Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Bali

Gambar 2.1 Peta Geologi Pulau Bali

Menurut Purbohadiwidjoyo, (1974). dan Sandberg, (1909) dalam Dena (2012),


secara geologi Pulau Bali masih muda, batuan tertua berumur miosen. Secara garis
besar batuan di Bali dapat dibedakan menjadi beberapa satuan formasi seperti pada
Gambar 2.1.
Struktur geologi regional Bali dimulai dengan adanya kegiatan di lautan selama
kala Miosen Bawah yang menghasilkan batuan lava bantal dan breksi yang disisipi oleh
batu gamping. Di bagian selatan terjadi pengendapan oleh batu gamping yang
kemudian membentuk Formasi Selatan. Di jalur yang berbatasan dengan tepi utaranya
terjadi pengendapan sedimen yang lebih halus. Pada akhir kala Pliosen, seluruh daerah
pengendapan itu muncul di atas permukaan laut. Bersamaan dengan pengangkatan,
terjadi pergeseran yang menyebabkan berbagai bagian tersesarkan satu terhadap yang
lainnya. Umumnya sesar ini terbenam oleh bahan batuan organik atau endapan yang

3
lebih muda. Selama kala Pliosen, di lautan sebelah utara terjadi endapan berupa bahan
yang berasal dari endapan yang kemudian menghasilkan Formasi Asah. Di barat laut
sebagian dari

4
4

batuan muncul ke atas permukaan laut. Sementara ini semakin ke barat pengendapan
batuan karbonat lebih dominan. Seluruh jalur itu pada akhir Pliosen terangkat dan
tersesarkan (Zulmi dkk, 2015).
Kegiatan gunung api lebih banyak terjadi di daratan, yang menghasilkan gunung
api dari barat ke timur. Seiring dengan terjadinya dua kaldera, yaitu mula-mula kaldera
Buyan-Bratan dan kemudian kaldera Batur, Pulau Bali masih mengalami gerakan yang
menyebabkan pengangkatan di bagian utara. Akibatnya, Formasi Palasari terangkat ke
permukaan laut dan Pulau Bali pada umumnya mempunyai penampang Utara-Selatan
yang tidak simetris. Bagian selatan lebih landai dari bagian Utara. Stratigrafi regional
berdasarkan Peta Geologi Bali geologi Bali tergolong masih muda. Batuan tertua
kemungkinan berumur Miosen Tengah (Zulmi dkk, 2015)
Dilihat dari peta geologi Pulau Bali daerah bukit Jimbaran atau daerah RSPTN
Udayana tempat dilakukan pengambilan data termasuk dalam formasi selatan. Jenis
batuan yang terdapat di formasi selatan adalah batu gamping terumbu.

2.2 Metode Geolistrik


Geolistrik merupakan salah satu metode Geofisika untuk mengetahui perubahan
tahanan jenis lapisan batuan di bawah permukaan tanah dengan cara mengalirkan arus
listrik DC yang mempunyai tegangan tinggi ke dalam tanah. Injeksi arus listrik ini
menggunakan 2 buah elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah dengan
jarak tertentu. Dengan adanya aliran arus listrk tersebut, maka akan menimbulkan
tegangan listrik dalam tanah. Tegangan listrik yang terjadi di permukaan tanah diukur
dengan menggunakan multimeter yang terhubung melalui 2 buah "elektroda tegangan"
M dan N yang jaraknya lebih panjang dari jarak elektroda AB. Bila posisi jarak
elcktroda AB diubah menjadi lebih besar maka tegangan listrik yang terjadi pada
elektroda MN ikut berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang ikut terinjeksi
arus listrik pada kedalaman yang lebih besar. Seperti pada Gambar 2.2 (Broto dan
Afifah, 2008).
5

Gambar 2.2 Gambar Susunan Elektroda (Broto dan Afifah, 2008)

Dengan metode geolistrik dapat membedakan lapisan bumi berdasarkan


resistivitasnya. Besarnya resistivitas material-material dapat di lihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Nilai resistivitas material-material bumi (Telford,1990)


Material Resistivitas (Ohm-
Meter)
Pyrite (Pirit) 0.01 – 100
Quartz (Kwarsa) 500 - 800.000
Calcite (Kalsit) 1 x 1012 - 1 x 1013
Rock Salt (Garam Batu) 30 - 1 x 1013
Granite (Granit) 200 - 100.000
Andesite (Andesit) 1.7 x 102 - 45 x 104
Basalt (Basal) 200 - 100.000
Limestone (Gamping) 500 - 10.000
Sandstone (Batu Pasir) 200 - 8.000
Shales (Batu Tulis) 20 - 2.000
Sand (Pasir) 1 - 1.000
Clay (Lempung) 1 – 100
Ground Water (Air Tanah) 0.5 – 300
Sea Water (Air Asin) 0.2
Magnetite (Magnetit) 0.01- 1.000
Dry Gravel (Kerikil Kering) 600 - 10.000
Alluvium (Aluvium) 10 – 800
Gravel (Kerikil) 100 - 600

Berdasarkan teknik pengukuran geolistrik, dikenal dua teknik pengukuran yaitu


metode geolistrik resistivitas mapping dan sounding (drilling). Metode geolistrik
resistivitas mapping merupakan metode resistivitas yang bertujuan untuk mempelajari
variasi resistivitas lapisan bawah permukaan secara horisontal. Oleh karena itu, pada
metode ini digunakan jarak spasi elektroda yang tetap untuk semua titik maping (titik
amat) di permukaan bumi. Metode geolistrik resistivitas sounding bertujuan untuk
mempelajari variasi resistivitas batuan di bawah permukaan bumi secara vertikal. Pada
6

metode ini, pengukuran pada suatu titik sounding dilakukan dengan jalan mengubah-
ubah jarak elektroda. Perubahan jarak elektroda dilakukan dari jarak elektroda kecil
kemudian membesar secara gradual. Jarak elektroda ini sebanding dengan kedalaman
lapisan batuan yang terdeteksi (Reynolds, 2005).

2.3 Resistivitas Semu (Apparent Restivity)


Metode geolistrik tahanan jenis didasarkan pada anggapan bahwa bumi
mempunyai sifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini, tahanan jenis yang terukur
merupakan tahanan jenis yang sebenarnya dan tidak tergantung pada spasi elektroda.
Namun pada kenyataanya bumi tersusun atas lapisan-lapisan dengan resistivitas yang
berbeda-beda, sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-
lapisan tersebut. Karenanya, harga resistivitas yang diukur seolah-olah merupakan
harga resistivitas untuk satu lapisan saja. Resistivitas yang terukur sebenarnya adalah
resistivitas semu (ρa) (Reynolds, 2005).
Besar resistivitas semu dapat dinyatakan dalam bentuk:

∆V
ρa =K (2.1)
I

K=2 πa (2.3)

Dimana ρa adalah resisitivitas semu (Ohm meter), ∆ V adalah beda potensial


(Volt), I adalah kuat arus (Ampere), a adalah jarak antar elektroda (m) dan K adalah
faktor geometri (m). Faktor geometri yaitu besaran koreksi letak kedua elektroda
potensial terhadap letak kedua elektroda arus. Dengan mengukur ∆ V dan I maka dapat
ditentukan harga resistivitas (Reynolds, 2005).
Beberapa hal yang mempengaruhi nilai resistivitas semu adalah sebagai berikut:
a. Ukuran butir penyusun batuan, semakin kecil besar butir maka kelolosan arus
akan semakin baik, sehingga mereduksi nilai tahanan jenis.
b. Komposisi mineral dari batuan, semakin meningkat kandungan mineral clay
akan mengakibatkan menurunnya nilai resisivitas.
c. Kandungan air, air tanah atau air permukaan merupakan media yang
mereduksi nilai tahanan jenis.
7

d. Kelarutan garam dalam air di dalam batuan akan mengakibatkan


meningkatnya kandungan ion dalam air sehingga berfungsi sebagai konduktor.
e. Kepadatan, semakin padat batuan akan meningkatkan nilai resistivitas.

2.4 Konfigurasi Wenner


Metode ini diperkenalkan oleh Wenner (1915). Konfigurasi Wenner cukup
popular dipergunakan dalam pengambilan data geolistrik, baik 1D atau VES (Vertical
Electrical Sounding) maupun mapping 2D atau ERT (Electrical Resistivity
Tomography) (Milsom, 2003).

Gambar 2.3 Konfigurasi Wenner (Milsom, 2003)


Konfigurasi Wenner merupakan salah satu konfigurasi yang sering digunakan
dalam eksplorasi geolistrik dengan susunan jarak spasi sama panjang. Jarak antara
elektroda arus adalah tiga kali jarak elektroda potensial, jarak potensial dengan titik
sounding-nya adalah a/2, maka jarak masing elektroda arus dengan titik soundingnya
adalah 3a/2. Target kedalaman yang mampu dicapai pada metode ini adalah a/2. Dalam
akuisisi data lapangan susunan elektroda arus dan potensial diletakkan simetri dengan
titik sounding. Adapun skema gambar konfigurasi wenner dilihat pada Gambar 2.3.

Anda mungkin juga menyukai