Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan
Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan
Kesehatan adalah salah satu dari kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan & papan,
dalam arti hidup dalam keadaan sehat sudah tidak dapat ditawar lagi sebagai kebutuhan yang
mendasar. Bukan hanya sehat jasmani, juga sehat rohani (jiwa), bahkan kriteria sehat manusia
telah bertambah menjadi juga sehat sosial & sehat ekonomi. Namun sampai saat ini yang
dimaksudkan dengan kesehatan oleh undang-undang (UU) adalah hanya keadaan sehat jasmani
& sehat rohani.
Kesehatan menurut UU no. 36/2009 tentang Kesehatan terdiri dari dua unsur yaitu “upaya
kesehatan” & “sumber daya kesehatan”. Yang dimaksud dengan sumber daya kesehatan, terdiri
dari sumber daya manusia kesehatan (tenaga kesehatan yaitu dokter, apoteker, bidan, perawat) &
sarana kesehatan (antara lain rumah sakit, puskesmas, poliklinik, tempat praktik dokter).
Pemeliharaan kesehatan & pelayanan kesehatan adalah dua aspek dari upaya kesehatan, istilah
pemeliharaan kesehatan dipakai untuk kegiatan upaya kesehatan masyarakat & istilah pelayanan
kesehatan dipakai untuk upaya kesehatan individu (dikenal sebagai upaya kedokteran atau upaya
medik).
Inti dari pemeliharaan kesehatan adalah kesehatan masyarakat, menyangkut hal-hal yang
berhubungan antara lain dengan pembasmian penyakit menular, usaha kesehatan lingkungan,
usaha kesehatan sekolah. Sedangkan pelayanan kesehatan adalah hubungan segitiga antara
tenaga kesehatan, pasien & sarana kesehatan & dari hubungan segitiga ini terbentuk hubungan
medik & hubungan hukum. Hubungan medik dilaksanakan upaya kesehatan preventif, kuratif,
promotif & rehabilitatif. Sedangkan hubungan hukum yang terbentuk antara ketiga komponen itu
adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum.
Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah ikatan antara subyek hukum dengan subyek hukum. Hubungan hukum
ini selalu meletakkan hak & kewajiban yang timbal balik, artinya hak subyek hukum yang satu
menjadi kewajiban subyek hukum yang lain, demikian pula sebaliknya. Hubungan hukum di
dalam bidang hukum perdata dikenal sebagai perikatan (verbintenis).
Subyek Hukum
Hukum menentukan tentang adanya dua subyek hukum: subyek hukum pribadi yaitu manusia &
subyek hukum yang diakui oleh hukum yaitu badan hukum. Manusia adalah subyek hukum,
sejak dilahirkan sampai meninggal dunia. Janin di dalam kandungan bukan subyek hukum,
namun terdapat kekecualian yang diatur di dalam Pasal 2 Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer),
yaitu bahwa janin di dalam kandungan seorang perempuan dianggap telah lahir, apabila
kepentingan menghendaki, dengan syarat janin tersebut lahir hidup.
Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa janin yang masih di dalam kandungan seorang
perempuan, dapat menjadi subyek hukum (mempunyai hak), apabila ada kepentingan dari janin
itu. Kepentingan dari janin, sebagai misal adanya pewarisan & janin tersebut mendapatkan hak
atas warisan, maka meski pun masih di dalam kandungan, dapat dianggap sebagai subyek hukum
& akan mendapatkan warisan dengan syarat lahir hidup, kalau meninggal pada waktu dilahirkan,
maka seluruh fiksi hukum ini dianggap tidak pernah ada.
Sedangkan badan hukum, yang pengaturannya ada di dalam Kitab UU Hukum Dagang (KUHD),
menurut Abdulkadir Muhammad: “Badan hukum adalah subyek hukum ciptaan manusia pribadi
berdasarkan hukum, yang diberi hak & kewajiban seperti manusia pribadi.”
Peraturan perundangan tidak pernah menentukan tentang syarat-syarat materiil pembentukan
badan hukum, namun doktrin yang dikemukakan oleh Meijers, seorang guru besar hukum dari
Belanda yang dikutip oleh Abdulkadir Muhammad, mengemukakan adanya empat syarat badan
hukum yaitu harus mempunyai harta kekayaan yang terpisah dengan harta kekayaan pengurus
badan hukum; mempunyai tujuan tertentu yang bukan tujuan pribadi, yang dapat saja bertujuan
komersial atau pun bertujuan sosial; ada kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum, dalam
arti dapat menuntut & mempertahankan kepertingannya terhadap pihak ketiga; & ada organisasi
yang teratur yang dapat melakukan perbuatan hukum melalui alat perlengkapannya.
Pasien & dokter adalah subyek hukum pribadi & rumah sakit (RS) adalah subyek hukum badan
hukum. Hubungan hukum yang terbentuk diberi nama perikatan (verbintenis), & hukum melalui
Pasal 1233 KUHPer menentukan ada dua macam perikatan yang terbentuk yaitu perikatan yang
lahir baik karena perjanjian & baik karena UU.
Kemudian di dalam setiap perikatan selalu ditentukan tentang prestasi tertentu, hukum
menentukan melalui Pasal 1234 KUHP bahwa terdapat tiga macam prestasi:
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu & tidak berbuat
sesuatu.”
Hubungan hukum antara dokter, pasien & RS berbentuk perikatan untuk berbuat sesuatu, yang
dikenal sebagai jasa pelayanan kesehatan. Pasien adalah pihak penerima jasa pelayanan
kesehatan & dokter & RS adalah pihak-pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan, yaitu untuk
berbuat sesuatu yakni mengupayakan kesembuhan pasien.
Hubungan hukum hanya menentukan tiga macam prestasi, tidak memberikan tentang bentuk
prestasi yang diberikan, namun terdapat doktrin ilmu hukum yang mengatakan ada dua macam
perikatan dilihat dari prestasi yang diberikan yaitu yang dikenal sebagai perikatan hasil &
perikatan ikhtiar. Perikatan hasil meletakkan kewajiban kepada pihak yang satu untuk membuat
hasil tertentu & pihak yang lain menerima hasil tertentu. Sedangkan perikatan ikhtiar meletakkan
kewajiban pihak yang satu untuk membuat ikhtiar (upaya semaksimal mungkin) & pihak yang
lain menerima ikhtiar.
Prestasi perikatan hasil dikatakan dapat diukur, sedangkan prestasi dari perikatan ikhtiar
dikatakan sulit untuk diukur. Sehingga untuk mengukur prestasi dokter yang sulit diukur itu,
memerlukan ukuran yang dikenal sebagai standar profesi kedokteran.
Jelas bahwa hampir kebanyakan jasa pelayanan kesehatan berbentuk perikatan ikhtiar, yakni
adanya kewajiban dari pemberi jasa pelayanan kesehatan untuk membuat upaya semaksimal
mungkin mengobati pasien, & tidak berdasarkan pada perikatan hasil, kecuali untuk beberapa
pelayanan kesehatan, seperti pelayanan bedah kosmetik atau pelayanan gigi dalam mencabut gigi
pasien.
Perikatan (Verbintenis)
Dituliskan di atas bahwa hukum menentukan ada dua macam perikatan yang lahir karena
perjanjian & lahir karena UU. Perikatan yang lahir karena perjanjian lebih banyak terbentuk
dibandingkan dengan perikatan yang lahir karena UU. Terbentuknya perikatan antara para pihak,
baik yang lahir karena perjanjian mau pun yang lahir karena UU meletakkan hak & keweajiban
yang timbal balik.
Penutup
Pelayanan kesehatan adalah kebutuhan pokok manusia, agar dapat hidup dalam keadaan sehat,
baik jasmani mau pun rohani, pada intinya berisi hubungan antara tenaga kesehatan a.l. dokter),
pasien & sarana kesehatan (a.l. RS) sebagai subyek hukum. Pasien & dokter sebagai subyek
hukum pribadi & RS sebagai subyek hukum yang badan hukum.
Hubungan hukum atau perikatan antara ketiga komponen dalam pelayanan kesehatan, dapat lahir
karena perjanjian & karena UU. Perikatan yang lahir karena perjanjian mensyaratkan dipenuhi
empat syarat dari sahnya perjanjian. Perikatan yang lahir karena UU timbul disebabkan dokter
mempunyai kewajiban hukum untuk menolong setiap orang yang membutuhkan pelayanan
kesehatan.
Meski pun di dalam setiap perjanjian terdapat akibat hukum dari sahnya perjanjian, terdapat
penyimpangan dari Ayat (2) Pasal 1338 KUHPer, karena adanya hak asasi dari pasien untuk
menentukan diri sendiri (the right of self determination), sehingga dokter tidak mempunyai hak
untuk memaksa pasien untuk dilakukan pelayanan kesehatan, meski pun dokter tahu kalau tidak
dilakukan pelayanan kesehatan akan berakibat fatal bagi pasien.
Hubungan hukum antara dokter & pasien kebanyakan lahir karena perjanjian, hanya sedikit
yang lahir karena UU. Kemudian berdasarkan doktrin Ilmu Hukum, hampir seluruh perikatan
yang timbul adalah perikatan ikhtiar bukan perikatan hasil, di mana dokter akan memberikan
prestasi berupa upaya semaksimal mungkin, bukan prestasi berupa hasil.
Hubungan hukum antara dokter & RS mengenal adanya pola hukbungan sebagai “dokter in” &
“dokter out”. “Dokter in” mempunyai hubungan ketenagakerjaan dengan RS, sedangkan “dokter
out” hanya mempunyai hubungan perjanjian dengan RS untuk dapat menggunakan fasilitas RS.
Konsekuensi yuridis dari kedua hubungan itu, menyebabkan adanya tanggungjawab hukum yang
berbeda.
Hubungan hukum RS & pasien, mengikuti pola hubungan dokter & rumahsakit. Pasien hanya
mempunyai satu perikatan, dalam hal RS mempunyai “dokter in”, sedangkan bagi pasien
mempunyai hubungan dengan “dokter out”, maka pasien akan mempunyai dua buah perikatan.
Demikian pula akan menyebabkan tanggungjawab hukum yang berbeda.
Di Belanda, keinginan pasien agar ditetapkan adanya tanggungjawab hukum terpusat pada RS,
untuk memudahkan pasien mengajukan gugatan, telah mengalami hambatan, karena “dokter out”
berpendapat dengan adanya tanggungjwab hukum terpusat RS, menyebabkan RS mempunyai
kekuasaan mengatur “dokter out”.
Akhrinya disarankan agar, baik pasien mau pun dokter & RS, untuk mengetahui & memahami
Aspek Hukum Pelayanan Kesehatan dengan tujuan hubungan hukum antara ketiga komponen itu
menjadi harmonis & budaya gugat menggugat tidak berkembang.
Memulihkan Hubungan Pasien & Dokter yang Retak
Billy N. <billy@hukum-kesehatan.web.id>
Dalam kolom ‘Surat Pembaca’ di beberapa harian, mungkin kita membaca surat-surat yang
berisi pertentangan antara pasien dengan rumah sakit (RS) yang pernah merawatnya mengenai
kepemilikan isi rekam medik. Pasien menganggap isi rekam medik adalah miliknya, sementara
RS menganggap pasien hanya berhak atas isi resume/ringkasannya saja. Dalam kasus Prita
Mulyasari, masalah rekam medik pun menjadi pertentangan ketika pihak RS menolak
memberikan rekam medik dengan lengkap.
Kedua pendapat ini memiliki dasar hukum masing-masing. Pasal 47 UU no.29/2004 dengan jelas
menyebutkan bahwa isi medik milik pasien, sementara pasal 12 Permenkes no.269/2008
mereduksi hak pasien tersebut menjadi hanya isi ringkasannya saja. Menurut azas preferensi
hukum, peraturan yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah (lex superiori derogat legi
inferiori).
Masalah ini sebenarnya bukan semata masalah hukum, tetapi adalah ‘puncak dari gunung es’
retaknya hubungan antara masyarakat sebagai pasien dengan dokter/RS. Ini mengakibatkan
adanya perbedaan cara pandang mengenai hubungan pasien dengan dokter/RS. Di satu sisi,
masih banyak dokter beranggapan bahwa hubungannya dengan pasien adalah seperti hubungan
orangtua-anak (paternalistik), dokter lebih mendominasi sehingga pasien dianggap tidak tahu
apa-apa & cukup menurut saja, sedangkan dokter dianggap ‘manusia setengah dewa’ yang tahu
segalanya. Dalam pola ini, dokter menganggap wajar jika pasien hanya berhak atas ringkasan
rekam mediknya saja.
Di sisi lain, sudah banyak pasien yang menganggap hubungannya dengan dokter adalah seperti
klien-teknisi atau konsumen-produsen, di mana konsumen pelayanan kesehatan adalah ‘raja’.
Dokter cukup ‘memperbaiki’ tubuh & melayani kehendak pasien, karena telah dibayar mahal
termasuk untuk mengisi rekam medik. Sehingga wajar jika pasien berhak meminta semua isi
rekam mediknya dalam pola ini.
Kedua jenis hubungan tersebut sebenarnya bukan tipe hubungan yang tepat untuk pasien-dokter,
karena tidak menjadi hubungan yang setara di antara keduanya. Pada hubungan paternalistik,
dokter terkesan seenaknya dalam melayani pasien, pasien sering dianggap masalah yang harus
cepat diselesaikan atau semata makhluk biologis yang harus diobati. Pasien hanya dapat pasrah
apalagi dalam pola ini banyak yang biaya pengobatannya ditanggung oleh perusahaan atau
negara.
Sedangkan pada hubungan konsumen-produsen, pasien menjadi konsumen yang senang
‘berbelanja’ dokter, mencari mana yang paling memuaskannya, jika diperlukan yang paling ahli
sampai ke luar negeri. Jika tidak sembuh atau dianggap kurang memuaskan pelayanannya, dokter
dapat dituduh melakukan malapraktik. Dalam pola ini, dokter pun menjadi penyedia jasa yang
selektif, hanya mau melayani pasien yang mampu membayar sesuai tarif yang ditentukannya &
berlomba menyediakan berbagai fasilitas yang diingini pasien.
Dalam buku ‘Matters of Life and Death‘, pakar etika kedokteran John Wyatt menyatakan bahwa
pola hubungan yang baik untuk pasien & dokter sebenarnya adalah suatu hubungan ‘ahli-ahli’
(the expert-expert relationship), di mana terjadi suatu hubungan sejajar yang saling menghormati
& percaya. Dasar pemikiran pola ini adalah dokter sebagai ahli dalam bidang kesehatan
sementara pasien tentu ‘ahli’ (yang paling mengetahui) keluhan, riwayat kesehatan, sampai gaya
hidup pribadinya. Dalam pola ini, pasien tidak dianggap masalah atau kumpulan trilyunan sel
sakit yang dapat diobati penyakitnya sesuai prosedur standar atau perkembangan teknologi
kedokteran terbaru. Namun pasien adalah manusia seutuhnya yang unik sehingga diperlukan
pendekatan pribadi untuk kondisi kesehatan yang mungkin sama dengan banyak pasien lain.
Hubungan pasien & dokter dalam pola ini terjadi karena adanya aspek filantropis (mengasihi
orang lain) dari dokter, bukan didasarkan pada aspek finansial belaka seperti pada pola
konsumen-produsen. Sedangkan pasien dalam pola ini tidak hanya mencari pertolongan dokter
ketika dalam kondisi sakit saja seperti pada pola paternalistik, tetapi juga dalam kondisi sehat
untuk mencegah penyakit, menjaga & meningkatkan derajat kesehatannya.
Dengan pola ini, kepemilikan isi rekam medik bukanlah suatu hal yang perlu dipertentangkan &
menjadi rahasia bagi pasien yang kondisi tubuhnya tercatat di dalamnya. Karena dalam
hubungan ini, isi rekam medik menjadi salah satu pengikat hubungan pasien-dokter, yaitu sejarah
hubungan keduanya dalam usaha untuk menjaga & mencapai kesehatan pasien.
Pola hubungan yang baik ini tentu bukan hanya menjadi kepentingan pasien & dokter semata,
tetapi menjadi kepentingan pemerintah juga dalam usaha peningkatan kesehatan masyarakat.
Pemerintah harus ikut mendukungnya dengan membuat peraturan perundangan yang tentunya
tidak saling bertentangan, kebijakan yang mengutamakan pencegahan penyakit & peningkatan
kesehatan, tidak menjadikan bidang kesehatan sebagai usaha populis semata untuk mendapat
dukungan di pemilu, & memasukkan pola hubungan yang baik ini dalam inti kurikulum
pendidikan dokter di Indonesia. Dengan hubungan pasien & dokter yang lebih baik, maka
masyarakat dapat tetap sehat dalam membangun negeri ini.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
Akar Masalah & Berbagai Alternatif Penyelesaian
Sengketa Pasien-Dokter/RS Juni 10, 2009
Posted by teknosehat in HUKUM KESEHATAN, Pelayanan Kesehatan, Pidana & Malpraktik Medik, Rekam
Medik, Rumah Sakit, Tenaga Kesehatan.
Tags: HUKUM KESEHATAN, Malapraktik, Prita Mulyasari, RS Omni
trackback
Beberapa waktu yang lalu masyarakat dikejutkan dengan kasus Prita Mulyasari, seorang ibu
yang harus ditahan selama 3 pekan karena dituduh mencemarkan nama baik dokter & rumah
sakit (RS) yang pernah merawatnya. Kasus ini diawali dari suatu ketidakpuasan pasien terhadap
pelayanan yang diberikan sarana pelayanan kesehatan (SPK) seperti dokter atau RS. Dengan
adanya kasus Prita yang merupakan puncak ‘fenomena gunung es’, membuat masyarakat
bertanya-tanya ada masalah apa dengan hubungan pasien & SPK?
Hubungan pasien & SPK adalah suatu hubungan sederajat berupa perikatan ikhtiar dengan
masing-masing pihak memiliki hak & kewajibannya. Karena pengobatan merupakan suatu
ikhtiar, sehingga SPK tidak bisa menjanjikan kesembuhan melainkan memberikan usaha
maksimal sesuai standar pelayanan untuk kesembuhan pasien. Hal ini sering kurang dipahami
oleh masyarakat sehingga ketika pasien tidak sembuh atau pelayanannya dianggap kurang
memuaskan, muncul tuduhan dokter melakukan malapraktik atau RS dianggap menipu.
Hal lain yang sering memicu masalah antara pasien & SPK adalah kedua belah pihak kurang
mengerti hak & kewajibannya. SPK lebih ngotot dalam menuntut hak-nya namun lupa
melaksanakan kewajibannya secara tuntas. Di sisi lain pasien kadang tidak dapat memenuhi
kewajibannya seperti pembayaran atas biaya pengobatan sementara seringkali hak-haknya
kurang diperhatikan.
Agar kasus seperti yang dialami Prita tidak terulang kembali, masing-masing pihak harus
mengerti benar apa yang menjadi hak & kewajibannya dalam pengobatan. Hal ini telah diatur
dalam pasal 50-53 UU no.29/2004. Pasien sebaiknya mengerti bahwa hak-nya adalah mendapat
penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping, risiko,
komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak
pemeriksaan/pengobatan & meminta pendapat dokter lain.
Selain itu, isi rekam medik atau catatan kesehatan adalah milik pasien sehingga berhak untuk
meminta salinannya. Pasien memiliki kewajiban untuk memberikan informasi selengkap-
lengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di SPK, &
membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
Sedangkan SPK wajib untuk memberikan pelayanan sesuai standar & kebutuhan medis pasien,
merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani pasien, & merahasiakan
rekam medik. SPK pun berhak untuk menerima pembayaran atas jasa layanan kesehatan yang
diberikannya pada pasien.
Selain mengerti hak & kewajibannya, kedua belah pihak pun harus memiliki komunikasi yang
baik & rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Berbagai konflik antara pasien
& SPK hampir selalu diawali oleh komunikasi yang buruk & kurangnya rasa percaya di antara
keduanya. Pasien maupun SPK harus saling terbuka & mau menerima masukan agar pengobatan
dapat dilaksanakan dengan baik.
SPK harus paham bahwa pasien datang hanya karena ingin diobati & sembuh, bukan untuk
mencari-cari perkara. Pasien pun harus mengerti bahwa tidak ada SPK yang memiliki niat jahat
untuk mencelakakan pasiennya. Selain itu, SPK harus belajar berbesar hati dalam menerima
kritik & saran sebagai sarana untuk perbaikan kualitas layanan, bukan dianggap sebagai
penghinaan atau pencemaran nama baik. SPK harus ingat bahwa pasien itu sedang dalam
kesusahan akibat penyakitnya, sangat wajar jika pasien mudah marah, terlalu sensitif, atau
manja.
Namun bila akhirnya ada masalah di antara keduanya, perlu suatu cara penyelesaian yang bijak
demi kebaikan bersama. Langkah paling sering dilakukan adalah melalui jalur hukum yang lebih
berorientasi pada ‘menang-kalah’ sehingga hubungan di antara keduanya menjadi hancur.
Langkah ini sering dipilih karena kurangnya pengetahuan akan alternatif penyelesaian masalah
yang lain. Padahal langkah hukum membutuhkan waktu panjang & biaya banyak. Ada berbagai
cara lain yang dapat dipilih, seperti penyelesaian secara kekeluargaan atau dengan bantuan
penengah/mediator yang dipercayai & dihormati oleh kedua pihak.
Selain cara-cara penyelesaian masalah di atas, terdapat pula Majelis Kehormatan Etika
Kedokteran (MKEK) jika pasien merasa dokter berlaku tidak sesuai etika. Sementara untuk
masalah yang berkaitan dengan kinerja/tindakan dokter di dalam praktiknya, pasien dapat
mengadukannya ke Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang
anggotanya terdiri dari tokoh masyarakat, sarjana hukum, & dokter. Pasien bisa mengadu ke
kedua lembaga tersebut sekaligus dengan meminta bantuan kantor cabang organisasi profesi
dokter atau dinas kesehatan setempat.
Hubungan pasien & SPK memang dinamis, sehingga masalah pun akan selalu timbul. Dengan
cara penyelesaian masalah yang tepat diharapkan hubungan di antara keduanya dapat terus
terjalin dengan baik sehingga dunia pelayanan kesehatan di Indonesia dapat lebih berkualitas &
melindungi masyarakat.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 29 TAHUN 2004
TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN
Menimbang:
a. bahwa pembangunan kesehatan ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk pemberian
berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan
kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat;
c. bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai kegiatan dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan dokter gigi yang memiliki
etik dan moral yang tinggi, keahlian dan kewenangan yang secara terus-menerus harus
ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi,
lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan praktik kedokteran
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan
kesehatan, dokter, dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik
kedokteran;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk
Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Praktik kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi
terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
2. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis
lulusan pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang
diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3. Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, nonstruktural, dan bersifat
independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
4. Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau
dokter gigi untuk menjalankan praktik kedokteran di seluruh Indonesia setelah lulus uji
kompetensi.
5. Registrasi adalah pencatatan resmi terhadap dokter dan dokter gigi yang telah memiliki
sertifikat kompetensi dan telah mempunyai kualifikasi tertentu lainnya serta diakui secara hukum
untuk melakukan tindakan profesinya.
6. Registrasi ulang adalah pencatatan ulang terhadap dokter dan dokter gigi yang telah
diregistrasi setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
7. Surat izin praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter dan dokter
gigi yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan.
8. Surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Konsil
Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah diregistrasi.
9. Sarana pelayanan kesehatan adalah tempat penyelenggaraan upaya pelayanan kesehatan yang
dapat digunakan untuk praktik kedokteran atau kedokteran gigi.
10. Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada dokter atau dokter gigi.
11. Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran
gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
12. Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi
Indonesia untuk dokter gigi.
13. Kolegium kedokteran Indonesia dan kolegium kedokteran gigi Indonesia adalah badan yang
dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas
mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.
14. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk
menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan
disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.
15. Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.
BAB II
AZAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat,
keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien.
Pasal 3
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:
a. memberikan perlindungan kepada pasien;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan
dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
BAB III
KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
Bagian Kesatu
Nama dan Kedudukan
Pasal 4
(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang
terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi.
(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab
kepada Presiden.
Pasal 5
Konsil Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia.
Bagian Kedua
Fungsi, Tugas, dan Wewenang
Pasal 6
Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta
pembinaan dokter dan dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka
meningkatkan mutu pelayanan medis.
Pasal 7
(1) Konsil Kedokteran Indonesia mempunyai tugas:
a. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan
c. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan
bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.
(2) Standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi yang disahkan Konsil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan bersama oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan
kolegium kedokteran, kolegium kedokteran gigi, asosiasi institusi pendidikan kedokteran,
asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi, dan asosiasi rumah sakit pendidikan.
Pasal 8
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Konsil Kedokteran Indonesia
mempunyai wewenang:
a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
c. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
d. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
e. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika
profesi yang ditetapkan oleh organisasi profesi; dan
g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi
profesi atau perangkatnya karena melanggar ketentuan etika profesi.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan tugas Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Konsil Kedokteran
dan Konsil Kedokteran Gigi diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran
Gigi.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 11
(1) Susunan organisasi Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas:
a. Konsil Kedokteran; dan
b. Konsil Kedokteran Gigi.
(2) Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masing-masing terdiri atas 3 (tiga) divisi, yaitu :
a. Divisi Registrasi;
b. Divisi Standar Pendidikan Profesi; dan
c. Divisi Pembinaan.
Pasal 12
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas :
a. pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas 3 (tiga) orang merangkap anggota;
b. pimpinan Konsil Kedokteran dan pimpinan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu)
orang merangkap anggota; dan
c. pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi masing-masing 1 (satu)
orang merangkap anggota.
(2) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bekerja secara
kolektif.
(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah
penanggung jawab tertinggi.
Pasal 13
(1) Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua dan 2 (dua) orang wakil
ketua.
(2) Pimpinan Konsil Kedokteran terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.
(3) Pimpinan Konsil Kedokteran Gigi terdiri atas seorang ketua dan 3 (tiga) orang ketua divisi.
Pasal 14
(1) Jumlah anggota Konsil Kedokteran Indonesia 17 (tujuah belas) orang yang terdiri atas unsur-
unsur yang berasal dari:
a. organisasi profesi kedokteran 2 (dua) orang;
b. organisasi profesi kedokteran gigi 2 (dua) orang;
c. asosiasi institusi pendidikan kedokteran 1 (satu) orang;
d. asosiasi institusi pendidikan kedokteran gigi 1 (satu) orang;
e. kolegium kedokteran 1 (satu) orang;
f. kolegium kedokteran gigi 1 (satu) orang;
g. asosiasi rumah sakit pendidikan 2 (dua) orang;
h. tokoh masyarakat 3 (tiga) orang;
i. Departemen Kesehatan 2 (dua) orang; dan
j. Departemen Pendidikan Nasional 2 (dua) orang.
(2) Tata cara pemilihan tokoh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Presiden atas usul Menteri.
(4) Menteri dalam mengusulkan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia harus berdasarkan
usulan dari organisasi dan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Ketentuan mengenai tata cara pengangkatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 15
Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia, pimpinan Konsil Kedokteran, pimpinan Konsil
Kedokteran Gigi, pimpinan divisi pada Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi dipilih
oleh anggota dan ditetapkan oleh rapat pleno anggota.
Pasal 16
Masa bakti keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat
kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Pasal 17
(1) Anggota Konsil Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan wajib mengucapkan
sumpah/janji, menurut agamanya di hadapan Presiden.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:”
Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian. Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini,
senantiasa menjunjung tinggi ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta
meningkatkan mutu pelayanan dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini
dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan,
suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak
mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan
tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya”.
Pasal 18
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Konsil Kedokteran Indonesia, yang bersangkutan harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. berusia sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun dan setinggi-tingginya 65 (enam puluh
lima) tahun pada waktu menjadi anggota Konsil Kedokteran Indonesia;
f. pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat
tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi, kecuali untuk wakil dari
masyarakat;
g. cakap, jujur, memiliki moral, etika dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang
baik; dan
h. melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lainnya pada saat diangkat dan selama menjadi
anggota Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 19
(1) Anggota Konsil Kedokteran Indonesia berhenti atau diberhentikan karena:
a. berakhir masa jabatan sebagai anggota;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. meninggal dunia;
d. bertempat tinggal tetap di luar wilayah Republik Indonesia;
e. tidak mampu lagi melakukan tugas secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan; atau
f. dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal anggota Konsil Kedokteran Indonesia menjadi tersangka tindak pidana kejahatan,
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Ketua Konsil
Kedokteran Indonesia.
(4) Pengusulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Menteri
kepada Presiden.
Pasal 20
(1) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Konsil Kedokteran Indonesia dibantu
sekretariat yang dipimpin oleh seorang sekretaris.
(2) Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
(3) Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan anggota Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Dalam menjalankan tugasnya sekretaris bertanggung jawab kepada pimpinan Konsil
Kedokteran Indonesia.
(5) Ketentuan fungsi dan tugas sekretaris ditetapkan oleh Ketua Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 21
(1) Pelaksanaan tugas sekretariat dilakukan oleh pegawai Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada peraturan perundang-undangan
tentang kepegawaian.
Bagian Keempat
Tata Kerja
Pasal 22
(1) Setiap keputusan Konsil Kedokteran Indonesia yang bersifat mengatur diputuskan oleh rapat
pleno anggota.
(2) Rapat pleno Konsil Kedokteran Indonesia dianggap sah jika dihadiri oleh paling sedikit
setengah dari jumlah anggota ditambah satu.
(3) Keputusan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam hal tidak terdapat kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dapat
dilakukan pemungutan suara.
Pasal 23
Pimpinan Konsil Kedokteran Indonesia melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan tugas
anggota dan pegawai konsil agar pelaksanaan tugas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja Konsil Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia.
Bagian Kelima
Pembiayaan
Pasal 25
Biaya untuk pelaksanaan tugas-tugas Konsil Kedokteran Indonesia dibebankan kepada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB IV
STANDAR PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI
Pasal 26
(1) Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Standar pendidikan profesi kedokteran dan standar pendidikan profesi kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. untuk pendidikan profesi dokter atau dokter gigi disusun oleh asosiasi institusi pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi; dan
b. untuk pendidikan profesi dokter spesialis atau dokter gigi spesialis disusun oleh kolegium
kedokteran atau kedokteran gigi.
(3) Asosiasi institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar
pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berkoordinasi dengan organisasi
profesi, kolegium, asosiasi rumah sakit pendidikan, Departemen Pendidikan Nasional, dan
Departemen Kesehatan.
(4) Kolegium kedokteran atau kedokteran gigi dalam menyusun standar pendidikan profesi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berkoordinasi dengan organisasi profesi, asosiasi
institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi, asosiasi rumah sakit pendidikan,
Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.
BAB V
PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEDOKTERAN DAN KEDOKTERAN GIGI
Pasal 27
Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi, untuk memberikan kompetensi
kepada dokter atau dokter gigi, dilaksanakan sesuai dengan standar pendidikan profesi
kedokteran atau kedokteran gigi.
Pasal 28
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan
kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan
lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh organisasi
profesi kedokteran atau kedokteran gigi.
BAB VI
REGISTRASI DOKTER DAN DOKTER GIGI
Pasal 29
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib
memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi.
(2) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia.
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus
memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki sertifikat kompetensi; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(4) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi berlaku selama 5 (lima)
tahun dan diregistrasi ulang setiap 5 (lima) tahun sekali dengan tetap memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d.
(5) Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi dalam melakukan registrasi ulang
harus mendengar pertimbangan ketua divisi registrasi dan ketua divisi pembinaan.
(6) Ketua konsil kedokteran dan ketua konsil kedokteran gigi berkewajiban untuk memelihara
dan menjaga registrasi dokter dan dokter gigi.
Pasal 30
(1) Dokter dan dokter gigi lulusan luar negeri yang akan melaksanakan praktik kedokteran di
Indonesia harus dilakukan evaluasi.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesahan ijazah;
b. kemampuan untuk melakukan praktik kedokteran yang dinyatakan dengan surat keterangan
telah mengikuti program adaptasi dan sertifikat kompetensi;
c. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(3) Dokter dan dokter gigi warga negara asing selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) juga harus melengkapi surat izin kerja sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan dan kemampuan berbahasa Indonesia.
(4) Dokter dan dokter gigi yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3) diberikan surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 31
(1) Surat tanda registrasi sementara dapat diberikan kepada dokter dan dokter gigi warga negara
asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan
kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia.
(2) Surat tanda registrasi sementara berlaku selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang untuk
1 (satu) tahun berikutnya.
(3) Surat tanda registrasi sementara diberikan apabila telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).
Pasal 32
(1) Surat tanda registrasi bersyarat diberikan kepada peserta program pendidikan dokter spesialis
atau dokter gigi spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di
Indonesia.
(2) Dokter atau dokter gigi warga negara asing yang akan memberikan
pendidikan dan pelatihan dalam rangka alih ilmu pengetahuan dan teknologi untuk waktu
tertentu, tidak memerlukan surat tanda registrasi bersyarat.
(3) Dokter atau dokter gigi warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
mendapat persetujuan dari Konsil Kedokteran Indonesia.
(4) Surat tanda registrasi dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3)
diberikan melalui penyelenggara pendidikan dan pelatihan.
Pasal 33
Surat tanda registrasi tidak berlaku karena:
a. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
c. atas permintaan yang bersangkutan;
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara registrasi, registrasi ulang, registrasi sementara, dan
registrasi bersyarat diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang
terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak
ada apotek.
(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kewenangan lainnya diatur dengan
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PRAKTIK KEDOKTERAN
Bagian Kesatu
Surat Izin Praktik
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki
surat izin praktik.
Pasal 37
(1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat kesehatan
yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi dilaksanakan.
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat.
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 38
(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, dokter atau
dokter gigi harus:
a. memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi yang masih
berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 31, dan Pasal 32;
b. mempunyai tempat praktik; dan
c. memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang :
a. surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin praktik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pelaksanaan Praktik
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi
dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan
kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 40
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik kedokteran harus
membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dokter atau
dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan
praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik
kedokteran.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan sarana
pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik
kedokteran.
Pasal 42
Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengizinkan dokter atau dokter gigi yang tidak
memiliki surat izin praktik untuk melakukan praktik kedokteran di sarana pelayanan kesehatan
tersebut.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan praktik kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
Bagian Ketiga
Pemberian Pelayanan
Paragraf 1
Standar Pelayanan
Pasal 44
(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar
pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut jenis dan strata
sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter
gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan.
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam
medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi setelah pasien
selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter,
dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik
pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 4
Rahasia Kedokteran
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib menyimpan
rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi
permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri,
atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Kendali Mutu dan Kendali Biaya
Pasal 49
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi
wajib menyelenggarakan kendali mutu dan kendali biaya.
(2) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan audit medis.
(3) Pembinaan dan pengawasan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan oleh organisasi profesi.
Paragraf 6
Hak dan Kewajiban Dokter atau Dokter Gigi
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar
profesi dan standar prosedur operasional;
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban:
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional
serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan
yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran
gigi.
Paragraf 7
Hak dan Kewajiban Pasien
Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3);
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai kewajiban:
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Paragraf 8
Pembinaan
Pasal 54
(1) Dalam rangka terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan melindungi masyarakat
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, perlu dilakukan
pembinaan terhadap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia bersama-sama dengan organisasi profesi.
BAB VIII
DISIPLIN DOKTER DAN DOKTER GIGI
Bagian Kesatu
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
Pasal 55
(1) Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil
Kedokteran Indonesia.
(3) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat
independen.
Pasal 56
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertanggung jawab kepada Konsil
Kedokteran Indonesia.
Pasal 57
(1) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia berkedudukan di ibu kota negara
Republik Indonesia.
(2) Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran di tingkat provinsi dapat dibentuk oleh Konsil
Kedokteran Indonesia atas usul Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
Pasal 58
Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas seorang ketua, seorang
wakil ketua, dan seorang sekretaris.
Pasal 59
(1) Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang
dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan
seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum.
(2) Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
harus dipenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. sehat jasmani dan rohani;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berkelakuan baik;
e. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun
pada saat diangkat;
f. bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh)
tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi;
g. bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bidang hukum paling sedikit 10 (sepuluh)
tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan; dan
h. cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang
baik.
Pasal 60
Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditetapkan oleh Menteri atas usul
organisasi profesi.
Pasal 61
Masa bakti keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 adalah 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali
masa jabatan.
Pasal 62
(1) Anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebelum memangku jabatan
wajib mengucapkan sumpah/janji sesuai dengan agama masing-masing di hadapan Ketua Konsil
Kedokteran Indonesia.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya untuk melaksanakan tugas ini,
langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak
memberikan atau menjanjikan sesuatu apapun kepada siapapun juga.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
tugas ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga suatu
janji atau pemberian.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya dalam menjalankan tugas ini, senantiasa menjunjung tinggi
ilmu kedokteran atau kedokteran gigi dan mempertahankan serta meningkatkan mutu pelayanan
dokter atau dokter gigi.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia dan taat kepada dan akan mempertahankan serta
mengamalkan Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Republik
Indonesia.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan tugas dan wewenang saya ini
dengan sungguh-sungguh saksama, obyektif, jujur, berani, adil, tidak membeda-bedakan jabatan,
suku, agama, ras, jender, dan golongan tertentu dan akan melaksanakan kewajiban saya dengan
sebaik-baiknya, serta bertanggung jawab sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
masyarakat, bangsa dan negara.
Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menolak atau tidak menerima atau tidak
mau dipengaruhi oleh campur tangan siapapun juga dan saya akan tetap teguh melaksanakan
tugas dan wewenang saya yang diamanatkan Undang-Undang kepada saya”.
Pasal 63
(1) Pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dipilih dan ditetapkan oleh
rapat pleno anggota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
Pasal 64
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan
dokter gigi yang diajukan; dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter
gigi.
Pasal 65
Segala pembiayaan kegiatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dibebankan
kepada anggaran Konsil Kedokteran Indonesia.
Bagian Kedua
Pengaduan
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau
dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada
Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. identitas pengadu;
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan.
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap
orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau
menggugat kerugian perdata ke pengadilan.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan
Pasal 67
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan
terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.
Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.
Bagian Keempat
Keputusan
Pasal 69
(1) Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi,
dan Konsil Kedokteran Indonesia.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1 ) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin.
(3) Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa :
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
Bagian Kelima
Pengaturan Lebih Lanjut
Pasal 70
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi dan tugas Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia, tata cara penanganan kasus, tata cara pengaduan, dan tata cara
pemeriksaan serta pemberian keputusan diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.
BAB IX
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 71
Pemerintah pusat, Konsil Kedokteran Indonesia, pemerintah daerah, organisasi profesi membina
serta mengawasi praktik kedokteran sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing.
Pasal 72
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diarahkan untuk:
a. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan dokter dan dokter gigi;
b. melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan dokter dan dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum bagi masyarakat, dokter, dan dokter gigi.
Pasal 73
(1) Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
(2) Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan/atau surat izin praktik.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan dokter dan dokter gigi yang menyelenggarakan
praktik kedokteran dapat dilakukan audit medis.
BAB X
KETENTUAN PIDANA
Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa
memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).
Pasal 77
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang
menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter
gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
Pasal 78
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda
registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:
a. dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b. dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1);
atau
c. dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.
Pasal 80
(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau
denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi,
maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditambah sepertiga atau dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan izin.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 81
Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang
berkaitan dengan pelaksanaan praktik kedokteran, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 82
(1) Dokter dan dokter gigi yang telah memiliki surat penugasan dan/atau surat izin praktik,
dinyatakan telah memiliki surat tanda registrasi dan surat izin praktik berdasarkan Undang-
Undang ini.
(2) Surat penugasan dan surat izin praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
disesuaikan dengan surat tanda registrasi dokter, surat tanda registrasi dokter gigi, dan surat izin
praktik berdasarkan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun setelah Konsil Kedokteran
Indonesia terbentuk.
Pasal 83
(1) Pengaduan atas adanya dugaan pelanggaran disiplin pada saat belum terbentuknya Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ditangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi di
Tingkat Pertama dan Menteri pada Tingkat Banding.
(2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Menteri dalam menangani pengaduan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) membentuk Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi untuk memberikan
pertimbangan.
(3) Putusan berdasarkan pertimbangan Tim dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
atau Menteri sesuai dengan fungsi dan tugasnya.
Pasal 84
(1) Untuk pertama kali anggota Konsil Kedokteran Indonesia diusulkan oleh Menteri dan
diangkat oleh Presiden.
(2) Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku
untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun sejak diangkat.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 85
Dengan disahkannya Undang-Undang ini maka Pasal 54 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan yang berkaitan dengan dokter dan dokter gigi, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 86
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) harus dibentuk
paling lama 6 (enam) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 87
Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus dibentuk paling lambat
1 (satu) bulan sebelum masa jabatan keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) berakhir.
Pasal 88
Undang-Undang ini mulai berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
Beberapa waktu lalu, DPR telah mengesahkan RUU Informasi & Transaksi Elektronik (ITE)
menjadi UU ITE (UU no.11/2008). Sebagai UU pertama yang mengatur bidang teknologi
informasi (IT), banyak aspek dalam bidang IT menjadi tunduk pada UU tersebut, termasuk
penggunaan IT dalam dunia kesehatan.
Salah satu penggunaan IT dalam dunia kesehatan yang telah menjadi tren dalam dunia pelayanan
kesehatan secara global adalah rekam medik elektronik (EHR), yang sebenarnya sudah mulai
banyak digunakan di kalangan pelayanan kesehatan Indonesia, namun banyak tenaga kesehatan
& pengelola sarana pelayanan kesehatan masih ragu untuk menggunakannya karena belum ada
peraturan perundangan yang secara khusus mengatur penggunaannya.
Selama ini, rekam medik mengacu pada pasal 46-47 UU no.29/2004 tentang Praktik Kedokteran
& Permenkes no.269/2008 tentang Rekam Medik. UU no.29/2004 sebenarnya diundangkan saat
EHR telah banyak digunakan, namun tidak mengatur mengenai EHR. Sedangkan Permenkes
no.269/2008 belum mengatur mengenai EHR. Tetapi dengan adanya UU ITE, secara umum
penggunaan EHR sebagai dokumen elektronik telah memiliki dasar hukum.
Dimulai dari pencantuman nama, waktu, & tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan
kesehatan (pasal 46 (3) UU no.29/2004), dapat dilakukan secara elektronik & diatur oleh UU
ITE dalam pasal 5-12 & tercantum dalam penjelasan pasal 46 (3) UU no.29/2004.
Kepemilikan EHR juga tetap menjadi milik dokter/sarana pelayanan kesehatan seperti yang
tertulis dalam pasal 47 (1) UU no.29/2004 bahwa dokumen rekam medik adalah milik dokter
atau sarana pelayanan kesehatan. Sama seperti rekam medik konvensional, EHR selaku dokumen
elektronik sudah seharusnya disimpan di komputer milik dokter/sarana pelayanan kesehatan. Isi
rekam medik sesuai pasal 47 (1) yang merupakan milik pasien dapat diberikan salinannya dalam
bentuk elektronik atau dicetak untuk diberikan pada pasien.
Aspek kerahasiaan & keamanan dokumen rekam medik yang selama ini menjadi kekuatiran
banyak pihak dalam penggunaan EHR pun sebenarnya telah diatur di UU ITE dalam pasal 16.
Dengan kemajuan teknologi, tingkat kerahasiaan & keamanan dokumen elektronik terus semakin
tinggi & aman. Salah satu bentuk pengamanan yang umum adalah EHR dapat dilindungi dengan
sandi sehingga hanya orang tertentu yang dapat membuka berkas asli atau salinannya yang
diberikan pada pasien, ini membuat keamanannya lebih terjamin dibandingkan dengan rekam
medik konvensional.
Penyalinan atau pencetakan EHR juga dapat dibatasi, seperti yang telah dilakukan pada berkas
multimedia (lagu/video) yang dilindungi hak cipta, sehingga hanya orang tertentu yang telah
ditentukan yang dapat menyalin atau mencetaknya. EHR memiliki tingkat keamanan lebih tinggi
dalam mencegah kehilangan atau kerusakan dokumen elektronik, karena dokumen elektronik
jauh lebih mudah dilakukan ‘back-up’ dibandingkan dokumen konvensional.
EHR memiliki kemampuan lebih tinggi dari hal-hal yang telah ditentukan oleh Permenkes
no.269/2008, misalnya penyimpanan rekam medik sekurangnya 5 tahun dari tanggal pasien
berobat (pasal 7), rekam medik elektronik dapat disimpan selama puluhan tahun dalam bentuk
media penyimpanan cakram padat (CD/DVD) dengan tempat penyimpanan yang lebih ringkas
dari rekam medik konvensional yang membutuhkan banyak tempat & perawatan khusus.
Kebutuhan penggunaan rekam medik untuk penelitian, pendidikan, penghitungan statistik, &
pembayaran biaya pelayanan kesehatan lebih mudah dilakukan dengan EHR karena isi EHR
dapat dengan mudah diintegrasikan dengan program/software sistem informasi
RS/klinik/praktik, pengolahan data, & penghitungan statistik yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan, penelitian, & pendidikan tanpa mengabaikan aspek kerahasiaan. Hal ini tidak mudah
dilakukan dengan rekam medik konvensional. UU ITE juga telah mengatur bahwa dokumen
elektronik (termasuk EHR) sah untuk digunakan sebagai bahan pembuktian dalam perkara
hukum.
Memang, EHR pun memiliki beberapa kelemahan untuk digunakan di Indonesia, dari mulai
masalah keterbatasan kemampuan penggunaan komputer dari penggunanya, penyediaan
perangkat keras, sampai pasokan listrik dari PLN yang tidak stabil untuk menghidupkan
komputer. Diharapkan dengan kemajuan pembangunan SDM maupun fisik, hal ini dapat
diperbaiki terus menerus oleh pemerintah & masyarakat. Pemerintah, para ahli IT, & profesi
kesehatan pun harus menetapkan standar untuk EHR, sehingga EHR dapat benar-benar terjaga
kerahasiannya, aman, handal, & sah secara hukum.
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya UU ITE, EHR telah dapat digunakan di Indonesia
untuk membantu mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu & melindungi
masyarakat. Adalah sangat baik jika pemerintah membuat peraturan khusus mengenai EHR
berikut standar/protokol & keamanannya sebagai peraturan pelaksana dari UU no.29/2004.
(c)Hukum-Kesehatan.web.id
Situasi krisis yang mencemaskan tersebut jelas tidak menguntungkan bagi pengelolaan &
pengembangan RS & oleh karenanya perlu diwaspadai. Tetapi yang paling penting bagi setiap
pengelola & pemilik RS adalah memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktik
dapat dibuktikan maka setiap sengketa yang muncul antara health care receiver & health care
provider baru boleh disebut sebagai konflik akibat adanya ketidaksesuaian logika atas sesuatu
masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by medical management rather
than the underlying condition of the patient). Menurut Winardi (1994), konflik diartikan sebagai
ketidaksesuaian paham atas situasi tentang pokok-pokok pikiran tertentu atau karena adanya
antagonisme-antagonisme emosional. Maka berbagai konflik yang melanda dunia
perumahsakitan kita sekarang ini tidak harus dipandang sebagai hal yang luar biasa sehingga
tidak perlu disikapi secara tidak proporsional. Dilihat dari sisi positifnya justru konflik atau
sengketa dapat meningkatkan kreatifitas, inovasi, intensitas upaya, kohesi kelompok serta
mengurangi ketegangan.
Dunia perumahsakitan juga harus merasa risih & bersikap jujur karena pada kenyataannya masih
banyak kelemahan & kekurangan dalam melaksanakan tatakelola klinik yang baik (good clinical
governance), disamping belum secara sempurna mampu memenuhi prinsip-prinsip dalam
merancang system pelayanan kesehatan yang lebih aman (safer health care system) guna
mencegah atau setidak-tidaknya mengurangi terjadinya adverse events.
Konflik itu sendiri sebetulnya hanya akan terjadi kalau ada prakondisi atau predisposing factor,
misalnya berupa adverse events (yang pada hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan
pasien ketika memilih RS dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya
medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi
ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter sendiri (arogan, ketus, enggan
memberikan informasi & sebagainya) atau dari pihak pasien (misalnya chronic complainer atau
sikap temperamental). Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya klaim atas
pelayanan yang kurang sempurna. Dari pengalaman saya sebagai kosultan di salah satu RS
swasta diperoleh temuan bahwa tidak jarang pemicunya justru datang dari penilaian spekulatif
yang bersifat negatip atas terjadinya adverse events dari teman sejawat dokter (yang barangkali
saja ingin mengambil keuntungan, misalnya agar oleh pasien dianggap lebih hebat atau lebih
pandai).
Mengenai perbedaan persepsi, biasanya disebabkan keidakmampuan pihak pasien untuk
memahami logika medis bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty &
hasilnya pun tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor-
faktor lain di luar kontrol dokter untuk mengendalikannya; misalnya daya tahan tubuh,
mekanisme pertahanan tubuh, jenis & tingkat virulensi penyakit, stadium penyakit, kualitas obat,
respon individual terhadap obat (sebagai sebagai konsekuensi belum ditemukannya obat-obatan
farmakogenomik yang sesuai dengan konstitusi genetik tiap-tiap pasien) serta kepatuhan pasien
dalam mengikuti prosedur & nasehat dokter serta perawat. Banyak masyarakat menyangka
bahwa upaya medis yang dilakukan dokter merupakan satu-satunya variabel yang dapat
mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga parameternya, kalau upaya tersebut sudah
benar menurut logika mereka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah buruk
kondisinya atau malahan muncul problem-problem baru. Pada kenyataannya upaya medis yang
terbaik & termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin kesembuhan, demikian pula
sebaliknya. Bahkan tidak jarang dokter melakukan kesalahan diagnosis & dengan sendirinya
diikuti kesalahan terapi, tetapi justru pasien dapat sembuh (berkat mekanisme pertahanan
tubuhnya sendiri). Oleh sebab itu tidaklah salah jika ada sementara ahli yang menyatakan
“medicine is a science of the uncertainty, an art of the probability”.
Pemahaman yang kurang memadai tentang hakekat upaya medis tersebut masih diperparah lagi
oleh minimnya pemahaman mengenai hukum; misalnya tentang bentuk perikatan yang terjadi
menyusul disepakatinya hubungan terapetik (yang konsekuensinya memunculkan hak &
kewajiban pada masing-masing pihak). Tidak banyak masyarakat yang faham bahwa perikatan
yang terjadi antara health care receiver & health care provider merupakan inspanning-verbintenis
(perikatan upaya) sehingga konsekuensi hukumnya, RS tidak dibebani kewajiban untuk
mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya
sesuai standar (standard of care); yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan
telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan & perhatian yang layak sebagaimana yang
dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi & kondisi yang sama pula
(Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas seperti itu diharapkan mampu menyelesaikan problem
kesehatan pasien, namun jika pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan
terjadi adverse events atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau RS harus dipersalahkan.
- Liability in tort.
Tanggung gugat jenis ini merupakan tanggung gugat yang tidak didasarkan atas adanya
contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad).
Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan
hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang
berlawanan dengan kesusilaan yang baik & berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan
dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad, 31 Januari 1919).
Konsep liability in tort ini sebetulnya berasal dari Napoleontic Civil Code Art.1382, yang
bunyinya: “Everyone causes damages through his own behavior must provide compensation, if
at least the victim can prove a causal relationship between the fault and damages”. Konsep ini
sejalan dengan Psl 1365 KUH Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar
hokum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.
Dengan adanya tanggung gugat ini maka RS atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas
terjadinya kesalahan yang termasuk katagori tort (civil wrong against a person or properties);
baik yang bersifat intensiona atau negligence. Contoh dari tindakan RS atau dokter yang dapat
menimbulkan tanggunggugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia atau
ceroboh dalam melakukan upaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau menderita cacat.
- Strict liability.
Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability whitout fault)
mengingat seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan apa-apa;
baik yang bersifat intensional, recklessness ataupun negligence. Tanggung gugat seperti ini
biasanya berlaku bagi product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar
ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah
memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.
Di negara-negara Common Law, produk darah dikatagorikan sebagai product sold sehingga
produsen yang mengolah darah harus bertanggunggugat untuk setiap transfusi darah olahannya
yang menularkan virus hepatitis atau HIV.
- Vicarious liability.
Tanggung gugat jenis ini timbul akibat kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (subordinate).
Dalam kaitannya dengan pelayanan medik maka RS (sebagai employer) dapat bertanggung gugat
atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang bekerja dalam kedudukan sebagai sub-
ordinate (employee). Lain halnya jika tenaga kesehatan, misalnya dokter, bekerja sebagai mitra
(attending physician) sehingga kedudukannya setingkat dengan RS.
Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan Psl 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya
bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan
barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Jadi dapat tidaknya RS menjadi subjek tanggung-renteng tergantung dari pola hubungan kerja
antara tenaga kesehatan dengan RS, dimana pola hubungan tersebut juga akan ikut menentukan
pola hubungan terapetik dengan pihak pasien yang berobat di RS tersebut.
Mengenai pola hubungan terapetik antara health care provider & health care receiver dapat
dirinci sebagai berikut:
- Hubungan pasien-RS
Hubungan seperti ini terjadi jika pasien sudah dewasa & sehat akal, sedangkan RS hanya
memiliki dokter yang bekerja sebagai employee. Para pihaknya adalah pasien & RS, sementara
dokter hanya berfungsi sebagai employee (subordinate dari RS) yang bertugas melaksanakan
kewajiban RS.
Hubungan hukum seperti ini biasanya berlaku di sarana kesehatan milik pemerintah yang dokter-
dokternya digaji secara tetap & penuh, tidak didasarkan atas jumlah pasien yang telah ditangani
ataupun kuantitas & kualitas tindakan medik yang dilakukan dokter.
- Hubungan pasien-dokter
Pola ini terjadi jika pasien sudah dewasa & sehat akal (berkompeten), dirawat di RS yang dokter-
dokternya bekerja bukan sebagai employee melainkan sebagai mitra (attending physician). Para
pihaknya adalah pasien & dokter, sementara posisi RS hanyalah sebagai tempat yang
menyediakan fasilitas (penginapan, makan & minum, perawat atau bidan serta sarana medik &
nonmedik). Konsepnya seolah-olah dokter menyewa fasilitas RS untuk digunakan merawat
pasiennya.
Pola seperti ini banyak dianut oleh RS swasta yang dokter-dokternya mendapatkan penghasilan
berdasarkan perhitungan jumlah pasien serta kuantitas & kualitas tindakan medik yang
dilakukannya. Jika dalam satu bulan tidak ada seorang pasienpun yang dirawat maka dalam
bulan itu dokter tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Hubungan kerja seperti ini
menempatkan dokter pada kedudukan yang sama derajat dengan RS, bukan subordinate dari RS.
Sedangkan mengenai hubungan kerja antara dokter & RS terdapat beberapa pola, antara lain:
* Dokter sebagai employee.
* Dokter sebagai attending physician (mitra).
* Dokter sebagai independent contractor.
Masing-masing dari pola-pola hubungan tersebut di atas akan sangat menentukan apakah RS
atau dokter yang harus bertanggunggugat sendiri (direct liability) terhadap kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan dokter & sejauh mana pula tanggunggugat dokter tersebut dapat
dialihkan kepada pihak RS berdasarkan doctrine of vicarious liability?
* Vicarious Liability
Pada umumnya RS tidak bertanggunggugat atas kesalahan dokter non-organik (non-employee
physician) yang hanya memanfaatkan fasilitas RS untuk merawat pasiennya sendiri (staff
privileges). Mereka bertanggunggugat secara mandiri atas kesalahan yang telah merugikan
pasiennya. Meskipun bertanggunggugat secara mandiri namun kesepakatan dengan pihak RS
dapat saja dibuat untuk misalnya bersama-sama menanggung ganti rugi berdasarkan proporsi
yang disetujui oleh kedua belah pihak apabila dokter kalah di pengadilan. Tanpa kesepakatan
khusus maka non-employee physician (misalnya dokter mitra) pada umumnya bertanggunggugat
secara mandiri.
Di bawah doctrine of vicarious liability, RS (meskipun sebagai artificial entity tidak melakukan
kesalahan apa-apa) juga dapat bertanggunggugat atas kesalahan dokter organik yang bekerja di
institusi tersebut. Doktrin ini sejalan dengan Pasal 1367 KUH Perdata, yang bunyinya:
“Seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri,
melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.
Untuk dapat diberlakukan doctrine of vicarious liability diperlukan prakondisi seperti tersebut di
bawah ini, yaitu:
- Harus ada direct (economic) relationship.
Maknanya, antara dokter & pihak RS harus terjalin dalam suatu hubungan yang bersifat
ekonomi; misalnya hubungan master-servant atau employer-employee.
Sebagai bukti adanya direct (economic) relationship antara lain: adanya gaji tetap, kewenangan
RS mengontrol, memberi sanksi serta adanya kewenangan mengangkat & memberhentikan
dokter.
Pertanyaan yang muncul sekarang ialah “siapakah yang seharusnya menjadi target (subjek) dari
tanggung-renteng tersebut”? Institusi RS ataukah justru badan hokum yang menjadi pemilik RS?
Meskipun pada hakekatnya tidak ada bedanya apabila yang menjadi subjek dari vicarious
liability adalah RS atau badan hokum pemilik RS sebab pembebanan ganti rugi kepada RS
dengan sendirinya juga akan mengurangi asset badan hokum yang menjadi pemiliknya, demikian
pula sebaliknya. Namun dilihat dari sisi yuridis-formal mungkin jawaban dari pertanyaan di atas
menjadi sangat penting agar supaya masing-masing pihak saling memahami posisinya masing-
masing, disamping untuk menghindari kemungkinan terjadinya gugatan salah alamat. Untuk itu
menurut hemat saya perlu memperhatikan beberapa hal:
- Konsep dasar bahwa dalam ajaran vicarious liability harus ada direct (economic) relationship
antara dokter yang melakukan kesalahan dengan pihak yang menjadi subjek dari tanggung-
renteng.
Siapa subjek tersebut? Jawabannya sudah bisa ditebak, yakni tergantung dari siapa sebenarnya
yang memberi kerja, memberhentikan, membayar, mengontrol & mengawasi kinerja dokter yang
bersangkutan. RS atau badan hokum yang menjadi pemilik RS?
- UU tentang badan hukum yang terkait.
Dalam kaitannya dengan yayasan, sepanjang bentuk RS merupakan kegiatan usaha yayasan
(yang dilaksanakan oleh pelaksana & diangkat oleh organ pengurus yayasan) maka yang akan
menjadi subjek tanggungrenteng adalah yayasan yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui
bahwa berdasarkan UU Yayasan, organ pengurus bertanggungjawab sepenuhnya atas
kepengurusan yayasan, baik untuk kepentingan maupun tujuan yayasan, serta mewakili yayasan
baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai azas persona standi in judicio. Ini berarti bahwa
organ pengurus mewakili yayasan dalam melakukan gugatan ataupun digugat. Barangkali
demikian pula untuk RS yang merupakan amal usaha perkumpulan.
Tetapi lain halnya apabila RS berbentuk PT yang didirikan oleh yayasan atau oleh perkumpulan
maka tanggungrentengnya bukan pada yayasan atau perkumpulan tersebut, melainkan pada RS
(yang dalam hal ini diwakili oleh direksi). Tanggungjawab yayasan atau perkumpulan (sebagai
pemegang saham) hanyalah sebatas saham yang dimilikinya & samasekali tidak meyentuh
kekayaan lain dari yayasan atau perkumpulan yang memiliki PT tersebut.
MA
TI
OT
AK
MA
TI
OT
AK
KELU
ARGA
PASIE
N
HARU
SKEL
UARG
A
PASIE
N
HARU
SMEN
ENTU
KAN
PENG
HENT
IANM
ENEN
TUKA
N
PENG
HENT
IANB
ANTU
AN
UNTU
K
MENU
NJAN
GBAN
TUAN
UNTU
K
MENU
NJAN
GKEH
IDUP
AN
VEGE
TATIF
KEHI
DUPA
N
VEGE
TATIF
DOKT
ER
TIDA
K
BERH
AKDO
KTER
TIDA
K
BERH
AKME
NENT
UKAN
PENG
HENT
IANM
ENEN
TUKA
N
PENG
HENT
IANB
ANTU
AN
VEGE
TATIF
BANT
UAN
VEGE
TATIF
KE
AD
AA
N
DA
RU
RA
T K
EA
DA
AN
DA
RU
RA
T
KEW
AJIBA
N
DOKT
ER
UNTU
KKE
WAJI
BAN
DOKT
ER
UNTU
KME
MBA
NTUM
EMBA
NTU
PILIH
AN
ANTA
RA
DUA
KEAD
AANP
ILIHA
N
ANTA
RA
DUA
KEAD
AAND
ARUR
ATDA
RURA
T
TIDA
K
MEM
BANT
U
DIHU
KUMT
IDAK
MEM
BANT
U
DIHU
KUM
MAKS
1 TH
KURU
NGAN
ATAU
MAKS
1 TH
KURU
NGAN
ATAU
DEND
A
MAKS
50
JUTA
RUPI
AHDE
NDA
MAKS
50
JUTA
RUPI
AH
SE
KIA
NS
EKI
AN
DA
ND
AN
TE
RI
MA
KA
SIH
TE
RI
MA
KA
SIH
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dalam satu bab khusus dari
Pasal 190-201 mengatur sejumlah ketentuan pidana dalam bidang kesehatan. Beberapa
ketentuan pidana tersebut antara lain sebagai berikut:
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)
sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan
dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah lapangan
pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang tersedia
adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka
kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah.
Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara
maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat
menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa
melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama
upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang
dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja
meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh
perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
Secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan
inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP. Rajagukguk, 2000,
hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu
adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya.
Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian
yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan
kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang
diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan
kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi
silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja
terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)
Dari uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk
perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan
karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang dapat
dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Sebelum membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan
kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu ”Hubungan
antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan,upah dan perintah”.
Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu
suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan
menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk
mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung
arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan
pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
Hubungan kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam
hubungan kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh
berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang
yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain;
b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk
lain.
Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan kerja
diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan
kesejahteraan pekerja. Untuk itu, para pengusaha dalam menghadapi para pekerja
hendaknya :
Pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan
usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial
dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil bagi
si pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. PHK
harus diupayakan untuk dicegah.
1. Menurutnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor
misalnya :
a. Merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
b. Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang
bersangkutan.
c. Menurunnya persediaan bahan dasar.
d. Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran
dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung
mengakibatkan kerugian.
2. Merosotnya penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan
kerugian pula.
3. Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau
imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
4. Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan
karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim,
1987, hal. 15)
Alasan lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :
Apabila PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari
terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang
penghargaan masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian
hak.
Ketentuan uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun
2003 yaitu :
a. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
b. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
c. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
d. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
e. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
f. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
g. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
h. Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
Berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan
pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
Syarat pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan
maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal
bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal 158
ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa
pekerja telah melakukan kesalahan berat.
Syarat yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan
bahwa ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal
pada saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam
bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum
sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk
tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri (dalam arti tidak
dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di dalam praktek). Tentunya pembuatan
surat pernyataan pengakuan telah melakukan salah satu dari perbuatan yang termasuk
dalam kriteria kesalahan berat itu harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam
keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun
dari pihak personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.
Syarat yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh
pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh sekurang-
kurangnya dua orang saksi. Syarat ketiga ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari
telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua. Syarat ketiga pada hakekatnya
memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.
Hal ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat
ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan
bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis). Dikatakan secra
penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif karena antara pasal 158
ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau
bukan dan.
Penggunaan kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat
yang berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu
tertulis dan.
Kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat
dipahami. Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13
Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat
akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di pintu
keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan tanpa alas hak
yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat pertama yaitu pekerja
telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat kedua dan ketiga maka A saat itu
juga dapat diPHK secara sepihak. Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil
barang milik perusahaan. Atau karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan
A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan
itu. Begitu juga apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi
mau membuat surat pengakuan bahwa ia telah mencuri.
Sebagai bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU
No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan tegas menetapkan
bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan
izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003,
yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan
kesalahan berat.
Apabila pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat maka pekerja
itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4) Undang-
Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud dalam pasal 156 ayat (4)
Bagi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak
sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan
pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Ketentuan uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini
Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari
para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini
dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera
merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama
dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah itu
dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh Kasus
A bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan satu juta. Masa kerja A
bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A tertangkap tangan
telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A harus di PHK karena
melakukan kesalahan berat.
Adapun hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah uang penggantian hak yang
sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah
berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
Dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima
uang pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu
penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi
A mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan
berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima
(misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya atau ongkos pulang
untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima
bekerja ;
Keseluruhan hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat
yang dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang benar.
Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161
ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian
perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 lembaga
yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat dilakukan upaya
administratif atau upaya perdata.
Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah
pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Menteri
Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada pertimbangan
keamanan dan stabilitas nasional.
Apabila diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak
dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke
Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
Upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha
dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum
dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara
perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan
pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian
itu, mengganti kerugian tersebut”.
Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai
kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara
mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi
dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke pengadilan
hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka kesepakatan
dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi dan harus
didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan
pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila
mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004
yaitu :
VI Kesimpulan
Apabila hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan
upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang
didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker diteruskan
ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat eksekusi di Pengadilan
Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke PTTUN atau cara lainnya
dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW.
DAFTAR BACAAN
Asikin, Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Asri Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif Hukum,
Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2 no. 2.
-------, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum Ketenagakerjaan, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Bruggink, JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Djumadi, 1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Perkasa, Banjarmasin.
Djumialdji, FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, PT. Bina
Aksara, Jakarta.
Halim, A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta.
Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta.
Iman Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994, Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra, G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta.
-------, 1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung.
Kartasapoetra, G, dan Widianingsih, G, Rience, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung.
Philipus M Hadjon, 1994, “ Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah disampaikan pada
symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII,
Universitas Airlangga, 3 November 1994
Rajagukguk, HP., 2000, “Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination), makalah
disampaikan pada orasi dan panel diskusi tanggal 20 September 2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta.
Sandjun H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta
Sukarno, 1982, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bandung.
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah PHK dan Pemogokan, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Toha, Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6,
TLN No. 4356).
Burgerlijk Wetboek..
Adikusuma, S. 1992, Kamus lengkap populer, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Indonesia belum menciptakan pekerjaan yang baik dalam jumlah memadai agar para
pekerja dapat merasakan sepenuhnya manfaat pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan. Pekerjaan adalah salah satu dari sedikit aset yang dimiliki kalangan
miskin. Jika mereka memperoleh pekerjaan yang baik, maka mereka akan
berkesempatan mendapatkan penghasilan yang cukup untuk keluar dari kemiskinan.
Sayangnya, Indonesia mengalami jobless growth yang signifi kan dari tahun 1999
sampai 2003, hal lain yang juga memberikan kontribusi terhadap keadaan saat ini,
adalah dari 104,5 juta populasi Indonesia yang bekerja, mayoritas masih bekerja di
sektor informal dan pertanian (Gambar 1).
Setelah memperoleh mandat politik yang baru, pemerintah saat ini berkesempatan
untuk memecah kebuntuan reformasi kebijakan ketenagakerjaan yang saat ini
merugikan pekerja dan pemberi kerja. Kebijakan dan program ketenagakerjaan
Indonesia dapat dirancang dengan lebih baik untuk mendorong
pertumbuhan lapangan kerja, sekaligus melindungi pekerja yang rentan. Pemerintah
baru berkesempatan menggunakan waktu lima tahun ke depan untuk memperkenalkan
kebijakan dan program baru yang menguntungkan pekerja dan pemberi kerja, terfokus
pada empat prioritas berikut ini. Yang pertama, menegosiasikan kesepakatan besar
mengenai reformasi peraturan. Kebuntuan reformasi pesangon saat ini telah merusak
daya saing pasar tenaga kerja Indonesia dan hanya menawarkan sedikit perlindungan
bagi sebagian besar pekerja. Perlu diupayakan pemecahan yang “sama-sama untung”
dengan menyederhanakan dan mengurangi tingkat pesangon yang terlalu tinggi, dan
pada saat yang bersamaan, memberikan tunjangan pengangguran untuk melindungi
pekerja formal dengan lebih efektif.
Sistem tunjangan pengangguran adalah komponen inti dari sistem Jaminan Sosial
Nasional di masa depan, sebuah institusi kunci di banyak negara lain yang
berpenghasilan menengah.
Yang ketiga, meluncurkan program tenaga kerja aktif yang dirancang untuk melindungi
mereka yang paling rentan. Para pekerja sering menjadi korban dalam guncangan,
seperti yang terjadi ketika krisis keuangan 1997. Tanpa adanya jaring pengaman, para
pekerja umumnya bertahan dengan mencari kerja di sektor informal dan pertanian.
Ancaman krisis keuangan global baru-baru ini telah menyoroti betapa perlunya
Indonesia mempersiapkan diri dengan lebih baik untuk menghadapi guncangan di
masa depan. Indonesia dapat bersiap menghadapi guncangan lapangan kerja dan upah
di masa depan dengan memperkenalkan program jaring pengaman tenaga kerja demi
melindungi pekerja yang paling rentan. Persiapan dapat diawali dengan pekerjaan
umum yang merupakan jaring pengaman penting yang dapat dipakai secara efektif
untuk menargetkan pekerja miskin dan berupah rendah.
BAB I
PENDAHULUAN
Tenaga Kesehatan (Nakes) merupakan salah satu asset yang sangat berharga yang dimiliki oleh
sebuah rumah sakit yang merupakan pelaksana pelayanan terhadap pasien. Misalnya dokter, perawat,
bidan, radiografer, fisioterapis, analis, apoteker, ahli gizi, dan lainnya. Seperti halnya karyawan/ buruh
bagi sebuah perusahaan yang merupakan roda utama penggerak produksi dalam menghasilkan
keuntungan yang besar. Tanpa mereka proses produksi tidak akan berjalan meski telah dilengkapi
dengan mesin-mesin canggih. Karyawan/ buruh yang tidak proporsional dalam kualitas dan kuantitas
juga akan menyebabkan produksi menjadi tidak optimal. Begitu besar peranan karyawan / buruh bagi
perusahaan sehingga layak bagi mereka untuk mendapatkan apresiasi penuh atas peran dan kinerja
mereka.
Begitu juga dengan peran Nakes bagi sebuah Rumah Sakit. Apa yang terjadi jika dalam sebuah
Rumah Sakit terjadi ketidakseimbangan antara Nakes dengan pasien, baik dari segi kualitas dan
kuantitas banyak hal buruk yang bisa terjadi? Dari segi kualitas misalnya lamanya proses penanganan,
pengobatan dan penyembuhan terhadap penyakit pasien. Bahkan tidak menutup kemungkinan dapat
terjadi malpraktik. Dari segi kuantitas yang tidak seimbang antara jumlah Nakes dengan banyaknya
pasien akan menyebabkan beban kerja yang sangat tinggi yang melebihi batas kemampuan Nakes
1996, tentang Tenaga Kesehatan, secara tegas telah diatur profesi kesehatan masyarakat. Untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan
penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemuliahan kesehatan (rehabilitatif) yang diselenggarakan secara
Tenaga kesehatan yang secara syah mempunyai kualifikasi sesuai dengan bidangnya adalah
tenaga medis, keperawatan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, gizi, keterapian fisik, keteknisian
Secara teoritis bahwa profesi kesehatan masyarakat sejajar dengan tenaga kesehatan lainnya,
seperti medis, perawat, dan lain-lain. Namun keberadaan profesi kesehatan masyarakat di tengah-
tengah masyarakat belum bayak diperhitungkan (baik sektor pemerintah maupun swasta).
1.2 Permasalahan
Jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi. Berdasarkan Health System
Performance Assessment 2004, rata-rata jumlah dokter per 100.000 penduduk di Indonesia adalah 15,5
dan sekitar 60-70% dokter tersebut bertugas di Pulau Jawa. Sekitar dua per tiga dari jumlah provinsi
mempunyai rasio dokter dibawah rata-rata nasional, terendah di Maluku (7,0), sedangkan tertinggi di
DKI (70,8). Rata-rata bidan per 100.000 penduduk di Indonesia sebesar 32,3, terendah di Provinsi
Maluku (17,5). Sedangkan rasio perawat dengan penduduk adalah 108 per 100.000 penduduk. Sebagian
besar tenaga dokter (69%) bekerja disektor pemerintah. (Depkes, 2005) Kebijakan penempatan tenaga
kesehatan dengan sistem pegawai tidak tetap (PTT) yang dilaksanakan pada tahun 90-an belum mampu
menempatkan tenaga kesehatan (dokter umum, dokter gizi, dan bidan) secara merata terutama di
daerah terpencil.
Pada tahun 2003 sekitar 10,6 % Puskesmas tidak memiliki tenaga dokter. Begitu pula halnya
dengan tenaga perawat dan bidan. Kompetensi tenaga kesehatan belum sesuai dengan kompetensi
yang diharapakan apalagi jika dibandingkan dengan standar internasional. Susenas 2001, misalnya,
menemukan sekitar 23,2% masyarakat yang bertempat tinggal di Pulau Jawa dan Bali menyatakan
tidak/kurang puas terhadap pelayanan rawat jalan yang diselenggarakan oleh rumah sakit pemerintah.
Sistem penghargaan dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan dan pelatihan, sistem sertifikasi,
meningkatkan profesionalisme tenaga kesehatan belum berjalan dengan baik. Dalam sistem pelayanan
strata pertama. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat
tiga fungsi utama puskesmas yaitu sebagai: (1) pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan,
(2) pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan (3) pusat pelayanan tingkat dasar.
Susenas 2004, menunjukkan fasilitas kesehatan yang relatif banyak dimanfaatkan penduduk
untuk berobat jalan adalah Puskesmas/Pustu (37,26 %), praktek dokter (24,39%) dan praktek petugas
praktek petugas kesehatan (23,42%) (BPS, 2004). Pada umumnya, sebagian besar pengguna Puskesmas
adalah penduduk miskin, sedangkan pengguna Rumah Sakit adalah penduduk mampu. Puskesmas yang
berada di daerah tertinggal sering mengalami kekurangan berbagai jenis tenaga. Sebagai implikasinya,
selain kemampuan masyarakat yang kurang karena kemiskinan, pelayanan yang diperoleh juga krang
peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas. Paling tidak terdapat
tiga kebijakan RPJM yang fokusnya berkaitan dengan peningkatan pelayanan di Puskesmas dan
ketenagaan kesehatan upaya yaitu: 1) peningkatan jumlah jaringan dan kualitas Puskesmas; 2)
peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga medis; dan 3) pengembangan jaminan kesehatan bagi
penduduk miskin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tenaga kesehatan adalah semua orang yang bekerja secara aktif dan profesional dibidang
kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal kesehatan maupun tidak, yang untuk jenis tertentu
memerlukan kewenangan dalam melakukan upaya kesehatan. Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN),
tenaga kesehatan merupakan pokok dari subsistem SDM kesehatan, yaitu tatanan yang menghimpun
berbagai upaya perencanaan, pendidikan dan pelatihan, serta pendayagunaan kesehatan secara terpadu
dan saling mendukung, guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya. Unsur utama dari subsistem ini adalah perencanaan, pendidikan dan pelatihan, dan
Yang dimaksud dengan perencanaan tenaga kesehatan adalah upaya penetapan jenis, jumlah,
dan kualifikasi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.(Depkes, 2004).
Perencanaan tenaga kesehatan diatur melalui PP No.32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Dalam
Peraturan Pemerintah ini dinyatakan antar lain bahwa pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan
dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi masyarakat. Perencanaan
nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang dibutuhkan, sarana
kesehatan, serta jenis dan jumlah yang sesuai. Perencanaan nasional tenaga kesehatan ditetapkan oleh
Menteri Kesehatan.
Sebagai turunan dari PP tersebut, telah diterbitkan beberapa Keputusan Menteri Kesehatan
mengatur tentang kebijakan perencanaan tenaga kesehatan untuk meningkatkan kemampuan para
perencanan pemerintah, masyarakat dan semua profesi disemua tingkatan. Kepmenkes No.
81/Menkes/SK/I/2004 Tahun 2004 (Depkes, 2004) antara lain mengatur tentang pedoman penyusunan
perencanaan sumberdaya kesehatan ditingkat provinsi, kabupaten/kota, serta rumah sakit. Pada
Kepmenkes tersebut disediakan pula menu tentang metode perencanaan tenaga kesehatan untuk
Dalam hal perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan terdapat empat metoda penyusunan yang
1. Health Need Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas
2. Health Service Demand, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas
3. Health Service Target Method yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan atas
sarana pelayanan kesehatan yang ditetapkan, misalnya Puskesmas, dan Rumah Sakit.
4. Ratios Method, yaitu perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan yang didasarkan pada standar/rasio
Dalam prakteknya di Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan Ratios Method dengan
1. Menentukan/memperkirakan rasio terhadap suatu nilai, misalnya rasio tenaga kesehatan dengan
3. Menghitung perkiraan, yaitu dengan cara membagi nilai proyeksi dengan rasio. Contoh, ratio tenaga
kesehatan: tempat tidur di RS, di Indonesia, misalnya 1:5000, di India 1: 2000, di Amerika 1:500 (Suseno,
2005)
Dari analisis perencanaan kebutuhan tenaga, secara umum dapat dikatakan tenaga kesehatan di
Indonesia baik dari segi jumlah, jenis, kualifikasi, dan mutu dan penyebarannya masih belum memadai.
Beberapa jenis tenaga kesehatan yang baru masih diperlukan pengaturannya. Beberapa jenis tenaga
kesehatan masih tergolong langka, dalam arti kebutuhannya besar tetapi jumlah tenaganya kurang
Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga kesehatan sesuai
jenis, jumlah dan kualifikasi yang telah direncanakan serta peningkatan kemampuan sesuai dengan
Berdasarkan PP No.32 Tahun 1996 dan Kepmenkes No.1192 Tahun 2004 (Depkes, 2004)
4. Gizi
6. Keteknisan Medis meliputi SMAK, Analis Kesehatan, Teknik Gigi, Ortotik Prostetik, Teknik Elektro Medik,
Teknik Radiologi, Pendidikan Teknologi Transfusi Darah, Perekam dan Informatika Kesehatan, dan
Kardiovaksuler.
Jumlah Institusi pendidikan tenaga kesehatan seluruhnya 846 terdiri atas 199 Politeknik
Kesehatan (Poltekes) dan 647 non Poltekes. Distribusi institusi pendidikan tenaga kesehatan
berdasarkan kelompok jenis tenaga kesehatan dapat dilihat pada Tabel 3.1 dibawah ini.
Tabel 2.1
Menurut kepemilikannya, 32 institusi milik pemerintah pusat, 102 milik pemerintah daerah, 34
milik TNI, dan bagian terbesar (511) adalah milik swasta. Pada tahun 2005 jumlah peserta didik
seluruhnya sebanyak 146.220 orang terdiri dari 36.387 peserta didik poltekes, dan 109.833 non
Poltekes.
Tujuan yang ingin dicapai oleh institusi pendidikan tenaga kesehatan adalah menghasilkan
Untuk mencapai tujuan tersebut maka dirumuskan empat strategi dasar yaitu:
Dalam hal peningkatan mutu lulusan tenaga kesehatan acuannya adalah PP No. 32
Tahun 1996 yang menetapkan bahwa tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan
keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan. Setiap
tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya juga berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
tenaga kesehatan.
Peningkatan mutu institusi pendidikan tenaga kesehatan diatur pada PP yang sama. Dalam PP ini
dinyatakan bahwa tenaga kesehatan dihasilkan melalui pendidikan di bidang kesehatan. Lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan di bidang kesehatan bisa pemerintah atau masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan di bidang kesehatan harus dilaksanakan berdasarkan izin sesuai dengan
bersama oleh Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan Nasional. Selanjutnya, izin
Beberapa isu yang perlu mendapat perhatian dalam pendidikan tenaga kesehatan antara lain:
1. Perencanan kebutuhan tenaga kesehatan dengan produksi lulusan yang dihasilkan belum serasi
3. Produksi lulusan belum sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh pengguna
4. Kebijakan dan pengelolaan antara Poltekes dan Non Poltekses belum sinkron
5. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah belum sepadan dengan
6. Perundangan antara yang dikeluarkan oleh Depkes dan Depdiknas belum selaras.
Penetapan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah berdampak
terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan oleh berbagai instansi diluar Depdiknas
tenaga kesehatan. Beberapa permasalahan klasik dalam pendayagunaan tenaga kesehatan antara lain:
1. Kurang serasinya antara kemampuan produksi dengan pendayagunaan
Dalam hal pendayagunaan dan penempatan tenaga dokter tercatat paling tidak tiga periode
perkenmbangan kebijakan. Pada periode tahun 1974-1992, tenaga medis harus melaksanakan
kewajiban sebagai tenaga Inpres, diangkat sebagai PNS dengan golongan kepangkatan III A atau dapat
ditugaskan sebagai tenaga medis di ABRI. Masa bakti untuk PNS Inpres selama 5 tahun di Jawa, dan 3
tahun di luar Jawa. Pada periode ini berhasil diangkat sekitar 8.300 tenaga dokter dan dokter gigi
dengan menggunakan formasi Inpres dan hampir semua Puskesmas terisi oleh tenaga dokter.
Periode 1992-2002 ditetapkan kebijakan zero growth personel. Dengan demikian hampir tidak
ada pengangkatan tenaga dokter baru. Sebagai gantinya pengangkatan tenaga medis dilakukan melalui
program pegawai tidak tetap (PTT) yang didasarkan atas Permenkes No.
1170.A/Menkes/Per/SK/VIII/1999. Masa bakti dokter PTT selama 2 sampai 3 tahun. Dalam periode ini
telah diangkat sebanyak 30.653 dokter dan 7.866 dokter gigi yang tersebar di seluruh tanah air. Pada
tahun 2002 terjadi beberapa permasalahan dalam penempatan dokter PTT yaitu:
Pada perode mulai tahun 2005 pengangkatan dokter dan dokter gigi PTT mempunyai ciri sebagai
berikut:
4. Rekrutmen, seleksi administratif berdasarkan IPK (Indeks Prestasi Kumulatif), domisili, tahun kelulusan
5. Diprioritaskan bagi dokter dan dokter gigi yang belum melaksanakan masa bakti
6. Dokter pasca PTT dapat diangkat kembali untuk provinsi yang kebutuhannya belum terpenuhi
7. Pengurangan lama masa bakti bagi daerah yang kurang diminati seperti daerah terpencil dan daerah
pemekaran.
Kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kompensasi gaji yang tidak cukup menarik
dan peminatan cenderung ke provinsi yang besar dan kaya (misalnya Jabar, Jateng, Kepulauan Riau, DI
Yogyakarta, dan Kaltim). Provinsi-provinsi di kawasan timur Indonesia pada umumnya kurang peminat
Dalam hal penempatan dokter spesialis, sampai dengan Desember 2004 jumlah dokter spesialis
(PNS) di seluruh wilayah Indonesia sebanyak 11.057 orang. Jumlah RS vertikal dan Daerah sebanyak 420
RS. Jumlah dokter spesialis yang bertugas di RS milik Pemerintah sebanyak 7.461 orang, terdapat
kekurangan sebanyak 3.868 orang. Rata-rata produksi dan penempatan tenaga dokter spesialis per
Sejak diterapkannya otonomi daerah, penempatan dokter spesialis harus terlebih dulu
ditawarkan melalui pejabat pembina kepegawaian (PP No.9 Tahun 2003). Pada akhir tahun 1999
diberlakukan kebijakan penundaan masa bakti bagi dokter spesialis yang langsung diterima pendidikan
spesialis. Dengan adanya pengurangan masa bakti bagi dokter spesialis bagi daerah tertentu, misalnya di
Tenaga kesehatan lainnya yang cukup penting adalah bidan, sebagai tenaga yang diharapkan
berperan dalam penurunan angka kematian bayi dan kematian ibu melahirkan. Seperti halnya dengan
dokter, pengangkatan tenaga bidan menggunakan sistem PTT dengan karakteristik kebijakan sebagai
berikut:
2. Penugasan dapat diperpanjang dua kali di desa yang sama dan dimungkinkan untuk diangkat kembali
Sampai dengan bulan April 2005 keberadaan Bidan PTT di seluruh tanah air sebanyak 32.470
orang, berarti kurang dari 50 % dari jumlah desa. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan Bidan
PTT antara lain pada umumnya mereka berharap dapat diangkat sebagai PNS (peningkatan status),
kompensasi gaji relatif tidak memadai, dan besaran gaji antara daerah terpencil dengan sangat terpencil
Pembinaan dan pengawasan praktik profesi tenaga kesehatan belum terlaksana dengan baik.
Pada masa mendatang, pembinaan dan pengawasan tersebut dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji
kompetensi, dan pemberian lisensi. Sertifikasi dilakukan oleh institusi pendidikan, registrasi dilakukan
oleh komite registrasi tenaga kesehatn, uji kompetensi dilakukan oleh setiap organisasi profesi,
sedangkan pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah. Pengaturan ini memerlukan dukungan
peraturan perundangan yang kuat. Sampai saat ini baru profesi kedokteran yang sudah memiliki UU
Praktik Kedokteran.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.1 Perencanaan
Kebijakan perencanaan tenaga kesehatan secara nasional antara lain diatur dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Dalam PP tersebut antara lain
dinyatakan:
1. Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan jenis pelayanan yang
dibutuhkan, sarana kesehatan, jenis dan jumlah yang sesuai (pasal 6 ayat 3);
2. Perencanaan nasional tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
di Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Rumah Sakit. Tujuan pedoman ini adalah untuk membantu
daerah dalam mewujudkan rencana penyediaan dan kebutuhan SDM Kesehatan dengan prosedur
penyusunan rencana kebutuhan SDM kesehatan pada tingkat institusi (misalnya Poliklinik, Puskesmas,
Rumah Sakit); tingkat wilayah (misalnya Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota); dan dalam kondisi
bencana (pada saat prabencana, terjadi bencana, dan pasca bencana). Adapun prinsip dasar
1. Disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global;
2. Pendayagunaan SDM-Kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh
3. Penyusunan Perencanaan didasarkan pada sasaran upaya kesehatan nasional dan Rencana
4. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM Kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode dengan
Selain 4 Metode dasar yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu Health Need Method, Health
Service Demand, Health Service Target Method, dan Ratios Metho; metode lain yang merupakan
pengembangan dari ke-4 model tersebut, adalah Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai atau
DSP); WISN (Work Load Indicator Staff Need) atau Indikator Kebutuhan tenaga berdasarkan Beban Kerja;
Perencanan kebutuhan SDM kesehatan di tingkat institusi bisa di hitung dengan menggunakan
metode Authorized Staffing List (Daftar Susunan Pegawai – DSP). Metode ini bisa digunakan di berbagai
unit kerja seperti rumah sakit, puskesmas dan lain-lain. Prosedur perhitungan daftar Susunan Pegawai-
S = O/ 300 x N;
O = Output Puskesmas
Jika nilai S kurang dari 5 maka ada dua alternatif yang dapat ditempuh yaitu memindahkan tenaga
Puskesmas yang berlebihan ke Puskesmas yang membutuhkan atau meningkatkan output Puskesmas.
Bagi Puskesmas yang jumlah kunjungannya tinggi, tetapi jumlah tenaganya sedikit, jika tidak dapat
disediakan melalui pengangkatan PNS Daerah, dapat diatasi kekurangan tenaganya dengan sistem
2. Menentukan jenis tenaga. Untuk hal tersebut diperlukan struktur organisasi Puskesmas yang ditetapkan
oleh Pemerintah Daerah masing-masing dengan mengacu kepada SK Mendagri No. 23 Tahun 1994.
Dalam Kepmenkes tersebut telah diberikan beberapa contoh DSP Puskesmas dengan bermacam macam
b. Puskesmas di daerah perdesaan dengan penduduk sekitar 20.000 orang, diperlukan 25 tenaga.
Pada Kepmenkes tersebut, selain mengatur tentang jumlah tenaga yang dibutuhkan, diatur pula tentang
jenis berbagai tenaga kesehatan untuk setiap model DSP Puskesmas tersebut.
3.1.2 Pengadaan
Masalah utama yang dihadapi dalam pengadaan diantaranya melalui pengangkatan pegawai
baru adalah keterbatasan formasi. Sedangkan masalah berikutnya adalah keterbatasan dana, kemudian
di susul berturut-turut oleh masalah regulasi, peminat yang terbatas, lulusan yang terbatas dan lain-lain.
Biasanya masalah dalam pengadaan tenaga kesehatan banyak dialami oleh berbagai daerah di
kabupaten maupun kota. Berbagai upaya dilakukan oleh daerah untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kesehatan. Karena sebagian besar kabupaten/kota dihadapkan pada jumlah formasi yang terbatas,
pemerintah daerah kemudian mengajukan tambahan formasi berupa tenaga PTT ke Pemerintah Pusat.
Sebanyak 63% kab/kota mengusulkan kebutuhan tenaga kesehatan PTT (dokter umum, dokter gigi dan
bidan) ke pusat. Pengajuan PTT ke pemerintah pusat merupakan salah satu strategi dari pemerintah
daerah untuk meningkatkan jumlah tenaga kesehatan di daerahnya. Karenanya upaya ini dilanjutkan
3.1.3 Penempatan
Lebih dari separuh Dinas Kesehatan tidak menggunakan Pedoman Kepmenkes No 81/2004
untuk melakukan perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan. Sementara itu bagi daerah yang telah
mengikuti pedoman, metode yang paling banyak digunakan adalah Ratio Method.
Hal ini menunjukkan bahwa perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dilakukan dengan lebih
sederhana, yaitu dengan melihat jumlah puskemas yang tidak mempunyai tenaga dokter. Kalaupun
perencanaan dilakukan menggunakan metode sesuai Kepmenkes 81/2004, pada saat prakteknya
pengusulan tenaga dan penempatan menggunakan kriteria yang lebih sederhana yaitu kekurangan
Secara umum kebijakan tentang tenaga kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan kualitas
atau mutu, antara lain dapat dilihat pada Peraturan Pemerintah (PP) No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga
2. Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi
Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 2004, khususnya dalam Sub Sistem Sumberdaya
Manusia Kesehatan, antara lain dinyatakan bahwa: “pembinaan dan pengawasan praktek profesi
dilakukan melalui sertifikasi, registrasi, uji kompetensi, dan pemberian lisensi”. Institusi atau lembaga
yang melaksanakan kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: 1) Sertifikasi dilakukan oleh Institusi
Pendidikan; 2) Registrasi dilakukan oleh komite registrasi tenaga kesehatan; 3) Uji kompetensi dilakukan
oleh masing-masing organisasi profesi; dan 4) Pemberian lisensi dilakukan oleh pemerintah.
Pada umumnya peserta didik dari hasil pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan kesehatan
masih terbatas. Seringkali kemandirian, akuntabilitas dan daya saing tenaga tersebut masih lemah. Oleh
sebab itu, peningkatan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu tantangan yang
penting untuk dapat menjamin tersedianya tenaga kesehatan bermutu yang diperlukan. Hal tersebut
Salah satu upaya yang ditempuh Departemen Kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas
institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah
menerapkan standar dan melaksanakan akreditasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan. Secara
kumulatif sampai dengan September 2005, dari 642 institusi pendidikan tenaga yang tersebar di seluruh
Indonesia, sebanyak 464 institusi (72,3%) telah diakreditasi (Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, 2005).
dan kemampuan manajerial, adannya peluang untuk menduduki jabatan tertentu, adanya peluang
untuk tour of duty dan tour of area, serta pemberian insentif yang tepat.
Peningkatan kemampuan teknis selain dapat diperoleh melalui pendidikan formal, dan berbagai
pelatihan baik pelatihan teknis fungsional maupun pelatihan manajemen. Frekuensi pelatihan pertahun
yang paling banyak diikuti oleh Jenis pelatihan teknis fungsional yang diikuti antara lain mengenai
pelatihan keperawatan, imunisasi, penyakit menular, kesehatan reproduksi, KIA, sanitasi, dan gizi.
Puskesmas Pembantu (Pustu), pengadaan barang dan jasa, dan manajemen mutu. Dilihat dari frekwensi
pelatihan dapat diasumsikan bahwa kegiatan pembinaan karir melalui pelatihan relatif memadai. Begitu
pula halnya dengan jenis pelatihan yang dilakukan sudah menunjang tugas pelayanan kesehatan yang
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Tenaga kesehatan merupakan salah satu pilar atau sub sistem kesehatan nasional, yang sangat
penting artinya dalam upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Saat Indonesia masih
mengalami kekurangan tenaga kesehatan baik dalam hal jenis maupun jumlahnya. Hal ini semakin
diperburuk dengan distribusi tenaga kesehatan yang masih belum merata.Secara nasional dilihat dari
rasio terhadap jumlah penduduk, tenaga kesehatan di Indonesia masih belum mencukupi.
Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, rasio ini juga masih jauh tertinggal. Sebagian
besar tenaga kesehatan berlokasi di Jawa dan Bali, namun jika dilihat dari rasio per penduduk,
khususnya untuk tenaga dokter umum Rumah Sakit dan Puskesmas, distribusinya lebih menyebar. Tiga
provinsi dengan rasio tertinggi adalah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Bali. Sedangkan tiga
provinsi dengan rasio terendah adalah Jawa Barat, Banten, dan NTB.
Kebijakan nasional tentang tenaga kesehatan telah disusun dalam bentuk peraturan perundang-
undangan, meliputi aspek perencanaan kebutuhan, pengadaan, serta penempatan. Daerah juga telah
melakukan perencanaan untuk hampir semua jenis tenaga. Namun lebih dari separuh (52,6%)
perencanaan, dengan alas an utama kurangnya sosialisasi, terbatasnya data dan informasi, dan
terbatasnya kapasitas perencana. Pada kabupaten yang menggunakan pedoman dua metoda yang
paling banyak digunakan adalah Ratio Method dan Health Services Demand Method.
4.2 Saran
Untuk mengatasi berbagai kendala dalam perencanaan ketenagaan di daerah, pemerintah pusat
dan propinsi dapat membantu dalam sosialisasi metode perencanaan, peningkatan kapasitas perencana
dan pengumpulan data dan informasi. Pemerintah daerah perlu melakukan pembagian tugas yang jelas,
Perlu dimantapkan keterkaitan perencanaan, pengadaan dan penempatan tenaga agar tercapai
keserasian antara kebutuhan, pendayagunaan tenaga dan penyediaan tenaga, misalnya dengan
menajwab dua persamalah utama pengadaan tenaga kesehatan yaitu terbatasnya formasi dan
terbatasnya dana. Perlu dikembangkan sistem informasi tenaga kesehatan secara terpadu dan
menyeluruh dalam rangka memanfaatkan data ketenagaan untuk perencanaan kebutuhan dan
Hukum adalah keseluruhan peraturan yang mengatur dan menguasai manusia dalam kehidupan
bersama. Berkembang di dalam masyarakat dalam kehendak, merupakan sistem peraturan,
sistem asas-asas, mengandung pesan kultural karena tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat.
Adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hak dan kewajiban baik dari tenaga kesehatan dalam
melaksanakan upaya kesehatan maupun dari individu dan masyarakat yang menerima upaya
kesehatan tersebut dalam segala aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta
organisasi dan sarana.
Fungsi Hukum dalam pelayanan keperawatan
Informed Consent
Ada 3 hal yang menjadi hak mendasar dalam Menyatakan Persetujuan
Rencana Tindakan Medis yaitu hal untuk mendapatkan pelayanan kesehatan (the right to health
care), hak untuk mendapatkan informasi (the right to information), dan hak untuk ikut
menentukan (the right to determination)
2. Pasien berhak bertanya tentang hal-hal seputar rencana tindakan medis yang akan
diterimanya tersebut apabila informasi yang diberikan dirasakan masih belum jelas,
3. Pasien berhak meminta pendapat atau penjelasan dari dokter lain untuk memperjelas atau
membandingkan informasi tentang rencana tindakan medis yang akan dialaminya,
5. Semua informasi diatas sudah harus diterima pasien SEBELUM rencana tindakan medis
dilaksanakan. Pemberian informasi ini selayaknya bersifat obyektif, tidak memihak, dan tanpa
tekanan. Setelah menerima semua informasi tersebut, pasien seharusnya diberi waktu untuk
berfikir dan mempertimbangkan keputusannya.
2. Prosedur pelaksanaannya
6. Alternatif lain sebagai pengganti rencana tindakan medis itu, termasuk keuntungan dan
kerugian dari masing-masing alternatif tersebut
Jadi yang paling berhak untuk menentukan dan memberikan pernyataan persetujuan terhadap
rencana tindakan medis adalah pasien itu sendiri. Namun apabila pasien tersebut tidak memenuhi
3 kriteria tersebut diatas maka dia akan diwakili oleh wali keluarga atau wali hukumnya.
Untuk beberapa jenis tindakan medis yang berkaitan dengan kehidupan berpasangan sebagai
suami-istri. Misalnya tindakan terhadap organ reproduksi, KB, dan tindakan medis yang bisa
berpengaruh terhadap kemampuan seksual atau reproduksi dari pasien tersebut.
Proses pemberian informasi dan permintaan persetujuan rencana tindakan medis ini bisa saja
tidak dilaksanakan oleh dokter apabila situasi pasien tersebut dalam kondisi gawat darurat.
Dalam kondisi ini, dokter akan mendahulukan tindakan untuk penyelamatan nyawa pasien.
Prosedur penyelamatan nyawa ini tetap harus dilakukan sesuai dengan standar pelayanan /
prosedur medis yang berlaku disertai profesionalisme yang dijunjung tinggi.
Setelah masa kritis terlewati dan pasien sudah bisa berkomunikasi, maka pasien berhak untuk
mendapat informasi lengkap tentang tindakan medis yang sudah dialaminya tersebut.
Pelaksanaan informed consent ini semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya
yang sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan
medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar proferi kedokteran. Setiap kelalaian,
kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap
bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed consent tidak menjadikan tenaga medis kebal terhadap hukum atas kejadian yang
disebabkan karena kelalaiannya dalam melaksanakan tindakan medis.
1. UU yang berkaitan dengan Praktek keperawatan
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa pemerintah mengatur
kedudukan hukum, wewenang dan kesanggupan hukum.
UU ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi
dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana,
termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan
dokter, dokter gigi dan apoteker. Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat
diberikan kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung.
Pada pasal 2, ayat (3)dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah
wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3 tahun.
Yang perlu diperhatikan bahwa dalam UU ini, lagi posisi perawat dinyatakan sebagai tenaga
kerja pembantu bagi tenaga kesehatan akademis, sehingga dari aspek profesionalisasian, perawat
rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab terhadap pelayanannya sendiri.
Membedakan paramedis menjadi dua golongan yaitu paramedis keperawatan (temasuk bidan)
dan paramedis non keperawatan. Dari aspek hukum, suatu hal yang perlu dicatat disini bahwa
tenaga bidan tidak lagi terpisah tetapi juga termasuk katagori tenaga keperawatan.
Pemerintah membuat suatu pernyataan yang jelas perbedaan antara tenaga keperawaan dan
bidan. Bidan seperti halnya dokter, diijinkan mengadakan praktik swasta, sedangkan tenaga
keperawatan secara resmi tidak diijinkan. Peraturan ini boleh dikatakan kurang relevan atau adil
bagi profesi keperawatan. Kita ketahui negara lain perawat diijinkan membuka praktik swasta.
Dalam sistem ini dijelaskan bahwa tenaga keperawatan dapat naik jabatannya atau naik
pangkatnya setiap dua tahun bila memenuhi angka kredit tertentu.
Sistem ini menguntungkan perawat, karena dapat naik pangkatnya dan tidak tergantung kepada
pangkat/golongan atasannya
1. UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992, merupakan UU yang banyak memberi kesempatan bagi
perkembangan termasuk praktik keperawatan profesional karena dalam UU ini dinyatakan
tentang standar praktik, hak-hak pasien, kewenangan,maupun perlindungan hukum bagi profesi
kesehatan termasuk keperawatan.
2. Beberapa pernyataaan UU Kes. No. 23 Th. 1992 yang dapat dipakai sebagai acuan
pembuatan UU Praktik Keperawatan adalah :
3. Pasal 53 ayat 4 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak
pasien ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
5. Pasal 53 ayat 4 menyatakan tentang hak untuk mendapat perlindungan hukum bagi tenaga
kesehatan.
Pasal 46 Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit (UU RS) menentukan
"Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. ”
Pembentuk Undang-undang menganggap Pasal tersebut sudah cukup jelas. Padahal bila
dicermati lebih lanjut banyak hal yang masih memerlukan penjelasan, lima diantaranya adalah:
1. Apakah yang dimaksud dengan “yang mewakili rumah sakit dan siapa yang dapat
dituntut pertanggungjawabannya mewakili rumah sakit?
2. Apakah yang dimaksud dengan bertanggung jawab secara hukum?
3. Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian?
4. Apakah yang dimaksud dengan kelalaian?
5. Siapakah yang dimaksud dengan tenaga kesehatan di Rumah Sakit?
Karena UU RS tidak jelas menerangkan isi Pasal 46, maka jawaban atas keenam pertanyaan
tersebut dicari dalam doktrin hukum.
Untuk menjawab ‘siapa yang mewakili rumah sakit’, perlu pemahaman atas rumah sakit di
Indonesia beserta struktur organisasinya dan peraturan perundagan yang terkait lainnya.
UU RS Pasal 1 angka 1 menentukan bahwa rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inal, rawat jalan dan gawat darurat. Selanjutnya, UU ini membagi jenis rumah
sakit berdasarkan pengelola menjadi dua jenis yaitu rumah sakit publik dan rumah sakit privat.
Rumah Sakit Publik dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan badan hukum yang
bersifat nirlaba. Rumah Sakit Publik yang dikelola oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum
Daerah. Sedangkan Rumah sakit Privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang
berbentuk perseroan terbatas atau persero.
UU RS menetapkan organisasi rumah sakit. Sebagai sebuah institusi, setiap rumah sakit menurut
ketentuan Pasal 33 UU RS, harus memiliki organisasi yang efektif, efisien dan akuntabel yang
paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan
medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal
serta administrasi umum dan keuangan.
Yang dimaksud dengan kepala rumah sakit menurut Penjelasan Pasal 34 ayat (3) UU RS adalah
pimpinan tertinggi dengan jabatan direktur utama (chief executive officer) termasuk direktur
medis. Dengan demikian, yang mewakili rumah sakit secara hukum adalah kepala rumah sakit.
Untuk rumah sakit yang dikelola oleh pemerintah atau pemerintah daerah, tanggung jawab
dilaksanakan oleh pimpinan unit pelaksana teknis (UPT). Pimpinan UPT dalam hal ini adalah
kepala rumah sakit atau sebutan lainnya merupakan penanggung jawab organisasi dan penentu
kebijakan organisasi rumah sakit.
Bagi rumah sakit berbadan hukum perseroan, ketentuan ini sesuai dengan UU No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Pasal 98 ayat 1 UU PT menetapkan bahwa direksi
mewakili Perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Kewenangan direksi untuk
mewakili perseroan tidak terbatas dan tidak bersyarat, kecuali ditentukan lain dalam UU PT,
anggaran dasar atau keputusan rapat umum pemengang saham.
Sedangkan bagi rumah sakit berbadan hukum yayasan, menurut Pasal 35 ayat 1 UU No. 16
Tahun 2001 tentang Yayasan sebagaimana diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004, tanggung
jawab berada di tangan pengurus yayasan. Pengurus yayasan berhak mewakili yayasan baik di
dalam maupun luar pengadilan. Kecuali jika yayasan mendirikan badan usaha rumah sakit,
maka pertanggungjawabannya ada di tangan pengurus rumah sakit.
Rumah sakit adalah subyek hukum. Berarti, rumah sakit dapat melakukan hubungan hukum
dengan subyek hukum lainnya dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Karena itu rumah
sakit wajib menanggung segala konsekuensi hukum yang timbul sebagai akibat dari
perbuatannya atau perbuatan orang lain yang berada dalam tanggung jawabnya.
Tanggung jawab hukum tersebut meliputi tiga aspek yaitu hukum perdata, hukum administrasi
dan hukum pidana.
Dari sisi hukum perdata, pertanggungjawaban rumah sakit terkait dengan hubungan hukum yang
timbul antara pasien dengan rumah sakit dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Perdata
Merujuk pendapat Triana Ohoiwutun(2007:81), hubungan hukum ini menyangkut dua macam
perjanjian yaitu perjanjian perawatan dan perjanjian pelayanan medis. Perjanjian perawatan
adalah perjanjian antara rumah sakit untuk menyediakan perawatan dengan segala fasilitasnya
kepada pasen. Sedangkan perjanjian pelayanan medis adalah perjanjian antra rumah sakit dan
pasen untuk memberikan tindakan medis sesuai kebutuhan pasen.
Jika terjadi kesalahan dalam pelayanan kesehatan, maka menurut mekanisme hukum perdata
pihak pasien dapat menggugat dokter berdasarkan perbuatan melawan hukum. Sedangkan
gugatan terhadap rumah sakit dapat dilakukan berdasarkan wan prestasi (ingkar janji), di
samping perbuatan melawan hukum. ”
Administratif
Pertanggungjawaban rumah sakit dari aspek hukum administratif berkaitan dengan kewajiban
atau persyaratan administratif yang harus dipenuhi oleh rumah sakit khususnya untuk
mempekerjakan tenaga kesehatan di rumah sakit.
UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menentukan antara lain
kewajiban untuk memiliki kualifikasi minimum dan memiliki izin dari pemerintah untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan. Selain itu UU Kesehatan menentukan bahwa tenaga
kesehatan harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan dan standar prosedur operasional.
Jika rumah sakit tidak memenuhi kewajiban atau persyaratan administratif tersebut, maka
berdasarkan Pasal 46 UU RS, rumah sakit dapat dijatuhi sanksi administratif berupa teguran,
teguran tertulis, tidak diperpanjang izin operasional, dan/atau denda dan pencabutan izin.
Pidana
Pertanggungjawaban dari aspek hukum pidana terjadi jika kerugian yang ditimbulkan atas
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis di rumah sakit memenuhi tiga unsur. Ketuga unsur
tersebut adalah adanya kesalahan dan perbuatan melawan hukum serta unsur lainya yang
tercantum dalam ketentuan pidana yang bersangkutan.
Perlu dikemukakan bahwa dalam sistem hukum pidana kita, dalam hal tindak pidana dilakukan
oleh korporasi, maka pengurusnya dapat dikenakan pidana penjara dan denda. Sedangkan untuk
korporasi, dapat dijatuhi pidana denda dengan pemberatan.
3. Semua Kerugian
Apakah yang dimaksud dengan semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan di rumah sakit?
Dalam hukum perdata dibedakan antara kerugian yang dapat dituntut berdasarkan wanprestasi
dengan yang berdasarkan perbuatan melawan hukum.
Kerugian yang dapat dituntut atas dasar wanprestasi menurut Adami Chazawi (Malpraktek
Kedokteran 2007:69), ”hanyalahkerugian materiil atau kerugian kekayaan/kebendaan
(vermogenschade) atau kerugian yang dapat dinilai dengan uang. Sementara itu kerugian yang
dapat dituntut dengan alasan perbuatan melawan hukum selain kerugian kebendaan juga
kerugian idiil (immaterial) yang tidak bersifat kebendaan, namun dapat diperkirakan nilai
kebendaannya berdasarkan kelayakan. ”
Pasal 46 Undang-undang tentang Rumah Sakit menyatakan Rumah Sakit bertanggung jawab atas
“semua kerugian”artinya rumah sakit menanggung kerugian materiil maupun immaterial.
Selanjutnya, UU RS hanya mensyaratkan bahwa kerugian itu “ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit. Hal ini berarti, UU RS mensyaratkan adanya
hubunan kausal antara kerugian dengan kelalaian tenaga kesehatan di rumah sakit .
Hubungan kausal dalam hukum perdata digunakan untuk menentukan adanya kerugian sebagai
dasar untuk menuntut ganti kerugian kepada pihak yang bertanggung jawab. Sedangkan dalam
hukum pidana hubungan kausal tersebut sebagai syarat bagi terjadinya tindak pidana.
4. Kelalaian
Hal ini dapat dimaklumi. Ajaran tentang kelalaian (culpa) dalam doktrin hukum merupakan hal
yang sulit, karena menyangkut sikap batin si pelaku yakni sesuatu yang berada dalam pikiran si
pelaku.
Adami Chazawi menyimpulkan secara pokok adanya dua ajaran mengenai kealpaan yaitu culpa
subjektif dan culpa objektif (op cit:88).
Ajaran culpa subjektif bertitik tolak dari sayarat syarat subjektif pada diri si pelaku/pembuat.
Sedangkan ajaran culpa objektif meletakkan syarat lalai atas suatu perbuatan pada kewajaran
dan kebiasaan yang berlaku secara umum.
Sementara itu dari sisi hukum pidana , J Guwandi (Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bio-Etika,
2009:19) mengemukakan, ”kelalaian, di dalam literature disebut ”delicta ommissionis”atau
melanggar suatu peraturan pidana karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan
sehingga merugikan pasien. ”
Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 46 UU RS, ihwal kelalaian memang perlu dibahas secara
lebih mendalam agar penerapannya dalam praktek dapat memenuhi rasa keadilan semua pihak.
Pasal 46 UU RS membatasi tanggung jawab rumah sakit terhadap kerugian yang ditimbulkan
oleh tenaga kesehatan di rumah sakit. Jadi, pasal ini menekankan pada lokasi terjadinya
kelalaian, tidak mempertimbangkan hubungan kerja antara tenaga kesehatan dan rumah sakit.
UU RS tidak membedakan hubungan hukum antara rumah sakit dengan tenaga kesehatan
tersebut. Apakah hubungan hukumnya sebagai mitra atau menjadi pihak yang bekerja
sepenuhnya sebagai pegawai/karyawan rumah sakit? Undang-undang hanya menentukan bahwa
tenaga kesehatan yang bersangkutan memberi pelayanan kesehatan di rumah sakit. Semua
kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian mereka menjadi tanggung jawab rumah sakit.
Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan menurut pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan adalah ”setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau ketrampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangn untuk melakukan upaya kesehatan.
”
6. Tindak Lanjut
Tanggung jawab Rumah Sakit semakin berat. Risiko yang dipikul semakin besar. Karena itu
rumah sakit perlu lebih ketat melakukan seleksi dan penempatan tenaga kesehatan, serta
melakukan pembinaan dan pengawasan internal terhadap kinerja tenaga kesehatan di rumah sakit
yang bersangkutan.
Selain itu untuk menjaga hubungan yang harmonis antara rumah sakit dengan pasen dan tenaga
kesehatan, maka pimpinan rumah sakit harus menanamkan 3 norma moral yang temaktub dalam
“Hospital Patient’s Charter, 1979” yang telah diterima menjadi standar internasional. Ketiga
norma tersebut adalah menghormati pasen, standar profesi dan tanggung jawab sosial untuk
pelayanan kesehatan rumah sakit.
Dan yang terpenting, Pemerintah harus segera menetapkan peraturan pelaksanaan UU RS dan
UU Kesehatan serta standar-standar pelayanan untuk memberikan perlindungan kepada pasen,
tenaga kesehatan dan rumah sakit.