Tilawah Yaumiyah
Tilawah Yaumiyah
Saudaraku, sadarkah kita bahwa al-Qur'an diturunkan oleh Allah kepada manusia agar menjadi
sumber tazwid (pembekalan) bagi peningkatan ruhiy (spiritualitas), fikri (pemikiran) serta
minhaji (metodologi da'wah) ? Sehingga jika sehari saja kita jauh dari al-Qur'an, berarti
terputuslah dalam diri kita proses tazwid tersebut? Sadarkah kita bahwa yang akan terjadi
adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah; baik itu dari televisi koran, majalah, maupun yang
lainnya yang sesungguhnya akan menyebabkan ruh yang ringkih dan keyakinan yang melemah
terhadap fikroh dan minhaj ? Padahal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energi untuk
berdakwah dan berharokah. Sehingga melemahlah semangat beramal saleh dan hadir dalam
halaqoh, padahal halaqoh merupakan pertemuan untuk komitmen beramal saleh.
Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses tazwid itu telah terputus sepekan, dua
pekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari sikap menjadikan al-Qur'an
sebagai sesuatu yang mahjuran (ditinggalkan).
Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang
ditinggalkan ". (Q.S. Al-Furqan ayat 30)
Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia sejak dia menjadi
seorang muslim. Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang yang tanpa tarbiyah atau halaqoh,
namun memiliki komitmen tilawah satu juz setiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali
(bahkan lebih, karena saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih dari sekali).
Lalu, bagaimana dengan kita, ashhabul (aktifis) harokah wad da'wah ? Sudahkah keislaman kita
membentuk kesadaran iltizam (komitmen) dengan ibadah ini ? Ketika kita melalaikannya, dapat
diyakini bahwa kendalanya adalah dha'ful himmah (lemah dan kurangnya kemauan), bukan
karena tidak mampu melafalkan ayat-ayat al-Qur'an seperti anggapan kita selama ini. Yang
harus dibentuk dalam hal ini bukanlah hanya sebatas mampu membaca, namun lebih dari itu,
bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi sebuah moralitas ta'abbud (penghambaan)
kepada Allah, sehingga hal ini menjadi sebuah proses tazwid yang berkesinambungan sesuai
dengan jauhnya perjalanan da'wah ini !
Dari sini kita menjadi faham, bahwa ternyata tarbiyah adalah sebuah proses perjalanan yang
beribu-ribu mil jauhnya. Entah berapa langkah yang sudah kita lakukan. Semoga belum
mampunya kita dalam beriltizam dengan ibadah ini adalah karena masih sedikitnya jarak yang
kita tempuh. Jadi yakinlah, selama kita komitmen dengan proses tarbiyah, dengan seizin Allah
kita akan sampai kepada kemampuan ibadah ini. Dan sekali-kali janganlah kita menutupi
ketidak mampuan kita terhadap ibadah ini dengan berlindung di bawah waswas syaithan
dengan bahasa sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya.
Sadarilah bahwa kesibukan kita pasti akan berlangsung sepanjang hidup kita. Apakah berarti
sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya karena kesibukan yang tak pernah
berakhir ?
Kita harus berfikir serius terhadap tilawah satu juz ini, karena ia merupakan mentalitas
'ubudiyah (penghambaan), disiplin dan menambah tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki
kesadaran untuk membangun Islam di muka bumi ini, maka kita harus menjadi batu bata yang
kuat dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al-Banna Rahimahullah begitu yakinnya
dengan sisi ini, sehingga beliau menjadikan kemampuan membaca al-Qur'an satu juz ini sebagai
syarat pertama bagi seseorang yang berkeinginan membangun masyarakat Islam.
Dalam nasihatnya beliau mengatakan, "Wahai saudaraku yang jujur dengan janjinya,
sesungguhnya imanmu dengan bai'at (perjanjian) ini mengharuskanmu melaksanakan
kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi batu bata yang kuat, (untuk itu) : "Hendaklah Anda
memiliki wirid harian membaca al-Qur'an minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah
sungguh-sungguh agar jangan sampai mengkhatamkan al-Qur'an melewati satu bulan."
Sebagaimana kita saat melakukan hijrah dari kehidupan Jahiliyyah kepada kehidupan Islamiyah
harus banyak menelan pil pahit selama proses tarbiyah, maka jika kita sudah ber'azam
(bertekad) untuk meningkat kepada kehidupan yang ta'abbudi (penuh nilai ibadah), maka kita
harus kembali menelan banyak pil pahit tersebut. Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang
semakin dewasa, penyebarannya yang semakin meluas dan tantangannya yang semakin variatif
sangat membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan (laksana batu bata yang
kuat). Dan hal tersebut kuncinya terdapat di dalam interaksi dengan al-Qur'an !
Sebuah proses tarbiyah yang semakin matang, dengan indikasi hati dan jiwa yang semakin
bersih, secara otomatis akan menjadikan kebutuhan terhadap al-Qur'an mengalami proses
peningkatan. Sejarah mencatat bahwa para sahabat dan salafusshalih ketika mendengar
Rasulullah SAW bersabda, "bacalah al-Qur'an dalam satu bulan", maka begitu banyak yang
menyikapinya sebagai sesuatu yang minimal.
Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap tilawah satu juz itu sebagai sesuatu yang
maksimal ! Maka tugas yang sangat minimal inipun sangat sering terkurangi, bahkan tidak
teramalkan dengan baik. Bagaimana mungkin kita dapat mengulang kesuksesan para sahabat
dalam membangun Islam ini, jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan
(walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha di dalam berdakwah)
?
Sebutlah Utsman Ibn Affan, Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi'i
Radiyallahu Anhum. Mereka adalah contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan
al-Qur'annya dalam waktu tiga hari sampai satu pekan. Karena bagi mereka khatam sebulan
terlalu lama untuk bertemu dengan ayat-ayat Allah. Jadi, jika seseorang rutin setiap bulan
khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan ia bertemu dengan surat Maryam, misalnya.
Dapat kita bayangkan seandainya kita berlama-lama dalam mengkhatamkan al-Qur'an. Berarti
kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari al-Qur'an !
Kalau saja tarbiyyah qur'aniyyah kita telah matang, kita akan dapat merasakan bahwa sentuhan
tarbawi (pendidikan) surat al-Baqarah berbeda dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda antara
an-Nisaa, al-Maidah dengan surat yang lainnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca
an-Nisaa, pasti dia akan merindukan al-Maidah. Inilah suasana tarbiyyah yang belum kita miliki
yang harus dengan serius kita bangun dalam diri kita. Kita harus waspada, jangan sampai hidup
ini berakhir dengan kondisi kita melalaikan ibadah tilawah satu juz. Sehingga hidup berakhir
dengan kenangan penyesalan. Padahal sesungguhnya kita mampu kalau saja kita mau
menambah sedikit saja mujahadah (kesungguhan) dalam tarbiyyah ini.