Anda di halaman 1dari 25

66

 
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Metode Geolistrik Wenner Sounding

Pengukuran wenner sounding dilakukan pada titik sumber air panas

mengikuti lintasan A dengan panjang lintasan maksimum 16 meter yang

terbentang dalam jurus timur-barat. Lokasi titik sounding berada pada posisi

07°52’816” LS dan 112°29’822” BT dengan ketinggian 1108 meter.

Data yang didapat pada saat akuisisi data bukanlah merupakan nilai

resisitivitas batuan yang sebenarnya. Data tersebut harus diolah terlebih dahulu

menggunakan software IP2win agar didapat nilai resistivitas yang menyerupai

kondisi di dalam bumi. Data yang perlu diolah dalam software IP2win adalah data

arus, data beda potensial, serta data panjang jarak antar elektroda. Hasil

pengolahan data tersebut berupa strata dan pemodelan struktur pelapisan yang

terdapat di dalam bumi.

Pemodelan struktur di dalam bumi bisa didapatkan setelah kita

mencocokkan kurva data yang didapat dengan kurva standart, dengan catatan nilai

error pada saat pencocokan adalah kurang dari 10%. Nilai tersebut merupakan

acuan bahwa pemodelan lapisan batuan yang terukur di dalam bumi adalah valid.
67

 
4.1.1 Penentuan Lithologi

Jika dilihat dari peta geologi, lokasi daerah penelitian termasuk dalam

formasi batuan gunung api kuarter atas Qvp yang terdiri dari beberapa batuan

yaitu: batuan breksi gunungapi, lava, tufa, breksi tufaan, aglomerat dan lahar

(Geologi Lembar Malang). Sedangkan dari keadaan hidrogeologi maka daerah

tersebut merupakan daerah dengan tingkat akuifer produktif rendah, sehingga

dengan acuan tersebut, kita dapat menduga model pelapisan yang mungkin dari

interpretasi data geolistrik yang berupa nilai resistivitas batuannya.

Hasil pengolahan data geolistrik resistivitas wenner sounding yang

dilakukan dengan metode pencocokan kurva (curve matching) adalah berupa

model perlapisan bumi di bawah permukaan titik datum yang ditunjukkan pada

gambar berikut:

Gambar 4.1 Pencocokan kurva (curve matching) dan inversi model pelapisan bumi titik
sumber
Dari grafik pencocokan kurva di atas dapat dijelaskan bahwa kurva merah

menunjukkan kurva standart, kurva hitam dengan titik-titik lingkaran kecil

merupakan kurva data hasil pengukuran, sedangkan kurva biru merupakan

gambaran perlapisan. Teknik interpretasi yang digunakan untuk mendapatkan


68

 
gambaran model perlapisan bumi dibawah permukaan dilakukan dengan cara

memplot data dan mencocokkan kurva data hasil pengukuran dengan kurva

standart. Metode ini secara prinsip berpedoman pada pencarian nilai error

minimum.

Dengan menerapkan metode tersebut akhirnya diperoleh jumlah lapisan

bumi sebanyak 6 lapisan dengan kedalaman maksimum adalah 7 meter dan nilai

error sebesar 2,86%. Hasil inversi ini menghasilkan penampang satu dimensi

disepanjang dinding sumur dengan nilai-nilai resistivitas yang mendekati keadaan

lithologi sebenarnya, ketebalan dan kedalaman untuk masing-masing lapisan

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 4.1 Hasil interpretasi jumlah lapisan pada titik datum

Dari nilai-nilai resistivitas tersebut dapat diduga lithologi batuan

penyusunnya setelah dikorelasikan dengan peta geologi setempat. Secara rinci

perlapisan yang bersesuaian dengan dugaan lithologi batuan penyusunnya dapat

dilihat sebagai berikut:


69

 
Tabel 4.2 Interpretasi lithologi titik datum
Kedalaman Ketebalan Tahanan
No Lithologi
(m) (m) Jenis (Ωm)

1 0,908 0,908 889 Breksi vulkanik

2 1,45 0,545 2574 Batuan lava

3 2,17 0,716 916 Breksi vulkanik

4 2,77 0,602 2277 Batuan lava

Campuran batuan lava +


5 7 4,23 3209
andesit

6 - - 7751 Tak terdefinisi

Hasil pengolahan data menunjukkan 6 lapisan yang menyusun struktur

bawah permukaan titik sumber. Lapisan pertama diinterpretasikan sebagai batuan

breksi vulkanik (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978) dengan nilai

resistivitas batuan sebesar 889 ohm meter, ketebalan 0,908 meter dan berada pada

kedalaman 0.908-1,45 meter. Lapisan kedua diinterpretasikan sebagai batuan lava

dengan resistivitas batuan sebesar 2574 ohm meter, ketebalan 0,545 dan berada

pada kedalaman antara 1,45-2,17 meter. Lapisan ketiga diinterpretasikan sebagai

batuan breksi vulkanik dengan resistivitas batuan sebesar 916 ohm meter,

ketebalan 0,716 meter dan berada pada kedalaman antara 2,17-2,77 meter.

Lapisan keempat diinterpretasikan sebagai batuan lava dengan nilai resistivitas

batuannya sebesar 2274 ohm meter, ketebalan 0,602 meter dan berada pada

kedalaman antara 2,77-7 meter. Lapisan kelima dengan resistivitas batuan sebesar

3209 ohm meter, ketebalan 4,23 meter dan berada pada kedalaman 7 meter

diinterpretasikan sebagai campuran batuan lava + andesit dan lapisan terakhir


70

 
yaitu lapisan keenam yang dapat dijangkau dengan nilai resistivitas batuan sebesar

7751 ohm meter, juga tidak dapat diinterpretasikan jenis batuannya. Ketebalan

dan kedalaman untuk lapisan terakhir ini juga tidak terdeteksi. Batuan breksi

vulkanik maupun batuan lava, keduanya merupakan batuan endapan hasil

pelapukan batuan beku yang berasal dari aktivitas gunungapi pada masa lampau.
71

Titik sumber
Elevasi : 1108 meter
07°52’816” LS
112°29’822” BT

Gambar 4.2 Lithologi bawah permukaan titik sumber

Keterangan:

: lapisan dengan nilai resistivitas 100-1000 ohm meter

: lapisan dengan nilai resistivitas 2000-3000 ohm meter

: lapisan dengan nilai resistivitas > 3000 ohm meter

: lapisan dengan nilai resistivitas >7000 ohm meter


72

 
Gambar 4.2 merupakan representasi lithologi dari sumur loging pada

lintasan A yang dibedakan atas range nilai resistivitasnya dengan warna yang

berbeda. Pada gambar penampang tersebut diinterpretasikan dengan empat macam

warna yang merepresentasikan formasi batuan. Berdasarkan warna pengisi

lapisan-lapisan di atas dapat diinterpretasikan bahwa interval resistivitas antara

100-1000 ohm meter ditunjukkan dengan warna , yang diduga merupakan

lapisan didominasi oleh breksi vulkanik. Selanjutnya, lapisan dengan nilai interval

resistivitas antara 2000-3000 ohm meter ditunjukkan dengan warna ,yang

diduga merupakan lapisan yang didominasi oleh batuan lava. Selanjutnya, lapisan

dengan nilai resistivitas batuan > 3000 ohm meter diinterpretasi sebagai campuran

batuan lava dan andesit. Lapisan pertama dan ketiga diduga merupakan lapisan

yang sama yaitu lapisan yang didominasi oleh breksi vulkanik. Secara fisik batuan

ini agak kompak, berwarna coklat keabu-abuan, masif, fragmen batuan tersusun

oleh andesit, porfiri, batuapung, mineral terang dan kaca gunungapi, berbutir

kasar-bom dengan bentuk menyudut tanggung-membundar, kemas terbuka dan

kesarangan pada batuan cukup baik. Lapisan breksi vulkanik diduga merupakan

batuan sarang karena memiliki banyak rekahan dan diperkirakan memiliki sifat

permeabel yang berfungsi menampung air yang telah terpanasi. Lapisan pertama

mempunyai nilai resistivitas batuan yang lebih kecil daripada lapisan ketiga. Hal

ini diduga dipengaruhi oleh komposisi kimiawi penyusun batuan yang berbeda

serta ukuran fragmen yang berbeda. Semakin besar ukuran fragmennya dan

semakin banyak jumlahnya umumnya harga tahanan jenisnya semakin besar.

Lapisan pertama diduga memiliki ukuran fragmen batuan yang lebih kecil
73

 
daripada ukuran fragmen batuan pada lapisan ketiga sehingga nilai resistivitas

batuan pada lapisan pertama lebih kecil daripada nilai resistivitas lapisan ketiga.

Untuk lapisan kedua dan keempat diinterpretasikan tersusun atas lapisan yang

sama yaitu batuan lava. Akan tetapi nilai resistivitas batuannya juga berbeda.

Lapisan kedua mempunyai nilai resistivitas batuan yang lebih besar daripada

lapisan keempat. Hal ini diduga karena perbedaan ukuran fragmen batuan

penyusunnya. Lapisan kedua diduga memiliki ukuran fragmen batuan yang lebih

besar dengan jumlah yang lebih banyak sedangkan lapisan keempat diduga

memiliki ukuran fragmen batuan yang lebih kecil, sehingga nilai resistivitas

batuan lapisan kedua lebih besar daripada lapisan keempat. Secara fisik batuan

lava berwarna kelabu gelap, kompak, material penyusun batuan terdiri atas

mineral plagioklas, piroksen, amfibol. Batuan ini menunjukkan kemas tertutup

dan porositas batuan jelek karena pada batuan ini porositas yang berkembang

adalah porositas sekunder berupa patahan.

4.2 Metode Geolistrik Wenner Mapping

Pengambilan data pada konfigurasi ini terdiri dari dua lintasan yaitu

lintasan B (panjang lintasan 40 meter) dan lintasan C (panjang lintasan 30 meter) .

Untuk lintasan B dengan panjang lintasan 40 meter dilakukan pengukuran mulai

dari arah utara sumber (±6 meter) kearah selatan, dengan panjang bentangan atau

spasi antar elektroda sebagai berikut : 1) pada n1 panjang bentangan antar

elektroda sebesar 3 meter dan diperoleh data sebanyak 12 datum point (data hasil

pengukuran terlampir). 2) Pada n2 panjang bentangan antar elektroda sebesar 6


74

 
meter dan diperoleh data sebanyak 5 datum point (data hasil pengukuran

terlampir). 3) Pada n3 panjang bentangan antar elektroda sebesar 9 meter dan

diperoleh data sebanyak 2 datum point (data hasil pengukuran terlampir).

Kemudian yang terakhir pada n4 panjang bentangan antar elektroda sebesar 12

meter dan diperoleh data sebanyak 1 datum point (data hasil penelitian terlampir).

Selanjutnya untuk lintasan C dengan panjang lintasan 30 meter dilakukan

pengukuran mulai dari arah timur laut ke barat daya dan diperoleh 26 datum point

mulai dari pengambilan data pertama hingga terakhir (n5) yakni : 1) Pada n1

panjang bentangan atau spasi antar elektroda sebesar 2 meter, sehingga diperoleh

data sebanyak 14 datum point. 2) Pada n2 panjang bentangan elektroda atau spasi

antar elektroda sebesar 4 meter dan diperoleh data sebanyak 6 datum point. 3)

Pada n3 panjang bentangan antar elektroda sebesar 6 meter dan diperoleh data

sebanyak 3 datum point. 4) Untuk pengambilan data keempat atau n4 spasi antar

elektrodanya sebesar 8 meter dan diperoleh 2 datum point. 5) Pada n5 diperoleh

data sebanyak 1 datum point dengan panjang bentangan atau spasi antar elektroda

sebesar 10 meter (data terlampir).

Selain data-data diatas, juga diukur posisi lintang, bujur serta ketinggian

sepanjang lintasan pada setiap titik datum. Untuk lintasan B diperoleh data survey

dengan GPS (Global Positioning System) type Garmin sebanyak 20 data sesuai

dengan jumlah datum point yang telah tercatat. Kemudian untuk lintasan C

diperoleh data survey sebanyak 26 data sesuai dengan jumlah datum point.
75

 
4.2.1 Interpretasi Data

Dalam menentukan lithologi bawah permukaan pada lintasan B dan C di

sekitar sumber air panas Kasinan Pesanggrahan Batu pada penelitian tentang

eksplorasi potensi hidrothermal dilakukan melalui dua tahap, yaitu : Interpretasi

Kualitatif dan Interpretasi Kuantitatif.

4.2.1.1 Interpretasi Kualitatif

Interpretasi kualitatif dilakukan dengan cara membaca pola anomaly

resistivitas atau tahanan jenis yang kemudian dihubungkan dengan tataan geologi

dan data-data kebumian lainnya, sehingga secara umum dapat memberikan

gambaran struktur geologi bawah permukaan daerah penelitian. Berdasarkan

hasil pemetaan, yaitu peta bawah permukaan pada lokasi penelitian yang terbagi

dalam dua lintasan (B dan C) diperoleh penafsiran sebagai berikut :

Pada lintasan B (panjang lintasan 40 meter berada dekat dengan sumber

air panas) hasilnya setelah dikorelasikan dengan data geologi daerah penelitian

yaitu diduga terdiri atas beberapa batuan endapan hasil pelapukan batuan beku

diantaranya : breksi gunungapi, batuan lava, aglomerat dan tufa (tabel resistivitas

batuan oleh Suyono, 1978)

Pada lintasan C (panjang lintasan 30 meter) setelah dikorelasikan dengan

data geologi hasilnya diduga bahwa kandungan batuannya tidak jauh berbeda

dengan lintasan satu. Dari peta penampang bawah permukaan dapat ditafsir

bahwa dibawahnya terdapat beberapa batuan seperti tufa, aglomerat, breksi

gunungapi, dan batuan lava (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978).
76

 
4.2.1.2 Interpretasi Kuantitatif

Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan menganalisa penampang pola

anomaly resistivitas sepanjang lintasan tertentu yang telah ditentukan. Interpretasi

kuantitatif dilakukan berdasarkan hasil penafsiran kualitatif, sehingga dapat

menentukan bagian-bagian penampang anomali yang menarik untuk ditafsirkan

struktur geologi bawah permukaannya. Namun dalam interpretasi kuantitatif ini

terdapat ambiguitas karena beragam model yang dapat dihasilkan, disebabkan

oleh adanya parameter faktor geometri, rapat massa, dan kedalaman yang tidak

pasti. Oleh karena itu diperlukan data pendukung berupa data geologi daerah

penelitian serta data geofisika lainnya.

Dalam penelitian ini, data pendukung yang digunakan dalam interpretasi

kuantitatif berupa data geologi (peta geologi daerah penelitian), data nilai

resistivitas batuan, serta data pendukung geofisika lainnya yang berupa kondisi

hidrogeologi, sehingga kondisi atau gambaran struktur bawah permukaan daerah

penelitian dapat diuraikan sebagai berikut :

 Lintasan B

Berdasarkan hasil interpretasi kualitatif diatas bahwa pada lintasan B

terdapat berbagai macam batuan hasil endapan pelapukan batuan beku. Namun

pada interpretasi kualitatif ini yang akan dibahas adalah formasi batuan yang

membawa sifat air panas (hidrothermal) yang terdapat sepanjang lintasan

tersebut. Setelah dikorelasikan dengan data geologi diduga bahwa penampang


77

 
bawah permukaan lintasan B terdiri atas breksi gunungapi, batuan lava, aglomerat

dan tufa (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978).

Titik sounding

Lapisan
pembawa
air panas

Gambar 4.3 Lapisan pembawa air panas lintasan B

Untuk lintasan B, penampang anomali resistivitas yang diduga sebagai

pembawa air panas yaitu lapisan yang di interpretasikan dengan warna biru (baik

biru tua maupun biru cerah). Lapisan dengan warna biru tua tersebut

(resistivitas batuan sebesar 28,2 ohm meter) diduga didominasi oleh batuan tufa

gunungapi yang berada pada interval resistivitas sebesar 20-200 ohm meter (tabel

batuan oleh Suyono, 1978) . Batuan tufa gunungapi berukuran pasir halus-lapili

dengan ketebalan lapisan yang bervariasi dari 0,5 cm – 2 m, terpilah sedang,

batuan sedikit kompak, dan sangat poros, sedangkan warna biru dengan

nilai resistivitas sebesar 84,2 ohm meter diduga juga merupakan tufa gunungapi

(tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978). Selanjutnya lapisan dengan warna

biru cerah dan dengan nilai resistivitas sebesar 251 ohm meter

diinterpretasikan sebagai aglomerat yang berada pada interval resistivitas 100-


78

 
500 ohm meter (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978). Batuan ini tidak

kompak, berwarna kelabu-coklat kemerahan, berukuran pasir sangat kasar-bom,

berkomponen pecahan batuan, mineral hitam, obsidian dan kaca gunungapi,

dalam masadasar tuf pasiran dan abuan. Kemudian warna biru kehijauan

asd diinterpretasikan sebagai breksi vulkanik dengan resistivitas batuan sebesar

747 ohm meter (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978). Secara fisik batuan

ini agak kompak, berwarna coklat keabu-abuan, masif, fragmen batuan tersusun

oleh andesit, porfiri, batuapung, mineral terang dan kaca gunungapi, berbutir

kasar-bom dengan bentuk menyudut tanggung-membundar, kemas terbuka dan

kesarangan pada batuan cukup baik. Selanjutnya, lapisan dengan warna hijau,

hijau tua, kuning hingga merah diinterpretasikan sebagai batuan lava dengan nilai

resistivitas batuan diatas 2000 ohm meter. Batuan lava ini secara fisik berwarna

kelabu gelap, kompak, material penyusun batuan terdiri atas mineral plagioklas,

piroksen, amfibol. Batuan ini menunjukkan kemas tertutup dan porositas batuan

jelek karena pada batuan ini porositas yang berkembang adalah porositas sekunder

berupa patahan.

 Lintasan C

Pada lintasan C dengan panjang lintasan 30 meter hasilnya setelah

dikorelasikan dengan data geologi adalah tidak jauh berbeda dengan lintasan

pertama. Dari peta penampang bawah permukaan dapat ditafsirkan bahwa

dibawahnya terdapat berbagai batuan diantaranya batu tufa gunungapi, breksi


79

 
vulkanik, aglomerat dan batuan lava (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978)

Lapisan
pembawa
air panas

Gambar 4.4 Lapisan pembawa air panas pada lintasan C

Penampang anomali resistivitas yang menarik adalah warna biru (baik biru

tua maupun biru cerah), akan tetapi karena panjang lintasan yang pendek sehingga

kedalaman yang diperoleh juga dangkal menyebabkan hasil penelitian juga kurang

maksimal. Pada lintasan C penampang anomali resistivitas yang diduga sebagai

pembawa air panas yaitu lapisan yang di interpretasikan dengan warna biru baik

biru tua maupun biru cerah. Lapisan dengan warna biru tua i tersebut

(resistivitas batuan sebesar 13,6 ohm meter) diinterpretasikan sebagai tufa

gunungapi yang terlempungkan (tabel batuan oleh Suyono, 1978), dimana batuan

ini dapat menyimpan air. Sedangkan warna biru dengan nilai resistivitas

sebesar 42,6 ohm meter diduga merupakan tufa gunungapi (tabel resistivitas

batuan oleh Suyono, 1978). Batuan tufa gunungapi berukuran pasir halus-lapili

dengan ketebalan lapisan yang bervariasi dari 0,5 cm–2 m, terpilah sedang, batuan

sedikit kompak, dan sangat poros. Selanjutnya lapisan dengan warna biru agak

cerah dan biru cerah dengan nilai resistivitas sebesar 133 ohm meter
80

 
diinterpretasikan sebagai aglomerat yang berada pada interval resistivitas 100-

500 ohm meter (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978). Batuan ini tidak

kompak, berwarna kelabu-coklat kemerahan, berukuran pasir sangat kasar-bom,

berkomponen pecahan batuan, mineral hitam, obsidian dan kaca gunungapi,

dalam masadasar tuf pasiran dan abuan. Lapisan yang terakhir adalah warna biru

kehijauan diinterpretasikan sebagai breksi vulkanik dengan resistivitas batuan

sebesar 416 ohm meter (tabel resistivitas batuan oleh Suyono, 1978). Secara fisik

batuan ini agak kompak, berwarna coklat keabu-abuan, masif, fragmen batuan

tersusun oleh andesit, porfiri, batuapung, mineral terang dan kaca gunungapi,

berbutir kasar-bom dengan bentuk menyudut tanggung-membundar, kemas

terbuka dan kesarangan pada batuan cukup baik. Lapisan dengan warna hijau,

hijau tua, kuning hingga merah diinterpretasikan sebagai batuan lava dengan nilai

resistivitas batuan diatas 2000 ohm meter. Secara fisik berwarna kelabu gelap,

kompak, material penyusun batuan terdiri atas mineral plagioklas, piroksen,

amfibol. Batuan ini menunjukkan kemas tertutup dan porositas batuan jelek

karena pada batuan ini porositas yang berkembang adalah porositas sekunder

berupa patahan.

4.2.2 Penentuan Zona Hidrothermal

Di dalam pembentukan sistem hydrothermal ada beberapa syarat tertentu

yang harus terpenuhi seperti harus tersedianya air, batuan pemanas, atau sumber

panas lainnya (misalnya panas yang ditimbulkan oleh pergerakan sesar aktif,

dimana sumber panas ini tersebar di sepanjang bidang sesar), batuan sarang dan
81

 
batuan penutup (cap rock). Pada hasil interpretasi yang diperoleh, tidak semua

syarat tersebut terdeteksi. Pada lintasan B dan C, yang terdeteksi sebagai lapisan

pembawa air panas adalah lapisan yang tersusun atas tufa gunungapi dimana tufa

gunungapi berukuran pasir halus hingga kerikil yang diduga merupakan batuan

sarang. Lapisan ini diduga mampu membawa air panas karena memiliki porositas

yang tidak terlalu jelek. Diluar lapisan ini terdeteksi adanya lapisan batuan

aglomerat berukuran pasir kasar-bom. Lapisan ini diduga masih mampu

membawa air. Lapisan selanjutnya adalah batuan breksi vulkanik yang diduga

merupakan batuan sarang karena memiliki banyak rekahan dan sifat kesarangan

batuan cukup baik serta diperkirakan memiliki sifat permeabel yang berfungsi

menampung air yang telah terpanasi, sedangkan lapisan yang paling luar

merupakan lapisan batuan lava yang memiliki porositas jelek atau porositas

sekunder berupa patahan sehingga tidak bisa mengalirkan air jika tidak terdapat

patahan pada lapisan batuan ini.

Pada gambar penampang bawah permukaan baik pada lintasan B maupun

C terlihat bahwa lapisan air panas tersebut tidak kontinu antara yang satu dengan

yang lain. Hal itu diduga karena adanya rekahan pada batuan penyusun bawah

permukaan, sehingga air panas akan mengalir melalui rekahan-rekahan tersebut

dan akan tertahan di satu tempat apabila pada lapisan tersebut mampu menyimpan

air. Akan tetapi hal ini masih berupa dugaan karena penelitian ini masih

merupakan penelitian pendahuluan, sehingga masih diperlukan serangkaian

penelitian lagi untuk membuktikan kebenarannya.


82

 
Pada dasarnya sumber energi panas bumi berasal dari magma yang berada

di dalam bumi. Magma tersebut menghantarkan panas secara konduktif pada

batuan disekitarnya. Panas tersebut juga mengakibatkan aliran konveksi fluida

hidrotherma1 di dalam pori-pori batuan. Kemudian fluida hidrothermal ini akan

bergerak ke atas namun tidak sampai ke permukaan karena tertahan oleh lapisan

batuan yang bersifat impermeabel. Dengan adanya lapisan impermeabel tersebut,

maka hidrothermal yang terdapat pada reservoir panasbumi terpisah dengan

groundwater yang berada lebih dangkal. Akan tetapi sampai dengan saat ini

belum dapat diketahui secara pasti apakah air panas itu berasal dari pemanasan

batuan dasar (berupa magma) dibawah titik sumber atau hanya merupakan aliran

air panas dari daerah yang lain yang muncul ke permukaan akibat adanya rekahan

pada batuan yang merupakan aliran air panas.

Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Bagus Priyambodo dengan

menggunakan metode geolistrik di daerah Songgoriti Batu, arah akumulasi fluida

panas menuju ke arah barat yang termasuk dalam rangkaian Cangar-Songgoriti-

Kasinan (timur laut-barat daya).

Untuk lebih jelasnya perhatikan peta kota Batu dibawah ini.


83

Air panas cangar

Air panas
songgoriti

Air panas
kasinan

Gambar 4.5 Peta Kota Batu

Keterangan: (sumber: Suhadi, 2011: 4-5)

1. Air panas cangar terletak pada ketinggian 1570 meter dan suhu air 47°C

2. Air panas Songgoriti terletak pada ketinggian 1005 meter dan suhu air 47°C

3. Air panas Kasinan terletak pada ketinggian 1175 meter dan suhu air 32°C

Berdasarkan hasil-hasil penelitian di atas, maka diduga bahwa air panas

yang terdapat di daerah Kasinan merupakan aliran air panas dari arah Songgoroti

dan Cangar. Air panas tersebut muncul ke permukaan diduga karena adanya

rekahan batuan dibawah permukaan.


84

 
4.3 Keberadaan Hidrothermal Menurut Kajian Al-Quran

Panas bumi (geothermal) secara sederhana dapat diartikan sebagai panas

natural (alamiah) yang tersimpan di dalam bumi. Sedangkan pengertian yang lebih

luas adalah panas natural (alamiah) di dalam bumi yang terperangkap karena

adanya tekanan dari dalam bumi sehingga menerobos dekat ke permukaan,

karena itu secara ekonomis dapat diambil (diekstrak atau diproduksikan).

Pada dasarnya, panas bumi erat kaitannya dengan aktivitas gunungapi dan

adanya pergerakan sesar aktif didalam bumi. Kedua hal tersebut yang dapat

menimbulkan panas atau memberikan aliran panas pada batuan diatasnya.

Terbentuknya gunungapi tidak lain karena adanya gerakan-gerakan bumi. Benda-

benda penyusun material bumi tersebut bergerak saling menyeimbangkan dan

saling mempengaruhi sehingga terjadilah sebuah gerakan yang harmonis dalam

satu kesatuan gerakan dalam Planet Bumi. Semua gerakan diatas ternyata ikut

mendukung secara tidak langsung kehadiran kehidupan di muka bumi ini. Seperti

difirmankan oleh Allah dalam surat An- Naml ayat 88 (Wardhana, 2004 :110):

Artinya: “ Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di
tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah)
perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu;
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
85

 
Ayat di atas menjelaskan bahwa gunung-gunung memang tidak diam di

tempatnya, tetapi berjalan seperti jalannya awan. Hanya karena kita bersama-sama

dengan gunung-gunung itu berada di atas lempeng benua maka kita sulit

merasakan dan melihat pergerakannya. Awan tidak bergerak sendiri, tetapi

digerakkan oleh angin. Demikian pula dengan lempeng samudra dan benua, ia

tidak bergerak sendiri tetapi bergerak karena adanya konveksi magma dibawah

lapisan litosfer bumi. Seandainya kita hidup di atas lempeng samudra dan melihat

gunung-gunung berapi di atas lempeng benua, pasti kita akan melihat bahwa

gunung-gunung tersebut memang berjalan seperti jalannya awan (Sudarmojo,

2008:92)

Gunung api yang berada di Indonesia merupakan gunung api yang

terbentuk karena adanya proses tumbukan kerak bumi yang disebut lempeng

tektonik. Pada lempeng samudra terjadi zona pemisahan (pemekaran lantai

samudra) dimana lempeng tersebut seolah terpecah menjadi dua bagian yang

bergerak berlawanan karena adanya arus konveksi. Salah satu bagian dari

lempeng samudra ini kemudian bertabrakan dengan lempeng benua. Dari

perbedaan berat jenis yang sangat menonjol serta ketebalan lempeng samudra

yang lebih tipis (tebal ± 5 km) dibandingkan dengan lempeng benua (tebal ± 35

km) maka lempeng samudra ini menunjam ke bawah lempeng samudra.

Penunjaman yang disebut juga subduksi yang terjadi memiliki kedalaman

mencapai selubung bumi. Akibat dari tekanan yang besar daripada penunjaman

dan suhu yang lebih tinggi di lingkungan selubung bumi itu maka kerak bumi
86

 
yang menunjam tersebut melebur menjadi magma. Magma inilah yang kemudian

menjadi sumber panas utama dari panas bumi.

Berdasarkan konsep tektonik lempeng maka daerah-daerah yang memiliki

temperatur tinggi (hyperthermal) akan terletak di dalam daerah vulkanik aktif

(zona seismic belt), yang akan memungkinkan terbentuknya lapangan-lapangan

panas bumi bertemperatur tinggi. Lapangan yang bertemperatur rendah akan

terletak di luar jalur vulkanik aktif.

Selain batuan pemanas yang berupa magma, keberadaan air juga tidak

kalah pentingnya dalam sistem hidrothemal. Dengan adanya air inilah maka akan

muncul air panas dipermukaan bumi. Air yang dimaksud disini adalah air yang

berasal dari air hujan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-

Mu’minun/23 ayat 18 :

Artinya: “Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami
jadikan air itu menetap di bumi, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
berkuasa menghilangkannya.”

Aidh al-Qarni (2007:79) menafsirkan ayat tersebut bahwa Allah menurunkan air

yang penuh berkah dari langit sesuai kebutuhan manusia. Allah menampung air

hujan itu disumur-sumur dan mata air-mata air untuk mereka. Allah pun mampu

menghilangkan air itu dengan menyusutkannya ke dalam bumi menjadi air asin

atau mengering dari tempatnya.


87

 
Air hujan yang jatuh ke bumi sebagian akan mengalir di permukaan dan

sebagian meresap ke dalam tanah. Air permukaan, baik itu berupa sungai, danau

atau laut akan mengalami penguapan karena pemanasan matahari. Air yang masuk

ke dalam tanah akan membentuk aliran sungai bawah tanah atau akuifer, dan jika

melewati batuan pemanas maka air akan terpanasi. Air yang telah terpanasi

tersebut akan tertampung di dalam batuan sarang dan tertutupi oleh batuan yang

kedap air atau batuan penutup. Apabila batuan tersebut mengalami rekahan, maka

air tersebut akan keluar ke permukaan sebagai sumber air panas.

Metode geolistrik yang digunakan dalam penelitian ini bermanfaat untuk

mendeteksi adanya potensi air panas berdasarkan tingkat resistivitas batuannya.

Melalui pengukuran dengan metode geolistrik resistivitas dapat diketahui keadaan

lapisan geologi bawah permukaan dan dapat diketahui pula ada tidaknya potensi

air panas beserta penyebarannya.

Di Indonesia bahan bakar seperti minyak bumi, batu bara dan gas alam

sudah semakin menipis. Keadaan ini menginspirasi manusia untuk memikirkan

sumber energi alternatif. Salah satu sumber energi alternatif itu adalah energi

panas bumi. Panas bumi merupakan energi alternatif yang banyak memberikan

manfaat bagi manusia. Sebelum abad kedua puluh, fluida panas bumi

(hidrothermal) hanya digunakan untuk mandi, mencuci dan memasak. Dewasa ini

pemanfaatan fluida panas bumi sangat beraneka ragam, baik untuk pembangkit

listrik maupun untuk keperluan lainnya di sektor non-listrik, yaitu untuk pemanas

ruangan, rumah kaca, tanah pertanian, pengering hasil pertanian dan peternakan,

pengering kayu dan lain-lain.


88

 
Ada beberapa alasan mengapa kita perlu beralih pada energi panas bumi.

Beberapa di antaranya adalah (Anonymous, 2009: page 13-14):

a. Potensi Energi Geothermal Sangat Besar

Negara Indonesia dilewati sekitar 20% panjang sabuk api (ring of fire).

Jalur ini merupakan jalur dimana gunung api banyak dijumpai, dari gunung-

gunung api inilah sumber panas diperoleh. Menurut perkiraan yang tercatat hingga

saat ini ada sekitar 20.000 MW setara 40% potensi panas bumi dunia. Akan tetapi,

baru sekitar 3-4% saja yang dimanfaatkan. Jelas, ini sebuah peluang yang sangat

besar dan perlu dimanfaatkan.

b. Kemudahan Teknologi Energi Geothermal

Panas atau suhu tinggi ini sangat mudah dimengerti sebagai sumber

energi. Akan tetapi, perlu adanya transformasi energi ke dalam bentuk energi lain

sehingga siap pakai. Saat ini teknologi pemanfataan geothermal sudah ada, namun

karena Indonesia termasuk daerah tropis kebutuhan panas ini tidak banyak

diperlukan, justru kebutuhan pendingin yang diperlukan. Sementara kebutuhan

energi geothermal diperlukan terutama adalah untuk penerangan dan transportasi.

Penerangan di Indonesia hampir 100% mempergunakan listrik. Teknologi

konversi energi panas (steam) menjadi energi listrik sudah terbukti dimana-mana,

sehingga secara teknologi tidak ada masalah dengan pemanfaatan energi

geothermal ini. Contohnya, kereta api listrik di Jakarta sudah sejak lama

memanfaatkan listrik sebagai sumber penggeraknya. Hal ini tentunya juga akan
89

 
sangat mungkin untuk memanfaatkan geothermal sebagai energi pembangkit

energi listrik juga untuk kebutuhan industri (lapangan kerja).

c. Menyelamatkan Lingkungan

Pemanfaatan energi geothermal atau secara real dalam bentuk pembangkit

listrik bersifat ramah lingkungan. Hal ini disebabkan karena pembangkit energi

geothermal tidak membutuhkan bahan bakar untuk menghasilkan listrik sehingga

level emisinya sangat rendah. Ia membebaskan 1% - 3% karbondioksida dari

yang dikeluarkan energi fosil. Pembangkit tenaga geothermal menggunakan

sistem pencuci untuk memebersihkan udara dari hidrogen sulfida (H2S) yang

secara alami ditemukan di dalam uap air dan air panas. Pembangkit tenaga

geothermal membebaskan kurang dari 97% hujan asam penyusun sulfur daripada

bahan bakar fosil. Setelah uap air dan air dari reservoir tenaga geothermal

digunakan, air kembali diinjeksikan ke tanah. Selebihnya, karena level emisinya

rendah, maka pemanfaatannya pun mengurangi keberlanjutan global warming.

Kenyataan di atas merupakan gambaran kekuasaan Allah dalam

memberikan manusia kenikmatan dan tanda-tanda kekuasaannya. Manusia telah

dijadikan khalifah dan segala yang ada di dunia ini diperuntukkan untuk manusia.

Oleh karena itu sepatutnyalah semua manusia bersyukur atas segala nikmat itu.

Sebagaimana firman allah dalam surat Al-A’raaf/7 ayat 74, yang menjelaskan

bahwa allah telah memberikan manusia nikmat yang begitu besar di bumi ini, dan

manusia harus menjaga nikmat itu dengan tidak merusak bumi ini.
90

Artinya: “dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-


pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum 'Aad dan memberikan tempat
bagimu di bumi. kamu dirikan istana-istana di tanah-tanahnya yang
datar dan kamu pahat gunung-gunungnya untuk dijadikan rumah;
Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu merajalela di
muka bumi membuat kerusakan (Q.S Al-A’raaf: 74).

Penjelasan Al-Maraghi (1989) tentang ayat ini berupa konsekuensi

penciptaan Allah untuk manusia. Ketika Allah telah memberikan nikmat berupa

bumi ini, dengan dijadikannya gunung-gunung sebagai tempat tinggal, tanah yang

datar dijadikannya sebagai istana-istana atas karunia kecerdasan yang diilhamkan

oleh Allah kepada manusia. Konsekuensinya adalah untuk selalu mengingat

betapa besar nikmat itu dan bersyukur.

Ayat di atas dengan jelas menyebutkan perintah untuk mengingat nikmat-

nikmat yang telah diberikan Allah kepada manusia. Mengingat berarti manusia

harus bersyukur dengan segala kemudahan dan nikmat yang diberikan. Selain itu

dalam surat tersebut juga manusia diperintahkan untuk menjaganya. Karena

disebutkan bahwa “janganlah kamu merajalela di muka bumi ini dengan

membuat kerusakan”.

Anda mungkin juga menyukai