Anda di halaman 1dari 26

Pertemuan Ke-9 Tanggal: 3 November 2016

Materi : Tata Cara Perhitungan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan

Ni Nyoman Wahyu Suryani 1506305023 ( 09 )

Ketut Ita Diantari 1506305043 ( 17 )

Ni Luh Ayounik Mahasabha 1506305057 ( 23 )

Putu Rian Mahendra 1506305093 ( 33 )

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

TAHUN 2016
2.1 Penghasilan Neto PPh WP Badan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan penghasilan neto, dibuat
/disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil penelitian atau data lain, dan dengan
memperhatikan kewajaran. disempurnakan terus-menerus serta diterbitkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
a. tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap, atau
b. pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara tidak
benar.
Norma Penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
2.1.1 Syarat Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto
Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto
1. wajib menyelenggarakan pencatatan tentang peredaran brutonya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata
cara perpajakan. Pencatatan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan penerapan
norma dalam menghitung penghasilan neto
2. Memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 bulan pertama
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
3. Wajib Pajak memperoleh penghasilan bruto tidak melebihi jumlah sesuai ketentuan.
Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak bermaksud untuk menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak memberitahukannya kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.
Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, wajib menyelenggarakan
pencatatan, atau dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan, tetapi:
a) tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban pencatatan atau pembukuan;
atau
b) tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan sehingga mengakibatkan peredaran
bruto dan penghasilan neto yang sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto
Wajib Pajak yang bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau

1
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya dihitung dengan
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
2.1.2 UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Menurut UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
pasal 1 angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama dan
dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik, atau organisasi lainnya, lembaga dan
bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP, meliputi
pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan atau memiliki
kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah mendaftarkan diri untuk memperoleh
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan wajib pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk
apapun.
Penghasilan menurut UU Pajak Penghasilan adalah tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh WP, baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang
dapat dipakai untuk konsumsi maupun untuk menambah kekayaan yang bersangkutan dengan
nama dan dalam bentuk apapun.
Dalam menyusun penghasilan neto WP Badan kita harus mengetahui penghasilan bruto
dan beban apa saja yang dapat menambah atau menguranginya

2.2.Kompensasi Kerugian Fiskal


Dalam dunia usaha, keuntungan dan kerugian adalah dua hal yang biasa terjadi. Ada
kalanya sebuah usaha mengalami keuntungan dan ada kalanya juga sebuah usaha mengalami
kerugian. Dalam konteks Pajak Penghasilan, keuntungan yang diperoleh adalah objek Pajak
Penghasilan, sebaliknya kalau terjadi kerugian, maka Wajib Pajak tidak akan terkena Pajak
Penghasilan. Bahkan kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk
menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak

2
Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Nah, proses membawa
kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-tahun pajak berikutnya ini dinamakan
sebagai Kompensasi Kerugian (Carrying Loss).
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan
Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A UU Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 17 Tahun
2000.
Kompensasi kerugian adalah proses membawa kerugian dalam satu tahun pajak ke tahun-
tahun pajak berikutnya. Hai ini terjadi karena kerugian yang didapatkan dalam satu tahun pajak
dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-tahun berikutnya sehingga pada
tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilan nya menjadi lebih kecil atau tidak terutang sama sekali.
Kompensasi kerugian dalam Pajak Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang
Pajak Penghasilan. Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal
kompensasi kerugian ini adalah sebagai berikut:
a) Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial. Kerugian
atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-biaya yang telah
memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan.
b) Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara
berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian yang
tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.
c) Kompensasi kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang pribadi,
yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan PPh Final dan
perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma penghitungan.
d) Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan dari
dalam negeri.
Menurut pasal 6 ayat (2) UU PPh, apabila penghasilan bruto setelah dikurangi biaya-biaya
yang diperkenankan oleh UU PPh didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikurangkan
dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut dimulai sejak
tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.
Sesuai dengan Undang-Undang No.36 Tahun 2008 tetang Pajak Penghasilan, pengertian
dan ketentuan kompensasi kerugian fiskal adalah sebagai berikut:

3
a) Kerugian fiskal adalah kerugian fiskal berdasarkan ketetapan pajak yang telah
diterbitkan Direktur Jenderal Pajak serta kerugian fiskal berdasarkan SPT Tahunan PPh
Wajib Pajak (self assesment) dalam hal tidak ada atau belum diterbitkan ketetapan
pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
b) Kompensasi kerugian fiskal timbul apabila untuk tahun pajak sebelumnya terdapat
kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi ada kerugian
fiskal).
c) Kerugian Fiskal terjadi karena penghasilan bruto dikurangi dengan biaya (yang
diperbolehkan menurut ketentuan fiskal) hasilnya mengalami kerugian.
d) Kerugian Fiskal tersebut dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai tahun pajak
berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
e) Ketentuan jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal mulai berlaku tahun
2009 sedangkan untuk tahun pajak sebelumnya berlaku ketentuan Undang-undang
no.17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan.
f) Apabila kemudian ternyata berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan
menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian menurut SPT Tahunan
PPh atau hasil pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian fiskal menurut
SPT Tahunan PPh tersebut harus segera dibetulkan sesuai dengan ketentuan dan
prosedur pembetulan SPT sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Ketentuan
Umum Perpajakan.
Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak Orang Pribadi yang menggunakan pembukuan dan
penghasilan tidak termasuk penghasilan yang bersifat final dapat menghitung Kompensasi
kerugian sesuai ketentuan tersebut diatas sedangkan penggunaan norma penghitungan
penghasilan netto tidak diperkenankan.
Contoh
PT A dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp1.200.000.000,00 (satu
miliar dua ratus juta rupiah). Dalam 5 tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp200.000.000,00
2011 : rugi fiskal (Rp300.000.000,00)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L
2013 : laba fiskal Rp100.000.000,00
2014 : laba fiskal Rp800.000.000,00
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.200.000.000,00)

4
Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000,00 (+)
-------------------------------
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2011 (Rp 300.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 Rp NIHIL (+)
---------------------------------
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000,00 (+)
---------------------------------
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2014 Rp 800.000.000,00 (+)
----------------------------------
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 100.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) yang masih
tersisa pada akhir tahun 2014 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015,
sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)hanya
boleh dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka waktu
lima tahun yang dimulai sejak tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

Contoh 3
PT. XYZ berdiri pada tahun 2009. Pada Tahun Pajak 2016 Wajib Pajak memperoleh laba fiskal
sebesar Rp 10.000.000,00. Adapun keuntungan/kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya adalah
sebagai berikut :
2009 (30.000.000)
2010 (80.000.000)
2011 50.000.000
2012 5.000.000
2013 15.000.000
2014 (30.000.000)
2015 (40.000.000)

Berikut adalah pengisian ke formulir khusus 2A:

5
Tabel 1 Formulir Khusus 2A
Sumber: Data Diolah

Penjelasan:

1) Pada tahun 2009 rugi fiskal sebesar 30 juta, dapat dikompensasikan sampai dengan
tahun 2014. Pada tahun 2011 laba fiskal sebesar 50 juta maka dapat menutupi rugi pada
tahun 2009 sebesar 30 juta.
2) Pada tahun 2010 rugi fiskal sebesar 80 juta, dapat dikompensasikan sampai dengan
tahun 2015. Pada tahun 2011 laba fiskal sebesar 50 juta maka dapat menutupi rugi
sebesar 20 juta karena 30 juta sudah terpakai untuk menutupi rugi pada tahun 2009.
Pada tahun 2012 dan 2013 laba fiskal masing-masing sebesar 5 juta dan 15 juta, maka
dapat menutupi rugi pada tahun 2010.
3) Pada tahun 2014 rugi fiskal sebesar 30 juta tidak dapat dikompensasikan, karena sesuai
dengan PP No.46/2013 Pasal 8 bahwa kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat
dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
4) Pada tahun 2015 rugi fiskal sebesar 40 juta dan pada tahun 2016 laba fiskal sebesar 10
juta maka dapat menutupi rugi pada tahun 2015 sebesar 10 juta.
5) Pada tahun 2010 tidak dapat dikompesasikan lagi karena jangka waktu 5 tahun yang
dapat dikompensasikan telah habis.
Pengaruh rugi dari tahun sebelumnya terhadap pengisian induk SPT Tahunan Badan 2016
bisa dilihat dari contoh 2 yaitu faktanya adalah tahun 2016 PT XYZ mendapat keuntungan
sebesar 10 juta, tetapi karena masih menanggung rugi dari tahun 2015, sehingga SPT Tahunan
tersebut menjadi nihil. Tetapi jangan heran dengan DPT tahunan yang menjadi nihil karena
laporan laba yang laba tetap dilampirkan. Namun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya

6
untuk Wajib Pajak yang menerapkan PP No.46/2013, ada sebagian rugi yang tidak dapat
dikompensasikan khususnya pada tahun pajak yang melakukan perhitungan pajak 1%.

2.3 Penghasilan Kena Pajak WP Badan


Penghasilan Kena Pajak (PKP) merupakan dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya Pajak Penghasilan yang terhutang. Untuk wajib pajak badan besarnya PKP sama
dengan penghasilan nettonya yaitu penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya yang
diperkenankan oleh Undang-Undang PPh dikurangi kompensasi kerugian Fiskal seperti
sudah dijelaskan tadi , rumusnya adalah :

PKP WP Badan = Penghasilan Netto


= Penghasilan Bruto - Biaya yg diperkenankan UU PPh-
...Kompensasi kerugian fiskal

Contoh :
PT adi memiliki peredaran bruto di tahun 2011 sebesar 6 miliar biaya untuk menagih
dan memelihara penghasilan tersebut adalah 5,4 miliar, pt adi juga mendapatkan
penghasilan lainya senilai 50jt dan biaya untuk memperoleh penghasilan tersebut adalah
30jt , kompensasi kerugian penghasilan yang masih tersisa adalah sebesar 10jt
Perhitungan mencari PKP Badan nya :
- Peredaran bruto Rp. 6.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan (Rp.5.400.000.000)

- Laba usaha (penghasilan netto usaha) Rp. 600.000.000


- Penghasilan lainnya Rp.50.000.000
- Biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya tersebut (Rp. 30.000.000)
Rp. 20.000.000
- Kompensasi Kerugian (Rp. 10.000.000)
- Penghasilan Kena Pajak Rp. 610.000.000

7
2.4 PPh Badan Terhutang
2.4.1 Perhitungan Pajak yang Terhutang dibagi Menjadi 3 yaitu :
Contoh: PT. ABC yang bergerak dibidang perdagangan dalam Tahun Pajak 2012
mempunyai data sebagai berikut :
Peredaran Bruto dari penghasilan yang
:
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000
- bukan objek pajak 500.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final 2.500.000.000
Jumlah 4.500.000.000
Kompensasi kerugian tahun 2011 700.000.000
Kredit Pajak :
- PPh Pasal 22 22.000.000
- PPh Pasal 23 25.000.000
- PPh Pasal 25 3.000.000
Jumlah 50.000.000

Maka Perhitungan PPh Badan adalah sebagai berikut :


Peredaran Bruto dari penghasilan yang
:
- Dikenai PPh bersifat final 1.500.000.000
- bukan objek pajak 500.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final 2.500.000.000
Jumlah 4.500.000.000
Biaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan usaha
yang :
- dikenai PPh bersifat final ( 450.000.000)
- bukan objek pajak ( 200.000.0000)
- dikenai PPh tidak bersifat final (1.350.000.000)
Jumlah (2.000.000.000)
Laba usaha
2.500.000.000
(penghasilan neto usaha)
Penghasilan dari luar usaha yang:
- dikenai PPh bersifat final 50.000.000
- dikenai PPh tidak bersifat final 100.000.000

8
2.5. Kredit Pajak PPh Badan
2.5.1. Pengertian Kredit Pajak
Pengertian kredit pajak adalah memperhitungkan pajak penghasilan yang telah dibayar
atau dipungut di muka dengan jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun pajak.
Sebagaimana telah diketahui, bahwa wajib pajak dalam negeri dikenakan pajak pada saat
penghasilan diperoleh atau diterima dan bersifat tidak final (dapat sebagai kredit pajak), terkait
dengan PPh pasal 21, PPh pasal 22 dan PPh pasal 23.
Sedangkan segala bentuk penghasilan yang sudah dikenakan pajak yang bersifat final,
tidak boleh diperlakukan sebagai kredit pajak. Demikian pula untuk pajak penghasilan yang
dipungut atau dibayar di luar negeri oleh wajib pajak dalam negeri. Pajak penghasilan yang
telah dipungut di luar negeri dapat dikurangkan dengan pajak penghasilan yang terhutang di
Indonesia, bila telah ada perjanjian kerjasama timbal balik (tax treaty) di bidang perpajakan
antara Indonesia dengan Negara lain. Bila belum ada perjanjian pajak, maka wajib pajak tidak
dapat melakukan kredit pajak. Perhitungan besarnya pajak yang dapat dikreditkan terhadap
pajak terutang atas seluruh penghasilan yang telah dipungut di luar negeri diatur dalam pasal
24.
2.5.2. Dasar Hukum
 UU No. 6/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18/2009 (UU KUP).
 UU No. 7/1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 36/2008 (UU PPh).
 Keputusan Menteri Keuangan No.164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri
2.5.3. Perlakuan Dalam Praktik
Berdasarkan pasal 24 ayat 1 dan ayat 2 UU PPh dinyatakan bahwa:
 Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
 Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
Agar dapat melakukan kredit pajak dengan baik, ada baiknya kita perlu memperhatikan
dasar pengakuan penghasilan. Dari dua ayat tadi kita dapat peroleh pengertian bahwa:
1. Penghasilan yang “diterima” mengindikasikan bahwa penghasilan diakui pada saat
dibayar (cash basis), sedangkan penghasilan “diperoleh” menunjukkan penghasilan
diakui pada saat terjadinya walaupun uang belum diterima (accrual basis). Pajak

9
penghasilan di luar negeri ini bisa jadi telah dibayar (cash basis) atau belum dibayar
atau terutang (accrual basis) oleh wajib pajak
2. Pajak yang telah dibayar atau terutang di luar negeri dapat digunakan sebagai
pengurang (kredit pajak) pajak yang terutang atas seluruh penghasilan pada tahun pajak
yang sama
3. Batas kredit ditentukan menurut undang-undang
4. Besarnya kredit pajak tidak boleh melebihi jumlah batas kredit pajak
2.5.4. Penggabungan Penghasilan
Wajib pajak menggabungkan (menjumlahkan) penghasilan yang diterima atau diperoleh di
luar negeri dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh didalam negeri, guna menentukan
jumlah pajak penghasilan yang terutang pada tahun pajak berdasarkan tarif normal (pasal 17).
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan dengan ketentuan berikut :
 Untuk penghasilan dari usaha dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam
tahun pajak diperolehnya penghasilan tersebut
 Untuk penghasilan lainnya dilakukan penggabungan dengan penghasilan dalam tahun
pajak diterimanya penghasilan tersebut
 Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan penggabungan dengan penghasilan
dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan.
Indonesia menganut kredit pajak dengan metode ordinary credit. Kredit pajak luar negeri
lebih lanjut diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 164/KMK.03/2002. Pajak
penghasilan luar negeri yang dapat dikreditkan hanyalah pajak yang langsung dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak. Apabila pajak atas penghasilan dari
luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak
yang terutang menurut UU ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan
atau pengembalian itu dilakukan.
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa Negara, maka pengitungan kredit
pajak dilakukan untuk masing-masing Negara. Kredit pajak dihitung dengan perbandingan
antara penghasilan dari luar negeri terhadap Penghasilan kena pajak dikalikan dengan pajak
yang terutang atas Penghasilan kena pajak, paling tinggi sama dengan pajak yang terutang atas
Penghasilan Kena pajak dalam hal Penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar
negeri.
2.5.5. Jenis-jenis Kredit Pajak

10
Jenis-Jenis Kredit Pajak yaitu: Kredit Pajak PPh Pasal 22, Kredit Pajak PPh Pasal 23, Kredit
Pajak PPh Pasal 24, Kredit Pajak PPh Pasal 25., Pajak Dibayar Dimuka Lainnya

2.5.5.1. PPh Pasal 22


Pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga-lembaga Negara lainnya. Pajak ini berkenaan
dengan pembayaran atas penyerahan barang dan badan-badan tertentu baik badan pemerintah
maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
Tarif Pajak
 Atas Impor:
1. Ada API (Angka Pengenal Impor)à 2.5% x nilai impor (CIF + BM)
2. Tdk ada API à 7.5% x nilai impor
3. Lelang à 7.5% x harga jual lelang
 Atas pembelian barang yang dipungut oleh Pemungut Pajak:
1.5% x harga pembelian
 Yang wajib dipungut oleh industri dan eksportir yang bergerak di sektor perhutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan
industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul:
0.5% x harga pembelian (tdk termasuk PPN)
 Atas penjualan hasil produksi atau pembelian yang dilakukan oleh badan usaha yang
bergerak di bidang tertentu:
1. Di bidang industri semen: 0.25% x DPP PPN
2. Di bidang industri baja: 0.3% x DPP PPN
3. Di bidang industri kertas: 0.1% x DPP PPN
4. Atas penjualan semua jenis kendaraan bermotor: 0.45% x DPP PPN
2.5.5.2. PPh Pasal 23
Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari: modal, penyerahan jasa atau
penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh Ps. 21 yang dibayarkan atau terutang
oleh Badan Pemerintah atau Subjek Pajak Dalam Negeri, penyelenggara kegiatan, BUT.
Saat terutangnya pajak ini, yaitu pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir
bulan terutangnya penghasilan bersangkutan, mana yang terjadi terlebih dulu.
Pemotong Pajak :

11
 Badan Pemerintah
 Subjek Pajak badan dalam negeri
 Penyelenggara kegiatan
 BUT
 Orang pribadi sebagai WP dalam negeri tertentu (akuntan, arsitek, dokter, notaris, orang
pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas pembayaran
berupa sewa).
Tarif Pajak
 15% dari jumlah bruto atas dividen, bunga, royalti, hadiah dan penghargaan selain yang
telah dipotong PPh ps. 21 (yang diperoleh oleh WP badan dalam negeri berkenaan
dengan suatu kegiatan yang diselenggarakan)
 15% dari perkiraan penghasilan neto atas sewa dan penghasilan lain sehubungan
dengan penggunaan harta (kecuali sewa tanah dan bangunanà final tax)
 Imbalan sehubungan dengan jasa lain, misal jasa manajemen, jasa kesehatan, dll.
sebesar 2%
2.5.5.3. PPh Pasal 24
PPh pasal 24 mengatur tentang perhitungan besarnya pajak atas penghasilan yang dibayar
atau terutang di luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang
atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri. Pengkreditan pajak luar negeri dilakukan
dalam tahun digabungkannya penghasilan dari luar negeri dengan penghasilan di Indonesia.
Indonesia menganut Tax credit yang ordinary credit method dengan menerapkan per country
limitation
Penggabungan Penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
 Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak diperolehnya
penghasilan tersebut (accrual basis)
 Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut (cash basis)
 Penggabungan penghasilan yang berupa dividen (pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakukan
dalam tahun pajak pada saat perolehan dividen tersebut di tetapkan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan .
Batas Maksimum Kredit Pajak diambil yang terendah dari 3 unsur/perhitungan berikut:
 Jumlah Pajak yang terutang atau dibayar di Luar Negeri

12
 ( Penghasilan Luar Negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak ) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tarif pasal 17
 Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh penghasilan kena pajak (dalam hal
penghasilan kena pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).
Batas Maksimum Kredit Pajak untuk setiap Negara (per Country Limitation):
Apabila penghasilan luar negeri berasal dari beberapa negara, maka perhitungan batas
maksimum kredit pajak dilakukan untuk masing-masing Negara.
Rugi Usaha di Luar Negeri
Dalam menghitung penghasilan kena pajak, kerugian yang diderita oleh Wajib Pajak di
luar Negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan yang diterima di dalam
negeri (Indonesia).
Contoh Kasus 1 :
PT ABC mempunyai penghasilan neto dari Luar Negeri sebesar Rp20.000.000,00
dengan pajak 40% dan Penghasilan neto Dalam Negeri sebesar Rp125.000.000,00. Bila
diasumsikan Jumlah Penghasilan Neto sama dengan Penghasilan Kena Pajak maka
batas PPh pasal 24 yang boleh dikreditkan adalah
 PPh yang dibayar di Luar Negeri adalah 40% x Rp20.000.000,00 =
Rp8.000.000,00
Perhitungan proporsi
 PPh terutang sebesar 25% x (Rp125.000.000,00 + Rp 20.000.000,00) =
Rp36.250.000,00
 Sehingga Proporsi = (Rp20.000.000,00 / Rp125.000.000,00) x
Rp36.250.000,00 = Rp5.800.000,00
Jadi PPh pasal 24 yang boleh dikreditkan maksimum sebesar Rp5.800.000,00(dipilih
nilai terkecil antara poin 1 dan poin 2)
Besarnya kredit pajak adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar
negeri tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-
undang ini. Untuk memberikan perlakuan pemajakan yang sama antara penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri dan penghasilan yang diterima atau diperoleh di
Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri dapat dikreditkan
terhadap pajak yang terutang di Indonesia tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak yang
dihitung berdasarkan Undang-undang ini. Cara penghitungan besarnya pajak yang dapat
dikreditkan ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan wewenang.

13
2.6. PPh Kurang Bayar PPh Badan
Menurut UU No.36 Tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 29 (PPh 29) adalah PPh Kurang
Bayar (KB) yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh, yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam
tahun pajak yang bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan
PPh Pasal 25. Dalam hal ini, Wajib Pajak (WP) wajib memiliki kewajiban melunasi
kekurangan pembayaran pajak yang terutang sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak
tersebut wajib dilunasi paling lambat 30 April bagi Wajib Pajak Badan (WPB) setelah tahun
pajak berakhir.
Bila tahun buku tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai dari 1 Juli sampai
dengan 30 Juni tahun depan, maka kekurangan wajib pajak harus dilunasi paling lambat 31
Oktober bagi Wajib Pajak Badan (WPB).
Perhitungan PPh pasal 29 Wajib Pajak Badan (WPB) :
 Angsuran PPh 25 = PPh terutang tahun lalu x 12.
 PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang - angsuran PPh 25.
2.7.ANGSURAN PPh PASAL 25 TAHUN BERJALAN
Dalam sistem perpajakan Indonesia dikenal istilah cicilan bulan Pajak Penghasilan yang
merupakan pembayaran pendahuluan atas PPh yang akan terutang di akhir tahun berdasarkan
SPT Tahunan PPh, yang dikenal dengan Angsuran PPh Pasal 25. Berikut ini akan dijelaskan
bagaimana menghitung angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan
yang berlaku.
Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan :
 Pajak penghasilan yang dipotong sesuai pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat (1)
bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan pasal 23
(15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah - serta 2% berdasarkan sewa dan
penghasilan lain serta imbalan jasa) - serta pajak penghasilan yang dipungut sesuai
pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP);
 Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24; lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.
Penghitungan tersebut dibedakan menjadi dua yaitu bagi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib
Pajak Badan.

14
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk Wajib Pajak Badan yaitu = Penghasilan Kena Pajak (PKP)
x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).
Contoh :
Pajak penghasilan yang terutang untuk PT Perdana berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan tahun 2012 sebesar Rp 125.000.000. Pajak yang telah dipotong atau
dipungut oleh pihak ketiga serta yang terutang atau dibayar di luar negeri dalam tahun 2012
adalah sebagai berikut :
 Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22) sebesar Rp 30.000.000
 Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23) sebesar Rp 15.000.000
 Pajak Penghasilan yang dibayar di luar negeri sebesar Rp 42.500.000, tetapi
berdasarkan ketentuan yang dapat dikreditkan (PPh Pasal 24) sebesar Rp 40.000.000
Pajak penghasilan yang telah dipotong/dipungut oleh pihak lain, dan yang dibayarkan atau
terutang di luar negeri tersebut untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 8 (delapan bulan
dalam tahun 2012)
Jawab :
Angsuran PPh Pasal 25 untuk tahun 2013 adalah :
PPh terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2012 Rp 125.000.000
Kredit Pajak :
PPh Pasal 22 Rp 30.000.000
PPh Pasal 23 Rp 15.000.000
PPh Pasal 24 Rp 40.000.000
Total kredit pajak Rp 85.000.000 (-)
Dasar penghitungan angsuran Rp 40.000.000
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak setiap bulan (PPh Pasal
25) dalam tahun 2013 adalah :
Rp 40.000.000/ 8 bulan = Rp 5.000.000
2.7.1. Menghitung Angsuran PPh untuk Bulan-Bulan Sebelum Batas Waktu
Penyampaian SPT Tahunan PPh
Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
bagi Wajib Pajak badan adalah akhir bulan keempat tahun pajak berikutnya, besarnya angsuran
pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan belum dapat dihitung sesuai dengan
ketentuan PPh Pasal 25 ayat (1).

15
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan-bulan
sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
Contoh :
Apabila Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan pada kasus PT
Perdana disampaikan oleh Wajib Pajak Badan (Perdana) pada akhir bulan April 2013
yaitu batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan, maka besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar PT Perdana untuk bulan Januari, Pebruari dan Maret
2013 adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember 2012, misalnya besar angsuran
pajak bualn Desember 2012 adalah Rp 5.500.000 maka angsuran PPh untuk bulan
Januari sampai dengan Maret 2013 masing-masing adalah Rp 5.500.000.
2.7.2. Menghitung Angsuran PPh Pasal 25 Apabila Dalam Tahun Berjalan Diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Untuk Tahun Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk
tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan
surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan
penerbitan surat ketetapan pajak.
Contoh :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak 2014
yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Maret 2015, perhitungan besarnya
angsuran pajak yang harus dibayar adalah sebesar Rp 1.250.000,00. Dalam bulan Juni
2015 telah diterbitkan surat ketetapan pajak tahun pajak 2014 yang menghasilkan
besarnya angsuran pajak setiap bulan sebesar Rp 2.000.000,00.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka besarnya angsuran pajak mulai bulan Juli
2015 adalah sebesar Rp 2.000.000,00. Penetapan besarnya angsuran pajak berdasarkan
surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak
sebelumnya berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan

2.7.3. Wajib Pajak Berhak atas Kompensasi Kerugian


Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan,Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan
Banding, sesuai dengan ketentuan UU PPh. Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dalam hal
Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung

16
berdasarkan penghasilan neto menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu atau dasar penghitungan lainnya setelah dikurangi dengan kompensasi kerugian
dikurangi dengan Pajak Penghasilan yang dipotong dan atau dipungut serta Pajak Penghasilan
yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sesuai ketentuan Pasal 21,
Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 UU PPh, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam
bagian tahun pajak.
Contoh :
Penghasilan kena pajak PT Putra Jaya tahun 2014 adalah Rp 120.000.000. Sisa kerugian
tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan Rp 150.000.000. Sisa kerugian yang
belum dikompensasikan tahun 2014 adalah Rp 30.000.000.
Rp 2.341.667

2.7.4. SPT Tahunan PPh Tahun yang Lalu Disampaikan setelah Lewat Batas Waktu
yang Ditentukan
Apabila ST Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan, yaitu selambat-selambatnya tiga bulan setelah akhir tahun pajak, besarnya PPh
Pasal 25 dihitung sebagai berikut :
a. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT sampai dengan bulan sebelum
disampaikannya SPT tersebut, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 bulan terkahir tahun pajak yang lalu dan bersifat sementara.
b. Untuk bulan-bulan setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya
angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan ketentuan. Ketentuan tersebut
adalah :
 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang menurut SPT
Tahunan PPh tahun yang lalu dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut
oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23) serta PPh yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (Pasal 24), dibagi dengan 12 atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
 Jika diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun yang lalu, besarnya angsuran
PPh Pasal 25 adalah sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam Surat
Ketetapan tersebut dan dimulai pada bulan berikutnya setelah bulan penerimaan
SKP.

17
 Jika Wajib Pajak berhak kompensasi, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama
dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun yang lalu (PPh
yang terutang ini dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak yang telah
memperhitungkan kompensasi krugian) dikurangi dengan PPh yang
dipotong/dipungut oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23) serta PPh yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (Pasal 24), dibagi
dengan 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
 Jika Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, besarnya angsuran
Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu
(PPh yang terutang unu dihitung berdasar penghasilan teratu saja), dikurangi
dengan PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal
23) serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
(Pasal 24), dibagi dengan 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih besar daripada bessarnya PPh 25
pada huruf b, atas kekurangan tersebut terutang bunga 2% (dua persen) sebelum jangka waktu
yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai
dengan tanggal penyetoran.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih kecil daripada besarnya PPh 25 pada
huruf b, atas kelebihan setoran tersebut dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal bulan-bulan
berikutnya setelah penyampaian SPT Tahunan PPh.
Contoh :
PT Putra Jaya menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 pada tanggal 23
Mei 2013, dengan data sebagai berikut :
PPh yang terutang Rp 150.000.000
PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Tahun Pajak 2012 Rp 42.500.000
Yang dapat dikreditkan
PPh Pasal 25 bulan Desember 2012 Rp 8.000.000
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2013 adalah :
 Angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari dan Maret 2013 masing masing sebesar Rp
8.000.000 (sama dengan angsuran PPh Pasla 25 bulan Desember 2012)
 Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Mei 2013 sama dengan Rp
8.000.000

18
 Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sam pai dengan Desember 2013 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012, yaitu :
PPh yang terutang Rp 150.000.000
Kredit Pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24) Rp 42.500.000
Dasar perhitungan angsuran Rp 107.500.000
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Desember 2013 :
Rp 107.500.000 / 12 = Rp 8.958.333
PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Mei 2013 yang telah disetor sebesar Rp 8.000.000
sebulan, padahal yang seharusnya adalah sebesar Rp 8.958.333, sehingga terdapat kekurangan
sebesar Rp 958.333 setiap bulan untuk bulan April sampai dengan Mei 2013. Jumlah tersebut
harus disetor dan terutang bunga sebagai berikut :
 Untuk Masa April 2013 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Mei 2013
sampai dengan tanggal penyetoran;
 Untuk Masa Mei 2013 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Juni 213 sampai
dengan tanggal penyetoran.
Dan dalam hal penghitungan kembali PPh Pasal 25 untuk bulan Maret sampai dengan
Desember 2013 menghasilkan jumlah yang lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 25 untuk
bulan April dan Mei 2013, maka kelebihan setoran bulan April dan Mei tersebut dapat
diperhitungkan dengan setoran bulan Mei 2013 dan seterusnya.
2.7.5. Wajib Pajak Diberikan Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT
Tahunan PPh
Dalam hal Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh, bearnya PPh Pasal 25 dihitung sebagai berikut :
a. Untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian SPT sampai dengan bulan sebelum
disampaikannya SPT tersebut, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan besarnya
angsuran PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan Sementara yang
disampaikan Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan izin perpanjangan.
b. Untuk bulan-bulan setelah Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh, besarnya
angsuran PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan ketentuan. Ketentuan tersebut
adalah :
 Besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang menurut SPT
Tahunan PPh tahun yang lalu dikurangi dengan PPh yang dipotong/dipungut

19
oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23) serta PPh yang dibayar atau
terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (Pasal 24), dibagi dengan 12 atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
 Jika diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun yang lalu, besarnya angsuran
PPh Pasal 25 adalah sesuai dengan jumlah yang tercantum dalam Surat
Ketetapan tersebut dan dimulai pada bulan berikutnya setelah bulan penerimaan
SKP.
 Jika Wajib Pajak berhak kompensasi, besarnya angsuran PPh Pasal 25 sama
dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun yang lalu (PPh
yang terutang ini dihitung berdasarkan Penghasilan Kena Pajak yang telah
memperhitungkan kompensasi krugian) dikurangi dengan PPh yang
dipotong/dipungut oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23) serta PPh yang
dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan (Pasal 24), dibagi
dengan 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
 Jika Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur, besarnya angsuran
Pasal 25 sama dengan PPh yang terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun lalu
(PPh yang terutang ini dihitung berdasar penghasilan teratu saja), dikurangi
dengan PPh yang dipotong/dipungut oleh pihak lain (Pasal 21, Pasal 22, Pasal
23) serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
(Pasal 24), dibagi dengan 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih besar daripada besarnya PPh 25 pada
huruf b, atas kekurangan tersebut terutang buga 2% (dua persen) sebelum jangka waktu yang
dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 dari masing-masing bulan sampai dengan
tanggal penyetoran.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 pada huruf a lebih kecil daripada besarnya PPh 25 pada
huruf b, atas kelebihan setoran tersebut dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal bulan-bulan
berikutnya setelah penyampaian SPT Tahun PPh.
Contoh :
PT Ananda menyampaikan permohonan perpanjangan waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 pada tanggal 10 Januari 2012, dengan melampirkan
penghitungan sementara sebagai berikut :
PPh yang terutang Rp 100.000.000
PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24 Rp 42.500.000

20
Tahun Pajak 2011 yang dapat dikreditkan
Izin perpanjangan waktu penyampaian SPT Tahunan
PPh diberikan sampai dengan 30 Juni 2012
PPh Pasal 25 Masa Desember 2011 Rp 4.000.000
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 disampaikan pada 10 Juni 2012, dengan data
sesungguhnya sebagai berikut :
PPh yang terutang Rp 125.000.000
PPh Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 244
Tahun Pajak 2011 yang dapat dikreditkan Rp 42.500.000
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2012 adalah :
Angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari sampai dengan Maret 2012 masing-masing sebesar Rp
4.000.000
Angsuran PPh Pasal 25 bulan April sampa dengan Mei 2012 dihitung berdasarkan SPT
Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 (penghitungan sementara), yaitu :
PPh yang terutang Rp 100.000.000
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24) Rp 42.500.000 (-)
Dasar penghitungan angsuran Rp 57.500.000
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Maret sampai dengan Mei 2012 :
Rp 57.500.000 / 12 = Rp 4.791.600
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Desember 2012 dihitung berdasarkan
SPT Tahunan PPh tahun pajak 2011 (penghitungan sesungguhnya), yaitu :
PPh yang terutang Rp 125.000.00
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24) Rp 42.500000 (-)
Dasar penghitungan angsuran Rp 82.500.000
Angsuran PPh Pasal 25 bulan April samapi dengan Desember 2012 :
Rp 82.500.000 / 12 = Rp 6.875.000
PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan Mei 2012 yang telah dosetor sebesar Rp
4.791.600 sebulan, padahal yang seharusnya adalah sebesar Rp 6.875.000, sehingga terdapat
kekurangan sebesar Rp 2.083.400 setiap bulan untuk bulan April sampai dengan Mei 2012.
Jumlah tersebut harus disetor dan terutang bunga sebagai berikut :
 Untuk Masa April 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Mei 2012
sampai dengan tanggal penyetoran;
21
 Untuk Masa Mei 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Juni 2012 sampai
dengan tanggal penyetoran;
Dan dalam hal penghitungan kembali PPh Pasal 25 untuk bulan April sampai dengan
Desember 2012 menghasilkan jumlah yang lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 25 untuk
bulan April sampai dengan Mei 2012, maka kelebihan setoran bulan April dan Mei tersebut
dapat diperhitungkan dengan setoran bulan Mei 2012 dan seterusnya.
2.7.6. Wajib Pajak Membetulkan Sendiri SPT Tahunan PPh
Apabila dalam tahun berjalan Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh tahun
pajak yang lalu, besarnya PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan PPh.
Pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT tersebut.
Perhitungan kembali besarnya angsuran PPh Pasal 25 berdasarkan SPT Pembetulan tetap
memerhatikan ketentuan kompensasi kerugian dan ketentuan penghasilan tidak teratur.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 setelah pembetulan SPT Tahunan tersebut lebih besar daripada
PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kekurangan setoran PPh Pasal 25 terutang
bunga sebesar 2% untuk jangka waktu yang dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh Pasal
25 dari masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran.
Apabila besarnya PPh Pasal 25 setelah pembetulan SPT Tahunan tersebut lebih kecil
daripada PPh Pasal 25 sebelum dilakukan pembetulan, atas kelebihan setoran PPh Pasal 25
dapat dipindahbukukan ke PPh Pasal 25 bulan-bulan berikutnya setelah penyampaian SPT
Tahunan Pembetulan.
Contoh :
a. SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 PT Perdana disampaikan pada tanggal 25 April
2012, dengan data sebagai berikut :
PPh terutang Rp 125.000.000
PPh Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 yang dikreditkan Rp 42.500.000
b. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan Desember 2011 adalah Rp 6.000.000
c. Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 pada tanggal
16 Agustus 2012, dengan data baru sebagai berikut :
PPh terutang Rp 150.000.000
PPh Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 yang
Dapat dikreditkan Rp 42.500.000
d. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun 2012 adalah :

22
Angsuran PPh Pasal 25 bulan Januari sampai dengan Maret 2012 masing-masing
sebesar Rp 6.000.000 (sama dengan angsuran bulan terakhir tahun yang lalu yaitu
angsuran bulan Desember 2011)
Angsuran PPh Pasal 25 bulan April samapai dengan Juli 2012 dihitung berdasarkan
SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 sebelum pembetulan, yaitu :
PPh yang terutang Rp 125.000.000
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 24) Rp 42.500.000
Dasar perhitungan angsuran Rp 82.500.000
Angsuran PPh Pasal 25 April sampai dengan Juli 2012 :
Rp 82.500.000 / 12 = Rp 6.875.000
Angsuran PPh Pasal 25 bulan Agustus sampai dengan Desember 2012 dihitung kembali
berdasarkan SPT Tahunan PPh Tahunan PPh Tahun Pajak 2011 setelah pembetulan
yaitu :
PPh yang terutang Rp 150.000.000
Kredit pajak diperbolehkan
(Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24) Rp 42.500.000
Dasar penghitungan angsuran Rp 107.500.000
e. Angsuran PPh Pasal 25 April sampai dengan Juli 2012 :
Rp 107.500.000 / 12 = Rp 8.958.333
f. PPh Pasal 25 bulan April sampai dengan Juli 2012 yang telah disetor sebesar Rp
6.875.000 sebulan, padahal yang seharusnya adalah sebesar Rp 8.958.333 sebulan,
sehingga terdapat kekurangan sebesar Rp 2.083.333 setiap bulan untuk bulan April
sampai dengan Juli 2012. Jumlah tersebut harus disetor dan terutag bunga sebagai
berikut :
 Untuk Masa April 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Mei
2012 sampai dengan tanggal penyetoran
 Untuk Masa Mei 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Juni 2012
sampai dengan tanggal penyetoran
 Untuk Masa Juni 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Juli 2012
sampai dengan tanggal penyetoran
 Untuk Masa Juli 2012 terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak 16 Agustus
2012 sampai dengan tanggal penyetoran

23
Dan dalam hal penghitungan kembali PPh Pasal 25 untuk Masa Agustus sampai dengan
Desember 2012 menghasilkan jumlah yang lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 25 untuk
bulan April sampai dengan Juni 2012, maka kelebihan setoran bulan Maret sampai dengan Juli
tersebut dapat diperhitungkan dengan setoran bulan Juli 2012 dan seterusnya.

24
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo. 2016. Perpajakan, Edisi Terbaru 2016. Yogyakarta : Penerbit ANDI
Resmi, Siti. 2014. Perpajakan; Teori dan Kasus, Edisi 8 Buku 1. Jakarta : Salemba Empat
www.pajak.go.id/perhitungan/PPh/WP/Badan

25

Anda mungkin juga menyukai