Rumus Kimia, Persamaan Reaksi Kimia, Dan Persen Hasil
Rumus Kimia, Persamaan Reaksi Kimia, Dan Persen Hasil
Massa dari atom tunggal memiliki nilai yang sangat kecil dan kuantitas makro dari massa
mengandung jumlah atom yang sangat besar.
12
Bilangan avogadro didefinisikan relatif terhadap atom C karena isoptop atom tersebut
dipilih pada perjanjian internasional untuk menjadi dasar dari massa atom relatif. Penentuan
massa atom unsur lain dapat dihitung berdasarkan perbandingan sederhana seperti berikut:
Atom natrium memiliki massa atom relatif 22,98977. Atom natrium memiliki berat
22,98977/12 kali massa atom 12C. Jika massa atom 12C adalah 12 g, maka massa atm natrium
adalah:
22,98977
(12𝑔) = 22,98977𝑔
12
B. Mol
Karena massa dari atom dan molekul terlalu kecil, reaksi kimia skala laboratorium harus
melibatkan sejumlah besar atom dan molekul. Hal ini sesuai dengan penggunaan NA untuk
penentuan jumlah mol dari suatu senyawa. Satu mol dari senyawa adalah jumlah bilangan
12
Avogadro dari atom, molekul, atau satuan lain. Sehingga, 1 mol C mengandung sejumlah
NA atom 12C, 1 mol air mengandung sejumlah NA molekul air, dan seterusnya.
Definisi massa molar dari suatu unsur (disebut sebagai massa atom) adalah sebagai massa
dari satu mol unsur dalam gram, dimana ditentukan dengan menggunakan rasio perbandingan
massa atom relatif unsur terhadap unsur 12C yang dilanjutkan dengan mengalikan 12 g. Cara
yang sama digunakan untuk menghitung massa molar (berat molekul) molekul. Sehingga
massa molekul relatif dari air adalah 18,0152 dan massa molar 18,052 g mol-1. Penentuan
jumlah mol dari senyawa, dicontohkan sebagai berikikut: Jika sampel besi seberat 8,232 g,
maka:
𝑗𝑢𝑚𝑎ℎ 𝑏𝑒𝑠𝑖 (𝑔𝑟𝑎𝑚) 8,232 𝑔
Mol besi = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟 𝑏𝑒𝑠𝑖 = 𝑔 = 0,1474 𝑔 ..... (1)
55,847
𝑚𝑜𝑙
Dimana massa molar dari ion ditentukan dengan menggunakan tabel periodik. Meskipun
jumlah mol dari sampel umumnya ditentukan dengan menggunakan massa atom/molekul
relatif, penentuan jumlah mol dengan menggunakan bilangan Avogadro lebih dipilih.
Kerapatan dari senyawa bersifat tidak pasti, bergantung pada jenis senyawa; nilainya
dipengaruhi oleh tekanan dan temperatur pada waktu pengukuran. Untuk beberapa senyawa
(khususnya gas dan liquid), volume lebih mudah diukur dibanding massa, dan massa jenis
dapat dijadikan sebagai unit untuk mengkonversi antara volume dengan massa.
Adanya massa jenis dan massa molar dari senyawa dapat digunakan untuk penentuan volume
molar, yang mana merupakan volume yang diisi oleh satu mol senyawa:
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟 (𝑔/𝑚𝑜𝑙)
Vm = 𝑔 = 𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑚𝑜𝑙𝑎𝑟 (𝑐𝑚3 𝑚𝑜𝑙 −1 )............. (3)
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑗𝑒𝑛𝑖𝑠 ( )
𝑐𝑚3
Contohnya, mendektai 0 oC, es memiliki kerapatan 0,92 g cm-3; sehingga volume molar dari
padatan air di bawah kondisi ini adalah:
18,0 𝑔/𝑚𝑜𝑙
Vm = 0,92 𝑔𝑐𝑚−3 = 20𝑐𝑚3 𝑚𝑜𝑙 −1
Volum molar dari gas memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan solid ataupun liquid.
Volume sistem dalam fasa liquid dan solid tidak mengalami perubahan secara signifikan saat
terjadi perubahan temperatur atau tekanan, namun volume gas sangat sensitif terhadap
perubahan ini. Satu hipotesis yang dapat menjelaskan hal ini adalah molekul dalam bentuk
liquid dan solid memiliki jarak antar molekul yang dekat antara satu dengan yang lain,
sementara pada bentuk gas jarak antar molekul jauh. Volume per molekul air adalah volume
molar air dibagi dengan bilangan Avogadro, untuk es dapat dihitung dengan:
20 𝑐𝑚3 𝑚𝑜𝑙−1
Volume molekul H2O = 6.02𝑥1023 𝑚𝑜𝑙−1 = 33𝑥10−23 𝑐𝑚3
D. Rumus Empiris dan Rumus Molekul
Setiap senyawa dapat dijelaskan dengan menggunakan rumus kimia yang spesifik terhadap
jumlah relatif dari unsur yang menyusun senyawa. Rumus molekul dari senyawa adalah
rumus yang spesifik terhadap jumlah setiap unsur yang menyusun molekul. Sehingga, rumus
molekul dari karbondioksida adalah CO2, setiap molekul karbondioksida mengandung satu
atom karbon dan 2 atom oksigen. Rumus molekul dari glukosa adalah C6H12O6; setiap
molekul glukosa mengandung 6 atom dari oksigen, 6 atom karbon, dan 12 atom hidrogen.
Sementara, rumus empiris dari senyawa adalah rumus yang paling sederhana yang
menunjukkan jumlah relatif setiap unsur penyusun senyawa dengan perbandingan yang
paling kecil. Contohnya, rumus empiris dari glukosa adalah CH2O, yang menunjukkan
perbandingan unsur C:H:O adalah 1:2:1.
Perbandingan jumlah karbon terhadap Cl atau H adaah 0,8992:1,35 (diambil mol yang paling
rendah sebagai patokan) = 0,6666, yang mendekati 2:3. Rasio jumlah mol dari ketiga
penyusun senyawa adalah 2:3:3, sehingga rumus empiris dari senyawa tersebut adalah
C2H3Cl3. Tambahan analisis diperlukan untuk menentukan rumus molekul yang sebenarnya.
Apakah dengan menggunakan rumus empiris C2H3Cl3, C2H6Cl6, atau kelipatan yang lebih
tinggi (C2H3Cl3)n.
Massa molar yang diketahui dapat dijadikan sebagai dasar dalam penentuan rumus senyawa
dari suatu molekul. Dimana dalam kasus ini, gas pengelasan yang memiliki rumus empiris
CH dengan massa molar 13, ternyata merupakan senyawa dengan massa molar yang
sebenarbya adalag 25,9. Sehingga untuk mencapai nilai massa molar tersebut, rumus empiris
gas harus dikalikan 2, menjadi C2H2. Rumus ini akan memberikan nilai massa molar yang
sama dengan hasil perhitungan.
H. Penyetaraan reaksi kimia
Reaksi kimia menggabungkan unsur menjadi senyawa, mendekomposisikan senyawa
kembali menjadi unsur, mengubah suatu senyawa menjadi senyawaan baru. Karena atom
tidak dapat/sulit untuk dihancurkan dalam suatu eaksi kimia, jumlah setiap unsur harus sama
sebelum dan sesudah reaksi kimia. Studi terkait hubungan antara jumlah reaktan dan produk
dalam suatu reaksi kimia disebut stoikiometri. Sebuah reaksi kimia dapat disetarakan dengan
menggunakan tahapan-tahapan tertentu. Contohnya sebagai berikut:
NH4NO3 N2O + H2O
senyawa dibagian kiri panah adalah reaktan dan senyawa di bagian kanan adalah produk.
Persamaan di atas tidak setara karena ada 3 mol oksigen di sebelah kiri dari persamaan reaksi
(dan 4 mol atom hidrogen), tapi hanya 2 mol oksigen dan 2 mol hidrogen disebelah kanan
reaksi. Untuk meyetarakan reaksi, yang pertama dilakukan adalah memberikan koefisien 1
pada salah satu senyawa, umumnya pada senyawa dengan jumlah unsur paling banyak-
dalam kasus ini, NH4NO3.
1NH4NO3 N2O + H2O
Selanjutnya, setarakan unsur yang hanya muncul 1 kali dalam persamaan reaksi. Nitrogen di
ruas kanan dan kiri sudah memiliki jumlah mol yang sama, sementara H memiliki jumlah
yang berbeda. Terdapat 4 mol atom H di ruas kiri sementara di ruas kanan hanya terdapat 2
atom H, oleh sebab itu, senyawa H2O di ruas kanan harus dikali 2. Sehingga, persamaan
reaksi akan menjadi sebagai berikut:
1NH4NO3 N2O + 2H2O
Terakhir adalah verifikasi jumlah oksigen. Oksigen memiliki jumlah mol yang sama, dimana
di ruas kiri ada 3 mol oksigen dan di ruas kanan jumlah total oksigen juga 3 mol yang berasal
dari 1 mol pada senyawa N2O dan 2 mol dari senyawa H2O (karena H2O memiliki koefisien
2). Prosedur tersebut dapat dirangkum menjadi:
1. Berikan koefisien 1 pada spesi yang paling kompleks, yakni spesi dengan jumlah
unsur paling besar.
2. Identifikasi, unsur yang hanya muncul sekali dalam satu spesi, setarakan koefisien
dari unsur tersebut terlebih dahulu, dan lanjutkan dengan unsur lain dengan kondisi
yang sama (muncul sekali dalam satu spesi).
3. Jika perlu, kalikan seluruh koefisien persamaan reaksi untuk menghilangkan adanya
pecahan.
I. Hubungan Massa dalam Reaksi Kimia
Penyetaraan persamaan kimia akan memberikan hubungan kuantitatif dari massa setiap
senyawa dengan senyawa yang bereaksi.
2C4H10 + 13O2 8CO2 + 10H2O
Dapat diinterpretasikan
2 molekul C4H10 + 13 molekul O2 8 molekul CO2 + 10 molekul H2O
Atau
2 mol C4H10 + 13 mol O2 8 mol CO2 + 10 mol H2O
Dengan mengalikan massa molar dari setiap senyawa dalam reaksi dengan jumlah mol dari
setiap spesi akan memberikan informasi berikut:
116,3 g C4H10 + 416,0 g O2 352,1 g CO2 + 180,2 g H2O
Koefisien dalam reaksi kimia setara berhubungan dengan jumlah senyawa yang dikonsumsi
dan diproduksi, dimana dalam penentuannya dapat dipergunakan perbandingan mol atau
koefisien yang ada dalam reaksi yang sudah setara. Jika 6,16 mol butana bereaksi, jumlah
oksigen yang diperlukan dan CO2 yang dihasilkan adalah:
13 𝑚𝑜𝑙 𝑂2
Mol O2 = 6,16 𝑚𝑜𝑙 𝐶4 𝐻10 𝑥 2 𝑚𝑜𝑙 𝐶 = 40,0 𝑚𝑜𝑙 𝑂2
4 𝐻10
8 𝑚𝑜𝑙 𝐶𝑂2
Mol CO2 = 6,16 𝑚𝑜𝑙 𝐶4 𝐻10 𝑥 2 𝑚𝑜𝑙 𝐶 = 24,6 𝑚𝑜𝑙 𝐶𝑂2
4 𝐻10
Konversi dari mol ke massa dan jumlah molekul dari setiap substansi dapat secara langsung
ditentukan dengan sederhana:
NA
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 ↔ 𝑚𝑜𝑙 ↔ 𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑚𝑜𝑙𝑒𝑘𝑢𝑙
Massa molar
Contoh :
Kalsium hipoklorit, Ca(OCl)2, digunakan sebagai agen pemutih. Senyawa ini dibuat dari
NaOh, Ca(OH)2, dan klorin melalui reaksi berikut:
2NaOH + Ca(OH)2 + 2Cl2 Ca(OCl)2 + 2NaCl + 2H2O
Berapa banyak massa klorin dan sodium hidroksida yang bereaksi dengan 1067 g Ca(OH)2
dan berapa banyak massa kalsium hipoklorit yang dihasilkan?
Jumlah Ca(OH)2 yang dihasilkan adalah:
1067 𝑔 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2
= 14,40 𝑚𝑜𝑙 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2
74,09 𝑔 𝑚𝑜𝑙 −1
Dimana massa molar Ca(OH)2 dapat ditentukan dengan menjumlahkan massa atom relatif
dari setiap unsur penyusun, yakni:
Ar Ca + 2Ar O + 2 Ar H = 40,08 + 2(15,999) + 2(1,0079) = 74,09 g/mol
Mengacu pada reaksi setara, 1 mol Ca(OH)2 bereaksi dengan 2 mol NaOH dan 2 mol Cl2
untuk menghasilkan 1 mol Ca(OCl)2. Jika 14,40 mol Ca(OH)2 bereaksi secara menyeluruh,
maka:
2𝑚𝑜𝑙 𝑁𝑎𝑂𝐻
Mol NaOH = 14 𝑚𝑜𝑙 𝐶𝑎(𝑂𝐻)2 1 𝑚𝑜𝑙 𝐶𝑎(𝑂𝐻)
2
= 5,47 𝑚𝑜𝑙 𝑂2
125 𝑔 𝐻 𝑂
2
Mol H2O = 18,02 𝑔 𝑚𝑜𝑙 −1
= 6,94 𝑚𝑜𝑙 𝐻2 𝑂
2 𝑚𝑜𝑙 𝐻 𝑂
Mol H2O = 6,94 mol H2O - 6,24 𝑚𝑜𝑙 𝑆𝑂2 2 𝑚𝑜𝑙 𝑆𝑂2 = 6,94 − 6,24 𝑚𝑜𝑙 𝑂2 =
2
0,7 𝑚𝑜𝑙 𝐻2 𝑂
Massa reaktan dan produk setelah akhir reaksi adalah:
Massa H2SO4 yang dihasilkan = 6,24 mol. 98,07 g/mol = 612 g
Massa O2 yang dihasilkan = 2,35 mol. 32,00 g/mol = 75 g
Massa H2O yang dihasilkan = 0,7 mol. 18,02 g/mol = 13 g
Massa total di akhir reaksi adalah 612 g + 13 g + 75 g = 700 g sebanding dengan massa awal
reaktan 400 g + 175 g + 125 g = 700 g, yang membuktikan hukum kekekalan massa.
Persen Hasil
Hasil teoritis adalah jumlah produk yang dapat ditentukan dengan mengasumsikan bahwa
reaksi berlangsung dengan sempurna. Hasil aktual/hasil sebenarnya adalah hasil (jumlah
produk setelah dilakukan pemisahan dari produk samping dan reaktan sisa serta dilakukan
pemurnian), dimana jumlahnya lebih kecil dibandingkan hasil teoritis. Ada beberapa alasan
terkait perbedaan jumlah antara hasil teoritis dengan hasil sebenarnya, yakni:
1. Reaksi kemungkinan berhenti, sehingga reaktan sisa tidak bereaksi
2. Adanya reaksi kompetisi yang menghasilkan produk samping, sehingga mereduksi
hasil yang diinginkan.
3. Proses pemisahan dan pemurnian produk menyebabkan berkurangnya produk yang
dihasilkan.
Perbandingan hasil aktual/sebenarnya terhadap hasil teoritis (dikalikan dengan 100%)
memberikan nilai Persen Hasil dari reaksi.
Contoh:
ZnS direduksi menjadi unsur Zn dengan proses “pemanggangan” menghasilkan ZnO, dan
kemudian pemanasan ZnO dengan CO. Dua reaksi dapat dituliskan:
ZnS + ½ O2 ZnO + SO2
ZnO + CO Zn + CO2
5,32 kg Zn direaksikan dan 3,30 kg Zn diperoleh diakhir reaksi. Tentukan hasil teoritis dari
produksi zink dan persen hasil.
Penyelesaian:
Mol awal ZnS dapat ditentukan dengan mengkonversi massa ZnS:
5320 𝑔 𝑍𝑛𝑆
= 54,6 𝑚𝑜𝑙 𝑍𝑛𝑆
97,46 𝑔/𝑚𝑜𝑙
Karena setiap mol ZnS menghasilkan 1 mol ZnO pada reaksi tahap 1, dan setiap mol ZnO
menghasilkan 1 mol Zn pada reaksi tahap 2, hasil teoritis dari Zn adalah 54,6 mol. Sehingga
massa Zn secara teoritis yang dapat diperoleh adalah:
54,6 mol Zn x 65,39 g/mol = 3570 g Zn
Perbandingan hasil aktual dengan hasil teoritis dikalikan dengan 100%, memberikan nilai
persen hasil dari zink yakni:
3,30 𝑘𝑔
%ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 = 𝑥100% = 92,4%
3,57 𝑘𝑔
Nilai persen hasil yang paling tinggi adalah target untuk dapat mengurangi konsumsi bahan
baku reaktan dalam reaksi. Beberapa reaksi sintesis (khususnya pada kimia organik), produk
akhir adalah hasil dari reaksi beruntun. Dalam beberapa proses, persen hasil dari setiap
tahapan reaksi harus sangat tinggi untuk memperoleh jumlah produk optimum di tahap reaksi
terakhir. Contohnya, jika ada 10 tahapan reaksi dalam pembentukan produk, dan setiap
tahapan memiliki persen hasil 50% (dalam bentuk pecahan 0,5), maka hasil produk akhir
adalah perkalian dari persen hasil tiap tahapan reaksi,
(0,5)x(0,5)x................................................x(0,5) = (0,5)10 = 0,001
Persen hasil untuk seluruh tahapan reaksi adalah 0,1 % yang mengindikasikan bahwa reaksi
sintesis tidak optimal. Jika persen hasil dari setiap tahapan dapat ditingkatkan menjadi 90%,
maka persen hasil reaksi total akan meningkat.
0,910 = 0,35 atau 35%
Ini adalah hasil yang lebih layak, dimana mekanisme reaksi sintesis dapat dipertimbangkan
untuk dipergunakan.