Anda di halaman 1dari 4

Tradisi Festival Perang Topat 2017 Hebohkan Lombok Barat

Anda bingung long weekend ke mana? bila anda berada di sekitar Lombok, Nusa Tenggara
Barat, arahkan Google maps anda ke Pura Lingsar, Lombok Barat. Ada ritual religi dan
budaya Festival Perang Topat 2017 digelar pada 3 Desember 2017.
Deputi Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Esthy Reko Astuti mengatakan,
Festival Perang Topat 2017 merupakan perang yang ingin memperkuat tali persaudaraan dan
silaturahmi antara umat Islam dan umat Hindu. Sejarah perang topat bermula saat kedatangan
umat Hindu dari Bali ke Lombok pada abad 16 yang sampai ke Desa Lingsar yang kala itu
sudah didiami umat muslim.
“Ini akan menjadi daya tarik yang menarik, terlebih event ini dekat dengan destinasi andalan
di Lombok seperti Mandalika. Tentunya akan menjadi atraksi sendiri bagi wisatawan yang
datang ke NTB,” ujar Esthy Reko Astuti di Jakarta, Sabtu 2 Desember 2017.
Tempat prosesi perang sendiri, lanjut Esthy,memiliki nilai sejarah sendiri. Pura Lingsar yang
terletak di Desa Lingsar, Kecamatan Narmada, Lombok Barat merupakan pura terbesar
sekaligus tertua di Lombok yang dibangun pada tahun 1714 oleh Raja Agung Ngurah
Karangasem dari Bali semasa kejayaan Kerajaan Karangasem.
“Pura Lingsar merupakan salah satu Cagar Budaya dari abad XVIII. Apresiasi yang tinggi
patut kita sampaikan kepada Pemerintah Kabupaten Lombok Barat, Tokoh Adat serta para
peserta yang turut berpartisipasi. Karena dengan adanya festival seperti ini tentu akan
semakin melestarikan dan mempromosikan Pura Lingsar ini," ucapnya.
Festival Perang Topat 2017 akan diawali prosesi adat setempat yakni pujawali, menurut
hitungan penanggalan Bali atau sekitar bulan Desember. Pujawali di pura-pura lain
dilaksanakan sepenuhnya oleh umat Bali. Lain halnya di Pura Lingsar, upacara ini dirangkai
dengan tradisi perang topat yang pelaksanaannya didominasi warga Suku Sasak bersama
dengan masyarakat Bali lainnya yang sudah hidup turun-temurun di Lombok.
Sehari sebelum Pujawali ada upacara panaek gawe atau permulaan kerja. Dilanjutkan dengan
acara mendak atau menjemput roh-roh gaib yang berkuasa di Gunung Rinjani dan Gunung
Agung, dan penyembelihan kerbau serta sesajian berupa 9 jajajan, buah-buahan, dan
minuman. Prosesi acaranya sendiri sudah berlangsung sejak 27 November 2017.
Usai umat Hindu melakukan ngaturang bakti dan ngelungsur amertha, prosesi perang topat
pun dimulai. Diawali dengan mengelilingi purwadaksina yang berada di areal Kemaliq. Para
tokoh Suku Sasak dan umat Hindu bergabung dalam prosesi ini yang dimeriahkan dengan
tarian batek baris dan kesenian gendang beleq.
Kepala Dinas Pariwisata Lombok Barat Ispan Junaidi menambahkan, Perang topat sendiri
akan mulai pada sore hari. Sekitar pukul lima bertepatan dengan gugurnya bunga pohon
waru. ‘Peluru’ yang digunakan dalam ‘peperangan’ ini bukan peluru senapan melainkan topat
atau ketupat yang sebelumnya menjadi sarana upacara lalu dilempar ke siapa saja tanpa
menimbulkan cedera. Saat berperang ada iringan bunyi-bunyian kul-kul atau kentongan.
“Ribuan orang akan hadir dalam acara tahunan ini. Pascaperang, ketupat yang dijadikan
peluru lalu dipungut dan dibawa pulang oleh warga. Ketupat itu merupakan sumber
kemakmuran bagi masyarakat,” katanya.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, kawasan lombok menjadi salah satu dari 10
destinasi wisata unggulan di Indonesia yang ditetapkan pemerintah pusat.
"Dari 10 destinasi wisata unggulan yang di tetapkan oleh pemerintah, di mana Kabupaten
Malang menjadi salah satu penyangganya KEK Mandalika," ujar Menpar Arief Yahya.
Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya menyampaikan pentingnya sebuah branding
daerah. Dia menyebutkan bahwa kabupaten Lombok Barat beruntung karena menjadi salah
satu dari 10 tujuan pariwisata unggulan nasional.
"Oleh karena itu penting untuk menangkap peluang tersebut, sehingga menjadi potensi
ekonomi yang besar. Selain itu juga penting menetapkan Kawasan Ekonomi Khusus
Pariwisata," kata Menpar Arief Yahya. (webtorial)
Umat Islam dan Hindu di Lombok Gelar 'Perang Topat'
Pemandangan tak biasa tampak di Pura dan Kemaliq Lingsar, Kabupaten Lombok Barat,
Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Ahad (3/12) sore. Umat Islam dan Hindu dari sejumlah
wilayah di Lombok Barat datang memenuhi area pura untuk berperang.
Begitu kedua kubu bertemu, aksi saling lempar tak terelakkan. Anak-anak hingga orang tua
larut dalam peperangan. Namun, tak ada darah, dan juga air mata.
Perang ini justru menimbulkan gelak tawa dan rasa gembira. Perang yang dikenal dengan
sebutan Perang Topat(ketupat) merupakan tradisi yang berlangsung turun-temurun dan masih
terjaga hingga kini.
Sesaat sebelum prosesi perang dimulai, sebagian massa mengambil tempat di halaman Pura
Gaduh, yang menjadi tempat persembahyangan umat Hindu. Sedangkan, sebagian lagi berada
di halaman depan bangunan Kemaliq, yang disakralkan bagi sebagian masyarakat umat
Islam.
Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin mengatakan, perang topat merupakan tradisi budaya
yang harus dilestarikan. Menurut Amin, Perang Topat merupakan wujud nyata toleransi
kerukunan umat beragama di Lombok. Amin menilai, tradisi Perang Topat juga memiliki
daya tarik bagi sektor pariwisata NTB.
"Perang yang tidak ada pernah ada rasa menang dan kalah. Ini event budaya yang terus kita
lestarikan dan kembangkan," kata Amin sesaat sebelum membuka prosesi Perang Topat.
Usai menyampaikan pembukaan, Amin langsung memberi aba-aba pertanda perang dimulai.
Tanpa ragu, Amin bersama Bupati Lombok Barat Fauzan Khalid mengawali prosesi perang
dengan melemparkan ketupat mini.
Begitu aba-aba perang dimulai, massa kedua kubu yang tampak sudah tidak sabar langsung
berebut ketupat dan melemparkannya ke arah lawan. Tak ada amarah, baik Umat Islam
maupun umat Hindu justru saling lepas tawa untuk saling membalas lemparan.
Tokoh Adat di Lingsar, Suparman, mengungkapkan, Perang Topat merupakan tradisi turun
temurun yang terus dijaga masyarakat Lingkar dalam menjaga kerukunan umat beragama.
Ia menerangkan, Kompleks Pura Lingsar merupakan sebuah Pura yang dibangun pada 1759
saat zaman Raja Anak Agung Gede Ngurah, keturunan Raja Karangasem Bali, yang sempat
berkuasa di sebagian pulau Lombok pada abad ke-17 silam.
Dalam pura ini, ada dua bangunan besar yakni Pura Gaduh sebagai tempat persembahyangan
umat Hindu, dan bangunan Kemaliq, yang disakralkan sebagian umat Muslim Sasak dan
masih digunakan untuk upacara-upacara ritual adat hingga kini.
Masyarakat Desa Lingsar, lanjut Suparman, selalu menggelar ritual Perang Topat pada hari
ke-15 bulan ke tujuh pada penanggalan Sasak Lombok, yang disebut purnama sasih kepitu
(Purnama bulan ketujuh), atau hari ke 15 bulan ke enam pada penanggalan Hindu Bali, yang
disebut purnama sasi kenem (Purnama bulan keenam).
"Pada malam purnama, umat Hindu akan melaksanakan upacara Pujawali. Sedangkan umat
muslim akan melakukan napak tilas memperingati jasa Raden Mas Sumilir, seorang penyiar
agama Islam dari Demak, Jawa Tengah, yang menyiarkan Islam di Lombok pada abad 15,"
Suparman mengisahkan.
Uniknya, masyarakat akan membawa sisa ketupat yang digunakan saling lempar untuk
ditaburkan di sawah. Salah satunya, warga Narmada, Lombok Barat, Syaviq Wahyudi, yang
sengaja membawa hasil ketupatnya untuk ia tanamkan di sawahnya.
Ia juga mengaku senang dengan acara Perang Topat. Menurutnya, acara ini terbukti mampu
merekatkan rasa persatuan antar umat beragama di Lombok
"Bagus juga tarik wisatawan, sekarang tambah ramai, dan bagus untuk kedua umat," ungkap
Suparman.

Anda mungkin juga menyukai