Anda di halaman 1dari 15

1.

ANALISA GAS DARAH BERDASARKAN HENDERSON HASELLBACH


Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan
penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam
basanya. Analisa gas darah merupakan faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi
sel atau jaringan adalah jumlah oksigen yang terkandung dalam darah. Tekanan gas
darah tersebut dapat diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau
melalui pulse oksimetri dengan melihat saturasi hemoglobin. Analisa gas darah
(AGD) telah banyak digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan PCO2. Pemahaman
yang mendalam tentang fisiologi asam basa memiliki peran yang sama pentingnya
dengan pemahaman terhadap fisiologi jantung dan paru pada pasien-pasien kritis.
Telah banyak perkembangan dalam pemahaman fisiologi asam basa, baik dalam
suatu larutan maupun dalam tubuh manusia. Pendekatan tradisional dalam
menganalisa kelainan asam basa adalah dengan menitik beratkan pada rasio antara
bikarbonat dan karbondioksida, namun cara tersebut memiliki beberapa kelemahan.
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi sel atau jaringan adalah
jumlah oksigen yang terkandung dalam darah. Tekanan gas darah tersebut dapat
diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau melalui pulse oksimetri
dengan melihat saturasi hemoglobin. Analisa gas darah (AGD) telah banyak
digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan PCO2. Akan tetapi, makna dari hasil
pengukuran tersebut tergantung pada kemampuan dokter untuk
menginterpretasikannya.
AGD biasanya diambil dari arteri radialis, meskipun dapat juga dari arteri
lainnya seperti arteri femoralis. Pengambilan darah arteri dapat berakibat spasme,
kloting intralumen, perdarahan, dan hematoma yang pada akhirnya akan
menimbulkan obstruksi arteri bagian distal. Hal ini tidak terjadi jika arteri yang
ditusuk memiliki kolateral yang cukup. Arteri radialis lebih dipilih karena memiliki
cukup kolateral untuk menghindari terjadinya obstruksi dibandingkan dengan arteri
brakhialis atau femoralis. Selain itu, letak arteri radialis lebih superfisial, mudah
diraba dan difiksasi. Darah arteri diambil sebanyak 3 ml pada spuit yang sebelumnya
telah diberikan heparin 0,2 ml. Sampel darah yang telah diambil harus terbebas dari
gelembung udara dan dianalisa secepatnya. Hal ini disebabkan komponen seluler
pada sampel masih aktif bermetabolisme, sehingga akan mempengaruhi tekanan gas.
Metode Henderson – Hasselbach (H – H)
Persamaan H – H menitik beratkan pada sistem buffer asam karbonat yang
memegang peranan penting dalam pengaturan asam basa melalui ginjal dan paru – paru.
Karbondioksida bereaksi dengan air untuk membentuk HCO3- dan H+.
CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-
Berdasarkan hukum kekekalan massa, maka [H+] [HCO3-] / [H2CO3] = konstan.
Sehingga, dapat ditentukan bahwa pH = pKa + log([H+] [HCO3-] / [H2CO3]). Dari
persamaan tersebut, pH dapat dikatakan sebagai rasio antara bikarbonat dan
karbondioksida. Perubahan pH dapat disebabkan oleh perubahan CO2 (respirasi) atau
HCO3- (metabolik). Sistem kompensasi tubuh berusaha mempertahankan rasio tersebut
tetap 20:1. Namun, persamaan H – H tidak membahas mekanisme perubahan pH
akibat efek metabolik sejelas efek respiratoriknya, karena secara in vivo kadar
bikarbonat sangat tergantung pada tekanan parsial karbondioksida (pCO2). Oleh sebab
itu, muncullah konsep standard bikarbonat dan standard base excess (BE) untuk
membantu menghitung efek metabolik terhadap perubahan pH. Standard bikarbonat
adalah jumlah bikarbonat yang seharusnya ada pada PCO2 = 40 mmHg, sehingga dapat
menyingkirkan efek respirasi pada suatu perubahan pH. Sementara standard BE melihat
jumlah asam (dalam mmol/l) yang harus ditambahkan atau dikurangkan pada sampel
darah yang sama dengan Hb 5,5 g/dl untuk mencapai pH normal pada PCO2 40 mmHg.
Semakin negatif BE menunjukkan sampel darah tersebut semakin asam.
Metode pendekatan Handerson-Hasselbach lebih mudah diterapkan, terutama
untuk mengklasifikasikan jenis kelainan asam basa yang terjadi.
Keseimbangan Asam Basa
pH adalah derajat keasaman yang merupakan log negatif dari konsentrasi ion H+.
Konsentrasi ion H+ ini diatur dengan sangat ketat, karena perubahan pada
konsentrasinya akan mempengaruhi hampir semua proses biokimia, termasuk struktur
dan fungsi protein, dissosiasi dan pergerakan ion, serta reaksi kimia obat. Berbeda
dengan ion-ion lain, kadar ion H+ dijaga dalam nanomolar (36-43 nmol/l ~ pH 7,35-
7,45). Sebagian besar asam yang masuk dalam tubuh berasal dari proses respirasi, yaitu
CO2 yang membentuk asam karbonat, sedangkan sisanya berasal dari metabolisme
lemak dan protein.
Mekanisme tubuh untuk menjaga pH tetap dalam rentang normalnya diketahui
melalui tiga mekanisme,

 Kontrol respirasi terhadap PaCO2 oleh pusat pernafasan yang mengatur ventilasi
alveolar. Semakin banyak ion H+ dalam darah, semakin banyak CO2 yang dibuang
melalui paru-paru. Mekanisme ini cepat dan sangat efektif untuk mengkompensasi
kelebihan ion H+.

 Pengontrolan ginjal terhadap bikarbonat dan ekskresi asam-asam non-volatil.


Mekanisme ini relatif lebih lama (jam sampai hari) jika dibandingkan dengan kontrol
respirasi.

 Sistem buffer oleh bikarbonat, sulfat, dan hemoglobin yang meminimalkan perubahan
asam-basa akut.
Interpretasi Hasil AGD
Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:

 pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis.
Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.

 PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan
hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg
mengindikasikan perlunya pemberian oksigen tambahan. Kadar normal PO2 adalah
80-100 mmHg

 PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal,


PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi menggambarkan
hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2
dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2
adalah 35-45 mmHg

 HCO3-, menggambarkan apakah telah terjadi gangguan metabolisme, seperti


ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula
sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika ginjal mengkompensasi
gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang normal. Kadar HCO3-
normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l

 Base excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus
ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi
PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai positif
menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE bernilai negatif
menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l

 Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Nilai


normalnya adalah 95-98 %
Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan yang
menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:
Asidosis respiratorik
Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3-
juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi
alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan,
gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat
meningkatkan PCO2 adalah keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi,
PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.
Alkalosis respiratorik
Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat.
Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang
dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab
hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan
memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas,
dan iatrogenik akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan
ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah kronik.
Asidosis Metabolik
Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya
disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam
darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi
respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun.
Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola
pernafasan justru akan berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh terhadap
kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab asidosis metabolik, dapat dilakukan
penghitungan anion gap melalui rumus
(Na+ + K+) – (HCO3– + Cl–)
Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan
pada pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya asidosis
dengan anion gap yang lebih. Koreksi tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus
diatas menjadi
(Na+ + K+) – (HCO3– + Cl–) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik
lain seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat
berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah
metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal,
ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik sehingga terjadi asidosis dengan
peningkatan anion gap.
Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan kehilangan
bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan GIT (diare
berat), fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang paling sering adalah akibat
pemberian infus NaCl berlebihan.
Alkalosis metabolik
Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula.
Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru.
Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik (terutama
furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium
dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian
HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan. Persisten metabolik
alkalosis biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat
mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.
2. ANALISA GAS DARAH MENURUT TEORI STEWARD
Pada tahun 1983, Stewart memperkenalkan metode pendekatan asam basa yang
diakui secara luas. Metode ini menggunakan pendekatan matematis dan
menyimpulkan bahwa jika hukum keseimbangan muatan terjadi pada suatu larutan,
maka pH atau konsentrasi ion H+ akan ditentukan terutama oleh derajat disosiasi air.
Terdapat tiga variabel yang masing-masing dapat mempengaruhi derajat disosiasi air,
yaitu PCO2, strong ion difference (SID), dan konsentrasi total asam lemah (Atot).
Ion bikarbonat dan asam lemah merupakan variabel yang terikat dan tidak
mempengaruhi pH secara langsung.

Diagram1. Pendekatan Asam Basa Metode Stewart


Pengaruh PCO2 sudah dijelaskan melalui persamaan H – H, bahwa perubahan
pada CO2 hasil respirasi secara langsung juga akan mengubah konsentrasi ion H+.
Ion-ion kuat adalah ion yang dalam jumlah besar terdapat dalam bentuk terdisosiasi
atau ion bebas dalam plasma. Pada manusia, SID adalah selisih antara kation kuat
(Na+, K+, Mg2+, dan Ca2+) dengan anion kuat (Cl- dan laktat) yang nilai normalnya
adalah 42 mmol/l. SID memiliki pengaruh kuat terhadap disosiasi air, peningkatan
kation total akan menurunkan konsentrasi H+ dan menurunkan pH. Begitu pula
sebaliknya, peningkatan jumlah anion total akan menurunkan pH. Pada dasarnya
plasma tidak bisa bermuatan, sehingga dibutuhkan muatan negatif untuk menetralkan
kelebihan muatan (SIDe). SIDe terutama dibentuk oleh ion yang sulit berdisosiasi
seperti HCO3- dan asam lemah yang terdisosiasi seperti albumin, fosfat, dan sulfat.
Strong ion gap (SIG) adalah selisih antara SID dan SIDe, menggambarkan ion-ion
yang tidak terukur seperti keton, sulfat, atau asam yang berasal dari luar. Perhitungan
ini mirip dengan anion gap, namun memiliki kelebihan karena memperhitungkan
albumin dan fosfat. SIG juga dapat menjadi prediktor yang sensitif bagi kegawatan
pada pasien-pasien kritis. Atot adalah konsentrasi total asam-asam lemah non-volatil
dalam plasma, fosfat inorganik, protein serum dan albumin.

Gambar1. Keseimbangan Ion-ion Dalam Plasma


Pendekatan Stewart tidak merubah klasifikasi kelainan asam basa sebelumnya,
begitu pula dengan BE tetap dapat digunakan untuk menghitung jumlah perubahan
SID yang telah terjadi dibandingkan dengan nilai normal. Namun dengan pendekatan
ini, kita dapat melihat peran ion-ion dalam mengembalikan pH darah. Contoh kasus
adalah, untuk merubah BE dari -20 menjadi -10 mEq/l adalah dengan memberikan
NaHCO3, dimana terjadi peningkatan konsentrasi Na+ dalam serum sebesar 10
mEq/l.
Implikasi lain yang penting dari pendekatan Stewart adalah peran ion klorida
dalam homeostasis asam basa. Ion-ion yang terutama mempengaruhi SID adalah Na+
dan Cl-. Peningkatan Cl- relatif terhadap Na+ akan menurunkan SID dan begitu pula
pH. Peran Cl- menjadi lebih penting dalam mengatur pH, karena Na+ dikontrol
secara lebih ketat untuk mengatur tonus plasma. Contoh kasus adalah pada muntah
yang terus menerus sering menyebabkan alkalosis. Pendekatan lama menganggap hal
ini disebabkan karena kehilangan ion H+ melalui HCl. Namun, hipotesis Stewart
menganggap hal ini terjadi akibat Cl- (anion kuat) berkurang tanpa diimbangi oleh
berkurangnya kation kuat, sehingga terjadi peningkatan SID. Pada akhirnya hal ini
akan menghambat disosiasi air dan ion H+ berkurang. Penatalaksanaan kasus ini
adalah dengan pemberian normal saline sehingga ion klorida tergantikan. Kasus lain
adalah asidosis hiperkloremik yang juga sering terjadi akibat pemberian infus normal
saline berlebihan. Normal saline mengandung ion sodium dan klorida sebanyak 150
mEq/l dibandingkan dengan konsentrasi plasma 135 dan 100 mEq/l. Hal ini
menyebabkan penurunan SID dan pH.

3. MONITORING HEMODINAMIK
Hemodinamik adalah aliran darah dalam system peredaran tubuh kita baik
melalui sirkulasi magna (sirkulasi besar) maupun sirkulasi parva ( sirkulasi dalam
paru-paru). Hemodinamik monitoring adalah pemantauan dari hemodinamik
status.Pentingnya pemantauan terus menerus terhadap status hemodinamik, respirasi,
dan tanda-tanda vital lain akan menjamin early detection bisa dilaksanakan dengan
baik sehingga dapat mecegah pasien jatuh kepada kondisi lebih parah.
Hemidinamik status adalah indeks dari tekanan dan kecepatan aliran darah
dalam paru dan sirkulasi sistemik. Pasien dengan gagal jantung, overload cairan,
shock, hipertensi pulmonal dan banyak kasus lain adalah pasien dengan masalah
perubahan status hemodinamik. Dalam hal ini, Kritikal Care Nurse bukan hanya
dituntut mampu mengoperasikan alat pemantauan hemodinamik saja melainkan
harus mampu menginterpretasikan hasilnya.

Faktor penentu hemodinamik adalah:

1. Pre load : menggambarkan tekanan saat pengisian atrium kanan selama diastolic
digambarkan melalui Central Venous Pressure (CVP). Sedangkan pre
load ventricle kiri digambarkan melalui Pulmonary Arterial Pressure (PAP).
2. Contractility : menggambarkan kekuatan otot jantung untuk memompakan darah
ke seluruh tubuh.
3. After load : menggambarkan kekuatan/tekanan darah yang dipompakan oleh
jantung. After load dipengaruhi oleh sistemik vascular resistance dan pulmonary
vascular resistance.

Melalui monitoring beberapa parameter di bawah ini dapat diketahui bagaimana


perfusi sistemik seorang pasien yang menggambarkan status hemodinamiknya.
1. Blood Pressure (Tekanan Darah)
Dua macam cara pemantauan tekanan darah yang kita kenal. Pemantauan darah
Non Invasive(cuff pressure) dan Invasive Blood Pressure(arterial pressure)
a. Non Invasive Blood Pressure (NIBP)
Teknik pengukuran darah dengan menggunakan cuff atau manset, baik
secara manual maupun menggunakan mesin sebagaimana bedsidemonitor yang
ada di unit pelayanan Intensif. Ukuran manset harus disesuaikan dengan
besarnya lengan pasien, karena ketidak sesuaian ukuran manset akan
mengurangi validitas hasil pengukuran.
Data status hemodinamik yang bisa didapatkan adalah tekanan sistolik,
tekanan diastolic, dan tekanan rata-rata arteri (Mean Arterial Pressure=MAP)
Sistolik pressure adalah tekanan darah maksimal dari ventrikel kiri saat systole.
Diastolic pressure adalah gambaran dari elastisitas pembuluh darah dan
kecepatan darah saat dipompakan dalam arteri. MAP adalah tekanan rata-rata
arteri, menggambarkan perfusi rata-rata dari peredaran darah sistemik.
Hemodinamik Pressure Value

NORMAL
VALUE ABBREVIATION DEFINITION RANGE FORMULA

Mean MAP Tekanan rata-rata 70-90 2D + 1S3


Arterial yang dihasilkan mmHg
Pressure oleh tekanan
darah arteri disaat
akhir cardiac
cycle
Cardiac CO Banyaknya darah 5-6 HRXStroke
out put yang dipompakan L/min(at volume
oleh ventrikel rest)
dalam satu menit.
Stroke SV Banyaknya darah 60-130ml CO
Volume yang dipompakan
oleh ventrikel di HR X 1
setiap kali 000
denyutan
Central CVP Tekanan yang 6-12 cm Hasil
Venous dihasilkan oleh H2O4-15 pengukuran
pressure volume darah di mmHg
dalam jantung
sebelah kanan
Sangat penting bagi kita untuk mempertahankan MAP diatas 60 mmHg, untuk
menjamin perfusi otak, perfusi arteria coronaria, dan perfusi ginjal tetap terjaga.

b. Invasive Blood Pressure (IBP)


Pengukuran tekanan darah secara invasive dapat dilakukan dengan
melakukan insersi kanule ke dalam arteri yang dihubungkan dengan tranduser.
Tranduser ini akan merubah tekanan hidrostatik menjadi sinyal elektrik dan
menghasilkan tekanan sistolik, diastolic, maupun MAP pada layar monitor.
Setiap perubahan dari ketiga parameter diatas, kapanpun,dan berapapun maka
akan selalu muncul dilayar monitor. Ketika terjadi vasokonstriksi berat, dimana
stroke volume sangat lemah, maka pengukuran dengan cuff tidak akurat lagi.
Maka disinilah penggunaan IBP sangat diperlukan. Pada kondisi normal, IBP
lebih tinggi 2-8 mmHg dari NIBP Pada kondisi sakit kritis bisa 10-30 mmHg
lebih tinggi dari NIBP.

2. Central venous pressure (CVP)

4. CENTRAL VENOUS PRESSURE (CVP)


Tekanan vena central (Central Venous Pressure) adalah tekanan darah di atrium
kanan atau vena kava. Tekanan vena sentral (CVP) memberikan informasi tentang
tiga parameter volume darah, keefektifan jantung sebagai pompa, dan tonus vascular.
Pemantauan tekanan vena sentral merupakan pedoman untuk pengkajian fungsi
jantung kanan dan dapat mencerminkan fungsi jantung kiri apabila tidak terdapat
penyakit kardiopulmonar. Menurut Gardner dan Woods nilai normal tekanan vena
sentral adalah 3-8 cmH2O atau 2-6 mmHg. Sementara menurut Sutanto (2004) nilai
normal CVP adalah 4 – 10 mmHg.
1. Lokasi Pemantauan Vena untuk CVP
a. Vena Jugularis interna kanan atau kiri (lebih umum pada kanan)
b. Vena subklavia kanan atau kiri, tetapi duktus toraks rendah pada kanan
c. Vena brakialis, yang mungkin tertekuk dan berkembang menjadi phlebitis
d. Lumen proksimal kateter arteri pulmonalis, di atrium kanan atau tepat di atas
vena kava superior
2. Indikasi Pemasangan CVP
a. Pengukuran tekanan vena sentral (CVP)
b. Pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium
c. Pengukuran oksigenasi vena sentral
d. Nutrisi parenteral dan pemberian cairan hipertonik atau cairan yang mengiritasi
yang perlu pengenceran segera dalam sistem sirkulasi
e. Pemberian obat vasoaktif per drip (tetesan) dan obat inotropik
f. Sebagai jalan masuk vena bila semua tempat IV lainnya telah lemah
3. Gelombang CVP
Gelombang CVP terdiri dari, gelombang:
a= kontraksi atrium kanan
c= dari kontraksi ventrikel kanan
x= enggambarkan relaksasi atrium triskuspid
v= penutupan katup trikuspid
y= pembukaan katup trikuspid
4. Cara Pengukuran CVP
Pengukuran CVP secara nonivasif dapat dilakukan dengan cara mengukur
tekanan vena jugularis. Secara invasif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) memasang kateter CVP yang ditempatkan pada vena kava superior atau atrium
kanan, teknik pengukuran dptemnggunakan manometer air atau transduser
2) Melalui bagian proksimal kateter arteri pulmonalis . Pengukuran ini hanya
dapat dilakukan dengan menggunakan sistem transduser.
Tekanan Vena Jugularis
Pasien dalam posisi berbaring setengah duduk,kemudian perhatikan;
1) Denyut vena jugularis interna, denyut ini tidak bisa diraba tetapi bisa dilihat.
Akan tampak gel a (kontraksi atrium), c (awal kontraksi ventrikel-katup
trikuspid menutup), gel v (pengisian atrium-katup trikuspid masih menutup),
2) Normal,pengembungan vena setinggi manubrium sterni,
3) Bila lebih tinggi bearti tekanan hidrostatik atrium kanan meningkat, misal pada
gagal jantung kanan . Menurut Kadir A (2007), dalam keadaan normal vena
jugularis tidak pernah membesar, bila tekanan atrium kanan (CVP) naik sampai
10 mmHg vena jugulais akan mulai membesar. Tinggi CVP= reference point
tinggi atrium kanan ke angulus ludovici ditambah garis tegak lurus, jadi CPV=
5 + n cmH2O.
5. Peralatan dan Prosedur
a. Peralatan
 Heparin
 Set tekanan vena
 Set vena seksi
 Set infus dan cairan yang akan dipakai
 Stopcock 3-4 buah ( transduser tekanan mungkin akan digunakan )
 Standar infuse
 Manometer
 Plester
 Monitor EKG
 Garisan carpenter (waterpass)
b. Prosedur
1) Prainteraksi
Siapkan diri perawat:
o Cuci tangan
o Kaji status klien
2) Siapkan Alat
3) Orientasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pengukuran tekanan vena sentral kepada klien
dan keluarganya

4) Menempatkan klien pada posisi datar yang diinginkan untuk mendapatkan titik
nol
5) Menentukan titik nol manometer sesuai dengan tinggi atrium kanan yang
diperkirakan.
6) Memutar stopcock sehingga cairan infuse mengalir ke dalam manometer
sampai batas 20-25 cm H2O
7) Memutar stopcock sehingga cairan dalam manometer mengalir ke arah / ke
dalam pembuluh darah klien
8) Mengamati fluktuasi cairan yang terdapat dalam manometer dan dicatat pada
angka dimana cairan bergerak stabil. Ini adalah tekanan vena sentral
9) Mengenbalikan klien ke posisi semula
10) Memutar stopcock kea rah semula agar cairan infuse mengalir dari botol ke
pembuluh darah vena klien
11) Mencatat nilai tekanan vena sentral da posisi klien pada saat pengukuran.
Tekanan normal berkisar 5-12 cm H2O
12) Menilai kondisi klinis klien setelah pengambilan tekanan vena sentral
13) Mengobservasi tanda-tanda komplikasi
14) Mempertahankan kesterilan lokasi insisi
15) Mendokumentasikan prosedur dan respon klien pada catatan klien
6. Komplikasi Pemasangan CVP
Adapun komplikasi dari pemasangan kanulasi CVP antara lain :
 Nyeri dan inflamasi pada lokasi penusukan
 Bekuan darah karena tertekuknya kateter
 Perdarahan : ekimosis atau perdarahan besar bila jarum terlepas
 Tromboplebitis (emboli thrombus,emboli udara, sepsis)
 Microshock
 Disritmia jantung
7. Peran Perawat pada Pemasangan CVP
1) Sebelum Pemasangan
 Mempersiapkan alat untuk penusukan dan alat-alat untuk pemantauan
 Mempersiapkan pasien; memberikan penjelasan, tujuan pemantauan, dan
mengatur posisi sesuai dg daerah pemasangan

2) Saat Pemasangan
 Memelihara alat-alat selalu steril
 Memantau tanda dan gejala komplikasi yg dpt terjadi pada saat pemasangan spt
gg irama jtg, perdarahan
 Membuat klien merasa nyaman dan aman selama prosedurdilakukan
3) Setelah Pemasangan
 Mendapatkan nilai yang akurat dengan cara:( 1) melakukan Zero Balance:
menentukan titik nol/letak atrium, yaitu pertemuan antara garis ICS IV
dengan midaksila, (2) Zero balance: dilakukan pd setiap pergantian dinas ,
atau gelombang tidak sesuai dg kondisi klien, (3) melakukan kalibrasi untuk
mengetahui fungsi monitor/transduser, setiap shift, ragu terhadap gelombang.
 Mengkorelasikan nilai yg terlihat pada monitor dengan keadaan klinis klien.
 Mencatat nilai tekanan dan kecenderungan perubahan hemodinamik.
 Memantau perubahan hemodinamik setelah pemberian obat-obatan.
 Mencegah terjadi komplikasi & mengetahui gejala & tanda komplikasi (spt.
Emboli udara, balon pecah, aritmia, kelebihan cairan,hematom,
infeksi,penumotorak, rupture arteri pulmonalis, & infark pulmonal).
 Memberikan rasa nyaman dan aman pada klien.
 Memastikan letak alat2 yang terpasang pada posisi yang tepat dan cara memantau
gelombang tekanan pada monitor dan melakukan pemeriksaan foto toraks (CVP,
Swan gans).

Anda mungkin juga menyukai