Anda di halaman 1dari 167

Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan Maret 15, 2008

Posted by teknosehat in HUKUM KESEHATAN, Pelayanan Kesehatan.


trackback

Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan


Dr. Wila Ch. Supriadi, S.H.
Guru Besar Hukum Kesehatan Unika Parahyangan Bandung

Kesehatan adalah salah satu dari kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan & papan,
dalam arti hidup dalam keadaan sehat sudah tidak dapat ditawar lagi sebagai kebutuhan yang
mendasar. Bukan hanya sehat jasmani, juga sehat rohani (jiwa), bahkan kriteria sehat manusia
telah bertambah menjadi juga sehat sosial & sehat ekonomi. Namun sampai saat ini yang
dimaksudkan dengan kesehatan oleh undang-undang (UU) adalah hanya keadaan sehat jasmani
& sehat rohani.
Kesehatan menurut UU no. 36/2009 tentang Kesehatan terdiri dari dua unsur yaitu “upaya
kesehatan” & “sumber daya kesehatan”. Yang dimaksud dengan sumber daya kesehatan, terdiri
dari sumber daya manusia kesehatan (tenaga kesehatan yaitu dokter, apoteker, bidan, perawat) &
sarana kesehatan (antara lain rumah sakit, puskesmas, poliklinik, tempat praktik dokter).
Pemeliharaan kesehatan & pelayanan kesehatan adalah dua aspek dari upaya kesehatan, istilah
pemeliharaan kesehatan dipakai untuk kegiatan upaya kesehatan masyarakat & istilah pelayanan
kesehatan dipakai untuk upaya kesehatan individu (dikenal sebagai upaya kedokteran atau upaya
medik).
Inti dari pemeliharaan kesehatan adalah kesehatan masyarakat, menyangkut hal-hal yang
berhubungan antara lain dengan pembasmian penyakit menular, usaha kesehatan lingkungan,
usaha kesehatan sekolah. Sedangkan pelayanan kesehatan adalah hubungan segitiga antara
tenaga kesehatan, pasien & sarana kesehatan & dari hubungan segitiga ini terbentuk hubungan
medik & hubungan hukum. Hubungan medik dilaksanakan upaya kesehatan preventif, kuratif,
promotif & rehabilitatif. Sedangkan hubungan hukum yang terbentuk antara ketiga komponen itu
adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum.

Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah ikatan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum
ini selalu meletakkan hak & kewajiban yang timbal balik, artinya hak subyek hukum yang satu
menjadi kewajiban subyek hukum yang lain, demikian pula sebaliknya. Hubungan hukum di
dalam bidang hukum perdata dikenal sebagai perikatan (verbintenis).

Subyek Hukum
Hukum menentukan tentang adanya dua subyek hukum: subyek hukum pribadi yaitu manusia &
subyek hukum yang diakui oleh hukum yaitu badan hukum. Manusia adalah subyek hukum,
sejak dilahirkan sampai meninggal dunia. Janin di dalam kandungan bukan subyek hukum,
namun terdapat kekecualian yang diatur di dalam Pasal 2 Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer),
yaitu bahwa janin di dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, apabila
kepentingan menghendaki, dengan syarat janin tersebut lahir hidup.
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa janin yang masih di dalam kandungan seorang
perempuan, dapat menjadi subyek hukum (mempunyai hak), apabila ada kepentingan dari janin
itu. Kepentingan dari janin, sebagai misal adanya pewarisan & janin tersebut mendapatkan hak
atas warisan, maka meski pun masih di dalam kandungan, dapat dianggap sebagai subyek hukum
& akan mendapatkan warisan dengan syarat lahir hidup, kalau meninggal pada waktu dilahirkan,
maka seluruh fiksi hukum ini dianggap tidak pernah ada.
Sedangkan badan hukum, yang pengaturannya ada di dalam Kitab UU Hukum Dagang (KUHD),
menurut Abdulkadir Muhammad: “Badan hukum adalah subyek hukum ciptaan manusia pribadi
berdasarkan hukum, yang diberi hak & kewajiban seperti manusia pribadi.”
Peraturan perundangan tidak pernah menentukan tentang syarat-syarat materiil pembentukan
badan hukum, namun doktrin yang dikemukakan oleh Meijers, seorang guru besar hukum dari
Belanda yang dikutip oleh Abdulkadir Muhammad, mengemukakan adanya empat syarat badan
hukum yaitu harus mempunyai harta kekayaan yang terpisah dengan harta kekayaan pengurus
badan hukum; mempunyai tujuan tertentu yang bukan tujuan pribadi, yang dapat saja bertujuan
komersial atau pun bertujuan sosial; ada kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum, dalam
arti dapat menuntut & mempertahankan kepertingannya terhadap pihak ketiga; & ada organisasi
yang teratur yang dapat melakukan perbuatan hukum melalui alat perlengkapannya.
Pasien & dokter adalah subyek hukum pribadi & rumah sakit (RS) adalah subyek hukum badan
hukum. Hubungan hukum yang terbentuk diberi nama perikatan (verbintenis), & hukum melalui
Pasal 1233 KUHPer menentukan ada dua macam perikatan yang terbentuk yaitu perikatan yang
lahir baik karena perjanjian & baik karena UU.
Kemudian di dalam setiap perikatan selalu ditentukan tentang prestasi tertentu, hukum
menentukan melalui Pasal 1234 KUHP bahwa terdapat tiga macam prestasi:
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu & tidak berbuat
sesuatu.”
Hubungan hukum antara dokter, pasien & RS berbentuk perikatan untuk berbuat sesuatu, yang
dikenal sebagai jasa pelayanan kesehatan. Pasien adalah pihak penerima jasa pelayanan
kesehatan & dokter & RS adalah pihak-pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan, yaitu untuk
berbuat sesuatu yakni mengupayakan kesembuhan pasien.
Hubungan hukum hanya menentukan tiga macam prestasi, tidak memberikan tentang bentuk
prestasi yang diberikan, namun terdapat doktrin ilmu hukum yang mengatakan ada dua macam
perikatan dilihat dari prestasi yang diberikan yaitu yang dikenal sebagai perikatan hasil &
perikatan ikhtiar. Perikatan hasil meletakkan kewajiban kepada pihak yang satu untuk membuat
hasil tertentu & pihak yang lain menerima hasil tertentu. Sedangkan perikatan ikhtiar meletakkan
kewajiban pihak yang satu untuk membuat ikhtiar (upaya semaksimal mungkin) & pihak yang
lain menerima ikhtiar.
Prestasi perikatan hasil dikatakan dapat diukur, sedangkan prestasi dari perikatan ikhtiar
dikatakan sulit untuk diukur. Sehingga untuk mengukur prestasi dokter yang sulit diukur itu,
memerlukan ukuran yang dikenal sebagai standar profesi kedokteran.
Jelas bahwa hampir kebanyakan jasa pelayanan kesehatan berbentuk perikatan ikhtiar, yakni
adanya kewajiban dari pemberi jasa pelayanan kesehatan untuk membuat upaya semaksimal
mungkin mengobati pasien, & tidak berdasarkan pada perikatan hasil, kecuali untuk beberapa
pelayanan kesehatan, seperti pelayanan bedah kosmetik atau pelayanan gigi dalam mencabut gigi
pasien.

Perikatan (Verbintenis)
Dituliskan di atas bahwa hukum menentukan ada dua macam perikatan yang lahir karena
perjanjian & lahir karena UU. Perikatan yang lahir karena perjanjian lebih banyak terbentuk
dibandingkan dengan perikatan yang lahir karena UU. Terbentuknya perikatan antara para pihak,
baik yang lahir karena perjanjian mau pun yang lahir karena UU meletakkan hak & keweajiban
yang timbal balik.

* Perikatan yang Lahir Karena Perjanjian (Kontrak)


KUHPer adalah terjemahan dari het Burgerlijk Wetboek, yang menerjemahkan kata
“overeenkomst” yang tertulis di dalam het Burgerlijk Wetboek, dengan kata “persetujuan”,
namun di dalam kehidupan sehari-hari untuk “overeenkomst” biasa digunakan kata “perjanjian”
atau “kontrak”. Untuk tidak menimbulkan kesimpangsiuran, maka di dalam penulisan ini tidak
dipergunakan kata “persetujuan”, melainkan akan digunakan kata “perjanjian atau kontrak”.
Perikatan yang lahir karena perjanjian, seperti dituliskan di atas, dalam hubungan hukum lebih
banyak dibuat, dibandingkan dengan perikatan yang lahir karena UU, & definisi perjanjian
menurut Pasal 1313 KUHPer adalah: “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Banyak kritik diberikan atas pengertian dari perjanjian yang ditentukan dalam KUHPer yang
sangat pendek & sederhana, antara lain bahwa tidak tegasnya ditentukan bahwa perjanjian yang
dimaksud di sini adalah berkisar hanya pada bidang harta kekayaan saja & tidak termasuk pada
bidang lain, sebagai misal bidang hukum keluarga.
Perlu ditambahkan bahwa dalam pembuatan perjanjian, hukum tidak pernah menentukan bahwa
perjanjian harus dibuat secara tertulis, oleh sebab itu perjanjian tidak tertulis pun mempunyai
kekuatan mengikat yang sama dengan perjanjian tertulis, asalkan dibuat dengan memenuhi
keeempat syarat sahnya perjanjian. Pematuhan terhadap perjanjian yang tertulis mau pun tidak
tertulis adalah sama, karena adanya asas “pacta sunt servanda” yang artinya”perjanjian harus
dipatuhi”. Hanya saja untuk pembuktian, membuktikan isi dari perjanjian tidak tertulis, lebih
sulit dibandingkan dengan membuktikan isi dari perjanjian tertulis.
Untuk membuat perjanjian yang sah, ditentukan syarat-syarat sahnya perjanjian melalui Pasal
1320 KUHPer, yang berbunyi sebagai berikut:
Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat:
1. sepakat mereka yang mengikatkan diri;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.
Mengenai keempat syarat yang ditentukan melalui Pasal 1320 KUHPer itu, mutlak semuanya
harus dipenuhi, kalau salah satu dari keempat syarat di atas tidak dipenuhi, maka perjanjian
menjadi tidak sah. Istilah hukum batalnya perjanjian apabila syarat pertama & kedua tidak
dipenuhi adalah “perjanjian dapat dibatalkan” (vernietigbaar). Sedangkan dengan tidak
dipenuhinya syarat ketiga & keempat, maka perjanjian “batal demi hukum” (nietig).
Salah satu pasal yang penting juga sehubungan dengan perjanjian adalah pasal 1338 KUHPer,
yang memuat asas kebebasan berkontrak, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang cukup untuk
itu. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Berdasarkan pada ketentuan pasal 1338 tersebut, maka hubungan hukum yang dibuat secara sah
mempunyai kekuatan mengikat sebagai UU, tidak dapat diputuskan oleh salah satu pihak tanpa
alasan yang dapat diterima oleh pihak lain & harus dijalankan dengan itikad baik.
Mengenai itikad baik, apabila ada pihak yang mendalilkan adanya pihak lain mempunyai itikad
buruk, maka yang mendalilkan harus membuktikan itikad buruk itu, dengan kata lain itikad baik
tidak perlu dibuktikan. Ukuran itikad baik menurut het Burgerlijk Wetboek tahun 1992, adalah
kepatutan (billijkheid) & kepantasan (redelijkheid).

* Perikatan yang Lahir Karena UU


Seperti dituliskan sebelumnya, bahwa perikatan dapat lahir karena UU, selain lahir karena
perjanjian. Pasal 1352 KUHPer menentukan, bahwa: “Perikatan yang dilahirkan demi UU timbul
dari UU saja, atau dari UU sebagai perbuatan orang.”
Dalam hal terbentuknya perikatan yang lahir karena UU, dikenal figur hukum
“zaakwaarneming” atau diterjemahkan sebagai “penyelenggaraan kepentingan” & pembayaran
tanpa hutang. Zaaakwaarneming pada intinya apabila seseorang yang dengan sukarela
menyelenggarakan kepentingan orang lain tanpa disuruh, dengan atau tanpa sepengetahuan
orang tersebut, maka secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan &
menyelesaikan atau menyelenggarakan kepentingan (zaakwaarmening), hingga orang yang
diwakilinya datang/kembali & dapat menyelesaikan kepentingannya sendiri itu.
Kemudian mengenai perikatan yang lahir karena UU yaitu pembayaran tanpa hutang, apabila
seseorang melakukan pembayaran kepada orang lain & pembayaran itu tanpa adanya utang dari
orang itu kepada orang lain, maka UU meletakkan kewajiban kepada orang lain itu yang
menerima pembayaran tanpa utang untuk mengembalikan uang tersebut & memberikan hak
kepada seseorang itu untuk menagih uang telah dibayarkan.
Zaakwaarneming berlaku terhadap dokter & RS, yakni hubungan hukum lahir karena UU,
apabila mereka secara sukarela menolong orang yang sedang menderita karena kecelakaan, maka
mereka harus menyelesaikan kepentingan pasien, sampai pasien dapat mengurus sendiri
kepentingannya.

Hubungan Hukum Dokter & Pasien


Hubungan antara dokter & pasien selain hubungan medik, terbentuk pula hubungan hukum. Pada
hubungan medik, hubungan dokter & pasien adalah hubungan yang tidak seimbang, dalam arti
pasien adalah orang sakit & dokter adalah orang sehat; pasien adalah awam & dokter adalah
pakar. Namun dalam hubungan hukum terdapat hubungan yang seimbang, yakni hak pasien
menjadi kewajiban dokter & hak dokter menjadi kewajiban pasien & keduanya adalah subyek
hukum pribadi.
Dilihat dari jenis pekerjaan yang ada di dalam hubungan dokter & pasien, maka jelas terbentuk
hubungan untuk melakukan pekerjaan (jasa) tertentu, yakni dokter sebagai pemberi jasa
pelayanan kesehatan & pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.
Pekerjaan dokter dapat dikatakan sebagai profesi, sebab dilakukan berdasarkan pendidikan
formal di pendidikan tinggi kedokteran & dokter sebagai professional mempunyai kewenangan
profesional dalam menjalankan profesinya. Selain itu terdapat etika profesi yang menjadi
pedoman tingkah laku dokter dalam menjalankan profesinya sebagai dokter. Kata dokter
bukanlah titel, sarjana kedokteran adalah titel, sama dengan yuris adalah kata untuk profesi dari
sarjana hukum.
Hubungan hukum antara dokter & pasien dapat terbentuk perikatan yang lahir karena perjanjian
& dapat pula terbentuk perikatan yang lahir karena UU. Contoh hubungan hukum dokter &
pasien yang lahir karena perjanjian, adalah apabila pasien datang ke tempat praktik dokter, yang
melakukan penawaran jasa pelayanan kesehatan dengan memesang papan nama, dalam arti
pasien menerima penawaran dari dokter, maka terbentuklah perikatan yang lahir karena
perjanjian.
Perikatan antara dokter & pasien yang lahir karena UU, apabila dokter secara sukarela membantu
orang yang menderita karena kecelakaan, di mana dokter sebagai misal, sedang lewat di tempat
kecelakaan, tanpa ada perintah atau permintaan dari siapa pun, dokter menyelenggarakan
kepentingan yang menderita kecelakaan, maka dokter mempunyai kewajiban untuk sampai
menyelesaikan pekerjaan sampai orang yang celaka atau keluarganya, dapat mengurusnya.
Dituliskan sebelumnya, doktrin ilmu hukum mengatakan ada dua macam perikatan, yaitu
perikatan hasil di mana prestasinya berupa hasil tertentu & perikatan ikhtiar di mana prestasinya
berupa upaya semaksimal mungkin. Perikatan antara dokter dengan pasien hampir seluruhnya
berupa perikatan ikhtiar, di mana dokter berupaya semaksimal mungkin untuk mengobati
penyakit yang diderita oleh pasien.
Apabila dokter telah berupaya semaksimal mungkin & pasien tidak sembuh juga, maka dokter
telah cukup bekerja dengan baik, karena perikatannya berupa ikhtiar. Dengan perkataan lain,
pasien tidak dapat menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya, dokter harus berupaya
semaksimal mungkin untuk mengobati pasien.
Sepakat mereka yang mengikatkan diri sebagai adalah syarat pertama bagi sahnya perjanjian,
seringkali diartikan bahwa sepakat ini harus dinyatakan dengan tegas, namun ada sepakat yang
dinyatakan dengan diam-diam, dalam arti apabila pasien tidak menolak, maka telah terjadi
sepakat yang dinyatakan dengan diam-diam. Dengan perkataan lain, kalau pasien menolak
pelayanan kesehatan harus dinyatakan dengan tegas.
Sehubungan dengan sahnya perjanjian antara dokter & pasien, terdapat hal yang menarik &
seringkali terjadi, bahwa syarat “kecakapan untuk membuat suatu perikatan” di dalam Pasal
1320 KUHPer mensyaratkan cakap berdasarkan hukum, yaitu usia dewasa, dalam arti menurut
KUHpdt adalah 21 tahun & menurut UU no. 1/1974 tentang Perkawinan adalah 18 tahun.
Apabila seorang anak belum dewasa, datang sendirian ke tempat praktik dokter & membutuhkan
jasa pelayanan kesehatan, apakah dokter dapat menolaknya dengan alasan belum dewasa?
Padahal dokter tidak boleh menolak permintaan bantuan jasa pelayanan kesehatan dari siapa pun
juga. Tentunya dokter tidak dapat menolak, terlebih dalam keadaan darurat, ketentuan ini dapat
diabaikan, namun untuk tindakan invasif, sebaiknya diupayakan agar ada wali yang
mendampingi anak. Perlu diketahui bahwa di beberapa negara telah memberikan hak kepada
anak berumur 14 tahun untuk mandiri dalam bidang pelayanan kesehatan.
Mengenai syarat yang ketiga, suatu hal tertentu, pelayanan kesehatan yang menjadi obyek
perjanjian (suatu hal tertentu), adalah pelayanan kesehatan untuk mengobati pasien yang harus
dapat dicapai, kalau pengobatan itu tidak dapat/tidak mungin dilaksanakan, maka obyeknya
perikatan menjadi tidak tertentu.
Syarat yang terakhir, mengenai suatu sebab (kausa) yang halal, dimaksudkan bahwa
diselenggarakannya pelayanan kesehatan yang menjadi tujuan dari pelayanan kesehatan itu
sendiri, harus diperbolehkan oleh hukum, ketertiban & kesusilaan. Contoh pelayanan kesehatan
yang melanggar hukum adalah tindakan pengguguran kandungan tanpa alasan medik, yang
dikenal sebagai pengguguran kandungan buatan yang kriminalis.
Kemudian pembahasan mengenai akibat hukum perjanjian yang sah, diatur di dalam Pasal 1338
KUHPer. Namun dalam pelayanan kesehatan mengalami penyimpangan, sebab perjanjian
pelayanan kesehatan antara dokter & pasien yang telah dibuat secara sah, yang berlaku sebagai
UU bagi para pihak, dapat diputuskan tanpa sepakat pihak yang lainnya oleh pasien, karena
pasien kapan saja dapat memutuskan perjanjian tanpa alasan apa pun juga. Dokter tidak dapat
memaksakan kehendak kepada pasien, pasien mempunyai hak untuk menentukan diri sendiri (the
right of self determination), yang merupakan hak asasi pasien.
Dokter hanya dapat memberikan informasi kepada pasien & harus meminta persetujuan untuk
diteruskan pelayanan kesehatan. Pemberian persetujuan atau penolakan persetujuan pelayanan
kesehatan adalah sepenuhnya hak dari pasien. Meski pun dokter tahu bahwa dengan
diputuskannya perjanjian pelayanan kesehatan, dapat menyebabkan pasien meninggal dunia,
dokter tidak berhak memaksakan pelayanan kesehatan.

Hubungan Hukum Dokter & RS


Hubungan dokter & RS, menurut hukum terdapat dua macam hubungan. Hubungan pertama
terdapat hubungan ketenagakerjaan, yakni dokter adalah pegawai RS, dalam arti ada hubungan
antara pemberi kerja & penerima kerja (istilah dahulu hubungan buruh dengan majikan). Pola
hubungan hukum seperti ini, dokter disebut sebagai “dokter in” dari RS.
Dokter yang pegawai RS, harus tunduk kepada seluruh peraturan tentang ketenagakerjaan. Hak
& kewajiban yang timbal balik antara pemberi kerja & penerima kerja, selain diatur baik di
dalam perundangan ketenagakerjaan, juga diatur di dalam KHUPdt.
Terdapat hubungan lain antara dokter dengan RS, yakni dokter bukan pegawai dari RS, antara
dokter & RS terdapat perikatan yang lahir karena perjanjian. Inti dari perjanjian itu, dokter dapat
menggunakan fasilitas RS, pada saat dokter & pasien terdapat hubungan hukum pelayanan
kesehatan. Pola hubungan hukum kedua ini, yakni terbentuk hubungan antara dokter & RS
berdasarkan perjanjian, seluruhnya diatur dengan peraturan yang ada di dalam KUHPer, tidak
berlaku peraturan tentang ketenagakerjaan. Dokter adalah “dokter out”, yang hanya
menggunakan fasisitas yang ada di RS, sebagai misal fasilitas rawat jalan & atau fasilitas rawat
inap yang dipunyai oleh RS.
Konsekuensi dari kedua macam hubungan hukum antara dokter & RS, adanya perbedaan dalam
hal ada gugatan dari pasien. Pada pola hubungan hukum yang pertama, pasien dapat menggugat
RS, karena berdasarkan ketentuan di dalam KHUPdt, melalui Pasal 1367, yang menentukan
bahwa majikan bukan hanya bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya, tetapi juga
bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan oleh bawahannya.
Namun Pasal ini seringkali disalahartikan, bahwa kalau menjadi bawahan & melakukan
kesalahan, tidak perlu bertanggungjawab, karena majikan akan membayar gugatan ganti rugi atas
kesalahan yang dibuatnya. Tentunya bukan begitu arti dari ketentuan Pasal 1367 KUHpdt itu,
artinya pasien tidak perlu sudah-susah menggugat dokter yang bawahan RS, tetapi dia dapat
menggugat RS yang menjadi majikan dokter.
Sedangkan antara dokter dengan RS, tentunya terdapat perjanjian tersendiri mengenai
pembayaran gantirugi, kalau tidak diperjanjikan, maka dokter harus membayar kembali ganti
rugi yang telah dibayarkan oleh RS kepada pasien. Pada dasarnya setiap orang yang melakukan
kesalahan & kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi pasien, harus membayar ganti rugi.
Pada pola hubungan yang kedua, yakni dokter adalah “dokter out”, apabila dokter melakukan
kesalahan & kesalahan itu menimbulkan kerugian bagi pasien, maka pasien harus menggugat
dokter secara langsung, dalam arti RS tidak dapat dimintakan tanggungjawabnya, sebab tidak
ada aturan hukum yang mengharuskan RS membayar ganti rugi atas kesalahan yang diperbuat
oleh dokter out.

Hubungan Hukum RS & Pasien


RS adalah sarana kesehatan, mempunyai fungsi selain memberikan pelayanan rawat jalan juga
pelayanan rawat inap kepada pasien. Hubungan hukum yang timbul antara RS & pasien
tergantung dari hubungan antara dokter dengan RS.
Merujuk pada bentuk hubungan dokter RS yang dapat sebagai “dokter in” & “dokter out”, maka
begitu pula hubungan RS dengan pasien, dapat saja pasien mempunyai hubungan dengan RS
bersama dengan “dokter in” & dapat juga pasien mempunyai hubungan hukum dengan RS &
juga mempunyai hubungan hukum dengan “dokter out”.
Seperti disebutkan di atas, dalam hal dokter adalah “dokter in”, maka pasien hanya mempunyai
satu hubungan hukum, yaitu dengan RS. Sedangkan dalam hal pasien berhubungan dengan
“dokter out”, maka pasien akan mengikatkan diri dalam dua perikatan, yaitu satu dengan RS &
satu lagi dengan “dokter out”.
Pasien yang hanya membuat satu perjanjian dengan RS yang mempunyai “dokter in”, tidak perlu
repot dalam hal terjadi kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi pasien, cukup menggugat
RS. Tanpa perlu mencari tahu siapa yang melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi
pasien.
Namun dalam hal terdapat dua perjanjian, yaitu dengan RS & “dokter out”, maka pasien harus
mencari tahu terlebih dahulu, siapa yang melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian bagi
pasien. Apabila kesalahan dilakukan oleh RS, maka pasien hanya menggugat RS. Apabila
kesalahan dilakukan oleh “dokter out”, maka pasien harus hanya menggugat “dokter out”, dalam
arti salah alamat kalau pasien menggugat RS. Begitu pula, kalau kesalahan dibuat oleh baik RS,
mau pun “dokter out”, maka guagatan harus ditujukan kepada keduanya.
Kiranya perlu ditambahkan sebagai bahan perbandingan, di Belanda terdapat keinginan dari
pasien agar diterapkan “tanggungjawab hukum terpusat” (centraal aanspraakelijkheid) RS baik
untuk “dokter in” mau pun untuk “dokter out”, yakni pada kasus terjadi kerugian yang diderita
oleh pasien, pasien tidak perlu mencari tahu siapa yang telah melakukan kesalahan, namun dapat
langsung mengajukan gugatan kepada RS.
Tentunya konstruksi hukum seperti ini mendapatkan tentangan dari “dokter out”. Bagi RS tidak
ada masalah diletakkannya tanggungjawab hukum terpusat, sebab RS akan melemparkan
tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yaitu asuransi, sedangkan bagi “dokter out” dengan
adanya tanggungjawab hukum terpusat, akan memberikan kekuasaan kepada RS untuk mengatur
“dokter out”, hal ini yang tidak dinginkan oleh “dokter out”.
“Dokter out” menginginkan adanya kebebasan dalam menyelenggarakan pelayan kesehatan, &
tidak mau RS mempunyai kekuasaan mengatur “dokter out”. Setiap “dokter out” di Negara
Kincir Angin itu tidak perlu takut menghadapi gugatan dari pasien, karena mereka pun telah
mengalihkan tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yaitu asuransi, sehingga konstruksi
tanggungjawab hukum terpusat tidak pernah terlaksana.

Penutup
Pelayanan kesehatan adalah kebutuhan pokok manusia, agar dapat hidup dalam keadaan sehat,
baik jasmani mau pun rohani, pada intinya berisi hubungan antara tenaga kesehatan a.l. dokter),
pasien & sarana kesehatan (a.l. RS) sebagai subyek hukum. Pasien & dokter sebagai subyek
hukum pribadi & RS sebagai subyek hukum yang badan hukum.
Hubungan hukum atau perikatan antara ketiga komponen dalam pelayanan kesehatan, dapat lahir
karena perjanjian & karena UU. Perikatan yang lahir karena perjanjian mensyaratkan dipenuhi
empat syarat dari sahnya perjanjian. Perikatan yang lahir karena UU timbul disebabkan dokter
mempunyai kewajiban hukum untuk menolong setiap orang yang membutuhkan pelayanan
kesehatan.
Meski pun di dalam setiap perjanjian terdapat akibat hukum dari sahnya perjanjian, terdapat
penyimpangan dari Ayat (2) Pasal 1338 KUHPer, karena adanya hak asasi dari pasien untuk
menentukan diri sendiri (the right of self determination), sehingga dokter tidak mempunyai hak
untuk memaksa pasien untuk dilakukan pelayanan kesehatan, meski pun dokter tahu kalau tidak
dilakukan pelayanan kesehatan akan berakibat fatal bagi pasien.
Hubungan hukum antara dokter & pasien kebanyakan lahir karena perjanjian, hanya sedikit
yang lahir karena UU. Kemudian berdasarkan doktrin Ilmu Hukum, hampir seluruh perikatan
yang timbul adalah perikatan ikhtiar bukan perikatan hasil, di mana dokter akan memberikan
prestasi berupa upaya semaksimal mungkin, bukan prestasi berupa hasil.
Hubungan hukum antara dokter & RS mengenal adanya pola hukbungan sebagai “dokter in” &
“dokter out”. “Dokter in” mempunyai hubungan ketenagakerjaan dengan RS, sedangkan “dokter
out” hanya mempunyai hubungan perjanjian dengan RS untuk dapat menggunakan fasilitas RS.
Konsekuensi yuridis dari kedua hubungan itu, menyebabkan adanya tanggungjawab hukum yang
berbeda.
Hubungan hukum RS & pasien, mengikuti pola hubungan dokter & rumahsakit. Pasien hanya
mempunyai satu perikatan, dalam hal RS mempunyai “dokter in”, sedangkan bagi pasien
mempunyai hubungan dengan “dokter out”, maka pasien akan mempunyai dua buah perikatan.
Demikian pula akan menyebabkan tanggungjawab hukum yang berbeda.
Di Belanda, keinginan pasien agar ditetapkan adanya tanggungjawab hukum terpusat pada RS,
untuk memudahkan pasien mengajukan gugatan, telah mengalami hambatan, karena “dokter out”
berpendapat dengan adanya tanggungjwab hukum terpusat RS, menyebabkan RS mempunyai
kekuasaan mengatur “dokter out”.
Akhrinya disarankan agar, baik pasien mau pun dokter & RS, untuk mengetahui & memahami
Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan dengan tujuan hubungan hukum antara ketiga komponen itu
menjadi harmonis & budaya gugat menggugat tidak berkembang.
Memulihkan Hubungan Pasien & Dokter yang Retak
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>

Dalam kolom ‘Surat Pembaca’ di beberapa harian, mungkin kita membaca surat-surat yang
berisi pertentangan antara pasien dengan rumah sakit (RS) yang pernah merawatnya mengenai
kepemilikan isi rekam medik. Pasien menganggap isi rekam medik adalah miliknya, sementara
RS menganggap pasien hanya berhak atas isi resume/ringkasannya saja. Dalam kasus Prita
Mulyasari, masalah rekam medik pun menjadi pertentangan ketika pihak RS menolak
memberikan rekam medik dengan lengkap.
Kedua pendapat ini memiliki dasar hukum masing-masing. Pasal 47 UU no.29/2004 dengan jelas
menyebutkan bahwa isi medik milik pasien, sementara pasal 12 Permenkes no.269/2008
mereduksi hak pasien tersebut menjadi hanya isi ringkasannya saja. Menurut azas preferensi
hukum, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superiori derogat legi
inferiori).
Masalah ini sebenarnya bukan semata masalah hukum, tetapi adalah ‘puncak dari gunung es’
retaknya hubungan antara masyarakat sebagai pasien dengan dokter/RS. Ini mengakibatkan
adanya perbedaan cara pandang mengenai hubungan pasien dengan dokter/RS. Di satu sisi,
masih banyak dokter beranggapan bahwa hubungannya dengan pasien adalah seperti hubungan
orangtua-anak (paternalistik), dokter lebih mendominasi sehingga pasien dianggap tidak tahu
apa-apa & cukup menurut saja, sedangkan dokter dianggap ‘manusia setengah dewa’ yang tahu
segalanya. Dalam pola ini, dokter menganggap wajar jika pasien hanya berhak atas ringkasan
rekam mediknya saja.
Di sisi lain, sudah banyak pasien yang menganggap hubungannya dengan dokter adalah seperti
klien-teknisi atau konsumen-produsen, di mana konsumen pelayanan kesehatan adalah ‘raja’.
Dokter cukup ‘memperbaiki’ tubuh & melayani kehendak pasien, karena telah dibayar mahal
termasuk untuk mengisi rekam medik. Sehingga wajar jika pasien berhak meminta semua isi
rekam mediknya dalam pola ini.
Kedua jenis hubungan tersebut sebenarnya bukan tipe hubungan yang tepat untuk pasien-dokter,
karena tidak menjadi hubungan yang setara di antara keduanya. Pada hubungan paternalistik,
dokter terkesan seenaknya dalam melayani pasien, pasien sering dianggap masalah yang harus
cepat diselesaikan atau semata makhluk biologis yang harus diobati. Pasien hanya dapat pasrah
apalagi dalam pola ini banyak yang biaya pengobatannya ditanggung oleh perusahaan atau
negara.
Sedangkan pada hubungan konsumen-produsen, pasien menjadi konsumen yang senang
‘berbelanja’ dokter, mencari mana yang paling memuaskannya, jika diperlukan yang paling ahli
sampai ke luar negeri. Jika tidak sembuh atau dianggap kurang memuaskan pelayanannya, dokter
dapat dituduh melakukan malapraktik. Dalam pola ini, dokter pun menjadi penyedia jasa yang
selektif, hanya mau melayani pasien yang mampu membayar sesuai tarif yang ditentukannya &
berlomba menyediakan berbagai fasilitas yang diingini pasien.
Dalam buku ‘Matters of Life and Death‘, pakar etika kedokteran John Wyatt menyatakan bahwa
pola hubungan yang baik untuk pasien & dokter sebenarnya adalah suatu hubungan ‘ahli-ahli’
(the expert-expert relationship), di mana terjadi suatu hubungan sejajar yang saling menghormati
& percaya. Dasar pemikiran pola ini adalah dokter sebagai ahli dalam bidang kesehatan
sementara pasien tentu ‘ahli’ (yang paling mengetahui) keluhan, riwayat kesehatan, sampai gaya
hidup pribadinya. Dalam pola ini, pasien tidak dianggap masalah atau kumpulan trilyunan sel
sakit yang dapat diobati penyakitnya sesuai prosedur standar atau perkembangan teknologi
kedokteran terbaru. Namun pasien adalah manusia seutuhnya yang unik sehingga diperlukan
pendekatan pribadi untuk kondisi kesehatan yang mungkin sama dengan banyak pasien lain.
Hubungan pasien & dokter dalam pola ini terjadi karena adanya aspek filantropis (mengasihi
orang lain) dari dokter, bukan didasarkan pada aspek finansial belaka seperti pada pola
konsumen-produsen. Sedangkan pasien dalam pola ini tidak hanya mencari pertolongan dokter
ketika dalam kondisi sakit saja seperti pada pola paternalistik, tetapi juga dalam kondisi sehat
untuk mencegah penyakit, menjaga & meningkatkan derajat kesehatannya.
Dengan pola ini, kepemilikan isi rekam medik bukanlah suatu hal yang perlu dipertentangkan &
menjadi rahasia bagi pasien yang kondisi tubuhnya tercatat di dalamnya. Karena dalam
hubungan ini, isi rekam medik menjadi salah satu pengikat hubungan pasien-dokter, yaitu sejarah
hubungan keduanya dalam usaha untuk menjaga & mencapai kesehatan pasien.
Pola hubungan yang baik ini tentu bukan hanya menjadi kepentingan pasien & dokter semata,
tetapi menjadi kepentingan pemerintah juga dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat.
Pemerintah harus ikut mendukungnya dengan membuat peraturan perundangan yang tentunya
tidak saling bertentangan, kebijakan yang mengutamakan pencegahan penyakit & peningkatan
kesehatan, tidak menjadikan bidang kesehatan sebagai usaha populis semata untuk mendapat
dukungan di pemilu, & memasukkan pola hubungan yang baik ini dalam inti kurikulum
pendidikan dokter di Indonesia. Dengan hubungan pasien & dokter yang lebih baik, maka
masyarakat dapat tetap sehat dalam membangun negeri ini.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
Akar Masalah & Berbagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa Pasien-Dokter/RS Juni 10, 2009
Posted by teknosehat in HUKUM KESEHATAN, Pelayanan Kesehatan, Pidana & Malpraktik Medik, Rekam
Medik, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan.
Tags: HUKUM KESEHATAN, Malapraktik, Prita Mulyasari, RS Omni
trackback

Akar Masalah & Berbagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasien-Dokter/RS


Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>

Beberapa waktu yang lalu masyarakat dikejutkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu
yang harus ditahan selama 3 pekan karena dituduh mencemarkan nama baik dokter & rumah
sakit (RS) yang pernah merawatnya. Kasus ini diawali dari suatu ketidakpuasan pasien terhadap
pelayanan yang diberikan sarana pelayanan kesehatan (SPK) seperti dokter atau RS. Dengan
adanya kasus Prita yang merupakan puncak ‘fenomena gunung es’, membuat masyarakat
bertanya-tanya ada masalah apa dengan hubungan pasien & SPK?
Hubungan pasien & SPK adalah suatu hubungan sederajat berupa perikatan ikhtiar dengan
masing-masing pihak memiliki hak & kewajibannya. Karena pengobatan merupakan suatu
ikhtiar, sehingga SPK tidak bisa menjanjikan kesembuhan melainkan memberikan usaha
maksimal sesuai standar pelayanan untuk kesembuhan pasien. Hal ini sering kurang dipahami
oleh masyarakat sehingga ketika pasien tidak sembuh atau pelayanannya dianggap kurang
memuaskan, muncul tuduhan dokter melakukan malapraktik atau RS dianggap menipu.
Hal lain yang sering memicu masalah antara pasien & SPK adalah kedua belah pihak kurang
mengerti hak & kewajibannya. SPK lebih ngotot dalam menuntut hak-nya namun lupa
melaksanakan kewajibannya secara tuntas. Di sisi lain pasien kadang tidak dapat memenuhi
kewajibannya seperti pembayaran atas biaya pengobatan sementara seringkali hak-haknya
kurang diperhatikan.
Agar kasus seperti yang dialami Prita tidak terulang kembali, masing-masing pihak harus
mengerti benar apa yang menjadi hak & kewajibannya dalam pengobatan. Hal ini telah diatur
dalam pasal 50-53 UU no.29/2004. Pasien sebaiknya mengerti bahwa hak-nya adalah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping, risiko,
komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak
pemeriksaan/pengobatan & meminta pendapat dokter lain.
Selain itu, isi rekam medik atau catatan kesehatan adalah milik pasien sehingga berhak untuk
meminta salinannya. Pasien memiliki kewajiban untuk memberikan informasi selengkap-
lengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di SPK, &
membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
Sedangkan SPK wajib untuk memberikan pelayanan sesuai standar & kebutuhan medis pasien,
merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani pasien, & merahasiakan
rekam medik. SPK pun berhak untuk menerima pembayaran atas jasa layanan kesehatan yang
diberikannya pada pasien.
Selain mengerti hak & kewajibannya, kedua belah pihak pun harus memiliki komunikasi yang
baik & rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Berbagai konflik antara pasien
& SPK hampir selalu diawali oleh komunikasi yang buruk & kurangnya rasa percaya di antara
keduanya. Pasien maupun SPK harus saling terbuka & mau menerima masukan agar pengobatan
dapat dilaksanakan dengan baik.
SPK harus paham bahwa pasien datang hanya karena ingin diobati & sembuh, bukan untuk
mencari-cari perkara. Pasien pun harus mengerti bahwa tidak ada SPK yang memiliki niat jahat
untuk mencelakakan pasiennya. Selain itu, SPK harus belajar berbesar hati dalam menerima
kritik & saran sebagai sarana untuk perbaikan kualitas layanan, bukan dianggap sebagai
penghinaan atau pencemaran nama baik. SPK harus ingat bahwa pasien itu sedang dalam
kesusahan akibat penyakitnya, sangat wajar jika pasien mudah marah, terlalu sensitif, atau
manja.
Namun bila akhirnya ada masalah di antara keduanya, perlu suatu cara penyelesaian yang bijak
demi kebaikan bersama. Langkah paling sering dilakukan adalah melalui jalur hukum yang lebih
berorientasi pada ‘menang-kalah’ sehingga hubungan di antara keduanya menjadi hancur.
Langkah ini sering dipilih karena kurangnya pengetahuan akan alternatif penyelesaian masalah
yang lain. Padahal langkah hukum membutuhkan waktu panjang & biaya banyak. Ada berbagai
cara lain yang dapat dipilih, seperti penyelesaian secara kekeluargaan atau dengan bantuan
penengah/mediator yang dipercayai & dihormati oleh kedua pihak.
Selain cara-cara penyelesaian masalah di atas, terdapat pula Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK) jika pasien merasa dokter berlaku tidak sesuai etika. Sementara untuk
masalah yang berkaitan dengan kinerja/tindakan dokter di dalam praktiknya, pasien dapat
mengadukannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang
anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, sarjana hukum, & dokter. Pasien bisa mengadu ke
kedua lembaga tersebut sekaligus dengan meminta bantuan kantor cabang organisasi profesi
dokter atau dinas kesehatan setempat.
Hubungan pasien & SPK memang dinamis, sehingga masalah pun akan selalu timbul. Dengan
cara penyelesaian masalah yang tepat diharapkan hubungan di antara keduanya dapat terus
terjalin dengan baik sehingga dunia pelayanan kesehatan di Indonesia dapat lebih berkualitas &
melindungi masyarakat.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 29 TAHUN 2004
TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan
kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat;
c. bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki
etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus
ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi,
lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan
kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik
kedokteran;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk
Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran;

Mengingat: Pasal 20 dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat
independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
4. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau
dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji
kompetensi.
5. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki
sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum
untuk melakukan tindakan profesinya.
6. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
7. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter
gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan.
8. Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi.
9. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang
dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.
10. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter atau dokter gigi.
11. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran
gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
12. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia untuk dokter gigi.
13. Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang
dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas
mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.
14. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.
15. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat,
keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.

Pasal 3
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:
a. memberikan perlindungan kepada pasien;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan
dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
BAB III
KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 4
(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang
terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada Presiden.

Pasal 5
Konsil Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.

Bagian Kedua
Fungsi, Tugas, dan Wewenang
Pasal 6
Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta
pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan medis.

Pasal 7
(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas:
a. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan
c. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan
bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.
(2) Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan
kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran,
asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.

Pasal 8
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran Indonesia
mempunyai wewenang:
a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
c. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
d. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
e. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika
profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan
g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi
profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil Kedokteran
dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran
Gigi.

Bagian Ketiga
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 11
(1) Susunan organisasi Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas:
a. Konsil Kedokteran; dan
b. Konsil Kedokteran Gigi.
(2) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masing-masing terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu :
a. Divisi Registrasi;
b. Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan
c. Divisi Pembinaan.

Pasal 12
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas :
a. pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap anggota;
b. pimpinan Konsil Kedokteran dan pimpinan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu)
orang merangkap anggota; dan
c. pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu)
orang merangkap anggota.
(2) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja secara
kolektif.
(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
penanggung jawab tertinggi.

Pasal 13
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil
ketua.
(2) Pimpinan Konsil Kedokteran terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.
(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Gigi terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.

Pasal 14
(1) Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuah belas) orang yang terdiri atas unsur-
unsur yang berasal dari:
a. organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang;
b. organisasi profesi kedokteran gigi 2 (dua) orang;
c. asosiasi institusi pendidikan kedokteran 1 (satu) orang;
d. asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi 1 (satu) orang;
e. kolegium kedokteran 1 (satu) orang;
f. kolegium kedokteran gigi 1 (satu) orang;
g. asosiasi rumah sakit pendidikan 2 (dua) orang;
h. tokoh masyarakat 3 (tiga) orang;
i. Departemen Kesehatan 2 (dua) orang; dan
j. Departemen Pendidikan Nasional 2 (dua) orang.
(2) Tata cara pemilihan tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
(4) Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia harus berdasarkan
usulan dari organisasi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia diatur
dengan Peraturan Presiden.

Pasal 15
Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia, pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan Konsil
Kedokteran Gigi, pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dipilih
oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.

Pasal 16
Masa bakti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

Pasal 17
(1) Anggota Konsil Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan
sumpah/janji, menurut agamanya di hadapan Presiden.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:”
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini,
senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta
meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini
dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan,
suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak
mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan
tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya”.
Pasal 18
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia, yang bersangkutan harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh
lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia;
f. pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat
tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi, kecuali untuk wakil dari
masyarakat;
g. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang
baik; dan
h. melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi
anggota Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 19
(1) Anggota Konsil Kedokteran Indonesia berhenti atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;
e. tidak mampu lagi melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan; atau
f. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal anggota Konsil Kedokteran Indonesia menjadi tersangka tindak pidana kejahatan,
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Konsil
Kedokteran Indonesia.
(4) Pengusulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri
kepada Presiden.

Pasal 20
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil Kedokteran Indonesia dibantu
sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(3) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan anggota Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil
Kedokteran Indonesia.
(5) Ketentuan fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 21
(1) Pelaksanaan tugas sekretariat dilakukan oleh pegawai Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-undangan
tentang kepegawaian.
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 22
(1) Setiap keputusan Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat mengatur diputuskan oleh rapat
pleno anggota.
(2) Rapat pleno Konsil Kedokteran Indonesia dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit
setengah dari jumlah anggota ditambah satu.
(3) Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dapat
dilakukan pemungutan suara.

Pasal 23
Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas
anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia.

Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 25
Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Kedokteran Indonesia dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.

BAB IV
STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI
Pasal 26
(1) Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. untuk pendidikan profesi dokter atau dokter gigi disusun oleh asosiasi institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi; dan
b. untuk pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter gigi spesialis disusun oleh kolegium
kedokteran atau kedokteran gigi.
(3) Asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar
pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berkoordinasi dengan organisasi
profesi, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan
Departemen Kesehatan.
(4) Kolegium kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan,
Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.
BAB V
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI
Pasal 27
Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi
kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi
kedokteran atau kedokteran gigi.

Pasal 28
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan
kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan
lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi
profesi kedokteran atau kedokteran gigi.

BAB VI
REGISTRASI DOKTER DAN DOKTER GIGI
Pasal 29
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
(2) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus
memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki sertifikat kompetensi; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5 (lima)
tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.
(5) Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi dalam melakukan registrasi ulang
harus mendengar pertimbangan ketua divisi registrasi dan ketua divisi pembinaan.
(6) Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi berkewajiban untuk memelihara
dan menjaga registrasi dokter dan dokter gigi.

Pasal 30
(1) Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik kedokteran di
Indonesia harus dilakukan evaluasi.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesahan ijazah;
b. kemampuan untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan dengan surat keterangan
telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi;
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(3) Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.
(4) Dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) diberikan surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 31
(1) Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara
asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan
kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia.
(2) Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk
1 (satu) tahun berikutnya.
(3) Surat tanda registrasi sementara diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).

Pasal 32
(1) Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis
atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di
Indonesia.
(2) Dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan
pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu
tertentu, tidak memerlukan surat tanda registrasi bersyarat.
(3) Dokter atau dokter gigi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mendapat persetujuan dari Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Surat tanda registrasi dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan pelatihan.

Pasal 33
Surat tanda registrasi tidak berlaku karena:
a. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
c. atas permintaan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi sementara, dan
registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang
terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak
ada apotek.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

BAB VII
PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
Bagian Kesatu
Surat Izin Praktik
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat izin praktik.

Pasal 37
(1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan
yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.

Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau
dokter gigi harus:
a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih
berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
b. mempunyai tempat praktik; dan
c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :
a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.

Pasal 40
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau
dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.

Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan
praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik
kedokteran.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan sarana
pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik
kedokteran.

Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak
memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan
tersebut.

Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.

Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragraf 1
Standar Pelayanan
Pasal 44
(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata
sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.

Paragraf 3
Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.

Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 4
Rahasia Kedokteran
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Pasal 49
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi
wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
(2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan audit medis.
(3) Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh organisasi profesi.

Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.

Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.

Paragraf 7
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.

Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

Paragraf 8
Pembinaan
Pasal 54
(1) Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi masyarakat
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, perlu dilakukan
pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia bersama-sama dengan organisasi profesi.

BAB VIII
DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI
Bagian Kesatu
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Pasal 55
(1) Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil
Kedokteran Indonesia.
(3) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen.

Pasal 56
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil
Kedokteran Indonesia.

Pasal 57
(1) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara
Republik Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil
Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

Pasal 58
Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua, seorang
wakil ketua, dan seorang sekretaris.

Pasal 59
(1) Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang
dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan
seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
(2) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun
pada saat diangkat;
f. bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh)
tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;
g. bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10 (sepuluh)
tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan
h. cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang
baik.

Pasal 60
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul
organisasi profesi.

Pasal 61
Masa bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.

Pasal 62
(1) Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan
wajib mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama masing-masing di hadapan Ketua Konsil
Kedokteran Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi
ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan
dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini
dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan,
suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak
mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan
tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya”.
Pasal 63
(1) Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh
rapat pleno anggota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

Pasal 64
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi yang diajukan; dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter
gigi.

Pasal 65
Segala pembiayaan kegiatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dibebankan
kepada anggaran Konsil Kedokteran Indonesia.

Bagian Kedua
Pengaduan
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap
orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau
menggugat kerugian perdata ke pengadilan.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.

Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.

Bagian Keempat
Keputusan
Pasal 69
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi,
dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.

Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara
pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.

BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 71
Pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi membina
serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.

Pasal 72
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter gigi;
b. melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi.

Pasal 73
(1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
(2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 74
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan
praktik kedokteran dapat dilakukan audit medis.

BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).

Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1);
atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi,
maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 82
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan dan/atau surat izin praktik,
dinyatakan telah memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik berdasarkan Undang-
Undang ini.
(2) Surat penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, surat tanda registrasi dokter gigi, dan surat izin
praktik berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun setelah Konsil Kedokteran
Indonesia terbentuk.

Pasal 83
(1) Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum terbentuknya Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di
Tingkat Pertama dan Menteri pada Tingkat Banding.
(2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi untuk memberikan
pertimbangan.
(3) Putusan berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
atau Menteri sesuai dengan fungsi dan tugasnya.

Pasal 84
(1) Untuk pertama kali anggota Konsil Kedokteran Indonesia diusulkan oleh Menteri dan
diangkat oleh Presiden.
(2) Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun sejak diangkat.

BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Dengan disahkannya Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi, dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 86
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) harus dibentuk
paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 87
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dibentuk paling lambat
1 (satu) bulan sebelum masa jabatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) berakhir.

Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 116


Rekam Medik Elektronik di Indonesia Pasca Pengesahan UU ITE
Billy N. <billy@informatika-kesehatan.web.id>

Beberapa waktu lalu, DPR telah mengesahkan RUU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)
menjadi UU ITE (UU no.11/2008). Sebagai UU pertama yang mengatur bidang teknologi
informasi (IT), banyak aspek dalam bidang IT menjadi tunduk pada UU tersebut, termasuk
penggunaan IT dalam dunia kesehatan.
Salah satu penggunaan IT dalam dunia kesehatan yang telah menjadi tren dalam dunia pelayanan
kesehatan secara global adalah rekam medik elektronik (EHR), yang sebenarnya sudah mulai
banyak digunakan di kalangan pelayanan kesehatan Indonesia, namun banyak tenaga kesehatan
& pengelola sarana pelayanan kesehatan masih ragu untuk menggunakannya karena belum ada
peraturan perundangan yang secara khusus mengatur penggunaannya.
Selama ini, rekam medik mengacu pada pasal 46-47 UU no.29/2004 tentang Praktik Kedokteran
& Permenkes no.269/2008 tentang Rekam Medik. UU no.29/2004 sebenarnya diundangkan saat
EHR telah banyak digunakan, namun tidak mengatur mengenai EHR. Sedangkan Permenkes
no.269/2008 belum mengatur mengenai EHR. Tetapi dengan adanya UU ITE, secara umum
penggunaan EHR sebagai dokumen elektronik telah memiliki dasar hukum.
Dimulai dari pencantuman nama, waktu, & tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan
kesehatan (pasal 46 (3) UU no.29/2004), dapat dilakukan secara elektronik & diatur oleh UU
ITE dalam pasal 5-12 & tercantum dalam penjelasan pasal 46 (3) UU no.29/2004.
Kepemilikan EHR juga tetap menjadi milik dokter/sarana pelayanan kesehatan seperti yang
tertulis dalam pasal 47 (1) UU no.29/2004 bahwa dokumen rekam medik adalah milik dokter
atau sarana pelayanan kesehatan. Sama seperti rekam medik konvensional, EHR selaku dokumen
elektronik sudah seharusnya disimpan di komputer milik dokter/sarana pelayanan kesehatan. Isi
rekam medik sesuai pasal 47 (1) yang merupakan milik pasien dapat diberikan salinannya dalam
bentuk elektronik atau dicetak untuk diberikan pada pasien.
Aspek kerahasiaan & keamanan dokumen rekam medik yang selama ini menjadi kekuatiran
banyak pihak dalam penggunaan EHR pun sebenarnya telah diatur di UU ITE dalam pasal 16.
Dengan kemajuan teknologi, tingkat kerahasiaan & keamanan dokumen elektronik terus semakin
tinggi & aman. Salah satu bentuk pengamanan yang umum adalah EHR dapat dilindungi dengan
sandi sehingga hanya orang tertentu yang dapat membuka berkas asli atau salinannya yang
diberikan pada pasien, ini membuat keamanannya lebih terjamin dibandingkan dengan rekam
medik konvensional.
Penyalinan atau pencetakan EHR juga dapat dibatasi, seperti yang telah dilakukan pada berkas
multimedia (lagu/video) yang dilindungi hak cipta, sehingga hanya orang tertentu yang telah
ditentukan yang dapat menyalin atau mencetaknya. EHR memiliki tingkat keamanan lebih tinggi
dalam mencegah kehilangan atau kerusakan dokumen elektronik, karena dokumen elektronik
jauh lebih mudah dilakukan ‘back-up’ dibandingkan dokumen konvensional.
EHR memiliki kemampuan lebih tinggi dari hal-hal yang telah ditentukan oleh Permenkes
no.269/2008, misalnya penyimpanan rekam medik sekurangnya 5 tahun dari tanggal pasien
berobat (pasal 7), rekam medik elektronik dapat disimpan selama puluhan tahun dalam bentuk
media penyimpanan cakram padat (CD/DVD) dengan tempat penyimpanan yang lebih ringkas
dari rekam medik konvensional yang membutuhkan banyak tempat & perawatan khusus.
Kebutuhan penggunaan rekam medik untuk penelitian, pendidikan, penghitungan statistik, &
pembayaran biaya pelayanan kesehatan lebih mudah dilakukan dengan EHR karena isi EHR
dapat dengan mudah diintegrasikan dengan program/software sistem informasi
RS/klinik/praktik, pengolahan data, & penghitungan statistik yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan, penelitian, & pendidikan tanpa mengabaikan aspek kerahasiaan. Hal ini tidak mudah
dilakukan dengan rekam medik konvensional. UU ITE juga telah mengatur bahwa dokumen
elektronik (termasuk EHR) sah untuk digunakan sebagai bahan pembuktian dalam perkara
hukum.
Memang, EHR pun memiliki beberapa kelemahan untuk digunakan di Indonesia, dari mulai
masalah keterbatasan kemampuan penggunaan komputer dari penggunanya, penyediaan
perangkat keras, sampai pasokan listrik dari PLN yang tidak stabil untuk menghidupkan
komputer. Diharapkan dengan kemajuan pembangunan SDM maupun fisik, hal ini dapat
diperbaiki terus menerus oleh pemerintah & masyarakat. Pemerintah, para ahli IT, & profesi
kesehatan pun harus menetapkan standar untuk EHR, sehingga EHR dapat benar-benar terjaga
kerahasiannya, aman, handal, & sah secara hukum.
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya UU ITE, EHR telah dapat digunakan di Indonesia
untuk membantu mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu & melindungi
masyarakat. Adalah sangat baik jika pemerintah membuat peraturan khusus mengenai EHR
berikut standar/protokol & keamanannya sebagai peraturan pelaksana dari UU no.29/2004.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
Situasi krisis yang mencemaskan tersebut jelas tidak menguntungkan bagi pengelolaan &
pengembangan RS & oleh karenanya perlu diwaspadai. Tetapi yang paling penting bagi setiap
pengelola & pemilik RS adalah memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktik
dapat dibuktikan maka setiap sengketa yang muncul antara health care receiver & health care
provider baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas sesuatu
masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by medical management rather
than the underlying condition of the patient). Menurut Winardi (1994), konflik diartikan sebagai
ketidaksesuaian paham atas situasi tentang pokok-pokok pikiran tertentu atau karena adanya
antagonisme-antagonisme emosional. Maka berbagai konflik yang melanda dunia
perumahsakitan kita sekarang ini tidak harus dipandang sebagai hal yang luar biasa sehingga
tidak perlu disikapi secara tidak proporsional. Dilihat dari sisi positifnya justru konflik atau
sengketa dapat meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta
mengurangi ketegangan.
Dunia perumahsakitan juga harus merasa risih & bersikap jujur karena pada kenyataannya masih
banyak kelemahan & kekurangan dalam melaksanakan tatakelola klinik yang baik (good clinical
governance), disamping belum secara sempurna mampu memenuhi prinsip-prinsip dalam
merancang system pelayanan kesehatan yang lebih aman (safer health care system) guna
mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi terjadinya adverse events.
Konflik itu sendiri sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor,
misalnya berupa adverse events (yang pada hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan
pasien ketika memilih RS dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya
medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi
ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter sendiri (arogan, ketus, enggan
memberikan informasi & sebagainya) atau dari pihak pasien (misalnya chronic complainer atau
sikap temperamental). Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya klaim atas
pelayanan yang kurang sempurna. Dari pengalaman saya sebagai kosultan di salah satu RS
swasta diperoleh temuan bahwa tidak jarang pemicunya justru datang dari penilaian spekulatif
yang bersifat negatip atas terjadinya adverse events dari teman sejawat dokter (yang barangkali
saja ingin mengambil keuntungan, misalnya agar oleh pasien dianggap lebih hebat atau lebih
pandai).
Mengenai perbedaan persepsi, biasanya disebabkan keidakmampuan pihak pasien untuk
memahami logika medis bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty &
hasilnya pun tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain di luar kontrol dokter untuk mengendalikannya; misalnya daya tahan tubuh,
mekanisme pertahanan tubuh, jenis & tingkat virulensi penyakit, stadium penyakit, kualitas obat,
respon individual terhadap obat (sebagai sebagai konsekuensi belum ditemukannya obat-obatan
farmakogenomik yang sesuai dengan konstitusi genetik tiap-tiap pasien) serta kepatuhan pasien
dalam mengikuti prosedur & nasehat dokter serta perawat. Banyak masyarakat menyangka
bahwa upaya medis yang dilakukan dokter merupakan satu-satunya variabel yang dapat
mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga parameternya, kalau upaya tersebut sudah
benar menurut logika mereka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah buruk
kondisinya atau malahan muncul problem-problem baru. Pada kenyataannya upaya medis yang
terbaik & termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin kesembuhan, demikian pula
sebaliknya. Bahkan tidak jarang dokter melakukan kesalahan diagnosis & dengan sendirinya
diikuti kesalahan terapi, tetapi justru pasien dapat sembuh (berkat mekanisme pertahanan
tubuhnya sendiri). Oleh sebab itu tidaklah salah jika ada sementara ahli yang menyatakan
“medicine is a science of the uncertainty, an art of the probability”.
Pemahaman yang kurang memadai tentang hakekat upaya medis tersebut masih diperparah lagi
oleh minimnya pemahaman mengenai hukum; misalnya tentang bentuk perikatan yang terjadi
menyusul disepakatinya hubungan terapetik (yang konsekuensinya memunculkan hak &
kewajiban pada masing-masing pihak). Tidak banyak masyarakat yang faham bahwa perikatan
yang terjadi antara health care receiver & health care provider merupakan inspanning-verbintenis
(perikatan upaya) sehingga konsekuensi hukumnya, RS tidak dibebani kewajiban untuk
mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya
sesuai standar (standard of care); yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan
telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan & perhatian yang layak sebagaimana yang
dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi & kondisi yang sama pula
(Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas seperti itu diharapkan mampu menyelesaikan problem
kesehatan pasien, namun jika pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan
terjadi adverse events atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau RS harus dipersalahkan.

Adverse Event & Malpraktik


Banyak kalangan LSM menengarai adanya sesuatu yang tak beres yang menyebabkan gugatan
pasien lewat jalur hukum selalu kandas di pengadilan. Mereka acapkali menuding sebagai
penyebabnya adalah karena tidak adilnya keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (yang
anggotanya terdiri dari para dokter) serta keberpihakan keterangan saksi ahli (yang notabene
diambil dari sejawatnya sendiri) sehingga menyesatkan hakim. Namun dari amatan saya secara
sepintas, justru kualitas dari gugatan itu sendirilah yang kabur (obscure libel) karena tidak
didukung oleh logika medis & logika hukum yang benar sehingga amat wajar apabila keputusan
pengadilan hampir selalu memenangkan RS atau dokter. Saya katakan demikian karena
nampaknya mereka telah menggeneralisasi setiap adverse event sebagai malpraktik. Mestinya
setiap adverse event dianalisis lebih dahulu (mengingat tidak semua adverse events identik
dengan malpraktik) & sesudah itu barulah dipilah apakah kasus tersebut merupakan kasus
pidana, perdata ataukah kecelakaan (misadventure).
Dalam kasus pidana maka menjadi kewajiban Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan
dipenuhinya unsur pidana yang terdiri atas perbuatan tercela (actus reus) & sikap batin yang
salah (mens rea) yang melatar-belakangi perbuatan tercela tersebut. Apabila terbukti bersalah
maka tanggungjawab hukumnya (criminal resposibility) selalu bersifat individual & personal
sehingga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain. Perlu ditambahkan disini bahwa di berbagai
negara yang menganut Common Law System pada awalnya memasukkan malpraktik sebagai tort
(civil wrong againsts a person or properties) sehingga tidak ada pidana bagi dokter yang
melakukan malpraktik melainkan gugatan ganti rugi. Namun kecenderungan internasional akhir-
akhir ini mulai ada upaya-upaya (walaupun kasusnya masih sangat jarang) untuk mempidanakan
dokter, utamanya atas kasus malpraktik yang mengakibatkan kematian. Kecenderungan tersebut
tentunya dapat menambah keyakinan LSM disini yang selama ini lebih suka membawa kasus
malpraktik ke peradilan pidana, apalagi tindakan seperti itu dimungkinkan mengingat adanya Psl
359 KUHP yang merupakan pasal keranjang sampah.
Sedangkan dalam kasus perdata, yang harus membuktikan adalah pihak penggugat (pasien)
mengingat “siapa yang mendalilkan (bahwa dokter bersalah) maka dialah yang membuktikan”.
Untuk itu penggugat harus membuktikan adanya keempat unsur D dari malpraktik; yaitu (D)uty,
(D)ereliction of duty, (D)amages & (D)irect causation betweem dereliction of duty and damages.
Tentunya yang paling sulit bagi penggugat ialah membuktikan unsur D yang terakhir (Direct
causation), namun pembuktian unsur itu beserta 3 unsur lainnya dari malpraktik menjadi tidak
diperlukan lagi manakala ditemukan fakta yang mampu berbicara sendiri (misalnya
ditemukannya gunting atau pinset di dalam perut pasien) sehingga dapat diberlakukan doktrin
Res Ipsa Loquitur (the thing speaks for itself) yang secara otomatis membuktikan adanya
malpraktik. Adapun mengenai tanggunggugatnya (civil liability,) dapat ditanggung sendiri oleh
dokter yang bersangkutan atau dalam kondisi tertentu dapat dialihkan kepada pihak lain
berdasarkan ajaran tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).
Contoh kasus paling gamblang yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam
menuntut & menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai pengajuan gugatan
ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong kelahirannya dengan vacuum extractie
menderita komplikasi kelumpuhan otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena
terjadinya Steven Johnson syndrome akibat obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan
sebelumnya). Betul pada kedua kasus itu ada damage, tetapi persoalannya, adakah unsur
dereliction of duty yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut?
Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9
% sampai 3,7 % dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa:
- Perpanjangan hospitalisasi
- Cacat saat meninggalkan RS
- Cacat tetap
- Adverse drug event
- Infeksi luka
- Meninggal dunia
Sekitar 70 % dari adverse event tersebut di atas disebabkan oleh error (diagnostic, treatment,
preventive and others) yang dapat dicegah sehingga disebut preventable adverse event & hanya
sekitar 27,6 % dari preventable adverse event yang dapat dikatagorikan sebagai malpraktik
(negligence atau culpa). Jadi kalau dihitung-hitung sebenarnya sangat kecil sekali bagian dari
adverse event yang dapat dihubungkan dengan malpraktik, sedangkan selebihnya merupakan
adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hokum; baik yang bersifat error of commission
(melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan) maupun error of omission (tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan).
Agaknya apa yang diuraikan di atas sejalan dengan teori Perrow (the Perrow’s Normal Accident
Theory) yang menyatakan bahwa:
1. Dalam system tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali.
2. Dalam industri yang komplek & berteknologi tinggi maka kecelakaan merupakan hal yang
normal.
Perlu disadari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di RS merupakan pekerjaan yang sulit,
rumit & komplek serta memerlukan bantuan teknologi (metode, alat & obat-obatan). Maka
dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety Foundation
menyimpulkan bahwa:
1. Keselamatan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari & mencegah adverse
event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan serta meningkatkan mutu
outcome.
2. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau departemen
saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen & system.
Hal-hal tersebut di atas seyogyanya difahami lebih dahulu oleh pasien & pengacaranya sebelum
memutuskan menggugat, disamping perlu pula memahami logika hokum sebagaimana
disebutkan di bawah ini, yaitu:
1. Hubungan terapetik antara pasien & RS merupakan hubungan kontraktual & oleh karenanya
semua azas dalam berkontrak berlaku, utamanya azas utmost of good faith (iktikad baik).
2. Perikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan jenis perikatan
dimana RS hanya dibebani kewajiban oleh hokum untuk memberikan upaya yang benar
(inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat atau result).
3. Adverse event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktik.
Pembuktian malpraktik menghendaki adanya unsur 4 D (Duty, Dereliction of duty, Damage &
Direct causation between damage and dereliction of duty) atau kalau tidak harus ada fakta yang
benar-benar dapat berbicara sendiri (Res Ipsa Loquitur).
4. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan malpraktik sepanjang dokter, dalam membuat
diagnosis telah memenuhi ketentuan & prosedur.
Perlu dipahami oleh masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dokter yang paling sulit adalah
menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnostik (yang paling canggih sekalipun) hanyalah
bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidaklah aneh jika kesalahan diagnosis di
Amerika tetap tinggi (sekitar 17 %). Satu hal yang paling penting adalah apakah kesalahan
diagnosis itu terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis atau tidak.
5. Dokter dapat dituntut pidana apabila tindakannya memenuhi rumusan pidana beserta unsur-
unsurnya (mens rea & actus reus).
6. Tanggungjawab pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual & personal serta
tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun korporasi).
7. Dokter juga boleh digugat jika pasien menderita kerugian akibat ingkar janji atau karena
tindakannya yang melawan hokum (onrechtmatige-daad).
8. Tanggunggugat (civil liability) atas terjadinya malpraktik yang dilakukan oleh dokter dapat
dialihkan berdasarkan doktrin tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).

Ganti Rugi Akibat Malpraktik


Dalam melaksanakan pengabdiannya, tidak selamanya RS dapat memberikan hasil sebagaimana
diharapkan semua pihak. Adakalanya layanan tersebut justru menimbulkan malapetaka; seperti
cacat seumur hidup, lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Namun RS tidak perlu
merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah benar (sesuai standar yang berlaku)
maka adverse events yang terjadi hanya bisa dianggap sebagai bagian dari risiko medik atau
sebagai sesuatu yang tak mungkin dihindari, sehingga RS tidak seharusnya bertanggunggugat
atas kerugian yang dialami pasien, materiel maupun immateriel. Lain halnya apabila adverse
events terjadi karena error yang benar-benar dapat dikaitkan dengan malpraktik; baik yang
bersifat kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).
Ganti rugi oleh UU Kesehatan, dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang
atas sesuatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik. Kerugian fisik adalah kerugian
karena hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam bahasa
hukum disebut kerugian materiel. Sedangkan kerugian non fisik adalah kerugian yang berkaitan
dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya disebut kerugian immateriel.
Pertanyaan sekarang ialah, siapakah yang harus bertanggunggugat atas timbulnya kerugian itu?
Dokter, RS, yayasan ataukah ketiga-tiganya?
Untuk dapat menjawab pertanyaan-prtanyaan di atas perlu dipahami lebih dahulu tentang:
1. Jenis tanggunggugat.
2. Pola hubungan terapetik yang terjadi.
3. Pola hubungan kerja antara dokter & RS.
Mengenai jenis tanggunggugat (menurut hukum perdata) dikenal ada banyak macamnya, antara
lain:
- Contractual liability.
Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksanakannya sesuatu
kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya
hubungan kontraktual.
Dalam kaitannya dengan hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan
oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan hasil (result). Karena itu dokter
hanya bertanggunggugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain,
upaya medik yang dapat dikatagorikan sebagai civil malpractice.

- Liability in tort.
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya
contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan
hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang
berlawanan dengan kesusilaan yang baik & berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan
dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad, 31 Januari 1919).
Konsep liability in tort ini sebetulnya berasal dari Napoleontic Civil Code Art.1382, yang
bunyinya: “Everyone causes damages through his own behavior must provide compensation, if
at least the victim can prove a causal relationship between the fault and damages”. Konsep ini
sejalan dengan Psl 1365 KUH Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar
hokum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dengan adanya tanggung gugat ini maka RS atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas
terjadinya kesalahan yang termasuk katagori tort (civil wrong against a person or properties);
baik yang bersifat intensiona atau negligence. Contoh dari tindakan RS atau dokter yang dapat
menimbulkan tanggunggugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia atau
ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau menderita cacat.

- Strict liability.
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability whitout fault)
mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa;
baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini
biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar
ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah
memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
Di negara-negara Common Law, produk darah dikatagorikan sebagai product sold sehingga
produsen yang mengolah darah harus bertanggunggugat untuk setiap transfusi darah olahannya
yang menularkan virus hepatitis atau HIV.

- Vicarious liability.
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate).
Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat
atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-
ordinate (employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra
(attending physician) sehingga kedudukannya setingkat dengan RS.
Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya
bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.

Jadi dapat tidaknya RS menjadi subjek tanggung-renteng tergantung dari pola hubungan kerja
antara tenaga kesehatan dengan RS, dimana pola hubungan tersebut juga akan ikut menentukan
pola hubungan terapetik dengan pihak pasien yang berobat di RS tersebut.
Mengenai pola hubungan terapetik antara health care provider & health care receiver dapat
dirinci sebagai berikut:
- Hubungan pasien-RS
Hubungan seperti ini terjadi jika pasien sudah dewasa & sehat akal, sedangkan RS hanya
memiliki dokter yang bekerja sebagai employee. Para pihaknya adalah pasien & RS, sementara
dokter hanya berfungsi sebagai employee (subordinate dari RS) yang bertugas melaksanakan
kewajiban RS.
Hubungan hukum seperti ini biasanya berlaku di sarana kesehatan milik pemerintah yang dokter-
dokternya digaji secara tetap & penuh, tidak didasarkan atas jumlah pasien yang telah ditangani
ataupun kuantitas & kualitas tindakan medik yang dilakukan dokter.

- Hubungan penanggung pasien-RS


Pola hubungan ini terjadi jika pasien masih anak-anak atau tidak sehat akal sehingga menurut
hokum Perdata tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Para pihaknya adalah penanggung
pasien (orang tua atau keluarga yang bertindak sebagai wali) & RS.

- Hubungan pasien-dokter
Pola ini terjadi jika pasien sudah dewasa & sehat akal (berkompeten), dirawat di RS yang dokter-
dokternya bekerja bukan sebagai employee melainkan sebagai mitra (attending physician). Para
pihaknya adalah pasien & dokter, sementara posisi RS hanyalah sebagai tempat yang
menyediakan fasilitas (penginapan, makan & minum, perawat atau bidan serta sarana medik &
nonmedik). Konsepnya seolah-olah dokter menyewa fasilitas RS untuk digunakan merawat
pasiennya.
Pola seperti ini banyak dianut oleh RS swasta yang dokter-dokternya mendapatkan penghasilan
berdasarkan perhitungan jumlah pasien serta kuantitas & kualitas tindakan medik yang
dilakukannya. Jika dalam satu bulan tidak ada seorang pasienpun yang dirawat maka dalam
bulan itu dokter tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Hubungan kerja seperti ini
menempatkan dokter pada kedudukan yang sama derajat dengan RS, bukan subordinate dari RS.

- Hubungan penanggung pasien-dokter


Pada prinsipnya pola ini seperti pola butir (c), hanya saja karena pasien masih anak-anak atau
tidak sehat akal maka para pihaknya adalah penanggung pasien (orang tua atau wali) & dokter.

Sedangkan mengenai hubungan kerja antara dokter & RS terdapat beberapa pola, antara lain:
* Dokter sebagai employee.
* Dokter sebagai attending physician (mitra).
* Dokter sebagai independent contractor.
Masing-masing dari pola-pola hubungan tersebut di atas akan sangat menentukan apakah RS
atau dokter yang harus bertanggunggugat sendiri (direct liability) terhadap kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan dokter & sejauh mana pula tanggunggugat dokter tersebut dapat
dialihkan kepada pihak RS berdasarkan doctrine of vicarious liability?

Corporate Liability & Vicarious Liability


Pada awal sejarahnya, RS tidak lebih dari sekedar institusi (penerima sumbangan dari para
dermawan) yang hanya menyediakan makanan & tempat tidur bagi pasien yang memerlukan
rawat inap. Dengan diramaikannya RS oleh kehadiran para dokter mitra ternyata mampu
memberikan pengaruh yang luar biasa besar bagi peningkatan kualitas layanan. Sekarang
keadaannya sudah benar-benar berubah secara dramatis. RS kini tidak hanya menyediakan
makanan & penginapan saja, melainkan juga berbagai macam tenaga profesional guna
menunjang fungsi; meliputi fungsi layanan keperawatan terampil & profesional, diagnosis &
terapi spesialistik, pre & post-operative care & masih banyak lagi layanan lainnya. Tidak cukup
sampai disitu saja sebab masing-masing RS juga terus berlomba meningkatkan &
mengembangkan diri menjadi institusi dengan layanan total & komprehensif. Namun
konsekuensinya tidak hanya kualitas layanan medik, penunjang medik & layanan umum saja
yang meningkat, tetapi juga kemungkinan munculnya lebih banyak lagi corporate liability
(tanggunggugat korporasi) serta vicarious liability (tanggung-renteng) akibat kesalahan yang
dilakukan oleh sub-ordinate RS.
* Corporate Liability
Agak sulit sebenarnya membedakan antara corporate liability dengan vicarious liability, sebab
dalam situasi tertentu corporate liability dapat saja ditafsirkan sebagai vicarious liability. Konsep
corporate liability itu sendiri sesungguhnya dikembangkan dari pemahaman bahwa RS
merupakan artificial entity yang dapat melakukan perbuatan hukum, melalui individu yang
tergabung di dalamnya yang bertindak untuk & atas namanya sehingga RS dapat menjadi subjek
langsung dari corporate liability manakala employee, non-employee staff, administrative
personnel atau regular employees gagal mengimplementasikan kebijakan RS yang pantas;
misalnya gagal menerapkan kebijakan pencegahan infeksi nosokomial atau gagal mencegah
dokter yang tidak berkompeten untuk tidak menangani pasien.
Meskipun tidak selalu benar, corporate liability dapat diterapkan manakala RS tidak melakukan
langkah-langkah manajerial yang dapat dipertanggung-jawabkan terhadap bidang-bidang tertentu
di bawah ini, yaitu:
- Hospital equipment, supplies, medication and food
- Hospital environment
- Safety procedures
- Selection and retention of employees and conferral of staff privileges
- Responsibilities for supervision of patient care

* Vicarious Liability
Pada umumnya RS tidak bertanggunggugat atas kesalahan dokter non-organik (non-employee
physician) yang hanya memanfaatkan fasilitas RS untuk merawat pasiennya sendiri (staff
privileges). Mereka bertanggunggugat secara mandiri atas kesalahan yang telah merugikan
pasiennya. Meskipun bertanggunggugat secara mandiri namun kesepakatan dengan pihak RS
dapat saja dibuat untuk misalnya bersama-sama menanggung ganti rugi berdasarkan proporsi
yang disetujui oleh kedua belah pihak apabila dokter kalah di pengadilan. Tanpa kesepakatan
khusus maka non-employee physician (misalnya dokter mitra) pada umumnya bertanggunggugat
secara mandiri.
Di bawah doctrine of vicarious liability, RS (meskipun sebagai artificial entity tidak melakukan
kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan dokter organik yang bekerja di
institusi tersebut. Doktrin ini sejalan dengan Pasal 1367 KUH Perdata, yang bunyinya:
“Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Untuk dapat diberlakukan doctrine of vicarious liability diperlukan prakondisi seperti tersebut di
bawah ini, yaitu:
- Harus ada direct (economic) relationship.
Maknanya, antara dokter & pihak RS harus terjalin dalam suatu hubungan yang bersifat
ekonomi; misalnya hubungan master-servant atau employer-employee.
Sebagai bukti adanya direct (economic) relationship antara lain: adanya gaji tetap, kewenangan
RS mengontrol, memberi sanksi serta adanya kewenangan mengangkat & memberhentikan
dokter.

- Tindakan dokter harus berada dalam lingkup tugas & tanggungjawabnya.


Artinya, tindakan (yang merugikan pasien) yang dilakukan oleh dokter harus berada di dalam
lingkup tugas & tanggungjawab yang diberikan oleh RS pemberi kerja berdasarkan hubungan
yang telah terjalin.
Jika dokter melakukan tindakan di luar lingkup tugas & tanggungjawabnya (misalnya di luar
clinical previlige yang diberikan oleh Direktur atas rekomendasi Panitia Kredensial dari Komite
Medik) maka kerugian akibat kesalahannya harus ditanggung sendiri.

Konsep pengalihan tanggunggugat kepada RS (dalam kedudukannya sebagai master atau


employer) antara lain didasarkan pada pemikiran:
- Untuk memberikan jaminan kepada pasien yang dirugikan bahwa ia pasti akan dapat
menemukan pihak tergugat yang punya kemampuan membayar (solvent defendant atau deeper
pocket).
- Untuk memberikan umpan balik kepada pihak manajemen RS agar memiliki rasa
tanggungjawab yang lebih besar lagi dalam mengelola & mengontrol para dokter supaya mau
melakukan layanan medik yang lebih baik agar tidak terjadi kerugian pada pasien.

Pertanyaan yang muncul sekarang ialah “siapakah yang seharusnya menjadi target (subjek) dari
tanggung-renteng tersebut”? Institusi RS ataukah justru badan hokum yang menjadi pemilik RS?
Meskipun pada hakekatnya tidak ada bedanya apabila yang menjadi subjek dari vicarious
liability adalah RS atau badan hokum pemilik RS sebab pembebanan ganti rugi kepada RS
dengan sendirinya juga akan mengurangi asset badan hokum yang menjadi pemiliknya, demikian
pula sebaliknya. Namun dilihat dari sisi yuridis-formal mungkin jawaban dari pertanyaan di atas
menjadi sangat penting agar supaya masing-masing pihak saling memahami posisinya masing-
masing, disamping untuk menghindari kemungkinan terjadinya gugatan salah alamat. Untuk itu
menurut hemat saya perlu memperhatikan beberapa hal:
- Konsep dasar bahwa dalam ajaran vicarious liability harus ada direct (economic) relationship
antara dokter yang melakukan kesalahan dengan pihak yang menjadi subjek dari tanggung-
renteng.
Siapa subjek tersebut? Jawabannya sudah bisa ditebak, yakni tergantung dari siapa sebenarnya
yang memberi kerja, memberhentikan, membayar, mengontrol & mengawasi kinerja dokter yang
bersangkutan. RS atau badan hokum yang menjadi pemilik RS?
- UU tentang badan hukum yang terkait.
Dalam kaitannya dengan yayasan, sepanjang bentuk RS merupakan kegiatan usaha yayasan
(yang dilaksanakan oleh pelaksana & diangkat oleh organ pengurus yayasan) maka yang akan
menjadi subjek tanggungrenteng adalah yayasan yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui
bahwa berdasarkan UU Yayasan, organ pengurus bertanggungjawab sepenuhnya atas
kepengurusan yayasan, baik untuk kepentingan maupun tujuan yayasan, serta mewakili yayasan
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai azas persona standi in judicio. Ini berarti bahwa
organ pengurus mewakili yayasan dalam melakukan gugatan ataupun digugat. Barangkali
demikian pula untuk RS yang merupakan amal usaha perkumpulan.
Tetapi lain halnya apabila RS berbentuk PT yang didirikan oleh yayasan atau oleh perkumpulan
maka tanggungrentengnya bukan pada yayasan atau perkumpulan tersebut, melainkan pada RS
(yang dalam hal ini diwakili oleh direksi). Tanggungjawab yayasan atau perkumpulan (sebagai
pemegang saham) hanyalah sebatas saham yang dimilikinya & samasekali tidak meyentuh
kekayaan lain dari yayasan atau perkumpulan yang memiliki PT tersebut.
MA
TI
OT
AK
MA
TI
OT
AK
KELU
ARGA
PASIE
N
HARU
SKEL
UARG
A
PASIE
N
HARU
SMEN
ENTU
KAN
PENG
HENT
IANM
ENEN
TUKA
N
PENG
HENT
IANB
ANTU
AN
UNTU
K
MENU
NJAN
GBAN
TUAN
UNTU
K
MENU
NJAN
GKEH
IDUP
AN
VEGE
TATIF
KEHI
DUPA
N
VEGE
TATIF
DOKT
ER
TIDA
K
BERH
AKDO
KTER
TIDA
K
BERH
AKME
NENT
UKAN
PENG
HENT
IANM
ENEN
TUKA
N
PENG
HENT
IANB
ANTU
AN
VEGE
TATIF
BANT
UAN
VEGE
TATIF
KE
AD
AA
N
DA
RU
RA
T K
EA
DA
AN
DA
RU
RA
T
KEW
AJIBA
N
DOKT
ER
UNTU
KKE
WAJI
BAN
DOKT
ER
UNTU
KME
MBA
NTUM
EMBA
NTU
PILIH
AN
ANTA
RA
DUA
KEAD
AANP
ILIHA
N
ANTA
RA
DUA
KEAD
AAND
ARUR
ATDA
RURA
T
TIDA
K
MEM
BANT
U
DIHU
KUMT
IDAK
MEM
BANT
U
DIHU
KUM
MAKS
1 TH
KURU
NGAN
ATAU
MAKS
1 TH
KURU
NGAN
ATAU
DEND
A
MAKS
50
JUTA
RUPI
AHDE
NDA
MAKS
50
JUTA
RUPI
AH
SE
KIA
NS
EKI
AN
DA
ND
AN
TE
RI
MA
KA
SIH
TE
RI
MA
KA
SIH
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam satu bab khusus dari
Pasal 190-201 mengatur sejumlah ketentuan pidana dalam bidang kesehatan. Beberapa
ketentuan pidana tersebut antara lain sebagai berikut:

 Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan


praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).

 Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

 Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan
dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

Ketentuan pidana yang dituangkan dalam UU Kesehatan yang antaranya sebagaimana


dikemukakan di atas semestinya mesti menjadi perhatian bagi tenaga pelayanan
kesehatan dalam menjalankan tugas. Adanya ketentuan pidana tersebut tentu tidak
terlepas dari semakin meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan kesehatan yang
disebabkan antara lain karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat dan
pelayanan kesehatan dan disisi lain kian besarnya perhatian terhadap hak yang dimiliki
manusia untuk memperoleh pelayanan kesehatan dalam berbagai aspek.(***} –boy
yendra tamin I foto:indonews.org
Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003
adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk
lain.. Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh adalah seseorang yang
bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6).
Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13 tahun 2003
adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan
/ atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah lapangan
pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang tersedia
adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka
kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah.

Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui industrialisaasi,


membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis
pendukung bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebaliknya menempatkan pekerja
pada posisi pemancing sektor penarik investasi sehingga nilai pekerja Indonesia lebih
rendah daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 : 23). Kebijakan pemerintah
di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang memperhatikan nasib pekerja. Hal ini
ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas yang semakin memperlemah posisi tawar
buruh ( Mansour Fakih, 1997 : 46)

Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang-


wenang kepada pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap
sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau
pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan
faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip yang
menjadikan perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).

Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara
maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat
menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa
melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama
upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang
dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja
meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh
perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.

Secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan
inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP. Rajagukguk, 2000,
hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya.
Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian
yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan
kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang
diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan
kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi
silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja
terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)

Perlindungan hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang


lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-
undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan
bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan
semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi
diukur secara sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993, hal.5)

Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual,


keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah
diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatif yaitu kaidah
cocok dalam sistim hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah
tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.(
JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157).

Dari uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk
perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan
karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

II Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan

Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan


dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003
pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam
rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan
ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan


ketenagkerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi
fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasannnya, yaitu :
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan
nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan
berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu,
pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama
yang saling mendukung.
Tujuan pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13 Tahun
2003 adalah :

a. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan


manusiawi;
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang
sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
c. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan dan;
d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang
terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja
Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja
Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun
dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.

Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan


Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan
yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan
daerah.

Penekanan pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja


adalah pelaku pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada
kemampuan, dan kualitas pekerja. Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi
maka produktifitas akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan kesejahteraan
meningkat. Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan
produktifitas nasional dan kesejahteraan masyarakat, (Machsoen Ali, 1999 :162 ).

II,Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK

Sebelum membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan
kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu ”Hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan,upah dan perintah”.

Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu
suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk
mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung
arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan
pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
Hubungan kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam
hubungan kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh
berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara pengusaha,


pemberi kerja dan perusahaan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003
pengertian pemberi kerja yaitu ”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.

Pengertian pengusaha menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003


adalah:

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu


perusahaan bukan miliknya;
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri
menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia
mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian
perusahaan adalah:

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan kerja
diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan
kesejahteraan pekerja. Untuk itu, para pengusaha dalam menghadapi para pekerja
hendaknya :

a. Menganggap para pekerja sebagai partner yang akan membantunya untuk


menyukseskan tujuan usaha;
b. Memberikan imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah dikerahkan oleh
partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial
tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif
(berdaya guna); dan
c. Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).
Agar kedua belah pihak dapat melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya
tindakan sewenang-wenang dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur
tangan dari pemerintah dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
Adanya peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik pemberi
pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali atau masing-
masing harus menundukkan diri pada segala ketentuan dan peraturan yang berlaku,
harus bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai dengan
tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan selalu terwujud.
(Kertasapoetra, 1998, hal. 13).

Selama pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan


hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas inisiatif pekerja.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian
pemutusan hubungan kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003,

Pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial
dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil bagi
si pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. PHK
harus diupayakan untuk dicegah.

Pengusaha dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan


berdasarkan pasal 153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
a. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12(dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. Pekerja/buruh menikah;
e. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
f. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam
kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan
yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja
bersama;
h. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin,kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit
karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dipastikan.
Apabila PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh
majikan sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang
pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu
dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Pelaksanaan pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan pendapatan
(income security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan. Kiranya perlu diciptakan
peraturan yang memuaskan mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan
memperhatikan kepentingan pihak pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan
penyelesaian yang layak dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila.
(Djumialdi, 1987, hal. 88)
Berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK
terhadap pekerja karena alasan-alasan sebagai berikut :

a. Pekerja melakukan kesalahan ringan;


b. Pekerja melakukan kesalahan berat;
c. Perusahaan tutup karena pailit;
d. Force majeur;
e. Adanya efisiensi;
f. Perubahan status, milik, lokasi dan pekerja menolak;
g. Perubahan status, milik, lokasi dan majikan menolak;
h. Pekerja sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri
Wijayanti, 2003, hal. 63).
Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim dan Sunindhia yaitu :

1. Menurutnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor
misalnya :
a. Merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
b. Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang
bersangkutan.
c. Menurunnya persediaan bahan dasar.
d. Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran
dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung
mengakibatkan kerugian.
2. Merosotnya penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan
kerugian pula.
3. Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau
imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
4. Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan
karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim,
1987, hal. 15)
Alasan lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :

1. Karena keadaan perang yang tidak memungkinkan diteruskannya hubungan


kerja;
2. Karena bencana alam yang menghancurkan tempat kerja dan sebagainya;
3. Karena perusahaan lain yang menjadi penyelenggara pekerjaan yang
bersangkutan ternyata tidak mampu lagi meneruskan pengadaan lapangan
pekerjaan selama ini ada. Sedangkan perusahaan atau majikan yang secara
langsung mempekerjakan para karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa
yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang lain yang menjadi
penyelenggara atau pengada lapangan pekerjaan tersebut;
4. Karena meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu
melanjutkan hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia,
1998, hal. 23)
Alasan PHK itu di dalam prakteknya ada yang mengandung cacat yuridis, dalam arti
ada hal-hal yang tidak benar di dalam dasar surat keputusan PHK oleh majikan. (Asri
Wijayanti, 2002, hal.8) Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak, antara lain :
aJika antara lain tidak menyebutkan alasannya atau.

a. Jika alasannya PHK itu dicari-cari atau alasannya palsu.


b. Jika akibat pemberhentian itu adalah lebih berat dari pada keuntungan
pemberhentian itu bagi majikan,atau.
c. Jika buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf dan tidak alasan penting untuk
tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998, hal. 29).
Apabila alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan berakibat PHK itu dapat
dibatalkan. Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan
yaitu :

a. Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus


ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
b. Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak
memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti
rugi. (Kertosaputro, 1992, hal. 287)
Pada garis besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat golongan
yaitu :

a. Pemutusan hubungan kerja karena hukum


Jika hubungan kerja yang diadakan untuk waktu tertentu, dan waktunya tersebut telah
habis atau berakhir, maka pemutusan hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan
ijin. Hal demikian berarti putus dengan sendirinya, karena hukum.

b. Pemutusan hubungan kerja karena keputusan pengadilan


Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan melalui yang
berwenang di Pengadilan atas permintaan yang bersangkutan, yang berdasarkan
alasan-alasan penting.

c. Pemutusan hubungan kerja karena kehendak pekerja


Meliputi karena alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal ini sesuai
dengan pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :pekerja/buruh
dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan
perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan
berturut-turut atau lebih
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang
diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan
kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.

d. Pemutusan hubungan kerja karena kehendak majikan


a. Pemutusan hubungan atas kehendak majikan adalah harus disertai ijin
dari P4Daerah atau P4 Pusat selama lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial belum terbentuk. Kriteria kesalahan berat yang dapat
dijadikan dasar oleh majikan dalam memutus hubungan kerjanya dengan
pekerja diatur dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun
2003
Hak-hak Bagi Pekerja Yang di PHK

Apabila PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari
terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang
penghargaan masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian
hak.

Ketentuan uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun
2003 yaitu :

a. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :


b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
i. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Ketentuan uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :

a. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
b. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
c. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
d. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
e. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
f. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
g. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
h. Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :

a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;


b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat
dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari
uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.

IV. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena


melakukan kesalahan berat

Berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:

a. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik


perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
c. mabuk,meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan
kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perbuatan perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya
barang milik milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya
dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sebelas kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan melanggar hukum)
kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van starfrecht.
Diputuskannya pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada
prosedur yang diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :

a. pekerja / buruh tertangkap tangan;


b. ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di
perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi.
Tiga syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus
bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat yang
ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada, tidak adanya
salah satu syarat dari ketiga syarat itu menjadikan putusan pengusaha / majikan bahwa
pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat diterima.

Syarat pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan
maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal
bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal 158
ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa
pekerja telah melakukan kesalahan berat.

Syarat yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan
bahwa ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal
pada saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam
bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum
sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk
tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri (dalam arti tidak
dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di dalam praktek). Tentunya pembuatan
surat pernyataan pengakuan telah melakukan salah satu dari perbuatan yang termasuk
dalam kriteria kesalahan berat itu harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam
keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun
dari pihak personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.

Syarat yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh
pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh sekurang-
kurangnya dua orang saksi. Syarat ketiga ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari
telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua. Syarat ketiga pada hakekatnya
memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.

Hal ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat
ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan
bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis). Dikatakan secra
penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif karena antara pasal 158
ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau
bukan dan.
Penggunaan kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat
yang berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu
tertulis dan.
Kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat
dipahami. Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat
akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di pintu
keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan tanpa alas hak
yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat pertama yaitu pekerja
telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat kedua dan ketiga maka A saat itu
juga dapat diPHK secara sepihak. Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil
barang milik perusahaan. Atau karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan
A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan
itu. Begitu juga apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi
mau membuat surat pengakuan bahwa ia telah mencuri.

Kekurang cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep


bahasa hukum memang dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila
dilakukan analisis maka ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak
memenuhi syarat keberlakuan yuridis dari Bruggink.

Sebagai bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU
No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan tegas menetapkan
bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan
izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003,
yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan
kesalahan berat.

Apabila pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat maka pekerja
itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 156 ayat (4)
Bagi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Ketentuan uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini
Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari
para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini
dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera
merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama
dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah itu
dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh Kasus
A bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan satu juta. Masa kerja A
bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A tertangkap tangan
telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A harus di PHK karena
melakukan kesalahan berat.

Adapun hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah uang penggantian hak yang
sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah
berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.

Dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima
uang pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu
penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi
A mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan
berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima
(misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya atau ongkos pulang
untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima
bekerja ;

Keseluruhan hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat
yang dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang benar.

V Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK Karena melakukan kesalahan


berat.

Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161
ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian
perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 lembaga
yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat dilakukan upaya
administratif atau upaya perdata.

Upaya hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya


bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam
hubungan kerja. Apabila perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan maka hasil
persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan tidak
mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja setempat .

Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah
pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Menteri
Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada pertimbangan
keamanan dan stabilitas nasional.

Apabila diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak
dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke
Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.

Upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha
dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum
dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara
perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan
pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut”.

Sejak adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan


industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004, no. 6,
TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan
industrial akan dilakukan secara bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitarsi atau ke
pengadilan hubungan industrial.

Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai
kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara
mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi
dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke pengadilan
hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka kesepakatan
dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi dan harus
didaftarkan ke Pengadilan Negeri.

Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan
pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila
mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004
yaitu :

a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan


dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang ebrsifat menentukan, yang
disembunyikan oleh pihak lawan;
c. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam
pemeriksaan perselisihan;
d. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
e. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu
tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004.
Jadi lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantiikan
kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.

VI Kesimpulan

Setiap pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan


beratsesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai
tiga syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan dari
pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang saksi.
Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan
berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak
dan uang pisah.

Apabila hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan
upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang
didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker diteruskan
ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat eksekusi di Pengadilan
Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke PTTUN atau cara lainnya
dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW.

Apabila pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun


2004 sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi upaya bipartid,
mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan hubungan industrial.

DAFTAR BACAAN
Asikin, Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asri Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif Hukum,
Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2 no. 2.
-------, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum Ketenagakerjaan, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Bruggink, JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djumadi, 1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Perkasa, Banjarmasin.
Djumialdji, FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, PT. Bina
Aksara, Jakarta.
Halim, A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta.
Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta.
Iman Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994, Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra, G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta.
-------, 1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung.
Kartasapoetra, G, dan Widianingsih, G, Rience, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung.
Philipus M Hadjon, 1994, “ Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah disampaikan pada
symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII,
Universitas Airlangga, 3 November 1994
Rajagukguk, HP., 2000, “Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination), makalah
disampaikan pada orasi dan panel diskusi tanggal 20 September 2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta.
Sandjun H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
Sukarno, 1982, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bandung.
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah PHK dan Pemogokan, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Toha, Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6,
TLN No. 4356).
Burgerlijk Wetboek..
Adikusuma, S. 1992, Kamus lengkap populer, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Indonesia belum menciptakan pekerjaan yang baik dalam jumlah memadai agar para
pekerja dapat merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Pekerjaan adalah salah satu dari sedikit aset yang dimiliki kalangan
miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik, maka mereka akan
berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan.
Sayangnya, Indonesia mengalami jobless growth yang signifi kan dari tahun 1999
sampai 2003, hal lain yang juga memberikan kontribusi terhadap keadaan saat ini,
adalah dari 104,5 juta populasi Indonesia yang bekerja, mayoritas masih bekerja di
sektor informal dan pertanian (Gambar 1).

Meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, penurunan kemiskinan


berlangsung lebih lambat daripada yang diharapkan, sebagian karena kurangnya
peluang bagi pekerja miskin untuk pindah ke pekerjaan yang lebih baik di sektor formal
dan non-tani (Gambar 2). Guncangan ekonomi juga dapat mengurangi laju penciptaan
lapangan kerja dan, jika guncangan tersebut cukup serius, dapat menjadi ancaman
yang mendorong Indonesia kembali ke masa jobless growth.

Peraturan ketenagakerjaan yang kaku telah menghambat penciptaan lapangan kerja


dan gagal memberikan perlindungan bagi pekerja, terutama pekerja yang paling
rentan. Peraturan perekrutan dan pemberhentiandi Indonesia telah diperketat tahun
2003 dengan disahkannya Undang-Undang Ketenagakerjaan (No. 13/2003) yang
bertujuan meningkatkan perlindungan pekerja. Kebijakan ini tidak memberikan
manfaat baik bagi pemberi kerja maupun mayoritas pekerja sehingga keduanya terjebak
dalam keadaan “sama-sama rugi”. Peraturan yang ketat menghambat penciptaan
lapangan kerja dengan mengurangi minat investasi dan menghambat produktivitas,
serta membatasi kemampuan pemberi kerja untuk mengurangi karyawan demi
bertahan selama kemerosotan ekonomi. Namun, berlawanan dengan tujuannya,
berbagai peraturan ini hanya memberikan sedikit perlindungan nyata bagi pekerja
formal yang dikontrak. Karyawan yang paling rentan – mereka yang berupah rendah
dan pekerja perempuan – berpeluang paling kecil untuk mendapat manfaat dari
peraturan yang ada saat ini. Hal yang juga memprihatinkan adalah bahwa kebijakan
saat ini menyisihkan mayoritas pekerja “luar” yang terdiri atas karyawan yang bekerja
tanpa kontrak dan mereka yang bekerja di sektor informal. Mereka sama sekali tidak
dilindungi oleh peraturan yang ada saat ini dan sulit menemukan pekerjaan yang lebih
baik. Pada saat yang bersamaan, hanya ada sedikit program tenaga kerja aktif yang
dirancang untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dan memberi kesempatan bagi
pekerja informal dan pekerja yang menganggur.

Upaya reformasi ketenagakerjaan telah menemui kebuntuan dan menghambat


kemampuan Indonesia untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan masa
depan. Perdebatan seputar reformasi undang-undang ketenagakerjaan sangat sengit
dan terutama terfokus pada peraturanbperekrutan dan pemberhentianyang
kontroversial. Demi meningkatkan fl eksibilitas pasar tenaga kerja, pemerintah telah
berupaya mereformasi peraturan tersebut pada tahun 2006 dan 2007, namun
keduanya gagal. Akibatnya, peraturan ketenagakerjaan Indonesia masih merupakan
salah satu yang paling kaku di kawasannya. Kebuntuan ini menghambat kemampuan
Indonesia untuk mempercepat laju penciptaan pekerjaan yang ‘baik’ dan laju
pengurangan kemiskinan.

Setelah memperoleh mandat politik yang baru, pemerintah saat ini berkesempatan
untuk memecah kebuntuan reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang saat ini
merugikan pekerja dan pemberi kerja. Kebijakan dan program ketenagakerjaan
Indonesia dapat dirancang dengan lebih baik untuk mendorong
pertumbuhan lapangan kerja, sekaligus melindungi pekerja yang rentan. Pemerintah
baru berkesempatan menggunakan waktu lima tahun ke depan untuk memperkenalkan
kebijakan dan program baru yang menguntungkan pekerja dan pemberi kerja, terfokus
pada empat prioritas berikut ini. Yang pertama, menegosiasikan kesepakatan besar
mengenai reformasi peraturan. Kebuntuan reformasi pesangon saat ini telah merusak
daya saing pasar tenaga kerja Indonesia dan hanya menawarkan sedikit perlindungan
bagi sebagian besar pekerja. Perlu diupayakan pemecahan yang “sama-sama untung”
dengan menyederhanakan dan mengurangi tingkat pesangon yang terlalu tinggi, dan
pada saat yang bersamaan, memberikan tunjangan pengangguran untuk melindungi
pekerja formal dengan lebih efektif.

Sistem tunjangan pengangguran adalah komponen inti dari sistem Jaminan Sosial
Nasional di masa depan, sebuah institusi kunci di banyak negara lain yang
berpenghasilan menengah.

Yang kedua, mengembangkan strategi pelatihan keahlian menyeluruh untuk


melengkapi pekerja supaya dapat memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Perlindungan
pekerja tidak cukup hanya dengan mengandalkan peraturan ketenagakerjaan. Sebagian
besar peraturan tersebut tidak relevan bagi pekerja informal yang merupakan angkatan
kerja mayoritas. Pemerintah dapat membantu lebih banyak pekerja dengan
menerapkan sejumlah strategi, baik formal maupun informal, untuk pengembangan
keahlian. Dalam hal pendekatan formal, membatalkan moratorium pembangunan
sekolah menengah atas umum akan membantu memenuhi permintaan. Selanjutnya,
perluasan sekolah menengah atas kejuruan seharusnya adalah untuk menanggapi
permintaan pasar tenaga kerja sesungguhnya, bukan sekadar memenuhi kuota.
Memperbaiki mutu pendidikan kejuruan untuk memenuhi permintaan yang besar akan
pekerja berpendidikan lebih tinggi. Pada saat bersamaan, memperkenalkan strategi
pelatihan keahlian non-formal sebagai pelengkap untuk menargetkan mayoritas
pekerja di Indonesia yang tidak mampu mengakses pendidikan formal.

Yang ketiga, meluncurkan program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk melindungi
mereka yang paling rentan. Para pekerja sering menjadi korban dalam guncangan,
seperti yang terjadi ketika krisis keuangan 1997. Tanpa adanya jaring pengaman, para
pekerja umumnya bertahan dengan mencari kerja di sektor informal dan pertanian.
Ancaman krisis keuangan global baru-baru ini telah menyoroti betapa perlunya
Indonesia mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk menghadapi guncangan di
masa depan. Indonesia dapat bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah
di masa depan dengan memperkenalkan program jaring pengaman tenaga kerja demi
melindungi pekerja yang paling rentan. Persiapan dapat diawali dengan pekerjaan
umum yang merupakan jaring pengaman penting yang dapat dipakai secara efektif
untuk menargetkan pekerja miskin dan berupah rendah.

Yang terakhir, berinvestasi dalam riset untuk mendukung pembuatan kebijakan


berbasis bukti. Banyak perdebatan mengenai kebijakan dan program pasar tenaga kerja
yang tidak didasarkan pada bukti empiris. Diperlukan peningkatan mutu dan
pendalaman riset kebijakan ketenagakerjaan untuk membantu pemerintah baru dalam
menjalankan agenda reformasi yang didukung hasil analisis dan bukti kuat. Fasilitas
penelitian, think tank lokal, dan Biro Pusat Statistik, semuanya berperan penting
menghasilkan data dan melakukan riset tenaga kerja bermutu untuk memenuhi
kebutuhan pembuat kebijakan. * (Dikutip dari Laporan Bank Dunia.Mengenai Ketenaga
Kerjaan Indonesia.)
Aspek Hukum Tenaga Kesehatan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tenaga Kesehatan (Nakes) merupakan salah satu asset yang sangat berharga yang dimiliki oleh

sebuah rumah sakit yang merupakan pelaksana pelayanan terhadap pasien. Misalnya dokter, perawat,

bidan, radiografer, fisioterapis, analis, apoteker, ahli gizi, dan lainnya. Seperti halnya karyawan/ buruh

bagi sebuah perusahaan yang merupakan roda utama penggerak produksi dalam menghasilkan

keuntungan yang besar. Tanpa mereka proses produksi tidak akan berjalan meski telah dilengkapi

dengan mesin-mesin canggih. Karyawan/ buruh yang tidak proporsional dalam kualitas dan kuantitas

juga akan menyebabkan produksi menjadi tidak optimal. Begitu besar peranan karyawan / buruh bagi

perusahaan sehingga layak bagi mereka untuk mendapatkan apresiasi penuh atas peran dan kinerja

mereka.

Begitu juga dengan peran Nakes bagi sebuah Rumah Sakit. Apa yang terjadi jika dalam sebuah

Rumah Sakit terjadi ketidakseimbangan antara Nakes dengan pasien, baik dari segi kualitas dan

kuantitas banyak hal buruk yang bisa terjadi? Dari segi kualitas misalnya lamanya proses penanganan,

pengobatan dan penyembuhan terhadap penyakit pasien. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat

terjadi malpraktik. Dari segi kuantitas yang tidak seimbang antara jumlah Nakes dengan banyaknya

pasien akan menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi yang melebihi batas kemampuan Nakes

sebagai seorang manusia.


Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1993, tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun

1996, tentang Tenaga Kesehatan, secara tegas telah diatur profesi kesehatan masyarakat. Untuk

mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan

dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif),

penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemuliahan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan (Pasal 10 UU 23/1992).

Tenaga kesehatan yang secara syah mempunyai kualifikasi sesuai dengan bidangnya adalah

tenaga medis, keperawatan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, gizi, keterapian fisik, keteknisian

medis (Pasal 2 (1) PP 32/1996).

Secara teoritis bahwa profesi kesehatan masyarakat sejajar dengan tenaga kesehatan lainnya,

seperti medis, perawat, dan lain-lain. Namun keberadaan profesi kesehatan masyarakat di tengah-

tengah masyarakat belum bayak diperhitungkan (baik sektor pemerintah maupun swasta).

1.2 Permasalahan

Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health System

Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di Indonesia adalah 15,5

dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah provinsi

mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di

DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000 penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi

Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian

besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005) Kebijakan penempatan tenaga

kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT) yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu
menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama di

daerah terpencil.

Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya

dengan tenaga perawat dan bidan. Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi

yang diharapakan apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya,

menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali menyatakan

tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah.

Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi,

registrasi dan lisensi belum berjalan dengan baik.

Pengembangan organisasi profesi di bidang kesehatan sebagai mitra pemerintah dalam

meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik. Dalam sistem pelayanan

kesehatan di Indonesia, puskesmas merupakan ujung tombak penyelenggara pelayanan kesehatan

strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat

tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai: (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,

(2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan tingkat dasar.

Susenas 2004, menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkan penduduk

untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%) dan praktek petugas

kesehatan(18,51%). Penduduk perdesaan lebih banyak memanfaatkan Puskesmas/Pustu (42,40%), dan

praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004). Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas

adalah penduduk miskin, sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang

berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya,

selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang

optimal karena banyaknya Puskesmas yang kekurangan tenaga kesehatan.


Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 (RI, 2004) kebijakan

pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat melalui

peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak terdapat

tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan

ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2)

peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi

penduduk miskin.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Perencanaan Kebutuhan Tenaga Kesehatan

Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional dibidang

kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN),

tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem SDM kesehatan, yaitu tatanan yang menghimpun

berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan secara terpadu

dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-

tingginya. Unsur utama dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan

pendayagunaan tenaga kesehatan.

Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah,

dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).
Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam

Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan

dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi masyarakat. Perencanaan

nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana

kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga kesehatan ditetapkan oleh

Menteri Kesehatan.

Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan

(Kepmenkes). Kepmenkes No.850/Menkes/SK/XII/2000 Tahun 2000 (Depkes, 2004) antara lain

mengatur tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para

perencanan pemerintah, masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No.

81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang pedoman penyusunan

perencanaan sumberdaya kesehatan ditingkat provinsi, kabupaten/kota, serta rumah sakit. Pada

Kepmenkes tersebut disediakan pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk

dipilih sesuai dengan kemauan dan kemampuan.

Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda penyusunan yang

dapat digunakan yaitu;

1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas

epidemiologi penyakit utama yang ada pada masyarakat.

2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas

permintaan akibat beban pelayanan kesehatan.

3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas

sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas, dan Rumah Sakit.
4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan pada standar/rasio

terhadap nilai tertentu.

Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios Method dengan

proses perhitungan sebagai berikut:

1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga kesehatan dengan

penduduk, dengan jumlah tempat tidur RS, dengan Puskesmas,

2. Membuat proyeksi nilai tersebut kedalam sasaran/ target tertentu,

3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan rasio. Contoh, ratio tenaga

kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000, di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno,

2005)

Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan tenaga kesehatan di

Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan penyebarannya masih belum memadai.

Beberapa jenis tenaga kesehatan yang baru masih diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga

kesehatan masih tergolong langka, dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang

karena jumlah institusi pendidikannya terbatas dan kurang diminati.

2.2 Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan

Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga kesehatan sesuai

jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan kemampuan sesuai dengan

kebutuhan pembangunan kesehatan (Depkes, 2004).

Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes, 2004)

terdapat enam kelompok pendidikan tenaga kesehatan yaitu:


1. Keperawatan yang meliputi Sekolah Perawat Kesehatan, Sekolah Pengatur Rawat Gigi, Keperawatan,

Kebidanan, dan Kesehatan Gigi

2. Kefarmasiaan, meliputi Sekolah Menengah Farmasi, Analis Farmasi

3. Kesehatan Masyarakat (Kesehatan Lingkungan)

4. Gizi

5. Keterapian Fisik meliputi Fisioterapi, Okupasi Terapi, Terapi Wicara, Akupuntur

6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik Prostetik, Teknik Elektro Medik,

Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan

Kardiovaksuler.

Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas 199 Politeknik

Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Distribusi institusi pendidikan tenaga kesehatan

berdasarkan kelompok jenis tenaga kesehatan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dibawah ini.

Tabel 2.1

Institusi Pendidikan Tenaga Kesehatan Berdasarkan Kelompok Jenis Tenaga

Kesehatan di Indonesia Tahun 2005

Poltekes Non Poltekes


Kelompok
Jumlah % Jumlah %

Keperawatan 128 64,3 457 70,6

Kefarmasian 7 3,5 73 11,3

Kesehatan Masyarakat 20 10,1 19 2,9

Gizi 23 11,6 11 1,7

Keterampilan Fisik 3 1,5 17 2,6


Keteknisan Medis 18 9,0 70 10,8

Jumlah 199 100 647 100

Sumber: Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Depkes, 2005

Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34

milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. Pada tahun 2005 jumlah peserta didik

seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik poltekes, dan 109.833 non

Poltekes.

Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah menghasilkan

tenaga kesehatan yang profesional dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Memiliki bekal kemampuan dalam berhubungan dengan orang lain

2. Bekerja dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik

3. Sanggup menggunakan wewenang secara arif dan bijaksana, dan

4. Mampu berperan aktif sebagai perencana, pelaksana dan penggerak pembangunan.

Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi dasar yaitu:

1. Meningkatkan mutu lulusan pendidikan tenaga kesehatan

2. Meningkatkan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan

3. Meningkatkan kemitraan dan kemandirian institusi pendidikan tenaga kesehatan.

Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32

Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan

keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap

tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi

tenaga kesehatan.
Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP ini

dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga

pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau masyarakat.

Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan

ketentuan perundangan yang berlaku. Izin penyelenggaraan pendidikan profesional dikeluarkan

bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin

penyelenggaraan pendidikan akademik dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan antara lain:

1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan belum serasi

2. Kemampuan produksi belum sejalan dengan daya serap tenaga lulusan

3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna

4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron

5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah belum sepadan dengan

penyelenggaraan oleh swasta

6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.

Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah berdampak

terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi diluar Depdiknas

termasuk Departemen Kesehatan. (Soeparan, 2005) .

2.3 PendayagunaanTenaga Kesehatan

Pendayagunaan tenaga kesehatan adalah upaya pemerataan, pembinaan, dan pengawasan

tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:
1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan

2. Penyebaran tenaga kesehatan yang kurang merata

3. Kompetensi tenaga kesehatan kurang sesuai dengan kebutuhan pelayanan kesehatan

4. Pengembangan karir kurang berjalan dengan baik

5. Standar profesi tenaga kesehatan belum terumuskan dengan lengkap

6. Sistem penghargaan dan sanksi tidak berjalan dengan semestinya.

Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode

perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan

kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat

ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3

tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi

dengan menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.

Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir tidak

ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui

program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No.

1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini

telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada

tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:

1. Daftar tunggu PTT untuk provinsi favorit terlalu lama

2. Usia menjadi penghambat untuk melanjutkan pendidikan ke dokter spesialis

3. Terjadi kelambatan pembayaran gaji

4. Besarnya gaji tidak signifikan jika dibandingkan dengan dokter PNS

5. Adanya persyaratan jabatan sebagai Kepala Puskesmas


6. Ada anggapan melanggar hak azasi masusia (HAM) karena dianggap sebagai kerja paksa.

Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT mempunyai ciri sebagai

berikut:

1. Bukan merupakan suatu kewajiban, tetapi bersifat sukarela

2. Tidak lagi memberlakukan kebijakan antrian/daftar tunggu

3. Semua provinsi terbuka untuk pelaksanaan PTT sesuai kebutuhan

4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), domisili, tahun kelulusan

dan lamanya menunggu dalam antrian

5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti

6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum terpenuhi

7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah terpencil dan daerah

pemekaran.

Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup menarik

dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI

Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat

karena adanya alternatif pilihan di provinsi lain.

Dalam hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004 jumlah dokter spesialis

(PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420

RS. Jumlah dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat

kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per

tahun sebanyak 509 orang.

Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu

ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999
diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan

spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di

provinsi NAD cukup menarik minat untuk bertugas di daerah.

Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan

berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan. Seperti halnya dengan

dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik kebijakan sebagai

berikut:

1. Penugasan selama 3 tahun di daerah biasa dan 2 tahun di daerah terpencil

2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk diangkat kembali

sebagai bidan PTT sesuai kebutuhan.

Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470

orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Bidan

PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan status),

kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan sangat terpencil

relatif kecil sehingga tidak menarik (Ruswendi, 2005).

Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana dengan baik.

Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji

kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan

oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi,

sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan

peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU

Praktik Kedokteran.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kebijakan Tenaga Kesehatan

3.1.1 Perencanaan

Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam Peraturan

Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain

dinyatakan:

1. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang

dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);

2. Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri Kesehatan

(pasal 6 ayat 4).

Kebijakan Pemerintah tentang perencanaan SDM kesehatan ditetapkan melalui Kepmenkes

No.81/Menkes/SK/I/2004 tentang Pedoman Penyusunan Perencanaan Sumberdaya Manusia Kesehatan

di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu

daerah dalam mewujudkan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur

penyusunan rencana kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas,

Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi

bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana). Adapun prinsip dasar

perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan adalah:

1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global;
2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh

Pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha;

3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan Rencana

Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010;

4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode dengan

kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.

Selain 4 Metode dasar yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method, Health

Service Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain yang merupakan

pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai atau

DSP); WISN (Work Load Indicator Staff Need) atau Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja;

Skenario/Proyeksi dari WHO; dan penyusunan kebutuhan tenaga untuk bencana.

Perencanan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan menggunakan

metode Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai – DSP). Metode ini bisa digunakan di berbagai

unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain. Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-

DSP (Authorized Staffing List) adalah sebagai berikut.

1. Menghitung produktivitas Puskesmas secara kolektif dengan mengunakan rumus:

S = O/ 300 x N;

dimana : S = Dayaguna Staf /hari (serendah-rendahnya 5);

N = Jumlah Staf; dan

O = Output Puskesmas

Jika nilai S kurang dari 5 maka ada dua alternatif yang dapat ditempuh yaitu memindahkan tenaga

Puskesmas yang berlebihan ke Puskesmas yang membutuhkan atau meningkatkan output Puskesmas.
Bagi Puskesmas yang jumlah kunjungannya tinggi, tetapi jumlah tenaganya sedikit, jika tidak dapat

disediakan melalui pengangkatan PNS Daerah, dapat diatasi kekurangan tenaganya dengan sistem

kontrak yang dananya berasal dari daerah.

2. Menentukan jenis tenaga. Untuk hal tersebut diperlukan struktur organisasi Puskesmas yang ditetapkan

oleh Pemerintah Daerah masing-masing dengan mengacu kepada SK Mendagri No. 23 Tahun 1994.

Dalam Kepmenkes tersebut telah diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas dengan bermacam macam

contoh model perhitungan:

a. Puskesmas di daerah terpencil, jumlah tenaga yang perlukan sekitar 17 orang.

b. Puskesmas di daerah perdesaan dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan 25 tenaga.

c. Puskesmas perkotaan dengan penduduk padat, diperlukan sekitar 40 tenaga.

d. Puskesmas Perawatan di daerah terpencil, diperlukan 27 tenaga.

e. Puskesmas perawatan di daerah kepulauan, diperlukan 38 tenaga.

f. Puskesmas perawatan di daerah strategis, diperlukan 41 tenaga.

Pada Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan, diatur pula tentang

jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas tersebut.

3.1.2 Pengadaan

Masalah utama yang dihadapi dalam pengadaan diantaranya melalui pengangkatan pegawai

baru adalah keterbatasan formasi. Sedangkan masalah berikutnya adalah keterbatasan dana, kemudian

di susul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain.

Biasanya masalah dalam pengadaan tenaga kesehatan banyak dialami oleh berbagai daerah di

kabupaten maupun kota. Berbagai upaya dilakukan oleh daerah untuk memenuhi kebutuhan tenaga

kesehatan. Karena sebagian besar kabupaten/kota dihadapkan pada jumlah formasi yang terbatas,
pemerintah daerah kemudian mengajukan tambahan formasi berupa tenaga PTT ke Pemerintah Pusat.

Sebanyak 63% kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga kesehatan PTT (dokter umum, dokter gigi dan

bidan) ke pusat. Pengajuan PTT ke pemerintah pusat merupakan salah satu strategi dari pemerintah

daerah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan di daerahnya. Karenanya upaya ini dilanjutkan

dengan perekrutan tenaga PTT Pusat tersebut menjadi PNS daerah.

3.1.3 Penempatan

Lebih dari separuh Dinas Kesehatan tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004

untuk melakukan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah

mengikuti pedoman, metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method.

Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih

sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun

perencanaan dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya

pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan

tenaga per individu puskesmas.

3.1.4 Mutu Tenaga Kesehatan

Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas

atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga

Kesehatan. Dalam PP ini antara lain dinyatakan:


1. Tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan

dengan ijazah dari lembaga pendidikan (Pasal 3); dan

2. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi

tenaga kesehatan (Pasal 21)

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub Sistem Sumberdaya

Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan praktek profesi

dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi”. Institusi atau lembaga

yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi

Pendidikan; 2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan; 3) Uji kompetensi dilakukan

oleh masing-masing organisasi profesi; dan 4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.

Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan kesehatan

masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya saing tenaga tersebut masih lemah. Oleh

sebab itu, peningkatan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu tantangan yang

penting untuk dapat menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan. Hal tersebut

diatur melalui Departemen Kesehatan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

850/Menkes/SK/V/2000 Tentang Kebijakan Pengembangan Tenaga Kesehatan Tahun 2000-2010.

Salah satu upaya yang ditempuh Departemen Kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas

institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah

menerapkan standar dan melaksanakan akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan. Secara

kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan tenaga yang tersebar di seluruh

Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah diakreditasi (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2005).

3.2 Pembinaan Karir Tenaga Kesehatan


Pembinaan karir tenaga kesehatan antara lain dapat berupa peningkatan kemampuan teknis

dan kemampuan manajerial, adannya peluang untuk menduduki jabatan tertentu, adanya peluang

untuk tour of duty dan tour of area, serta pemberian insentif yang tepat.

Peningkatan kemampuan teknis selain dapat diperoleh melalui pendidikan formal, dan berbagai

pelatihan baik pelatihan teknis fungsional maupun pelatihan manajemen. Frekuensi pelatihan pertahun

yang paling banyak diikuti oleh Jenis pelatihan teknis fungsional yang diikuti antara lain mengenai

pelatihan keperawatan, imunisasi, penyakit menular, kesehatan reproduksi, KIA, sanitasi, dan gizi.

Sedangkan pelatihan manjemen antara lain meliputi pelatihan manajemen puskesmas,

Puskesmas Pembantu (Pustu), pengadaan barang dan jasa, dan manajemen mutu. Dilihat dari frekwensi

pelatihan dapat diasumsikan bahwa kegiatan pembinaan karir melalui pelatihan relatif memadai. Begitu

pula halnya dengan jenis pelatihan yang dilakukan sudah menunjang tugas pelayanan kesehatan yang

menjadi tugas pokok Puskesmas.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Tenaga kesehatan merupakan salah satu pilar atau sub sistem kesehatan nasional, yang sangat

penting artinya dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Saat Indonesia masih
mengalami kekurangan tenaga kesehatan baik dalam hal jenis maupun jumlahnya. Hal ini semakin

diperburuk dengan distribusi tenaga kesehatan yang masih belum merata.Secara nasional dilihat dari

rasio terhadap jumlah penduduk, tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi.

Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, rasio ini juga masih jauh tertinggal. Sebagian

besar tenaga kesehatan berlokasi di Jawa dan Bali, namun jika dilihat dari rasio per penduduk,

khususnya untuk tenaga dokter umum Rumah Sakit dan Puskesmas, distribusinya lebih menyebar. Tiga

provinsi dengan rasio tertinggi adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Bali. Sedangkan tiga

provinsi dengan rasio terendah adalah Jawa Barat, Banten, dan NTB.

Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan perundang-

undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta penempatan. Daerah juga telah

melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh (52,6%)

Kabupaten/Kota lokasi kajian tidak menerapkan Kepmenkes No.61/2004 mengenai pedoman

perencanaan, dengan alas an utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan

terbatasnya kapasitas perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang

paling banyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.

4.2 Saran

Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah pusat

dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas perencana

dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian tugas yang jelas,

dan menyediakan pendanaan.

Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar tercapai

keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga, misalnya dengan
menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan

terbatasnya dana. Perlu dikembangkan sistem informasi tenaga kesehatan secara terpadu dan

menyeluruh dalam rangka memanfaatkan data ketenagaan untuk perencanaan kebutuhan dan

penyediaan tenaga kesehatan.


Pengertian Hukum

Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau


kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama; atau keseluruhan peraturan tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu
sanksi.

Hukum adalah keseluruhan peraturan yang mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan
bersama. Berkembang di dalam masyarakat dalam kehendak, merupakan sistem peraturan,
sistem asas-asas, mengandung pesan kultural karena tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat.

Pengertian hukum kesehatan :

Adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban baik dari tenaga kesehatan dalam
melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima upaya
kesehatan tersebut dalam segala aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta
organisasi dan sarana.
Fungsi Hukum dalam pelayanan keperawatan

1. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawata

2. Membedakan tanggung jawab dengan profesi yang lain

3. Membantu mempertahankan standar praktek keperawatan dengan meletakkan posisi


perawat memiliki akuntabilitas di bawah hokum

Hak – hak pasien

1. Memberikan persetujuan (consent)

2. Hak untuk memilih mati

3. Hak perlindungan bagi orang yang tidak berdaya

4. Hak pasien dalam penelitian

Hak – hak perawat

1. Hak perlindungan wanita

2. Hak berserikat dan berkumpul

3. Hak mengendalikan praktek keperawatan sesuai yang diatur oleh hukum

4. Hak mendapat upah yang layak

5. Hak bekerja di lingkungan yang baik

6. Hak terhadap pengembangan profesional

7. Hak menyusun standar praktek dan pendidikan keperawatan

Informed Consent
Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam Menyatakan Persetujuan
Rencana Tindakan Medis yaitu hal untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health
care), hak untuk mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut
menentukan (the right to determination)

Hak atas informasi

1. Sebelum melakukan tindakan medis baik ringan maupun berat.

2. Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan
diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas,

3. Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau
membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya,

4. Pasien berhak menolak rencana tindakan medis tersebut

5. Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien SEBELUM rencana tindakan medis
dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa
tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk
berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.

Informasi yang diperoleh:

1. Bentuk tindakan medis

2. Prosedur pelaksanaannya

3. Tujuan dan keuntungan dari pelaksanaannya

4. Resiko dan efek samping dari pelaksanaannya

5. Resiko / kerugian apabila rencana tindakan medis itu tidak dilakukan

6. Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan
kerugian dari masing-masing alternatif tersebut

Kriteria pasien yang berhak

1. Pasien tersebut sudah dewasa. batas 21 tahun.


2. Pasien dalam keadaan sadar.

Pasien harus bisa diajak berkomunikasi secara wajar dan lancar.

3. Pasien dalam keadaan sehat akal.

Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap
rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri. Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi
3 kriteria tersebut diatas maka dia akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya.

Hak suami/istri pasien

Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai
suami-istri. Misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa
berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.

Dalam Keadaan Gawat Darurat

Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja
tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat.
Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien.
Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan /
prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.

Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk
mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.

Tidak berarti kebal hukum

Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya
yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan
medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian,
kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap
bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed consent tidak menjadikan tenaga medis kebal terhadap hukum atas kejadian yang
disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
1. UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan

UU No. 9 tahun 1960, tentang pokok-pokok kesehatan

Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur
kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.

2. UU No. 6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.

UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi
dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana,
termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan
dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat
diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung.

3. UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan

UU Kesehatan No. 14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.

Pada pasal 2, ayat (3)dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah
wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.

Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga
kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat
rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.

4. UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan

SK Menkes No. 262/Per/VII/1979 tahun 1979

Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan)
dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa
tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.

5. UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan

Permenkes. No. 363/Menkes/Per/XX/1980 tahun 1980

Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan
bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga
keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil
bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta.

6. UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan

SK Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 94/Menpan/1986, tanggal 4 November


1986, tentang jabatan fungsional tenaga keperawatan dan sistem kredit point.

Dalam sistem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik
pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu.

Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada
pangkat/golongan atasannya

7. UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan

1. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi
perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan
tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi
kesehatan termasuk keperawatan.

2. Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan
pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :

3. Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak
pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

4. Pasal 50 ayat 1 menyatakan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau


melaksanakan kegiatan sesuai dengan bidang keahlian dan kewenangannya

5. Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan.

Namun kenyataannya sampai sekarang UU praktek keperawatan belum juga disahkan


KELALAIAN TENAGA KESEHATAN
TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT

Pasal 46 Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) menentukan
"Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. ”

Pembentuk Undang-undang menganggap Pasal tersebut sudah cukup jelas. Padahal bila
dicermati lebih lanjut banyak hal yang masih memerlukan penjelasan, lima diantaranya adalah:

1. Apakah yang dimaksud dengan “yang mewakili rumah sakit dan siapa yang dapat
dituntut pertanggungjawabannya mewakili rumah sakit?
2. Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab secara hukum?
3. Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian?
4. Apakah yang dimaksud dengan kelalaian?
5. Siapakah yang dimaksud dengan tenaga kesehatan di Rumah Sakit?

Karena UU RS tidak jelas menerangkan isi Pasal 46, maka jawaban atas keenam pertanyaan
tersebut dicari dalam doktrin hukum.

1. Wakil Rumah Sakit

Untuk menjawab ‘siapa yang mewakili rumah sakit’, perlu pemahaman atas rumah sakit di
Indonesia beserta struktur organisasinya dan peraturan perundagan yang terkait lainnya.

UU RS Pasal 1 angka 1 menentukan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inal, rawat jalan dan gawat darurat. Selanjutnya, UU ini membagi jenis rumah
sakit berdasarkan pengelola menjadi dua jenis yaitu rumah sakit publik dan rumah sakit privat.

Rumah Sakit Publik dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan hukum yang
bersifat nirlaba. Rumah Sakit Publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum
Daerah. Sedangkan Rumah sakit Privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang
berbentuk perseroan terbatas atau persero.

UU RS menetapkan organisasi rumah sakit. Sebagai sebuah institusi, setiap rumah sakit menurut
ketentuan Pasal 33 UU RS, harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel yang
paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan
medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal
serta administrasi umum dan keuangan.
Yang dimaksud dengan kepala rumah sakit menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (3) UU RS adalah
pimpinan tertinggi dengan jabatan direktur utama (chief executive officer) termasuk direktur
medis. Dengan demikian, yang mewakili rumah sakit secara hukum adalah kepala rumah sakit.

Untuk rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah atau pemerintah daerah, tanggung jawab
dilaksanakan oleh pimpinan unit pelaksana teknis (UPT). Pimpinan UPT dalam hal ini adalah
kepala rumah sakit atau sebutan lainnya merupakan penanggung jawab organisasi dan penentu
kebijakan organisasi rumah sakit.

Bagi rumah sakit berbadan hukum perseroan, ketentuan ini sesuai dengan UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Pasal 98 ayat 1 UU PT menetapkan bahwa direksi
mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kewenangan direksi untuk
mewakili perseroan tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UU PT,
anggaran dasar atau keputusan rapat umum pemengang saham.

Sedangkan bagi rumah sakit berbadan hukum yayasan, menurut Pasal 35 ayat 1 UU No. 16
Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004, tanggung
jawab berada di tangan pengurus yayasan. Pengurus yayasan berhak mewakili yayasan baik di
dalam maupun luar pengadilan. Kecuali jika yayasan mendirikan badan usaha rumah sakit,
maka pertanggungjawabannya ada di tangan pengurus rumah sakit.

2.Bertanggung Jawab Secara Hukum

Rumah sakit adalah subyek hukum. Berarti, rumah sakit dapat melakukan hubungan hukum
dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Karena itu rumah
sakit wajib menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat dari
perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya.

Tanggung jawab hukum tersebut meliputi tiga aspek yaitu hukum perdata, hukum administrasi
dan hukum pidana.

Dari sisi hukum perdata, pertanggungjawaban rumah sakit terkait dengan hubungan hukum yang
timbul antara pasien dengan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Perdata

Merujuk pendapat Triana Ohoiwutun(2007:81), hubungan hukum ini menyangkut dua macam
perjanjian yaitu perjanjian perawatan dan perjanjian pelayanan medis. Perjanjian perawatan
adalah perjanjian antara rumah sakit untuk menyediakan perawatan dengan segala fasilitasnya
kepada pasen. Sedangkan perjanjian pelayanan medis adalah perjanjian antra rumah sakit dan
pasen untuk memberikan tindakan medis sesuai kebutuhan pasen.

Jika terjadi kesalahan dalam pelayanan kesehatan, maka menurut mekanisme hukum perdata
pihak pasien dapat menggugat dokter berdasarkan perbuatan melawan hukum. Sedangkan
gugatan terhadap rumah sakit dapat dilakukan berdasarkan wan prestasi (ingkar janji), di
samping perbuatan melawan hukum. ”

Administratif

Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum administratif berkaitan dengan kewajiban
atau persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh rumah sakit khususnya untuk
mempekerjakan tenaga kesehatan di rumah sakit.

UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menentukan antara lain
kewajiban untuk memiliki kualifikasi minimum dan memiliki izin dari pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Selain itu UU Kesehatan menentukan bahwa tenaga
kesehatan harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan dan standar prosedur operasional.

Jika rumah sakit tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan administratif tersebut, maka
berdasarkan Pasal 46 UU RS, rumah sakit dapat dijatuhi sanksi administratif berupa teguran,
teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan izin.

Pidana

Pertanggungjawaban dari aspek hukum pidana terjadi jika kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketuga unsur
tersebut adalah adanya kesalahan dan perbuatan melawan hukum serta unsur lainya yang
tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.

Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem hukum pidana kita, dalam hal tindak pidana dilakukan
oleh korporasi, maka pengurusnya dapat dikenakan pidana penjara dan denda. Sedangkan untuk
korporasi, dapat dijatuhi pidana denda dengan pemberatan.

3. Semua Kerugian

Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan di rumah sakit?

Dalam hukum perdata dibedakan antara kerugian yang dapat dituntut berdasarkan wanprestasi
dengan yang berdasarkan perbuatan melawan hukum.

Kerugian yang dapat dituntut atas dasar wanprestasi menurut Adami Chazawi (Malpraktek
Kedokteran 2007:69), ”hanyalahkerugian materiil atau kerugian kekayaan/kebendaan
(vermogenschade) atau kerugian yang dapat dinilai dengan uang. Sementara itu kerugian yang
dapat dituntut dengan alasan perbuatan melawan hukum selain kerugian kebendaan juga
kerugian idiil (immaterial) yang tidak bersifat kebendaan, namun dapat diperkirakan nilai
kebendaannya berdasarkan kelayakan. ”

Pasal 46 Undang-undang tentang Rumah Sakit menyatakan Rumah Sakit bertanggung jawab atas
“semua kerugian”artinya rumah sakit menanggung kerugian materiil maupun immaterial.

Selanjutnya, UU RS hanya mensyaratkan bahwa kerugian itu “ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Hal ini berarti, UU RS mensyaratkan adanya
hubunan kausal antara kerugian dengan kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit .

Hubungan kausal dalam hukum perdata digunakan untuk menentukan adanya kerugian sebagai
dasar untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak yang bertanggung jawab. Sedangkan dalam
hukum pidana hubungan kausal tersebut sebagai syarat bagi terjadinya tindak pidana.

4. Kelalaian

Pasal 46 UU RS tidak menjelaskan apa yag dimaksud dengan kelalaian.

Hal ini dapat dimaklumi. Ajaran tentang kelalaian (culpa) dalam doktrin hukum merupakan hal
yang sulit, karena menyangkut sikap batin si pelaku yakni sesuatu yang berada dalam pikiran si
pelaku.

Adami Chazawi menyimpulkan secara pokok adanya dua ajaran mengenai kealpaan yaitu culpa
subjektif dan culpa objektif (op cit:88).

Ajaran culpa subjektif bertitik tolak dari sayarat syarat subjektif pada diri si pelaku/pembuat.
Sedangkan ajaran culpa objektif meletakkan syarat lalai atas suatu perbuatan pada kewajaran
dan kebiasaan yang berlaku secara umum.

Sementara itu dari sisi hukum pidana , J Guwandi (Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bio-Etika,
2009:19) mengemukakan, ”kelalaian, di dalam literature disebut ”delicta ommissionis”atau
melanggar suatu peraturan pidana karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
sehingga merugikan pasien. ”

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 UU RS, ihwal kelalaian memang perlu dibahas secara
lebih mendalam agar penerapannya dalam praktek dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak.

5. Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit

Pasal 46 UU RS membatasi tanggung jawab rumah sakit terhadap kerugian yang ditimbulkan
oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Jadi, pasal ini menekankan pada lokasi terjadinya
kelalaian, tidak mempertimbangkan hubungan kerja antara tenaga kesehatan dan rumah sakit.
UU RS tidak membedakan hubungan hukum antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan
tersebut. Apakah hubungan hukumnya sebagai mitra atau menjadi pihak yang bekerja
sepenuhnya sebagai pegawai/karyawan rumah sakit? Undang-undang hanya menentukan bahwa
tenaga kesehatan yang bersangkutan memberi pelayanan kesehatan di rumah sakit. Semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian mereka menjadi tanggung jawab rumah sakit.

Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan menurut pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan adalah ”setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangn untuk melakukan upaya kesehatan.

Dalam Penjelasan Pasal 21 ayat(1) Undang-undang tentang Kesehatan dikemukakan antara


lain:”Tenaga kesehatan dapat dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan kualifikasi yang
dimiliki, antara lain meliputi tenaga medis, tenaga kefarmasian, tenaga keperawatan, tenaga
kesehatan masyarakat dan lingkungan, tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisan
medis, dan tenaga kesehatan lainnya.”

6. Tindak Lanjut

Tanggung jawab Rumah Sakit semakin berat. Risiko yang dipikul semakin besar. Karena itu
rumah sakit perlu lebih ketat melakukan seleksi dan penempatan tenaga kesehatan, serta
melakukan pembinaan dan pengawasan internal terhadap kinerja tenaga kesehatan di rumah sakit
yang bersangkutan.

Selain itu untuk menjaga hubungan yang harmonis antara rumah sakit dengan pasen dan tenaga
kesehatan, maka pimpinan rumah sakit harus menanamkan 3 norma moral yang temaktub dalam
“Hospital Patient’s Charter, 1979” yang telah diterima menjadi standar internasional. Ketiga
norma tersebut adalah menghormati pasen, standar profesi dan tanggung jawab sosial untuk
pelayanan kesehatan rumah sakit.

Dan yang terpenting, Pemerintah harus segera menetapkan peraturan pelaksanaan UU RS dan
UU Kesehatan serta standar-standar pelayanan untuk memberikan perlindungan kepada pasen,
tenaga kesehatan dan rumah sakit.

Anda mungkin juga menyukai