Tafsir al-Qur’an, baik dari segi produk penafsirannya maupun dari metode penafsirannya
telah mengalami perkembangan yang pesat, baik di Timur Tengah maupun di belahan dunia
Islam lain, seperti di Asia Tenggara. Perkembangan pemikiran tentang metodologi tafsir al-
Qur’an juga terjadi di berbagai belahan dunia Islam. Di anak benua India misalnya juga muncul
para pencetus metodologi tafsir al-Qur’an seperti Farahi, Ishlahi yang terkenal dengan analisis
struktur kalimat dan Fazlur Rahman dengan gerakan ganda dalam teori hermeneutikanya.
Perkembangan pemikiran metodologi tafsir al-Qur’an di Indonesia pada periode modern dan
kontemporer juga tidak kalah dibandingkan dengan perkembangan di negara-negara lain, baik
di Timur Tengah maupun Asia Tenggara.1
Mengenai makalah ini membahas pemetaan tren-tren yang berkembang dalam pemikiran
tentang metodologi tafsir al-Qur’an di Indonesia oleh dosen UIN Antasari Banjrmasin, Dr.
Wardani, M. Ag. Dalam karya beliau Trend Perkembangan Pemikiran Kontemporer:
Metodologi Tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Pemetaan tren-tren tersebut terbagi menjadi tiga
kelompok. Tren pemikiran tradisionalis-kritis yaitu, mengemukakan sumber-sumber khazanah
turats ulama terdahulu, namun mereka juga mencoba melakukan “klarifikasi kritis” dengan
mendudukkan tawaran-tawaran dari Barat seperti hermeneutika dan filsafat ilmu dalam
konteks tafsir al-Qur’an. Tren pemikiran rasionalis-monolitik yang mengusung satu
metodologi tafsir dari khazanah lama Islam sebagai tawaran utama, sedangkan unsur-unsur lain
sebagai penopang, sehingga berkarakter rasional, bahkan ada yang liberal. Sedangkan tren
rasionalis-eklektik, merupakan perpaduan kreatif antara khazanah Islam klasik dan unsur dari
pemikiran Barat kontemporer.
Adapun bentuk metodologi tafsir al-Qur’an yang ditawarkan oleh pemikir Indonesia ini
masih berkesinambungan dengan pemikir terdahulu. Mengenai kelemahan dan keunggulan
dari metode ini turut dimuat juga dalam beberapa pembahasan.
Pembahasan makalah ini masih sangat singkat karena fokus kami hanya pada pemetaan
metodologi tafsir di Indonesia. Tentu saja masih banyak yang perlu ditelaah lagi, lebih jelasnya
bisa dirujuk kepada bukunya.
1
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta,
2017), 2-6.
1|Page
PEMBAHASAN
A. Istilah Metodologi
Metode berasal dari bahasa Inggris method. Metode berbeda dengan metodologi, ada
pakar yang mengatakan bahwa metode adalah cara, prosedur, atau proses melakukan atau
dalam hal meneliti sesuatu. Sedangkan metodologi adalah ilmu tentang metode.2 Maka
pembahasan selanjutnya akan membahas tren pemikiran tentang metodologi tafsir di
Indonesia, yang dikelompokkan “tradisionalis-kritis”, “rasionalis-monolitik”, dan
rasionalis-eklektik”.
B. Tren Pemikiran Tradisionalis-Kritis
Munculnya tren pemikiran tafsir al-Qur’an berawal dari kelompok “tradisionalis-
kritis”. Kelompok ini menimba pemikiran metodologi tafsir yang mereka kemukakan dari
sumber-sumber khazanah turats ulama terdahulu, yang lebih banyak didominasi oleh
sumber-sumber riwayat. Sikap mereka terhadap pemikiran Barat, misalnya tentang
hermeneutika dan filsafat ilmu yang terkait dengan tafsir al-Qur’an memang agak beragam.
Namun, setidaknya mereka mencoba melakukan “klarifikasi kritis” dengan mendudukkan
tawaran-tawaran dari Barat tersebut dalam konteks tafsir al-Qur’an.3
2
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 11-12.
3
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 29.
4
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 189.
2|Page
Metode tafsir tematik yang dikenalkan oleh Quraish Shihab tidaklah orisinal dari
pemikiran beliau sendiri, melainkan semula dicetuskan oleh al-Sayyid al-Kummi, lalu
dikembangkan oleh ‘Abd al-Hayy al-Farmawi dan diterapkan oleh beberapa ulama,
salah satunya oleh Mahmud Syaltut dalam bentuk tafsir tematik persurah dalam
tafsirnya. Metode ini memiliki akar yang kuat dalam karya al-Biqa’i (w. 885 H/ 1480
M) Nazhm al-Durar yang dikaji oleh Quraish Shihab dan ditemukan juga dalam
Muhammad al-Tahir ibn Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir yang menjadi salah satu
rujukan Tafsir al-Misbah. Secara metodologis, Quraish Shihab dalam menemukan
tujuan dan tema-tema pokok surah mengadopsi dan mengembangkannya dari al-Biqa’i,
dan lebih aplikatif dari Mahmud Syaltut. Namun dalam penerapannya lebih mirip
dengan metode Farahi dan Ishlahi dalam menemukan pilar, yaitu dengan menandai
point-point tertentu di mana pergantian tema jenis tertentu muncul di dalamnya,
sehingga dapat membuat bagian-bagian untuk mengklasifikasi surah-surah. Bentuk
kongkretnya adalah membagi surah menjadi kelompok-kelompok ayat, misalnya 1-7,
8-16, 17-20 dengan masing-masing tema yang saling terkait dan berpusat pada ide
utamanya.5
Cara kerja metode tafsir yang diterapkan oleh Quraish Shihab memiliki kesamaan
dengan metode penulis-penulis lain, dan ide tentang tema sentral sebagai fokus awal
uraian ayat ditemukan pada Syaltut. Dari Syaltut, Quraish Shihab tidak hanya
mengambil model metode mawdhu’i, melainkan juga cara menjelaskan korelasi antar
ayat. Menurut Quraish Shihab, para ulama terdahulu menempuh salah satu di antara
tiga cara berikut dalam menjelaskan korelasi ayat al-Qur’an, yaitu:
a) Mengelompokkan sekian banyak ayat dalam satu kelompok tema-tema,
kemudian menjelaskan hubungannya dengan kelompok ayat-ayat berikut. Cara
ini ditempuh oleh penulis al-Manar dan al-Maraghi.
b) Menemukan tema sentral dari suatu surah, kemudian mengembalikan uraian
kelompok ayat-ayat kepada tema sentral itu. Cara ini dilakukan oleh Mahmut
Syaltut.
c) Menghubungkan ayat dengan ayat sebelumnya dengan menjelaskan
keserasiannya, seperti yang dilakukan oleh al-Biqa’i.
5
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 190-193.
3|Page
Menurut Quraish Shihab, setidaknya ditemukan ada enam bentuk korelasi dalam al-
Qur’an, yaitu:
6
Bandingkan dengan kutipan Arief Subhan dari sumber yang sama (Quraish Shihab) dalam Jurnal
Ulumul Qur’an, no. 5, vol. IV, tahunan 1993, suplemen, h. 12.
7
Langkah-langkah penafsiran Quraish Shihab tidak jauh berbeda dengan apa yang dicontohkan
oleh Mushthafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’I, h. 165-329.
4|Page
sabab al-nuzul, kesejarahan, maupun pendapat para mufasir serta sumber-
sumber lain.
g) Menjelaskan korelasi uraian awal surah dengan penutupnya.
Langkah kerja penafsiran yang diterapkan tentu saja tidak seketat dalam urutan ini,
melainkan lebih fleksibel, karena di tengah-tengah uraian tentang korelasi ayat, penulis
mengemukakan tinjauan-tinjauan, baik teologis, hukum etis, historis, sosiologis, atau
psikologis sesuai dengan kandungan ayat.8
8
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 197-198.
9
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 199.
10
Kegiatan untuk memperoleh pengalaman baru dari situasi yang baru. (KBBI edisi V)
11
Tujuan penelitian eksplanatif adalah untuk memberikan penjelasan mengapa sesuatu terjadi atau
menjawab pertanyaan “mengapa”.
5|Page
dalam kehidupan. Penelitian kedua, bisa disamakan sekarang dengan arah penelitian
yang menitikberatkan pada pemahaman yang berbasis simpati.12
Dari pembedaan itu, bisa menarik ke aspek aksiologis yang mendasari tafsir yang
dimaksudkanoleh Muin Salim. Dengan arah kajian eksploratif, beliau menempatkan
tafsir sebagai upaya pencarian ilmiah, karena al-Qur’an sebagai kitab suci yang otentik
dari tuhan, terbuka untuk dikaji baik dari pendekatan doktrinal (teologis, fiqih, moral)
maupun pendekatan ilmiah. kitab suci ini juga terbuka untuk didekati oleh Muslim
maupun non-Muslim. Dari pembedaan ini, bisa dipahami dari aspek aksiologis bahwa
tafsir sebagai kajian eksploratif memungkinkan penelitian yang lebih terbuka,
sedangkan tafsir sebagai kajian eksplanatif lebih menekankan penelitian dari dalam
yang bertolak dari kepentingan untuk memahami ajaran al-Qur’an.13
Pembahasan selanjutnya mengenai teknik-teknik interpretasi yang diuraikan oleh
Muin Salim dalam disertasinya Fiqih Siyasah: Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-
Qur’an, seluruhnya tidak ada unsur baru. Sebagian besar dari teknik-teknik interpretasi
tersebut dari substansinya telah dikenal dan bahkan telah lama dipraktekkan dalam
penafsiran al-Qur’an. Teknik-teknik interpretasi tersebut adalah interpretasi tekstual,
linguistik, logis, sistematis, dan kultural. Teknik ini telah dikenal dan dipraktekkan.
Ada tiga teknik interpretasi “baru” yang ditawarkan Muin Salim.14
a) Teknik interpretasi sosio-historis, yang disebut relatif baru dalam pengertian
tidak banyak ditawarkan oleh para pengkaji tafsir sebelumnya. Selama ini
teknik interpretasi ini lebih banyak dilakukan dengan data dari asbab al-nuzul
yang identik dengan riwayat. Kesadaran akan pentingnya data sejarah
masyarakat Arab, yang tidak terbatas pada asbab al-nuzul memang relatif baru.
Namun, beberapa intelektual Muslim telah melontarkan ide yang sama.
Misalnya, Fazlur Rahman menyatakan perlunya “latar belakang sosial dan
historis umum al-Qur’an”, “tidak sekedar sya’n an-nuzul (latar belakang
spesifik yang biasa disebut sabab al-nuzul). Data sejarah tersebut diperoleh dari
biografi Nabi Muhammad, hadits-hadits sejarah, dan data dari mufassir.15
12
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 199-200.
13
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 200.
14
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 203-204.
15
Lihat Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition
(Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 143.
6|Page
b) Teknik interpretasi teleologis, yang dikenal masih baru khususnya di Indonesia.
Teknik interpretasi ini menerapkan kaidah-kaidah fiqih yang keberlakuan
umumnya “universal” dan dengan mempertimbangkan hikmah di balik
perumusan hukum dalam al-Qur’an. Teknik interpretasi teleologis ini arahnya
hampir sama dengan istilah “tafsir maqashidi”. Hanya saja “tafsir maqashidi”
bukan sekedar kaidah fiqih melainkan maqashid al-syari’ah (tujuan-tujuan
luhur syari’ah), yaitu perlindungan terhadap agama, akal, harga diri, keturunan,
dan akal. Tujuan-tujuan ini bisa disejajarkan dengan hikmah yang dimaksudkan
oleh Muin Salim.
c) Teknik interpretasi kultural. Teknik ini dianggap sebagai kontribusi orisinal dari
Muin Salim. Kultural yang dimaksud ini adalah pengetahuan yang mapan
dimiliki oleh manusia. Sebagaimana yang telah diketahui bahwa “pengetahuan”
adalah bagian tertinggi dari aspek kultur yang diciptakan oleh manusia. Istilah
kultur yang beliau maksud setidaknya mencakup dua hal:16
1) Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui pengalaman biasa,
kemudian disimpulkan secara logis dan tidak bertentangan dengan al-
Qur’an. Contoh kasus yang berdasarkan riwayat dalam Musnad Ahmad
bin Hambal dan Sunan ‘Abi Dawud, bahwa ‘Amr bin al-Ash dalam
keadaan junub menjadi imam dalam shalat berjama’ah bersama
pasukannya. Dia tidak mandi junub, melainkan hanya bertayammum,
karena berdasarkan pemikirannya bahwa mandi dalam cuaca yang
sangat dingin sama saja dengan bunuh diri. Mengenai hal ini dilarang
berdasarkan surah an-Nisa ayat 29. Penafsiran ini kemudian diakui
keabsahannya oleh Nabi Muhammad. Sebenarnya, contoh ini tidaklah
tepat disebut contoh penafsiran, melainkan lebih tepatnya contoh
penerapan.
2) Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui pengalaman yang
dikumpulkan dan dianalisis secara sistematis melalui metode ilmiah.
Meski diperoleh dengan metode ilmiah, tingkat kebenaran temuannya
masih bersifat relatif. Maka menurutnya penggunaan teknik interpretasi
ini harus diterapkan dengan hati-hati. Contoh yang dikemukakan adalah
penafsiran Muhammad ‘Abduh terhadap kata “nafs wahidah” dalam
16
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 206.
7|Page
surah an-Nisa ayat 1 dengan “nenek moyang” sesuai dengan keyakinan
masing-masing ras manusia, bukan dengan “Adam” sebagai manusia
pertama yang menjadi nenek moyang semua manusia, sebagaimana
dipahami oleh mayoritas mufassir.
17
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 57.
8|Page
al-Qur’an” adalah pengenalan segala sesuatu yang berkaitan dengan al-Qur’an.
Pengetahuan tentang hal ini memang diperlukan oleh mufassir, namun tidak
secara khusus dibahas tentang syarat mufassir, sehingga tidak heran misalnya
tidak ditemukan syarat penguasaan. Semisalnya, sebagaimana yang disebutkan
oleh al-Suyuthi, ilmu ushul al-din, ilmu ushul al-fiqih, fiqh, dan bahasa arab,
nahwu, sharf, isytiqaq, ‘ilm al-ma’ani, ilm al-badi’, dan ‘ilm al-bayan. Syarat-
syarat yang menjamin profesionalitas dan kompetensi mufassir menjadi kabur
dalam skema rekonstruksi Nashruddin Baidan. Dalam ‘ulum al-Qur’an selama
ini, telah diatur syarat-syarat berupa ilmu-ilmu yang harus dikuasai dan syarat-
syarat integritas moral mufassir.
18
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 75-76.
19
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 79.
9|Page
Penawaran Dawam adalah agar surah al-Fatihah dijadikan sebagai paradigma tafsir
al-Qur’an. Menyatakan juga bahwa surah ini merupakan “induk al-Qur’an” dan
merupakan intisari keseluruhan kandungan al-Qur’an telah lama dikenal di kalangan
ulama dan kaum Muslim umumnya, karena memang dijelaskan dalam nash.
Menurutnya, surah al-Fatihah bisa dijadikan sebagai paradigma tafsir dalam pengertian,
bahwa kandungan bahwa kandungan surah ini yang memang layak disebut sebagai
“pembukaan” dan ayatnya juga muhkam. Sedangkan surah-surah lain merupakan
“batang tubuh” dan sebagian ayat-ayatnya bersifat mutasyabih. Hubungan antara ayat
yang muhkam dan mutasyabih diselesaikan dengan kaidah atau patokan “keharusan
merujuk ayat yang mutasyabih ke ayat-ayat yang muhkam”. Patokan ini sebenarnya
sudah lama diterapkan oleh para mufassir, termasuk dikalangan Mu’tazilah.
Implikasi dari patokan ini bahwa ayat-ayat al-Fatihah harus menjadi rujukan ayat-
ayat lain. Di sisi lain, hubungan antar pembukaan dan batang tubuh diatur dengan
ketentuan bahwa batang tubuh merupakan uraian, sehingga dia harus dirujuk ke
pembukaan. Beliau telah menjelaskan bagaimana cara kerja perujukkan ayat-ayat
batang tubuh itu ke ayat-ayat pembukaan dalam al-Fatihah. Misalnya melalui pelacakan
istilah kunci dalam al-Fatihah seperti rabb, rahman, dan rahim yang digunakan dalam
ayat-ayat yang terdapat dalam surah-surah lain dalam sebuah kerja metode tematik,
termasuk melacak perkembangan makna suatu kunci. Cara kerja perujukkan tersebut
dari karakternya bersifat rasional dan nalar penafsirlah yang berperan dalam
menghubungakan batang tubuh ke pembukaan. Metode ini masih bersifat wacana yang
dilontarkan.20
Orisinalitas yang ditawarkan oleh Dawam ini adalah menggunakan surah al-Fatihah
memang dahulu diketahui sebagai induk al-Qur’an, tapi dijadikan sebagai rujukan
penafsiran, yang diangkatnya sebagai paradigma penafsiran. Beliau sendiri menyatakan
bahwa perlu pembuktian dengan penelitian mendalam, asumsinya bahwa surah al-
Fatihah sebagai induk al-Qur’an itu bisa dijadikan sebagai paradigm tafsir. Di sisi lain,
Dawam secara sewenang-wenang menyebut ayat-ayat dalam al-Fatihah sebagi
muhkam, sedangkan ayat-ayat lain dalam surah-surah batang tubuh semuanya
mutasyabih.21
20
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 213-214.
21
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 214.
10 | P a g e
2. Djohan Effendi Tentang Struktur dan Sistematika al-Qur’an
Beliau lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan 1 Oktober 1939. Pendidikan
perguruan tinggi diperolehnya di Jurusan Tafsir Hadits pada Fakultas Syari’ah IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, dan lulus pada tahun 1969. Kemudian melanjutkan
program doktor di Australian National University dan lulus pada tahun 2001.22
Tawaran metodologi ini mirip dan berasal dari teman sejawatnya, Dawam Rahardjo
selama di Yogyakarta. Djohan Effendi memberikan tawaran melalui karya yang penting
baginya yaitu, Pesan-pesan al-Qur’an: Mencoba Mengerti Intisari Kitab Suci. Beliau
juga menawarkan metode dari khazanah intelektual lama Islam, melalui susunan surah-
surah al-Qur’an. Selama ini susunannya lebih banyak dikenal berdasarkan tartib al-
mushhaf, bukan susunan tartib al-nuzul. Djohan Effendi tetap mengikuti susunan
mushhaf, namun kemudian menjelaskan urutan-urutan logis surah-surah itu dalam
sebuah sistematika dan struktur. Menurutnya al-Qur’an memiliki 3 bagian, yaitu:
a) Pembukaan yang berfungsi sebagai prolog, yaitu surah al-Fatihah.
b) Batang tubuh yang terdiri dari 110 surah dari al-Baqarah hingga al-Lahab.
c) Penutup yang berfungsi sebagai epilog, yang terdiri dari 3 surah yaitu surah al-
Ikhlas, al-Falaq, dan al-Nas.23
Terlepas dari perdebatan, apakah susunan surah-surah al-Qur’an ini bersifat ijtihadi
atau tawqifi, menurutnya ada urutan logis antara surah dilihat dari tema-tema intisari
yang dibicarakan dalam surah ke surah.24
Djohan Effendi selangkah lebih maju dibanding Dawam Rahardjo. Beliau sudah
mengemukakan hal yang orisinal dengan menyusun sistematika dan struktur al-Qur’an
tersebut, sedangkan Dawam Rahardjo hanya mengadopsi pengetahuan lama bahwa al-
Fatihah memang sebagai induk al-Qur’an. Namun ada perbedaan mendasar lainnya.
Seperti logika Dawam Rahardjo, sistematika dan struktur al-Qur’an yang disusun oleh
Djohan Effendi seharusnya dijadikan sebagai paradigma yang dirujuk dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.
22
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 95-97.
23
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 99.
24
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 215.
11 | P a g e
syari’ah sebagai paradigm tafsir, pemikirannya tidak hanya dikategorikan rasional,
melainkan liberal. Semula beliau dididik lebih banyak dalam disiplin fiqh dan ushul al-
fiqh selama menjadi santri di pesantren dan selama menjadi pengajar di Ma’had ‘Ali
Situbondo. Kemudian di perguruan tinggi, beliau menaruh perhatian besar terhadap
tafsir. Latar belakang ini membawanya menawarkan maqashid al-syari’ah sebagai
paradigm tafsir dan menawarkan kaedah-kaedah ushul al-fiqh alternatif yang
disusunnya sendiri untuk menafsirkan al-Qur’an. Ada tiga kaedah yang ditawarkannya,
yaitu:
a) Al-‘Ibrah bi al-Maqashid, la bi al-Alfazh. Artinya yang menjadi patokan adalah
tujuan, bukan ungkapan kata.
b) Jawaz naskh al-Nushush (juz’iyyah) bi al-mashlahah. Artinya, kebolehan
menganulir nash-nash yang partikular dengan mashlahah
c) Tanqih al-Nushush bi ‘aql al-Mujtama’ yajuzu. Artinya, merevisi nash-nash
dengan akal publik boleh.
Patokan yang mendasari ketiga kaedah ini, bahwa mashlahah adalah tujuan puncak
syari’ah yang dituju oleh nash, sehingga mashlahah menjadi acuan atau laksana inti
pada sesuatu, sedangkan nash hanya kulitnya. 25
Semua kaidah yang dirancang oleh Moqsith Ghazali memang memiliki orisinalitas
yang tinggi. Meski terkesan bertolak dari pemikiran lama, beliau sebenarnya
menempatkan akal pada posisi yang sangat tinggi, sehingga melebihi otoritas teks.
Penjungkirbalikan yang dilakukannya adalah karena teks yang seharusnya ditempatkan
pada posisi pertama dan utama, justru ditempatkan di bawah akal. Dalam beragama,
kebenaran tidak selalu didapatkan dengan akal. Ada domain dimana akal tidak bisa
memberikan pertimbangan, kecuali dengan wahyu. Diskusi berkepanjangan dikalangan
filosof dan teolog Muslim tentang posisi akal, seperti untuk membuktikan keberadaan
tuhan, tanpa bantuan wahyu sudah cukup membuktikan bahwa akal memiliki sisi
kelemahan yang fatal.26
25
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 216.
26
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 218-219.
12 | P a g e
D. Tren Rasionalis-Eklektik
Kelompok ini menawarkan pemikiran tentang metodologi tafsir al-Qur’an yang dari
karakter cara kerjanya bersifat rasional. Metodologi tersebut merupakan hasil perpaduan
kreatif antara khazanah Islam klasik dan unsur dari pemikiran Barat kontemporer.
1. Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean dengan Tafsir Kontekstual al-
Qur’an
Taufik Adnan Amal lahir pada 12 Agustus 1962 di Bandung. Pendidikan S1
didapatkan di Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau mempunyai
banyak karya tulisan. Sedangkan Syamsu Rizal Panggabean lahir pada 31 Mei 1961 di
Tapanuli Selatan. Merupakan teman sejawat Taufik Adnan Amal di Fakultas Syari’ah
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka berdua bersama terlibat dalam diskusi-
diskusi intensif tentang tafsir al-Qur’an. Bahkan, diskusi tentang isu ini diikuti mereka
tidak hanya di Yogyakarta, melainkan juga di Surabaya dan Jakarta. Mereka berdua
menulis sebuah karya Tafsir Kontekstual al-Qur’an yang terbit pada tahun 1989.27
Metode tafsir kontekstual al-Qur’an yang mereka tawarkan terdiri dari delapan
prinsip penafsiran dan dua langkah penafsiran, untuk mewujudkan penafsiran yang
komprehensif, relevan dengan berbagai konteks zaman, dan tidak memaksakan gagasan
asing.28
a) Prinsip-prinsip Penafsiran
1) Al-Qur’an adalah dokumen untuk manusia.
2) Sebagai petunjuk yang jelas dan ditujukan kepada manusia.
3) Al-Qur’an diwahyukan dalam situasi kesejarahan yang kongkret.
4) Al-Qur’an harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan konteks sastranya.
5) Agar penafsiran al-Qur’an selaras dengan pandangan dunianya, penting
untuk memahami “konteks kesejarahan” dan “konteks sastra”.
6) Pemahaman akan tujuan al-Qur’an mutlak dibutuhkan dalam menafsirkan
al-Qur’an.
7) Pemahaman akan al-Qur’an dalam konteksnya sebagaimana yang diuraikan
dalam prinsip-prinsip di atas, akan menjadi kajian yang semata-mata
27
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 137-138.
28
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 142.
13 | P a g e
bersifat akademis-murni bila tidak diproyeksikan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kontemporer.
8) Tujuan-tujuan moral al-Qur’an sesungguhnya dapat dan harus menjadi
pedoman dalam memberikan penyelesaian terhadap problem-problem
sosial yang muncul di masyarakat.
b) Langkah-langkah penafsiran
1) Memahami al-Qur’an dalam konteks kesejarahan dan konteks sastra,
kemudian memproyeksikannya ke situasi masa kini. Upaya ini dilakukan
dengan dua langkah-langkah pokok:
(a) Memahami al-Qur’an dalam konteksnya, yang meliputi:
i. Menentukan tema atau istilah untuk dikaji sebagai kajian tafsir,
kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengannya.
Penentuan ayat-ayat dapat dilakukan dengan bantuan indeks.
ii. Mengkaji tema atau istilah tersebut dalam konteks kesejarahan masa
sebelum dan masa ketika turunnya al-Qur’an.
iii. Mengkaji respon al-Qur’an berkaitan dengan tema atau istilah
tersebut dengan menyusun ayat-ayat yang dibahas berdasarkan
kronologis turunnya.
iv. Mengaitkan pembahasan tentang tema atau istilah tersebut dengan
tema atau istilah lain yang relevan.
(b) Memproyeksikan pemahaman terhadap al-Qur’an berdasarkan
konteksnya, sebagaimana dalam langkah pertama ke situasi masa kini.
2) Memberikan solusi terhadap fenomena-fenomena sosial yang muncul
dengan mengacu terhadap tujuan-tujuan al-Qur’an. Upaya langkah ini
berusaha membawa realitas kekinian ke dalam naungan al-Qur’an. Langkah
ini ditempuh dengan dua langkah operasional berikut:
(a) Mengkaji secara cermat fenomena-fenomena sosial tersebut, yang
seharusnya dilakukan dengan perspektif keilmuan yang komprehensif.
Baik dari perspektif ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu-ilmu sosial,
bahkan, jika diperlukan melibatkan ilmuwan-ilmuwan lain.
14 | P a g e
(b) Menilai dan menangani fenomena tersebut berdasarkan tujuan-tujuan
moral al-Qur’an yang diperoleh melalui pemahaman terhadap al-Qur’an
dalam konteksnya.29
Karakter eklektik yang muncul adalah perpaduan beberapa unsur pemikiran yang
membentuknya oleh pemikiran Fazlur Rahman, seorang intelektual Muslim asal
Pakistan. Sangat memungkin bahwa tokoh ini paling banyak membentuk metode tafsir
kontekstual yang mereka tawarkan, karena Taufik Adnan sendiri menulis skripsi
tentang metode pemikiran hukum Fazlur Rahman. Kreativitas kedua penulis ini dengan
cara menggabungkan antara analisis konteks kesejarahan yang ditekankan oleh Fazlur
Rahman dengan analisis konteks sastra.30
29
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 142-154.
30
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 219-220.
31
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 158.
32
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 169-170.
15 | P a g e
Epistemologi atau lebih luasnya lagi filsafat ilmu, menurutnya mesti menjadi
kerangka berpikir yang mengarahkan kerja disiplin keilmuan, sehingga secara otomatis
pemikiran epistemologi ini tidak hanya bisa dijadikan sebagai “kerangka” untuk
membaca pemikiran epistemologi dalam Islam, melainkan juga bisa difungsionalkan
secara aktual untuk berbagai keperluan, termasuk dalam konteks penafsiran al-Qur’an.
a) Epistemologi bayani. Epistemologi ini mendominasi hampir semua kerja
keilmuan dalam Islam, karena sumbernya adalah teks atau nash.
b) Epistemologi ‘irfani. Menurutnya pola pikir ‘irfani lebih bisa merasakan dan
simpati terhadap keadaan orang lain. Hukum timbal-balik yang bersifat
universal, yang dianut oleh penganut pola pikir epistemologi ini menjadikan
mereka lebih bisa memahami keragaman, persatuan dalam perbedaan, toleran,
dan pluralis.
c) Epistemologi burhani. Epistemologi ini bersumber dari realitas, baik realitas
alam, sosial, kemanusiaan, maupun keagamaan.
Dengan tiga varian epistemologi yang berkembang dalam Islam selama ini, Amin
mencoba memfungsionalisasikannya untuk kepentingan penafsiran al-Qur’an. Point-
poin pemikirannya bisa dikemukakan sebagai berikut. 33
a) Dengan istilah “takwil ilmiah”, penafsiran yang dilakukan lebih mendalam,
tidak sekedar pemaknaan di permukaan ungkapan kebahasaan, melainkan
dengan memancang teks sebagai objek, dan itu artinya bahwa penafsir sebagai
subjek. Penafsiran berupaya secara hermeneutis “menegosiasikan” antara
berbagai aspek. Istilah “proses bernegosiasi” merujuk kepada pemahaman
Amin bahwa dalam hermeneutika, perlu negosiasi antara pengarang, teks, dan
pembaca.
b) Konsekuensi dari penerapan pendekatan hermeneutika adalah bentuk hubungan
antara tiga varian epistemologi tersebut berupa gerak melingkar.
c) Tujuan akhir model penafsiran seperti ini adalah tafsir yang berorientasi
humanistik-transformatif-emansipatoris. Orientasi tafsir seperti ini muncul dari
adanya proses negosiasi antara teks dengan konteks dan problem yang dihadapi
oleh manusia secara bersifat terbuka.
33
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 183-185.
16 | P a g e
Mengenai tawarannya tentang “takwil ilmiah” ini, ada dua unsur utama yang
membentuk pemikirannya ini.34
Salah satu keunggulan dari tawaran ini adalah mengurangi ketegangan penafsiran
yang hanya berbasis salah satu, baik hanya teks atau nash semata, nalar, atau intuisi.
Namun sebagai seorang yang dibesarkan dalam kajian filsafat, bukan tafsir al-Qur’an,
Amin Abdullah hanya mempertemukan ketiga epistemologi itu pada tingkat paradigma,
padahal masalah yang tidak kurang pentingnya adalah bagaimana menerapkan ketiga
epistemologi itu dalam suatu kerja metodologi tafsir yang utuh dan searah secara
praktis.35
34
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 221.
35
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia, 221-222.
17 | P a g e
KESIMPULAN
Metodologi tafsir di Indonesia ini memang banyak menyajikan berbagai varian. Ada yang
tren pemikirannya yang tradionalis namun juga masih kritis berpadu pemikiran Barat, hingga
berkarakter liberal. Pemikiran mereka tentu bukanlah murni dari pemikiran masing-masing,
namun masih juga mempertahankan pemikiran-pemikiran terdahulu. Tidak perlu memberikan
sikap kontra, karena cara pemikiran mereka seperti itu tentunya berdasarkan dari pengalaman
masing-masing, sesuai dari tokoh yang menginspirasinya. Justru dengan beragamnya
metodologi tafsir di Indonesia ini menunjukkan bahwa ada perkembangan di Tanah Air ini,
yang patut dibanggakan. Semakin berkembangnya zaman, tentunya akan menampilkan banyak
lagi para mufassir di Indonesia yang menjadi sebuah kajian, hingga bisa memperkaya keilmuan
pengetahuan kita.
18 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Wardani, Metodologi Tafsir al-Qur’an di Indonesia. Yogyakarta. Kurnia Kalam Semesta. 2017.
19 | P a g e