagaimana dekemukakan oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David
Schiff, “ …. To put this in simpler terms, what occurs within modern society is the growth of
specialist languages. This is a system of differentiation. But the differentiation is not at the level of role or
function (law is a dispute resolution system, politics is a decsion making system, etc), but in language.
Different systems of communication encode the world in different ways. The legal system encodes
the world into what is legal and illegal. Medicine encodes the world into what is healthy and
unhealthy. Science encodes the world into what is true or false. Accountancy constructs the
world into debits and credits. The Economy perceives the world in terms of profits and losses . Lihat lebih
lanjut Gunther Teubner, Richard Nobles, dan David Schiff, The Autonomy Of Law: An Introduction
to Legal Autopoiesis dalam David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence, London :
Butterworth, 2003.
51

direproduksi secara otonom oleh hukum sebagai sebuah sistem autopoesis 39. Dalam hal ini Hakim

sebagai salah satu pengemban hukum praktis harus mampu menemukan, membaca, menafsirkan

dan menerapkan kode-kode hukum dengan baik dan benar sebagai bagian dari upaya untuk

melakukan “ .... encodes the world into what is legal and illegal.... ”40

Sedangkan dari perspektif eksternal, proses pembuatan putusan oleh hakim tidak dapat

dilepaskan dari konteks kerangka teoretis, filosofis dan paradigma yang diyakininya, yang acapkali

--- secara sadar ataupun tidak --- dimuati dan tercampur oleh kepentingan-kepentingan kultural,

sosioligis, dan politis. Hal ini yang kemudian menyebabkan pemikiran apriori, pra-anggapan,

prasangka dan praduga tentang klaim kebenaran dari putusan yang dibuat tumbuh subur di

komunitas hakim. Klaim tersebut kemudian diperkuat oleh argumen-argumen para filosof hukum,

teoretisi, maupun praktisi berdasarkan landasan paradigma, aliran filsafat dan kerangka

teoretisnya yang dikukuhinya.

Percampuran antara perspektif internal dan eksternal itulah yang kemudian menjadi

penentu, bagaimana hakim sebagai bagian dari aparat penegak hukum dapat menjalankan tugas,

kewenangan dan fungsinya secara profesional.

39
Hukum sebagai suatu sistem autopoesis pertama kali diperknalkan oleh Niklass Lukhman, yang
dikembangkan dan diperdalam lebih lanjut oleh Gunther Teubner, Richard Nobles, David Schiff. Hukum
sebagai suatu sistem autopoesis dibangun dari dua konsep utama, yaitu: (1) The law is defined as an
autonomous system whose legal operations form a closed network. This idea of an autopoietic
operational closure is different from the inadequate concept of relative autonomy (e.g. Lempert
1987), which regards law as being more or less dependent on society and the main question is to
determine empirically the precise balance between its internal and external causation; (2)
Heteronomy (law's interrelationship with other social domains) is treated as 'structural coupling'.
This view, expounded by Maturana, involves the multiple membership of legal communications in
other autonomous domains. lihat lebih lanjut David Schiff and Richard Nobles (eds.), Jurisprudence,
Butterworth: London, 2003. bandingkan dengan Gunther Teubner and Alberto Febbranjo, State, Law and
Economy As Autopoeitic System : Regulation and Autonomy in A New Perspective, Milan : Dot. A Giuffre,
1992. sedangkan untuk pengertian unsur-unsur sistem autopoesis, lihat Goerge Ritzer dan Douglas J
Goodman, Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasij sampai Perkembangan Mutkahir Teori Sosial
Postmodern, diterjemahkan oleh Nurhadi, Yogyakarta : Kreasi Wacana, 2008, hal 357-358
40
Ibid.
52

Profesionalisme hakim yang termanifestasi dalam putusan-putusan yang dibuatnya 41

tersebut sangat dipengaruhi oleh: penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridik,

kemahiran yuridik, dan kesadaran serta komitmen profesional. 42

Penguasaan atas Ilmu Hukum, bagian ini melihat bagaimana pengetahuan, penguasaan,

serta pengembangan secara sistematik, metodik dan rasional atas asas-asas, kaidah-kaidah,

dan/atau aturan-aturan hukum, baik pada tingkat lokal, nasional, transnasional maupun

internasional, serta pada tataran hukum dasar atau bidang-bidang hukum pada sektor-sektor

kehidupan manusia.

Kemampuan berpikir yuridik merupakan kemampuan menalar (reasoning) dalam kerangka

tatanan hukum yang berlaku (baik dalam tataran lokal, nasional, transnasional, maupun

internasional) untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya

dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum ( rechtsidee) yang mencakup idea tentang

kepastian hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam

masyarakat melalui penegakan kaidah-kaidah hukum. Termasuk di dalam idea kemampuan Legal

Reasoning ini adalah kemahiran intelektual untuk: (a) mengakses, menggunakan serta mengolah

informasi secara tepat dan rasional; (b) berkomunikasi secara efektif dan efisien (baik secara lisan

maupun tertulis); (c) mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah-masalah hukum dalam rangka

pengambilan keputusan hukum (legal decision making) yang tepat;

41
Reza Indragiri, Pengembangan Integritas Profesi Hakim http://www.badilag.net/index2.php?option
=com_content&do_pdf=1&id=1315
42
Komisi Hukum Nasional, Reformasi dan Reorientasi Pendidikan Hukum Di Indonesia,
Jakarta/Bandung, 2004, hlm. 53-54. Tersedia: http://www.khn.go.id. Diakses tanggal 5 September 2006.
53

Kemahiran yuridik mencakup keterampilan atau kemahiran dalam menelusuri dan

menemukan bahan-bahan hukum (legal materials), kemampuan untuk menangani bahan-bahan

hukum yang ada (penggunaan doktrin dan yurisprudensi).

Kesadaran serta komitmen profesional yang mencakup upaya penumbuhan sikap,

kepekaan dan kesadaran etik profesional, khususnya berkenaan dengan pembebanan profesi

hukum sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat

serta profesi hukum sebagai profesi yang terhormat ( officium nobile).

Berdasarkan pemikiran di atas, maka pada paragraph-paragrap di bawah ini akan

dideskripsikan tentang profesionalisme hakim berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.

Pendeskripsian tersebut didasarkan pada 149 putusan pidana dan 59 putusan perdata pengadilan

tingkat pertama yang berasal dari 70 pengadilan negeri di Indonesia.

E. Penguasaan atas Ilmu Hukum

Bagian ini akan melihat bagaimana pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan dari

para hakim terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, baik pada tingkat

lokal, nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran hukum dasar atau bidang-

bidang hukum pada sektor-sektor kehidupan manusia. Dalam putusan pidana, penguasan hakim

atas ilmu hukum ini terlihat pada bagaimana upaya dari hakim untuk melakukan pemeriksaan

terhadap bentuk dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), sedangkan dalam putusan perdata

terlihat dalam ketepatan penggunaan hukum.


54

3. Penguasaan atas Ilmu Hukum dalam Putusan Pidana

Di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara, dakwaan JPU sangat penting karena

menjadi dasar pemeriksaan di sidang pengadilan dan kemudian menjadi dasar bagi Hakim dalam

memutus perkara yang bersangkutan. Pemeriksaan dan putusan Hakim, terbatas pada apa yang

didakwakan oleh JPU. JPU adalah penentu tentang delik apa saja yang didakwakan kepada

terdakwa, karena JPU adalah dominus litis (pemilik perkara atau tuntutan). Pada prinsipnya hakim

dilarang menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tentang suatu perbuatan diluar dakwaan JPU

(walaupun terbukti dalam persidangan). Pasal 182 ayat (4) KUHAP 43 mengatur secara tegas

bahwa ”Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat dakwaan dan segala

sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan pidana yang dilakukan di 70 Pengadilan

negeri, dapatlah diketahui bahwa dari 149 putusan hakim, terdapat 111 (74,5%) putusan yang

bentuk dakwaannya telah dibuat secara tepat dan benar, dan 38 (25.5%) putusan yang bentuk

dakwaannya dibuat secara tidak tepat dan tidak cermat.


Adanya ketidakcermatan dan ketidaktepatan JPU dalam menentukan apakah akan

menggunakan dakwaan tunggal, subsidair, alternatif, kumulatif atau kombinasi, terjadi karena:
a. JPU tidak cermat dalam melihat salah satu unsur yang harus diperhatikan dalam menentukan

bentuk dakwaan, yaitu dilihat dari bentuk pasal-pasal yang didakwakan terhadap tindak pidana

yang bersangkutan. Hal ini antara lain terlihat dalam Putusan No. 67/PID.B/2006/PN.Clp

mengenai Pidana Korupsi. Dalam perkara ini susunan dakwaan JPU yang disusun secara

subsidairitas tidak tepat, karena seharusnya dalam dakwaan JPU, pasal 55 ayat (1) KUHP

yang mendakwa terdakwa sebagai pembuat ( dader) atau pasal 56 ke-2 KUHP yang
43
Pasal ini merupakan padanan dari Pasal 292 ayat (1) HIR yang telah dinyatakan tidak berlaku sejak
diundangkannya KUHAP.
55

mendakwa terdakwa sebagai pembantu tindak pidana tidak dipisah dalam dakwaan yang

berbeda, namun kedua pasal tersebut harus dijunctokan dalam satu dakwaan. Demikian pula

yang terlihat dalam Putusan No. 229/PID. B/2006/PN.PWT tentang perkara illegal logging.

Dalam merumuskan dakwaannya pada putusan ini, JPU menggunakan kata “pertama” untuk

dakwaan pertama dan “kedua” untuk dakwaan kedua yang mengindikasikan bahwa dakwaan

ini berbentuk dakwaan alternatif, namun dakwaan JPU tersebut tidak menggunakan kata

“atau” diantara dakwaan pertama dan kedua. Walaupun secara teoretis penggunaan dakwaan

dalam bentuk alternatif dimungkinkan, dalam kasus ini dakwaan yang lebih tepat adalah yang

berbentuk subsidaritas karena pasal-pasal yang didakwakan dalam Pertama (Pasal 50 ayat (3)

huruf e) dan Kedua (Pasal 50 ayat (3) huruf f) merupakan pasal-pasal dari Undang-undang

yang sama yakni UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, (bagian dengan ancaman

hukuman yang berbeda dihilangkan karena pasal-pasal dalam dakwaan ancaman

hukumannya sama). Seharusnya JPU menyusun dakwaannya dalam bentuk subsidairitas

dengan Pasal 50 ayat (3) huruf e sebagai dakwaan primer dan Pasal 50 ayat (3) huruf f

sebagai dakwaan subsider. (bagian karena ancaman hukumannya lebih ringan dihilangkan).

Hal yang relatif sama juga terlihat dalam Putusan No. 129/PID.B/2004/PN.YK tentang tindak

pidana lingkungan. Dalam kasus ini, dakwaan JPU yang berbentuk dakwaan alternatif tidak

tepat, karena pasal-pasal yang digunakan dalam dakwaan adalah ketentuan pidana dalam UU

yang sama yakni UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dengan

ancaman hukuman yang berbeda. Seharusnya JPU menyusun dakwaannya dalam bentuk

subsidairitas dengan susunan dalam dakwaan primair yang ancaman pidananya lebih berat

yakni melanggar pasal 41 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo pasal 64 ayat (1) KUHP dan
56

dalam dakwaan Subsidair yakni melanggar pasal 42 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 jo pasal

64 ayat (1) KUHP.

b. JPU tidak memperhatikan asas lex specialis derogat legi generali sebagaimana di atur dalam

Pasal 63 ayat (2) KUHP. Hal ini antara lain terlihat pada putusan-putusan yang terkait dengan

perkara kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebagaimana terlihat pada Putusan No.

24/PID.B/2007/PN.KRAY. Pada perkara ini, JPU menerapkan dakwaan campuran yang

merupakan kombinasi antara dakwaan alternatif dan dakwaan subsidaritas:


Kesatu: Pasal 44 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga, yang berbunyi: “(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp.
45.000.000,- (empat puluh lima juta)”.
Dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda
paling banyak Rp. 45.000.000,- (empat puluh lima juta)
ATAU
Kedua:
Primair: Pasal 338 KUHP, yang berbunyi: “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan
jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima belas tahun”.
Dengan ancaman hukuman penjara setinggi-tingginya 15 (lima belas) tahun
Subsidair: Pasal 351 ayat (3) KUHP, yang berbunyi: “(3) Jika perbuatan itu menjadikan
mati orangnya, dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun”.
Dengan ancaman hukuman penjara setinggi-tingginya 7 (tujuh) tahun.

Dakwaan JPU dalam perkara ini dinilai tidak tepat, karena dalam kasus ini berlaku asas lex

specialis derogat legi generali sebagaimana di atur dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang

menyatakan: “bila:suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur

pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”. UU

No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan

ketentuan yang bersifat khusus/istimewa (lex specialis) dari ketentuan pasal 338 KUHP dan

pasal 351 ayat (3) KUHP yang merupakan ketentuan umum (lex generali), sehingga menurut
57

ketentuan pasal 63 ayat (2) KUHP, ketentuan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga sajalah yang harus digunakan oleh JPU dalam dakwaannya.

c. JPU tidak cermat dalam mengkaji kedudukan suatu peraturan terhadap peraturan lainnya,

sehingga suatu peraturan pelaksana dijadikan sebagai dakwaan subsidair, dari dakwaan

primair yang merupakan peraturan utamanya, dan dakwaan subsidair tidak secara spesifik

mengatur tindak pidana tertentu dan tidak memuat sanksi bagi pelanggarnya. Hal ini antara

lain terlihat pada Putusan No. No. 88/Pid.B/2007/PN.Plw yang dakwaannya dalam bentuk

Subsidaritas sebagai berikut:


Primair Pasal 50 (3) huruf h UU No. 41 Tahun 1999 jo Pasal 78 (7) UU No. 41
Tahun 1999 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP.

Subsidair Peraturan Menteri Kehutanan No. F-55 Menhut H/2006., sebagaimana


ditetapkan dalam Pasal 50 (3) huruf h UU No. 41 Tahun 1999 jo Pasal 78
(7) UU No. 41 Tahun 1999.

Ketidakcermatan dakwaan ini terletak pada dakwaan subsider karena pasal-pasal yang

digunakan dalam dakwaan subsidair pada dasarnya hanya merupakan peraturan pelaksana

dari pasal-pasal yang dijadikan sebagai dasar dalam dakwaan primair. Selain itu, pasal-pasal

dalam dalam dakwaan subsidair tidak secara spesifik mengatur tindak pidana tertentu dan

tidak memuat sanksi bagi pelanggarnya.

d. JPU tidak cermat dalam menentukan tindak pidana mana yang akan dijadikan sebagai

dakwaan primiar dan mana yang akan dijadikan sebagai dakwaan subsidair. Hal ini dijumpai

pada Putusan No. 232/PID.B/2006/PN.KLK. Pada kasus ini JPU menggunakan dakwaan

berlapis (subsidaritas) namun terdapat kekeliruan karena ancaman pidana dalam dakwaan

primair lebih rendah dari ancaman maksimum pidana dalam dakwaan subsidair.
58

Secara kuantitatif, tidaklah dipungkiri, bahwa di dalam menentukan penggunaan bentuk

dakwaan, terdapat cukup banyak (111 atau 74,5%) surat dakwaan yang telah menggunakan

bentuk dakwaan yang tepat. Meskipun demikian, dengan adanya 38 (25.5%) dakwaan yang telah

dibuat secara tidak cermat dan tidak tepat, dapat menjadi masukan bagi Kejaksaan Agung

sebagai instansi terkait untuk kemudian secara bersama-sama dengan penegak hukum lainnya

meningkatkan kualitas dan profesionalitas JPU karena putusan yang baik dan memenuhi rasa

keadilan masyarakat tidak hanya bergantung pada kualitas hakim, tapi juga bergantung pada

kualitas aparat penegak hukum lainnya, termasuk dalam hal ini JPU.

Sehubungan dengan pemilihan bentuk dakwaan JPU ini, hakim sebagai aparat penegak

hukum dengan kewenangan memutus memberikan respon yang beragam. Dari 149 putusan yang

diteliti, terdapat 99 (66,4%) putusan yang bentuk dakwaannya diperiksa dan diteliti oleh hakim, dan

terdapat 50 (33.6%) putusan, dimana hakim tidak melakukan pemeriksaan terhadap dakwaan, dan

hanya mengikuti saja apa yang didakwakan dan dituntut oleh JPU.

Dengan adanya ketidakcermatan dan ketidaktepatan JPU dalam menentukan bentuk

dakwaannya, maka hakim yang profesional tentunya dapat memberikan saran kepada JPU

sebelum sidang dimulai untuk memperbaiki dakwaannya bila ditemui kekeliruan JPU dalam

merumuskan dakwaannya, kalaupun JPU kurang tepat dalam merumuskan dakwaan, semestinya

hakim tidak serta merta mengikuti dakwaan JPU yang kurang tepat tersebut.

Peran hakim yang demikian, tidak sepenuhnya dilakukan, hal ini antara lain terlihat pada

Putusan No. 51/PID.B/2005/PN.WNS, dalam kasus ini JPU secara tidak tepat menggunakan

dakwaan alternatif, karena kedua dakwaan menggunakan ketentuan dalam Undang-undang yang

sama, yaitu Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Oleh karena itu
59

seharusnya bentuk dakwaan yang digunakan adalah Subsidaritas. Namun di dalam Putusan,

hakim tidak melakukan pemeriksaan dan perbaikan atas kekeliruan yang dilakukan oleh JPU.

Dalam memeriksa dakwaan JPU, hakim terlebih dahulu memeriksa dakwaan kedua

dengan mempertimbangkan unsur pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang telah

diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1)

KUHP yang ancaman pidananya lebih ringan. Dalam memeriksa dakwaan JPU tersebut, Hakim

seharusnya terlebih dahulu mempertimbangkan bahwa dakwaan JPU ini seharusnya dalam bentuk

dakwaan subsidairitas dengan susunan dalam dakwaan primair yang ancaman pidananya lebih

berat yakni melanggar pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang telah

diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1)

KUHP dan dalam dakwaan subsidair yakni melanggar pasal 3 jo pasal 18 ayat (1) Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 jo pasal 55

ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Dengan bentuk dakwaan subsidairitas tersebut, hakim seharusnya terlebih dahulu

memeriksa dakwaan primair dengan mempertimbangkan unsur pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat

(1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun

2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP yang ancaman pidananya lebih

berat. Hakim harus terlebih dahulu memeriksa dakwaan yang ancaman pidananya lebih berat.

Apabila dakwaan Primair tidak terbukti barulah hakim memeriksa dakwaan yang lainnya.

Demikian pula dalam Putusan No. 232/PID.B/2006/PN.KLK. Pada putusan ini, JPU keliru

dalam menyusun dakwaan primer dan subsider, dimana ancaman pidana dalam dakwaa primair

lebih rendah dari ancaman maksimum pidana dalam dakwaan subsidair, namun Hakim tidak
60

melakukan koreksi atas kekeliruan tersebut dan memeriksa perkara sebagaimana dakwaan yang

keliru tersebut.

Hakim yang tidak melakukan pemeriksaan dan perbaikan atas kekeliruan bentuk dakwaan

JPU, dan tetap melakukan pemeriksaan perkara sebagaimana dakwaan yang keliru tersebut,

dimungkinkan terjadi karena kurangnya pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan dari para

hakim terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum. Ketidaktahuan hakim

terhadap azas lex specialis derogat lex generali sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 63

ayat (2) KUHP, menyebabkan, hakim dalam Putusan No. 24/PID.B/2007/PN.KRAY.menilai

dakwaan JPU yang seharusnya dibuat dalam bentuk dakwaan tunggal, akan tetapi secara salah

dibuat dalam bentuk dakwaaan kombinasi antara dakwaan alternatif dan dakwaan Subsidaritas,.

Ketidak tahuan hakim dalam memeriksa bentuk dakwaan yang seharusnya dibuat oleh JPU,

menyebabkan, hakim tidak melakukan pembenaran terhadap kesalahan bentuk dakwaan JPU, dan

kemudian melakukan pemeriksaan dan pertimbangan sesuai dengan bentuk dakwaan JPU yang

salah tersebut.

4. Penguasaan Atas Ilmu Hukum dalam Putusan Perdata

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan perdata tingkat pertama yang dilakukan di

70 pengadilan negeri, dapatlah diketahui bahwa dari 59 putusan perdata yang diteliti, terdapat 52

(88,1%) putusan yang tepat dalam menggunakan hukum, dan terdapat 7 (11,9%) putusan yang

tidak tepat dalam penggunaan hukumnya.


Dari 7 putusan hakim yang tidak tepat penggunaan hukumnya, 5 (71,4%) putusan

diantaranya merupakan putusan yang berobjek sengketa tanah. Ketidaktepatan penggunaan


61

hukum ini, bukanlah spesifik terjadi di wilayah peradilan tertentu saja, akan tetapi tersebar di

beberapa wilayah peradilan, baik di wilayah Jawa-Sumatera maupun kawasan non-Jawa-

Sumatera. Dari 7 putusan yang tidak tepat penggunaan hukumnya tersebut. 4 (57,1%)

diantaranya terjadi di kawasan non-Jawa-Sumatera dan 3 (42,9%) terjadi di kawasan Jawa-

Sumatera, dengan perincian 2 (28,6%) terjadi di Jawa dan 1 (14,3%) terjadi di Sumatera.
Adanya ketidaktepatan hakim dalam menggunakan hukum ini antara lain terlihat dalam

Perkara No. 45/Pdt.G/2006/PN.KDI. Dalam perkara tersebut, secara tersirat Majelis Hakim

menggunakan asas ne bis in idem. Padahal penggugat dalam perkara ini berbeda dengan

penggugat dalam perkara sebelumnya, meski para tergugatnya dan obyek gugatannya sama.

Sehingga, asas ne bis in idem tidak tepat digunakan dalam perkara ini sebab Pasal 1917 KUH

Perdata dan yurisprudensi-yurisprudensi serta ajaran ahli yang relevan menyatakan bahwa dalam

bidang perdata asas ne bis in idem hanya berlaku, antara lain, apabila “…. gugatan diajukan oleh

dan terhadap pihak yang sama…”, sehingga “kalau dalam perkara yang bersangkutan pihak-

pihaknya tidak sama dengan putusan terdahulu, tidak dapat diterapkan ne bis in idem”.
Demikian pula dalam perkara No. 05/Pdt.G/2007/PN.AM, Majelis Hakim tidak sepenuhnya

tepat dalam menggunakan hukum karena mengesampingkan hukum adat setempat yang berlaku,

yang mengatur tentang alas hak penguasaan tanah berdasarkan hukum adat setempat tersebut,

dan dengan demikian hanya mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan yang berlaku

saja.
Sedangkan dalam perkara No. 16/Pdt.G/2006/PN.WNS, Majelis Hakim tidak tepat dalam

penggunaan hukum karena menerima eksepsi para tergugat dengan alasan pihak yang digugat

tidak lengkap, sebab PPAT dan Kantor Pertanahan Gunung Kidul tidak digugat. Hal ini tidak tepat

karena keduanya dapat digugat di Pengadilan Negeri sebagai pihak tergugat yang harus mematuhi

putusan Majelis Hakim atau dapat juga digugat di PTUN. Jadi, seharusnya tidak dimasukkannya
62

PPAT tersebut dan Kantor Pertanahan Gunung Kidul sebagai tergugat tidak menyebabkan gugatan

ini menjadi tidak dapat diterima.


Berdasarkan deskripsi di atas dapatlah diketahui bahwa, secara kuantitatif, sebagian

hakim yang memeriksa perkara pidana yang diajukan kepadanya, yaitu hakim-hakim yang terlibat

dalam 99 (66,4%) putusan (dari 149 putusan pidana yang diteliti) telah melakukan pemeriksaan

terhadap bentuk dakwaan yang dibuat oleh JPU. Hal yang relatif sama juga terlihat dari sebagain

hakim-hakim yang memeriksa perkara perdata, sebagian besar hakim, yaitu hakim-hakim yang

terlibat dalam 52 (88,1%) putusan (dari 59 putusan perdata yang diteliti) telah secara tepat

menetapkan, hukum yang harus dipergunakan dalam memeriksa dan memutus perkara yang

diajukan kepadanya.
Keadaan yang demikian pada dasarnya menunjukan, bagaimana pengetahuan,

penguasaan, serta pengembangan dari para hakim terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau

aturan-aturan hukum, dalam semua level dan bagiannya. Hakim-hakim dengan tingkat

pengetahuan dan penguasaan, serta pengembangan yang rendah, tentunya mengalami kesulitan

(bahkan melakukan kesalahan) untuk dapat mengetahui benar tidaknya bentuk dakwaan yang

dibuat oleh JPU (dalam perkara pidana), atau menetapkan hukum yang harus dipergunakan dalam

memeriksa dan memutus perkara yang diajukan kepadanya (dalam perkara perdata). Hal inilah

yang mungkin terjadi pada pada sebagian hakim, yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 50

(33.6%) putusan (dari 149 putusan yang diteliti), yang tidak melakukan pemeriksaan terhadap

dakwaan, dan hanya mengikuti saja apa yang didakwakan dan dituntut oleh JPU (dalam perkara

pidana), atau hakim-hakim yang terlibat dalam terdapat 7 (11,9%) putusan (dari 59 putusan yang

diteliti) yang tidak tepat dalam penggunaan hukumnya (dalam perkara perdata). Meskipun tidak

dapat dipungkiri keadaan tersebut dapat saja terjadi karena berbagai macam faktor penyebab,

akan tetapi rendahnya pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan dari para hakim terhadap
63

asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, dalam semua level dan bagiannya,

dapatlah ditengarai sebagai salah satu penyebab terjadinya hal di atas.


Pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan dari para hakim terhadap asas-asas,

kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, dalam semua level dan bagiannya, merupakan

pengetahuan mendasar yang dimiliki oleh hakim-hakim sejak mengikuti perkuliahan di Strata-1,

atau selama hakim-hakim tersebut mengikuti seleksi penerimaaan calon hakim (cakim), serta

ketika akan diangkat menjadi hakim karier.


Sebagaimana diketahui, sebagian besar struktur kurikulum pada fakulas-fakultas hukum

strata-1 di Indonesia, didominasi oleh aspek pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan

terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, baik pada tingkat lokal,

nasional, transnasional maupun internasional, serta pada tataran hukum dasar atau bidang-bidang

hukum pada sektor-sektor kehidupan manusia. Demikian pula ketika para hakim tersebut

mengikuti seleksi penerimaan sebagai cakim. Materi tes yang meliputi : Seleksi tahap I merupakan

tes tertulis44 tentang : (a) Pancasila; (b) UUD 1945; (c) Bahasa Indonesia; (d) Bahasa Inggris.; dan;

(e) Sejarah Indonesia. Sedangkan tes tahap kedua 45 merupakan tes tertulis yang meliputi . (a)

Hukum Pidana; (b) Hukum Acara Pidana; (c) Hukum Perdata BW; (d) Hukum Perdata Adat; (e)

Hukum Acara Perdata; (f) Hukum Tata Usaha Negara; (g) Hukum Acara Tata Usaha Negara. 46
Kumpulan pengetahuan yang terakumulasi demikian lama, menyebabkan sebagian hakim

tidak mengalami kesulitan, untuk mengartikuliasikan aspek ini dalam putusan-putusannya.

Penguasaan ilmu hukum yang mendalam, sangat dibutuhkan bagi seorang Hakim karena adanya

kewenangan yang dimilki oleh hakim untuk melakukan penggalian, penemuan hukum dan

44
Soal-soal ujian tulis berbentuk pilihan ganda (multiple choice), menerjemahkan (translate) untuk
bidang studi bahasa Inggris.
45
Soal-soal ujian tulis berbentuk studi kasus untuk sebagian soal ilmu hukum.
46
Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional, Membangun Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Hakim,
Jakarta : Laporan Penelitian Tim Komisi Hukum Nasional, Agustus 2005, hal. 49-50.
64

penciptaan hukum. Dalam hal ini aspek pengembangan terhadap asas-asas, kaidah-kaidah,

dan/atau aturan-aturan hukum, itulah yang sepertinya perlu mendapat perhatian lebih lanjut,

karena bagaimanapun dari sudut kompetensi-keras (hard competence), profesionalisme hakim

diukur antara lain dari mutu putusannya. Putusan atas suatu perkara ditentukan oleh penguasaan

hakim atas bidang-bidang keilmuwan yang relevan. Dalam konteks ini survei yang diselenggarakan

Bureau of Labor Statistics di Amerika Serikat terhadap para hakim pada tahun 2005, sebagai

misal, mencatat ada tiga puluh tiga disiplin ilmu yang dinilai vital untuk dikuasai hakim. Mulai dari

bidang hukum dan pemerintahan (99%) hingga pengetahuan produksi pangan (3%). Di Indonesia,

paling tidak untuk saat ini, tuntutan penguasaan keilmuwan yang variatif seperti atas jelas sukar

dipenuhi. Oleh karena itu, sesuai studi UNODC (2006), yang lebih dapat diupayakan adalah

penekanan hakim pada bidang spesialisasi tertentu. Dengan penguasaan yang lebih optimal dan

spesifik akan materi persidangan, dapat diharapkan putusan hakim menjadi lebih tinggi

kualitasnya. 47

F. Kemampuan Berpikir Yuridik

Kemampuan berpikir yuridik merupakan kemampuan menalar hakim dalam kerangka

tatanan hukum yang berlaku, untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam

pergaulan hidupnya dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum yang mencakup idea

tentang kepastian hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan

di dalam masyarakat melalui penegakan kaidah-kaidah hukum..

47
Reza Indragiri, Pengembangan Integritas Profesi Hakim,Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama MA-RI : Jakarta. 2008, Hal. 1
65

Dalam putusan pidana, kemampuan berpikir yuridik dari hakim ini terlihat pada bagaimana

upaya hakim dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh JPU,

kesesuaian pertimbangan dan putusan hakim dengan kaidah hukum, serta perbandingan antara

putusan hakim, dengan tuntutan JPU. Sedangkan dalam putusan perdata, hal ini terlihat pada

bagaimana upaya hakim dalam mempergunakan hukum untuk memeriksa dan

mempertimbangakan sengketa yang diperiksanya (kesesuaian dengan kaidah hukum); memeriksa

dan mempertimbangkan putusan provisi dan putusan serta merta; memeriksa dan

mempertimbangkan sita jaminan/ sita revindikatoir. serta membuat putusan untuk perkara yang

diperiksanya.
66

3. Kemampuan Berpikir Yuridik dalam Putusan Pidana

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan pidana, dapatlah diketahui bahwa, tidak

terdapat keseragaman di antara para hakim dalam mengurai dan membahas pemenuhan unsur-

unsur dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa. Dari 149 putusan yang diteliti,

terdapat 95 (63,8%) putusan yang unsur-unsur tindak pidananya diperiksa dan dipertimbangkan

secara detail dan komprehensif oleh Majelis Hakim, dan terdapat 54 (36,2%) putusan yang unsur-

unsur tindak pidananya tidak diperiksa dan dipertimbangkan secara detail dan komprehensif oleh

Majelis Hakim.

Pada putusan-putusan yang unsur-unsur tindak pidananya tidak diperiksa dan

dipertimbangkan secara baik, pada umumnya berkaitan dengan ketidakcermatan/ ketidaktepatan

hakim. Hal ini terjadi dalam bentuk:

a. Ketidaktepatan hakim dalam menguraikan atau menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal

yang didakwakan oleh JPU.


Hal ini antara lain terlihat pada putusan No. 100/PID.B/2007/PN.PML. Dalam pertimbangan-

nya, Hakim menjabarkan unsur-unsur pasal 71 ayat (1) jo pasal 60 ayat (1) huruf c UU No. 5

Tahun 1997 tentang Psikotropika dalam dakwaan Primair sebagai berikut:


1. Barang siapa ;
2. Tanpa hak;
3. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar
pada departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)

Padahal unsur-unsur yang tepat dari unsur-unsur pasal 71 ayat (1) jo pasal 60 ayat (1) huruf

c UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika adalah sebagai berikut:


1. Barangsiapa;
2. Bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu,
menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan
67

3. Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar
pada departemen yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 9 ayat (1)

b. Hakim tidak menguraikan/mempertimbangkan sama sekali unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan oleh JPU.


Hal ini antara lain terlihat dalam Putusan Perkara No. 610/PID.B/2006/PN.MALANG tentang

tindak pidana pelanggaran hak cipta. Dalam perkara ini hakim tidak menguraikan/

mempertimbangkan sama sekali unsur-unsur pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002,

sebagaimana dakwaan primair JPU. Hakim hanya mempertimbangkan (menyatakan) bahwa

perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002

(tanpa menguraikan apa unsur-unsur dari pasal bersangkutan), karena itu terdakwa harus

dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana:

menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta. 48

c. Terdapat kontradiksi dari Hakim dalam mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan oleh JPU.


Hal ini antara lain terlihat pada Putusan No. 06/PID.B/2006/PN.SMG tentang Tindak Pidana

pelanggaran terhadap Merek, Hakim ketika mempertimbangkan bahwa unsur “diketahui atau

patut diketahui bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran

sebagaimana dimaksud dalam pasal 90, 91, 92 dan pasal 93 ” terpenuhi adalah tidak tepat,

karena terdapat kontradiksi antara pertimbangan yang satu dengan pertimbangan yang

lainnya. Disatu sisi hakim mempertimbangkan bahwa terdakwa pernah selaku partner dari

Pertamina dalam pengemasan minyak pelumas, sehingga terdakwa sudah seharusnya patut

48
Pasal 72 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang hak Cipta menyatakan: Barangsiapa dengan
sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
68

mengetahui kalau merek minyak pelumas tersebut melanggar merek Pertamina. Namun disisi

lain hakim juga mempertimbangkan bahwa disebabkan kurangnya pemahaman terdakwa

mengenai produk Pertamina yang asli dan dari Pertamina memang sengaja merahasiakan ciri-

ciri produknya dengan alasan takut ditiru.

Selain adanya putusan-putusan yang unsur-unsur tindak pidananya tidak diperiksa dan

dipertimbangkan secara baik, terdapat pula putusan-putusan yang pertimbangannya melanggar

atau tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

terhadap 149 putusan pidana, dapat diketahui bahwa, terdapat 74 (49,7%) putusan, yang

pertimbangannya sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan terdapat 75 (50,3%) putusan,

yang pertimbangannya tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku. Ketidaksesuain

pertimbangan dari Majelis Hakim tersebut terletak pada:

a. Adanya ketidaksesuaian/ pelanggaran terhadap hukum pidana materiil.


Hal ini antara lain terlihat pada Putusan No. 119/PID.B/2005/PN.PWT. Dalam perkara ini hakim

menyatakan bahwa unsur “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau

suatu korporasi” tidak terbukti walaupun sebenarnya unsur ini telah terbukti
Berdasarkan fakta di persidangan terdakwa terbukti menerima dan menggunakan uang yang

bukan haknya yang totalnya sebesar Rp. 17.830.000 diluar dari gaji yang penerimaannya tidak

sekaligus tetapi bersamaan dengan penerimaan gaji, namun dengan menerima dan

menggunakan uang yang bukan haknya, walaupun uang tersebut digunakan untuk mencukupi

kebutuhan sehari-hari, kepentingan partai dan kepentingan sosial, maka perbuatan terdakwa

tersebut sudah termasuk memperkaya diri sendiri.


Pengertian memperkaya diri sendiri tidak terbatas dalam arti bertambahnya harta kekayaan

atau harta benda seseorang tetapi juga berarti bahwa harta (uang) tersebut sudah diterima
69

dan dinikmati, dan dalam perkara ini terdakwa sudah menerima uang sebesar Rp.

17.830.000,- dan menikmatinya untuk kebutuhan sehari-hari, kepentingan partai dan

kepentingan sosial, sehingga unsur “ melakukan perbuatan, memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu korporasi” sudah terpenuhi.


b. Adanya ketidak sesuaian/ pelanggaran terhadap hukum pidana formil..
Hal ini antara lain dijumpai pada Putusan No. 610/PID.B/2006/PN.MALANG. Pada putusan

mengenai tindak pidana pelanggaran Hak Cipta ini, Hakim tidak mencantumkan dakwaan

JPU. Hakim hanya menyebutkan bahwa dakwaan JPU terlampir dalam berkas, sehingga

putusan ini dari segi hukum formil telah cacat hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal

197 KUHAP ayat (1) dan ayat (2) bahwa suatu putusan yang tidak memuat antara lain adalah

dakwaan maka putusan tersebut batal demi hukum.


Profesionalisme hakim dari perspektif kemampuan berpikir yuridik ini juga dapat dilihat dari

bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada terdakwa,

bila dibandingkan dengan tuntutan yang telah dtetapkan oleh JPU.


Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa mayoritas putusan

hakim lebih ringan daripada tuntutan JPU. Dari 126 putusan bersalah, terdapat 99 putusan (78.6%)

dimana vonis hakim lebih ringan daripada tuntutan JPU; 13 (10.3%) putusan dimana hakim

menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan JPU; dan 14 (11.1%) putusan, vonis hakim lebih

berat dari tuntutan JPU


Dari putusan-putusan pidana yang diteliti, terdapat putusan-putusan dimana hakim bukan

saja menjatuhkan putusan yang jauh lebih ringan dari pada tuntutan JPU, namun juga melanggar

ketentuan hukuman minimum sebagaimana disyaratkan oleh undang-undang terkait. Pada

Putusan No. 27/Pid.B/2006/PN.TTE, JPU menuntut Terdakwa 5 tahun penjara potong masa

tahanan atas dakwaan melanggar Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yang
70

mengatur bahwa pidana penjara paling rendah 1 tahun. Namun dalam Putusannya, Hakim hanya

menjatuhkan hukuman penjara selama 8 bulan dikurangi masa tahanan.


Selain itu dalam penelitian ini juga ditemukan adanya vonis hakim yang tidak sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan sanksi berupa uang pengganti.

Walaupun Pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi telah mengatur bahwa dalam menetapkan uang pengganti Hakim harus juga menetapkan

pidana pengganti, namun masih terdapat Hakim yang tidak menetapkan lamanya pidana

pengganti. Hal ini terlihat pada Putusan tindak pidana korupsi No. 269/Pid.B/2004/PN.Tdo, di mana

dalam amarnya Hakim hanya menyatakan menghukum terdakwa membayar uang pengganti

sebesar Rp. 484.512.625,- tanpa menyebutkan lamanya pidana pengganti. Amar seperti ini cacat

dan tidak dapat dieksekusi kalau harta terdakwa tidak mencukupi untuk membayar uang

pengganti.49
Ketidaktepatan vonis juga ditemukan dalam putusan dimana hakim tidak tepat dalam

merumuskan amar putusan. Hal ini terlihat antara lain dalam Putusan No. 915/PID.B/2007/

PN.Kab.Pas mengenai Pidana Pelanggaran Hak Cipta. Pada putusan ini terdapat perbedaan

antara amar putusan dengan dakwaan JPU. Dalam amar putusan kualifikasi tindak pidana yang

dinyatakan terbukti bersalah terhadap terdakwa berlainan/berbeda dengan kualifikasi tindak pidana

yang didakwakan JPU. Dalam pasal dakwaan JPU yakni pasal 72 ayat (2) No. 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak memuat mengenai tindak pidana

menggandakan, sehingga tindak pidana menggandakan bukan merupakan tindak pidana yang

didakwakan. Namun dalam amar putusannya Hakim menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara

49
Pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 berbunyi: Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
71

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Tanpa hak telah menggandakan dan

mengedarkan barang hasil hak cipta”, sehingga amar putusan Hakim tersebut tidak tepat.

4. Kemampuan berpikir yuridik dalam putusan perdata

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan perdata, khususnya tentang kesesuaian

pertimbangan hakim dengan kaidah hukum, dapatlah diketahui, bahwa dari 59 putusan perdata

yang diteliti, terdapat 40 (67,8%) putusan yang sesuai dengan kaidah hukum dan terdapat 19

(32,2%) putusan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum. Ketidaksesuain tersebut antara lain

terjadi dalam hal:

a. Tidak sesuai dengan (melanggar) prinsip-prinsip hukum pembuktian. Hal ini antara lain

telihat dalam Perkara No. 06/Pdt/G/2005/PN.Ekg. Dalam perkara tersebut, Majelis Hakim

menerima keterangan saksi-saksi penggugat, yang menguntungkan penggugat, yang tidak

pernah dijelaskan bagaimana cara mereka mengetahuinya: apakah menyaksikan/

mengalami sendiri atau bukan. Keterangan yang demikian, dapat saja dikategorikan

testimonium de auditu. Akan tetapi majelis kakim menerima keterangan saksi seperti ini. Di

sisi lain, Majelis Hakim menyatakan keterangan salah satu saksi tergugat, yang isinya di

antaranya justru merugikan tergugat sendiri, “harus dikesampingkan” karena bersifat de

auditu. Namun kemudian Majelis Hakim, justru menggunakan keterangan ini dalam

pertimbangannya, bahkan keterangan-keterangan saksi tergugat yang merugikan tergugat

sendiri ini dijadikan salah satu pertimbangan yang sangat penting oleh Majelis Hakim dalam

memutus perkara ini. Hal ini menimbulkan dugaan adanya pemihakan (tidak imparsial) oleh

Majelis Hakim kepada salah satu pihak, yakni penggugat.


72

b. Ketidaksesuaian dengan logika hukum. Hal ini tampak pada Putusan No.

06/Pdt/G/2005/PN.Ekg. Dalam putusan ini Majelis Hakim berpendapat, karena tanah yang

menjadi obyek sengketa telah diberikan oleh ibu penggugat kepada nenek tergugat, maka

tanah tersebut haruslah menjadi milik penggugat, karena tanah tersebut berasal dari

pemberian ibu penggugat. Padahal, bukankah kata “pemberian” itu sendiri sudah

menunjukkan tanah itu sudah diberikan kepada orang lain, sehingga tentunya bukan milik si

pemberi lagi. Oleh karena itu, sama sekali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa pola pikir

Majelis Hakim seperti ini mencederai logika hukum.

Sebagian besar ketidaksesuaian dengan kaedah hukum sebagaimana diuraikan di atas,

terjadi dalam perkara dengan objek sengketa berupa tanah. Dari 59 putusan yang diteliti, terdapat

8 putusan (42,1%) yang berobjek tanah. Berdasarkan wilayah penyebarannya. Putusan yang tidak

sesuai dengan kaidah hukum terjadi di kawasan Jawa-Sumatera, yakni 13 putusan (68,4%),

sedangkan di kawasan non-Jawa-Sumatera hanya 6 putusan (31,6%).


Selain adanya ketidaksesuain putusan hakim yang disebabkan karena adanya

ketidaksesuai dengan (melanggar) prinsip-prinsip hukum pembuktian dan ketidaksesuaian dengan

logika hukum, terdapat pula ketidaksesuaian putusan hakim yang disebabkan karena hal-hal lain.

Hal ini antara lain terlihat dalam Perkara No. 45/Pdt.G/2006/PN.KDI, yakni dalam hal penggunaan

asas ne bis in idem. Dalam putusan ini Majelis Hakim memutus bahwa gugatan penggugat ditolak

karena para tergugat sudah memenuhi ganti ruginya kepada salah satu ahli waris almarhum, yakni

ibu almarhum; sehingga penggugat, sebagai ahli waris lain almarhum (yakni istri almarhum), tidak

dapat lagi menuntut ganti rugi dari para tergugat atas kerugian yang sama. Hal ini tidak sesuai

dengan kaidah hukum. Sebab, dalam hukum waris, baik hukum waris Islam maupun hukum waris

menurut KUH Perdata, tidak ada ketentuan bahwa bila salah satu ahli waris sudah melaksanakan
73

dan menerima suatu haknya sebagai ahli waris, hal tersebut menutup/menghapus hak ahli waris

lain untuk melaksanakan dan menerima haknya yang serupa sebagai ahli waris. Ahli waris

dibenarkan untuk mengajukan gugatan sebagai ahli waris baik bersama-sama atau sendiri, dan

justru pendapat demikian pun sudah disetujui oleh Majelis Hakim sendiri.

Ketidaksesuaian dengan kaidah hukum terlihat juga dalam Putusan No.

8/Pdt.G/2008/PN.SINJAI. Dalam perkara ini terdapat setidaknya 5 ketidaksesuaian dengan

kaidah hukum. Namun di sini hanya akan dikemukakan salah satu di antaranya: Majelis Hakim

memutus tidak sesuai dengan kaidah hukum yang sebenarnya suda sangat jelas, dan tidak

member kemungkinan untuk ditafsirkan secara berbeda. Di dalam penjelasan Pasal 59 ayat (5)

huruf (a) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditetapkan: “Yang dimaksud

dengan ‘pimpinan partai politik’ adalah ketua dan sekretaris partai politik …. sesuai dengan

tingkat daerah pencalonannya.” Akan tetapi Majelis Hakim mengeluarkan putusan yang intinya

menyatakan bahwa Surat Pencalonan Bupati-Wakil Bupati yang ditandatangani pimpinan partai

tingkat provinsi adalah sah dan sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (5) huruf (a) UU

No. 32 Tahun 2004. Dengan demikian Majelis Hakim jelas melanggar unsur “sesuai dengan

tingkat daerah pencalonannya” pada penjelasan pasal tersebut.

Khusus tentang putusan provisi dan putusan serta merta, Dari total 59 putusan perdata

yang diteliti, 33 putusan (55,9%) mengandung permohonan putusan provisi dan permohonan

putusan serta merta, dengan perincian 8 permohonan putusan provisi (13,6% dari total 59

putusan) dan 31 permohonan putusan serta merta (52,5 % dari total 59 putusan).

Dari ke-33 putusan ini tidak terdapat indikasi adanya penyimpangan-penyimpangan atau

ketidaktepatan putusan Majelis Hakim dalam hal permohonan putusan provisi dan permohonan

putusan serta merta..


74

Di dalam menetapkan permohonan Sita Jaminan/ Sita Revindikatoir, dari total 59

putusan perdata yang diteliti, 23 putusan (39%) mengandung permohonan sita jaminan atau

permohonan sita revindikatoir. Dari ke-23 putusan ini hanya terdapat 1 putusan (4,3%) yang

tidak tepat dalam hal penetapan sita jaminan/sita revindikatoir, yaitu Putusan No.

06/Pdt.G/2003/PN.KAB.MGL, karena Majelis Hakim menolak menyatakan sah dan berharga sita

revindikatoir yang dimohon penggugat atas tanah obyek sengketa dengan alasan sejak awal

penggugat tidak pernah mengajukan surat permohonan untuk melakukan sita atas tanah obyek

sengketa. Padahal, dalam petitumnya penggugat telah memohon pengadilan melakukan sita

revindikatoir atas tanah tersebut. Namun memang permohonan sita revindikatoir penggugat

dalam perkara ini tepatnya harus ditolak, meskipun saharusnya bukan karena alasan di atas

akan tetapi karena yang dimohon penggugat adalah sita konservatoir, bukan sita revindikatoir.

Tidak terdapat indikasi adanya ketidaktepatan dalam hal penetapan sita jaminan/sita revindikatoir

pada ke-22 putusan lain (95,7%).

Dari total 59 putusan perdata yang diteliti, 41 putusan (69,5%) mengandung eksepsi.

Dari ke-41 putusan ini, mayoritas diputus Majelis Hakim secara tepat, yakni 32 putusan (78%),

sedangkan yang diputus secara tidak tepat terdapat dalam 9 putusan (22%).

Mayoritas putusan Majelis Hakim yang tidak tepat dalam eksepsi berasal dari perkara

yang terkait dengan sengketa tanah, yakni 5 putusan (55,6%). Berdasarkan wilayahnya, putusan

Majelis Hakim yang tidak tepat dalam eksepsi cenderung terjadi di wilayah Jawa-Sumatera, yakni

7 putusan (77,8%), sedangkan yang terjadi di wilayah non-Jawa-Sumatera sebanyak 2 putusan

(22,2%).

Sebagai contoh, dalam Perkara No. 06/Pdt/G/2005/PN.Ekg Majelis Hakim menolak

eksepsi error in persona yang diajukan oleh tergugat. Padahal, sejak awal perkara sampai
75

seluruh proses pembuktian dan jawab-jinawab selesai, dalil tergugat bahwa pihak yang

menguasai tanah obyek sengketa bukan dirinya, dan bahwa ia hanya mengerjakan tanah itu

dengan sistem bagi hasil dengan pihak yang menguasai tanah itu, sama sekali tidak

terbantahkan. Sepanjang persidangan tidak ada yang dapat membuktikan sebaliknya: bahwa

tergugat adalah pihak yang menguasai atau mengklaim memiliki tanah obyek sengketa tersebut.

Namun hal ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim. Sekiranya Majelis Hakim

mempertimbangkan, maka seharusnya Majelis Hakim akan memutus menerima eksepsi tergugat

sehingga menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima ( niet ontvantkelijk verklaard).

Dari total 59 putusan perdata yang diteliti, terdapat 13 putusan (22%), yang tidak tepat

dalam konvensi. Dari ke-13 putusan ini, 4 (30,8%) di antaranya merupakan perkara yang terkait

dengan sengketa tanah, sedangkan sisanya terdiri dari berbagai macam perkara lain yang tidak

menunjukkan adanya suatu kecenderungan umum pada jenis perkara tertentu. Sedangkan

berdasarkan wilayahnya, putusan yang tidak tepat dalam konvensi terjadi secara cukup merata di

kawasan Jawa-Sumatera maupun kawasan non-Jawa-Sumatera karena dari ke-13 putusan ini, 6

terjadi di kawasan non-Jawa-Sumatera (46,2%) dan 7 (53,8%) terjadi di kawasan Jawa-

Sumatera, dengan perincian 4 (30,8%) terjadi di Jawa dan 3 (23,1%) terjadi di Sumatera.

Sebagai contoh, dalam perkara No. 24/Pdt.G/2004/PN.YK, putusan Majelis Hakim dalam

rekonpensi tidak tepat sebab Majelis Hakim berpendapat bahwa karena para penggugat yang

mendalilkan gugatannya, maka para penggugatlah yang dibebani untuk membuktikan dalil yang

disangkal para tergugat, sedangkan perkara ini adalah perkara malpraktik dengan para pasien

sebagai para penggugat dan para dokter sebagai para tergugat. Dalam perkara malpraktik,

seharusnya dokterlah yang harus membuktikan apakah ada perbuatan melawan hukum yang

dilakukannya karena pasien tidak mengetahui sejauh mana batasan dari perbuatan dokter dalam
76

mengobatinya sehingga tidak termasuk malpraktik.. Dalam perbuatan melakukan hukum yang

dilakukan dokter, ukuran adanya kesalahan bukan lagi ukuran yang individualis subyektif atau

orang perseorangan sebagaimana dilakukan si pelaku tetapi ukuran yang didasarkan pada

kehati-hatian (zorgvuldigheid) seorang dokter yang dianggap mempunyai kemampuan sesuai

dengan akal yang sehat ( redelijk bekwaam). Selain itu, Majelis Hakim dalam pertimbangannya

harus mempertimbangkan bahwa yang dimaksud dengan adanya kesalahan profesi/malpraktik

(beroepsfout, profesional neligence ) menurut doktrin Berkhouwer dan Vorstman adalah apabila

dokter bersangkutan tidak dapat memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau mengabaikan hal-

hal yang oleh para dokter yang baik pada umumnya dalam situasi yang sama, diperiksa, dinilai,

diperbuat atau tidak diabaikan. Sehingga, dapat dikatakan ada tiga unsur yang harus ditempuh

dalam malpraktik medis, yaitu: adanya kelainan, kesalahan medis dan kerugian bagi pasien.

Dari total 59 putusan perdata yang diteliti, 15 putusan (25,4%) mengandung rekonpensi,

dan 41 putusan yang tidak mengandung putusan rekonpensi 50. Dari ke-41 putusan yang tidak

mengandung rekonpensi ini, mayoritas diputus Majelis Hakim secara tepat, yakni 32 putusan

(78%), sedangkan yang diputus secara tidak tepat terdapat dalam 9 putusan (22%). Tidak

terdapat indikasi adanya ketidaktepatan putusan Majelis Hakim dalam rekonpensi dari ke-15

putusan ini

Berdasarkan deskripsi di atas dapatlah diketahui bahwa, secara kuantitatif, di dalam

memeriksa perkara-perkara pidana, terdapat hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat

dalam 95 (63,8%) putusan (dari 149 putusan pidana yang diteliti) --- yang melakukan pemeriksaan

terhadap unsur-unsur tindak pidananya yang didakwakan oleh JPU, secara detail dan

50
Secara keseluruhan terdapat 59 putusan yang diteliti, hanya saja dari 59 putusan tersebut, terdapat 3
putusan yang tidak dapat dibuat anotasi karena tidak lengkap, sehingga dalam bagian ini jumlah
kesleuruhan putusan yang diteliti hanyalah 56 putusan.
77

komprehensif, serta hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 74 (49,7%) putusan

(dari 149 putusan pidana yang diteliti) --- yang pertimbangannya sesuai dengan norma hukum

yang berlaku. Demikian juga dalam perkara-perkara perdata, terdapat hakim-hakim --- yaitu hakim-

hakim yang terlibat dalam 40 (67,8%) putusan (dari 59 putusan perdata yang diteliti) --- yang

putusannya sesuai dengan kaidah hukum.

Keadaan yang demikian pada dasarnya menunjukan, bagaimana kemampuan menalar

hakim dalam untuk mengidentifikasi hak dan kewajiban dalam tatanan hukum yang berlaku,

dengan mengacu pada upaya mewujudkan cita-hukum yang mencakup idea tentang kepastian

hukum, prediktabilitas, kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam

masyarakat melalui penegakan kaidah-kaidah hukum. Hakim-hakim dengan kemampuan menalar

yang kurang memadai, tentu akan mengalami kesulitan untuk melakukan pemeriksaan terhadap

unsur-unsur tindak pidananya yang didakwakan oleh JPU, secara detail dan komprehensif, atau

memberikan pertimbangannya yang sesuai dengan norma hukum yang berlaku (dalam perkara

pidana), ataupun memberikan putusan yang sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku (dalam

perkara perdata). Hal inilah yang mungkin terjadi pada pada sebagian hakim --- yaitu hakim-

hakim yang terlibat dalam 54 (36,2%) putusan (dari 149 putusan pidana yang diteliti) --- yang tidak

melakukan pemeriksaan dan pertimbangan terhadap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan

oleh JPU, serta hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 75 (50,3%) putusan (dari

149 putusan pidana yang diteliti) --- yang pertimbangannya tidak sesuai dengan norma hukum

yang berlaku, ataupun pada hakim-hakim --- yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam (32,2%)

putusan (dari 59 putusan perdata yang diteliti) --- yang putusannya tidak sesuai dengan kaidah

hukum. Meskipun tidak dapat dipungkiri keadaan tersebut dapat saja terjadi karena berbagai
78

macam faktor penyebab, akan tetapi rendahnya kemampuan menalar dari para hakim, dapatlah

ditengarai sebagai salah satu penyebab terjadinya hal di atas.

Kemampuan menalar hakim dalam kerangka tatanan hukum yang berlaku, untuk

mengidentifikasi hak dan kewajiban manusia di dalam pergaulan hidupnya dengan mengacu pada

upaya mewujudkan cita-hukum yang mencakup idea tentang kepastian hukum, prediktabilitas,

kemanfaatan sosial dan keadilan yang harus diwujudkan di dalam masyarakat melalui penegakan

kaidah-kaidah hukum, masih merupakan merupakan pengetahuan dan keterampilan yang tidka

terlalu banyak dikuasai dan dipahami oleh hakim-hakim tersebut, baik sejak mengikuti perkuliahan

di Strata-1, atau selama hakim-hakim tersebut mengikuti seleksi penerimaaan calon hakim (cakim),

serta ketika akan diangkat menjadi hakim karier.

Sebagaimana diketahui, sebagian besar struktur kurikulum pada fakulas-fakultas hukum

strata-1 di Indonesia, didominasi oleh aspek pengetahuan, penguasaan, serta pengembangan

terhadap asas-asas, kaidah-kaidah, dan/atau aturan-aturan hukum, dan sedikit sekali muatan mata

kuliah yang mengajarkan dan memberikan pemahaman ---- baik secara langsung maupun tidak

langsung ---- terhadap berbagai bentuk penalaran dalam hukum.51 Demikian pula ketika para

hakim tersebut mengikuti seleksi penerimaan sebagai cakim. Materi tes yang dibuat dalam bentuk

tertulis, bahkan dalam bentuk soal pilihan ganda, dengan substansi yang melputi pengetahuan

umum dan pengetahuan tentang ilmu hukum, tidak memberikan penilaian yang memadai terhadap

kemampuan menalar dari calon hakim tersebut, karena titik beratnya pada penilaian tentang

51
Pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999 berbunyi: Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta
benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah
ditentukan dalam putusan pengadilan.
79

pengetahuan/penguasaan calon hakim terhadap ilmu hukum. 52 Hal ini terulang kembali dalam

berbagai diklat yang harus diikuti oleh para hakim, materi-materi diklat banyak mengulang mata

kuliah S1 dan lebih banyak teori dari pada materi peningkatan kemampuan di bidang teknik

peradilan53

Kalaupun pada tahapan tertentu dari seleksi calon hakim tersebut,, terdapat psikotes yang

materinya meliputi tes kemempuan verbal, kemampuan numerik, aritmatika, trigonometri, aljabar,

menggambar, dan dalam tes tersebut ditanyakan pula motivasi peserta untuk menjadi hakim 54.

Akan tetapi substansi soal-soal psikotes tertulis yang banya kemiripannya dengan tes IQ

(Intelegensi Quotient) ini, lebih banyak melakukan penilaian terhadap kemampuan menalar secara

umum, padahal ilmu hukum, sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri (yaitu sebagai ilmu

parktis yang bersifat normologik), membutuhkan model penalaran yang spesifik, yan berbeda

dengan model penalaran pada lmu-ilmu social atau humaniora pada umumnya.

Kekurangan ini sudah disadari oleh berbagai pihak, sehingga Komisi Hukum Nasional,

berdasarkan hasil penelitiannya tentang Membangun Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Hakim,

sampai [ada kesimpulan bahwa Diklat hakim selama ini belum mampu mencetak hakim yang

berkualitas dan memenuhi kebutuhan dunia peradilan, 55 sehingga materi diklat tersebut akan lebih

baik bila (antara lain ditambah dengan : (a) Legal Reasoning; (b) Teknik Penyusunan Putusan; (c)

Yurisprodensi dan putusan yang menjadi “land mark decision” .56

52
Komisi Hukum Nasional, Membangun Sistem Pendidikan Dan Pelatihan Hakim, Loc. Cit..
53
Ibid..Hal. 68
54
Ibid. Hal. 51.
55
Ibid. hal 150
56
Ibid..Hal. 93
80

G. Kemahiran yuridik
Profesionalisme hakim dari unsur ini, terlihat dari keterampilan atau kemahirannya dalam

menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum ( legal materials), serta kemampuannya untuk

menangani bahan-bahan hukum yang ada, dengan perkataan lain kemahiran yuridik ini dapat

diartikan sebagai kemampuan untuk secara kontekstual memahami relevansi, menginterpretasi

dan menerapkan kaidah-kaidah hukum yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi, dan sumber-sumber hukum lain yang relevan. Berdasarkan pengertian yang

demikian maka kemahiran yuridik dalam putusan yang diteliti dapat dilihat dari bagaimana hakim

merujuk pada yurisprudensi dan/ atau doktrin yang ada dan kemudian mempergunakan

yurisprudensi dan/ atau doktrin tersebut, dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Khusus

dalam putusan pidana, kemahiran yuridik dalam putusan yang diteliti dapat dilihat juga dari

bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada terdakwa,

bila dibandingkan dengan tuntutan yang telah dtetapkan oleh JPU.


Sebagaimana lazimnya dalam sistem hukum di Negara-negara Eropa kontinental, hakim

pada dasarnya tidak wajib untuk menggunakan dan mengikuti atau tidak terikat dengan

yurisprudensi atau pun pendapat para ahli dibidang hukum (doktrin). Namun untuk memperkuat

argumen-argumen atau pertimbangan-pertimbangannya, sangat disarankan agar Majleis Hakim

menggunakan kaidah-kaidah hukum yang telah diakui oleh Mahkamah Agung dalam bentuk

yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum. 57 Selain itu, tentunya sebagai salah satu sumber

57
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah
hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana,
Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah
Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu
perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia)
81

hukum yang diakui di dalam sistem hukum Indonesia, pendapat ahli berupa doktrin juga perlu

digunakan, jika itu dapat memperkuat argumentasi hakim dalam membuat putusan.
Yurisprudensi sebagaimana dikemukan oleh Djohansjah adalah “Putusan badan peradilan

berkekuatan hukum tetap yang berisikan kaidah hukum yang penting serta diyakini dan diikuti oleh
58
hakim lainnya pada elemen perkara yang sama dalam rangka menjamin kepastian hukum”.

Salah satu unsur penting dari Yurisprudensi yang membedakan dengan putusan lainnya adalah

bahwa putusan tersebut telah “diikuti secara berulang-ulang” oleh hakim lainnya. Hakim lainnya

yang dimaksud dalam proses ini dapat diartikan hakim pada tingkat pertama, tingkat banding,

maupun Hakim Agung di Mahkamah Agung. Kriteria Yurisrudensi adalah: (a) telah berkekuatan

hukum tetap; (b) merupakan penemuan hukum baru ( Rechtsvinding); (c) menjawab permasalahan

dinamika sosial masyarakat; (d) mencerminkan arah perkembangan hukum; (e) secara konstan

(berulang-ulang) telah diikuti oleh hakim lainnya 59.


Doktrin dapat diartikan sebagai pendapat dari para sarjana hukum yang ternama yang

mempunyai kekuasaan (otoritas keilmuan) dan dijadikan acuan bagi hakim untuk mengambil

keputusan. Dalam penetapan apa yang akan menjadi keputusan hakim, ia sering menyebut

(mengutip) pendapat seseorang sarjana hukum mengenai kasus yang harus diselesaikannya;

58
Bandingkan dengan pendapat yang menyatakan bahwa, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia adalah putusan Majelis Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan
memutus perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan Niaga yang
dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang telah beberapa kali dipergunakan
sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber
hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara relatif. (http://id.wikipedia.org/wiki/
Yurisprudensi_Mahkamah_Agung_Republik_Indonesia)
59
Djohansjah, Anotasi, Yurisprudensi Dan Putusan Penting (Landmark Decision), makalah dalam
pertemuan rencana pembuatan anotasi dan laporan penelitian putusan hakim tahun 2007 dan 2008,
Jakarta : Komisi Yudisial. 27 Maret 2009.
82

apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar

keputusan hakim tersebut.60

3. Kemahiran yuridik dalam putusan pidana

Mengenai penggunaan yurisprudensi dan doktrin dalam putusan-putusan pidana yang

diteliti, dapatlah dilihat pada table. 1 di bawah ini:

60
Wijiraharjo, sumber-sumber hukum, http://wijiraharjo.wordpress.com/2008/02/02/doktrin/, Februari 2,
2008
83

Tabel. 1
Penggunaan yurisprudensi dan doktrin dalam putusan pidana

Penggunaan
Jenis
N0. Jumlah Doktrin Yurisprudidensi
perkara
ada tidak Ada tidak
1 Korupsi 43 6 37 1 42
2 Korupsi dan Perjudian 1 0 1 0 1
3 Korupsi dan Pembalakan Liar 2 0 2 0 2
4 Memberikan Keterangan Palsu 1 0 1 0 1
5 Pencucian Uang 1 1 0 0 1
6 Perdagangan Satwa Langka 3 0 3 0 3
7 penyalahgunaan penyaluran BBM 2 0 2 0 2
8 Pengeluaran Ijazah Palsu 1 0 1 0 1
9 Peredaran Uang Palsu 1 0 1 0 1
10 Pembalakan Liar 21 1 20 2 19
11 perdagangan anak 2 1 1 0 2
12 Pengedaran sediaan farmasi Ilegal 1 0 1 0 1
13 Psikotropika 14 0 14 0 14
14 Narkotika 7 1 6 0 7
15 Terorisme 1 1 0 0 1
16 hacking 1 0 1 0 1
17 Lingkungan Hidup 5 1 4 0 5
18 Pembunuhan 3 1 2 0 3
19 Pembunuhan Berencana 1 0 1 0 1
20 Pembunuhan dan pemerkosaan 1 0 1 1 0
21 Pembunuhan anak 1 0 1 0 1
22 Aborsi 1 0 1 0 1
23 Penganiyaan 2 0 2 0 2
24 Tanpa Hak Membawa Senjata Tajam 1 0 1 0 1
25 KDRT 3 0 3 0 3
26 VCD Bajakan 1 0 1 0 1
27 Hak Cipta 5 0 5 0 5
28 Hak Merk 3 0 3 0 3
29 penghinaan 1 0 1 0 1
30 Pencemaran nama baik oleh Pers 1 1 0 1 0
31 Penyebaran berita bohong 1 0 1 0 1
32 Perbuatan tidak menyenangkan 1 1 0 0 1
33 Pengrusakan barang 1 0 1 0 1
84

34 Percobaan Pembajakan Kapal Laut 1 0 1 0 1


35 Penyelundupan 2 0 2 0 2
36 Pencurian Dengan Pemberatan 1 0 1 1
37 Penyerobotan Tanah 1 0 1 0 1
38 Penyewaan Tanah Tanpa Hak 1 1 0 0 1
39 Hak Atas Tanah 1 0 1 0 1
40 Perjudian 1 0 1 0 1
41 Penggelapan 6 0 6 0 6
42 Penggunaan Gelar Lulusan 1 0 1 0 1
JUMLAH 149 15 134 6 143

PROSENTASE 100% 10% 90% 4% 96%

JUMLAH T0TAL 149 149 149

Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui secara umum, dari 41 jenis tindak pidana

yang diteliti dalam 149 putusan hakim, terdapat 6 (4 %) putusan, yang didalam pertimbangannya,

Majelis Hakim mengutip yurisprudensi. Yurisprudensi tersebut masing-masing terdapat dalam

putusan tindak pidana: pembunuhan dan pemerkosaan, pencurian dengan pemberatan,

pencemaran nama baik oleh pers, dua putusan dalam tindak pidana korupsi, dan dua putusan

dalam tindak pidana pembalakan liar dengan jumlah total yang digunakan adalah 12 yurisprudensi.

Perincian 12 yurisprudensi tersebut dapat dilihat pada table. 2 dibawah ini:


85

Tabel. 2
Penggunaan yurisprudensi dalam putusan pidana

Hubungan
Digunakan dengan
Pembuat Hakim
dalam Unsur Tindak
No Yurisprudensi tentang Yurispru- Pengguna
Putusan Pidana yang
densi dari PN
PN Nomor didakwakan
JPU
Putusan MA
Pencabutan
No. Reg. No. Bukan untuk
keterangan Mahkamah
1. 229.K/KR/1959, membutktika
dalam Agung
tanggal 23 n
persidangan
Februari 1960
Putusan MA
Pencabutan
No. Reg. No. Bukan untuk
keterangan Mahkamah
2. 414/K/PID/1984 membutktika
dalam Agung
, tanggal 11 n
703/Pid.B/2 persidangan
Desember 1984 Palemban
005/PN.PL
Putusan MA Pencabutan g
G Bukan untuk
No. Reg. No. keterangan Mahkamah
3. membutktika
1043.K/PID/198 dalam Agung
n
7 persidangan
Putusan MA
(tidak
Perencanaan Untuk
disebutkan No Mahkamah
4. dalam tindak membutktika
Reg. dan Agung
pidana n
tanggal
putusan)
138/Pid.B/2 Turut serta Kaloka Untuk
Putusan HR 10
5. 007/ Pn.Klk melaku-kan Hoge Raad (Sulawesi membutktika
desember 1894
pencurian Tenggara) n
86

Turut serta Untuk


Putusan HR 1
6. melaku-kan Hoge Raad membutktika
Desember 1902
pencurian n
Turut serta Untuk
Putusan HR 9
7. melaku-kan Hoge Raad membutktika
Februari 1914
pencurian n
Putusan MA no pemberitaan Untuk
39/Pid.B/20 Mahkamah
8. 1608 tidak dipandang Mentawai membutktika
07/ PN.Mtw Agung
K/PID/2005 melawan hukum n
Putusan MA
turut serta
No. 1117 221/PID.B/ Lumajang Untuk
melakukan Mahkamah
9. K/PID/1990 2005/PN.L (Jawa membutktika
perbuatan Agung
tanggal 30 MJ Timur) n
pidana
Februari 1990
Putusan MA
258/PID.B/ unsur “secara
No. Lumajang Untuk
10 2005/PN.L melawan Mahkamah
81K/Kr/1973 (Jawa membutktika
. MJ hukum” dalam Agung
tangal 30 Maret Timur) n
. tindak pidana
1973
Putusan MA
unsur “secara
No. 1696 Untuk
11 melawan Mahkamah
K/Pid/2002 membutktika
. hukum” dalam Agung
tanggal 20 Mei n
tindak pidana
2003
Putusan MA
(tidak Unsur Barang
62/Pid.B/ Untuk
disebutkan No siapa dalam Mahkamah Labuha
12 2007/ membutktika
Reg. dan tindak pidana Agung (Ternate)
PN.LBH n
tanggal pembalakan liar
putusan)

Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui bahwa penggunaaan yurisprudensi dalam

pertimbangan putusan hakim pidana yang diteliti, tidak menyebar di seluruh Indonesia.

Yurisprudensi tersebut, (kecuali yang dilakukan oleh hakim pengadilan negeri Palembang yang

berdomisili di ibu kota provinsi), justru dilakukan oleh hakim di pengadilan negeri yang berada di

ibu kota kabupaten, yaitu Lumajang (Jawa Timur), Kaloka (Sulawesi Tenggara), Mentawai

(Sumatera Barat) dan Labuha (Ternate). Selain daripada itu, terdapat juga hakim yang merujuk
87

pada putusan Hoge Raad, sebagaimana terlihat dalam putusan yang dibuat oleh hakim dari PN,

Kaloka.
Bila ditelaah lebih lanjut yurisprudensi yang dipergunakan oleh hakim dalam

pertimbangannya dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar:


a. Yurisprudensi yang dipergunakan untuk mendukung argumentasi hakim dalam

pertimbangan hukumnya, terutama dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan oleh JPU.


Hal ini antara lain terlihat dalam putusan hakim dari Pengadilan Negeri Kolaka, dalam

Putusan No.138/Pid.B/2007/Pn.Klk, tentang tindak pidana: pencurian dengan pemberatan.

Dalam putusan ini untuk membuktikan unsur pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, Majelis Hakim

merujuk pada Putusan HR 10 desember 1894 yaitu pencurian yang dilakukan turut serta

melakukan dan bukan secara pembantuan; putusan HR 1 Desember 1902 yaitu untuk

pembuktian pencurian yang dilakukan secara bersekutu oleh dua orang atau lebih adalah

cukup, bahwa jelas perbuatan itu telah dilakukan dan bahwa mereka secara langsung turut

serta melakukannya, tidak perlu ternyata berapa bagian yang dilakukan masing-masing,

dan putusan HR 9 Februari 1914 : agar dapat dinyatakan bersalah turut serta melakukan

haruslah diperiksa dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan kehendak itu terdapat pada

tiap-tiap pelaku
Demikian pula dalam putusan Pengadilan Negeri Lumajang No. 221/PID.B/2005/PN.LMJ

tentang tindak pidana korupsi, Dalam mempertimbangkan unsur pasal 55 ayat (1) ke-1

KUHP, Hakim mempertimbangkan Putusan Mahkamah Agung No. 1117 K/PID/1990

tanggal 30 Februari 1990 yang menyatakan: untuk dapat dikualifikasikan sebagai turut

serta melakukan perbuatan pidana dalam arti melakukan bersama-sama, maka sedikitnya

harus ada 2 orang, yaitu orang-orang yang melakukan perbuatan pidana itu dan yang
88

dalam hal ini kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, yaitu

melakukan anasir dari perbuatan pidana.


Dalam Putusan No. 39/Pid.B/2007/PN.Mtw tentang tindak pidana pencemaran nama baik

oleh pers di Pengadilan Negeri Mentawai. Untuk membuktikan unsur pemberitaan yang

melawan hukum atau tidak, hakim merujuk pada Putusan MA no 1608 K/PID/2005, yang

mempertimbangkan bahwa pemberitaan tidak dipandang melawan hukum bila: (a) suatu

berita telah dibantah melalui hak jawab; (b) telah dicek keberbagai sumber dengan

memperhatikan asas cover both sides


Sedangkan dalam putusan No 258/PID.B/2005/PN.LMJ tentang tindak Pidana Korupsi di

Pengadilan Negeri Lumajang, untuk membuktikan unsur “secara melawan hukum”, Hakim

mempertimbangkan Putusan Mahkamah Agung No. 81K/Kr/1973 tangal 30 Maret 1973

dan Putusan MA No. 1696 K/Pid/2002 tanggal 20 Mei 2003 dimana dalam pertimbangan

hukumnya menyatakan “....sarana melawan hukum adalah perbuatan melawan hukum

dalam arti luas, ialah mencakup perbuatan melawan hukum, tidak hanya sebagai

perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan (yang tertulis) tetapi meliputi pula

perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang tidak tertulis yaitu peraturan-peraturan

dibidang kesusilaan, keagamaan, sopan santun dan ajaran melawan hukum yang dianut

oleh MA adalah ajaran melawan hukum secara materiil, baik secara negatif maupun

positif.
Demikian pula dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia (tidak

disebutkan no. putusan dan tanggal dikeluarkannya putusan tersebut) yang dipergunakan

oleh hakim Pengadilan Negeri Labuha (Ternate), ketika memeriksa dan

mempertimbangankan unsur barang siapa dalam tindak pidana pembalakan liar.


89

b. Yurisprudensi yang tidak terkait secara langsung untuk mendukung argumentasi hakim

dalam pertimbangan hukumnya.


Hal ini terlihat dalam putusan hakim dari Pengadilan Negeri Kolaka, dalam Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Reg. No. 229.K/KR/1959, tanggal 23 Februari

1960, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Reg. No. 414/K/PID/1984,

tanggal 11 Desember 1984, dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. Reg.

No. 1043.K/PID/1987, tentang pencabutan keterangan terdakwa di dalam persidangan

Berdasarkan tabel.2 di atas, dapat diketahui bawah dari 41 jenis tindak pidana yang diteliti

dalam 149 putusan hakim, terdapat 15 (10 %) putusan, yang didalam pertimbangannya, Majelis

Hakim mengutip doktrin. Doktrin tersebut masing-masing terdapat dalam putusan tindak pidana:

korupsi, lingkungan, narkotika, pembalakan liar, pembunuhan, pencemaran nama baik oleh pers,

pencucian uang, penyewaan tanah tanpa hak, perbuatan tidak menyenangkan, perdagangan

anak, terorisme. Perincian doktrin tersebut dapat dilihat pada table. 3 dibawah ini:
90

Tabel. 3
Penggunaan doktrin dalam putusan pidana

Hakim Doktrin yang


Putusan Jenis
No. Pengguna Doktrin dari digunakan
Pengadilan perkara
dari PN untuk mendukung
Donggala - R. Wiryono, pembuktikan unsur
(Sulawesi SH “memperkaya diri
Tengah) - Aruan sendiri atau orang
100/Pid.B/2007/ Sakidjo, SH, lain atau suatu
1 Korupsi MH korporasi”
PN.DGL
- Dr Bambang
Purnomo, SH

Palu - Jean Revero Doktrin tentang


- Jean Waline penyalahgunaan
- Bagir Manan kewenangan dalam
hukum administrasi,
untuk membuktikan
unsur
454/Pid.B/2004/
2 Korupsi “menyalahgunakan
PN.PL
kewenangan,
kesempatan atau
sarana yang ada
padanya karena
jabatan atau
kedudukan”,
3 51/PID.B/2005 Korupsi Wonosari W.F. Prins Doktrin
/PN.WNS (DIY) penyalahgunaan
wewenang
dalam memeriksa
unsur
“Menyalahgunakan
kewenangan,
kesempatan atau
sarana yang ada
padanya karena
jabatan atau
kedudukan
91

Tidak Menngunakan De
disebutkan Willstheori, dalam
memeriksa unsur
“Untuk tujuan
menguntung diri
sendiri atau orang
lain atau suatu
korporasi”,
Pemalang Prof. Dr. Barda unsur “secara
120/PID.B/2005/
4 Korupsi Nawawi Arief, melawan hukum”
PN.PML
S.H
Bengkulu - Van Unsur
Bememelen ”menguntungkan”
dan Van dalam tindak pidana
84/Pid.B/2006/
5 Korupsi Hattum korupsi
PN. BKL
- Noyon dan
Langemeijer

Menado Tidak asas Subsidiaritas


284/PID.B/2005/
6 Lingkungan disebutkan dalam Hukum
PN.MDO
Lingkungan
Ternate Tidak Penggunaan dua
disebutkan syarat pemidanaan
yakni: (a) Syarat
27/Pid.B/2007/ adanya perbuatan
7 Narkotika
Pn.Tte pidana (delict); (b)
Syarat adanya
kesalahan (schuld)

Labuha Tidak Doktrin tentang


(Ternate) disebutkan unsur barang siapa,
62/Pid.B/ 2007/ doktrin tentang
8 Pembalakan Liar
PN.LBH prinsip dan doktrin
tentang tujuan
pemidanaan
Kolaka Tidak Doktrin tentang
(Sulawesi disebutkan kesengajaan untuk
192/Pid.B/2007/ Utara) membuktikan unsur
9 pembunuhan
PN.Klk dengan sengaja
menghilangkan
nyawa orang
Mentawai Tidak Doktrin Voorsteling
pencemaran
39/Pid.B/2007/ disebutkan Theory untuk
10 nama baik oleh
PN.Mtw membuktikan unsur
pers
kesengajaan
92

Jakarta - Prof. Doktrin tentang


Selatan Lamintang sengaja (opzet)
S.H. untuk membuktikan
- M. Tresna unsur
perbuatan yang
dilakukan dengan
254/Pid.B/2004/
11 Pencucian Uang sengaja
PN.Jkt. Sel
- R. Seosilo Untuk
- Simons, mempertimbangank
an unsur perbuatan
yang diteruskan
atau berlanjut
Palu R.Soesilo Doktrin tentang
330/Pid.B/2005/ Penyewaan surat palsu dan
12
PN.PL Tanah tanpa Hak memalsu surat

Banjarbaru Brig. Jen. Pol perbuatan paksaan


Drs Moch yang dilakukan
Anwar, SH dengan melawan
(DADING), hukum
47/Pid.B/2005/ perbuatan tidak - W.P.J. Doktirn tentang
13
Pn.Bjb menyenangkan Pompe pengertian “secara
- Noyon dan melawan hukum”
GE.
Langermeijer

Medan R. Soesilo memperniagakan


702/Pid.B/2004/ Perdagangan atau
14
PN.Mdn Anak memperdagangkan
perempuan
Jakarta - Von Hippel Dalam
Pusat - Van Hanttum mempertimbangkan
- Van unsur dengan
Hammel, sengaja
2374/Pid.B/2006/ - Satochid menggunakan
15 Terorisme
PN.Jkt.Pst Kartanegara kekerasan atau
- Vos, ancaman kekerasan
- Wirjono
Prodjodikoro
93

Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui bahwa penggunaaan doktrin dalam

pertimbangan putusan hakim pidana yang diteliti, realtif menyebar di seluruh Indonesia, baik

Indonesia bagian barat, Indonesia bagian tengah dan Indonesia bagian timur. Doktrin tersebut

digunakan baik oleh hakim-hakim di PN yang berdomisili di kota besar dan/ atau ibu kota propinsi,

seperti Pengadilan Negeri: Palu, Bengkulu, Menado, Ternate, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, dan

Medan, juga dipergunakan oleh hakim di PN yang berkedudukan di ibu kota kabupaten, seperti

pengadilan negeri: Donggala (Sulteng), Wonosari (DIY), Pemalang (Jateng), Labuha (Ternate),

Kolaka (Sulawesi Utara), Mentawai (Sumbar) dan Banjarbaru (Kalsel).


Profesionalisme hakim dari perspektif kemahiran yuridik ini juga dapat dilihat dari

bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada terdakwa,

bila dibandingkan dengan tuntutan yang telah dtetapkan oleh JPU.


Berat ringannya hukuman yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana dalam batas-batas

tertentu diyakini dapat menimbulkan efek jera ( deterrent effect) baik terhadap terpidana (agar tidak

mengulangi lagi perbuatannya) ataupun terhadap calon-calon pelaku tindak pidana (agar tidak

melakukan tindak pidana). Selain efek jera, berat ringannya hukuman tentunya juga berpengaruh

terhadap rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Mahkamah Agung menyadari sepenuhnya

hal tersebut dan secara khusus melalui SEMA No. 1 Tahun 2000 menginstruksikan kepada Hakim

agar menjatuhkan hukuman yang setimpal sesuai dengan berat dan sifat dari tindak pidana

tertentu yaitu: tindak pidana ekonomi, korupsi, narkoba, perkosaan, pelanggaran HAM berat dan

lingkungan hidup. Hukuman yang setimpal tersebut diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan

yang tumbuh dalam masyarakat.


Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tentang suatu perbuatan diluar

dari dakwaan JPU (walaupun terbukti dalam persidangan). Putusan Hakim harus berdasarkan

surat dakwaan, tercantum dalam pasal 182 ayat (4) KUHAP (yang sepadan dengan pasal 292 ayat
94

(1) HIR dahulu) yang berbunyi: ”Musyawarah tersebut pada ayat (3) harus didasarkan atas surat

dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang”.


Sebelum menjatuhkan hukuman, hakim biasanya mempertimbangkan faktor-faktor yang

memberatkan dan meringankan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap terdakwa. Dalam

penelitian ini ditemukan putusan-putusan hakim yang dipertimbangan secara obyektif, dan sejalan

dengan pertimbangannya atas faktor-faktor yang memberatkan dan meringankan. Hal ini antara

lain terlihat dalam Putusan No. 61/PID.B/2006/PN.YK. Pada Putusan ini, walaupun JPU hanya

menuntut hukuman penjara selama 2 tahun dikurangi masa tahanan, namun Hakim, setelah

secara obyektif mempertimbangkan faktor-faktor yang meringankan dan yang memberatkan,

menjatuhkan hukuman selama 4 tahun dikurangi masa tahanan.


Akan tetapi sebagaimana dikemukakan di atas, terdapat pula vonis hakim yang jauh lebih

rendah dari tuntutan JPU, termasuk pada perkara-perkara yang secara khusus oleh Mahkamah

Agung disebutkan dalam SEMA No. 1 Tahun 2000 agar dijatuhi hukuman yang setimpal. Misalnya

Pada Putusan No. 454/Pid.B/2004/PN.PL, JPU menuntut pidana penjara selama 6 tahun dikurangi

masa tahanan, namun hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun dikurangi masa

tahanan. Singkatnya hukuman penjara yang dijatuhkan tidak konsisten dengan pertimbangan

tentang faktor-faktor yang meringankan dan memberatkan yang telah disebutkan oleh Hakim yang

bersangkutan pada putusannya. Walaupun perbandingan di antara faktor-faktor yang

memberatkan dan faktor-faktor yang meringankan cukup seimbang namun Hakim menjatuhkan

hukuman yang jauh lebih ringan daripada tuntutan JPU, yaitu 1/6 (16.7%) dari tuntutan JPU.

4. Kemahiran yuridik dalam putusan perdata

Dalam putusan-putusan perdata yang diteliti, penggunaan yurisprudensi dan doktrin oleh

hakim dalam pertimbangannya,dapatlah dilhat pada tabel. 4 di bawah ini:


95

Tabel. 4
Penggunaan yurisprudensi dan doktrin dalam putusan perdata

Penggunaan
No Jenis
Putusan PN No. Doktrin Yurisprudensi
. perkara
Ada Tidak Ada Tidak
1 07/Pdt.G/2007/PN.TTE Sengketa Tanah Warisan 0 1 0 1
Penguasaan Tanah
2 13/Pdt.G/2007/PN.LBH 0 1 1 0
Tanpa Hak
3 84/Pdt.G/2004/PN.BJM Penanaman Modal 0 1 0 1
Sengketa Obyek
4 01/Pdt.PLW/2007/PN.K.KP Jaminan Fidusia oleh 1 0 1 0
Negara
Sengketa Hak Milik
5 08/Pdt.G/2004/PN.PLR 0 1 0 1
dalam Warisan
Sengketa Kepemilikan
6 12/Pdt.G/2007/PN.KTB 1 0 0 1
Hak atas Tanah
Sengketa Advokat
7 66/Pdt.G/2007/PN.BJM 0 1 0 1
dengan Mantan Klien
Sengketa Hak Milik atas
8 11/Pdt.G/2007/PN.KLK 0 1 0 1
Harta Bersama
Sengketa Kepemilikan
9 08/Pdt.G/2006/PN.Kdi 0 1 0 1
Tanah
Sengketa Kepemilikan
10 16/Pdt.G/2005/PN.KLK Tanah Harta Gono Gini 0 1 0 1
Perceraian
Ganti Rugi Korban
11 45/Pdt.G/2006/PN.KDI 0 1 0 1
Kecelakaan Lalu Lintas
12 1/Pdt.G/2006/PN.MKL Sengketa Tanah 0 1 0 1
Sengketa Kepemilikan
13 06/Pdt.G/2005/PN.Ekg 0 1 0 1
Tanah dalam Keluarga
10/Pdt.G/2005/PN.Pangkajen Sengketa Status
14 0 1 0 1
e Kepemilikan Tanah
Sengketa Penetapan
15 8/Pdt.G/2008/PN.SINJAI Calon Bupati-Wakil 0 1 1 0
Bupati dalam Pilkada
96

16 59/PDT.G/2007/PN.MDO Sengketa Hak Warisan 0 1 0 1


17 145/PDT.G/2007/PN.MDO Sengketa Tanah 0 1 0 1
18 05/PDT.G/2004/PN Klk Sengketa Tanah 0 1 0 1
PMH dalam Penguasaan
19 02/Pdt.G/2004/PN.WNS 0 1 1 0
Tanah Warisan
Perbuatan Melawan
20 24/Pdt.G/2004/PN.YK Hukum (Malpraktek 0 1 0 1
Dokter)
PMH dalam Jual Beli
21 16/Pdt.G/2006/PN.WNS 0 1 0 1
Tanah Sengketa
Perbuatan Melawan
22 29/Pdt.G/2007/PN.YK 0 1 0 1
Hukum oleh Penguasa
23 03/HK.M/2002/P.NIAGA.SMG PMH dalam Hak Merek 0 1 0 1
PMH dalam Jual Beli
24 02/Pdt.G/2003/PN.KAB.MGL 0 1 0 1
Tanah Sengketa
PMH dalam Jual Beli
25 06/Pdt.G/2003/PN.KAB.MGL 0 1 0 1
Tanah
26 196/Pdt.G/2007/PN.SMG Perceraian 0 1 0 1
27 341/Pdt.G/2004/PN.BDG Perceraian 0 1 1 0
28 75/Pdt.G/2005/PN.BDG Perceraian 0 1 0 1
Perbuatan Melawan
29 50/Pdt/G/2006/PN.BDG Hukum dalam Transaksi 0 1 0 1
Jual Beli
30 190/Pdt/G/2007/PN.BDG PMH oleh Penguasa 0 1 0 1
Perbuatan Melawan
31 52/Pdt.G/2005/PN. PBR 0 1 0 1
Hukum
Pembatalan jual beli
32 10/Pdt.G/2006/PN. PBR 0 1 0 1
tanah
PMH sengk. pemilikan
33 03/Pdt.G/2005/PN. Am 0 1 1 0
tanah
PMH sengk. pemilikan
34 05/Pdt.G/2004/PN. Am 1 0 1 0
tanah
PMH sengk. pemilikan
35 21/Pdt.G/2004/PN. BKL 0 1 0 1
tanah
PMH sengk. pemilikan
36 05/Pdt.G/2007/PN. BKL 0 1 1 0
tanah
PMH sengk. pemilikan
37 09/Pdt.G/2007/PN. BKL 1 0 0 1
tanah
PMH mendirikan
38 100/Pdt.G/2000/PN. PLG bangunan diatas tanah 0 1 0 1
orang lain
97

PMH dalam pemutusan


39 149/Pdt.G/2007/PN. Jkt. PSt 0 1 0 1
hubungan kerja
40 06/Pdt.G/2006/PN. Jkt. PSt PMH oleh Penguasa 0 1 0 1
Wanprestasi dalam
41 226/Pdt.G/2005/PN. Jkt. Pst pembayaran klaim 0 1 0 1
asuransi
PMH melalui
42 151/Pdt.G/2004/PN. Jkt. Pst 1 0 0 1
mekanisme class action
43 47/Pdt.G/2004/PN. Jkt. Pst PMH tenaga medis 0 1 0 1
PMH Pencemaran
44 94/Pdt.G/2005/PN. Jkt. Sltn 0 1 0 1
Lingkungan Teluk Buyat
PMH tidak
45 139/Pdt.G/2007/PN. Jkt. Pst 0 1 0 1
melaksanakan eksekusi
PMH menjual Benda
46 27/Pdt.G/2006/PN. TNG 0 1 0 1
Jaminan
Wanpertasi dalam
47 213/Pdt.G/2005/PN. TNG perjanjian kerjasama 0 1 0 1
pembangunan proyek
Wanpertasi dalam
48 95/Pdt.G/2006/PN. TNG perjanjian kerjasama 0 1 0 1
pembangunan proyek
Wanpertasi dalam
49 275/Pdt.G/2007/PN. TNG perjanjian perjanjian 0 1 0 1
kredit bank
Wanpertasi dalam
50 13/Pdt.G/2008/PN. TNG perjanjian perjanjian 0 1 0 1
kredit bank
Bantahan oleh kurator
51 55/Pdt.Bth/2006/PN. TNG terhadap penetapan sita 0 1 0 1
eksekusi
Wanprestasi dalam
52 442/Pdt.G/2005/PN.Mdn perjanian jual beli tanah 0 1 0 1
dan bangunan
Wanprestasi dalam
53 01/Pdt.G/2007/PN.Mdn perjanian hutang 0 1 0 1
piutang
Wanprestasi dalam
54 01/Pdt.G/2007/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
Wanprestasi dalam
55 13/Pdt.G/2006/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
98

Wanprestasi dalam
56 10/Pdt.G/2006/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
Wanprestasi dalam
57 12/Pdt.G/2006/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
Wanprestasi dalam
58 14/Pdt.G/2006/PN.TJP Kontrak Konstruksi 1 0 0 1
Proyek pemerintah
Wanprestasi dalam
59 76/Pdt.G/2007/PN.PDG Kontrak Konstruksi 0 1 0 1
Proyek pemerintah
JUMLAH 10 49 8 51
PROSENTASE 100% 17% 83% 14% 86%
JUMLAH T0TAL 59 59 59

Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui bahwa dari 59 putusan perdata yang diteliti,

terdapat 8 (14 %) putusan, yang didalam pertimbangannya, Majelis Hakim mengutip yurisprudensi.

Yurisprudensi tersebut masing-masing terdapat dalam putusan perkara: penguasaan tanah tanpa

hak, sengketa obyek jaminan fidusia oleh negara, sengketa penetapan calon bupati-wakil bupati

dalam pilkada, perbuatan melawan hukum dalam penguasaan tanah warisan, perceraian dan

perbuatan melawan hukum dalam sengketa pemilikan tanah, dengan jumlah total yang digunakan

adalah 22 yurisprudensi. Perincian 22 yurisprudensi tersebut dapat dilihat pada tabel.5 dibawah

ini:
99

Tabel. 5
Penggunaan yurisprudensi dalam putusan perdata

Digunakan Hakim
No dalam Pengguna
Yurisprudensi Tentang Jenis perkara
. Putusan PN dari PN
No.
1 Putusan MA No.
Penarikan pihak tergugat
305K/Sip/1971
adalah wewenang dari
tertanggal 16
penggugat
Juni 1971
Sertifikat hak milik tanah
Putusan MA No.
sebagai alat bukti tidak
701K/Sip/1974
terbantahkan mengenai
tertanggal 14
siapa pemegang hak
April 1976
milik atas tanah.
Saksi-saksi yang
diajukan oleh tergugat
yang hanya tahu tentang
keberadaan obyek yang
Putusan MA No. disengketakan dan tidak
858K/Sip/1971 sesuai dengan
tertanggal 27 pengetahuan tentang
Penguasaan
Oktober 1971 13/Pdt.G/200 asal-usul dari tanah yang Labuha
Tanah Tanpa
7/PN.LBH disengketakan yang jelas (Ternate)
Hak
dan pasti, tidak dapat
dijadikan sebagai alat
bukti yang sempurna
Kewenangan judex
factie untuk menentukan
dapat diterima atau
tidaknya permohonan
pembuktian dalam
Putusan MA No.
pemeriksaan setempat
1087K/Sip/1973
yang diajukan oleh salah
tertanggal 1 Juli
satu pihak dalam
1975
(penggugat) yang ingin
membuktikan mengenai
sengketa tanah yang
diserobot/dikuasai oleh
tergugat
100

2 Pembantah/penggugat
Putusan MA No.
yang berhak
305 K/Sip/1971
menentukan pihak-pihak
tanggal 16 Juni
yang akan ditarik dalam
1971
gugatannya Kuala Sengketa Obyek
01/Pdt.PLW/2 Jangka waktu Kapuas Jaminan Fidusia
007/PN.K.KP pengajuan gugatan (Kalimanta yang dirampas
Putusan MA No.
perlawanan tersebut n Tengah) oleh Negara
954 K/Sip/1973
yang harus diajukan
tanggal 19
sebelum eksekusi
Februari 1973
terhadap putusan
tersebut selesai.
Jangka waktu
pengajuan gugatan
Putusan MA No
perlawanan tersebut
679 K/Sip/ 1974
yang harus diajukan
tanggal 31
sebelum eksekusi
Agustus 1977
terhadap putusan
tersebut selesai.
3 8/Pdt.G/2008/ Gugatan baik dalam Sinjai Sengketa
PN.SINJAI positanya maupun dalam (Sulawesi Penetapan Calon
petitumnya pihak Selatan) Bupati-Wakil
Putusan MA No. penggugat tidak Bupati dalam
117K/Sip/1971 menjelaskan dengan Pilkada
tertanggal 2 lengkap tentang ganti
Juni 1971 rugi yang dituntutnya
maka gugatan tidak
dapat diterima oleh
hakim
Putusan MA No. Tuntutan kerugian
1157K/Sip/1971 immaterial dalam suatu
gugatan dapat diterima
bilamana tuntutan
tersebut disebabkan oleh
terjadinya penghinaan
terhadap penggugat
101

Putusan Judex Factie


yang didasarkan kepada
tuntutan subsidair yaitu
permohonan mengadili
menurut kebijaksanaan
hingga karenanya
merasa tidak tidak terikat
Putusan MA No.
pada tuntutan petitum
140K/Sip/1971
primair, dapat
tertanggal 12
dibenarkan karena
Agustus 1972
dengan demikian lebih
diperoleh suatu putusan
yang mendekati rasa
keadilan asalkan masih
dalam kerangka yang
serasi dengan inti
petitum primair.
Larangan hakim tidak
Putusan MA No. boleh mengabulkan hal-
1001K/Sip/1972 hal yang tidak diminta
tertanggal 17 atau melebihi daripada
Januari 1973. yang diminta, tidak
berlaku secara mutlak
4 janda merupakan ahli
Putusan MA No. waris kelompok utama
3190 bersama anak-anak
K/Pdt/1985 yang lain.

Putusan MA No.
janda selalu merupakan
302/K/Sip/1960
ahli waris terhadap
tanggal 2
barang asal dari Perbuatan
September
suaminya Melawan Hukum
1960 02/Pdt.G/200 Wonosari
dalam
Putusan MA No. 4/PN.WNS (DIY)
janda berhak Penguasaan
1585
memperoleh biaya hidup Tanah Warisan
K/Sip/1974
selama hidupnya dari
tanggal 29
harta warisan suaminya
Desember 1977
Janda berhak menguasai
Putusan MA No.
harta peninggalan
294 K/Sip/1976
suaminya selama
tanggal 20 Juli
hidupnya atau sepanjang
1977
belum kawin lagi
102

5 percekcokan terus
menerus tidak dapat
Putusan MA No.
didamaikan bukanlah
3180
ditekankan harus dilihat
K/Pdt/1985
dari adanya cekcok yang
tanggal 28
341/Pdt.G/20 terus menerus yang
Desember 1987 Bandung Perceraian
04/PN.BDG hingga kini tidak dapat
didamaikan lagi
Putusan MA No.
Tidak adanya kerukunan
105 K/Sip/1968
sebagai alasan
tanggal 12 Juni
perceraian
1968
6 Yurisprudensi
Hooge Cohe, pengertian perbuatan
Thn 1919, tgl 13 melawan hukum Arga
Januari 1919 Makmur PMH sengketa
03/Pdt.G/200
hanya penggugat yang (Bengkulu pemilikan tanah
5/PN. Am
Putusan MA No. berwenang untuk Utara)
305/K/Sip/1971 menentukan siapa-siapa
yang digugatnya
7 Di dalam putusan tidak
Putusan MA No.
disebutkan apa isi Arga
551/K/Sip/1971
05/Pdt.G/200 putusan MA tersebut Makmur PMH Sengketa
Putusan MA No. 4/PN. Am Di dalam putusan tidak (Bengkulu Pemilikan Tanah
1078/K/Sip/197 disebutkan apa isi Utara)
2 putusan MA tersebut
8 besarnya nilai kerugian
Putusan MA No. yang semata-mata
1057/K/Sip/197 05/Pdt.G/200 hanya didasarkan PMH Sengketa
Bengkulu
3, tanggal 25 7/PN. BKL asumsi perhitungan yang Pemilikan Tanah
Maret 2976 bersifat prediktif harus
ditolak

Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui bahwa penggunaaan yurisprudensi dalam

pertimbangan putusan hakim perdata yang diteliti, relatif menyebar di beberapa daerah di

Indonesia, baik Indonesia bagian barat, tengah dan timur. Yurisprudensi tersebut dirujuk oleh

hakim yang berada dikota besar / ibu kota provinsi seperti Bandung dan Bengkulu, juga dirujuk

oleh beberapa hakim berdomisili di daerah ibu kota kabupaten, yaitu Labuha (Ternate), Kuala
103

Kapuas (Kalimantan Tengah), Sinjai (Sulawesi Selatan), Wonosari (DIY), dan Arga Makmur

(Bengkulu Utara).
Dari 59 putusan perdata yang diteliti, terdapat 10 (17 %) putusan, yang didalam

pertimbangannya, Majelis Hakim merujuk pada doktrin. Doktrin tersebut masing-masing terdapat

dalam putusan perkara: perampasan jaminan fidusia oleh negara, perbuatan melawan hukum

dalam kepemilikan hak atas tanah, perbuatan melawan hukum melalui mekanisme class action,

wanprestasi dalam kontrak konstruksi proyek pemerintah. Perincian penggunaan doktrin tersebut

dapat dilihat pada tabel. 6 dibawah ini:


104

Tabel. 6
Penggunaan doktrin dalam putusan perdata

Hakim Doktrin dari


No Putusan Doktrin yang digunakan
Jenis perkara Pengguna dari
. PN No. untuk mendukung
PN
1 01/Pdt.PL Sengketa Obyek Kuala Kapuas M. Yahya Nilai pembuktian akta
W/2007/PN Jaminan Fidusia (Kalteng) Harahap otentik
.K.KP oleh Negara Kedudukan benda
fidusia, yang tidak
sama dengan hak milik
sebagaimana
dimaksud dalam pasal
570 KUH Perdata
2 12/Pdt.G/2 Sengketa Kota Baru Tidak asas hukum umum
007/ Kepemilikan Hak (Kalsel) disebutkan setiap orang dapat
PN.KTB atas Tanah digugat apabila orang
tersebut dianggap
merugikan hak si
penggugat terlepas
benar tidaknya gugatan
penggugat.

3 151/Pdt.G/ PMH melalui Jakarta Pusat Doktrin- Pembuktian tentang


2004/ mekanisme class doktrin dari class action dan legal
PN. Jkt. Pst action anglo standing,
saxon dan
eropa
kontinental

4 01/Pdt.G/2 Wanprestasi Tanjung Pati R. Subekti Pembuktian jenis-jenis


007/ dalam Kontrak (Kab. Lima (bentuk) wanprestasi
PN.TJP Konstruksi Proyek Puluh Kota, dan akibat hukum dari
pemerintah Padang) wanprestasi
5 13/Pdt.G/2 Wanprestasi Tanjung Pati R. Subekti Pembuktian jenis-jenis
006/ dalam Kontrak (Kab. Lima (bentuk) wanprestasi
PN.TJP Konstruksi Proyek Puluh Kota, dan akibat hukum dari
pemerintah Padang) wanprestasi
6 10/Pdt.G/2 Wanprestasi Tanjung Pati R. Subekti Pembuktian jenis-jenis
006/ dalam Kontrak (Kab. Lima (bentuk) wanprestasi
PN.TJP Konstruksi Proyek Puluh Kota, dan akibat hukum dari
pemerintah Padang) wanprestasi
105

7 12/Pdt.G/2 Wanprestasi Tanjung Pati R. Subekti Pembuktian jenis-jenis


006/ dalam Kontrak (Kab. Lima (bentuk) wanprestasi
PN.TJP Konstruksi Proyek Puluh Kota, dan akibat hukum dari
pemerintah Padang) wanprestasi
8 14/Pdt.G/2 Wanprestasi Tanjung Pati R. Subekti Pembuktian jenis-jenis
006/ dalam Kontrak (Kab. Lima (bentuk) wanprestasi
PN.TJP Konstruksi Proyek Puluh Kota, dan akibat hukum dari
pemerintah Padang) wanprestasi
9 05/Pdt.G/2 PMH Sengketa Arga Makmur - Retnowul tidak menuliskan
004/PN. Pemilikan Tanah (Bengkulu an, secara tegas, apa yang
Am Utara) - Darwan dikutip dari pendapat
Prinst para sarjana/ahli
- Martiman hukum tersebut..
Projoham
i djojo
Pradnya,
- Sudikno
Mertoku-
sumo
10 09/Pdt.G/2 PMH Sengketa Bengkulu M. Yahya tentang fundamentum
007/PN. Pemilikan Tanah Harahap Petendi..
BKL

Berdasarkan tabel di atas dapatlah diketahui bahwa penggunaaan doktrin dalam

pertimbangan putusan hakim pidana yang diteliti, hanya terdapat pada putusan hakim di Indonesia

bagian barat, dan tengah. Doktrin tersebut digunakan baik oleh hakim-hakim di PN yang

berdomisili ibu kota provinsi, yaitu di Jakarta Pusat dan Bengkulu, juga dipergunakan oleh hakim

di PN yang berkedudukan di ibu kota kabupaten, seperti Pengadilan Negeri: Kuala Kapuas

(Kalteng), Kota Baru (Kalsel) dan, Tanjung Pati (Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar), Arga Makmur

(Bengkulu Utara).
Berdasarkan pendeskripsian di atas, maka bila profesionalisme hakim dilihat dari

perspektif kemahiran yuridik, dapatlah diketahui bahwa, secara kuantitaif, jumlah hakim yang

mempergunakan yurisprudensi untuk memperkuat argumen-argumen dalam pertimbangannya,


106

baik dalam pemeriksaan perkara pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif

sedikit, yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 6 (4%) putusan (dari 149 putusan) di perkara pidana,

8 (14%) putusan (dari 59 putusan) di sengketa perdata.


Hal yang relatif sama juga terlihat dalam penggunaan doktrin. Secara kuantitaif, jumlah

hakim yang merujuk pada doktrin untuk memperkuat argumen-argumen dalam pertimbangannya,

baik dalam pemeriksaan perkara pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif

sedikit, yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 15 (10 %) putusan (dari 149 putusan) di perkara

pidana , dan 10 (17 %) putusan (dari 59 putusan) di sengketa perdata.


Meskipun tidak dilakukan kajian lebih jauh dan mendalam, mengapa realtif sedikit hakim-

hakim yang merujuk pada yurisprudensi dan doktrin untuk memperkuat argumen-argumen dalam

pertimbangannya, akan tetapi kondisi di atas dapat saja tertafsir, masih rendahnya tingkat

keterampilan atau kemahirannya dalam menelusuri dan menemukan bahan-bahan hukum ( legal

materials), serta kemampuannya untuk menangani bahan-bahan hukum yang ada, serta

memperlihatkan adanya “keengganan” dari hakim untuk meningkatkan dan mengembangkan

profesionalismenya. Tidak adanya konsekuensi lebih lanjut dari para hakim yang telah

mempergunakan atau tidak mempergunakan yurisprudensi dan doktrin dalam pertimbangannya,

sepertinya menjadi alasan pembenar dari adanya keadaan ini. Hal yang relatif sama juga

ditemukan berdasarkan hasil penelitian Komisi Hukum Nasioan tentang, “standar pengujian profesi

hukum (Jaksa, Hakim dan Advokat), dengan adanya kekurangan dari kemampuan hakim dalam

hal-hal yang menyangkut kemahiran yuridis ini, maka dalam diklat hakim perlu diberi materi yang

menenkankan pada penguatan kapasitas personal, baik menyangkut ketrampilan hukum ( skill)

maupun kapasitas personal yang menyangkut pemahaman mengenai etika profesi hukum masing-

masing profesi Jaksa, Hakim dan Advokat. Baik dalam diklat umum dan diklat khusus, muatan

materi-nya mencakup antara lain: (a) Materi pengetahuan hukum, (b) Materi penunjang atas materi
107

pengetahuan hukum yang sifatnya lebih teknis dan aktual, (c) Materi ketrampilan ( skill) baik yang

ketrampilan hukum maupun ketrampilan sebagai personal profesi hukum. 61


Secara kualitatif, profesionalisme hakim dari perspektif kemahiran yuridik, juga patut

dipertanyakan. Meskipun terdapat beberapa putusan yang telah memberikan pertimbangan-

pertimbangan dengan baik, disertai rujukan-rujukan yurisprudensi dan doktrin yang tepat. Hal ini,

antara lain terlihat dalam Putusan PN. Kolaka Nomor 192/Pid.B/2007/PN.Klk, tentang Tindak

pidana Pidana: Pembunuhan dan Putusan PN. Metawai Nomor 39/Pid.B/2007/PN.Mtw, tentang

tindak Pidana Pencemaran Nama Baik oleh pers. Akan tetapi dari 149 putusan pidana yang diteliti,

terdapat 46 (31%) putusan, dimana hakim tidak mempertimbangan unsur-unsur tindak pidana

yang didakwakan oleh JPU secara komprehensif, dalam hal ini terdapat beberapa putusan dimana

hakim hanya menuliskan saja unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana bunyi Pasal yang

didakwakan JPU, tanpa membuktikan lebih lanjut masing-masing unsur tindak pidana satu persatu

secara komprehensif.
Hal ini antara lain terlihat dalam putusan Pengadilan Negeri Medan No.

3.107/Pid.B/2006/PN.Mdn, dalam tindak pidana pembalakan liar. Di dalam memeriksa dakwaan

JPU, hakim hanya mencantumkan saja unsur-unsur dalam Pasal 50 (3) huruf h jo 78 (7) UU No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, yakni : (a) barang siapa; (b) dengan sengaja mengangkut,

menguasai, atau memiliki hasil hutan; (c) yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat

keterangan sahnya hasil hutan. Selanjutnya Majelis Hakim tidak melakukan pembuktian terhadap

unsur-unsur tersebut satu persatu, akan tetapi langsung berkesimpulan, bahwa perbuatan

terdakwa memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 50 (3) huruf h jo 78 (7) UU No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan

61
Tim Peneliti Indonesian Court Monitoring, standar pengujian profesi hukum (Jaksa, Hakim dan
Advokat), Yogyakarta: Indonesian Court Monitoring, 2002, hal. 131.
108

Demikian pula dalam putusan PN Bengkulu Nomor 27/Pid.B/2007/PN. BKL, tentang

Tindak Pidana Narkotika (Menjadi Perantara dalam jual beli Narkotika Gol. I ), PN. Tondano

Nomor 11/Pid.B/2005/PN.Tdo, tentang tindak Pidana: Narkotika, PN. Malang No.

551/PID.B/2007/PN.MLG, tentang tindak pidana Pidana Pelanggaran Hak Cipta, PN. Malang

Nomor 437/PID.B/2007/PN.MALANG, tentang tindak pidana Tanpa Hak Membawa Senjata Tajam,

dan PN. Pasurusan Nomor 915/PID.B/2007/PN.Kab.Pas, tentang tindak pidana Pelanggaran Hak

Cipta. Dalam putusan-putusan tersebut, hakim hanya mencantumkan saja unsur-unsur dalam

Pasal yang didakwakan JPU. Hakim, tanpa mempertimbangkan unsur-unsur tersebut satu persatu,

langsung menyimpulkan bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur-unsur yang ditetapkan

dalam pasal yang disebutkan.


Terdapat pula putusan hakim dimana pertimbangan-pertimbangan yang diberikan hanya

mengulang saja apa yang dikdakwakan oleh JPU ataupun pembelaaan-pembelaan dari terdakwa.

Hal ini terlihat pada Putusan PN Padang No. 179/Pid.B/2006/PN.Pdg Tindak Pidana Mengedarkan

Sediaan Farmasi Tanpa Izin, dalam putusan ini, Pertimbangan yang diberikan oleh hakim hanya

mengutip dakwaan, tuntutan dan kesaksian saksi dan terdakwa, tanpa disertai doktrin,

yurisprudensi dan uraian secara rinci dan jelas tentang unsur-unsur tindak pidana yang harus

dibuktikan dan dipertimbangkan.


Untuk putusan-putusan hakim yang mempergunakan yurisprudensi dan doktrin dalam

pertimbangan-pertimbangannya, yaitu 6 putusan di perkara pidana, dan 8 putusan di sengketa

perdata, yang mempergunakan yurisprudensi dalam putusannya, serta 15 di perkara pidana , dan

10 putusan (dari 59 putusan) di sengketa perdata, yang mempergunakan doktrin dalam putusan-

putusannya, secara kualitatif pun tidak seluruhnya menunjukkan profesionalisme hakim dalam

menjalankan tugas dan kewenangannya..


109

Dalam putusan-putusan tersebut, terdapat putusan yang mencantumkan nomor putusan

MA yang menjadi yuriprudensi, tanpa disebutkan secara jelas, apa isi yurisprudensi tersebut, hal ini

terlihat pada PN Arga Makmur No. 05/Pdt.G/2004/PN. Am, yang merujuk pada Putusan MA No.

551/K/Sip/1971 dan Putusan MA No. 1078/K/Sip/1972.


Terdapat pula putusan yang mencamtumkan nama sarjana yang akan dikutip pendapatnya

sebagai doktrin, tetapi kemudian tidak menuliskan secara tegas, apa yang dikutip dari pendapat

para sarjana/ahli hukum tersebut. Hal ini terlihat dalam PN Arga Makmur No.05/Pdt.G/2004/PN.

Am.
Selain daripada itu terdapat pencantuman doktrin yang “mencontoh” dari putusan lain,

dengan cara penyajian dan sususan argumen yang relatif sama. Hal ini terlihat dalam putusan PN

Tanjung Pati, No. 10/Pdt.G/2006/PN.TJP; putusan PN Tanjung Pati 12/Pdt.G/2006/PN.TJP;

putusan PN Tanjung Pati 13/Pdt.G/2006/PN.TJP, dan ; putusan PN Tanjung Pati

14/Pdt.G/2006/PN.TJP, yang “mencontoh” putusan PN Tanjung Pati No. 01/Pdt.G/2007/PN.TJP,

yang mempergunakan pendapat R. Subekti, untuk membuktikan jenis-jenis (bentuk) wanprestasi

dan akibat hukum dari wanprestasi

H. Kesadaran serta komitmen profesional

Kesadaran serta komitmen profesional mencakup upaya penumbuhan sikap, kepekaan

dan kesadaran etik profesional, khususnya yang berkenaan dengan pembebanan profesi hukum

sebagai profesi yang berorientasi pada upaya mewujudkan keadilan di dalam masyarakat serta

profesi hukum sebagai profesi yang terhormat ( officium nobile).

Kesadaran serta komitmen profesional hakim ini dapat dilihat antara lain dari: (a)

pendampingan penasehat hukum (advokat), dan; (b) adanya kesalahan pengetikan.


110

3. Pendampingan Penasihat Hukum (Advokat)

a. Pendampingan penasehat hukum (advokat) dalam putusan pidana

Hak terdakwa atau tersangka atas bantuan hukum, dijamin oleh undang-undang..

Pasal 56 ayat (1) KUHAP mewajibkan “pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat

pemeriksaan dalam proses peradilan” untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka

atau terdakwa yang “disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam

dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka

yang tidak mampu yang diancam dengan tindak pidana lima tahun atau lebih yang tidak

mempunyai penasihat hukum sendiri”.

Namun dalam prakteknya ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP seringkali tidak

diterapkan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 149 putusan yang diteliti, terdapat

110 (73,6%) putusan yang terdakwanya didampingi oleh penasehat hukum dan terdapat

39 (26.2%) perkara, yang terdakwanya tidak didampingi penasihat hukum selama

persidangan berlangsung.

Tidak diterapkannya Pasal 56 ayat (1) KUHAP yang bertujuan untuk melindungi

hak tersangka dan terdakwa atas bantuan hukum tersebut banyak ditemukan pada kasus

pembalakan liar. Dari 21 putusan tentang pembalakan liar yang diteliti, terdapat 9 (43%)

putusan, yang terdakwanya tidak didampingi oleh penasihat hukum selama proses

persidangan. Adanya ketidaksesuaian tersebut juga terjadi pada kasus pelanggaran

terhadap UU No. 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika dan UU No. 22 Tahun 1997 Tentang

Narkotika. Dari 8 putusan yang diteliti dalam kasus narkotika, terdapat 4 (50%) putusan,

yang terdakwanya tidak didampingi penasihat hukum selama persidangan. Angka yang
111

bahkan lebih tinggi dijumpai pada perkara psikotropika. Dari 14 Putusan yang diteliti

terdapat 9 (64%) putusan, yang terdakwanya tidak didampingi oleh penasihat hukum.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terlihat bahwa ketiadaan jasa

bantuan hukum umumnya berkorelasi dengan status sosial dari terdakwa. Misalnya pada

kasus korupsi, yang pada umumnya terdakwa berasal dari golongan yang relatif mampu,

Dari 43 Putusan yang diteliti, hanya terdapat 2 (4.7%) putusan, yang terdakwanya tidak

didampingi oleh penasihat hukum selama proses persidangan. Bahkan dalam kasus tindak

pidana lingkungan yang umumnya melibatkan perusahaan-perusahaan besar, dari 5

Putusan yang diteliti, seluruh terdakwa didampingi oleh penasihat hukum.

Fenomena ini tentunya perlu ditindaklanjuti mengingat bahwa UUD 1945 62 telah

mengatur tentang kedudukan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum bagi setiap

warga negara tanpa memandang latar belakang status sosial. Selain itu, berbagai

ketentuan dalam undang-undang, dalam hal ini pasal 56 ayat (2) KUHAP dan Pasal 22 UU

No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, telah mengatur tentang bantuan hukum secara cuma-

cuma terhadap pencari keadilan yang tidak mampu. Bahkan pada akhir tahun 2008

Pemerintah telah menerbitkan PP No. 83 Tahun 2008 yang mengatur tentang tata cara

pelaksanaan bantuan hukum bagi pencari keadilan yang tidak mampu. Oleh karena itu

penerapan Pasal 56 ayat (1) KUHAP tidak boleh diabaikan lagi oleh para pejabat peradilan

di semua tingkatan, termasuk hakim.

Putusan yang dijatuhkan dalam persidangan dimana hak terdakwa untuk

mendapat bantuan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (1) KUHAP, diabaikan

berpotensi dijadikan sebagai alasan untuk membatalkan putusan tersebut. Dalam Putusan

62
Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1).
112

No. 1565 K/pid/1991 tanggal 16 September 1991, Mahkamah Agung sependapat dengan

Judex Facti dalam menolak kasasi JPU dengan alasan antara lain bahwa penyidik (Jaksa)

ketika memeriksa tersangka tidak menunjuk Penasihat Hukum sebagaimana diwajibkan

oleh Pasal 56 ayat (1) KUHAP dan oleh karenanya Tuntutan JPU dinyatakan Tidak Dapat

Diterima.63

b. Pendampingan penasehat hukum (advokat) dalam putusan perdata

Berbeda dengan perkara pidana, dalam kasus perdata, memang tidak ada

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik HIR, RBg, maupun

peraturan-peraturan lain, bahwa para pihak dalam perkara perdata wajib menggunakan

advokat, sehingga, para pihak dalam perkara perdata boleh beracara tanpa menggunakan

jasa advokat.

Dari total 59 putusan perkara perdata yang diteliti, sebagian besar adalah perkara

yang setidaknya salah satu pihak menggunakan jasa advokat untuk mewakilinya, yakni 48

perkara (81,4%).

Sedangkan jumlah perkara yang tidak satu pun dari para pihaknya menggunakan

jasa advokat untuk mewakilinya adalah 11 perkara (18,6%). Dari ke-11 perkara tersebut,

sebagian besar adalah sengketa yang terkait dengan tanah, yakni 6 perkara (54,5%). Dari

ke-11 perkara tersebut, hanya 1 perkara (9,1%) yang berasal dari Jawa, tepatnya Jakarta

Pusat. Selebihnya terjadi di Sumatera, yakni 6 perkara (54,5%), dan di kawasan non-

Jawa-Sumatera, yakni 4 perkara (36,4%). Meskipun tidak ada ketentuan yang mewajibkan

para pihak dalam perkara perdata menggunakan jasa advokat ataupun mewajibkan
63
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif, Teoretis, Praktik dan Masalahnya , PT
Alumni: 2007, Edisi Pertama, halaman 152-159.
113

pengadilan untuk menyediakannya bagi pihak yang tidak menyediakan sendiri, fenomena

ini mungkin merupakan indikasi: (a) timpangnya kemajuan dan jumlah jasa hukum yang

tersedia di Jawa dan di luar Jawa; dan (b) rendahnya kesadaran, atau kepercayaan,

ataupun kemampuan finansial masyarakat di luar Jawa untuk menggunakan jasa advokat

demi kepentingan terbaiknya dalam berperkara di pengadilan. Fenomena ini memang

sudah lama disinyalir oleh banyak pihak selama ini.

4. Kesalahan Pengetikan
Di dalam putusan-putusan pidana dan perdata yang diteliti, dijumpai kesalahan-kesalahan

yang terkait dengan ketidaktelitian dalam pengetikan (misalnya berupa typo error) dan

ketidaktertiban dalam mempergunakan bahasa Indonesia. Dari 59 putusan perdata yang diteliti,

tidak ada satu pun putusan yang luput dari masalah ini.
Hal ini antara lain terlihat pada Putusan No. 34/Pid.B/2006/PN.BLK, terutama dalam

bagian tuntutan JPU. Hal ini diduga disebabkan oleh penggunaan soft copy dari Putusan terdahulu

(Putusan lain), misalnya: “…Pidana Penjara selama 5 (empat) tahun….”; “…..membayar uang

pengganti kepada negara sebesar Rp. 43.834.388,- (tiga ratus lima puluh juta rupiah)…”.
Contoh kesalahan pengetikan juga dapat dijumpai pada Putusan No.

8/Pid.B/2004/PN.MPW yang mana pada Putusan tertulis: “Pasal 3 ayat (1)”. Diduga ini merupakan

kesalahan pengetikan karena Pasal 3 UU No. 31/1999 tidak memiliki ayat, sehingga seharusnya

“Pasal 3 [tanpa ayat (1)]”. Di samping kedua putusan tersebut, masih banyak terdapat contoh

kekeliruan dalam pengetikan. Kesalahan ketik ( typo error) tersebut terkesan sepele namun cukup

menggangu dan bisa menimbulkan citra yang negatif tentang profesionalitas hakim.
Secara lebih terperinci, bentuk-bentuk kesalahan teknis tersebut, antara lain berupa
114

a. Typo error, hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Kolaka No.

11/Pdt.G/2007/PN.KLK
b. Penggunaan template (dari softcopy perkara sebelumnya), hal ini antara lain dapat dilihat

pada Putusan PN Kendari No. 45/Pdt.G/2006/PN.KDI


c. Tanpa tanda baca sama sekali (tanpa tanda titik dan koma sama sekali padahal sudah

merupakan kalimat baru atau anak kalimat baru, tanpa tanda kutip pembuka dan penutup

padahal sedang melakukan pengutipan langsung, dan lain-lain), hal ini antara lain dapat

dilihat pada Putusan PN Makale No. 1/Pdt.G/2006/PN.MKL


d. Tidak memperhatikan tata bahasa yang baik dan benar, hal ini antara lain dapat dilihat

pada Putusan PN Makale No. 1/Pdt.G/2006/PN.MKL.


e. Penggunaan huruf besar dan huruf kecil yang sama sekali tidak pada tempatnya, tidak

konsisten, dan asal-asalan, hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Labuha No.

13/Pdt.G/2007/PN.LBH
f. Cara merujuk para pihak dan saksi yang tidak konsisten (misalnya awalnya disebut “para

penggugat”, lalu tiba-tiba menjadi “kami”, lalu tiba-tiba menjadi “mereka”, lalu tiba-tiba

menjadi “saya”, lalu tiba-tiba menjadi “penggugat” saja padahal yang dimaksud adalah

“para penggugat”), hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Makale No.

1/Pdt.G/2006/PN.MKL, dan Putusan PN Labuha No. 13/Pdt.G/2007/PN.LBH


g. Cara menyebut nama para pihak dan saksi yang terus berubah-ubah (misalnya awalnya

disebut “si Polan”, lalu tiba-tiba menjadi “sang Polin” sehingga pihak lain dapat mengira itu

adalah orang yang lain lagi, namun ternyata adalah orang yang sama dengan si Polan

karena rupanya sang Polin adalah nama panggilan si Polan, lalu tiba-tiba berubah lagi

menjadi “si Badu” dan rupanya si Badu adalah nama alias si Polan, dan demikian

seterusnya; sedangkan pada bagian penyebutan identitas para pihak atau saksi tidak

disebutkan sama sekali semua nama lain dari orang yang sama tersebut), hal ini antara

lain dapat dilihat pada Putusan PN Makale No. 1/Pdt.G/2006/PN.MKL


115

h. Pemuatan identitas para pihak dan saksi yang asal-asalan; termasuk tidak dijelaskannya

apakah pihak bersangkutan menggunakan advokat sebagai kuasa hukumnya atau tidak,

dan kalau menggunakan advokat siapa nama advokat tersebut berikut pendaftaran surat

kuasa khususnya; hal ini antara lain dapat dilihat pada Putusan PN Kendari No.

45/Pdt.G/2006/PN.KDI

Berdasarkan deskripsi di atas dapatlah diketahui bahwa, masih terdapatnya terdakwa-

terdakwa yang tidak didampingi oleh advokat, walaupun secara normatif, seharusnya ia memiliki

hak untuk itu, memberikan indikasi kurangnya kepekaan hakim terhadap penumbuhan dan

pengembngan sikap, dan kesadaran etik profesionalnya, yang berorientasi pada upaya

mewujudkan keadilan di dalam masyarakat. Sebagai pengemban profesi yang terhormat ( officium

nobile), seharusnya hakim memiliki kepekaan untuk berupaya memenuhi hak-hak yang dimiliki

oleh terdakwa secara porposional. Untuk itulah sebagaimana hasil penelitan Tim Komisi Hukum

Nasional, yang menemukan kelamahan yang sama, kemudian menyimpulkan perlunya

peningkatan potensi kepribadian seorang calon hakim atau hakim tentang sense of justice dan visi

penegakan hukumnya, maka materi psikotest harus mencakup materi sebagai berikut: Kecerdasan

intelektual (IQ), Kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ). 64


Demikian juga dengan adanya persoaln yang terkait dengan kasalahan pengetikan.

Walaupun terkesan sepele, kesalahan-kesalahan seperti ini sangat mengganggu dan perlu

mendapat perhatian secara proposional. Seharusnya, dalam menulis putusan, yang menjadi acuan

adalah: bagaimana dengan membaca putusan tersebut, orang yang sebelumnya sama sekali tidak

terlibat dengan perkara yang bersangkutan dan tidak tahu menahu mengenainya, bisa menjadi

mengerti perkara tersebut dengan komprehensif, lengkap, jelas, benar, dan tepat. Karena hanya

64
Tim Peneliti Indonesian Court Monitoring, Standar Pengujian Profesi Hukum (Jaksa, Hakim dan
Advokat), Op. Cit, hal. 130.
116

dengan demikianlah putusan dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan dengan

benar/tepat.
Para hakim dan panitera selalu mendapat berbagai macam pendidikan dan pelatihan

secara rutin dan berkala. Kiranya satu pelatihan yang juga sudah sangat mendesak diperlukan

adalah pelatihan peningkatan kemampuan berbahasa Indonesia yang baik, tertib, rapi, sistematis,

dan benar bagi mereka. Sepertinya, selama ini, pelatihan seperti itu belum pernah diadakan,

barangkali karena tidak pernah disadari sudah betapa buruk dan parahnya bahasa Indonesia

dalam putusan-putusan.
117

BAB. V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang profesionalisme hakim, yang dilihat

dari aspek-aspek penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridik, kemahiran yuridik,

dan kesadaran serta komitmen profesional, yang terakomodasi dalam putusan pengadilan,

dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Profesionalisme hakim dari aspek penguasaan atas ilmu hukum

a. Profesionalisme hakim dari aspek penguasaan atas ilmu hukum, dalam putusan

pidana, terlihat dari upaya dari hakim untuk melakukan pemeriksaan terhadap bentuk

dakwaan JPU, sedangkan dalam putusan perdata terlihat dalam ketepatan penggunaan

hukum

b. Dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 99 (66,4%) putusan yang bentuk

dakwaannya diperiksa dan diteliti oleh hakim, dan 50 (33.6%) putusan, yang tidak

diperiksa, hakim hanya mengikuti saja apa yang didakwakan dan dituntut oleh JPU.

Padahal dari 149 putusan pidana tersebut, terdapat 111 (74,5%) putusan yang bentuk

dakwaannya telah dibuat secara tepat dan benar, dan 38 (25.5%) putusan yang yang

bentuk dakwaannya dibuat secara tidak tepat dan tidak cermat.

c. Dari 59 putusan perdata tingkat pertama yang diteliti, terdapat 52 (88,1%)

putusan yang tepat dalam menggunakan hukum, dan terdapat 7 (11,9%) putusan yang

tidak tepat dalam penggunaan hukumnya adalah. Dari 7 putusan hakim yang tidak tepat
118

penggunaan hukumnya, 5 (71,4%) putusan diantaranya merupakan putusan yang

berobjek sengketa tanah. Ketidaktepatan penggunaan hukum ini pun, tersebar di

beberapa wilayah peradilan, baik di wilayah Jawa-Sumatera maupun kawasan non-Jawa-

Sumatera. Dari 7 putusan yang tidak tepat penggunaan hukumnya tersebut. 4 (57,1%)

diantaranya terjadi di kawasan non-Jawa-Sumatera dan 3 (42,9%) terjadi di kawasan

Jawa-Sumatera, dengan perincian 2 (28,6%) terjadi di Jawa dan 1 (14,3%) terjadi di

Sumatera.

2. Profesionalisme hakim dari aspek kemampuan berpikir yuridik

a. Profesionalisme hakim dari aspek kemampuan berpikir yuridik, dalam putusan

pidana, terlihat dari upaya hakim dalam membuktikan unsur-unsur tindak pidana yang

didakwakan oleh JPU, kesesuaian pertimbangan dan putusan hakim dengan kaidah

hukum, serta perbandingan antara putusan hakim, dengan tuntutan JPU, sedangkan

dalam putusan perdata, hal ini terlihat pada bagaimana upaya hakim dalam

mempergunakan hukum untuk memeriksa dan mempertimbangakan sengketa yang

diperiksanya (kesesuaian dengan kaidah hukum); memeriksa dan mempertimbangkan

putusan provisi dan putusan serta merta; memeriksa dan mempertimbangkan sita jaminan/

sita revindikatoir. serta membuat putusan untuk perkara yang diperiksanya.

b. Dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 95 (63,8%) putusan yang unsur-

unsur tindak pidananya diperiksa dan dipertimbangkan secara detail dan komprehensif

oleh Majelis Hakim, dan terdapat 54 (36,2%) putusan yang unsur-unsur tindak pidananya

tidak diperiksa dan dipertimbangkan secara detail dan komprehensif oleh Majelis Hakim.
119

c. Pada putusan-putusan yang unsur-unsurnya tindak pidananya tidak diperiksa dan

dipertimbangkan secara baik, umumnya ketidakcermatan tersebut terjadi dalam bentuk (a)

ketidaktepatan hakim dalam menguraikan atau menjabarkan unsur-unsur dari pasal-pasal

yang didakwakan oleh JPU; (b) hakim tidak menguraikan/mempertimbangkan sama sekali

unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh JPU; (c) terdapat kontradiksi dari hakim

dalam mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan oleh JPU

d. Dari 149 putusan yang diteliti, terdapat 74 (49,7%) putusan, yang

pertimbangannya sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dan terdapat 75 (50,3%)

putusan, yang pertimbangannya tidak sesuai dengan norma hukum yang berlaku.

Ketidaksesuaian pertimbangan dari Majelis Hakim tersebut terletak pada: (a)

ketidaksesuaian/ pelanggaran terhadap hukum pidana materiil; (b) ketidak sesuaian/

pelanggaran terhadap hukum pidana formil.

e. .Dari 126 putusan yang divonis bersalah oleh hakim, terdapat 99 putusan (78.6%)

dimana vonis hakim lebih ringan daripada tuntutan JPU; 13 (10.3%) putusan dimana

hakim menjatuhkan hukuman sesuai dengan tuntutan JPU; dan 14 (11.1%) putusan, vonis

hakim lebih berat dari tuntutan JPU.

f. Dari keseluruhan putusan yang diteliti, selain ditemukan putusan-putusan hakim

yang dipertimbangan secara obyektif, dan sejalan dengan pertimbangannya atas faktor-

faktor yang memberatkan dan meringankan, ditemukan juga : (1) vonis hakim yang jauh

lebih rendah dari tuntutan JPU, termasuk pada perkara-perkara yang secara khusus oleh

Mahkamah Agung disebutkan dalam SEMA No. 1 Tahun 2000; (2) Hakim menjatuhkan

putusan yang bukan saja jauh lebih ringan dari pada tuntutan JPU, namun juga melanggar

ketentuan hukuman minimum; (3) vonis Hakim yang tidak sesuai dengan ketentuan
120

peraturan perundang-undangan, terutama terkait dengan sanksi berupa uang pengganti;

(4) Ketidaktepatan Hakim dalam merumuskan amar putusan

g. Dari 59 putusan perdata yang diteliti,

1) Terdapat 40 (67,8%) putusan yang sesuai dengan kaidah hukum dan terdapat 19

(32,2%) putusan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum. Ketidaksesuain tersebut

antara lain terjadi dalam hal: (a) tidak sesuai dengan (melanggar) prinsip-prinsip

hukum pembuktian; (b) Ketidaksesuaian dengan nalar dan logika hukum. Sebagian

besar ketidaksesuaian dengan kaedah hukum sebagaimana diuraikan di atas, terjadi

dalam perkara dengan objek sengketa berupa tanah. Dari 59 putusan yang diteliti,

terdapat 8 putusan (42,1%) yang berobjek tanah. Berdasarkan wilayah

penyebarannya. Putusan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum terjadi di kawasan

Jawa-Sumatera, yakni 13 putusan (68,4%), sedangkan di kawasan non-Jawa-

Sumatera hanya 6 putusan (31,6%).

2) Terdapat 33 putusan (55,9%) mengandung permohonan putusan provisi dan

permohonan putusan serta merta, dengan perincian 8 permohonan putusan provisi

(13,6% dari total 59 putusan) dan 31 permohonan putusan serta merta (52,5 % dari

total 59 putusan).

3) Terdapat 23 putusan (39%) mengandung permohonan sita jaminan atau

permohonan sita revindikatoir. Dari ke-23 putusan ini hanya terdapat 1 putusan

(4,3%) yang tidak tepat dalam hal penetapan sita jaminan/sita revindikatoir

4) Terdapat 41 putusan (69,5%) mengandung eksepsi. Dari ke-41 putusan ini,

mayoritas diputus Majelis Hakim secara tepat, yakni 32 putusan (78%), sedangkan

yang diputus secara tidak tepat terdapat dalam 9 putusan (22%).


121

5) Terdapat 13 putusan (22%), yang tidak tepat dalam konvensi. Dari ke-13 putusan

ini, 4 (30,8%) di antaranya merupakan perkara yang terkait dengan sengketa tanah,

sedangkan sisanya terdiri dari berbagai macam perkara lain yang tidak menunjukkan

adanya suatu kecenderungan umum pada jenis perkara tertentu. Sedangkan

berdasarkan wilayahnya, putusan yang tidak tepat dalam konvensi terjadi secara

cukup merata di kawasan Jawa-Sumatera maupun kawasan non-Jawa-Sumatera

karena dari ke-13 putusan ini, 6 terjadi di kawasan non-Jawa-Sumatera (46,2%) dan 7

(53,8%) terjadi di kawasan Jawa-Sumatera, dengan perincian 4 (30,8%) terjadi di

Jawa dan 3 (23,1%) terjadi di Sumatera.

6) Dari total 59 putusan perdata yang diteliti, 15 putusan (25,4%) mengandung

rekonpensi, dan 41 putusan yang tidak mengandung putusan rekonpensi 65. Dari ke-41

putusan yang tidak mengandung rekonpensi ini, mayoritas diputus Majelis Hakim

secara tepat, yakni 32 putusan (78%), sedangkan yang diputus secara tidak tepat

terdapat dalam 9 putusan (22%). Tidak terdapat indikasi adanya ketidaktepatan

putusan Majelis Hakim dalam rekonpensi dari ke-15 putusan ini

3. Profesionalisme hakim dari aspek kemahiran yuridik

a. Profesionalisme hakim dari aspek kemahiran yuridik, dalam putusan yang diteliti

(baik pidana maupun perdata) dapat dilihat dari bagaimana hakim merujuk pada

yurisprudensi dan/ atau doktrin yang ada dan kemudian mempergunakan yurisprudensi

65
Secara keseluruhan terdapat 59 putusan yang diteliti, hanya saja dari 59 putusan tersebut, terdapat 3
putusan yang tidak dapat dibuat anotasi karena tidak lengkap, sehingga dalam bagian ini jumlah
kesleuruhan putusan yang diteliti hanyalah 56 putusan.
122

dan/ atau doktrin tersebut, dalam pertimbangan-pertimbangan hukumnya. Khusus dalam

putusan pidana, kemahiran yuridik dalam putusan yang diteliti dapat dilihat juga dari

bagaimana penetapan hakim dalam menentukan vonis yang harus dijatuhkan kepada

terdakwa, bila dibandingkan dengan tuntutan yang telah dtetapkan oleh JPU

b. Secara kuantitaif, jumlah hakim yang mempergunakan yurisprudensi untuk

memperkuat argumen-argumen dalam pertimbangannya, baik dalam pemeriksaan perkara

pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif sedikit, yaitu hakim-hakim

yang terlibat dalam 6 (4%) putusan (dari 149 putusan) di perkara pidana, 8 (14%) putusan

(dari 59 putusan) di sengketa perdata. Demikian pula jumlah hakim yang merujuk pada

doktrin untuk memperkuat argument-argumen dalam pertimbangannya, baik dalam

pemeriksaan perkara pidana maupun penyelesaian sengketa perdata, masih relatif sedikit,

yaitu hakim-hakim yang terlibat dalam 15 (10 %) putusan (dari 149 putusan) di perkara

pidana , dan 10 (17 %) putusan (dari 59 putusan) di sengketa perdata.

c. Secara kualitatif, meskipun terdapat beberapa putusan yang telah memberikan

pertimbangan-pertimbangan dengan baik, disertai rujukan-rujukan yurisprudensi dan

doktrin yang tepat, akan tetapi dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 46 (31%)

putusan,dimana hakim tidak memberikan pertimbangannya secara baik. Hak in antara lain

terlihat dalam putusan : (a) dimana hakim tidak mempertimbangan unsur-unsur tindak

pidana yang didakwakan oleh JPU secara komprehensif, (b) dimana pertimbangan-

pertimbangan yang diberikan hanya mengulang saja apa yang dikdakwakan oleh JPU

ataupun pembelaaan-pembelaan dari terdakwa.

d. Untuk putusan-putusan hakim yang mempergunakan yurisprudensi dan doktrin

dalam pertimbangan-pertimbangannya, secara kualitatif tidak seluruhnya menunjukan


123

profesionalisme hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal ini antara lain

telihat dari : (a) putusan yang mencantumkan nomor putusan MA yang menjadi

yuriprudensi, tanpa disebutkan secara jelas, apa isi yurisprudensi; (b) Putusan yang

mencantuman doktrin yang “mencontoh” dari putusan lain, dengan cara penyajian dan

sususan argumen yang realtif sama; (c) putusan yang mencantumkan nama sarjana yang

akan dikutip pendapatnya sebagai doktrin, tetapi kemudian tidak menuliskan secara tegas,

apa yang dikutip dari pendapat para sarjana/ahli hukum tersebut.

4. Profesionalisme hakim dari aspek kesadaran serta komitmen profesional

a. Profesionalisme hakim dari aspek kesadaran serta komitmen profesional, dalam

putusan yang diteliti (baik pidana maupun perdata) dapat dilihat dari : (1) pendampingan

penasehat hukum (advokat), dan; (2) adanya kesalahan pengetikan.

b. Dari 149 putusan pidana yang diteliti, terdapat 110 (73,6%) putusan yang

terdakwanya didampingi oleh penasehat hukum dan terdapat 39 (26.2%) perkara, yang

terdakwanya tidak didampingi penasihat hukum selama persidangan berlangsung. Tidak

adanya pendampingan penasehat hukum selama sidang berlangsung umumnya

berhubungan dengan status sosial dari terdakwa.

c. Dari keseluruhan putusan pidana yang diteliti, tidak ada satu putusan pun yang

tidak tedapat kesalahan pengetikann (kesalahan teknik penulisan). Kesalahan ini berupa :

(a) Typo error; (b) penggunaan template (dari softcopy perkara sebelumnya) yang tidak

tertib; (c) Tanpa tanda baca sama sekali (tanpa tanda titik dan koma sama sekali padahal

sudah merupakan kalimat baru atau anak kalimat baru, tanpa tanda kutip pembuka dan

penutup padahal sedang melakukan pengutipan langsung, dan lain-lain); (d) Penggunaan
124

huruf besar dan huruf kecil yang sama sekali tidak tertib, tidak konsisten, dan asal-asalan;

(e) Cara merujuk para pihak dan saksi yang tidak tertib dan tidak konsisten; (f) Cara

menyebut nama para pihak dan saksi yang tidak tertib dan terus berubah-ubah; (g)

Pemuatan identitas para pihak dan saksi yang asal-asalan; termasuk tidak dijelaskannya

apakah pihak bersangkutan menggunakan advokat sebagai kuasa hukumnya atau tidak,

dan kalau menggunakan advokat siapa nama advokat tersebut berikut pendaftaran surat

kuasa khususnya. (h) Ketidakpatuhan terhadap kaidah bahasa Indonesia yang baik dan

benar.

B. SARAN

Dengan masih adanya beberapa masalah (kekurangan) tentang profesionalisme hakim,

terutama yang berkaitan dengan aspek: penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir

yuridik, kemahiran yuridik, kesadaran serta komitmen profesional, maka perlulah dipertimbangkan

diakomodasinya berbagai materi baik pada saat dilakukannya tes bagi calon hakim, maupun pada

saat dilakukannya pendidikan dan pelatihan bagi hakim. Dengan diakomodasinya materi-materi

yang berkiatan dengan aspek-aspek profesionalisme tersebut, maka disatu sisi (pada saat tes

seleksi calon hakim), dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menilai bagaimana kapasitas dan

komepetensi calon hakim, sedangkan di sisi lain, dapat dijadikan sebagai media untuk

meningkatkan kapasitas dna kompetensi hakim ketika mereka mengkitui pendidikan dan pelatihan.

Upaya-upaya untuk meningkatkan profesionalisme hakim, terutama yang berkaitan

dengan aspek: penguasaan atas ilmu hukum, kemampuan berpikir yuridik, kemahiran yuridik,

kesadaran serta komitmen profesional, dapat pula dilakukan melalui eksaminasi terhadap putusan-
125

putusan hakim tersebut baik dilakukan secara internal maupun secara eksternal (oleh lembaga-

lembaga yang dipandang kompeten). Eksaminasi ini, selain dapat dijadikan sebagai sarana

pertanggungjawban hakim terhadap hasil kerja porfesionalnya kepada publik, juga dapat dijadikan

sebagai media pembinaan oleh atasan langsung terhadap hakim-hakim bawahannya..


126

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Mustafa. Pengembangan Integritas dan Profesionalisme Hakim . Makalah pada diskusi
panel yang diselenggarakan oleh BPHN dan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta
24-27 April 2007.

Ais, Chatamarrasjid. Pola Rekrutmen Dan Pembinaan Karir Aparat Penegak Hukum Yang
Mendukung Penegakan Hukum. Makalah disampaikan dalam kegiatan Seminar
Tentang Reformasi Sistem Peradilan Dalam Penegakan Hukum di Indonesia. yang
diselenggarakan oleh BPHN bekerjasama dengan FH UNSRI dan Kanwil
Dephukham Prop. Sumatera Selatan. di Palembang 3 – 4 April 2007

Djohansjah, J. Reformasi Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman

__________. Anotasi. Yurisprudensi Dan Putusan Penting (Landmark Decision). makalah dalam
pertemuan rencana pembuatan anotasi dan laporan penelitian putusan hakim
tahun 2007 dan 2008. Jakarta : Komisi Yudisial. 27 Maret 2009.

Fachruddin, Irfan. Konsekuensi Pengawasan Peradilan TUN Terhadap Tindakan Pemerintah .


Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. 2003.

Indragiri, Reza. Pengembangan Integritas Profesi Hakim, Jakarta : Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama MA-RI. dalam http://www.badilag.net/index2.php? option=com_
content&do_pdf=1&id=1315. 2008

Kelsen, Hans. Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara (General Theory of Law and State)
diterjemahkan oleh raisul Muttaqien. Cet. Pertama. Bandung : Penerbit
Nusamedia & Penerbit Nuansa. 2006

Kouk, Hendri. Di Antara Reruntuhan Pilar Mahkamah Agung . http://www.asmakmalaikat.com/


go/artikel/hukum/hukum10.htm

MacCormick, Neil. Legal reasoning and Legal Theory. Oxford: Oxford University Press. 1994.

Mahfud MD, Moh.. Pengadilan dan Demokrasi “Rabaan Diagnosa dan Terapi . makalah
disampaikan dalam dalam Dinner Lecture yang diselenggarakan oleh Komite
Indonesia untuk Demokrasi (KID) di Hotel Ciputra Surabaya. 21 Nopember 2007

Mertodikusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata. Yogjakarta: Liberty. 1988

Mulyadi, Lilik. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif. Teoretis. Praktik dan Masalahnya. PT
Alumni: 2007.

Rahardjo, Satjipto. Bersatulah Kekuatan Hukum Progresif . http://unisosdem.org/ekopol_


detail.php?aid=4438&coid=3&caid=21. sumber kompas 6 september 2004
127

Ritzer, Goerge dan Douglas J Goodman. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasij sampai
Perkembangan Mutkahir Teori Sosial Postmodern. diterjemahkan oleh Nurhadi.
Yogyakarta : Kreasi Wacana. 2008

Salman, Otje. Sosiologi Hukum. Suatu Pengantar. Bandung: Armico. 1987.

Schiff, David and Richard Nobles (eds.). Jurisprudence. Butterworth: London. 2003. bandingkan
dengan Gunther Teubner and Alberto Febbranjo. State. Law and Economy As
Autopoeitic System : Regulation and Autonomy in A New Perspective. Milan : Dot.
A Giuffre. 1992.

Sidharta, Bernard Arief. Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum. dalam I.S. Susanto dan Bernard
L. Tanya (Ed.). Wajah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah
Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. S.H. Bandung : Citra Aditya
Bakti. 2000

____________________. Parktisi Hukum dan Perkembang Hukum. dalam I.S. Susanto dan
Bernard L. Tanya (Ed.). Wajah Hukum di Era Reformasi: Kumpulan Karya Ilmiah
Menyambut 70 Tahun Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. S.H. Bandung : Citra Aditya
Bakti. 2000. Hal. 206

Siregar, Bismar. Cermin Kebeningan Nurani Hakim http://tokohindonesia.com/ensiklopedi/b/


bismar-siregar/biografi/01.shtml. 26-10-2006

Sitompul, Asril. Pengantar Tentang Legal reasoning. http://pihilawyers.com/blog/?p=35

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta: UI-
Press. 1986.

Sparringa, Daniel. Mencari Model Ideal Penyusunan Undang-undang yang Demokratis : Kajian
Politik. Disampaikan dalam seminar nasional Mencari Model Ideal Penyusunan
Undang-undang yang Demokratis dan Konggres Asosiasi Sosiologi Hukum
Indonesia. yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Dipenegoro
Semarang. Tanggal 15-15 April 1998.

Sulistiyono, Adi. Pengembangan Kemampuan Hakim Dari Perspektif Sosiologis. Makalah


disampaikan dalam Lokakarya Pengembangan Kemampuan Hakim. Kerjasama
Komisi Yudisial. Pengadilan Tinggi. Fakultas Hukum Universitas SamRatulangi;
tanggal 21-22 Oktober di Hotel Ritzy Manado.

Teubner, Gunther Richard Nobles. dan David Schiff. The Autonomy Of Law: An Introduction
to Legal Autopoiesis dalam David Schiff and Richard Nobles (eds.).
Jurisprudence. London : Butterworth. 2003.

Tim Peneliti Indonesian Court Monitoring, standar pengujian profesi hukum (Jaksa, Hakim dan
Advokat), Yogyakarta: Indonesian Court Monitoring. 2002
128

Tim Peneliti Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia. Laporan Akhir Rekrutmen Dan Karir Di
Bidang Peradilan. Disusun Oleh Kelompok Kerja A.2 Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada. Yogjakarta. 10 Januari 2003

___________________________________. Reformasi Dan Reorientasi Pendidikan Hukum Di


Indonesia. Jakarta/Bandung. 2004. hlm. 53-54. Tersedia: http://www.khn.go.id.
Diakses tanggal 5 September 2006.

________________________________________, Membangun Sistem Pendidikan Dan Pelatihan


Hakim, Jakarta : Laporan Penelitian Tim Komisi Hukum Nasional, Agustus 2005.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Ke Arah Reformasi Sistem Peradilan Indonesia . makalah Seminar


“Reformasi Sistem Peradilan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Badan
Pembinaan Hukum Nasional Dep. Hukum dan HAM RI di Palembang. 3-4 April
2007

______________________. Konsep Hukum. Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. makalah yan
disampaikan pada penataran Metodologi Penelitian Hukum di Universitas
Hasanuddin. Makassar. 4 – 5 Februari 1994.

Wijiraharjo. sumber-sumber hukum. http://wijiraharjo.wordpress.com/2008/02/02/doktrin/. Februari


2. 2008

World Bank. Village Justice In Indonesia. Case studies on access to justice. village democracy and
governance. February 2004

Anda mungkin juga menyukai