Anda di halaman 1dari 34

‫ِالَّ شَا‬

‫ء إ‬ٍ ْ‫ِى شَى‬ ‫ف‬ ُ‫ْش‬


‫ُح‬ ْ ‫ن‬
‫الف‬ َ ‫َا‬ ‫ما ك‬ َ
ٍْ‫ِى شَى‬
‫ء‬ ‫ء ف‬ُ ‫َا‬ ‫َي‬ ْ
‫الح‬ َ ‫َا‬
‫ن‬ ‫ما ك‬َ َ‫ و‬،‫ه‬ُ‫ن‬ َ
ُ‫ن‬
‫ه‬ َ ‫َا‬
‫ِالَّ ز‬
‫إ‬
“Kekejian itu selalu membuat segala sesuatu menjadi jelek, sebaliknya malu itu selalu
membuat segala sesuatu menjadi bagus.” (HR. Tirmidzi)

Bahkan menurut Rasulullah saw, andai kata siafat malu itu berbentuk manusia, dia akan
tampil sebagai seorang yang saleh.

‫ُاًل‬
‫َج‬ َ ‫َا‬
‫ن ر‬ ‫ُاًل َلك‬
‫َج‬ ُ ‫َا‬
‫ء ر‬ ‫َي‬ ْ ‫ن‬
‫الح‬ َ ‫َا‬ ‫َلو‬
‫ْ ك‬
‫ا‬
‫ُل‬ ‫َ ج‬‫ْشُ ر‬
‫َح‬ ْ ‫ن‬
‫الف‬ َ ‫َا‬‫ْ ك‬‫َ َلو‬‫ و‬،‫اا‬ ِ ‫َا‬
‫لح‬ ‫ص‬
‫ْ ا‬
‫ءا‬ ‫ُاًل سُو‬
‫َج‬‫ن ر‬ ‫َلك‬
َ ‫َا‬
“Apabila sifat malu itu diumpamakan menjadi seseorang, maka ia akan menjadi seorang
yang asleh. Dan andaikata sifat keji itu diumpamakan seseorang, maka akan menjadi
orang jahat.” (HR. Thabrani)

Sifat malu dapat dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, malu kepada Allah SWT; kedua,
malu kepada diri sendiri; ketiga, malu kepada orang lain. Seseorang akan malu kepada Allah
apabila dia tidak mengerjakan perintah-Nya, tidak menjauhi larangan-Nya, serta tidak
mengikuti petunjuk-Nya. Orang yang malu terhadap Allah, dengan sendirinya malu terhadap
dirinya sendiri. Ia malu mengerjakan perbuatan salah sekalipun tidak ada orang lain yang
melihat atau mendengarnya. Penolakan akan datang dari dalam dirinya sendiri. Ia akan
mengendalikan hawa nafsunya dari keinginan-keinginan yang tidak baik. Setiap keinginan
untuk mengerjakan perbuatan yang rendah muncul, ia tertegun, tertahan, dan akhirnya
membatalkan keinginan tersebut. Setelah malu pada dirinya sendiri, dia akan malu
melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.16

Ketiga rasa malu di atas harus ditumbuhkan dan sipelihara terus menerus oleh seorang
muslim. Lebih-lebih lagi terhadap Allah SWT, karena malu kepada Allah inilah yang
menjadi sumber dari dua jenis malu lainnya. Dan malu kepada Allah adalah malu yang
bersumber dari iman, dair keyakinan bahawa Allah SWT selalu melihat, mendengar dan
mengawasi apa saja yang dia lakukan.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda :

:‫ قلنا‬،‫ْا من هللا حق الحيا ء‬‫ُو‬


‫ْي‬‫َح‬
‫ِسْت‬
‫ا‬
‫ و‬،‫إنا لنستحى من هللا يا رسول هللا‬
‫ ولكن اال‬،‫ ليس ذلك‬:‫ قل‬،‫الحمد هلل‬
‫ ان‬:‫ستحيا ء من هللا حق الحيا ء‬
‫تحفظ الر أ س وما وعى والبطن‬
،‫ و تذكر الموت والبلى‬،‫وما عى‬
‫ومن أراداال خر ة ترك زينة‬
،‫الدنيا وآ ثراال خرة على االولى‬
‫فمن فعل ذلك فقد ستحى من هللا حق‬
‫الحيا ء‬

“Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya:. Kami berkata: “Alhamdulillah, kami


juga merasa malu kepada Allah, wahai Rasulullah”. Selanjutnya Rasulullah saw
bersabda: “Bukan begitu (maksudnya bukan bicara saja), tetapi malu kepada Allah yang
sebenar-benarnya malu, hendaknay engkau memelihara kepala dan isiny, memelihara
perut serta apa yang dimakan, mengingat mati dan cobaanya. Barang siapa yang
mengharapkan hidup dunia dan menomorsatukan Akhirat dari Kehidupan Pertama.
Barang siapa yang sudah melaksanakan itu semua, maka ia telah merasa malu kepada
Tuhannya dengan sebaik-baiknya.” (HR. Tirmidzi)

Memelihara kepala dan isinya berarti memelihara lidah, mata, telinga dan menjaga akal
pikirannya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Memelihara perut berarti
menghindarkan diri dari makanan dan minuman yang haram, baik haram karena jenisnya,
maupun karena cara memperolehnya, dan juga berarti memelihara diri dari dorongan hawa
nafsu serakah.17

Malu dan Iman

Malu adalah salah satu refleksi iman. Bahkan malu dan iman akan selalu hadir bersama-
sama. Apabila salah satu hilang yang lain juga ikut hilang. Semakin kuat iman seseorang,
semakin teballah rasa malunya, demikian pula sebaliknya. Perhatikanlah beberapa hadits
berikut ini:
‫ِالَّ شَا‬
‫ء إ‬ٍ ْ‫ِى شَى‬ ‫ف‬ ُ‫ْش‬
‫ُح‬ ْ ‫ن‬
‫الف‬ َ ‫َا‬ ‫ما ك‬ َ
ٍْ‫ِى شَى‬
‫ء‬ ‫ء ف‬ُ ‫َا‬ ‫َي‬ ْ
‫الح‬ َ ‫َا‬
‫ن‬ ‫ما ك‬َ َ‫ و‬،‫ه‬ُ‫ن‬ َ
ُ‫ن‬
‫ه‬ َ ‫َا‬
‫ِالَّ ز‬
‫إ‬
“Iman itu mempunayi tujuh puluh cabang, yang paling utama adalah (pernyataan) Tiada
Tuhan melainkan Allah, dan yang paling rendah ialah menyingkirkan diri dari tengah jalan.
Dan malu adalah salah satu dari cabang iman.” (HR. Tirmidzi)

......................................................................................................................................................
.........................................

“malu itu sebagian dari iman, dan iman itu di dalam sorga. Lidah yang keji itu adalah
termasuk kebengisan, dan kebengisan itu di dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)

......................................................................................................................................................
....................................................................

“Rasa malu dan iman itu sebenarnya berpadu menjadi satu, maka bilamana lenyap salh
satunya hilang pulalah yang lainnya.” (HR. Hakim)

Akibat Hilangnya Malu

Rasa malu berfungsi mengontrol dan mengendalikan seseorang dari segala sikap dan
perbuatan yang dilarang oleh agama. Tanpa kontrol rasa malu seseorang akan bebas
melakukan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya. Dalam hal ini Rasulullah saw
bersabda:

......................................................................................................................................................
.....................................

“Sesungguhnya di antara yang didapat manusia dari kata-kata kenabian yang pertama
ialah: ”Jika engkau tidak lagi mempunyai sifat malu, maka berbuatlah sekehendak hatimu.”
(HR. Bukhari)

Penegasan Rasulullah di atas mengingatkan bahwa apabila seseorang tidak lagi memiliki sifat
malu maka dia akan kehilngan kontrol terhadap tingkah lakunya. Dia akan menjadi manusia
lepas kendali yang merasa bebas melakukan apa saja, tanpa mempertimbangkan halal haram,
baik buruk dan manfaat mudharat perbuatanya tersebut. Dia akan melakukan apa saja untuk
memuaskan hawa nafsunya. Segala macam cara dia halalkan untuk mencapai tujuannya.

Dalam kehidupan sehari-hari di tengah masyarakat, kita dapat merasakan kebenaran sebda
Rasulullah saw di atas. Betapa kita merasa heran apabila melihat seorang Muslim melanggat
nilai dna ajaran agamanya tanpa rasa rikuh sedikitpun. Seorang pedagang tidak malu-malu
menawarkan kepada pembeli untuk membuat kwitansi fiktif, seorang pegawai tidak malu-
malu meminta uang pelicin kepada anggota masyarakat yang sedang membutuhkan jasanya,
seorang mahasiswa tidak malu-malu menyontek ujian, seorang pemuda tidak malu-malu
berdua-duaan dengan gadis yang bukan mahramnya, seorang suami tidak malu-malu
membohongi isterinya, seorang bapak tidak malu-malu mengabaikan pendidikan anak-
anaknay, seorang anak tidak malu-malu mendurhakai orang tuanya. Bahkan sesuatu yang
rasanya mustahil terjadi menurut ukuran minimal iman sudah terjadi di tengah-tengah
masyarakat. Lihatlah misalnya berapa banyak kasus pagar makan tanaman; seorang ayah
kandung tidak malu-malu menzinai anaknya sendiri. Bahkan seorang suami tidak malu-malu
memaksa isterinya untuk mencarikan seorang gadis untuk diperkosa dihadapan isterinya
sendiri hanya untuk memuaskan nafsu balas dendamnya. Benar, bila budaya malu tidak lagi
hidup di tengah-tengah masyarakat maka manusia kehilangan kemanusiaannya, berubah
menjadi binatang, bahkan lebih jelek dari binatang.

Hilangnya sifat malu adalah awal dari kehancuran dan kebinasaan, dalam sebuah hadits
Rasulullah saw menjelaskan hal itu.

......................................................................................................................................................
.................................

“sesungguhnaya Allah ‘Azza wa Jalla, apabila ingin membinasakan seorang hamba, dia
akan mencabut dari dirinya rasa malu. Apabial sudah dicabut dari dirinya rasa malu, maka
engkau tidak mendapatkannya kecuali sebagai seorang pembenci lagi dibenci. Apabila
engaku tidak mendapatkannya kecuali sebagai seorang pembencii lagi dibenci maka akan
dicabut dari dirinya amanah. Apabila dicabut dari dirinya amanah, maka engkau tidak akan
mendapatkannya kecuali sebggai seorang pengkhianat lagi dikhianati. Apabila engkau tidak
mendapatkannya sebagai seorang pengkhianat lagi dikhianati maka akan dicabut dari dalm
dirinya rahmat. Apabila dicabut dari dirinya rahmat maka engkau tidak akan
mendapatkannya kecuali sebagai orang yang terkutuk lagi mengutuk. Apabila engkau tidak
mendapatkannya kecuali sebagai orang terkutuk lagi mengutuk maka akan dicabut dai
dirinya Islam.” (HR. Ibn Majah)

Malu, amanah, rahmah dan Islam, adalah empat hal yang saling berkait. Konsekuensi logis
dari hilangnya malu adalah hilangnya amanah. Bila amanah hilang, akan hilanglah rahmah,
dan bila rahmah hilang, hilanglah Islam.

Adakah orang yang tidak punya rasa malu mendapatkan peluang untuk menikmati kehidupan
dengan wajar? Kita yakin tidak, kecuali di tengah-tengah masyarakat yang juga sudah hilang
rasa malu. Bila seorang tidak punya rasa malu bagaimana mungkin dipercaya untuk
mengurusi materi, katena dia tidak akan malu-malu menyelewengkannya. Bagaimana
mungkin membuat janji dengannya, sebab dia tidak akan malu-malu melanggarnya.
Bagaimana mungkin diserahi tanggung jawab karena dia tidak malu-malu untuk
mengabaikannya. Pada akhirnya orang yang tidak punya rasa malu akan mengalami
kehancuran dan kebinasaan. Dan kalau sifat malu itu juga hilang dari masyarakat, maka
masyarakat itupun akan mengalami kehacuran dan kebinasaan.
Demikianlah, mudah-mudahan kita dapat selalu meningkatkan rasa malu kita dalam seluruh
aspek kehidupan.

1. SABAR

Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berarti menahan dan mengekang (al-habs wa al-kuf).
Secara terminologis sabar berarti menahan diri dari segala uang tidak diseukai karena
mengharap ridha Allah.18 Yang tidak disukai itu tidak selamanya terdiri dari hal-hal yang
tidak disenangi seperti musibah kematian, sakit, kelaparan dan sebagainya, tapi bisa juga
berupa hal-hal yang disenangi smisalnya segala kenikmatan duniawi yang disukai oleh
hawa nafsu. Sabar dalam hal ini berarti menahan dan mengekang diri dari
memperturutkan hawa nafsu.

Menurut Imam Al-Ghazali, sabar merupakan ciri khas manusia, binatang dan malaikat
tidak memerlukan sifat sabar. Binatang tidak memerlukan sifat sabar karena binatang
diciptakan tunduk sepenuhnya kepada hawa nasu, bahkan hawa nafsu itulah satu-satunya
yang mendorong binatang untuk bergerak atau diam. Binatang juga tidak memiliki
kekuatan untuk menolak hawa nafsunya. Sedangkan malaikat, tidak memerlukan sifat
sabar karena memang tidak ada hawa nafsu yang akan dihadapinya. Malaikat selalu
cenderung kepada kesucian, sehingga tidak diperlukan sifat sabar untuk memelihara dan
mempertahankan kesucian itu.19

Macam-macam Sabar

Menurut Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya Ash-shabrfi Al-Qur’an20, sabar dapat dibagi
kepada enam macam:

1. Sabar Menerima Cobaan Hidup


Cobaan hidup, baik fisik maupun nonfisik, akan menimpa semua orang, baik berupa
lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang dicintai, kerugian harta
benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab
itu tidak ada seorangpun yang dapat menghindar. Yang diperlukan adalah
menerimnaya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatu kepada
Allah SWT. Allah berfirman:
  
   
 
  
   
   
    
   
   
  
“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit kekuatan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang ssaar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah,
mereka mengucapkan Innaa lillahhi wa innaa ialaihi raaji’un. Mereka itulah yang
mendapatkan keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka
itulah orang-orang yang medapat petunjuk” (QS. Al-Baqarah 2: 155-157)
2. Sabar dari Keinginan Hawa Nafsu
Hawa nafsu menginginkan segal macam kenikmatan hidup, kesenangan dan
kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran.
Jangan sampai semua kesenangan hidup di dunia itu membuat seseorang lupa diri,
apalagi lupa Tuhan. Al-Qur’an mengingatkan, jangan sampai harta benda dan anak-
anak (di antara yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia) menyebabkan seseorang
lalai dari mengingat Allah SWT.
   
  
     
   
 

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-


anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat
demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun 63:9)
3. Sabar dalam Ta’at kepada Allah SWT
Dalam mena’ati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan
kesabaran. Allah berfirman:
   
  
    
 

“Tuhan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah
dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui
ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (QS. Maryam 19:65)

Penggunaan kata Ishthabir dalam ayat di atas – bentuk mubalaghah dari Ishbir-
menunjukkan bahawa dalam beribadah diperlukan kesabaran yang berlipat ganda
mengingat banyaknya rintangan baik dari dalam maupun dari luar.

4. Sabar dalam Berdakwah


Jalan dakwah adalah jalan panjang berliku-liku yang penuh dengan segala onak dan
duru. Seseorang yang melalui jalan itu harus memiliki kesabaran. Luqman Hakim
menasihati puteranya supaya bersabar menerima cobaan dalam berdakwah.

   


  
   
     
 

“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruh (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS.
Luqman 31: 17)

5. Sabar dalam Perang


Dalam peperangan sangat diperlukan kesabara, apalagi menghadapi musuh yang lebih
banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan teredesak sekalipun, seorang prajurit Islam
tidak boleh lari meninggalkan medan perng, kecuali sebagai bagian dari siasat perang
(QS. Al-Anfal 8:15-16). Diantara sifat-sifat orang-orang yang bertaqwa adalah sabar
dalam peperangan:
  ......
  
   
   
 

“......dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam


peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan merekalah itulah
orang-orang yang bertqwa.” (QS. Al-Baqarah 2:177)
6. Sabar dalam Pergaulan
Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami-isteru, antara orang tua dengan
anaknya, antara tetangga dengan tetangga, antara guru dan murid, atau dalam
masayarakat yang lebih luas, akan ditemui hal-hal yang tidak menyenagkan atau
menyinggung perasaan, oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari diperlukan
kesabaran, sehingga tidak cepat marah, atau memutuskan hubungan apabila menemui
hal-hal yang tidak disukai. Kepada para suami diingatkan untuk sabar terhadap hal-hal
yang tidak disukai pada diri isterinya, karena boleh jadi yang dibenci itu ternyata
mendatangkan banyak kebaikan.
   
  
   
   

“....Dan bergaullah dengan merekab secara patut. Kemudian apabila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banya.” (QS. An-Nisa’ 4: 19)

Keutamaan Sabar
Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Al-Qur’an mengaitkan sifat
sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Antara lain dikaitkan dengan
keyakinan (QS. As-Sajadah 32: 24), syukur (QS. Ibrahim 14: 5), tawakkal (QS. An-
Nahl 16: 41-42) dan taqwa (QS. Ali ‘Imran 3: 15-17). Mengaitkan satu sifat dengan
banyak sifat lainnya menunjukkan betapa istimewanya sifat itu.

Karena sabar merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orang-
orang yang sabar juga menempati posisi yang istimewa. Misalnya dalam
menyebutkan orang-ornag beriman yang akan mendapat sorga dan keridhaan Allah
SWT, orang-orang yang sabar ditempatkan dalam urutan yang pertamaa sebelum
yang lain-lainnya. Perhatikan firman Allah berikut ini:
    
    
    
  
   
    
   
   
   
  
 
 


“Katakanlah” “Inginkan aku kebaraekan kepadamu apa yang lebih dari yang
demikian itu?”. Untuk orang-orang yang bertaqwa, pad sisi Tuhan mereka ada sorga
yang mengalir dibawahnay sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan ada pula
pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya. Yaitu orang-orang yang berdo’a: “Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dsa kami dan peliharalah
kami dari siksa neraka. Yaitu orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap ta’at,
yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu
sahur.” (QS. Ali ‘Imran 3:15-17)

Di samping itu, setelah menyebutkan dua belas sifat hamba-hamba yang akan
mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT (dalam surat Al-Furqan 25: 63-74), Allah
SWT menyatakan bahwa mereka akan mendapatkan balasan sorga karena kesabatan
mereka. Artinya untuk dapat memenuhi dua belas sifat-sifat tersebut diperlukan
kesabaran.
  
   
  
“Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam sorga)
karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan
selamat di dalamnya”. (QS. Al-Furqan 25: 75)

Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar memagn sangat dibutuhkan sekali
untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat. Seorang mahasiswa tidak akan berhasil
mencapi gelar kesarjanaan tanpa sifat sabar dalam belajar. Seorang peneliti tidak akan
mendapat penemuan-penemuan ilmiah tanpa ada sifat sabat dalam penelitiannya.
Demikianlah seterusnya dalam seluruh aspek kehidupan.

Jaza’u
Lawan dari sifat sabar adalah al-jaza’u yang berarti gelisah, sedih, keluh kesah,
cemas dan putus asa,21 sebagaimana dalam firman Allah SWT:

   


     

“...... Sama saja bagi kita, mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak
mempunyai tempat untuk melarikan diri.” (QS. Ibrahim 14: 21)

     


    
    
  

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia


ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaiakan ia amat
kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” (QS. Al-Ma’arij 70: 19-22)

Ketidaksabaran dengan segal bentuknya adalah sifat yang tercela. Orang yang
dihinggapi sifat ini, bila menghadapi hambatan dan mengalami kegagalan akan
mudah goyah, berputus asa dan mundur dari medan perjuangan. Sebalinya apabila
mendapatkan keberhasilan jaga cepat lupa diri. Menurut ayat di atas, kalau ditimpa
kesusahan dia berkeluh kesah, kalau mendapat kebaikan ia amat kikir. Semestinyalah
setiap Muslim dan Muslimah menjauhi sifat uang tercela ini.

J. PEMAAF
Pemaaf adalah sifat suka memberi maaf terhadap kesalahan orang lanin tanpa ada
sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas. Dalam bahasa Arab pemaaf
sisebut Al-‘afwu yang secara etimologis berarti kelebihan atau berlebihan,
sebagaimana terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 219:

   


....... 
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang
berlehihan dari keprluan”...” (QS. Al-Baqarah 2:219)

Yang berlebihan seharusnya diberikan agar keluar. Dari pengertian mengeluarkan


yang berlebihan itu, kata al-‘afwu kemudian berkembang maknanya menjadi
penghapus luka atau bekas-bekas luka yang ada di dalam hati.22

Sifat pemaaf adalah salah satu dari manifestasi ketaqwaan kepada Allah SWT
sebagaimana yang dinyatakan dalam firman-Nya:

    


  
  
  
  
 
  
   
 

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada sorga yang
luasnya langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa. Yaitu
orang-orang yang menfkahkan (hartanya) bik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali-‘Imran 3: 133-134)

Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa
harus menunggu permohonan maaf dari yang bersalah. Menurut M. Quraish Shihab,
tidak ditemukan satu ayatpun yang menganjurkan untuk meminta maaf, tetapi yang
ada adalah perintah untuk memberi maaf.23

Sekalipun orang yang bersalah telah menyadari kesalahannya dan berniat untuk
meminta maaf, tetapi boleh jadi dia mengalami hambatan psikologis uantuk
mengajukan permintaan maaf. Apalagi bagi orang-orang yang merasa status sosialnya
lebih tinggi dari pada orang yang akan dimintainya maaf itu. Misalnay pemimpin
kepada rakyatnya, seorang bapak kepada anaknya, seorang manajer kepada
karyawannya, atau yang lebih tua kepada yang lebih muda. Barangkali itulah salah
satu hikmahnya, kenapa Allah memerintahkan untuk kira memberi maaf sebelum
dimintai maaf.
Lapang Dada
Tindakan memberi maaf sebaiknya diikuti dengan tindakan berlampang dada. Di
dalam beberapa ayat Al-Qur’an perintah memaafkan diikuti perintah berlapang dada.

     ....


  

“...........Maafkanlah mereka dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah senang


kepada orang-orang yang berbuat kebajika (terhdap yang melakukan kesalahan
kepadanya).” (QS. Al-Maidah 5: 13)

   


....      

“Hendaklah mereka memaafkan dan melapangkan dada! Apakah kamu tidak ingin
diampuni oleh Allah?” (QS. An-Nur 24: 22)

Untuk lebih memahami maksud berlapang dada ada baiknya dilakukan tinjauan
kebahasaan. Berlapang dada dalam bahasa Arab disebut dengan ash-shafhu yang
secara etimologis berarti lapang. Halaman pada sebuah buku dinamai shafhah karena
kelapangan dan keluasannya. Dari sini ash-shafhu dapat diartikan kelapangan dada.
Berjabat tangan mushafahah karena melakukannya menjadi perlambang kelapangan
dada.

Ibarat menulis diselembar kertas, jika terjadi kesalahan tulis, kesalahan itu akan
dihapus dengan alat penghapus. Tapi serapi-rapi penghapus tentu akan meninggalkan
bekas, bahkan barangkali kertas itu akan menjadi kusut. Supaya lebih baik dan lebih
rapi, sebaiknya diganti saja kertasnya dengan lembaran baru. Menghapus kesalahan
itulah yang disebut dengan memaafkan, sedangkan berlapang dada adalah menukar
lembaran yang salah dengan lembaran yang baru sama sekali. Jadi berlapang dada
menuntut seorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikitpun hubungan tidak
ternodai, tidak kusut dan tidak seperti halaman yang telha dihapus kesalahannya.24

Dendam
Lawan dari sifat pemaaf adalah dendam, yaitu menahan rasa permusuhan di dalam
hati dan menunggu kesempatan untuk membalas. Seorang yang pendendam tidak
akan mau memaafkan kesalahan orang lain sekalipun orang tersebut meminta maaf
kepadanya. Bagi dia, tidak ada maaf sebelum dia dapat kesempatan membalaskan
sakit hatinya. Dia bersedia menuggu dalam waktu yang lama dan bahkan berusah
dengan susah payah sekedar untuk dapat membalaskan sakit hatinya. Orang yang
enggan memberi maaf pada hakikatnya enggan memperoleh pengampunan dari Allah
SWT. Allah SWT sendiri Yang Maha Kuasa berjanaji akan memberi maaf dan
ampunan kepada setiap orang yang meminta ampun kepada-Nya. Apa alasan manusia
yang dha’if untuk tidak memberi maaf kepada sesama.

Abu Bakar RA pernah bertekad untuk menghentikan bantuan keuangan kepada


kerabatnya ataupun orang lain yang ikut terlibat menyiarkan berita bohong yang
disebarluaskan oleh orang-orang munafik Madinah untuk menjatuhkan nama ‘Aisyah
binti Abi Bakr, dan utuk seterusnya tentu akan merusak nama baik Rasulullah saw
sendiri sebagai suami ’Aisyah. Allah SWT menurunkan firman-Nya menegur tekad
Abu Bakar tersebut.25

    


   
 
    
   
      
  

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan diantara kamu
bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat (nya),
orang-orang yang miskin dn orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah
mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur
24: 22)

Sifat dipendam tidak hanya merusak pergaulan bermasyarakat juga merugikan dirinya
sendiri. Energi akan terkuras dalam memelihara dan berusaha untuk melampiaskan
dendamnya. Setiap kali dia melihat orang yang dia dendami, atau bahkan hanya melihat
rumah, kantor atau kendaraannya saja, hatinya sakit dan semangat membalas dendamnya
meluap-luap. Hal itu tentu akan menguras energinya dan membuat dia kelelahan. Oleh sebab
itu jauhilah sifat pendendam betapapun kecilnya.

Andaikata seorang tidak mampu menguasai marahnya segera terhadap orang lain yang
menyakiti atau menyinggung perasaannya, dia boleh menghindar untuk menenangkan dan
menguasai nafsu marahnya. Rasulullah saw memberi waktu tiga hari, karena tiga hari
tersebut dianggap sudah cukup untuk meredakan kemarahan. Setelah itu dia wajib kembali
menyambung tali persaudaraan dan persahabatan sesama Muslim. Rasulullah saw bersabda:

....................................................

“Tiidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari;
keduanya bertemu tetapi saling memalingkan mukanya. Dan yang paling baik di antara
keduanya ialah yang memulai lebih dahulu mengucapkan salam.” (H. Muttafaqun ‘Alaihi)

Demikianlah, mudah-mudahan kita semua menjadi orang-orang yang pemaaf.


Catatan Kaki:
1
Baca, Raid ‘Abdul Hadi, Mamarat al-Haq (t.t.p, t.p.t.t.), Jilid III B, hlm. 142-144.
2
Ibid, hlm. 146-147.
3
Muhammad al-Ghazali dkk, Wasiat Taqwa terjemahan Husein Muhammad (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986), hlm. 125-126.
4
Al-Mujid Fi al-Lughah al-I’lam, (beirut: Dar asy-Syuruq, 1986), hlm. 186.
5
Anton M. Moeliono dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Bali Pustaka, 1990), hlm.
341.
6
Lihat M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup (Solo: Ramadhani, 1984), hlm. 186
7
Ahmad Warsono Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: PP. Al-
Munawwir, 1984), hlm. 1019
8
Lihat Ahmad Muhammad Al-Hufi, Akhlak Nabi Muhammad SAW, Keluhuran dan
Kemuliaan, Terjemahan Masdar Helmy (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), hlm. 154.
9
Ibid, hlm. 157.
10
Al-Munjid, hlm. 106.
11
Raid ‘Abdul Hadi, Mamarat Al-Haq, III: 133.
12
Raid ‘Abdul Hadi, Mamarat Al-Haq, III B, 183-192.
13
Raid ‘Abdul Hadi, Mamarat Al-Haq, II B: 197-198.

Afif ‘Abd Al-Fattah Thabbarah, Ruh ad-Din al-Islami (Beirut: Dar Al-‘Ilmi li al-Malayin,
14

1978), hlm. 227


15
Ahmad Muhammad Al-Hufi, Akhlak Nabi Muhammad SAW, hlm. 391.

Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Qur’an (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), Hlm. 90. Lihat Juga Abu
16

Al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Al-Mawardi, Adab ad-Dunya wa ad-Din (Beirut: Dar Al-Fikr,
1955), hlm. 242-243.
17
Muhammda Al-Ghazali, Khuluq Al-Muslim (Kuwait: IIFSO, 1980), hlm. 281.
18
Yusuf Al-Qardhawi, Ash-Shabr Fi Al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 1989), hlm. 8.
19
Ibid, hlm. 10-11.
20
Ibid, hlm. 35-51.
21
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir, hlm. 204
22
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 247.
23
Ibid.
24
Ibid, hlm. 249.

Baca Catatan Kaki No. 1033, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Departemen Agama
25

RI).

BAB V

AKHLAQ DALAM KELUARGA

A. BIRRUL WALIDAIN
Istilah birrul walidain berasal langsung dari Nabi Muhammad saw. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa ‘Abdullah ibn Mas’ud-seorang seahabat Nabi yang terkenal
bertanya kepada Rasulullah saw tentang amalan apa yang paling disukai oleh Allah
SWT, beliau menyebutkan: Pertama, shalat tepat pada waktunya; Kedua, birrul
walidain dan Ketiga, jihad fi sabilillah. Teks selengkapnya sebagai berikut:
.................................................
“Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman ‘Abdullah ibn Mas’ud ra, dia berkata: Aku
bertanya kepada Nabi saw: Apa yang amalan yang paling disuaki oleh Allah SWT?
Beliau menjawab: “Shalat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi: Kemudian
apa? Beliau menjawab: “Birrul walidain”. Kemudian aka bertanya lagi: Seterusnya
apa? Beliau menjawab: jihad fi sabilillah.” (H. Muttafaqun ‘alaih)

Birrul walidain terdiri dari kata birru dan al-walidain. Birru atau al-birru artinya
kebajikan (ingat penjelasan tentan al-birru dalam surat Al-Baqarah ayat 177). Al-
walidain artinya dua orang tua atau ibu bapak. Jadi birrul walidain adalah berbuat
kebajikan kepada orang tua.

Semakna dengan birrul walidain, Al-Qur’an Al-Karim menggunakan istilah ihsan


(wa bi al-walidaini ihsana), seperti yang terdapat antara lain dalam surat Al-Isra’ ayat
23:

     


 
... 
“Dan Tuhanmu telah mlemetirintahakan supaya kamu jangan menyembah selain Dia
dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya....”
(Qs. Al-Isra’ 17: 23)

Kedudukan Birrul Walidain


Birrul walidain menemapati kedudukan yang istimewa dalam ajaran Islam. Ada
beberapa alasan yang membuktikan hal tersebut, antara lain:
1. Perintah ihsan kepada ibu bapak diletakkan oleh Allah SWT di dalam Al-Qur’an
langsung sesudah perintah beribadah hanya kepada-Nya semata-mata atau
sesudah larangan mempersekutukan-Nya. Allah berfirman:

   


    
....  
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil janji dari Bani Isra’il yaitu: “Janganlah
kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak...”
(QS. Al-Baqarah 2: 83)

   


   
..........  
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu Mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak...” (QS. An-
Nisa’ 4:36)

     


    
   
............... 
“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu, yaitu: Janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat
baiklah terhadap kedua orang ibu bapak ..” (QS. Al-An’am 6: 151)

2. Allah SWT mewasiatkan kepada uamt manusia untuk berbuat ihsan kepada ibu
bapak. Allah berfirman:

 
.....  
“Dan Kami wasiatkan (wajibkan) kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan
kepada dua orang ibu bapak...” (QS. Al-‘Ankabut 29:8)
 
.....  
“ Kami wasiatkan (wajibkan) kepada umat manusia supaya berbuat kebaikan
kepada dua orang ibu bapak...” (QS. Al-Ahqaaf 46: 15)

3. Allah SWT meletakkan perintah berterimakasih kepada ibu bapak langsung


sesudah perintah berterimakasih kepada Allah SWT. Allah berfirman:

 
  
    
   
  


“Dan Kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada dua
orang ibu bapaknya; Ibunya yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang semakin lemah, dan menyusukannya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu.” (QS. Luqman 31: 14)
4. Rasulullah saw meletakkan birrul walidain sebagai amalan nomor dua terbaik
sesudah shalat tepat pada waktunya.
..........................................
“Diriwayatkan dari Abu Abdirrahman ‘Abdullah ibn Mas’ud ra, dia berkata: Aku
bertanya kepada Nabi saw: Apa yang amalan yang paling disuaki oleh Allah
SWT? Beliau menjawab: “Shalat tepat pada waktunya”. Aku bertanya lagi:
Kemudian apa? Beliau menjawab: “Birrul walidain”. Kemudian aka bertanya
lagi: Seterusnya apa? Beliau menjawab: jihad fi sabilillah.” (H. Muttafaqun
‘alaih)
5. Rasulullah saw meletakkan ‘uququl walidain (durhaka kepada dua orang ibu
bapak) sebagai dosa besar nomor dua setelah syirik.
..............................
“Diriwayatkan olwh Abu Bakrah Nufa’i ibn al-Harits ra, dia berkata:
“Rasulullah saw bersabada: “Tidakkah akan aku beritahukan kepada kalian
dosa-dosa yang paling besar? Beliau mengulangi lagi pertanyaan tiga kali.
Kemudian para sahabat mengiyakan. Lalu Rasulullah saw menyebutkan: “Yaitu
mempersekutukan Allah dan durhaka kepada ibu bapak”. Kemudian beliau
merobah posisi duduknya yang semula bersitelekan menjadi duduk biasa dan
berkata lagi: “Begitu juga perkataan dan sumpah palsu.” Belliau mengulangi
lagi hal yang demikian hingga mengharapkan mudah-mudahan beliau tidak
menambahnya lagi.” (H. Muttafawun ‘ilaihi)
6. Rasulullah saw mengaitkan keridhaan dan kemarahan Allah SWT dengan
keridhaan dan kemarahan orang tua. Beliau bersabda:
..........................
“keridhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb
(Allah) ada pada kemarahan orang tua.” (HR. Tirmidzi)

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya menempatkan orang tua pada posisi yang
sangat istimewa sehingga berbuat baik kepada keduanya menempati posisi yang
sangat mulia, dan sebaliknya durhaka kepada keduanya juga menempati posisi
yang sangat hina. Hal demikian menurut hemat kita, mengingat jasa ibu bapak
yang sangat besar sekali dalam proses reproduksi dan regenerasi umat manusia.
Allah SWT menciptakan manusia buat pertama kali (Nabi Adam as) dari tanah,
dan menciptakan pasangannya (Hawa) dari tulang rusuk Adam, kemudian dari
pertemuan Adam dan Hawa berkekmbangalah umat manusia laki-laki dan
perempuan. Begitulah seterusnya Allah SWT menetapakan sunnah-Nya tentang
reproduksi dan regenerasi secara sah dan diridhai-Nya melalui hubungan suami
isteri antara seorang ibu dan bapak.

Secara khusus Allah juga mengingatkan betapa besar jasa dan perjuangan ibu
dalam mengandung, menyusui, mereawat dan mendidik anaknya. Perhatikanlah
kembali Al-Qur’an tentang hal tersebut dalam surat Luqman ayat 14 sebagaimana
yang sudah kita kutip di atas.

Kemudian bapak, sekalipun tidak ikut mengandung dan menyusui, tapi dia
berperan besar dalam mencari nafkah, membimbing, melindungi, membesarkan
dan mendidik anaknya hingga mampu berdiri sendiri, bahkan samapai waktu yang
tidak terbats.

Berdasarkan semuanya itu, tentu sangat wajar, normal dan logis saja kalau si anak
dituntut untuk berbuat kebaikan sebaik-baiknya kepada kedua orang tunaya , dan
dilarang keras untuk mendurhakai keduanya.

Bentuk-bentuk Birrul Walidain

Banyak cara bagi seorang anak untuk dapat mewujudkan birrul walidain tersebut, antara lain
sebagai berikut:

1. Mengikuti keinginan dan saran kedua orang tua dalam berbagai aspek kehidupan, baik
masalah pendidikan, pekerjaan, jodoh maupun masalah lainnya. Tentu dengan satu
catatan penting: Selama keinginan dan saran-saran itu sesuai dengan ajaran Islam.
Apabila bertentangan atau tidak sejalan dengan ajaran Islam, anak tidaklah punya
kewajiban untuk mematuhinya. Bahakan harus menolaknya dengan cara yang baik,
seraya berusaha meluruskannya. Hal demikian sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an:
    
      
   
............  
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuan tentang itu, maka janganlah kalian mengikuti keduanya di
dunia dengan baik....” (QS. Luqman 31: 15)

Juga sesuai dengan penegasan Rasulullah saw bahwa:


................
“Tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah, ketaantan hanyalah semata dalam
hal yang ma’ruf”. (HR. Muslim)

Dalam hal ini bisa muncul problem, bagiamana kelau terjadi perbedaan pendapat dan
keinginan antara orang tua dan anak dalam hal-hal yang mubah, atau dalam hal-hal
yang bersifat ijtihadiyah. Misalnya dalam menentukan perguruan tinggi yang akan
dimasuki, menentukan tempat bekerja, atau seperti yang banyak terjadi yaitu
perbedaan dalam menentuakn jodoh.

Dalam kasus menentukan jodoh, misalnya, sering-sering solusi yang diambil oleh si
anak adalah menikah tanpa memberi tahu orang tua. Kalau hal itu dilakukan oleh
seorang Muslimah, di samping dia melakukan pelanggaran akhlaq, juga pelanggaran
huku (fiqih), karena seorang wanita harus dinikahi oleh walinya, atau petugas
yangmendapat perwakilan dari walinya. Sedangkan kalau dilakukan oleh seorang
pemuda Muslim, dari segi hukum (fiqih) tidak ada yang dilanggarnya (nikahnya sah),
tapi bagaimana dari segi akhlaq? Bukankah dalam hal yang mubah, seoranga anak
dituntut patuh kepada orang tuanya? Alasan yang sering dikemukakan untuk
membenarkan tindakannya itu umumnya adalah tidak mau mungkir janji., tidak mau
mengecewakan calon isteri (karena sudah terlanjur berjanji) atau alasan-alasan
lainnya. Problem seperti itu muncul karena salah langkah sejak awal. Kenapa untuk
memutuskan hal yang begitu penting dalam kehidupan (memilih jodoh), tidak
mengajak kedua orang tua bermusyawarah. Baru kalau sudah terbentur, mengaku
tidak mau mengecewakan calon isterinya. Apakah dia lebih mengutamakan
mengecewakan kedua orang tua yang begitu besar jasanya, dibanding mengecewakan
seorang wanita yang baru saja dia kenal dalam waktu yang relatif singkat?

Dalam kasus-kasus seperti di atas itulah akhlaq seorang anak terhadap kedua orang
tuanya diuji. Maukah dika menomorduakan keinginannya demi melaksanakan birrul
walidain?

Namun demikian perlu juga dicatat, bahwa orang tua yang bijaksa tidak akan begitu
daja memaksakan keinginannya kepada anaknya, di seamping memang tidak ada
orang tua yang tidak menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Di sinilah diperlukan
dialog dan keterbukaan. Hendaknya anak berusaha dengan maksimaldan argumentatif
menjelaskan pilihannya tersebut, di samping mncoba serta tidak apriori memahami
argumentasi pilihan orang tua. Tentu saja kedua orang tua harus membuka diri dan
berusaha juga untuk memahami pilihan anak.

2. Menghormati dan memuliakan orang tua dengan penuh rasa terimakasih dan kasih
sayang atas jasa-jasa keduanya yang tidak mungkin bisa dinilai dengan apapun. Ibu
yang mengandung dengan susah payah dan penuh penderitaa. Ibu yang melahirkan,
menyusui, mengasuh, merawat dan membesarkan. Bapak yang membanting tulang
untuk mencari nafkah untuk ibu dan anak-anaknya. Bapak yang menjadi pelindung
untuk mendapatkan rasa aman. Allah SWT berwasiat kepada kita untuk
berterimakasih kepada ibu bapak sesudah bersyukur kepada-Nya:

  


    
    
   


“Dan Kami wasiatkan (wajibkan) kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
mbertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanay kepada-Kulah kembalinya”. (QS.
Luqman 31: 14)

Banyak cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang tua, antara lain dengan
memanggilnya dengan panggilan yang menunjukkan hormat, berbicara kepadanya
dengan lemah-lembut, tidak mengucapkan kata-kata kasar (apalagi kalau mereka
berdua sudah lanjut usia), pamit kalau meninggalkan rumah (kalau tinggal serumah),
memberi keadaan tentang kita dan menanyakan keadaan keduanya lewat surat atau
telepon (bila tidak tinggal serumah). Allah berfirman:

   


    
    
   

“....Jika seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut


dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganla kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah
kepada mereka perkataan yang mulia”. (QS. Al-Isra’ 17:23)

3. Membantu ibu bapak secara fisik dan materiel. Misalnya sebelum berkeluarga dan
mampu berdiri sendiri anak-anak membantu orang tua (terutama Ibu) mengerjakan
pekerjaan rumah; dan setelah berkeluarga atau berdiri sendiri memkbantu orang tua
secara finansial, baik untuk membelli pakaian, makanan, minuman, apalagi untuk
berobat. Rasulullah saw menjelaskan bahwa betapapun banyaknya engakau
mengeluarkan uang untuk membantu orang tuamu tidak sebanding dengan jasanya
kepadamu:
.....................
“Tidak dapat seorang anak membalas budi kebaikan ayahnya, kecuali jika
mendapatkan ayahnya tertawan menjadi hamba sahaya , kemudian ditebus dan
dimerdekakannya.” (HR. Muslim)

Rasulullah saw juga menjelaskan bahwa orang tua (lebih-lebih lagi ibu) harus
mendapatkan prioritas utama untuk dibantu dibandingkan dengan orang lain. Hal itu
diungkapkan beliau tatkala menjawab pertanyaan seorang sahabat:
...................
“Siapakah yang paling berhak aku bantu dengan sebaik-baiknya? Jawab Nabi:
“Ibumu”. Kemudian siapa? Jawab Nabi: “Ibumu”. Kemudian siapa? Jawab Nabi:
“Ibumu”. Lalu siapa lagi? Jawab Nabi: “Bapakmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Mendo’akan ibu bapak supaya diberi oleh Allah SWT ampunan, rahmat dan lain
sebagainya. Allah SWT menukilkan dalam Al-Qur’an do’a Nabi Nuh meminta
keampunan untuk orang tuanya, dan perintah kepada setiap anak untuk memohon
rahmat Allah bagi orang tuanya.

...    


“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku...” (QS. Nuh 71: 28)

   


   
  
 

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang dan
ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra’ 17: 24)
5. Setelah orang tua meninggal dunia, birrul walidain masih bisa diteruskan dengan cara
antara lain:
a. Menyelenggarakan jenazahnya dengan sebaik-baiknya
b. Melunasi hutang-hutangnya
c. Melaksanakan wasiatnya
d. Meneruskan silaturrahmi yang dibinanya di waktu hidup
e. Memuliakan sahabat-sahabatnya
f. Mendo’akannya

Seorang laki-laki dari Bani Salimah datang bertanya kepada Rasulullah saw:

................................
“Ya Rasulullah, adakah suatu kebaikan yang masih dapat saya kerjakan untuk ibu
bapak saya sesudah keduanya meninggal dunia? Rasulullah menjawab: “ada, yaitu:
Menshalatkan jenazahnya, memintakan ampun baginya, menunaikan janjinya,
meneruskan silaturrahminya dan memuliakan sahabatnya.” (HR. Abu Daud)

Demikianlah beberapa bentuk birrul walidain yang bisa kita lakukan terhadap kedua
orang tua baik yang masih hidup, maupun yang sudah meninggal dunia.

Uququl Walidain

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa Allah SWT menempatkan perintah untuk birrul
walidain langasung sesudah perintah untuk beribadah kepada-Nya, maka sebaliknya Allah
SWT pun menempatkan uququl walidain sebagai dosa besar yang menempati ranking kedua
sesudah syirik.

uququl walidain artinya mendurhakai kedua orang tua. Istilah inipun berasal langsung dari
Rasulullah saw, sebagaimana disebutkan dalam salah satu hadits:

...................

“Dosa-dosa besar adalah: Mempersekutukan Allah, durhaka kepada orang tua, membunuh
dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

Durhka kepada orang tua adalah dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah SWT, sehingga
azabnya disegerakan Allah di dunia ini. Hal itu dinyatakan oleh Rasulullah saw:

.....................

“Semua dosa-dosa diundurkan oleh Allah (azabnya) sampai waktu yang dikehendaki-Nya
kecuali durhaka kepada kedua orang tua, maka sesungguhnya Allah menyegerakan
(azabnya) untuk pelakunya di waktu hidup di dunia ini sebelum dia meninggal”. (HR.
Hakim)

Dalam hadits lain Rasulullah saw menjelaskan bahwa Allah SWT tidak akan meridhai
seseorang sebelum dia mendapat keridhaan dari kedua orang tuanya:

..................

“Keidhaan Rabb (Allah) ada pada keridhaan orang tua, dan kemarahan Rabb (Allah) ada
pada kemahan orang tua.” (HR. Tirmidzi)

Kita tentu dapat memahami kenapa Rasulullah mengaitkan keridhaan Allah dengan keridhaan
orang tua dan memasukkannya ke dalam kelompok dosa-dosa besar, bahkan azabnya
disegerakan di dunia; hal itu mengingat betapa istimewanya kedudukan orang tua dalam
ajaran Islam sebagaimana yang sudah diuraikan di atas. Dan juga mengingat betapa besarnya
jasa kedua orang tua terhadap anaknya. Jasa itu tidak bisa diganti dengan apapun. Misalkan
ada seorang ibu setelah melahirkan anak, dia pergi meninggalkan dan tidak peduli lagi
dengannya. Begitu juga dengan seorang bpak yang tidak bertanggung jawab sama sekali
terhadap anak-anaknya, perbuatan ibu bapak seperti itu jelas-jelas salah dan tercela, tapi tetap
seja seorang anak tidak boleh memungkiri bahwa mereka adalah ibu bapaknya, dan untuk itu
dituntut untuk berbuat baik kepada mereka. Apalagi kalau ibu bapaknya melaksanakan
kewajibannya sebagai orang tua dengan sebaik-baiknya. Wajar kalau Allah mengaitkan
keridhaan dan kemarahan-Nya dengan keridhaan dan kemarahan orang tua.

Kita perlu membaca dan merenungkan kembali kisah anak-anak yang durhaka kepada orang
tuanya, betapapun ringannya bentuk pendurhakaannya itu, dan betapapun rajinnya dia
beribadah-seperti kisah Juaraij dan Alqamah yang menjadi korban fitnah orang-orang yang iri
hati kepadanya karena dia tidak mengindahkan panggilan ibunya, dan Alqamah yang tidak
bisa menirukan talqin kalimat suci La Ilahi Illallah menjelang ajalnya karena dosanya
mengutamakan isterinya daripada ibu kandungnya sendiri. Dan banyak lagi kisah-kisah lain
yang bisa dijadikan pelajaran berharga, baik kisah-kisah nyata, maupun hanya sekedar
legenda seprti hikaya Si Malin Kundang Anak Durhaka, atau Sampuraga dan lain-lainnya.

Adapun bentuk pendurhakaan terhadap orang tua bermacam-macam dan bertingkat-tingkat,


mulai dari mendurhaka di dalam hati, mengomel, mengatakan ah (uffin, berkata kasar,
menghardik, tidak menghiraukan panggilannya, tidak pamit, tidak patuh dan bermacam-
macam tindakan lain yang mengecewakan atau bahakan menyatkitkan hati orang tua. Di
dalam surat Al-Isra’ ayat 23 diungkapkan oleh Allah dua contoh pendurhakaan kepada kedua
orang tu, yaitu mengucapkan kat uffin (semacam keluhan dan ungkapan kekesalan yang tidak
mengandungv arti bahasa apapun) dan menghardik (lebih-lebih lagi kedua orang tua yang
sudah berusia lanjut):

    .....


    
    
   

“....Jika seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganla kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
“ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan
yang mulia”. (QS. Al-Isra’ 17:23)

Demikianlah, sebagaimana bahasan tentang birrul waalidain ini marilah kita berdo’a kepada
Allah SWT:

................

“Ya Allah ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa ibau bapakku, dan kasihanilah keduanya
sebagaimana mereka mengasihiku di waktu aku masih kecil”.

B. HAK, KEWAJIBAN DAN KASIH SAYANG SUAMI


Salah satu tinjauan perkawinan dalam Islam adalah untuk mencari ketentraman adat sakinah.
Allah SWT berfirman:

     


  
   
     
  

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dian menciptakan utnukmu isteri-isteri


dari jenismu sendiri, supaya kamu mendapatkan kehidupan yang tertram (sakinah), dan
dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS. Ar-Rum 30: 21)

Dalam ayat di atas Allah SWT menjelaskan bahwa yang berperan membuat keluarga menjadi
sakinah ada dua faktor, retama, mawaddah, kedua rahmah. Dalam bahasa Indonesia padanan
kedua kat tersebut adalah kasih sayang-sebagaimana terlihat dalam terjemahan ayat di atas.
Tapi kalau ada yang bertanya apa beda antara kasih dan sayang, mungkin tidak semua kita
bisa jawab dengan tepat dan cepat bisa menjelaskannya. Menurut hemat penullis-merujuk
beberapa sumber-mawaddah, lahir dari sesuatu yang bersifat jasmani (kecantikan,
kegagahan) sedangkan rahmah lahir dari sesuatu yang bersifat rohani (hubungan batin).
Dalam interaksi yang terjadi antara suami isteri, kedua faktor itu berperan. Pada pasangan
muda-yang laki-laki masih gagah dan yang wanita masih cantik-faktor mawaddahlah yang
dominan, sedangkan pada pasangan tua-tatkala yang laki-laki sudah tidak lagi gagah dan
yang wanita tidak lagi cantik-yang lebih dominan adalah faktor rahmah. Kita tidak boleh
mengabaikan salah satu dari dua faktor tersebut. Idealnya memang kedua faktor tersebut
harus berjalan bersama-sama, tetapi kondisi itu tidak bisa dipertahankan terus, karena kondisi
fisik tidak bisa dipertahankan terus-menerus seperti waktu masih muda, dia akan tunduk pada
sunnatullah; yang muda akan tua, yang kenvcang jadi keriput, yang hitam akan jadi putih dan
seterusnya. Berbeda dengan hubungan batin, sikap saling menghormati dan menghargai tentu
bisa dipertahankan terus sepanjang kehidupan.

Dalam konteks ini, penulis punya dugaan kuat bahwa yang dianggap oleh kawula muda
sekarang ini dengan cinta tidak lebih dari mawaddah, sebab rasa cinta yan gmuncul lebih
banyak disebabkan oleh faktor fisik, bukan faktor rohani.

Apa yang ingin disampaikan oleh kenyataan di atas adalah bahwa kehidupan berkeluarga
yang tepntram tidak hanya ditentukan oleh faktor mawaddah semata-mata, tetapi juga oleh
faktor rahmah. Oleh sebab itu perlu diperingatkan kepada muda-mudi yang sudah berniat
untuk membina kehidupan keluarga untuk berhati-hati, jangan mudah tergiur atau tergoda
dengan ungkapan-ungkapan “cinta” yan gdibral calon pasangan hidupnya. Bukankah
pengalaman menunjukkan banyak pasangan yang sebelumnya sudah mengikat cinta
bertahun-tahun tapi hanya bisa mempertahankan keutuhan keluarga setahun dua tahun atau
bahkan ada yang Cuma berbilang bulan saja.
Emapat Kriteria Memilih Pasangan Hidup

Karena membina keluarga tidaklah hanya bermodal cinta dalam pengertian mawaddah
semata-sebagaimana sudah diuraikan di atas-tetapi haruslah berdasarkan mawaddah dan
rahmah. Maka sekali lagi kita ingatkan perlu berhati-hati dalam memilih pasangan hidup.
Ikutilah bimbingan yang diberikan oleh Rasulullah saw tentang kriteria apa yang dipakai oleh
laki-laki dalam menentukan calon isteri atau sebaliknya oleh seorang wanita untuk
menentukan meneriam atau menolak lamaran yang masuk. Dalam salah satu hadits
Rasulullah saw memberikan tuntunan :

.........................

“seorang wanita dinikahi berdasarkan empat pertimbangan: karena harta, keturunan,


kecantikan dan agamanya. Pegangalah yang memilika agama niscaya kedua tanganmu tidak
akan terlepas.” (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)

Dimulai oleh Rasulullah saw dalam menyebutkan tiga kriteria yang mengikuti kecendrungan
atau naluri setiap orang yaitutentang kekayaan, kecantikan dan keturunan, kemudian diakhiri
dengan satu kriteria pokok yang tidak boleh ditawar-tawar yaitu agama. Buya Hamka
mengumpamakan kekayaan, keturunan dan kecantikan masing-masing dengan angka nol,
sedangkan agama dengan angka satu. Angka nol berapapun banyaknya tidak akan bernilai
tanpa ada angka satu. Sebaliknya, sekalipun tidak ada angkanol angaka satu sudah
memberikan nilai. Misalnya dapat wanita shalihah dan kaya nilainya 10. Shalihah, kaya dan
keturunan baik-baik nilainya 100. Shalihah, kaya, keturunan baik-baik dan cantik nilainya
1000. Bila ada angka satu, angka-angka nol dibelakangnya jadi berharga. Tapi tanpa angka
satu, semua angka nol-berapa buahpun berderet-deret-tidak ada nilainya. Buya Hamka
menanamkan teorinya ini dengan teori seribu.

Sekarang pertanyaan kita, kalau agama memang sangat penting dan paling menentukan,
kenapa tidak diletakkan oleh Rasulullah saw di depan sekali. Untuk menjawab pertanyaan ini
kutip Dr. Mula Khatir seorang ulama hadits dari Suria. Kata beliau: “apabila yang pertama
sekali dinilai oleh seorang laki-laki adalah kualitas agama sang wanita, maka bila dia sudah
menemukan wanita yang Shalihah, dia “wajib” menerimanya. Tidak boleh menolak dengan
alasan tidak kaya, tidak cantik atau tidak ketrunan baik-baik, karena dia sudah melewati tiga
kriteria pertama yang menjadi haknya.”1

Kenapa ketaatan sseseorang kepada agama (baca: Islam) yang paling menentukan? Jawabnya
sederhana sekali; hanya dengan Islamlah seseorang dapat mengerti bahwa pernikahan adalah
ibadah semata-mata mencari ridha Allah SWT-sekalipun dengan pernikahan banyak hikmah
yang bisa dipetik seperti: penyaluran kebutuhan biologis, pemelihara diri dari dosa, menjaga
masyarakat dari kerusakan dan dekadensi moral, memperkokoh hubungan antar keluarga dan
antar golongan, menjaga kelestarian keturunan umat manusia, dan lain-lain sebagainya.
Dengan Islamlah seseorang dapat memahami hak dan kewajibannya masing-masing dalam
berumah tangga. Sehingga bila suami isteri masing-masing saling memahami tujuan dan
hikmah pernikahan serta mengerti dan mau menjalankan hak dan kewajiban mereka masing-
masing, maka keluarga tadi akan menjadi kelurga yang harmonis, segal sesuatu berjalan
lancar, dan tentu saja pada akhirnya akan membuahkan ketentraman.

Hak-hak Bersama Suami Isteri

Dalam hubungan suami isteri di samping hak masing-masing ada juga hak bersama yaitu (1)
hak tamattu’ badani (manikmati hubungan badan dan segala kesengan badani lainnya), (2)
hak saling mewarisi, (3) hak nasab anak dan (4) hak mu’asyarah bi al-ma’ruf (saling
menyenag dan membahagiakan). Karena nomor 4 akan diuraikan tersendiri maka di bawah
ini penulis menguraikan secara ringkas tiga nomor pertama.

1. Hak Tamattu’ Badani


Salah satu hikmah perkawinan adalah pasangan suami isteri satu sama lain dapat
saling menikmati hubungan seksual yang halal, bahkan berpahal. Islam memang
mengakui bahwa setiap manusia normal membutuhkan penyaluran nafsu birahi
terhadap lawan jenisnya. Islam tidak memerangi nafsu tesebut tetapi juga tidak
membiarkannya lepas tanpa kendali. Islam mengatur penyalurannya secara halal dan
baik melalui ikatan perkawina.

Karena sifatnya hak bersama, tentu juga sekaligus menjadi kewajiban bersama.
Artinya hubungan seksual bukanlah semata kewajiban suami kepada isteri, petapi
juga merupakan kewajiban isteri kepada suami. Suami tidak boleh mengabaikan
kewajiban ini sebagaimana isteri tidak boleh menolak keinginan suami.
2. Hak Saling Mewarisi
Hubungan saling mewarisi terjadi karena dua sebab: Pertama, karena hubugan darah;
kedua, karena hubungan perkawinan. Dalam hubungan perkawinan ini yang mendapat
warisan hanyalah pasangan suami isteri. Suami mewarisi isteri dan isteri mewarisi
suami. Dalam Surat An-Nisa’ ayat 12 dijelaskan bahwa suami mendapat ½
(setengah) dari harta warisan bila isteri tidak punya anak, dan ¼ (seperempat) bila
isteri punya anak. Sebaliknya isteri dapat ¼ (seperempat) bila suami tidak punya
anak, dan 1/8 (seperdelapan) bial suami punya anak.

     


       
    
     
     
     
      
     
     
“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-
isterimu, jika mereka tidak punya anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak,
maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi
wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri
memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai
anak. Jiak kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan) sesudah
dibayar hutang-hutangmu.” (QS. An-Nisa’ 4: 12)

Hubungan saling mewarisi hanya berlaku dalam perkawinan yang sah menurut syariat
Islam dan sesama Muslim. Bila perkawinannya tidak sah, atau salah seorang tidak
Muslim dari awal atau ditengah-tengah operkawinan maka haknya batal.
3. Hak Nasab Anak
Anak yang dilahirkan dalam hubungan pekawinan adalah anak berdua, walaupun
secara formal Islam mengajarkan supaya anak dinisbahkan pada bapaknya, sehingga
seorang anak disebut Fulan ibn Fulan, atau Fulanah Bintu Fulan, bukan Fulan ibn
Fulanah, atau Fulanah Bintu Fulanah. Adapun yang terjadi kemudian (misalnya
perceraian (status anak tetap anak berdua masing-masing tidak dapat mengklaim lebih
berhak terhadap anak tersebut, walaupun pengadilan dapat memilih dengan siapa anak
ikut. Perlu juga diingatkan di sini bahwa penisbahan seorang anak kepada bapaknya
secara formal tetap berlaku sekalipun bagi anak perempuan setelah menikah. Anak
perempuna kalau sudah menikah tidak diajarkan oleh Islam untuk menisbahkan
dirinya kepada suami sebagaimana yang menjadi tradisi sebagian masyarakat kita.

Kewajiban Suami Kepada Isteri

Hak isteri atau kewajiban suami kepada isteri ada empat: (1) Membayar mahar, (2)
memberikan nafkah, (3) menggauli isteri dengan sebaik-baiknya (ihsab al-‘asyarah), dan (4)
membembing dan membina keagamaan isteri.

1. Mahar
Mahar adalah pemberian wajib dari suami untuk isteri. Suami tidak boleh
memanfaatkannya kecuali seizin dan serela isteri . (QS. An-Nisa’ 4: 20-21).
Jumlah minimalh dan maksimal mahar tidak ditentukan oleh syara’. Tergantung
kemampuan suami dan kerelaan isteri yang penting ada nilainya. Bahakn boleh
dengan sepasang sandal, atau mengajarkan beberapa ayat Al-Qur’an atau masuk
Isalam, seperti yang pernah terjadi di zaman Raulullah saw:
..................
“Diriwayatkan dari Amir ibn Rabi’ah bahwa seorang wanita dari Bani Fazarah
kawin dengan mahar sepasang sandal. Lalu Rasulullah bertanya: “apakah engakau
rela dri diri dan hartamu dengan sepasang sandal? “Perempuan itu menjawab: “
Ya”. Lalu Rasulullas saw membolehkannya.” (HR. Ahmad, ibn Majah dan Tirmidzi)

.........................
“Diriwayatkan dari Sahal ibn Ba’ad bahwa seorang wanita datang bertanya kepada
Nabi saw: “Ya Rasulullah, akau serahkan diriku kepadamu (mencari suami).
”Wanita itu lama menunggu sampai seorang laki-laki berdiri dan berkata: “Ya
Rasulullah, kawinkan dia dengan aku jika engkau tidak menginginkannya.
“Kemudian Rasulullah bertanaya: “Engakau punya sesuatu untuk membayar amhar
kepadanya?. “Laki-laki itu menjawab: “Tidak ada kecuali pakaian ini. ”Kata Nabi
saw: “Jika kau berikan pakaianmu itu, tentu kamu tidak punya pakaian lagi. Carilah
yang lain.”Laki-laki itu berkata: “Aku tidak punya apa-apa lagi”. Kata Rasulullah:
“carilah walau sebuah cincin besi”. Dia berusaha mencarinya tapi tidak
mendapatkan apa-apa. Kemudian Rasulullah bertanya padanya: “Apakah engakau
mengetahui sesuatu tentang Al-Qur’an? “Kata laki-laki itu: “Ada. Surat ini, surat
ini..”, seraya menyebutkan beberapa nama surat. Kemudian Nabi saw bersabda:
“Aku kawinkan dia denagan engakau denan mahar Al-Qur’an yang ada padamu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)2
2. Nafkah
Nafakah adalah menyediakan segala keperluan isteri berupa makanan, minuman,
pakaian, rumah, pembantu, obat-obat dan lain-lain. Hukumnya wajib berdasarkan Al-
Qur’an, Sunnah, dan Ijma’.

   


 
     
  
“Kewajiban atas bapak memberi belanja ibu anaknya dan pakaian secara ma’ruf.
Tidak diberati seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya...” (QS. Al-Baqarah
2: 233)

    


  
....   
“Tempatkanlah mereka di mana kamu tinggal, menurut tenagamu, dan janganlah
kamu memberi melarat kepada mereka sehingga kamu menyusahkan...” (QS. At-
Thalaq 65: 6)

     


   
     
    
    
  

“Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya.


Barang siapa yang sedikit rezekinya, hendaklah memberi nafkah menurut rezeki yang
diberikan Allah itu. Allah tidak memberati diri seseorang kecuali menurut yang
diberikan Allah kepadanya. Nanti Allah akan mengadakan kemudahan sesudah
kesulitan. (QS. At-Thalaq 65: 7)
Rasulullah saw bersabda di waktu haji Wada’:
...................
“... Dan kewajibanmu atas mereka (isteri-isterimu) adalah memberi makan dan
pakaian dengamn ma’ruf.” (HR. Muslim)

Kewajiban suami memberikan nafkah kepada isterinya sebanding dengan kewajiban


isteri mematuhi dan meladeni suami, menyelenggarakan dan mengatur urusan rumah
tangga seta mendidk anak. Kewajiban memberi nafkah gugur apabila aqad nikahnya
tidak sah, bila isteri tidak bersedia digauli atau tidak bersedia hidup bersama atau
tidak bersedia mengikuti kepindahan suami ke suatu tempat.

Berapa jumlah nafkah yang wajib dibayar suami ditentukan oleh ‘urf (sesuatu yang
sudah dikenal baik secara luas oleh masyarakat), maksudnya disesuaikan dengan
kewajaran, kelaziman dan kemampuan suami. Seuamipun tidak boleh kikir; mampu
tapi tidak mau mencukupi kebutuhan isteri atau keluarganya.
3. Ihsan al-‘Asyarah
Ihsan al-‘Asyarah artinya bergaul dengan isteri dengan cara yang sebaik-baiknya.
Teknisnya terserah kepada kiat masing-masing suami. Misalnya; membuat isteri
gembira, tidak mencurigai isteri, menjaga rasa malu isteri, tidak membuka rahasia
isteri pada orang lain, mengizinkannya mengunjungi orang tua dan familinya,
membantu isteri apabila ia memerlukan batuan-sekalipun dalam tugas-tugas rumah
tangga, menghormati harta miliknya pribadi dan lin-lain.3

Ihsan al-‘Asyarah adalah suatu kewajiban berdasarkan firman Allah:

....   


“Bergaullah dengan isterimu dengan cara yang ma’ruf...” (QS. An-Nisa’ 4: 19)

Rasulullah saw sudah memberikan contoh teladan bagaiman bergaul dengan isteri
dengan sebaik-baiknya. Oleh sebab itu beliau menegaskan;
.................
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah orang yang paling baik
akhlaqnya. Dan paling baik di antara mereka ialah yang paling baik terhadap
isterinya.” (HR. Ahmad)

4. Mambimbing dan Mendidik Keagamaan Isteri


Seorang suami bertanggung jawab di hadapan Allah terhadap isterinya karena dia
adalah pemimpinnya. Setiap pemimpin harus mempertanggung jawabkan
kepemimpinannya. Oelh karena itu menjadi kewajiban suami mengajar dan mendidik
isterinya supaya menjadi imraah shalihah. Dia harus mengajarkan hal-hal yang harus
diketahui oleh seorang wanita tentang masalah agamanya terutama syari’ah, seperti
masalah thaharah, wudhu’, haidh, nipas, shalat, puasa dzikir, membaca Al-Qur’an,
kewajiban isteri terhadap suami, anak-anak, orang tua, tetangga dan karib kerabat.
Juga tentang cara berpakaian dan tata pergaulan yang Islami serta hal-hal lainnya. Di
samping mengajar, seorang suami mempunyai kewajiban membimbing isterinya
mengamalkan ajaran Islam.
Jika seorang suami tidak mampu mengajarkannya sendiri, dia harus berikan izin
kepada isterinya untuk belajar di luar atau mendatangkan guru ke rumah atau minimal
menyediakan buku bacaan.

Kewajiban Isteri Kepada Suami


Hak suami atau kewajiban isteri kepada suami hanya dua: (1) Patuh kepada suami dan
(2) bergaul dengan suami dengan sebaik-baiknya (Ihsan al-‘Asyarah).

1. Patuh Kepada Suami


Seorang isteri wajib mematui suaminya selama tidak dibawa ke lembah
kemaksiatan. Aisyah ra pernah bertanya kepada Rasullah tentang orang yang
paling berhak dipatuhi oleh seorang isteri. Rasulullah menjawab: “suaminya”
(HR. Hakim).

Dalam kesempatan lain lebih ditekankan lagi oleh Rasulullah saw:


...................
“Kalau aku boleh memerintahkan seseorang sujud kepada seseorang, tentu akan
aku perintahkan seorang isteri untuk sujud pada suaminya.” (HR. Tirmidzi)

Dalam hadits lain Rasulullah menempatkan wanita yang patuh pada suaminya
sebagai wanita yang terbaik:
...........
”Sebaik-baik wanita adalah yang apabila engkau memandang kepadanya
menggembirakanmu, apabila engkau suruh dia patuh, apabila engkau beri nafkah
dia menerima dengan baik, dan apabila engkau tidak ada di sampingnya dia akan
menjaga diri dan hartamu.” (HR. Nasa’i)

Taat atau patuh pada suami tidaklah bersifat mutlak. Harus selalu dikaitkan
dengan ma’ruf, artinya selama tidak membawa kepada kemaksiatan. Apabila
suami mengajak isterinya untuk melakukan yang haram atau meninggalkan
kewajiban, maka isteri berhak menentangnya dengan cara bijaksana, bahkan harus
berusaha manyadarkannya dan kembali membawanya ke jalan yang benar. Tapi
dalam hal yang mubah atau sunnah yang menyebabkan suami kehilangan haknya,
si isteri harus mengikuti suami, misalnya puasa sunnah, haji sunnah atau keluar
rumah. Suami mendapatkan hak istimewanya untuk dipatuhi isteri mengingat
posisinya sebagai pemimpin dan kepala keluarga yang berkewajiban menfkahi
keluarganya. Allah SWT berfirman menegaskan hal tersebut:

   


  
    
 
“Hak-hak perempuan (isteri) seumpama kewajiban yang dipikulkan kepadanya
secara ma’ruf, dan untuk laki-laki (suami) ada kelebihan satu derajat dari
peredmpuan. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah 2:228)

  


   
   
   
“Laki-laki itu (suami) menjadi pemimpin terhadap wanita (isteri). Sebab ALLAH
melebihkan sebagian mereka dari sebagian, dan karena mereka (suami) memberi
belanja dari hartanya (bagi isteri).” (QS. An-Nisa’ 4: 34)

2. Ihsan al-‘Asyarah
ihsan al-‘Asyarah isteri terhadap suaminya antara lain dalam bentuk: Menerima
pemberian suami, lahir dan batin dengan rasa puas dan terimakasih, serta tidak
menuntut hal-hal yang tidak mungkin, meladeni suami dengan sebik-baiknya
(makan, minum, pakaian dan sebagainya), memberikan perhatian kepaa suami
sampai hal-hal yang kecil-kecil (misalnya kalau suami pergi kerja antarlah sampai
ke pintu, kalau pulang jemputlah ke pintu, sehingga hati suami terpaut untuk
selalu si rumah apabila tidak bertugas), menjaga penampilan supaya selalu rapi
dan menarik, dan lain-lain sebagainya.

Demikianlah akhlaq suami isteri yang pembahasannya kita fokuskan pada


masalah hak dan kewajiban yang tentu saja tidak bisa terlepaskan dair aspek
hukum

C. KASIH SAYANG DAN TANGGUNG JWAB ORANG TUA TERHADAP


ANAK
Anak adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan orang tua kepada Allah
SWT. Anak adalah ntempat orang tua mencurahkan kasih sayangnya. Dan anak juga
investasi masa depan untuk kepentingan orang tua di akhirat ke;ak. Oleh sebab itu
orang tua harus memelihara, membesarkan, merawat, menyantuni dan mendidik anak-
anaknya dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang. Dengan pengertian seperti
itu hubungan orang tua dengan anak dapat dilihat dari tiga segi:
1. Hubungan Tanggung Jawab
Anak adalah amanah yang dititipkan oleh Allah SWT kepada orang tua untuk
dapat dibesarkan, dipelihara, dirawat dan di didik dengan sebaik-baiknya. Dengan
ungkapan lain orang tua adalah pemimpin yang bertugas memimpin anak-anaknya
dalam kehidupan di dunia ini. Kepemimpinan itu harus dipertanggung
jawabkannya nanti di hadapan Allah SWT. Rasulullah saw bersaba:
..................
“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu bertanggung jawab terhadap
kepemimpinannya. Kepala negara adalah pemimpin yang bertanggung jawab
terhadao rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di rumah tangganya dan
dia bertanggung jawab terhadap keluarganya. Seorang isteri adalah pemimpin di
rumah suaminya dan dia bertanggung jawab terhadap rumah tangganya. Seorang
pembantu adalah pemimpin terhadap harta benda majikannya dan dia
bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)

2. Hubungan Kasih Sayang


Anak adalah temapat orang tua mencurahkan kasih sayang. Setiap manusia yang
normal secara fitri pasti mendambakan kehadiran anak-anak di rumahnya,
kehidupan rumah tangga sekalipun bergelimang harta benda-belum lagi lengkap
kalau belum mendapatkan anak. Al-Qur’an menyatakan anak adalah perhiasan
hidup dunia:

  


  
 
   
  

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan


yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhannmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi 18: 46)
3. Hubungan Masa Depan
Anak adalah investasi masa depan di akhirat bagi orang tua. Karena anak yang
shalih akan selalu mengalirkan pahala kepada kedua orang tuanya, sebagaiman
ayang dinyatakan oleh Nabi Muhammad saw:
....................
“Jika seseorang meninggal dunia putuslah (pahala) amalannya kecuali salah satu
dari tiga hal: shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat yang dapat diambil manfaat
darinya, dan anak shalih yang mendo’aknnya.” (HR. Muslim)

Dengan tiga alasan di ataslah seorang Muslim didorong untuk dapat berfungsi
sebagai orang tua dengan sebaik-baiknya. Apalagi kalau dia pikirkan betapa
pentingnya pembinaan dan pendidikan anak-anak untuk menjaga eksistensi dan
kualitas umat manusia umumnya dan umat Islam khususnya pada masa yang akan
datang.
Empat Tipologi Anak
Anak, menurut Al-Qur’an, dapat dikelompokkan kepada empapat tipologi:

1. Anak Sebagai Perhiasan Hidup Dunia


Al-Qur’an menyatakan anak adalah perhiasan hidup dunia (Zinatu al-hayah ad-
dunya):
  
  
 
   
  

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan


yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik
untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi 18: 46)

Sepasang suami isteri merasa rumah tangganya belulm lengkap kalau belum dapat
anak. Ibarat perhiasan, anak-anak berfungsi memperindah sebuah rumah tangga.
Tetapi orang tua yang hanya memfungsikan anak sebagai perhiasan dan melupakan
pembinaan dan pendidikannya akhirnya menjadikan anak tidak lebih dari sebuah
“pajangan” yang secara fisik dapat dibanggakan, tetapi kualitasnya sama sekali
mengexewakan, baik kualitas iman, illmu, maupun amalnya.
2. Anak Sebagai Ujian
Selain sebagai perhiasan hidup dunia, anak juga menjadi ujian (fitnah) bagi kedua
orang tuanya. Allah berfirman:

  


   
   

“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS. Al-Anfal 8: 28)

Orang tua diuji dengan kehadiran anaknya. Apakah anak-anak dapat melalaikan dari
beribadah kepada Allah SWT atau apakah dia mampu melaksanakan tugasnya sebagai
orang tua yang baik; mendidik dan membina anaknya menjadi anak yang saleh.
Fitnah juga dalam arti anak bisa menyengsarakan dan mencemarkan nama baik orang
tua. Biasanya orang akan mengaitkan langsung kebaikan atau keburukan seorang anak
dengan orang tuanya. Pertanyaan yang sering kita dengar dari setiap orang yang
kagum dengan kebaikan seorang anak atau yang heran dan jengkel dengan
keburukannya (kenakalan atau bahkan kejahatan)nya adalah, “Anak siapa itu.” Kalau
orang tuanya mempunyai “reputasi” yang sama dengan anaknya, orang akan
mengomentari, “pantas”. Sebaliknya kalau ternyata orang tuanya “orang baik”,
komentar orang berbunyi, “heran”. Demikianlah anak menjadi ujian, cobaan bagi
orang tuanya.
3. Anak Sebagai Musuh
Anak juga bisa sebagai musuh bagi kedua orang tuanya: Allah berfirman:
   
  
...   
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-
anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap
mereka.” (QS. At-Taghabun 64:14)

Sungguh sangat mengecewakan kalau sampai anak menjadi musuh orang tua. Musuh
bisa berarti secara fisik dan juga dari segi ide, pikiran, cita-cita dan aktivitas. Bila
orang tuanya di mana-mana melakukan amar ma’ruf nahi munkar, sang anak justru
melakukan amar munkar nah ma’ruf. Bila orang tuanya membangun, anak merusak;
maka saat itu anak sudah berada pada posisi musuh.
4. Anak Sebagai Cahaya Mata
Tipe yang keempat ini oleh Al-Qur’an diistilahkan dengan Qurratu A’yun (cahaya
mata). Allah berfirman:
........................
“Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami ister-
isteri kami dan keturunan-keturunan kami sebagai cahaya mata (penyenang hati
kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertqwa.” (QS. Al-Furqan
28: 47)

Qurratu ‘ayun berarti cahaya mata, permata hati, sangat menyenangkan. Inilah
tipologi anak yang ideal. Kriteria tipologi ini antara lain tunuk dan patuk kepada Allah
SWT, berbakti kepada orang tua, bermuamalah yang baik dengan sesama manusia.
Atau dengan ungkapan lain beriman, berilmu dan beramal. Hablun minallah dan
hablun minannas nya berjalan dengan baik. Tipologi keempat inilah yang boleh kita
sebut dengan “anak saleh”.

Anak Saleh Tidak Dilahirkan


Anak saleh atau qurratu ‘ayun tidak dilahirkan, tapi dibentuk dan dibina lewat
pendidikan. Rasulullah saw mengajarkan bahwa setiap anak yang dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Ibu bapaknya yang berperan merobah fitrah itu menjadi-dalam bahasa
arab Rasul-Yahudi, Nasrani atau Majusi:
...................
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang akan
berperan) “mengubah” anak itu menjadi seorang Yahudi atau Nasrani, atau
Majusi.” (HR. Bukhari)

Oleh sebab itu setiap orang tua mempunyai kewajiban memelihara dan
mengembangkan fitrah atau potensi dasar keislaman anak tersebut sehingga tumbuh
dan berkembang menjadi Muslim yang benar-benar menyerahkan diri secara total
kepada Allah SWT. Kalau dibiarkan tidak terbina, potensi dasar tersebut akan
berkembang ke arah yang bertentangan dengan maksud Allah menciptakannya. Dan
pada akhirnya anak-anak akan menjadi penghuni neraka. Bukankah Allah SWT
memerintahkan kepada orang tua, terutama kepala keluarga untuk memelihara
keluarganya dari siksa api neraka?

  


  

“Hai orang-orang yang berman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka...” (QS. At-Thrim 66: 6)

Pendidikan yang Seimbang


Pembinaan ataupendidikan yang akan melahirkan anak saleh adalah pendidikan yang
seimbang, yaitu pendidikan yang memperhatikan seluruh aspekyang ada pada diri
manusia; hati, akal dan fisik. Seorang pendidik harus menyantuni ketiga-tiganya.
Ketiganya harus harmonis dan seimbang. Mengutamakan pembinaan fisik dengan
mengabaikan akal dan hati akan melahirkan manusia hayawani. Mengutamakan
pikiran saja melahirkan manusia syaithani, sedangkan mengutamakan hati semata
tentu tidak realistik, karena manusia tidak bisa jadi Malaikat.

D.

Anda mungkin juga menyukai