Anda di halaman 1dari 32

D.

KHAUF DAN RAJA’

Khauf dan raja’ atau takut dan harap adalah sepasang sikap batin yang harus dimiliki secara
seimbang oleh seorang Muslim. Bila satu dominan dari yang lainnya akan melahirkan pribadi
yang tidak seimbang. Dominasi khauf menyebabkan sikap pesimisme dan putus asa, sementara
dominasi raja’ menyebabkan seseorang lalai dan lupa diri serta merasa aman dari azab Allah.
Yang pertama adalah sikap orang-kafir dan yang kedua sikap orang-orang yang merugi. Allah
SWT berfirman :
      
  
“…Sesungghnya tiada beroputus asa dari rahmat Allah, melainkN kaum yang kafir.”(QS.
Yusuf 12 : 87)

     



“…Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.”(QS. Al-
A’raf 7: 99)

Khauf didahulukan dari raja’ karena khauf dari bab khaliyyah (mengosongkan hati dari
segala sifat jelek), sedangkan raja’ dari bab tahlliyah (menghias hati dengan sifat-sifat yang
baik). Takhaliyyah menuntut tarku al-mukhalafah (meninggalkan segala pelanggaran), dan
tahalliyah mendorong seseorang untuk beramal.

Khauf
Khauf adalah kegalauan hati membayangkan seuatu yang tidak disukai yang akan
menimpanya, atau membayangkan hilangnya sesuatu yang disukainya (faza/ al-qalb min
makhruh yanaluh au min mahbub yafutuh)10
Dalam Islam semua rasa takut harus bersumber dari rasa takut kepada Allah SWT. Hanya
Allah-lah yang paling berhak ditakuti oleh setiap orang yang mengaku beriman kepada-Nya.
Allah SWT berfirman :
   
  
   
    
    

”Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya),
padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul, dan merekalah yang
pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal
Allahlah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS.
At-Taubah 9:13)

Menurut Sayyid Sabiq, ada dua sebab kenapa seseorang takut kepada Allah SWT:
1. Karena dia mengenal Allah SWT (ma’rifatullah). Takut seperti ini dinamakan dengan khaf
al-’Arifin. Semakin sempurna pengenalannya kepada Allah semakin bertambah takutnya.
Allah SWT menyatakan bahwa para ulama’-lah yang benar-benar takut kepada-Nya.

    


    

“…sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama’…”(QS. Fathir 35:28)

Rasulullah saw adalah hamba Allah yang paling mengenal khaliqnya. Oleh sebab itu
beliaulah yang paling takut kepada Allah dibandingkan dengan siapapun. Beliau bersabda:

“sesungguhnya aku yang paling mengenal Allah diantara kalian, dan aku pulalah yang
paling takut diantara kalian kepada-Nya” (HR. Tirmidzi)”

2. Karena dosa-dosa yang dilakukannya, dia takut aka adzab Allah SWT.11

Selanjutnya, menurut Sayyid Sabiq, ada dua dampak positif dari khauf:

1. Melahirkan keberanian menyatakan kebenaran dan memberantas kemungkaran secara tegas


tanpa ada rasa takut pada makhluk yang menghambatnya. Keberanian seperti itulah yang
dimiliki oleh para Rasul dalam menyampaikan risalah Allah. Allah berfirman tentang
mereka:
  
   
     

“Orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dana
mereka tiada merasa takut kepada seorang pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai pembuat perhitungan.”(QS. Al-Ahzab 33: 39)

2. Menyadarkan manusia untuk tidak meneruskan kemaksiatan yang telah dilakukannya dan
menjauhkannya dari segala macam bentuk kefasikan dan hal-hal yang diharamkan oleh
Allah SWT. Jika seseorang takut kepada Allah dia akan menjaga lidahnya dari dusta,
gunjing, ejekan, olok-olok dan lain-lain; dia akan menjaga matanya dari memandang hal-hal
yang terlarang; dan memelihara hatinya dari sifat dengki, sombong, ria dan lain-lain.12

Sejalan dengan apa yang dikemukakan Sayyid Sabiq di atas, Ahmad Faridh menyatakan
bahwa orang yang takut kepada Allah bukan orang yang bercucuran air matanya lalu ia
mengusapnya, tetapi orang yang takut kepada Allah adalah orang yang meninggalkan sesuatu
perbuatan yang ia takuti hukumannya…khauf bisa membakar nafsu syahwat sehingga maksiat
yang digemari menjadi ditakuti sebagaimana madu menjadi ditakuti oleh orang yang tadinya
menyukainya, ketika dia tahu bahwa madu itu ada racunnya. Syahwat akan hangus terbakar oleh
rasa takut dan anggota badanpun akan terdidik dan terarahkan, sementara di dalam qolbupun
akan tumbuh keikhlasan. Kesombangan, kedengkian dan semacamnya akan hilang. Si hamba
akan menjadi orang yang selalu diliputi rasa takut kepada-Nya. Ia akan selalu mengingat bahaya
hukuman-Nya.13
Dalam rangka mencegah manusia berbuat kejahatan, pakah rasa takut kepada Allah SWT
tersebut tidak dapat ditukar dengan rasa takut terhadap ancaman hukuman yang ditetapkan oleh
undang-undang? Misalnya seseorang tidak berani melakukan pencurian bukan karena takut
kepada Allah SWT tetapi karena takut ditangkap polisi atau dipenjara. Rasa takut pada hukuman
di dunia seperti itu hanya bisa efektif selama pengawasan dari luar efektif pula. Tapi bila polisi,
pengadilan, dan alat-alat hokum lainnya tidak efektif, orang tidak lagi takut melakukan
kejahatan. Berbeda dengan takut kepada Allah SWT kontrolnya datang dari dalam diri, tidak
memerlukan pengawasan dari luar.
Sekalipun seorang muslim hanya boleh takut kepada Allah SWT tetapi tidak jarang juga
terjadi munculnya rasa takut kepada makhluk yang tidak bersumber dari takut kepada Allah.
Misalnya tidak berani menyampaikan kebenaran karena takut dihukum mati, takut rezekinya
terhambat dan lain sebagainya. Untuk mengobati penyakit seperti itu Al-Qur’an menanamkan
keyakinan kepada setiap muslim bahwa mati itu berada di tangan Allah, sebelum ajal berpantang
mati (QS. Ali ’Imran 3:145); rezeki itu Allah yang mengatur dan menjamin (QS. Hud 11:6);
manusia sama-sama lemah, hanya Allah lah yang maMaha kuat dan paling berhak di takuti(QS.
Al-Ahzab 33:27, QS. Al-Baqarah 2:40).
Raja’
Raja’ atau harap adalah memautkan hati kepada sesuatu yang disukai pada masa yang akan
datang (ta’liq al-qalbi bi mahbub fi mustaqbal).14 raja’ harus didahului oleh usaha yang sungguh-
sungguh. Harapan tanpa usaha namanya angan-angan kosong (tamanni).
Hidup didunia ibarat bercocok tanam yang panennya nanti di akhirat. Orang yang bercocok
tanam di tanah yang subur,menanam bibit yang baik dan bermanfaat, memelihara dan
merawatnya dengan tekun, tentu wajar mengharapkan hasil yang baik dan memuaskan.
Sebaliknya, bercocok tanam ditanah yang kering, bibit yang ditanam tidak baik dan tidak
bermanfaat,apalagi tidak pernah memelihaara dan merawatnya,tentu sis-sia mengharapkan hasil
yang baik dan menyenangkan. Dalam hal ini Allah SWT menyatakan bahwa orang yang
beriman, hijrah dan berjihad fi sabilillah mengarap rahmat dari Allah SWT.

  


 
   
    
  
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman , orang-orang yang berhijah dan berjihad di
jalan Allah, mereka itulah yang mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyang”. (QS. Al-Baqarah 2:218)
Yang ditekankan dalam ayat ini bukanlah adanya harapan dari oran-orang beriman tersebut,
sebab orang lainpun memiliki harapan yang sama. Tetapi yang ditekankan adalah hanya mereka
yang berhak memiliki harapan atau raja’ tersebut.
Barang siapa yang harapan dan penantiannya menjadiknnya berbuat ketaatan dan
mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapannya benar. Sebaliknya, barang siapa yang
harapannya hanya berupa angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam kemaksiatan,
maka harapannya itu hanya sia-sia dan percuma.15
Seorang muslim haruslah memiliki sikap raja’. Bila beribadah dan beramal, dia penuh harap
ibadah dan segala amalannya akan diterima dan dibalasi oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Bila berbuat maksiat kemudian menyadarinya, dia segera minta ampun dan penuh
harap Allah SWT akan mengampuninya. Dia yakin bahwa Allah Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang dan Maha Pengampun terhadap hamba-hamba-Nya.
Khusus mengenai ampunan, memang seorang mukmin tidak boleh berputus asa dari rahmat
Allah, karena sifat putus asa itu merupakan sikap orang-oraang kafir. Allah SWT berfirman:

      


 
“…seungguhnya tiada berputus asa dari rahmatAllah, melainkan kaum yang kafir.”(QS.
Yusuf 12:87)

Kenapa harus beerputus asa, bukankah rahmat Allah jauh lebih luas daripada marahnya?
Bukankah Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa anak Adam sekalipun dosa-dosa itu setinggi
awan, asalkan anak Adam mau minta ampun kepada-Nya? Perhatikan beberapa nash berikut ini:
   
   
     
    
   
“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampui batas terhadap diri mereka sendiri,
janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-
dosa semuanya. Sesungguh nya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS.
Az-Zumar 39:53)

“Sesungguhnya Allah telah menetapkan sendiri atas diri-Nya seblum Dia menciptakan
makhluk, yaitu:”Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.”(HR. Mutafaqun
‘alaih)

“Allah Ta’ala berfirman: “Wahai Bani Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan
mengharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dosa-dosamu, dan Aku tiada akan
peduli.Wahai Bani Adam! Jika sekiranya dosa dan kesalahanmu setinggi awan, lalu engkau
memohon ampun kepada-Ku, niscaya aku ampuni. Wahai Bani Adam! Andai engkau datang
kepada-Ku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi kemudian engkau mati dalam keadaan
tidak menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku datang kepadamu dengan
membawa ampunan seisi bumi pula.”(HR. Tirmidzi)

“Sesungguhnya Allah selalu mengulurkan tangan-Nya malam hari untuk mengampuni


semua dosa-dosa yang dialakukan siang hari, dan mengulurkan tangannya siang hari untuk
mengampuni dosa-dosa yang dilakukan malam hari. Terus begitu sampai matahari terbit
dari barat.” (HR. Muslim dan Nasa’i)

Akhirnya sekali lagi kita katakana bahwa kedua sikap itu, khauf dan raja harus berlangsung
sejalan dan seimbang dalam diri seorang muslim. Kalau hanya membayangkan azab Allah
seseorang akan berputus asa untuk dapat masuk surga, sebalaiknya kalau hanya membayangkan
rahmat Allah semua merasa dapat masuk surga. Rasulullah SAW bersabda:

“Kalau seorang mukmin mengetahui sisksaan yang ada di sisi allah maka tidak seorangpun
dapat berharap masuk surga. Dan jika orang kaafir mngetahui rahmat yang ada di sisi
Allah tidak seorangpun berputus asa untuk masuk surga.” (HR. Muslim)

E. TAWAKAL
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan pada selain Allah dan
menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada-Nya. 16
Seorang muslim hanya boleh bertawakal kepada semata-mata. Allah SWT berfirman:

   


   
    
   
“Dan kepunyaan Allahlah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nyalah
dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia,dan bertawakallah kepada-
Nya. Dan sekali-sekali Tuahnmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. Hud
11:123).
    

“…Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawkkal, jka kamu benar-benar orang
yang beriman. ”(QS. Al-Ma’idah 5:23)
       
 
“(Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan hendaklah
orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah saja.” (QS. At-Taghabun 64 :13)
Tawakal Dan Ikhtiaer
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai
tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpaa melakukan apa-
apa. Sikap pasrah seperti itu adlah salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap hakikat tawakal.
Syeik Muhammad Ahmad Arif, dalam salah satu khotbahnya di masjid Al Azhar Kairo
menceritakan bagaimana kesalahpahaman terjadi pada masa Imam Ahmad Ibn Hambal. Ada
seorang yang malas bekerja dan masa bodoh. Ketika beliau bertanya mengenai sikapnya itu, ia
menjawab :”saya telah menbaca Hadits Rasulullah yang mengatakan:

“Jika saja kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sepenuh hati niscaya Allah akan
memberikan rezeki untukmu sekalian, sebagaimana ia memberinya kepada burung ; burung
itu pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang.” (HR. Tirdmizi dan
Ibnu Majah)

Maka sebab itu saya bertawakal kepada Dzat yang member rezeki kepada burung itu”.
Imam Ahmad lalu mengatakan: “Kamu belum mengerti maksud hadits tersebut. Rasulullah
menyebutkan bahwa pulang perginya pulang itu justru dalam rangka mencari rezeki. Jika
burung itu duduk saja di sarangnya, tentulah rezekinya tidak akan datang”18
Kesalahapahaman yang saama juga terjadi pada masa Rasulullah SAW. Seorang badui
membiarkan untanya tidak diikat karena menurut dia itulah cerminan sikap tawakal. Rasulullah
pun menegurnya:

“Ikat dan Tawakallah!”(HR. Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Thabrani)

Rasulullah dan kaum muslimin generasi awal telah memberikan contoh bagaimana
seharusnya memahami tawakal. Mereka adalah para pekerja keras dalam berbagai lapangan
kehidupan; perdagangan, pertanian, perindustrian, dan keilmuan dan lain sebagainya. Rasulullah
SAW mendorong umatnya untuk bekerja keras. Beliau selalu berdo’a agar dijauhkan dari sifat-
sifat lemah dan malas.
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti Sunnatullah tentang hokum sebab
dan akibat. Usaha harus selalu dilakukan. Perhatikan, dalam situasi perang, sewaktu sholat pun
kaum Muslimin tidak boleh menanggalkan senjata. Allah berfirman:

    


  
  
  
  
   
  
 
   
   
 
…   
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) bersertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
bersertamu) sujud (telah menyermpurnakan serakaat) maka hendaklah mereka pindah darai
belakangmu (untuk menghadapi musuh)dan hendaklah datang segolongan yang kedua yang
belum shalat, lalu shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang
senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu,
lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus…” (QS. An-Nisa 4:102).

Oleh sebab itu Allaha memerintahkan umat islam untuk selalu waspada, tidak lalai atau acuh
tak acuh:
  
  
   
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu dan majulah (ke medan
pertempuran) berkelompok-kelompok atau majulah bersama-sama.” (QS. An-Nisa 4:71)

Rasulullah SAW juga menhgajarakan bagaiman kita harus berusaha melakukan tindakan
preventif untuk menghindari bahaya dan penyakit. Beliau bersabda :

“Apabila kamu mendengar ada wabah penyakit di suatu daerah, maka janganlah kamu
memasuki daerah itu. Dan apabila wabah itu sedang berjangkit di daerah dimana kamu
berada, maka janganlah kamu keluar dari daerah itu.” (HR. Bukhari)

“Matikan lampu-lampu diwaktu malam sebelum kamu tidur. Ikatlah pundi-pudi air dan
tutuplah makaan dan minuman.”(HR. Bukhari)

Jangan Bertawakal Kepada Ikhtiar


Sekalipun kita disuruh untuk berikhtiar sebelum bertawakal, disuruh mengikuti hukum
sebab akibat, tetapi kita tidak boleh bertawakkal kepada ikhtiar. Sebab akibat memang
sunnatullah. Belajar adalah sebab untuk mendapatkan ilmu. Berobat adalah sebab untuk
mendapatkan kesehatan. Tetapi bukanlah sebab semata-mata yang menimbulkan akibat.
Kadangkala ada sebab tetapi tidak ada akibat. Seperti dua orang pasien di rumah sakit;
penyakitnya sama, dokternya sama, obatnya sama tapi yang satu meninggal dan yang satu hidup.
Ada kalanya petani mengolah peertaniannya dengan alat-alat modern, dengan bibit yang paling
bagus, pakai pupuk yang ampuh, datang musim dingin, atau musim panas, atau kekeringan atau
air bah, hancur semuanya.
Sekalipun bukan sebab saja yang menimbulkan akibat, tetapi sebab tidak boleh dilupakan.
Yang disuruh oleh Syara’ dan sesuai dengan akal adalah mengusahakan sebab, dan menyerahkan
hasilnya kepada Allah. Usaha tanpa pertolongan Allah bisa sia-sia. Oleh sebab itu seorang
Muslim tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada ikhtiar (tanpa memasrahkannya kepada
Allah), karena sikap seperti itu akan mendatangkan kesombongan. Kaum Muslimin pernah
menndapatkan pelajaran yang berharga pada perang Hunain. Mereka bangga dengan jumlah
pasukan yang sangat banyak, akhirnya mengalami kekalahan.tentang hal ini Allah
menggambarkan dalam Al-Qur’an:

    


     
   
   
    

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan
yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak
karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat
kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu
lari ke belakang dengan bercerai berai.” (QS. At-Taubah 9:25)

Demikianlah, ikhtisr diperintahkan, tapi tidak boleh tawakal kepada ikhtiar. Di sinilah
bedanya seorang Muslim dan seorang kafir.Kedua-duanya sama-sama berikhtiar, tapi yang
pertama bertawakla kepada Allah SWT, sedangkan yang kedua bertawakal kepada ikhtiarnya.

Hikmah Tawakal

Sikap Tawakal sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan ketenangan batin. Sebab
apabila seseorang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai sesuatu :
mengerahkan segala tenaga dan dana, membuat perencanan dengan sangat cermat dan detail,
melaksanakannya dengan penuh disiplin, dan melakukan pengawasan dengan ketat.; kalau
kemudian masih mengalami kegagalan, dia tidak akan berputus asa. Dia menerimanya sebagai
musibah, ujian dari Allah SWT yang harus dihadapi dengan sabar. Sebaliknya jika berhasil
dengan baik, dia bersyukur kepada Allah SWT, tidak sombong dan membanggakan diri, karena
dia yakin semua usahanya tidak akan berhasil tanpa izin dari Allah SWT. Dengan demikian,
semua situasi dihadapinya dengan tenang. Bila gagal, bersabar, bila berhasil, bersyukur.
Bandingkankan dengan seseorang yang tidak memiliki konsep tawakal di dalam kehidupannya.
Kegagalan bisa membuatnya stress dan putus asa, sementara keberhasilan bisa membuatnya
sombong dan lupa diri.
Di samping itu sikap tawakal juga memberikan ketenangan dan kepercayaan diri kepada
seseorang untuk menghadapi masa depan. Dia akan menghadapai masa depan dengan segala
kemungkinannya tanpa rasa takut dan cemas. Yang penting berusaha sekuat tenaga, hasilnya
Allah yang menentukan. Bandingkan dengan orang yang tidak punya sikap tawakal.
Membayangkan pewrsaingan kehidupan yang semakin keras pada masa yang akan datang;
membayangkan bermcam penyakit berbahaya yang mengancam kehidupan manusia dan hal-hal
lain yang menakutkan, menyebabkan dia cemas dan gelisah yang tentu juga akan mempengaruhi
kesehatan fisiknya.
Dan yang lebih penting lagi orang yang bertawakal akan dilindungi oleh Allah SWT. Allah
berfirman:
    
 
“…dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya.” (QS. At.Thalaq 65:3).

F. SYUKUR
Syukur ialah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya. Syukurnya
seorang hamba berkisar atas tiga hal, yang apabila ketiganya tidak terkumpul, maka tidaklah
dikatakan bersyukur, yaitu: mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir, dan
menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah. Jadi syukur itu berkaitan dengan hati,
lisan dan anggota badan. Hati untuk ma’rifah dan mahabbah, lisan untuk memuja dan menyebut
nama Allah, dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk
menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya19
Syukur memamng berbeda dengan al-hamdu (pujian), karena syukur selalu sebagai respon
terhadap nikmat atau pemberian yang diterima. Sedangkan al-hamdu menyangkut sifat terpuji
yang melekat pada diri yang dipuji. Misalnya anda mengatakan “saya memuji si A karena
keberaniannya”, atau “saya memuji si B karena keluasan ilmunya”. Si A dan B anda puji bukan
karena anda mendapatkan manfaat dari keberanian dan ilmunya, tapi karena memang sifat berani
sudah melekat pada diri si A dan sifat berilmu melekat pada diri si B.
Anda tidak bisa mengatakan saya bersyukur kepada si A karena keberaniannya sementara
anda secara langsung tidak mendapatkan manfaat dari keberaniannya itu. Disampaing itu syukur
diungkapkan dengan melibatkan 3 aspek sekaligus, yaitu hati, lisan dan anggota badan.
Sedangkan al-hamdu atau pujian cukup dengan lisan.20

Tiga Dimensi Syukur


Seperti yang sudah disinggung di atas, syukur harus melibatkan tiga dimensi yaitu hati, lisan
dan jawarih (anggota badan). Bila seorang muslim misalnya bersyukur kepada Allah SWT atas
kekayaan harta benda yang di dapatinya maka yang pertama sekali ahrus dilakukannya adalah
mengetahui dan mengakui bhawa semua kekayaan yang didapatinya itu adlah karunia dari Allah
SWT. Usaha yang dia lakukan hanyalah sebab atau ikhtiar semata. Ikhtiar tanpa taufiq ,dari
Allah SWT tidaka akan menghasilkan apa yang diinginkan. Oleh sebab itu dia harus bersyukur
kepada Allah yang maha pemurah dan pemberi rezeki. Setelah itu baru dia mengungkapkan rasa
syukurnya dalam bentuk puji-pujian seperti Alhamdulillah, asyukru lillah dan lain sebaginya.
Kemudian dia buktikan rsa syukurnya itu dengan amal perbuatan yang nyata yaitu
memanfaatkan harta kekyaan itu pada jalan yang diridhai oleh Allah SWT, baik untuk
keperluannya sendairi maupun keperluan keluarga, umat atau untuk fi sabilillah lainnya.

Thabbarah menyatakan:

“Tidaklah bersyukur orang yang tidak mencintai Allah, dan tidak mengakui bahwa nikmat
yang di dapatinya berasal dari Allah. Tidak bersyukur orang yang tidak memuji Allah SWT
dengan lisannya dan juga tidak bersyukur orang yang mengucapkan kata-kata yang tidak
ada gunanya. Tidak bersyukur orang yang diberi ilu oleh Allah tapi tidak diamalkan dan
tidak diajarkannya. Tidak bersyukur orang yang diberi oleh Allah kekayaan tapi tidak
dimanfaatkannya untuk kebaikkan.21

Dalam hubungannya dengan aspek ketiga yaitu bersyukur dengan anggota badan, ada
baiknya kita kutip dialog yang terjadi anatra seorang laki-laki dengan Imam Abu Hazm:
- Apa syukurnya kedua mata itu..?
+ Apabila engkau melihat sesuatu yang baik engkau menceritakannya. Tapi bilaman
engkau melihat keburukan, engkau menutupinya.
- Bagaimana syukurnya telinga..?
+ Jika engkau mendengar sesuatu yang baik, peliharalah. Dan manakalah mendengar
sesuatu yang buruk, cegalah!
- Bagaimana Syukurnya tangan itu…?
+ Jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu dan janganlah engkau menolak hak
Allah yang ada pada kedua tanganmu.
- Kalau syukurnya perut bagaimana..?
+ Hendaklah bawahnya berisi makanan, sedang atasnya penuh dengan ilmu.
- Bgaimana syukurnya kemaluan itu…?
+ (Abu Hazm menjawabnya dengan membaca surah Al Mukminun ayat 1 – 7).

Thabbarah, 1978, h.194


   
   
    
  
  
   
   
    
  
   
   
 
“sungguh beruntunglah orang-orang yag beriman, Yaitu orang-orang yang khusyu’ dalam
shalatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan perkataan) yang tiada
berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga
kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik
itu maka mereka itulah orang-orang yang melampui batas.”(QS. Almukminun 23: 1-7 )

- Sekarang, bagaimana syukurnya kaki itu?


+ Jika engkau mengetahui seorana shaleh yang mati dan engkau bercita-cita dan berharap
seperti dia, dimana dia melangkahkan kakinya untuk taat dan beramal shaleh semata,
maka contohlah dia. Dan apabila engkau melihat seorang mati yang engkau
membencinya, maka bencilah amalnya. Maka engkau menjadi orang yang bersyukur.
Kemudian Abu Hazm menutup jawabannya dengann mengatakan bahwa orang yang
bersyukur dengan lisannya saja tanpa dibuktikan dengan amal perbuatan dan sikap, maka ia
ibarat seorang laki-laki yang punya pakaian, lalu ia pegang ujungnya saja, tidak ia paki. Menjadi
sia-sialah pakaian tersebut.22

Keutamaan Syukur
Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk bersyukur kepada-Nya. Firman-
Nya:

 
   
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan
bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku.” (QS. Al Baqarah
2 : 152)

Manusia diperintahkan bersyukur kepada Allah SWT bukanlah untuk keperntingan Allah itu
sendiri, karena Allah SWT ghaniyun anil alamin (tidak memerlukan apa-apa dari alam semesta),
tapi justru untuk kepentingan manusia itu sendiri. Allah menyatakan:

   


     
 
“…dan barangsiapa yang besyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Lukman 31:12)

    


    
 
“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan: “sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka
sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14:7)

G. MURAQABAH
Muraqabah berakar dari kata raqaba (raqaba) yang berarti menjaga, mengawal, menanti
dan mengamati.23 Semua pengertian kata raqaba bisa disimpulakan dalam satu kata yaitu
pengawasan, karena apabila sesseorang mengawasi sesuatu dia akan mengamati, menantikan,
menjaga dan mengawalnya. Dengan demikian muraqabah bisa kita artikan dengan pengawasan.
Sedangkan yang dimaksud dengan muraqabah dalam pembahsan kita adalah kesadaran
seorang muslim bahwa ia selalu berada dalam pengawasan Allah SWT. Kesadaran itu lahir dari
keimanannya bahwa Allah SWT dengan sifat Ilmu, Bashar, dan sama’ (Mengetahui, Melihat dan
Mendengar) Nya mengetahui apa saja yang dia lakukan, kapan dan dimanaa saja. Dia
mengetahui apa yang dia pikirkan dan rasakan. Tidak ada satupun yang luput dari Pengawasan-
Nya. Digambarakan oleh Allah SWT dalam Surah Al-An’am ayat 59 bahwa sebutir biji pun
dalam gelap gulita bumi yang berlapis-lapis tetap diketahui oleh Allah SWT. Perhatikan firman-
Nya:
   
     
    
    
     
     

“Dan pada sisiAlah lah kunci-kunci yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia
sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada didaratan dan dilautan, dan tiada sehelai
daunpunyang gugur melainkan Dia mengetahuinya(pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun
dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis
dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuz).”(QS. Al-An’am 6:59)

Dalam beberapa ayat lain Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menguasai segala tingkah
laku hamba-Nya. Perhatikanlah beberapa firman berikut ini:
    
“…sesungguhnya Allah selalu menjaga dan menguasai kamu.”(QS. An-Nisa’ 4:1)

    



“…Dan adalah Allah Maha menguasai sesuatu.”(QS. Al-Ahzab 33:52)

   


 
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang di sembunyikan oleh
hati.”(QS. Al-Mukmin 40:19)

Menurut Rasulullah SAW, muraqabah yang paling tinggi yaitu apabila seseorang dalam
beribadah kepada Allah SWT bersikap seolah-olah dia dapat melihat-Nya. Sekalipun dia tidak
dapat melihaa-Nya, tapi dia yakin Allah pasti melihatnya. Inilah yang dinamai oleh beliau sikap
ihsan sebagaiman jawaban beliau terhadap pertanyaan Jibril:

“(ihsan adalah) engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Sekalipun


engkau tidak dapat melihat-Nya tapi sesungguhnya Dia dapat melihatmu.”(H. Muttafaqun
‘Alaih)

Mahasabah
Kesadaran akanpengawasan Allah SWT akan mendorong seorang musslimuntuk melakukan
mahasabah (perhitungan, evaluasi)terhadao amal perbuatan, tingkah laku dan sikap hatinya
sendiri. Dalam hal ini muraqabah berfungsi sebagi jalan menuju muhasabah (al-muraqabah
thariq ila al-muhasabah).
Dijelaskan oleh Raid Abd Al-Hadi dalam bukunya Mamarat Al-Haq bahwa mahasabah
dapat dilakukan sebelum dan sesudah amal. Sebelum melakukan sesuatu seseorang harus
menghitung dan mempertimbangkan terlebih dahulu baik buruk dan manfaat perbuatannya itu,
dan juga menilai kembali motivasinya. Dalam hal ini ‘Abd Al-Hadi mengutip ucapan Hasan-
rahimahullah: ”Allah mengasihi seorang hamba yang berhenti sebelum melakukan sesuatu; jika
memang karena Allah, dia akan terus melangkah, tapi bila bukan karena-Nya dia akan
mundur.”24

Muhasabah setelah amal ada tiga macam:


1. Muhasabah hak Allah SWT. Yaitu tentang keikhlasannya beramal karena Allah, kesesuain
amalnya dengan petunjuk Rasul,sikap ihsannya dalam beramal dan lain sebagainya.
2. Muhasabah amalan yang lebih baik tidak dilakukkn daripada melakukannya.
3. Muhasabah amalan mubah atau kebiasaannya. Kenapa dia lakukan? Apakah ia melakukannya
karena menginginkan ridho Allah dan Akhirat. Jika memang mencari ridho Allah tentu
dia beruntung, jika idak dia akan merugi.25

Muhasabah akan memberi banyak manfaat kepada seorang muslim, antara lain:
1. Untuk mengetahui kelemahan diri supaya dia dapat memperbaikinya. Karena orang yang
tidak dapat mengetahui kelemahan dirinya sendiri tidak akan dapat memperbaikinya.
2. Untuk mengetahui hak Allah SWT. Karena orang yang tidak mengetahui hak Allah ibadahnya
tidak bermanfaat banyak bagi dirinya.
3. Untuk mengurangi beban hisab esok hari. Karena oran yang sudah dihisab hari ini akan aman
dari hisab esok hari.
Tentang manfaat Muhasabah yang ketiga diatas ‘Umar ibn Khaththab menulis surat kepada
aparatnya:

“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab kelak. Timbanglah dirimu sebelum kamu ditimbang
kelak. Karena sesungguhnya akan ringan bagimu mengahdapi hisab esok hari bila kamu
telah menghisabnya hari ini. Berhiaslah kamu untuk hari ”pameran besar” dimana hari itu
kamu akan dipamerkan tanpa ada yang tersembunyi sedikitpun.”26

H. TAUBAT
Taubat berakar dari kata taba yang berarti kembali. Orang yang bertubat kepada Allah SWT
adalah orang yang kembali dari sesuatu menuju sesuatu; kembali dari sifat-sifat tercela menuju
sifat-sifat yang terpuji, kembali dari larangan Allah menuju perintah-Nya,kembali dari maksiat
menuju taat,kembali dari segala yang dibenci Allah menuju yang diridhai-Nya, kembali dari
yang bertentangan menuju yang saling menyenangkan, kembali kepada Allah setelah
meninggalkan-Nya, dan kembali taat setelah menentang-Nya.27
Searti dengan kata taba adalah anaba dan aba. Orang yang taubat karena takut azab Allah
disebut taib (isim fa’il dari taba), bila karena malu disebut munib (isim fa’il dari anaba), dan bila
karena mengagungkan Allah SWT dissebut awwab.28
Apabila seorang muslim melakukan kesalahan atau kemaksiatan dia wajib segera bertaubat
kepada Allah SWT. Yang dimaksud dengan kesalahan atau kemaksiatan dsini adalahsmua
perbuatan yang melanggar ketentuan syari’at islam, baik dalam bentuk meninggalkan kewajiban
maupun melanggar laranganbaik yang termasuk shaghair (dosa kecil) atau kabair (dosa besar).
Allah SWT berfirman:

   


  

”Dan bertaubatlah kamu skalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu
beruntung.”(QS. An-Nur 24:31)

  


   
    
  
   
... 
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-
murninya, mudah-mudahn Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkan kamu kedalam syurga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai…”(QS. At-
Tahrim 66:8)

Kenapa harus segera bertaubat? Sebagian orang merencanakan untuk bertaubat setelah
umur agak lanjut, atau setelah puas menurutkan hawa nafsudimasa mudanaya. Rencana itu
sangat spekulatif karena tidak seorangpun yang dapat menjamin berumur panjang. Kalau
seseoaran berencana untuk bertaubat setelah berumur 40 tahun misalnya, bagaimana kalau umur
39 tahun ia meninggal duia. Setiap orang pasti mati. Dan kemaian itu misteri. Tidak seorangpun
yang dapat mengetahui kapan datangnya. Oleh sebab itu begitu seorang muslim menyadari dia
harus segera bertaubat kepada Allah SWT tanpa menunda-nundanya. Bahkan seorang muslim
dianjurkan untuk selalu bertaubat kepada Allah sekalipun dia tidak mengetahui kesalahannya.
Boleh jadi, tanpa disadarinya dia telah melakukan kesalahan. Disamping mmemerintahkan
kepada umatnya untuk bertaubat, Rasulullah SAW menyatakan bertaubat sampai seratus kali
sehari. Beliau bersabda:
“Hai manusia, bertaubat dan minta ampunlah kamu kepada Allah,karena sesungguhnya
saya bertaubat seratus kali dalam sehari.”(HR. Muslim)
Kkita tahu bahwa Rasulullah SAW adalah sebaik-baik manusia yang diciptakn oleh Allah
SWT. Beliau tidak pernah meninggalkan perintah Allah dan tidk pernah pula melanggar
larangam-Nya. Sekalipun demikian beliau selalu minta ampun kepada Allah SWT. Apalagi kita.
Mestinya lebih banyak lagi minta ampun kepada Allah SWT. Manusia tidak akan pernah luput
dari kesalahan. Tapi sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang bertaubat. Rasulullah
SAW bersabda:

“Setiap manusi (dapat berbuat) salah. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang
bertaubat.”(HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Hakim)

Tidak Ada Istilah Terlambat untuk Bertaubat

Allah SWT Maha Penerima taubat. Betapapun besarnya dosa seorang manusia, apabila dia
bertaubat, Allah pasti mengampuninya. Tidak aada istilah terlambat untuk kembali kepada jalan
yang kebenaran,kecuali kalau nyawa sudah berada ditenggorokan atau matahari terbit dari
sebelah barat, pintu taubat memang sudah tertutup. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya pada waktu malam supya bertaubat


orang yang berbuat salahsiang hari. Dan Dia membentangkan tangan-Nya pada siang hari
supaya, bertaubat orang yang berbuat salah malam hari. Keadan itu tetap terus hingga
matahari terbit dari barat.”(HR. Muslim)

“Sesungguhnya Allah tetap menerima taubat seseorang hamba-Nya sebelum nyawanya


sampai ditenggorokan.”(HR. Tirmidzi)

Dalam sebuah hadits yang panjang riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW
menceritakan bagaimana Allah tetap menerima taubt seseorang yang telah memebunuh seratus
orang apabila dia benar-benar bertaubat kepada Allah SWT. Dikisahkan bahwa laki-laki itu ingin
bertaubat setelah membunuh 99 orang. Tatakala ditanayakan kepada seorang rahib_yang tidak
bijaksana_apakah taubatnya masih mungkin diterima, sang rahib menjawab tidak. Rahib tadi
dibunuhnya hingga dengan demikian dia telah genapmembunuh seratus orang. Waktu ditanya
kepada seorang ‘alim_yang bijaksana_dia menjawab tentu bisa. Sebab siapakah yang dapat
menghalanginya untuk bertaubat? Lalu orang ‘alim tadi menyuruhnya pergi ke negeri
lainbergabung dengan masyarakat disana yang taat-taat. Jangan kembali kepada lingkunganmu
yang penuh kemaksiatan. Dalam hadits itu dikisahkan bahwa taubatnya diterima oleh Allah SWT
sekalipunsekalipun dalam perjalanan menuju masyarakat yang taat itu dia meninggal dunia.29
Dalam suatu hadits qudsi Allah SWT berfirnan:
“Allah Ta’ala berfiman: “Wahai Bani Adam! Sesungguhnya selama engkau berdoa dan
mengharap kepada-Ku, niscaya Aku ampuni dosa-dosamu, dan Aku tiada akan perduli. Wahai
Bani Adam! Jika sekiranya dosa dan kesalahanmu setinggi awan, lalu engkau memohon ampun
kepada-Ku, niscaya aku ampuni. Wahai Bani Adam! Andai engkau datang kepada-Ku dengan
membawa dosa sebanyak isi bumi kemudian engkau mati dalam keadaan tidak menyekutukan
Aku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku datang kepadamu dengan membawa ampunan seisi
bumi pula.”(HR. Tirmidzi)

Jadi jelaslah bag kita bahwa tiada dosa yang tidak terampuni kalau kita minta ampun kepada
Allah SWT, dan tidak ada kata terlmbat untuk bertaubat sebelum nyawa sampai ditenggorakan.
Olaeh sebab itu bersegeralah bertaubat sebelum maut menjemput yang entah kapan.

Lima Dimensi Taubat

Taubat yang sempurna harus memenuhi lima dimensi:


1. Menyadari Kesalahan. Karena seseorang tidak mungkin bertaubat kalau dia tidak
menyadari kesalahannya atau tidak merasa bersalah. Disinilah perlunya seorang muslim
mempelajari ajaran Islam, terutama tentang perintah-perintah yang harus diikutinya dan
larangan-larangan yang wajib ditinggalkannya. Dan disini pulalah pentingnya saling
mengungatkan sesame Muslim (wa tawa shau bil-haq).
2. Menyesali Kesalahan.
Sekalipun seseorang tahu bahwa dia bersalah tetapi diat tidak menyesal telah
melakukannya, maka orang tadi belumlah dikatakan bertaubat. Apalagi kalau dia bangga
dengan kesalahannnya itu. Dalam hal ini Rasululalh SAW bersabda:

“Menyesal itu adalah taubat.” (HR. Abu Dawud dan Hakim)


3. Memohon ampun kepada Allah SWT (istigfar), dengan keyakinan atau husn azh-zhan
bahwa Allah SWT akan mengampuninya. Semakin banyak dan sering seseorang
mengucapkan istighfar kepada Allah SWT semakin baik. Di aatas sudah disebutkan hadits
yang menyatakan bahwa sekalipun Rasulullah SAW tidak melakukan kesalahan atau
kemaksiatan tapi belum tetap banyak istigfar, bahakan sampai seratus kelai sehari.
Rasulullah SAW bersabda:

“Tidak ada dosa yang besar dengan istigfar, dan tidak ada dosa yang kecil kalau diulang-
ulang.” (HR. Thabrani)
4. Berjanji tidak akan mengulanginya. Janji itu harus keluar dari hati nuraninya dengan
sejujurnya, tidak hanya di mulut, sedangkan did lam hati masih tersimpan niat untuk kebali
mnegerjakan dosa itu sewaktu-waktu. Taubat seperti ini diibaratkan dengan taubat samabal,
waktu kepedasan menyatakan “Kapok” tapi besoknya dimakan lagi. Seperti yang dinyatakan
hadits di atas, betapapun kecilnya dosa itu, tapi kalau dikerjakan berulang-ulang tentu lama-
lama kualitasnya sama dengan dosa besar.
5. Menutupi kesalahan masa lalu dengan amal shaleh, untuk membuktikan dia benar-benar
bertaubat. Tentang hal ini, Allah SWT berfirman:
   
   

“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman dan
beramal shaleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaha 20:82)

Kebaikan yang dilakukan setelah bertaubat akan menghapus keburukannya pada masa lalu.
Rasulullah saw bersabda:

”Bertakwalah kamu kepada Allah di manapun kamu berada, dan iringilah perbuatan jahat
dengan perbuatan baik, maka kebaikan itu akan menghapuskannya, dan pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits lain Rasulullah saw memberikan perumpamaan bagaimana kebaikan


menghapuskan kebururkan:

“perumpamaan orang yang mengerjakana perbuatan buruk kemudian mengerjakan


perbuatan baik adalah seperti seseorang yang terbelenggu oleh rantai-rantai lalu dia
melakukan kebaikan, maka terlepaslah satu ikatannya, kemudian dia melakukan kebaikan
lagi, maka terlepaslah dia dari rantai lainnya sampai dia benar-benar terlepas.” (HR.
Ahmad dan Thabrani)30
Taubat yang memenuhi 5 dimensi di ataslah yang disebut dengan taubat yang sempurna atau
dalam bahasa Al-Qur’an disebut taubat nashuha. (QS. At-Tahrim 66 :8).

Catatan Kaki :
1
Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, Cetakan Mujamma’ Khadim Al-
Haramain as-Syarifain al-Madinah al-Munawwarah, 1991, hlm. 8.
2
Afif Abd al-Fatah Thabbarah, Ruh ad-Dien al-Islami (Beirut : Dar al-‘Ilmi li al-Maliyin, 1978), hlm. 211.
3
Ibid.,hlm. 211.
4
Yunahar Ilyas, Kuliah Aqidah Islam (Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1992), hlm.
35.
5
Ibid., hlm. 35
6
Ahmad Darson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: Al-Munawwir, 1984), hlm. 388.
7
Sayyid Sabiq, Islamuna (Beirut: Dar al-Fikr, 1982), hlm. 37.
8
Ringkasan makna hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah.
9
Muhammad Ibn ‘Alan As-Shiddiqi, Dalil al-Falihin li Thuruq Riyadh ash-Shalihin (riyadah: Dar al-Ifta, t.t.)
jilid II, hlm. 309.
10
Ibid.,II:309
11
Sayyid Sabiq, Islamuna, hlm. 88.
12
Ibid.,hlm. 88-89.
13
Ahmad Faridh (ed), Pembersih Jiwa,Terjemahan Nabhani Idris (Bandung: Pustaka, 1990), hlm. 180-181.
14
Muhammad Ibn ‘Alan As-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, II:308.
15
Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa, hlm. 173.
16
Muhammad Ibn ‘Alan As-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I:256.
17
’Afif ‘Abd al-Fattah Thabbarah, Ruh ad-Din, hlm. 196.
18
Muhammad al-Ghazali dkk, Wasiat Taqwa, Terjemahan Husein Muhammad (Jakarta: Bulan Bintang, 1986),
hlm. 49.
19
Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa, hlm.139.
20
Lihat Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, rawai’ al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam (Damaskus: Maktabah al
Ghazaly, 1977), I:23.
21
Afif ‘Abd al-Fattah Thabbarah, Ruh ad-Din, hlm. 194.
22
Ahmad Faridh, Pembersih Jiwa, hlm. 146-148.
23
Ahmad Darson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, hlm. 557.
24
Raid ‘Abd al-Hadi, Mamarat al-Haq, (t.t. p: t.p. dan t.t.), Jilid III, hlm. 172-177.
25
Ibid.
26
Ibid., hlm. 173.
27
Muhammad Ibn ‘Alan As-Shiddiqi, Dalil al-Falihin, I: 78.
28
Ibid., I: 78.
29
Teks lengkap dari hadits ini lihat dalam Imam Abu Dzakaria an-Nawawi, Riyad ash-Shalihin min Kalam
Sayyid al-Mursalin (Abu Dhabi: Putera Mahkota, 1993), hlm. 28.
30
Menurut Imam Nawawi apabila dosa yang dilakukan menyangkut hak manusia maka orang yang bertaubat
harus menyelesaikan urusannya dengan orang yang berhak dengan minta maaf atau minta dihalalkan atau
mengembalikan apa yang harus dikembalikan. Ibid, hlm. 25.

BAB III
AKHLAQ TERHADAP RASULULLAH SAW

A. MENCINTAI DAN MEMULIAKAN RASUL


Seorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT tentulah harus beriman bahwa
Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasulullah yang terakhir, penutup sekalian Nabi dan Rasul;
tidak ada lagi Nabi apalagi Rasul sesudah beliau (QS. Al-Ahzab 33:40). Belau diutus oleh Allah
SWT untuk seluruh umat manusia sampai hari kiamat nanti (QS. Saba’ 34:28). Kedatangan
beliau sebagai utusan Allah merupakn rahmat bagi alam semesta (QS. Al-Anbiya’ 21:107)
Nabi Muhamnabi mad SAW telah berjuang selama lebih kurang 23 tahun membawa umat
manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang.beliaulah yang berjasa
besar membebaskan umat manusia dari belenggu kemusyrikan, kekufura dan kebodohan.
Berbagai penderitaan yang beliau alami dalam perjuangan itu; dihina, dikatakan gila,tukang sihir,
tukang tenung, penyair, disakiti, diusir dan hendak dibunuh; tapi semuanya itu tidak sedikitpun
menyurutkan hati beliau untuk tetap berjuang membebaskan umat manusia.
Nabi sangat mencintai umatnya. Beliau hidup dan bergaul serta dapat merasakan denyut
nadi mereka. Beliau sangat menyayangi umatnya. Beliau ikut menderita dengan penderitaan
umat dan sangat menginginkan kebaikan untuk mereka. Tentang sikap beliau ini Allah SWT
berfirman:
   
    
  
 
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkana (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat
belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah 9:128).

Sebagai seorang Mukmin sudah seharusnya dan sepantasnya kita mencintai beliau melebihi
cinta kita kepada siapapun selain Allah SWT. Bila imana kita tulus, lahir dari lubuk hati yang
paling dalam tentulah kita akan mencintai beliau, karena cinta itulah yang membuktikan kita
betul-betul beriman atau tidak pada beliau. Rasulullah saw bersabda :

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian sebelum aku lebih dicintainya daripada
dirinya sendiri, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia.” (HR. Bukhari, Muslim dan
Nasa’i)

Sebagai konsekuensi dari menempatkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai cinta
yang pertama dan utama, maka tentu saja cinta kepada orang tua, anak-anak, suami atau istri,
sanak saudara, harta benda dan laun sebagainya harus ditempatkan di bawah cinta tersebut
(termasuk di bawah cinta kepada jihad pada jalan Allah). Dalam hal ini marilah kita perhatiakn
peringatan Allah dalam ayat berikut ini:

   


 
 
 
  
  
   
  
   
    
 
“Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu,
harta kekkayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasulnya dan (dari) berjihad di jakan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.” Dan Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-
Taubah 9:24).

Berdagang misalnya, termasuk perwujudan dari cinta kepada harta benda. Tapi bila dalam
berdagang seseorang tidak lagi mempedulikan halal dan haram, menghalalkan segala cara untuk
mencari keuntungan, atau dengan ungkapan lain tidak lagi mengindahkan aturan Allah dan
Rasul-Nya, maka cinta terhadap harta benda itu ___ Dalam kasus ini ___ telah mengalahkan cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya. Orang-orang seperti inilah yang mendapatkan peringatan keras
dalam ayat di atas.
Dalam mencintai Rasulullah, marilah kita meneladani para sahabat ___ Radhiyallahu ‘anhum.
Diriwatkan betapa cintanya Tsauban kepada Nabi sehingga dia tidak dapat menahan rindu kalau
lama tidak melihatnya. Suatu ketika ia tidak dapat melihat wajah nabi bebrapa ahri lamanya.
Mukanya pucat, hatinya gundah gulana.ketika bertemu dengan Nabi, ia ditanya tentang
perubahan keadaanya yang demikian itu. Tsauban menjawab : “Saya tidak sakit ya Rasulullah.
Hanya saja, apabila saya terhalang melihat wajah tuan, saya tak dapat menahan diri. Dan saya
takut benar, di akhirat nanti tidak dapat memandang wajahmu. Tuan berada di surga di tempat
yang sangat tinggi. Saya tentu tidak dapat menyertai tuan”. Mendengar kata-kata Tsauban ini
Nabi berkata: “Engkau beserta orang yang kau cintai”. Pada saat itu pula tuerunlah Wahyu
Allah:
   
   
   
 
  
 
“Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul, mereka itu akan bersama-sama dengan orang
–orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu Nabi-Nabi, orang-orang yang benar,
orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka iiulah teman yang
sebaik-baiknya.” (QS. An-Nisa’ 4:69).

Demikian pula besarnya cinta Bilal kepada Nabi. Dikisahkan waktu Muadzin Nabi itu
hendak menghembuskan nafasnya yang penghabisan, beberapa kawannya yang menyaksikan
berkata: “Aduh, betapa pedih hati kami”. Mendengar kata-kata ini Bilal justru menjawab:
“Wahai betapa gembira hatiku, esok aku akan segera bertemu dengan Nabi Muhammad”.1
Demikianlah gambaran betapa cintanya Tsauban dan Bilal, dua sahabat Nabi, kepada
junjungannya Nabi Muhammad saw. Demikian pulalah kecintaan sahabat Nabi kepada beliau.
Disamping mencintai Rasulullah saw, kita juga seharusnya mencintai orang-orang yang
dicintai oleh beliau dan membenci orang-orang yang dibencinya, lebih khusus lagi mencintai dan
memuliakan keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Rasulullah saw melarang umatnya mencela
sahabat-sahabat beliau.

“Janganlah kamu mencela sahabt-sahabatku. Andaikata seseorang dianatra kamu


memberikan infak emas sebesar gunung uhud, tidak akan sampai menyamai satu mud
(infak) salah seorang diantara mereka bahkan setengah mud pun tidak.” (HR. Bukhari).

Karena cinta kepada Rasulullah saw, dengan sendirinya kita akan merasa terhina apabila ada
yang menghina Rasulullah saw, dan orang-orang yang dicintai beliau.
Sesudah mencintai Rasulullah saw, kita juga berkewajiban menghormati dan memulaikan
beliau, lebih daripada mengjormati dan memuliakan tokoh manapun dalam sejarah umat
manusia. Dianatara bentuk penghormatan dan pemuliaan terhadap beliau adalah tidak boleh
mendahului belaiau dalam mengambil kepurusan atau menjawab pertanyaan.

   


   
    
   
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
(QS. Al-Hujarat 49:1).

Menurut Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, para sahabat, jika diajukan pertanyaan di dalam
majelis yang dihadiri Nabi merkea tidak mau mendahului menjawab, apabila dihidangkan
makanan mereka tidak akan memulai makan sebelum Nabi memulainya”.2
Para sahabat, karena sangat hati-hatinya menjaga jangan sampai mendahului Rasululah saw,
apabila ditanya oleh Rasulullah saw biasanya mereka menjawab dengan mengatakan “Allah
Rasul-Nya yang lebih tahu”, sekalipun mereka sebenarnya tahu jawabannya. Misalnya dalam
tetapi tetap menjawabnya dengan menyatakan Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu. Waktu
ditanyakan dikemudian hari kenapa mereka menjawabnya seperti itu, mereka mengatakan
khawatir kalau Rasulullah bertanya hanya sekedar pengantar untuk merubah nama hari, bulan
dan tahun waktu itu.
Demikianlah sikap para sahabat memuliakan dan menghormati Rasulullah saw. Bagi kita
sekarang, dimana secara fisik Rasulullah saw tidak lagi hadir bersama kita, tidak mendahului
beliau itu di manifestasikan dengan tidak mentapkan suatu perkara sebelu membahas dan
menilitinya terlebih dahulu dalam Al-qur’an dan Sunnah sebagai dua warisa beliau yang harus
selalu dipedomani.
Bentuk lain dari menghormati dan memuliakan Rasulullah SAW adalah tidak berbicara
keras dihadapan beliau. Allah SWT berfirman:

   


   
   
  
   
  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaaramu lebih dari
suaraNabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana
kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak
hapus(pahala)amalanmu sedangkan kamu tidak menyadarinya.”(QS. Al-Hujarat 49:2)

Sanksi bagi yang mlanggar larangan Allah diatastidak tanggung-tanggung, yaitu hilang
lenyap seluruh pahala amal kebaikan yang telah dilakukan. Tapi sebaliknya bagi yang
mamatuhinya dapat janji pahala yang besar.

   


   
   
    

“Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya disisi Rasulullah mereka itulah
yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertaqwa. Bagi mereka ampunan dan pahala
yang besar.”(QS. Al-Hujarat 49:3)

Apakah larangan bersuara keras dihadapan Rasululah SAW dalam ayat diatas tetap relevan
setelah Rasulullah SAW meninggal dunia? Menurut hemat penulis, sikap penghormatan terhadap
Rasulullah SAW dalam berbicara sepeerti yang dijelaskan diatas, dapat diteruskansetlah beliau
wafat dengan tidak mengeraskan suara dihadapan para ulama’ pewaris Nabi, didalam majlis
yang sedang dibacakan atau diajarkan warisan Nabi (Al-Qur’an dan Sunnah), dan juga dimasjid
nabawi lebih khusus lagi di kuburan Nabi.

B. MENGIKUTI DAN MENAATI RASUL

Mengikuti Rasululah SAW (ittiba’ ar-Rasul) adalah salah satu bukti kcintaan seorang
hamba terhadap Allah SWT. Allah berfirman:

    


  
    
 
“Katakanlah:”Jika kamu( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS. Ali Imran 3:31)

Rasulullah SAW, sebagaimana Rasul-Rasul yang lain, diutus oleh Allah SWT untuk diikuti
dan dipatuhi.

    


…    
“Dan Kami tdak mengutus seoorang rasul melainkan untuak ditaati dengan sseizin
Allah…”(QS. An-Nisa’ 4:64)

Apa saja yang datang dari Rasulullah SAW harus diterima, apa yang diperintahkannya
diikuti, dan apa yang dilarangnya ditinggalkan. Allah berfirman:

   


    
     

“Apa yang diberikan Rasul kepdamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukumannya.”(QS. Al-Hasyr 59:7)

Ketaatan kepada Rasulullah SAW bersifat mutlak, karena taat kepada beliau merpakan
bagian dari taat kepada Allah. Allah SWT berfirman:

“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang
siapa yang berpaling (dari kekuatan itu), maka Kam tidak mengutsmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.”(QS. An-Nisa’ 4:80)

Dalam banyak ayat, Allah SWT meletakkan perintah taat kepada Rasullah sesudah perintah
taat kepada Allah. Adakalnya perintah taat kepada Rasulullah disebut secara eksplisit sehingga
kalimatnya mennjadi “taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul”,dan adakalanya dengan
di‘athaf (diikutkan) saja kepada perintah taat kepada Allah, sehingga kalimatnya menjadi
“taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya” seperti dalam dua ayat berikuti ini:

  


  
   
     
    
  
    

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah(Al-Qur’an) dan Rasul(Sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu leabih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.”(QS.An-Nisa’ 4:59)

    


     

“Katakanlah:”Taatilah Allah dan Rasul-Nya;jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir.”(QS. Ali Imran 3:32)
Perbedaan redaksi tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah SAW diberikan kewenangan
tidak hanya menjelas dan menegaskan ajaran dan aturan Allah dalam A-Qur’an, tapi juga
menjelaskan apa-apa yang belum di tetapkan oleh Al-Qur’an, seperti shalat misalnya. Nabilah
yang menunjukkan bagaimana tatacara sahlat yang didalam Al-Qur’an tidak dijelaskan. Beliau
bersabda:

“shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat”(HR. Bukhari)

Disamping perintah mengikuti dan menaati Rasul, banyak ayat yang memberikan peringatan
keras untuk tidak menentang beliau. Misalnya:

   


    
  
  
   
 
“Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang
telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali. ”(QS. An-Nisa’ 4:115)

Bagi seorang mukmin, tidak ada jawaban lain apabila diperintah untuk patuh pada
Rasulullah kecuali ucapan sami’na wa ’atha’na sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT
dalam firman-Nya:
   
   
  
   
   
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila meereka dipanggil kepada Allah dan
Rasul-Nya agar Raasul menghukum (mengadili) diantara mereka ialah ucapan:”Kami
mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulalah orang-oramg yang beruntung.”(QS. An-
Nur 24:51)

Apabila perintah Rasulullah SAW tidak diikuti, malah yang diikuti adalah kemauan masing-
masing, maka yang rugi bukanlah Rasullah SAW, tapi kita sendiri. Allah berfirman:
   
     
   
   
   
  
   

“Dan ketahuilah olehmu bahwa dikalangan kamu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti
(kemauan) kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu akan mendapat kesusahan
tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam
hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka
itulah yang mengikuti jalan yang lurus.”(QS. Al-Hujarat 49:7)

Ibarat jalan, maka jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dalam kehidupan beliau
adalah jalan lurus yang diridhai oleh Allah SWT. Melalu beliau lah, Allah SWT menunjukkan
kepada manusia jalan lurus tersebutt lengkap dengan ramu-rambunya. Siapa yang mematuhi
rambu-rambu, tentulah dia akan selamat sampai ditujuan yaitu keelamatan hidup di dunia dan
Akhirat. Siapa yang tidak mengikutinya, dia akn tersesat dunia akhirat.

   


   
   
    
 
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) inni adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia;
dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai
beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan oleh Allah kepadamu agar
kamu bertaqwa.”(QS. Al-An’am 6: 153)

Mengikuti dan mematuhi Rasulullah SAW, berarti mengikuti jalan lurus tersebut dangan
mematuhi segala rambu-rambunya. Rambu-rambu jalan tersebut ialah segala aturan kehidupan
yang dibawa oleh Rasulullah SAW yang terlembagakan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Itulah dua
warisan yang ditinggalkan Rasul untuk umat manusia, yang apabila dipegang teguh, umat
manusia tdak akan tersesat buat selamanya. Beliau bersabda:

“Aku tinggalkan pada anda semua dua hal, yang kamu tidak akan tersesat selamanya bila
kamu berpegeng teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnahku.”(HR. Hakim)

Ajaran Al-Qur’an dan Sunnah yang diwariskan oleh Rasulullah SAW bersifat
komperehensif (mencakup seluruh aspek kehidupan). Secara garis besar, warisan Rasulullah
SAW tersebut dapat dibagi kepada aspek aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu’amalah. Diantara
empat aspek tersebut ada yang dijelaskan secara terperinci yang oleh karena itu bersifaat statis,
dan ada yang hanya diberikan garis besar atau prinsip-prinsipnya saja sehingga bersifat dinamis.
Yang bersifat statis itu adalah aspek aqidah, ibadah, akhlaq (dalam pengertian nilai baik
buruknya tidak berubah, tapi manifestasinya bisa berubah) dan sebagian kecil aspek mu’amalah
(yaitu tata kehidupan berkeluarga). Sedangkan yang bersifat dinamis adalah sebagian besar
aspek mu’amalah (politik-ekonomi-sosial-budaya-hankam dan lain-lain).
Ajaran yang statis tidak boleh mengalami perubahan karena fungsinya sebagai dasar atau
landasan normatifyang membingkai dan mewarnai semua aspek kehidupan manusia. Sejak
pertama kali diajarkn oleh Rasulullah SAW kepada para sahabat sampai kepada zaman kita
sekarang ini, dan untuk masa seterusnya, aspek-aspek yang statis itu tidak boleh mengalami
perubahan. Apabila terjadi perubahan, akibat pengaruh yang datang dari luar Islam, baik dari
agama-agama maupun dari budaya lain, maaka menjadi tugas umat Islam umumnya, dan para
ulama pembaharu khususnya untuk melakukan pemurnian (purifikasi). Yang dibersihkan dari
aspek aqidah adalah unsur-unsur syirik dan khurafat dari aspek ibadah adalah unsure-unsur
bid’ah. Sedangkan dari aspek akhlaq nilai baik buruk yang sudah mengalami pergeseran
dikembalikan kepada nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.
Berbeda dengan aspek yang statis, maka ajaran Islam yang bersifat dinamis (yaitu sebagian
besar dari aspek mu’amlah) selalu terbuka meneriam perubahan. Oleh karena itu Islam hanya
memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja, sedangkan pengembangan dan penjabarannya
diserahkan kepada historisitas umat manusia disetiap waktu dan tempat. Prinsip musyawarah
dalam memilih pimpinan, dapat dilakukan dengan mekanisme yang berbeda-beda sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman.
Demikianlah, dalam aspek yang statis kita mengikuti dan mematuhi Rasulullah SAW apa
adanya tanpa mengurangi dan menambahkannya, tapi dalam aspek dinamis kita hanya di tuntut
mengikuti prinsip-prinsipnya atau garis besarnya saja. Dengan demikian kita dapat
mengembangkannya sesuai dengan perkembangan zaman dankebutuhan.

C. MENGUCAPKAN SHALAWAT DAN SALAM

Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan shalawt
dan salam bagi Nabi Muhammad SAW.

   


   
   
 
“Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-
orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepdanya.”(QS.Al-Ahzab 33:56)

Perintah untuk bershalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dalam ayat diatas
diawali dengan Allah SWT sebagi pernyataan bahwa Allah dan para Malaikat-Nya bershlat
kepada beliau.hal itu disamping menunjukkan betapa mulia dan terhormatnya kedudukan beliau
di sisi Allah SWT, juga menunjukkan betapa pentingnya perintah bershalawat dan salam itu kita
lakukan. Bahkan untuk memastikan bahwa setiap orang yang beriman akan mengucapkannya,
shalawat dan salam itu dijadikan salah satu bacaan dalam shalat.
Sekalipun Allah SWT dan para Malaikat bershalawat kepada Nabi, tapi pengertian shalawat
masing-masing tentu berbeda dengan shalawatnya orang-orang yang beriman. Menurut Al-
Ghazali Khalil ‘Aid dalam bukunya Tafsir Surah Al-Ahzab, shalawat dari Allah SWT untuk Nabi
artinya rahmah dan keridhaan,dari Malaikat artinya permohonan ampun dan doa, sedangkan dari
orang-orang yang beriman berarti penghormatan dan doa supaya Allah SWT menambahkan kem
uliaan dan kehormatan bagi beliau.3
Pengertian yang berbeda-beda dari kata shalawat (ash-shalah) dalam ayat di atas sesuai
dengan arti kata tersebut. Sebab secara etimologis ash-shalah (bentuk mashdar dari yushallun)
dapat berarti doa, istigfar dan rahmah. Tentu saja kita akan memilih mana pengrtian yang cocok
untuk subjeknya. Misalnya shalawat Allah keoada Nabi tentu tidak dapat diartikan Allah
mendoakan dan memohon ampunan untuk beliau, kaarena justru kepada Allah lah prang berdoa
dan memohon ampunan.4
Allah SWT memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mengucapkan shalawat
kepada Nabi bukanah karena Nabi memburuhkannya. Sebab tanpa doa dari siapapun beliau
sudah pasti akan selamat dan mendapatkan tempat yang paling mulia dan paling terhormat di sisi
Allah SWT. Bukankah Allah sendiri sudah menyatakn bahwa Dia merahmati dan meridhai
beliau. Sesudah jaminan dari Allah seperti itu tentu beliau tidak lagi memerlukan doa dari para
pengikutanya.
Ucapan shalawat dan salam dari kita, orang-orang yang beriman, disamping sebagai bukti
penghormatan kepada beliau, juga untuk kebaikan kita sendiri. Itulah sebabnya beliau
menyatakan:

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka dengan shalawatnya itulah Allah
akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.”(HR. Ahmad)

Nabi Muhammad SAW sangat menghargai setiap orang yang bersahalawat kepada beliau.
Dalam sebuah hadits Nabi menyatakan:

“Sesungguhnya orang yang paling utama kepadaku nanti pada Hari”Kiamat adalah siapa
yang paling banyak bershalawat kepadaku.”(HR. Tirmidzi)

Sebaliknya, Nabi menyatakan bahwa orang yang tidak bershalawat tatkala mendengar nama
beliau disebut adalah orang yang bakhil.

“Yang benar-benar orang bakhil adalah orang-orang yang disebbut namaku dihadapannya,
ia tidak mengucapkan shalawat kepaadaku.”(HR. Tirmidzi dan Ahmad)

Waktu dan Teks Shalawat dan Salam


Selain membacanya dalam ibadah shalat, kita dianjurkan sebanyak mungkin mengucapkan
shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dalam berbagai kesempatan, terutama sekali
tatkala mendengar nama beliau disebut, baik dalam pidato, ceramah, seminar, diskusi maupun
dalam pembicaraan sehari-hari. Bahkan seperti yang sudah disebutkan diatas, Nabi menilai orang
yang benar-benar bakhil adalah orang yang tidak mau bershalawat kepada beliau tatkala
mendengar nama beliau disebut.
Teks yang digunakan dalam shalat adalah sebagai berikut:
1. Teks salam
“Semoga keselamatan bagi engkaun , wahai Nabi, beserta rahamt dan berkah dari Allah”.
2. Teks Shalawat

“Ya Allah, limpahkanlah rahamt-Mu kepada Muhammad dan keluarganya, sebagaimana


Engkau telah melimpahkannya kepada Ibrahim dan keluarganya. Dan berkahilah
Muhammad dan keluarganya, sebagaimana Engaku berkahi Ibrahim dan keluarganya.
Sesungguhnya Engkau Yang Maha Terpuji dan Maha Mulia”.

Contaoh teks yang dibaca tatkala mendengaar nama Nabi disebut adalah:

“Semoga Allah memberikan shalawat dan salam kepada beliau”


atau:

“Ya Allah beerilah shalawat dan salam kepada beliau”.

Contoh teks shalawat dan salam untuk awal pidato, ceramah, atau kesempatan lain adalah :

“Shalawat dan salam (semoga dilimpahkan Allah) untuk Nabi dan Rasul yang paling mulia,
Muhammad dan juga untuk keluarga, para sahabat dan siapa saja yang mengikuti ptunjuk
beliau sampai Hari Akhir nanti”.

Secara tertulis, ucapan shalawat dan salam sesudah nama Nabi Muhammad SAW,
disamping ditulis lengkap, juga dapat ditulis dengan singkatan SAW (shallallahu ‘alaihi wa
sallam).
Demikianlah, sebagai ujud dari iman, cinta dan hormat kita terhadap Nabi Muhammad
SAW, dan jugs sebagai bentuk rasa terima kasih kita kepada beliau atas jasa- jasa yang tidak ada
tandingannya untuk ummat manusai, lebbih khusus lagi untuk orang-orang yang beriman, tentu
tidak sepantasnya kita berhemat-hemat mengucapkan shalawat dan salam kepada beliau, apalagi
sampai jatuh ke tingkat “bakhil” sebagaimana yang dinyatakan sendiri oleh beliau. Apalagi
mengingat manfaat dari shalawat dan salam itu justru untuk kebaikan kita sendiri.
Washalllallahu ‘alaihi wasallam wa’ala alihi washahbihi ajma’in, wa man tabi’a hudahu ila
yaumiddin.

Catatan kaki:
1
Humaidi Tatapangarsa, akhlaq yang mulia (Surabaya:Bina Ilmu, 1991), hlm. 90-91.
2
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim, 1981), jilid III hlm. 232.
3
Al-Ghazali Khalil ‘Aid, Tafsir Surah Al-Ahzab (Riadh: Muassasahal-Maddallah, 1982), hlm. 155.
4
Lihat Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, Rawai’u al-Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an (Damaskus:
Maktabah al-Ghazali, 1977), jilld II hlm. 361.
BAB IV
AKHLAQ PRIBADI

A. SHIDIQ
Shidiq (ash-shidqu) artinya benar atau jujur, lawan dari dusta atau bohong (al-kazib).
Seorang muslim dituntut untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir bathin; benar hati (shidq
al-qalb), benar perkataan (shidq al-hdits) dan benar perbuatan (shidq al-‘amal). Antara hati dan
perkataan harus sama, tdak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan perbuatan.
Benar hati, apabila hati dihiasi dengan iman kepada Allah SWT dan bersih dari segala
penyakit hati. Benar perkataan, apabila semua yang diucapkan adalah kebenaran bukan
kebathilan. Dan benar perbuatan, apabila semua yang dilakukan sesuai dengan syari’at Islam.
Rasulullah SAW memerintahkan setiap Muslim untuk selalu shidiq, karena sifat shidiq
membawa kepada kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkannya ke syurga. Sebaliknya beliau
melarang umatnya berbohong, Karena kebohongan akan membawa kepada kejahatan dan
kejahatan akan berakhir di neraka. Beliau bersabda:

“Hendaklah kamu semua bersikap jujur, karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan,
dan kebaikan membawa ke sorga. Seseorang yang selalu jujur dan mencari kejujuran akan
ditulis oleh Allah sebagai orang yang jujur (shiddiq). Dan jauhilah sifat bohong, karena
kebohongan akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Orang
yang selalu berbohong dan mencari-cari kebohongan akan ditulis oleh Allah sebagai
pembohong (kadzdzab.)”(HR. Bukhari)

Bentuk-bentuk Shidiq
Seorang Muslim harus selalu bersikap benar; kapan, dimna, dan kepada siapapun. Kalau
diperincikan paling kurang ada lima macam bentuk shidiq:

1. Benar Perkataan (shidq alhadits)


Dalam keadaan apapun seorang muslim akan selalu berkata yang benar; baik dalam
menyampikan informasi, menjawab pertanyaan,melarang dan memerintah ataupun lainnya.
Orang yanf selalu berkata benar akan dikasihi oleh Allah SWT dan dipercaya oleh masyarakat.
Sebaliknya orang yang berdusta apalagi suka berdusta masyarakat tidak akan mempercayainya.
Pepatah mengatakan,”sekali lacung keujian seumur hidup orang tidak akan percaya”. Kalau
sudah demikian sulit bagi dia mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Berkata bohong termasuk salah stu orang munafik sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah
SAW:

“Tanda-tanada orang munafik ada tiga, yaitu: Apabila berkata, dusta; bila berjanji,
mungkir; dan bila dipercaya, khianat.”(HR. Muttafaqun ‘Alaihi)

Shidq al-hadits adalah bentuk yang paling popular dan paling mudah kelihatan.

2. Benar Pergaulan (shidq al-mu’amalah)

Seorang muslim akan selalu bermu’amalah dengan benar; tidak menipu, tidak khianat dan
tidak memalsu, sekalipun kepada non muslim. Orang yang shidiq dalam mu’amalah jauh dari
sifat sombong dan ria’. Kalau melakukan sesuatu dia lakukan karena Allah, kalau meninggalkan
sesuatu juga dia tnggalkan karena Allah. Dia tidak mengaharapkan balas budi orang lain. Dia
akan selalu bersikap benar dengan siapaun, tanpa memandang kekayaan, kekuasaan atau status
lainnya. Barang siapa yang selalu bersikap shidiq dalam mu’amalahnya maka dia akan menjadi
kepercayaan masyarakat. Siapapun ingin bermu’amalah dengannya.

3. Benar Kemauan (shisdq al-‘azam)

Sebelum memutuskan untuk melakukan sesuatu, seorang Muslim harus mempertimbangkan


dan menilai terlebih dahulu apakah yang dilakukannya itu benar dan bermanfat, dia akan
melakukannya tanpa ragu-ragu, tidak akan terpengaruh dengan suara kiri kanan yang mendukung
atau mencelanya. Kalau dia menghiraukan komentar orang, dia tidak akan jadi melaksanaknnya.
Tetapi bukan berarti dia mengabaikan kritik, asalkan kritik itu argumentative atau konstruktif.

4. Benar Janji (shidq al-wa’ad)

Apabila berjanji, seorang Muslim akan selalu menepatinya, sekalipun dengan musuh atau
anak kecil. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang berkata kepada anak kecil, mari kamari, saya beri korma ini. Kemudian
dia tidak memberinya, maka dia telah mambohongi anak itu”.(HR. Ahmad)

Mungkir janji juga termasuk salah satu sifat munafik sebagaimana telah disebutkan dalam
hadits diatas.
Allah AWT menyukai orang-orang yang menepati janji. Dalam Al-Qur’an disebutkan pujian
Allah SWT kepada Nabi Isma’il AS yang menepati janji:
  
    
   

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma’il (yang tersebut) di dalam
Al-Qur’an. Sesungguhnya ia aadalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang
Rasul dan Nabi.”(QS. Maryam 19:54)
Lampiran

Pertanyaan :
1. Sebutkan pengertian khauf dan raja’..?
2. Sebutakan 2 sebab seseorang takut kepada Allah SWT..?
3. Sebutkan 2 dampak positif dari khauf..?
4. Sebutkan 5 dimensi taubat
5. Tuliskan salah satu ayat yang membahas tentang Taubat.
6. Sebutkan 3 macam Muhasabah setelah amal
7. Sebutkan 3 manfaat dari Muhasabah..?
8.

Anda mungkin juga menyukai