Anda di halaman 1dari 27

. . . .

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan


pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci
bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". Dan
katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya... (QS. An-Nur 24: 30-31)

Sebelum ayat tentang pandangan ini adalah ayat tentang cara bertamu, dan
sebelumnya lagi-sejak awal surat-adalah ayat-ayat tentang perzinaan, kemudian
sesudahnya (sesudah perintah menahan pandangan) adalah ketentuan tentang busana
Muslimah (kewajiban menutup aurat). Semua persoalan tersebut berkaitan satu sama lain
yang intinya adalah aturan pergaulan Muslim dan Muslimah atau antara pria dan wanita.

E. UKHUWAH ISLAMIYAH

Ukhuwah Islamiyah adalah sebuah istilah yang menunjukkan persaudaraan antara


sesama Muslim di seluruh dunia tanpa melihat perbedaan warna kulit, bahasa, suku,
bangsa, dan kewarganegaraan. Yang mengikat persaudaraan itu adalah kesamaan
keyakinan atau iman kepada Allah SWT dan Muhammad itu adalah Nabi dan utusan-Nya.
Ikatan keimanan ini jauh lebih kokoh dan abadi dibandingkan dengan ikatan-ikatan
primordial lainnya, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan darah sekalipun.

Persaudaraan sesama itu ditegaskan oleh Allah SWT dalam Surat Al-Hujurat ayat 10:





Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah
(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah,
supaya kamu mendapat rahmat (QS. Al-Hujurat 49:10)
Bangsa arab sebelum kedatangan Islam dikenal sebagai Bangsa yang terpecah belah
ke dalam suku-suku, yang satu sama lain tidak hanya saling bersaing dan bermusuhan,
bahkan tidak jarang terjadi peperangan. Sebelum kedatangan Nabi ke Yatsrib (kemudian
dinamai Madinah), tidak ada yang dapat mempersatukan antara suku Aus dan Khazraj.
Secara tradisional kedua suku itu selalu terlibat permusuhan dan peperangan. Mendengar
nama Aus saja sudah dapat menimbulkan kemarahan orang suku Khazraj, begitu pula
sebaliknya. Tidak ada yang dapat mempersatukan mereka-sebagaimana yang ditegaskan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad sawkecuali Islam.







Dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). walaupun
kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak
dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati
mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-anfal 8: 63)

Rasulullah saw, tidak hanya berhasil mempersatukan Aus dan Khazraj, tapi juga
berhasil mempersatukan dan mempersaudarakan antara Muhjirn dan Anshr. Sejarah
memcatat dengan tinta emas, betapa indah dan tulusnya persaudaraan antara kaum
pendatang dari Makkah itu dengan kaum penolong dari Madinah. Mereka rela berbagi apa
saja untuk saudara-saudara seiman. Demikianlah, persaudaraan Islam betul-betul
merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri dan dipelihara. Allah SWT berfirman:












Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah
kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di
tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Ali
Imran 3: 103)

Menegakkan dan Membina Ukhuwah Islamiyah

Supaya ukhuwah Islamiyahdapat tegak dengan kokoh diperlukan empat tiang


penyangga, yaitu taruf, tafhum, tawun dan takful.

1. Taruf
Saling kenal mengenal, tidak hanya taruf fisik atau biodata ringkas belaka, tapi
lebih jauh lagi juga taruf latar belakang pendidikan, budaya, keagamaan; taruf
pemikiran, ide-ide, cita-cita; dan taruf problem kehidupan yang dihadapi.
2. Tafhum
Saling memahami kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan masing-
masing, sehingga segala macam bentuk kesalahan dapat dihindari.
3. Tawun
Saling tolong-menolong. Yang kuat menolong yang lemah, yang mempunyai
kelebihan menolong yang kekurangan.
4. Takful
Saling memberikan jaminan, sehingga menimbulkan rasa aman. Tidak ada rasa
kekhawatiran dan kecemasan menghadapi hidup ini karena ada jaminan dari sesama
saudara untuk memberikan pertolongan.

Dengan empat tiang persaudaraan di atas, umat Islam akan saling mencintai, bahu
membahu, tolong menolong dalam menjalani dan menghadapi tantangan kehidupan,
bahkan mereka sudah seperti satu batang tubuh yang masing-masing bagian tubuh ikut
merasakan penderitaan bagian tubuh lainnya. Dalam beberapa hadits, Rasulullah saw
menggambarkan bagaimana persaudaraan sesama Muslim tersebut:











.


























Seorang Muslim adalah saudara Muslim lainnya, masing-masing tidak boleh
menzalimi dan membiarkan yang lain tanpa pertolongan. Barangsiapa
memperhatikan kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memperhatikan
kebutuhannya. Barangsiapa melepaskan kesusahan saudaranya, maka Allah akan
melepaskan kesusahannya di Hari Kiamat. Dan barangsiapa menutup cela seorang
Muslim, maka Allah akan menutup cela dirinya pada Hari Kiamat. (HR. Bukhri
Muslim)












Tidak (sempurna) iman seseorang di antara kamu, sampai mencintai untuk
saudaramu apa-apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhri dan
Muslim)













Orang Mukmin yang satu dengan orang Mukmin lainnya bagaikan sebuah bangunan
yang antara bagian-bagiannya satu sama lain saling kuat menguatkan. (HR Bukhri
Muslim)


























Perumpamaan orang-orang beriman dalam sayang-menyayangi, cinta-mencintai
dan tolong-menolong sesama mereka, seperti satu batang tubuh, yang apabila salah
satu bagian tubuh menderita sakit, maka seluruh badan akan merasa sakit pula
karena tidak dapat tidur dan panas. (HR Bukhri dan Muslim)
Demikianlah ukhuwah Islamiyah secara normatif. Hal-hal yang normatif di atas
seharusnya dapat diwujudkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Jangan ukhuwah
Islamiyah hanya tinggal teori, atau menjadi ajaran kosong yang tidak terlihat dalam
realitas kehidupan.

Memelihara Ukhuwah Islamiyah

Supaya ukhuwah Islamiyah tetap erat dan kuat, setiap Muslim harus dapat menjauhi
segala sikap dan perbuatan yang dapat merusak dan merenggangkan ukhuwah tersebut.
Sesudah menyatakan bahwa orang-orang yang beriman itu bersaudara, Allah SWT
melarang orang-orang yang beriman untuk melakukan beberapa hal yang dapat merusak
dan mereanggangkan ukhuwah Ilsamiyah:












Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki
merendahkan umpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari
mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya,
boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu
sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-
buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan Barangsiapa yang
tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Hujurat 49:
11)










Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan),
karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan
orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat 49: 12)

Ada enam sikap dan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT dalam dua ayat di atas,
yaitu: (1) Memperolok-olokan orang lain, baik laki-laki maupun wanita, dengan kata-kata
maupun dengan gerak-gerik yang dapat menimbulkan sakit hati dan permusuhan; (2)
mencaci orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan dan menghina; (3) memanggil
orang lain dengan gelar-gelar yang tidak disukai; (4) berburuk sangka; (5) mencari-cari
kesalahan orang lain; dan (6) bergunjing.

Demikianlah, mudah-mudahan kita dapat selalu menjaga diri dari sikap dan perbuatan
yang dapat merusak ukhuwah Islamiyah di atas.

Catatan kaki:
Lihat Muhammad 'Ali ash-Shabuni, Rawaiu al- Bayan, Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Quran
1

(Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1977), jilid II, hlm. 133-134.


2
Ibid,

Lihat Muhammad Ibn al-Atsir al-Jazari, Jamiu al-Ushul fi Ahadits ar-Rasul (Riyadh: Dar al-Ifta,
3

1971), jilid VII, hlm. 59-60.


4
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 320
5
Lebih lengkap tentang salam akan diuraikan pada pasal berikutnya tentang pergaulan muda-mudi.
6
Suhairi Ilyas, Etika Remaja Islam (Bukittinggi: Yayasan al-Anshar, 1990), hlm. 23-26.

BAB VII

AKHLAK BERNEGARA

A. MUSYAWARAH
Secara etimologi, musyawarah (musywarah) berasal dari kata sywara yang pada
mulanya bermakna mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makna ini kemudian
berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari
yang lain-termasuk pendapat. Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau
mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal
yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.1
Karena kata musyawarah adalah bentuk mashdar dari kata kerja
sywara yang dari segi jenisnya termasuk kata kerja mufalah
(perbuatan yang dilakukan timbal balik), maka musyawarah haruslah
bersifat dialogis, bukan monologis. Semua anggota musyawarah bebas
mengemukakan pendapatnya. Dengan kebebasan berdialog itulah
diharapkan, sehingga keputusan yang dihasilkan tidak lagi
mengandung kelemahan.

Arti Penting Musyawarah


Musyawarah atau syura adalah sesuatu yang sangat penting guna menciptakan
peraturan di dalam masyarakat dimana pun. Setiap negara maju yang menginginkan
keamanan, ketentraman, kebahagiaan dan kesuksesan bagi rakyatnya, tetap memegang
prinsip musyawarah ini. Tidak aneh jika Islam sangat memperhatikan dasar musyawarah
ini. Islam menamakan salah satu surat Al-Quran dengan Asy-Syura, di
dalamnya dibicarakan tentang sifat-sifat kaum mukminin, antara lain,
bahwa kehidupan mereka itu berdasarkan atas musyawarah, bahkan
segala urusan mereka diputuskan berdasakan musyawarah di antara
mereka. Sesuatu hal musyawarah adalah, bahwa ayat tentang
musyawarah itu dihubungkan dengan kewajiban shalat dan menjauhi
keji2. Allah SWT berfirman:









Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-
perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi)
orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. (QS.
Asy-Syura 42: 37-38)
Dalam ayat di atas, syura atau musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam
diatur sesudah iman dan shalat. Menurut Taufiq asy-syawi, hal ini memberikan pengertian
bahwa musyawarah mempunyai martabat sesudah ibadah terpenting, taiutu shalat,
sekaligus memberikan pengertian bahwa musyawarah merupakan salah satu ibadah yang
tingkatannya sama dengan sholat dan zakat. Maka masyarakat yang mengabaikan nya
dianggap sebagai masyarakat yang tidak menetapi salah satu ibadah.3
Abdul Karim Zaidan menyebutkan bahwa musyawarah adalah hak
ummat dan kewajiban imam atau pemimpin. Dalilnya adalah firman
Allah SWT yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk
bermusyawarah dengan para sahabat.4









Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
(QS. Ali Imran 3: 159)
Ayat di atas turun dalam konteks Perang Uhud, dimana pasukan Islam nyaris
mengalami kehancuran gara-gara pasukan pemanah yang ditempatkan Nabi di atas bukit
tidak disiplin menjaga posnya. Akibatnya posisi strategis itu dikuasai musuh dan dari sana
mereka balik menyerang pasukan Islam. Namun demikian, Nabi tetap bersikap lemah
lembut dan tidak bersikap kasar kepada mereka.
Sebenarnya sebelum perang Uhud Nabi sudah bermusyawarah terlebih dahulu dengan
para sahabar tentang bagaimana menghadapi musuh yang akan dating menyerang dari
Mekkah, apakah ditunggu di dalam kota atau dosongsong ke luar kota. Musyawarah
akhirnya memilih pendapat yang kedua. Dengan demikian, perintah bermusyawarah
kepada Nabi ini dapat kita baca sebagai perintah untuk tetap mmelakukan musyawarah
dengan para sahabat dalam masalah-masalah yang memang perlu diputuskan bersama.
Mengomentari perintah muyawarah kepada Nabi dalam ayat di atas
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menyatakan: Jika Rasulullah saw
yag mashum dan mendapatkan penguata wahyu, sampai tidak pernah
berbicara dengan nafsu telah diperintahkan dan diwajibkan oleh Allah
SWT agar bermusyawarah dengan para sahabatnya, sudah tentu, bagi
para hakim dan umara, musyawarah sangatlah ditekankan.5
Bahkan Rasulullah saw yang memiliki kedudukan yang sangat mulia itu banyak
melakukan musyawarah denga para sahabat beliauseperti tatkala mencari posisi yang
strategis dalam perang Badar, sebelum perang Uhud untuk menentukan apakah akan
bertahan di dalam kota atau di luar kota, tatkala Nabi berencana untuk berdamai dengan
panglima prang Ghathafan dalam perang Khandaqk, dan kesempatan lainnya.
Memang, musyawarah yang sangat diperlukan untuk dapat mengambil keputusan
yang paling baik di samping untuk memperkokoh persatuan dan rasa tanggung jawab
bersama. ali ibn Abi Tholib menyebutkan bahwa dalam musyawarah terdapat tujuh hal
penting yaitu mengambil kesimpulan yang benar, mencari pendapat, menjaga kekeliruan,
menghindari celaan, menciptakan stabilitas emosi, keterpaduan hati, mengikuti atsar.

Lapangan Musyawarah
Berbeda dengan teori demokrasi pada umumnya, dimana segala sesuatu bias dan
harus dimusyawarahkan supaya terwujud kehendak mayoritas dalam trangka menegakkan
kedaulatan rakyat, maka Islam memberikan batasan hal-hal apa saja yang boleh
dimusyawarahkan.
Karena musyawarah adalah pendapat orang, maka apa-apa yang sudah ditetapkan oleh
nash (Al-Quran dan As-Sunnah)) tidak boleh dimusyawarahkan, sebab pendapat orang
tidak boleh mengungguli wahyu (Al-Quran dan Sunnah). Jadi musyawarah hanyalah
terbatas pada hal-hal yang bersifat ijtihadiyah. Para sahabat pun kalau dimintai pendapat
tentang suatu hal, terlebih dahulu mereka bertanya kepada Rasulullah saw., apakah
masalah yang dibicarakan telah di-wahyukan oleh Allah atau merupakan ijtihad Nabi.
Jika pada ke-nyataannya adalah ijtihad Nabi, maka mereka mengemukakan pendapat.
Masalah-masalah ijtihadiayn itu diungkap oleh Al-Quran dengan kata al-amr (wa
syawirhum fi al-amr, wa amruhum syura bainahum). Istilah amruhum dalam ayat tersebut
mengandung arti masalah bersama (common problems), yaitu masalah-masalah yang
menyangkut kepentingan atau nasib anggota masyarakat yang bersangkutan, mulai dari
urusan keluarga, organisasi, kenegaraan sampai urusan antarbangsa. Tentu saja yang
bermusyawarah memutuskan maslah bersama tersebut adalah pihak yang terlibat dan
berkepentingan dengan urusan tersebut. Dalam level keluarga misalnya, tentu yang akan
bermusyawarah adalah suami isteri dan anggota keluarga yang lain. Dalam hal ini Allah
memberikan contoh-contoh tentang musyawarah suami isteri untuk memutuskan
penyapihan bayi sebelum umur 2 tahun. Allah berfirman:



apabilakeduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya
dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya(QS. Al-Baqarah
2:223)
Tatacara Musyawarah
Tentang tatacara musyawarah serta keharusan mengikuti tatacara itu, tidak ada nash
Al-Quran dan Sunnah yang menerangkanny. Juga tidak ada nash yang mengharuskan
ditetapkannya jumlah anggota majelis permusyawaratan dan cara menghadirkan para
anggotanya.
Tatacara musyawarah yang dilalkukan oleh Rasulullah ternyata sangat bervariasi: (1)
Kadang kala seorang memberikan pertimbangan kepada beliau, lalu beliau melihat
pendapat itu benar, maka beliau mengamalkannya. Seperti pendapat Al-Hubab ibn al-
Mundzir tentang pemilihan tempat yang strategis dalam perang Badar dan pendapat
Salman al-Farisi tentang penggalian parit pertahanan dalam perang Khandaq; (2) Kadang-
kadang beliau bermusyawarah dengan dua atau tiga orang saja. Kebanyakan dengan Abu
Bakar dan Umar; (3) Kadang kala beliau juga bermusyawarah dengan seluruh massa
melalui cara perwakilan, seperti yang terjadi sesudah perang Hunain teentang rampasan
perang dan permohonan bantuan melalui utusan Hawazin.
Dari beberapa peristiwa yang bervariasi di atas kita dapat menyimpulkan bahwa
tatacara musyawarah, anggota musyawarah, bias selalu berkembang sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan zaman, tetapi hakekat musyawarah harus selalu tegak di
tengan masyarakat dan negara.
Ada hal-hal yang harus dimusyawarahkan dengan seluruh umat, baik langsung
maupun lewat perwakilan, dan ada hal-hal yang cukup dimusyawarahkan dengan
pemimpin (ulil azmi), ulama, cendekiawan, dan pihak-pihak yang berkompeten lainnya,
tetapi tetap dan tidak boleh tidak harus dengan semangat kebenaran dan kejujuran, bukan
dengan semangat kepentingan dan ketidakjujuran. Yang dicati dalam musyawarah adalah
kebenaran, bukan kemenangan.

Beberapa Sikap Bermusyawarah


Supaya musyawarah dapat berjalan dengan lancer dan penuh persahabatan, dalam
Surat Ali Imran ayat 159sebagaimana sudah dikutip di atas-Allah SWT mengisyaratkan
ada beberapa sikap yang harus dilakukan dalam bermusyawarah, yaitu sikap lemah
lembut, pemaaf dan memohon ampunan kepada Allah SWT.
1. Lemah Lembut
Seorang yang melakukan musyawarah, apalagi sebagai pimpinan, harus
menghindari tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, mitra
musywawrah akan bertebaran pergi.
2. Pemaaf
Setiap orang yang bermusyawarah harus dapat menyiapkan men-tal untuk selalu
bersedia memberikan maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi
perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung pihak lain. Dan
apabila hal itu masuk ke dalam hati, akan mengeruhkan pikiran, bahkan boleh jadi
akan mengubah musyawarah menjadi pertengkaran.
3. Mohon Ampunan Allah SWT
Untuk mencapai hasil yang terbaik ketika bermusyawarah, hubungan dengan
Tuhan pun harus bias harmonis. Oleh sebab itu, semua anggota musyawarah harus
berusaha salalu member-sihkan diri dengan cara memohon ampun kepada Allah SWT
baik untuk diri sendiri maupun untuk anggota musyawarah yang lainnya.9

B. MENEGAKKAN KEADILAN
Istilah keadilan berasal dari kata adl (Bahasa Arab), yang mempunyai arti antara lain
sama dan seimbang. Dalam pengertian pertama, keadilan dapat diartikan sebagai
membagi sama banyak, atau memberikan hak yang sama kepada orang-orang atau
kelompok dengan status yang sama. Misalnya semua pegawai dengan kompetensi
akademis dan pengalaman kerja yang sama berhak mendapatkan gaji dan tunjangan yang
sama. Semua warga Negara sekalipun dengan status social-ekonomi-politik yang
berbeda-beda mendapatkan perlakuan yang sama di mata hokum.
Dalam pengertia kedua, keadilan dapat diartkan dengan memberikan hak yang
seimbang dengan kewajiban, atau member seseorang sesuai dengan kebutuhannha.
Misalnya orang tua yang adil akan membiayai pendidikan anak-anaknya sesuai dengan
tingkat kebutuhan masing-masing sekalipun secara nominal masing-masing akan tidak
mendapatkan jumlah yang sama. Dalam hokum waris misalnya, anak laki-laki ditetapkan
oleh Al-Quran QS. An-Nisa 4:11) mendapatkan warisan dua kali bagian anak
perempuan. Hal itu karena anak laki-laki setelah berkeluarga menanggung kewajiban
membiayayi hidup isteri dan anak-anaknya, sementara anak perempuan setelah
berkeluarfa dibiayai oleh suaminya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil diartikan (1) tidak berat sebelah; tidak
memihak; (2) berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran; dan (3)
sepatutnya; tidak sewenang-wenang.10 Beberapa pengertian ini tetap berangkat dari dua
makna kata adil di atas . Dengan prinsip persamaan seorang yang adil tidak akan
memihak kecuali kepada yang benar. Dan dengan azas keseimbangan seorang yang adil
berbuat atau memutuskan sesuatu dengan sepatutnya dan tidak bertindak sewenang-
wenang.
Di samping menggunakan kata adl Al-Quran juga menggunakan kata qishth dan
mizan untuk pengertia yang sama, Misalnya dalam dua ayat berikut ini:

Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan." (QS. Al-Araf 7: 29)






Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti
yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Al-Hadid 57: 25)

Perintah Berlaku Adil


Di dalam Al-quran terdapat beberapa ayat yang memerintahkan supaya manusia
berlaku adil dan menegakkan keadilan. Perintah itu ada yang bersifat umum dan ada yang
khusus dalam bidang-bidang tertentu. Yang bersifat umum misalnya:






Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran. (QS. An-Nahl 16: 90)

Sedangkan yang bersifat kjhusus misalnya bersikap adil dalam menegakkan hokum
(QS. An-Nisa 4:58); adil dalam mendamaikan konflik (QS. Al-Hujurat 49:9); adil
terhadap musuh (QS. Al-Maidah 5:8); adil dalam rumah tangga (QS. An-Nisa 4:3 dan
129); dan adil dalam berkata (QS. An-Naam 6:152).

Keadilan Hukum
Islam mengajarkan bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama dan sederajat
dalam hokum, tiada ada diskriminasi hokum karena perbedaan kulit, status social,
ekonomi, politik dan lain sebagainya. Allah menegaskan:







Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha Melihat. (QS. An-Nisa 4: 58)

Keadilan hukum harus ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri, atau keluarga dan
orang-orang yang dicintai. Tatkala seorang sahabat dekat dengan rasulullah aw meminta
keistimewaan hukum untuk seorang wanita bangsawan yang mencuri, Rasulullah
menolaknya dengan tegas:


































Apakah anda berhak meminta keistimewaan dalam pelaksanaan hukum Allah?
Sesungguhnya kehancuran ummat yang terdahulu karena mereka menghukum pencuri
yang lemah, dan membiarkan pencuri yang elit. Demi Allah yang memelihara jiwa
saya, kalaulah Fatimah binti Muhammad mencuri, pastilah Muhammad akan
memotong tangan puterinya itu.
Mengingat peringatannya menegakkan keadilan itu menurut ajaran Islam, maka orang
yang diangkat menjadi hakim haruslah yang betul-betul memenuhi syarat keahlian dan
kepribadian. Kecuali mempunyai ilmu yang luas, dia juga harislah seorang yang taat
kepada Allah, mempunyai akhalak yang mulia, terutama kejujuran atau amanah. Apabila
hakim itu seorang yang lemah, maka dia mudah dipengaruhi, ditekan dan disuap.
Akibatnya orang-orang yang bersalah dibebaskan dair hukuman, sekalipun kesalahan atau
kejahatnnya sangat merugikan masyarakat dan negara.
Rasulullah saw bersabda dari tiga orang hakim dua akan masuk neraka dan hanya satu
yang masuk sorga. Hakim yang masuk ke neraka adalah: 1). Hakim yang menjatuhkan
hukuman dengan cara yang tidak adil, bertentangan dengan hatinuraninya, bertentangan
dengan Al-Quran dan Sunnah, sedang dia sendiri mengetahui dan menyadari
perbuatannya itu; 2). Hakim yang menjatuhkan hukuman yang tidak adil karena
kebodohannya. Hakim yang masuk sorga adlah hakim yang menjatuhkan hukuman
berdasarkan keadilan dan kebenaran.11

Keadilan dalam Segala Hal


Di samping keadilan hukum, Islam memerintahkan kepad umat manusia, terutama
orang-orang yang beriman untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik
terhadap diri dan keluarga sendiri, apalagi kepada orang lain. Bahkan kepada musul
sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Mari kita perhatikan beberapa nash
berikut ini:
1. Adil terhadap diri sendiri









Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa
dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu
kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran... (QS. An-Nisa 4: 135)

2. Adil terhadp istri dan anak-anak






Kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang
saja (QS. An-Nisa 4: 3)









Bertaqwalah kepada Allah dan berlaku adillah di antara anak-anakmu. (HR.
Muslim)
3. Adil dalam mendamaikan perselisihan










Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah
kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian
terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai
surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara
keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang Berlaku adil. (QS. Al-Hujurat 49: 9)

4. Adil dalam berkata







...Dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia
adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan
Allah kepadamu agar kamu ingat. (QS. Al-anam 6: 152)

5. Adil terhadap musuh sekalipun










Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.
Al-Maidah 5: 8)

Tentu masih banyak nash Al-Quran dan sunnah tentang keadilan dalam seluruh aspek
kehidupan yang belum penulis sebutkan dalam pasal ini karena terbatasnya ruangan, tapi
cukuplah kita menyimpulkan bahwa Islam menginginkan keadilan yang komprehensif,
yang mencakup keadilan politik, ekonomi, sosial dan lain-lainnya.

C. AMAR MARUF NAHI MUNKAR

Secara harfiah amar maruf nahi munkar (al-Amru bi l-maruf wa n-nahyu an l-


munkar) berarti menyuruh kepada yang maruf dan mencegah dari yang munkar.
Maruf secara etimologis berarti yang dikenal, sebaliknya munkar adalah sesuatu yang
tidak dikenal. Menurut Muhammad Abduh, maruf adalah apa yang dikenal (baik) oleh
akal sehat dan hati nurani (ma arafathu al-uqul wa ath-thoba as-salimah), sedangkan
munkar adalah apa yang ditolak oleh akal sehat dan hati nurani (ma ankarathu al-uqul
wa ath-thoba as-salimah).12

Berbeda dengan Abduh, Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan maruf dengan


apa yang diperintahkan syara (agama) dan dinilai baik oleh akal sehat (ma amara bihi
asy-syara wastahsanahu al-aqlu as-salim), sedangkan munkar apa yang dilarang
syara dan dinilai buruk oleh akal sehat (ma naha anhu asy-syara wastaqbahahu al-
aqlu as-salim).13

Terlihat dari dua definisi di atas, bahwa yang menjadi ukuran maruf atau munkarnya
sesuatu ada dua, yaitu agama dan akal sehat atau hati nurani. Bisa kedua-duanya sekaligus
atau salah satunya.Semua yang diperintahkan oleh agama adalah maruf, begitu juga
sebaliknya, semua yang dilarang agama adalah munkar. Hal-hal yang tidak ditentukan
oleh agama maruf dan munkarnya ditentukan oleh akal sehat atau hati nurani. Jadi waw
dalam definisi Shabuni di atas berarti aw sebagaimana yang didefinisikan oleh al-
Ishfahani: Maruf adalah sebuah nama untuk semua perbuatan yang dikenal baiknya
melalui akal atau syara. Dan munkar adalah apa yang ditolak oleh keduanya (Wa al-
maruf ismun likulli filin yurafu bi al-aqli aw as-syari husnuhu, wa al-munkar ma
yunkaru bihima).14

Dengan pengertian di atas tentu ruang lingkup yang maruf dan munkar sangat luas
sekali, baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq maupun muamalat (sosial, politik,
ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya, dlsb). Tauhidulllah, mendirikan
shalat, membayar zakat, amanah, toleransi beragama, membantu kaum dhuafa dan
mustadhafin, disiplin, transparan dan lain sebagainya adalah beberapa contoh sikap dan
perbuatan yang maruf. Sebaliknya syirik, meninggalkan shalat, tidak membayar zakat,
penipuan, tidak toleran beragama, mengabaikan kaum dhuafa dan mustadgafin, tidak
disiplin, tidak transparan dan lain sebagainya adlah beberapa contoh sikap dan perbuatan
yang munkar.

Perintah dan Kedudukan Amar Maruf Nahi Munkar

Amar maruf nahi munkar adalah kewajiban orang-orang yang beriman, baik secara
individual maupun kolektif. Allah SWT berfirman:






Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar.
Merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran 3:104)

Apabila kata min (minkum) dalam ayat di atas difahami sebagai min tabidhiyah
(menyatakan sebagian) sebagaimana dalam terjemahan di atas, maka amar maruf nahi
munkar adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Tapi apabila min tersebut adalah min
bayaniyah maka amar maruf nahi munkar menjadi kewajiban individual (fardhu ain),
dalam pengertian semua anggota umat Islam punya kewajiban melakukannya sesuai
dengan kemampuan masing-maisng. Dalam hal ini kedua penafsirann di atas dapat
dipakai. Untuk hal-hal yang dapat dilakukan secara individual, amar maruf nahi munkar
adalah fardhu ain, tapi untuk hal-hal yang hanya daat dikerjakan bersama-sama amar
maruf nahi munkar menjadi fardhu kifayah.

Di samping kewajiban, amar maruf nahi munkar adalah tugas yang menentukan
eksistensi dan kualitas umat Islam. Dalam hal ini Allah menegaskan:






Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS. Ali
Imran 3:110)

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa keberadaan umat Islam sebagai umat terbaik
ditentukan oleh perannya dalam mengemban tugas amar maruf nahi munkar ini. Bila
tugas tersebut diabaikan atau tidak dilaksanakan, dengan sendirinya umat Islam tidak lagi
menjadi umat yang terbaik, bahkan bisa terpuruk menjadi umat buruk kalau tidak yang
terburuk sebagai lawan yang terbaik. Bila demikian keadaannya keberadaan umat Islam
sama sekali tidak akan diperhitungkan oleh umat-umat yang lain.

Melakukan amar maruf nahi munkar bukanlah tugas yang ringan, tapi termasuk tugas
yang berat dan besar yang memerlukan kekuatan dan stamina spiritual yang prima untuk
mengembannya. Allah SWT berfirman:







Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan
cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan
(oleh Allah). (QS. Luqman 31: 17)

Dalam ayat di atas kita baca, bersama dengan mendirikan shalat dan bersikap tabah
dalam menghadapi cobaan, melakukan amar maruf nahi munkar termasuk min azmi al-
umur, artinya perkara yang benar-benar memerlukan tekad, ketegaran, dan ketetapan hati
untuk melakukannya. Oleh sebab itu umat Islam harus bersatu dan bahu-membahu dalam
menjalankannya. Dalam hal ini Allah menjelaskan::











Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah 9: 71)

Dalam ayat di atas juga dapat kita lihat bahwa kewajiban amar maruf nahi munkar
tidak hanya dipikulkan kepada kaum laki-laki tapi juga kepada kaum perempuan,
walaupun dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kodrat dan fungsi masing-masing.

Jika umat Islam ingin mendapatkan kedudukan yang kokoh di atas permukaan bumi,
di samping mendirikan shalat dan membayar zakat mereka harus melakukan amar maruf
nahi munkar. Allah SWT berfirman:







(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi
niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat
ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali
segala urusan. (QS. Al-Hajj 22: 41)

Muhammad Asad, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Syafii Maarif, mengartikan


ungkapan in makkannahum fi l ardhi dengan if We firmly establish the on earth
(manakala Kami kokohnya posisi mereka di muka bumi).15 Kedudukan yang kokoh
artinya punya kekuasaan politik maupun ekonomi.

Jika umat Islam mengabaikan amar maruf nahi munkar, maka hal itu tidak hanya
akan membuat mereka kehilangan posisi yang kokoh di atas permukaan bumi, tapi juga
akan mendapat kutukan dari Allah SWT sebagaimana Allah dulu mengutuk Bani Israil.
Allah berfirman:








Telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera
Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui
batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka
perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. (QS. Al-
Maidah 5: 78-79)

Mereka dikutuk terutama karena mereka satu sama lain tidak melarang tindakan
munkar yang mereka lakukan, bukan karena mereka Bani Israil. Sebab Bani Israil (Ahlul
Kitab) yang masuk Islam dan setelah itu melakukan amar maruf nahi munkar dipuji oleh
Allah sebagai orang-orang yang saleh. Allah berfirman:











Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus,
mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang
mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari
penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
Munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ali Imran 3: 113-114)

Nahi Munkar

Dibandingkan dengan amar maruf, nahi munkar lebih berat karena beresiko tinggi,
apalagi bila dilakukan terhadap penguasa yang zalim. Oleh karena itu, Rasulullah saw
sangat memuliakan orang-orang yang memiliki keberanian menyatakan kebenaran di
hadapan penguasa yang zalim. Beliau bersabda:











Jihad yang paling utama ialah menyampaikan al-haq terhadap penguasa yang
zalim. (HR. Abu Daud, Tirmizi dan Ibd Majah)

Nahi munkar dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bagi yang mampu
melakukannya dengan tangan (kekuasaannya) dia harus menggunakan kekuasaannya itu,
apabila tidak bisa dengan kata-kata, dan apabila dengan kata-kata juga tidak mampu
paling kurang menolak dengan hatinya. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:






















Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya
dengan tangannya. Kalau tidak sangup (dengan tangan, maka rubahlah) dengan
lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka rubahlah dengan hatinya.
Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman. (HR. Muslim)

C. HUBUNGAN PEMIMPIN DAN YANG DIPIMPIN

Al-Quran menjelaskan bahwa Allah SWT adalah pemimpin orang-orang yang


beriman:







Allah pemimpin orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari


kegelapan kepada cahaya.Dan orang-orang yang kafir, pemimpin-pemimpin mereka
adalah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan.Mereka
itu adalah penghuni neraka.Mereka kekal didalamnya.(QS. Al-Baqarah 2: 257)

Azh-zhulumat (kegelapan) dalam ayat di atas adalah simbol dari segala bentuk
kekufuran, kemusyrikan, kefasikan dan kemaksiatan. Atau dalam bahasa sekarang Azh-
zhulumat adalah bermacam-macam ideology dan isme-isme yang bertentangan dengan
ajaran islam, seperti komunisme, sosialisme, kapitalisme, liberalism, materialism,
hedonism dan lain sebagainya. Sedangkan An-Nur adalah simbol dari ketauhidan,
keimanan, ketaatan dan segala kebaikan lainnya.

At-thaghubadalah segala sesuatu yang disembah (dipertuhan) selain dari Allah SWT
dan dia suka diperlakukan sebagai tuhan tersebut.Menurut sayyid Qutub, Thaghut adalah
segala sesuatu yang menentang kebenaran dan melanggar batas yang telah digariskan oleh
Allah SWT untuk hamba-Nya.Dia bisa berbentuk pandangan hidup, peradaban dan lain-
lain yang tidak berlandaskan ajaran Allah SWT.

Secara operasional kepemimpinan Allah itu dilaksanakan oleh Rasulullah saw, dan
sepeninggal beliau kepemimpinan itu dilaksanakan oleh orang-orang beriman. Hal itu
dinyatakan di dalam Al-Quran:

Sesungguhnya pemimpin kamu hanya Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang


beriman, yaitu yang mendirikan sholat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk
(Kepada Allah).(QS. Al-Maidah 5: 55)
Kreteria Pemimpin

Pemimpin umat atau dalam ayat di atas di istilahkan dengan waliy dan dalam ayat lain
(QS. An-Nisa 4: 59) disebut dengan ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah
saw setelah beliau meninggal dunia. Sebagai Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW
tidak dapat digantikan, tapi sebagai kepala Negara, pemimpin, ulil amri tugas beliau dapat
digantikan.

Orang-orang yang dapat dipilih menggantikan beliau minimal harus memenuhi empat
kriteria sebagaimana yang dijelaskan dalam surat Al-Maida ayat 55 di atas.

1. Beriman kepada Allah SWT


Karena ulil amri adalah penerus kepemimpinan Rasulullah saw, sedangkan Rasulullah
sendiri adalah pelaksana kepemimpinan Allah SWT, maka tentu saja yang pertama sekali
harus dimiliki oleh penerus kepemimpinan beliau adalah keimanan(kepada Allah, Rasul
dan rukun iman yang lainnya). Tanpa keimanan kepada Allah dan Rasu-Nya bagaimana
mungkin dia dapat diharapkan memimpin umat penempuh jalan Allah di atas permukaan
bumi ini.

2. Mendirikan Sholat
Sholat adalah ibadah vertical langsung kepada Allah SWT.seorang pemimpin yang
mendirikan sholat diharapkan memiliki fubungan vertical yang baik dengan Allah SWT.
diharapkan nilai-nilai kemuliaan dan kebaikan yang terdapat di dalam sholat dapat
tercermin dalam kepemimpinannya. Misalnya nilai kejujuran.Apa bila wudhu seorang
imam yang sedang memimpin sholat batal, sekalipun tidak diketahui orang lain dia akan
memundurkan diri dan siap digantikan orang lain, karena dia sadar bahwa dia tidak
berhak lagi menjadi imam.

3. Membayarkan Zakat
Zakat adalah ibadah mahdhah yang merupakan simbol kesucian dan kepedulian
social.Seorang pemimpin yang berzakat diharapkan selalu berusaha mensucikan hati dan
hartanya. Dia tidak akan mencari dan menikmati harta dengan cara yang tidak halal
(misalnya dengan korupsi, kolusi dan nepotisme). Dan lebih dari pada itu dia memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap kaum dhuafa dan mustadhafin. Dia akan menjadi
pembela orang-orang yang lemah.

4. Selalu Tunduk, Patuh kepada Allah SWT


Dalam ayat diatas disebutkan pemimpin itu haruslah orang-orang yang selalu
ruku(wa hum rakiun). Ruku adalah simbol kepatuhan secara mutlak kepada Allah dan
Rasul-Nya yang secara konkret dimanifestasikan dengan menjadi seorang muslim yang
kafah (total), baik dalam aspek aqidah, ibadah, akhlak maupun muamalat. Aqidahnya
benar (bertauhit secara murni dengan segala konsekuensinya, bebas dari segala bentuk
kemusrikkan), ibadahnya tertib dan sesuai tuntutan Nabi, akhlaknya terpuji (shidiq,
amanah, adil, istiqomah, dan sifat-sifat mulia lainnya) dan muamalatnya (dalam seluruh
aspek kehidupan) tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Kepatuhan kepada Pemimpin

Kepemimpinan Allah SWT dan Rasul-Nya adalah kepemimpinan yang mutlak diikuti
dan dipatuhi. Sedangkan kepemimpinan orang-orang yang beriman adalah kepentingan
yang nisbi (relatif), kepatuhan kepadanya paling kurang dua factor: (1) Faktor kualitas
dan integritas pemimpin itu sendiri; dan (2) Faktor arah dan corak kepemimpinannya.
Kemana umat yang dipimpinnya mau dibawa, apakah untuk menegakkan dinullah atau
tidak.

Perbedaan kepatuhan itu telah diisyaratkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya:




. . .
Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, dan taatlah kepada Rasul
(Nya) dan ulil amri diantara kamu (QS. An-Nisa 4:59)

Perintah taat kepada Rasul disebutkan secara eksplisit seperti perintah taat kepada
Allah, sedangkan perintah taat kepada ulil amri hanya diatafkan (diikutkan) kepada
perintah sebelumnya. Artinya kepatuhan terhadap ulul amri terkait kepatuhan ulul amri itu
sendiri kepada Allah dan Rasul-Nya. Ulil amri yang disebutkan dalam ayat ini ditafsirkan
dalam surat Al-Maidah 55 di atas, yaitu orang beriman yang mendirikan sholat,
membayar zakat dan selalu tunduk kepada Allah SWT.

Isyarat bahasa ini dipertegas oleh sabda Rasulullah saw:









Tidak ada kepatuhan kepada makhluk untuk mendurhakai Allah.(HR. Ahmad)

Untuk hal-hal yang sudah diatur dan ditetapkan oleh Al-Quran dan Hadis, sikap
pemimpin dan yang dipimpin sudah jelas, harus sama-sama tunduk pada hukum
Allah.Tetapi dalam hal-hal yang bersifat ijtihadi, ditetapkan secara musyawarah dengan
mekanisme yang disepakati bersama.Akan tetapi, apabila terjadi perbedaan pendapat yang
tidak dapat disepakati antara pemimpin dan yang dipimpin, maka yang diikuti adalah
pendapat pemimpin. Yang dipimpin kemudian tidak boleh menolaknya dengan alas an
pendapatnya tidak dapat diterima.

Persaudaraan antara Pemimpin dan yang Dipimpin


Sekalipun dalam struktur bernegara (dan juga pada level dibawahnya) ada hirarki
kepemimpinan yang mengharuskan umat atau rakyat patuh terhadap pemimpinnya, tetapi
dalam pergaulan sehari-hari hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tetaplah
dilandaskan kepada prinsip-prinsip ukhuwah islamiyah, bukan prinsip atasan dengan
bawahan, atau majikan dengan buruh, tetapi prinsip sahabat dengan sahabat. Demikianlah
yang dilakukan Rasulullah saw.

Kaum muslimin yang berada di sekitar beliau waktu itu dipanggil dengan sebutan
sahabat-sahabat, suatu panggilan yang menunjukkan hubungan yang horizontal, sekalipun
ada kewajiban untuk patuh secara mutlak kepada beliau sebagai seorang Nabi dan Rasul.
Hubungan persaudaraan seperti itu dalam peraktiknya tidaklah melemahkan
kepemimpinan Rasulullah saw, tapi malah semakin kokoh karena tidak hanya disadari
hubungan formal, tapi juga disadari hubungan hati yang penuh kasih sayang.

Cacatan Kaki:
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhudi atas berbagai persoalan umat (Bandung:
Mizan, 1996), hlm, 469.
2
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, hakekat system Politik Islam (Yogyakarta: PLP2M, 1987),
hlm.98-99.
3
Taufiq asy- syawi, Syura Bukan Demokrasi, terjemahan Dajmaludin Z.S. (Jakarta: Gema Insani Press,
1997), hlm. 68.
4
Abdul Karim Zaidan, Ushul ad-Dawah (Baghdad: Jamiyyah al-Amani, 1976), hlm. 207.
5
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris,Hakekat, hlm. 110.
6
Ibid., hlm. 167.
7
M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedia Al-Quran, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(Jakarta: Paradina, 1996), hlm. 459.
8
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Hakekat, hlm. 132-134.
9
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, hlm.473-475.
10
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,
1990), hlm. 6.
11
M. yunan Nasution, Pegangan Hidup (Solo: Ramadhani, 1984), jilid 2, hlm.134-135.
12
M. Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), Jilid IV, hlm. 27.
13
M. Ali ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir (Beirut: Dar Al-Quran al-Karim, 1980), Jilid I, hlm. 221.
14
Ar-Raghib al-Ashfani, Mufradat Alfazh Al-Quran (Damaskus Dar al-Qalam, 1997), hlm. 56.
15
Ahmad Syafii Maarif,Reinterpretasi dan Sosialisasi Amar Maruf Nahi Munkar dalam konteks
Keagamaan, dalam takdir Ali Mukti dkk (ed), Membangun Moralitas Bangsa (Yogyakarta: LPPI UMY,
1998), hlm. 10.

~~
PENUTUP

Pada bab-bab yang lalu pembaca telah mendapatkan uraian ringkas dan sederhana
tentang nilai-nilai baik dan terpuji (yg seharusnya diikuti) dan nilai-nilai buruk dan tercela
(yang semestinya dijauhi) dalam berbagai ruang ringkup kehidupan.Nilai-nilai yang
dikemukakan bersumber dari Al-Quran dan Sunnah.

Nilai-nilai tersebut akan terasa lebih hidup lagi apabila kita dapat menyaksikannya
dalam kehidupan pribada, berkeluarga, masyarakat dan bernegara. Oleh sebab itu penulis
menyarankan kepada pembaca untuk dapat membaca buku-buku tentang perjalanan hidup
(sirah) Rasulullah saw. Kehidupan Rasulullah saw adalah contoh teladan pelaksanaan
semua nilai-nilai mulia tersebut. Akhlak Rasululah saw diakui oleh Allah SWT sendiri
sebagai akhlak yang agung.


Dan sesungguhnyya engkau benar-benar mempunyai akhlak yang agung. (QS. Al-
Qalam 68:4)

Akhlak yang agung itulah yang akan menjadi teladan yang baik bagi kita. Dalam hal
ini Allah berfirman:

Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada teladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari akhir dan dia banyak
menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab 33: 21)

Disamping itu, kisah-kisah keteladanan juga dapat kita temukan dalam riwayat hidup
para sahabat, tabiin, ulama dan orang-orang ssaleh pada masa yang lalu. Semoga kisah-
kisah tersebut dapat memberikan dorongan bagi kita semua untuk memiliki akhlak yang
mulia.

Mudah-mudahan apa yang telah penulis sajikan dalam buku yang sederhana ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Selanjutnya penulis mengharapkan dan berterima kasih
sekali jika para pembaca berkenan memberikan saran, kritik, dan masukan untuk
perbaikan dan penyempurnaan buku ini pada masa yang akan datang.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih setulusnya kepada para ulama, pakar dan
siapa saja yang bukbu-bukunya penulis jadikan rujukan, perbandingan dan bahan bacaan
dalam penyusunan buku ini.Semoga Allah SSWT memberiksn balasan pahala yang
berlipat ganda.Amiin.

Anda mungkin juga menyukai