Penerbit :
Pelindung :
M. Fahrurrozi. S. Kep. Ns
Sekretaris Redaksi :
Editor :
Anggota Redaksi :
Tujuan : untuk mengetahui bagaimana pola tata laksana pasien diare cair akut di
Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Wonosobo.
Hasil :Pasien yang dirawat dengan dehidrasi berat hanya 5,2%, tatalaksana diare
terkait upaya rehidrasi oral menggunakan oralit masih sangat rendah (7,3%) dan
92,7% anak diare tidak diberi oalit. Penggunaan rehidrasi intravena pada kasus
diare dijumpai 100% pada semua kasus tanpa memperhatikan derajat dehidrasi.
Penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dijumpai 98,4%. Pemberian zink sebagai
mikronutrien sudah sangat bagik dterapkan yaitu 95,3% anak diare mendapatkan
terapi zink. Penggunaan anti diare dan anti emetik masing-masing sebanyak 2,6%
dan 44%. Sedangkan untuk pemberian ASI maupun susu formula dijumpai bahwa
58% anak diare tidak mendapatkan ASI dan atau susu formula
Kesimpulan : Pola tatalaksana diare cair akut pada anak di RSUD Wonosobo
masih ada yang belum sesuai dengan pedoman tatalaksana diare menurut
Kementrian Kesehatan RI
Rumah Sakit Umum Daerah Wonosobo, merupakan salah satu rumah sakit
yang sering mendapatkan rujukan dari puskesmas di wilayah Wonosobo.
Berdasarkan data di ruang rawat inap RSUD Wonosobo tahun 2013, diketahui
bahwa peringkat pertama dari 10 besar penyakit anak adalah diare. Hal ini dapat
terjadi hampir sepanjang tahun. Jumlah rata-rata pasien diare setiap bulannya di
ruang perawatan khusus anak mencapai 50 – 60 pasien. Jumlah ini merupakan
jumlah yang cukup tinggi.
1. Karakteristik Responden
Jumlah populasi dalam penelitian ini adalah 257 pasien anak dengan
diare cair akut yang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)
Setjonegoro Wonosobo periode bulan Januari sampai Desember 2013.
Adapun sampel yang memenuhi kriteria inklusi berjumlah 193 pasien,
terdiri dari 126 (65,3%) anak laki-laki dan 67 (34,7%) anak perempuan
dengan rentang usia 0 – 24 bulan. Kelompok umur 0 – 6 bulan berjumlah 41
(21,2%) anak, kelompok umur 7 – 11 bulan berjumlah 66 (34,1%) anak
serta 86 (44,6%) anak berusia 12-24 bulan. Berdasarkan derajat dehidrasi,
115 (59,6%) diantaranya tanpa mengalami dehidrasi, sebanyak 68 (35,2%)
dengan dehidrasi ringan-sedang, sedangkan dengan dehidrasi berat terdapat
10 (5,2%) anak.
2. Pola Tatalaksana Diare Cair Akut
5. Pemberian zinc
Ya 184 95,3%
Tidak 9 4,7%
6. Pemberian antidiare
Ya 4 2,6%
Tidak 188 97,4%
7. Pemberian antiemetik
Ya 85 44%
Tidak 108 56%
Pembahasan
1. Jenis Kelamin
Pada penelitian ini didapatkan bahwa anak yang mengalami diare cair
akut yang dirawat di RSUD Setjonegoro sebagian besar adalah laki laki
(65,3%), dengan rentang usia 0 – 24 bulan. Penelitian yang dilakukan
Pramita dkk juga menyebutkan bahwa 55% dari keseluruhan anak yang
dirawat di RS swasta di Jakarta dengan diare adalah laki laki1,3. Hal ini
dimungkinkan karena pada tahap pertumbuhan dan perkembangannya,
tingkat aktifitas pada anak laki laki lebih banyak daripada anak perempuan.
Pada usia tersebut juga anak mulai mengeksplorasi lingkungan.
2. Usia
Berdasarkan data yang diperoleh, insiden tertinggi anak yang
mengalami diare cair akut berada pada usia dibawah 2 tahun. Jumlah
terbanyak didapatkan pada usia lebih dari 6 bulan, kemungkinan terjadi
karena pada anak lebh dari 6 bulan sudah diperkenalkan makanan
pendamping ASI dan makanan tambahan lainnya, sedangkan untuk rentang
usia kurang dari 6 bulan tingkat kejadian diare lebih sedikit karena anak
masih mendapatkan ASI.
3. Tingkat dehidrasi
Berdasarkan hasil yang diperoleh, tingkat dehidrasi pada diare cair
akut yang dirawat di RSUD Wonosobo paling banyak pada kasus tanpa
dehidrasi. Hasil ini tidak sesuai dengan pola tata laksana yang
direkomendasikan oleh WHO, dimana pada kasus diare cair akut, yang
perlu dirawat di Rumah Sakit adalah pada kasus diare cair akut dengan
dehidrasi berat. Faktor ini mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman
dan tingkat pengetahuan orang tua/keluarga tentang tanda dan gejala diare
serta penanganan pertama untuk diare, yaitu untuk diare cair akut tanpa
dehidrasi dapat dengan pemberian CRO/oralit, yang bisa dilakukan di
rumah.
4. Upaya rehidrasi
Hasil penelitian ini, pasien yang mendapatkan CRO hanya 7,3% saja,
sisanya tidak mendapatkan terapi rehidrasi oral. Pemberian CRO belum
dapat dipahami dan dilaksanakan sepenuhnya, padahal terapi rehidrasi oral
merupakan terapi pilihan dan direkomendasikan untuk menggantikan cairan
dan elektrolit yang hilang akibat diare pada anak dengan diare akut
dehidrasi ringan sedang2. Selain itu juga belum tersedianya pojok oralit di
rumah Sakit.
Terapi parenteral didapatkan 100% pada penelitian ini. Dari
keseluruhan pasien yang dirawat dengan diare cair akut tanpa dehidrasi,
dehidrasi sedang mendapatkan terapi parenteral. Akan tetapi, terapi
parenteral pada diare cair akut dengan dehidrasi berat telah dilaksanakan
sesuai dengan rekomendasi WHO, yaitu pemberian pemberian cairan
intravena secara bertahap. Untuk anak umur kurang dari 12 bulan 30
ml/kgBB pada 1 jam dan 70 mm/kgBB dalam 5 jam pada pemberian
berikutnya. Sedangkan untuk anak usia lebih dari 12 bulan diberikan dengan
dosis yang sama pada 30 ml pemberian pertama dan 2,5 jam untuk
pemberian berikutnya (WHO, 2009).
Pemberian ASI pada anak dengan diare cair akut yang ditemukan pada
penelitian ini masih jarang ditemukan, hanya 42% anak dengan diare yang
masih diberikan ASI. Sebagian tidak diberikan ASI, padahal ASI dan
makanan pendamping ASI sebenarnya masih dapat dilanjutkan walaupun
anak mengalami diare, karena ASI/MPASI masih dibutuhkan oleh tubuh
pada anak dengan diare. Pemberian ASI pada anak 0-6 bulan juga sangat
dianjurkan mengingat ASI dapat meningkatkan imunitas anak, sehingga
anak tidak mudah terinfeksi bakteri/virus.
Sebagian besar anak yang dirawat dengan diare cair akut mendapatkan
terapi antibiotik, yaitu pada 98,4% kasus. Penatalaksanaan ini tidak sesuai
dengan rekomendasi WHO. Pemberian antibiotik dilakukan pada diare yang
disebabkan karena virus/bakteri. Namun, pada penelitian ini tidak
ditemukan adanya pemeriksaan penunjang yaitu feces rutin, sehingga
pemberian antibiotik ini dilakukan sebagai upaya pencegahan.
Pemberian zinc pada anak dengan diare cair akut sangat
direkomendasikan oleh WHO, sesuai dengan penelitian ini bahwa 95,3%
anak sudah mendapatkan zinc. Pemberian antidiare hanya diberikan pada
2,6% kasus, sedangkan anti emetik diberikan pada 88% kasus anak dengan
diare cair akut karena mengalami mual dan muntah. Hal ini sebenarnya
tidak direkomendasikan oleh WHO.
Kesimpulan dan Saran
Pola tatalaksana diare cair akut pada anak bawah dua tahun masih ada yang
belum sesuai dengan panduan penetalaksanaan diare menurut Departemmen
Kesehatan RI.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi
rumah sakit khususnya terkait tatalaksana anak diare dan selanjutnya dapat
digunakan untuk menyusun prosedur operasional standar pelayanan. Penelitian ini
masih terbatas pada deskripsi tatalaksana diare sehingga perlu dilakukan
penelitian lanjutan tentang faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksesuaian
tatalaksana diare dengan panduan yang telah ditetapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Sofian Ahmad (2004), Pola Penggunaan Antibiotik pada Diare Anak di RSI
NU Demak, skripsi
WHO – UNICEF (2009), Diarrhoea : Why Children Are Still Dying and What
Can Be done?
Kata Kunci: Pendamping persalinan, Paritas, Pengurangan rasa nyeri kala I fase
aktif pada ibu bersalin normal.
PENDAHULUAN
pendampingan oleh suami atau anggota keluarga yang membuat ibu nyaman dan
tenang di harapkan akan dapat mengurangi nyeri persalinan pada ibu bersalin.
Pendamping persalinan juga mempengaruhi psikologis ibu dimana faktor
psikologis juga termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi lama persalinan.
Pengurangan rasa nyeri pada pasien bisa dibantu oleh anggota keluarga atau
bidan untuk memberikan dukungan secara moril dan memberi sentuhan atau
pemijatan sehingga ibu bisa merasa nyaman dan tenang sehingga nyeri yang
dirasakan oleh pasien dapat berkurang. Akan tetapi kebanyakan para pendamping
persalinan tidak mengetahui apa peran pendamping pada proses persalinan, para
pendamping hanya mengikuti anjuran bidan yang menganjurkan mereka untuk
mendamping ibu yang sedang bersalin, apabila itu ibu bersalin primigravida yang
belum pernah ada pengalaman.
Maka penulis melakukan penelitian tentang “Peran pendamping persalinan
dan Paritas Terhadap Pengurangan Rasa Nyeri Kala I Fase Aktif Pada Ibu
Bersalin Normal Di RB Adina Wonosobo”.
KAJIAN PUSTAKA
1. Persalinan Normal
a. Pengertian persalinan
Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri)
yang telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan
lain, dengan bantuan atau tanpa bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba,
2005). Menurut Winknjosatro (2006), Persalinan adalah proses membuka
dan menipisnya servik dan janin turun ke dalam jalan lahir. Kelahiran
adalah proses dimana janin dan ketuban didorong keluar melalui jalan
lahir. Sedangkan menurut Mansjoer (2005), Persalinan adalah suatu
proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus
melalui vagina ke dunia luar.
b. Etiologi persalinan
Sebab-sebab persalinan sampai saat ini merupakan teori yang
komplek, antara lain:
3
Pendamping
Paritas N Mean SD Minimum Maksimum
Persalinan
Primigravida Tidak 10 8,20 0,632 7 9
Ya 2 7,50 0,707 7 8
Multigravida Tidak 3 6,33 0,577 6 7
Ya 14 5,43 0,852 4 7
B. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui
pengaruh peran pendamping persalinan dan paritas terhadap pengurangan
rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin normal di RB Andina
19
PEMBAHASAN
1) Pengaruh tingkat rasa nyeri kala I fase aktif pada ibu bersalin sebelum
ada pendamping persalinan dan setelah ada pendampingan persalinan
Persalinan kala I merupakan kala pembukaan yang berlangsung antara
pembukaan nol sampai pembukaan lengkap. Pada permulaan his, kala
pembukaan berlangsung tidak begitu kuat sehingga parturian masih dapat
berjalan-jalan. Lama kala I pada primigravida 12 jam sedangkan
multigravida sekitar 8 jam. Berdasarkan kurve friedman, diperhitungkan
pembukaan primigravida 1 cm/jam dan pembukaan multigravida 2 cm/jam
(Manuaba, 2005).
Selama kala I nyeri dihasilkan oleh dilatasi serviks dan segmen
bawah rahim, serta distensi uterus. Intensitas nyeri kala I akibat dari
kontraksi uterus, involunter nyeri dirasakan dari pinggang dan menjalar ke
perut. Kualitas nyeri bervariasi, sensasi impuls dari uterus sinapsnya pada
Torakal 10, 11,12 dan lumbal 1. Mengurangi nyeri pada fase ini dengan
memblok daerah di atasnya (Rusmini, 2007).
Berdasarkah hasil perhitungan, nilai rata-rata skala nyeri untuk ibu
dengan pendamping persalinan didapatkan sebesar 5,69 dan untuk ibu tidak
dengan pendamping persalinan sebesar 7,77. Ini berarti dapat disimpulkan
bahwa ibu dengan pendamping persalinan mengalami nyeri yang lebih
ringan dibandingkan ibu tidak dengan pendamping persalinan.
22
Kontraksi rahim terjadi selain karena regangan otot polos juga pengaruh
dari estrogen dan progesteron, sistem kontraktilitas miometrium sendiri dan
oksitosin. Pada fase laten kala I persalinan kontraksi rahim terjadi setiap 15
sampai 20 menit dan bisa berlangsung kira-kira 30 detik. Kontraksi-
kontraksi ini sedikit lemah dan bahkan tidak terasa oleh ibu yang
bersangkutan. Kontraksi-kontraksi ini biasanya terjadi dengan keteraturan
yang beriman dan interval (selang antar waktu) diantara kontraksi secara
berangsur menjadi lebih pendek, sementara lamanya kontraksi semakin
panjang. Pada fase aktif kala I persalinan kontraksi rahim bisa terjadi setiap
2 sampai 3 menit dan berlangsung selama 50-60 detik. Kontraksi rahim
pada fase ini sangat kuat. Selama kontraksi akan terjadi kontriksi pembuluh
darah yang menyebabkan anoksia serabut otot yang menimbulkan
rangsangan nyeri, selain itu rangsanga nyeri timbul karena tertekannya
ujung saraf sewaktu rahim berkontraksi. Selama kontraksi rahim selalu
diikuti pengerasan abdomen dan rasa tidak nyaman (rasa nyeri). Rasa nyeri
yang dirasakan sebagai rasa sakit punggung. Dalam perkembanganya
kontraksi akan menjadi lebih lama dan kuat yang mengakibatkan intensitas
nyeri yang dirasakan semakin bertambah (Mander, 2004).
Pembukaan leher rahim adalah proses pembesaran lubang luar leher
rahim dari keadaan yang memungkinkan lewatnya kepala janin. Pembukaan
diukur dalam cenmimeter dan pembukaan lengkap pada bulan penuh sama
dengan kira-kira 10 cm. Pembukaan akan terjadi sebagai akibat dari kerja
rahim serta tekanan yang berlawanan yang dikenakan oleh kantung
membran dan bagian janin yang menyodor. Kepala janin yang berada dalam
keadaan fleksi penuh yang dengan ketat dikenakan pada leher rahim akan
membantu permukaan yang efisien. Tekanan yang dikenakan secara merata
ke leher rahim akan menyebabkan fundus rahim bereaksi dengan jalan
berkontraksi, hal inilah yang menimbulkan rasa nyeri (Mander, 2004).
Nyeri merupakan kondisi berupa kondisi perasaan yang tidak
menyenangkan, bersifat sangat subjektif karena perasaan nyeri berbeda pada
setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya, dan hanya pada orang
24
DAFTAR PUSTAKA
Alimul, A. 2003. Riset Keperawatan dan Tehnik Penelitian Ilmiah. Surabaya:
Salemba Medika.
Arikunto,S. 2006. Prosedur Praktis: Suatu Pendekatan Praktik, Edisi VI. jakarta:
PT. Rineka Cipta
Danuatmajda & Meiliasari (2004). Persalinan Normal Tanpa Rasa Sakit. Penerbit
Puspa Swara. Jakarta
Mander. 2004. Nyeri Persalinan. (Alih Bahasa Bertha Sugiarto). Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
Ruth. 2002. Mengkreasikan kehamilan & menjaga kasih sayang bersama Dr.
Ruth. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada
Saifuddin, A.B. 2002. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Sri Mulyani
INTISARI
Hasil: captopril dosis 2.5 mg/kg BB efektif terhadap penurunan tekanan darah
tikus (p < 0.05). Ekstrak daun belimbing wuluh dosis 52.517 mg/100 gram BB
tikus efektif terhadap penurunan tekanan darah tikus (p < 0.05) dan ekstrak daun
belimbing wuluh dosis 105.034 mg/100 gram BB tikus efektif terhadap penurunan
tekanan darah tikus (p 0.05).
Kesimpulan: captopril dosis 2.5 mg/kg BB dan ekstrak daun belimbing wuluh
dosis 105.034 mg/100 gram BB tikus memiliki efektivitas yang sama terhadap
penurunan tekanan darah tikus putih jantan hipertensi.
PENDAHULUAN
Anti hipertensi yang berasal dari tumbuhan dapat bekerja dengan berbagai
cara, antara lain dengan cara menurunkan volume cairan tubuh (diuresis),
mengurangi tahanan perifer (vasodilator) atau mempengaruhi kerja jantung itu
sendiri 5. Penggunaan obat dan formulasi herbal menjadi pertimbangan untuk
mengurangi efek toksik dan memiliki efek samping yang minimal dibandingkan
dengan obat-obat sintetik 6.
2. Hewan coba
1) Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan galur wistar
usia 3 bulan dengan berat 200-210 gram yang diaklimatisasi selama 7
hari untuk penyesuaian terhadap tempat penelitian
2) Dilakukan induksi hipertensi buatan dengan menggunakan kombinasi
prednison 1,5 mg/kgBB dan NaCl 2,5% yang diberikan setiap hari
secara oral selama 15 hari untuk memperoleh tekanan darah diatas
normal. Setelah 15 hari diinduksi, tikus diukur tekanan darahnya
terlebih dahulu dan yang digunakan adalah tekanan darah diatas 150
mmHg (7).
3) Tikus putih jantan dibagi secara random menjadi 3 kelompok.
Kelompok 1 adalah kelompok kontrol dengan pemberian captopril
dengan dosis 2,5 mg/kg BB, kelompok 2 dan 3 adalah kelompok
perlakuan yang diberikan ekstrak daun belimbing wuluh dengan dosis
52,517 mg/100 gram BB dan 105,034 mg/100 gram BB.
4) Pemberian ekstrak daun belimbing wuluh dilakukan satu kali setiap
hari secara oral selama 15 hari. Sebelumnya ekstrak daun belimbing
wuluh diencerkan dengan aquades kemudian disedot menggunakan
sonde yang ujungnya terbuat dari karet dan dimasukkan melalui mulut
tikus hingga mencapai lambung, setelah itu ekstrak daun belimbing
wuluh disemprotkan.
5) Setelah 15 hari perlakuan, satu hari berikutnya dilakukan pengukuran
tekanan darah pada masing-masing tikus, baik kelompok perlakuan
maupun kelompok kontrol dengan menggunakan alat Blood pressure
analyzer.
1. Hasil
Hasil Uji Paired t Test dan Wilcoxon Test
Kelompok N Mean P
Kelompok 1 Systole 7 183,57 0,018
pre
Systole 7 131,00
post
Diastole 7 173,13 0,000
pre
Diastole 7 124,83
post
Kelompok 2 Systole 7 181,43 0,000
pre
Systole 7 143,29
post
Diastole 7 169,57 0,000
pre
Diastole 7 136,00
post
Kelompok 3 Systole 7 184,43 0,000
pre
Systole 7 135,57
post
Diastole 7 173,86 0,000
pre
Diastole 7 123,86
post
antara tekanan darah systole dan diastole baik dari kelompok 1, kelompok 2
dan kelompok 3 antara sebelum dan setelah diberikan perlakuan.
Dari tabel hasil uji Manova diatas dapat dilihat bahwa nilai p value
pada tekanan darah pretest (systole dan diastole) > 0,05 dan nilai p value
tekanan darah posttest (systole dan diastole) < 0,05, sehingga dapat
disimpulkan jawaban dari hipotesis adalah sebagai berikut:
a. Pemberian perlakuan (captopril 2,5 mg/kgBB, ekstrak daun belimbing
wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan ekstrak daun belimbing
wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus) secara bermakna
mempengaruhi tekanan systole dengan p value 0,001.
b. Pemberian perlakuan (captopril 2,5 mg/kgBB, ekstrak daun belimbing
wuluh 52,517 mg/100 gram BB tikus dan ekstrak daun belimbing
wuluh 105,034 mg/100 gram BB tikus) secara bermakna
mempengaruhi tekanan darah diastole dengan p value 0,001.
200
180
160
140
120 kelompok 1
100
kelompok 2
80
kelompok 3
60
40
20
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
200
180
160
140
120
kelompok 1
100
kelompok 2
80
kelompok 3
60
40
20
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5
KESIMPULAN
Dari hasil uji statistik dapat diambil kesimpulan bahwa dari ketiga
kelompok terjadi perbedaan tekanan darah baik systole maupun diastole sebelum
dan setelah perlakuan. Dengan kata lain ekstrak daun belimbing wuluh dapat
menurunkan tekanan darah tikus putih jantan hipertensi. Dan dari uji MANOVA
dan Pos Hoc dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok captopril 2,5 mg/kg BB
memiliki efektivitas yang sama dengan kelompok ekstrak daun belimbing wuluh
dosis 105,034 mg/100 gram BB dalam menurunkan tekanan darah tikus putih
jantan hipertensi.
46
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Pendahuluan
Definisi Thalasemia
lebih rantai globin α, β ataupun rantai globin lainnya sehingga terjadi delesi total
atau parsial gen globin dan substitusi, delesi atau insersi nukleotida. Pada
thalasemia terjadi perubahan nukleotida ke 59 secara transisi (T menjadi C) dan
nukleotida ke 147 secara transversi (G menjadi C). Hasil analisis jenis mutasi
yang ditemukan adalah silent mutation karena tidak ada perubahan asam amino
yang disandi (Andika Tripramudya, 2014). Defek bersifat kuantitatif dimana
sintesis rantai globin normal menjadi kurang atau tidak ada, tapi ada juga mutasi
yang menyebabkan struktur bervariasi dan mutasi yang menghasilkan hemoglobin
sangat tidak stabil, sehingga fenotif talasemia beragam (Galanello, 2014).
Sintesa rantai globin diatur dan dikendalikan oleh suatu gen tertentu.
Terdapat 2 kelompok gen yang bertanggung jawab untuk mengatur dan
52
mengendalikan sintesa protein globin, yaitu kluster gen globin α yang terletak
pada lengan pendek autosom 16 (16 p 13.3), dengan demikian sel diploid
memiliki 4 salinan gen globin α dan kluster gen globin β yang terletak pada
lengan pendek autosom 11 (11 p 15.4) (Evans et all 1990 dan Colins et al, 1984).
Mutasi di globin betha terjadi di dalam regio promotor dan tempat cup, di dalam
ekson dan intron, dan di laut penyambungan batas ekson intron. Mutasi juga
ditemukan pada tempat poliadenilasi dan delesi besar dijumpai pada regio 5’ dan
3’ pada gen (Watsen J. Gilman, 1992)
Gambar 1. Ekspresi gen dan sintesa protein pada thalasemia (Biokimia kedokteran
Dasar.2000)
Sintesa pada rantai globin sebenarnya sudah dimulai sejak awal kehidupan
pada embrio dalam kandungan manusia, sampai dengan usia kandungan 8 minggu
dan sampai akhir kehamilan. Organ yang bertanggung jawab dalam proses sintesa
ini adalah hati, limpa, dan sumsum tulang ( Gale et al, 1979). Selama tahap
perkembangan embrionik (kurang dari 8 minggu), rantai ζ dan rantai α disintesis.
53
Selama periode janin (8-41 minggu) rantai γ dan rantai α menggantikan rantai
embrionik itu, dimulai di sekitar kehamilan sampai sepanjang hidup. Rantai rantai
β menggantikan rantai γ. Sebagian kecil hemoglobin dewasa memiliki rantai δ
sebagai ganti rantai bethanya. Sinyal sinyal yang mengontrol diaktifkan dan
dimatikannya berbagai gen hemoglobin belum diketahui, namun kemiripan dalam
hal struktur nukleotida semua gen itu nampaknya menunjukkan di awal evolusi
(John C. Avise, 2007). Adanya mutasi gen dalam dalam Thalasemia bersifat
herediter sehingga dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
Klasifikasi Thalasemia
a. Thalasemia α
Pada individu yang normal mengandung 4 gen α yang mengandung
protein dalam jumlah yang sama. Thalasemia α terbagi menjadi 2
kelompok yaitu tipe delesi (deletional α thalasemia) dan tipe non delesi
(non deletional α thalasemia). Gejala klinis yang muncul pada penderita
Thalasemia α tergantung pada gen α yang masih utuh. Manifestasi klinis
yang muncul pada dasarnya disebabkan oleh anemia dan hipoksia. Anemia
disebabkan karena menurunnya kadar hemoglobin normal (HbA) yang
diakibatkan oleh kurangnya rantai globin α, akibat kekurangan rantai
globin α menyebabkan ketidaksesuaian dengan pasangannya pada rantai β
dan γ. Rantai β dan rantai γ yang berlebihan tersebut menimbulkan
pembentukan Hb H (β4) atau Hb Bart’s (γ4). Sedangkan hipoksia muncul
sebagai akibat dari Hb H dan Hb Bart’s yang mengikat oksigen tetapi tidak
mudah untuk melepaskannya kembali seperti pada hemoglobin yang
normal (Kartikawati, 2001).
b. Thalasemia β
Pada Thalasemia β banyak disebabkan oleh mutasi (mutasi titik). Mutasi
titik dapat terjadi di berbagai tempat dan dapat menimbulkan akibat yang
berbeda beda. Sebagian lagi disebabkan persilangan yang tidak seimbang.
Persilangan tak seimbang pada thalasemia β menyebabkan delesi sebagian
dari gen β atau menimbulkan gen gabungan (fusion genes) δβ, hemoglobin
yang dihasilkan oleh gabungan 2 gen (δβ) tersebut dinamakan Hb lepore.
Persilangan tak seimbang juga dapat menimbulkan delesi tidak hanya gen
β tetapi juga pada gen gen yang lain seperti gen α, G-γ, A-γ, tergantung
lebarnya delesi. Bentuk bentuk ini dinamakan Thal β komplek. Bentuk
komplek ini biasanya mengakibatkan gejala yang ringan oleh karena tidak
adanya gen β menyebabkan Hb F terus diproduksi sampai dengan dewasa.
Variasi dari thalasemia β yaitu, thalasemia minor, thalasemia mayor, dan
thalasemia intermediet.
55
Jenis cacat molekul gen globin yang banyak dijumpai adalah Hb E/ivs
1- nt5. Hb E merupakan jenis thalasemia yang banyak ditemukan di negara
negara Asia tenggara dan frekuensi karier nya diperkirakan sebesar 50%.
Secara klinis Hb E baik yang homozygot maupun heterozygot tidak
tampak/asimptomatis, tetapi apabila ditemukan bersama thalasemia bentuk
double heterozygot akan menghasilkan Hb E yang secara klinis beratnya
sama dengan thalasemia mayor atau thalasemia intermediet yang
membutuhkan transfusi secara reguler (Moedrik Tamam, et al. 2010).
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Anak Agung Gede P.W., 2015. Skrinning dan Diagnosis Thalasemia Dalam
Kehamilan. E-Journal Obstetric dan Gynecology.
Anomim. 2008. Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta : Badan Penelitian dan
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Atmakusumah, T.D., Wahidiyat, P.A., Sofro, A.S., Wirawan, R., Tjitrasari, T.,
Setyaningsih, I., Wibawa, A. 2010. Pencegahan Thalassemia. Hasil Kajian
Konvensi HTA. Jakarta: 16 Juni.
Atmakusumah, T.D. 2009. Thalassemia: manifestasi klinis, pendekatan diagnosis,
dan thalassemia intermedia. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B.,Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta
Atmakusumah, T.D. Setyaningsih, I. 2009. Dasar-dasar talasemia: salah satu jenis
hemoglobinopati. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta
Collins. F. S and Weissman S. M. 1984. The Molecular Genetics of Human
Hemoglobin. Prog. Nucleid Acid Red. Mol. Biol. 31:315
Evans T. Felsenfel G. And Reitman M. 1990. Control of Globin Gene
Transkription. Annu. Rev. Cell. Biol.6:95-124
Gale R.E., Clegg J.B., and Huehns E.R., 1979. Human Embrionic and
Haemoglobin Gower 1 and Gower 2. Nature. 280 (5718): 162-164
http://www.thalassaemia-yogyakarta.org/2013_02_01_archive.html
63
John C. Avise, The Genetics Gods :Evolution and Belief in Human Asffairs
.havard university pres 2001 cetakan 2007)
ABSTRAK
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Di Indonesia semua pelayanan keperawatan di Rumah Sakit,
telah merancang berbagai bentuk format Discharge Planning, bentuk
pendokumentasian discharge planing berupa resume pasien pulang.
Cara ini merupakan pemberian informasi yang sasarannya ke pasien
dan keluarga hanya untuk mengingatkan, akan tetapi tidak ada yang
bisa menjamin apakah pasien dan keluarga mengetahui faktor resiko
apa yang dapat membuat penyakitnya kambuh, penanganan apa yang
dilakukan bisa terjadi kegawatdaruratan terhadap kondisi penyakitnya.
Discahrge planing seharusnya memberikan proses deep-learning pada
pasien sehingga terjadinya perubahan perilaku dan kemampuan
melakukan perawatan diri secara mandiri baik pasien maupun
keluarga (Uke Panila, 2014). Terutama pada pasien dengan gangguan
cardiovascular outcome dari perawatan gangguan cardiovasculat
adalah pasien bisa toleran dalam melakukan ADL (activity dialy
living).
Penelitian yang dilakuakn oleh Jane Graham pada tahun 2013
menunjukan bahwa discharge planning sangat dibutuhkan pada pasien
di masa transisi yaitu perpindahan pasien dari perawatan rumah sakit-
perawatan rumah. Untuk mendapat discharge planing yang berkualitas
diperlukan pengkajian yang mendalam terkait dengan metoda
discharge planning. Untuk menerapkan metoda discharge planning
yang berkualitas harus di ketahui terlebih dahulu kebutuhan pasien
dan perawat dalam melakukan discharge planning. Dalam pemenuhan
tersebut tentu dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari perawat,
pasien maupun tenaga profesional yang lain. Dan apakah faktor-
faktor tersedut dapat mempengaruhi kualitas discharge planning
sehingga berdampak terhadap tingkap kemanddirian pasien terutama
pada pasien dengan gangguan cardiovascular?
66
2. Tujuan
a. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas
discharge planning terhadap tingkat kemandirian pasien dengan
gangguan kardiovascular pasca hospitalisasi
b. Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui faktor yang paling dominan mempengaruhi
kualitas discharge planning pada pasien dengan gangguan
cardiovascular.
b) Untuk mengetahu efectifitas discharge planning terprogram
dalam meningkatkan tingkat kemandirian pasien dengan
gangguan cardiovascular.
c) Untuk mengetahui efektifitas perawat khusus dalam melakukan
discharge planning pada pasien dengan gangguan cardiovascular
B. METODE
Pengumpulan artikel yang dilakukan sitematik review ini
menggabungkan antara discharge planning yang dilakukan oleh perawat dan
oleh tenaga kesehatan lain dalam melakukan perawatan mandiri dan
rehabilitasi.
1. Kriteria inklusi dan eksklusi
67
Gambar 1
Diagram prisma
4. Analisa Data
Data dikumpulkan berdasarkan tujuan, sampel dan hasil yang
sebanding kemudian dilakukan analisis (table 1) sehingga dapat pula
dilihat heterogenitas dari hasil penelitian yang ditemukan dalam studi
(publikasi ilmiah). Jika dalam temuan jurnal tidak sesuai dengan
70
Tabel 1
Karakteristik artikel yang didapatkan ( n=4)
No Penulis Judul Jurnal Tujuan Metodologi Hasil
(tahun)
1 S Rian “Learning by J Gen Intern Mengurangi Kualitatif Lima topik utama untuk
Greysen et Doing”—Resident Med readmisi dan analissis identifikasi discharge planning
all (2012) Perspectives on efeksamping yang berkualitas
Developing dengan 1. Kerja sama tim dan
Competency in High- penggunaan interdisipliner
Quality Discharge discharge laning Disharge planing
Care yang berkualitas 2. Perencanaan terstuktur serta
strategi discharge planing
3. Keselamatan pasien dan
konsep Discharge planning
yang aman
4. Perawatan berkelanjutan
setelah pasien mendapatkan
discharge planning.
5. Dokumentassi discharge
planing
2 Emily J. Features of High J Gen Intern Untuk Kualitatif Lima tema untuk membedakan
72
C. HASIL
Systematic review yang dilakukan dengan metoda kulaitatif dan
kuantitatif pada empat jurnal yang dianalisis yang didapat dengan
menggunakan metoda boleon dari e juranal EBSCO, ProQuest, PubMed, AJN
dan google search (gambar 1).
Hasil penelitian kualitatif dengan mengidentifikasi beberapa tema,
sedangkan hasil penelitian RCT dilakukan perlakuan berupa discharge planning
(memberikan pendidikan kessehatan) yang kemudian di lakukan follow up
untuk mengetahui efektifitas dari perlakuan/tindakan. Untuk penelitian RCT
tidak dilakukan blinding dijelaskan dalam jurnal karena tidak memungkinkan
untuk dilakukan blinding yang disebabkan karena perlakukan/tindakan berupa
pemberian pendidikan kesehatan sehingga untuk sampel perawat tidak bisa
dilakukan blinding, akan tetapi untuk pasien tetap dilakukan blinding.
1. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas discharge planning
Ketika akan menentukan bagaiamana teknik yang paling benar
sehingga discharge planning dapat berkualitas dibutuhkan pembelajaran
lebih mendalam untuk proses discharge planning. Proses ini sangat
penting untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada pasien.
Proses tersebut menunjukan bahwa untuk mendapatkan pelayanan yang
berkualitas dibutuhkan kerjasama, perencanaan terstruktur, keamanan
pasien, perawatan berkelanjutan dan dokumentasi. (Greysen at all: 2011)
dari dasar asumsi tersebut kemudian dijadikan tema dalam penelitian.
Lima tema tersebut adalah kerja sama tim dan interdisipliner
Disharge planing pada tema ini difikuskan tentang komunikasi yang
dilakukan antar tenaga kesehatan. Meningkatkan kedisiplinan dan
kerjasama antar tim akan meningkatkan kualiatas pelayan discharge
planning. Sehingga kerja sama tim sangat dibutuhkan dalam proses
discharge planning. Tema yang kedua: perencanaan terstuktur serta
strategi discharge planning, hasil menunjukan belum ditemukan bahwa
75
D. PEMBAHASAN
Empat jurnal dilakukan review sudah berdasarkan kriteria inklusi dan
kriteria inklusi yang telah ditetapkan. Pada jurnal yang dilakukan dengan
metoda kualitatif yang sudah di lakukan appraisal dengan menggunakan CASP
tools mempunyai nilai baik yaitu diatas 80% begitu juga untuk jurnal dengan
RCT. Hal ini menunjukan bahwa jurnal tersebut layak untuk diaplikasikan
dalam ruang lingkup keperawatan khususnya baik dari untuk keperawatan
klinik ataupun dari managemen keperawatan.
Metoda RCT yang dilakukan tidak dilakukan blinding pada jurnal 3 (tiga)
dan single blind pada jurnal (4) sehingga munculnya bias pada hasil penelitian
lebih tinggi pada metoda RCT ini (Munsri: 2013). Seharusnya peneliti
menggunkan double bahkan triple blind pada penelitian sehingga bias dalam
penelitian dapat diminimalisir.
78
E. PENUTUP
Dalam jurnal dibahas bahwa tingkat kemandirian pasien melakukan
perawatan pacsa hospitalisasi mengidentifikasi kualitas dari discharge planning
yang diberikan oleh perawat. Dari hasil review yang menunjukan bahwa
discharge planning secara terprogram mempunyai dampak yang positif dan
dipelayan belum optimal dilakukan maka fenomena ini bisa dijadikan sebagai
bahan untuk researcher untuk melakukan penelitan lebih lanjut kenapa
79
DAFTAR PUSTAKA
Uke Panila (2014) Fk.iu.ac.id/ konsep discharge planning/di akses tanggal 10 November
2014.
Jane Graham, Robbyn Galakher and Janine Bothe. (2013). Nurse Discharge Planning and
Risk assessment: Behaviour, understanding and barrier. Journal Of Clinical
Nursing ed: 22. Blackwell Publishing.
Mary T Fox, et all. (2013). Effectiveness of early discharge planning in acutely ill
or injured hospitalized older adults:a systematic review and meta-
analysis. BMC Geriatric
Petsunee Thungjaroenkul.(2007). The Impact of Nurse Staffing on Hospital Costs
and Patient Length of Stay:A Systematic Review. CNE vo:25
Palle Larsen. (2013) Stimulation To Self-Care In Patients With Heart Failure: A
Quasi-Eksperiment Study. Nursing Education and Practice Vol:4
Emely J Cherlin. (2012) Features Of Higt Quality Discharge Planning for
Patients Following Acute Miocard Infraction. J Gen Intern Med
S Ryan Greysen. (2011). Learning By Doing-Resident Perspektif On Defeloping
Competency in Hight Quality Discharge. J Gen Intern Med
81
Abstrak
Pengembangan desa siaga sudah dimulai sejak tahun 2006, tetapi sampai tahun
2010 tercatat hanya 56,1% yang menjadi desa siaga. Perkembangan desa siaga aktif
di Kabupaten Wonosobo dalam 3 (tiga) tahun terakhir mengalami fluktuasi. Fluktuasi
ini disebabkan oleh peran FKD di Kabupaten Wonosobo belum optimal.Tujuan
penelitian ini untuk menganalisis peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif di
Kabupaten Wonosobo.
Jenis penelitian adalah kualitatif. Informan utama 2 orang ketua FKD dan 2
orang kepala desa. Informan triangulasi sebanyak 7 orang yang terdiri dari 2 orang
bidan desa, 2 orang ketua posyandu, 2 orang pemegang program promkes puskemas,
1 orang kasie pemberdayaan UKBM & pembiayaan kesehatan Dinas Kesehatan. Data
dianalisis dengan analisis isi.
Hasil penelitian menunjukan beberapa peran yang belum dilakukan oleh FKD
dengan desa siaga pratama meliputi upaya penanggulangan faktor resiko masalah
kesehatan, penemuan masalah kesehatan di UKBM, penyiapan dana untuk upaya
pencegahan dan penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan. Peran FKD pada
strata pratama yang sudah dilakukan meliputi deteksi dini, melaporkan, koordinasi
masalah kesehatan. Pada strata mandiri sudah melakukan semua peran FKD.
Disarankan untuk melakukan koordinasi dengan pembina desa siaga aktif tingkat
kecamatan untuk mengadakan rapat koordinasi minimal 3 bulan sekali dengan
anggaran dari BOK. Selain itu juga mengadakan penyegaran materi desa siaga aktif
kepada unsur FKD setiap tahun. .
ABSTRACT
Village allertness program development began in 2006,but until 2010 there were
only 56.1% being village allertness program.The development of village allertness
program in Wonosobo Regency in the last three years has fluctuated.These
fluctuations are due to the role of Village Health Forum in Wonosobo regency is not
maximized. The purpose of this study was to analyze the role of Village Health Forum
in the implementation of village allertness program in Wonosobo Regency.
The results showed some roles that have not beendoneby theVillage Health
Forum with the first village allertness program include reduction of risk factors of
health problems, health problems discoveries in Public Health Efforts community
initiative, preparation of funding for prevention and control of risk factors of health
problems. Role of Village Health Forum at the first strata that have been made
include early detection reporting, coordination of health problems.In independent
strata all roles Village Health Forum have already been done.
Advised to coordinate with the village allertness program guidance for district
level coordination meetings held at least once every three months with a budget of
Health Operational Assistance. It also held are fresher materials to elements of the
village allertness program to Health Forum village severy year.
Pendahuluan
Pengembangan Desa Siaga telah dimulai sejak tahun 2006. Sampai dengan saat
ini, tercatat sudah 42.295 Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (56,1%) dari 75.410 Desa
dan Kelurahan yang ada di Indonesia. Namun demikian, banyak di antaranya yang
belum berhasil menciptakan Desa Siaga dan Kelurahan Siaga Aktif. Padahal Desa
dan Kelurahan Siaga Aktif merupakan salah satu indikator dalam Standar Pelayanan
Minimal.1
Peran FKD/FKK, yaitu: 1) deteksi dini faktor resiko masalah kesehatan,2)
melaporkan adanya masalah kesehatan, 3) upaya penanggulangan faktor resiko, 4)
penyiapan dana untuk upaya pencegahan dan penanggulangan, 5) penemuan
masalah kesehatan di UKBM ( Posyandu, UKS, Poskestren, PKD dll), 6) koordinasi
penanganan masalah kesehatan di desa.1, 2
Studi pendahuluan pada peran FKD/FKK yang dilakukan melalui wawancara
pada tanggal 13 – 20 Maret 2014 di 10 (sepuluh) FKD/FKK di dapatkan; 7 Kepala
Desa/Kelurahan tidak tahu program FKD, 6 FKD belum melakukan deteksi dini
faktor resiko masalah kesehatan . 5 FKD belum melaporkan adanya masalah
kesehatan. 7 FKD belum melakukan upaya penanggulangan faktor resiko . 8 FKD
belum melakukan penyiapan dana untuk upaya pencegahan dan penanggulangan. 8
FKD belum melakukan penemuan masalah kesehatan di UKBM serta 8 FKD belum
melakukan koordinasi penanganan masalah kesehatan di desa.
Dengan belum optimalnya peran FKD/FKK seperti digambarkan diatas dan
melihat besarnya manfaat Desa/Kelurahan Siaga Aktif bagi masyarakat, khususnya
bagi perkembangan Desa/Kelurahan Siaga Aktif dan pentingnya peran FKD/FKK
dalam pelaksanaan Desa/Kelurahan Siaga Aktif akan sangat mempengaruhi kegiatan
Desa/Kelurahan Siaga Aktif yang dilaksanakan setiap bulanya.
Berdasarkan fenomena dan fakta-fakta tersebut diatas menjadi landasan peneliti
dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan informasi yang mendalam tentang
bagaimana peran FKD/FKK di Kabupaten Wonosobo tahun 2014.
84
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui peran Forum
Kesehatan Desa dalam Pelaksanaan Desa Siaga Aktif di Kabupaten Wonosobo 2014. 4
Informan utama adalah 2 (dua) orang ketua FKD/FKK dan 2 (dua) orang
Kepala Desa/Kelurahan. Informan triangulasi adalah 2 (dua) orang bidan desa, 2
(dua) ketua Posyandu, 2 (dua) orang pemegang program promkes puskesmas, yaitu
Puskesmas Wonosobo I dan Kepala Puskesmas Kaliwiro serta Kasie Pengembangan
UKBM & Pembiayaan Kesehatan.
Data yang diambil dalam penelitian ini adalah data primer melalui wawancara
mendalam dan data skunder melalui telaah dokumen. Setelah pengumpulan data
selesai di laksanakan maka data diolah menggunakan analisis isi (content analysis),
yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan. 5
Hasil
Observasi Komponen Desa Siaga Aktif
Observasi dilakukan bertujuan untuk mengetahui secara langsung
pelaksanaan desa siaga aktif, data yang diperoleh dapat melengkapi dan
mendukung hasil wawancara mendalam yang dilakukan pada informan utama
dan informan triangulasi berkaitan dengan peran forum kesehatan desa dalam
pelaksanaan desa siaga aktif.
Tabel 1: Hasil Observasi Komponen Desa Siaga Aktif
Pratama Mandiri
No Komponen
Ada Tidak Ada Tidak
1 SK FKD V V
2 Struktur Organisasi V V
3 Uraian Tugas V V
4 Rencana Kegiatan V V
5 SMD V V
6 MMD V V
7 Rapat koordinasi 2 kali/tahun 4 kali/tahun
8 Pembiayaan Kesehatan V V
9 Surveilens V V
85
10 Gotong Royong V V
11 PKD V V
Hasil observasi yang dilakukan pada 2 (dua) desa siaga aktif. Keduanya
memiliki SK FKD, struktur organisasi, dan uraian tugas. Rencana kegiatan, SMD,
dan MMD tidak ada di desa siaga aktif dengan strata pratama, sedangkan pada strata
mandiri ada uraian tugas, SMD dan MMD. Rapat koordinasi dilakukan setahun 2
(dua) pada strata pratama sedang pada strata mandiri rapat rutin setiap bulan. Pada
desa siaga aktif dengan strata pratama pembiayaan kesehatan kurang koordinasi
dengan bidan maupun kepala desa. Sedangkan pada desa siaga aktif dengan strata
mandiri, pembiayaan kesehatan sudah terkoordinasi dengan kepala desa dan bidan.
Keduanya mengadakan gotong royong dan memiliki PKD .
“Cara menerbitkan, kumpulan dengan Masyarakat,tokoh agama, BPD, LPMD, kita bentuk forum
kesehatan desa, sudah di SK kan”(UKD2)
“Kita kan kerja sama dengan BPD. Kita kerja sama dengan perangkat untuk mengawasinya,,,”(UKD1)
Kotak 2
“Belum jalan, belum pernah ada pertemuan, baru sekali thok pas sosialisasi tahun 2013 dari
puskesmas. Desa diminta untuk SMD dan MMD. Dilatih dari puskesmas dengan cara role play.
Sekarang nda jalan, seharusnya dioprak-oprak lagi biar jalan”(TBD1)
Pada desa siaga aktif dengan strata mandiri sudah memiliki rencana
kegiatan, melaksanakan SMD dan MMD. Pernyataan tersebut dapat dilihat
pada kotak 3.
Kotak 3
“Kalau rencana sudah, sampai masuk ke RPJMDes, untuk ambulance di masukan, supaya rujukan ibu
melahirkan lebih cepat, realisasi ambulance tahun 2015,,,”(UKD2)
86
Rapat Koordinasi
Rapat koordinasi sudah dilakukan dari strata pratama 3 (tiga) bulan sekali
ditingkat kecamatan sedangkan strata mandiri melakukan rapat koordinasi tiap 3
(tiga ) bulan ditingkat desa. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 4.
Kotak 4
“Ada pertemuan rutin 3 bulan sekali, kita manfaatkan untuk membahas di pertemuan itu sendiri, ada
sharing”(UKD2)
“Biasanya kita ada rapat koordinasi lintas sektoral 3 bulan sekali. Disitu siapa saja boleh melakukan
usulan tidak harus desa siaga”(TP1)
Upaya Pembiayaan
Upaya pembiayaan pada desa siaga dengan strata pratama sudah ada, namun
tidak semua anggota FKD mengetahui bahwa dana itu termasuk kategori pembiayaan
kesehatan. Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 5.
Kotak 5
“Saya kan memegang zakat mal kalo ada orang sakit yang kurang biaya saya bantu dari zakat
mal”(UFKD1)
“,,,belum ada, paling untuk PMT itu saja minim, dana sehat sekarang tidak ada”(TBD1)
“dana sehat sekarang tidak ada”(TBD1)
Pada strata mandiri sudah ada pembiayaan kesehatan yang diambil dari iuran
jimpitan sebesar Rp. 500/bulan digunakan untuk biaya pengobatan di PKD, jumlah
kunjungan ke PKD tidak dibatasi, biaya ditanggung dari iuran jimpitan. Bila ada
pembiayaan kesehatan diluar PKD, masyarakat mengadakan iuran yang sifatnya
insidentil. Pernyataan tersebut daapat dilihat pada kotak 6.
Kotak 6
“,,,bagi masyarakat yang tidak mampu kita sediakan dana sosial, dari masyarakat iuran RP.500,-
perbulan untuk pengobatan di PKD”(UKD2)
“Iuran lain, selain yang Rp.500,- kalau ada kegiatan tidak terencana”(UKD2)
Surveilens
Surveilen pada kedua desa siaga aktif baik pratama maupun mandiri sudah
dilakukan pada faktor lingkungan maupun perilaku. Pernyataan tersebut dapat dilihat
pada kotak 7.
Kotak 7
“Yang jelas anjuran kepala desa untuk masalah kesehatan rumah sehat, jamban, selokan di setiap
pertemuan untuk disosialisasikan suruh disalurkan satu titik untuk mencegah nyamuk”(UFKD2)
“Sudah, seperti jentik nyamuk, yang melakukan anggota-anggota pamong bersama-sama. Kalau
sampah juga sudah”(TKP1)
Gotong royong
Gotong royong sudah dilakukan oleh kedua desa siaga aktif dengan cara
kegiatan rabu bersih, jum’at bersih, donor darah. Pernyataan tersebut dapat lihat pada
kotak 8.
KOTAK 8
“,,,jum’at bersih, jimpitan beras, donor darah”(UFKD2)
“kegiatan disini, tiap 3 bulan ada donor darah,,,”(UKD2)
“Kalau ada jentiknya dikasih tau sama orangnya yang punya bak, suruh menguras”(TKP1)
Pada informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) sudah melakukan
upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan, yaitu dengan cara
pembuangan air limbah dari rumah warga dibuat satu titik yang akan dibuang ke
sungai. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam kotak 17.
Kotak 17.
“Saluran pembuangan limbah akan dibuat satu titik yang mengalir ke sungai supaya tidak
menggenang di lingkungan”(UFKD2)
“Iya, kalau penyakit apa, kita melakukan kebersihan”(TKP2)
89
Pada informan utama (ketua FKD dengan strata mandiri) mengatakan sudah
melakukan penemuan masalah kesehatan di UKBM dan didukung oleh pernyataan
informan triangulasi ( ketua posyandu, bidan desa, pemegang program puskesmas),
dengan cara melakukan posyandu. Pernyataan ini dapat dilihat pada kotak 20.
Kotak 20
“Mengetahui di posyandu misal ada balita gizi buruk atau berat badan di bawah garis merah”(TKP2)
“Saat ini masalah kesehatan, semua dukuh punya kader. Dari UKS bila ada masalah bisa ke
PKD”(TBD2)
90
Pada informan utama (ketua FKD) lainya mengatakan tidak ada faktor yang
mempengaruhi peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif. Pernyataan tersebut
dapat dilihat pada kotak 28.
Kotak 28
“Tidak ada”(UFKD2)
Kotak 23
“Kita lebih dulu tahu masalah-masalah yang ada didesa”(UFKD1)
“Yang jelas kita bisa belajar, tahu kondisi di desa”(UFKD2)
91
Adanya kesempatan
Kesempatan menjadi anggota FKD kedua informan utama (ketua FKD dengan
strata pratama dan mandiri) mengatakan bahwa dalam pemilihan bukan karena
mendaftar atau mengajukan diri tapi karena diajak ditunjuk oleh masyarakat.
Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 24.
Kotak 24
“Saya diangkat karena pilihan, saya ditunjuk dengan tulisan, saya usul tetapi mereka meminta saya
untuk menjadi ketua”(UFKD1)
“Kalo dipertemuan saya sering brangkat, karena ketua lama mengundurkan diri, saya dipilih untuk jadi
ketua FKD”(UFKD2)
Kotak 25
“,,,Kalo sering diundang kumpulan, ketrampilan bisa berupa penyuluhan,,,”(UFKD1)
“Dibidang kesehatan harus punya seperti apa penyakit, , aktif dalam kegiatan, punya rasa
kebersihan”(UFKD2)
Rasa memiliki
Kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri)
mengatakan ada rasa memiliki terhadap desa siaga aktif, yaitu ada rasa ingin
mengembangkan, membesarkan karena itu berguna. Pernyataan tersebut dapat lihat
padaa kotak 26.
Kotak 26
“Bagus, ingin membesarkan, ingin mengembangkan contoh ingin membeli ambulance desa”(UFKD2)
desa siaga aktif. Seperti bila berbicara akan didengar, dan bisa memotivasi.
Pernyataan tersebut dapat dilihat pada kotak 27.
Kotak 27
“Jelas, ya misal kalau kalo orang yang ngomong bukan tokoh jelas tidak pengaruh, tapi kalo tokoh ya
diperhatikan”(UFKD1)
“Tokoh agama, pengaruhnya memotivasi, mendukung FKD dibidang sosial, diharapkan semua
masyarakat memiliki”(UFKD2)
Pembahasan
Pada desa siaga aktif dengan strata pratama tidak memilki rencana kegiatan,
SMD dan MMD. Pada desa siaga aktif dengan strata mandiri sudah memiliki rencana
kegiatan, melaksanakan SMD dan MMD.
SMD dilaksanakan dalam rangka identifikasi masalah kesehatan maupun
potensi yang ada diwilayah desa tersebut. Hasil SMD meliputi masalah kesehatan,
faktor resiko masalah kesehatan dan potensi yang ada di wilayahnya. SMD
dilaksanakan minimal setahun sekali.2
MMD merupakan tindak lanjut kegiatan SMD yang dilaksanakan dengan tujuan
menentukan prioritas masalah, pemecahan masalah dan kesepakatan tindak lanjut
dengan memanfaatkan potensi yang ada. Hasil MMD dirumuskan dalam rencana
kerja. MMD dilaksanakan minimal setahun sekali.2
Rapat Koordinasi
Rapat koordinasi sudah dilakukan dari strata pratama 3 (tiga) bulan sekali
ditingkat kecamatan sedangkan strata mandiri melakukan rapat koordinasi tiap 3
93
(tiga ) bulan ditingkat desa. Rapat pengurus FKD diperlukan dalam rangka koordinasi
pelaksanaan kegiatan. Rapat ini seharusnya dilakukan secara rutin terjadual. Namun
juga bisa dilaksanakan apabila diperlukan misalnya pada saat ada masalah bencana
atau kegawatan.2
Upaya Pembiayaan
Upaya pembiayaan pada desa siaga dengan strata pratama sudah ada, namun
tidak semua anggota FKD mengetahui bahwa dana itu termasuk kategori pembiayaan
kesehatan. Pada strata mandiri sudah ada pembiayaan kesehatan yang diambil dari
iuran jimpitan sebesar Rp. 500/bulan digunakan untuk biaya pengobatan di PKD,
jumlah kunjungan ke PKD tidak dibatasi, biaya ditanggung dari iuran jimpitan. Bila
ada pembiayaan kesehatan diluar PKD, masyarakat mengadakan iuran yang sifatnya
insidentil.
Pembiayaan kesehatan dalam desa siaga aktif selain dengan mengembangkan
dana swadaya masyarakat juga diharapkan adanya dukungan pendanaan secara resmi
atau tetap yang dianggarkan oleh pemerintah desa melalui ADD/APBDes atau
anggaran desa yang ditentukan dalam musrenbagdes. Dukungan pendanaan melalui
anggaran desa ini merupakan bentuk komitmen dari pemerintah desa terhadap
pengembangan desa siaga aktif sehingga dana ini akan dijamin keberlanjutanya. 2
Bentuk pembiayaan kesehatan yang dapat dikembangkan dimasayarakat, yaitu
a) tabulin, 2) arisan jamban, 3) dana psyandu untuk PMT, 4) jimpitan melalui
RT/RW, dawis, PKK, 5) dana pengembangan lingkungan sebagai kompensasi
industri/dunia usaha.2
Surveilens
Surveilen pada kedua desa siaga aktif baik pratama maupun mandiri sudah
dilakukan pada faktor lingkungan maupun perilaku. Tujuan pengamatan dan
pemantauan oleh masyarakat agar tercipta sistem kewaspadaan dan kesiapsiagaan
dini masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya penyakit dan masalah kesehatan,
94
bidanya sendiri. Pernyataan bidan didukung oleh pernyataan ketua posyandu yang
mengatakan kalau ada jentik pada bak mandi, dikasih tahu pada orangnya, suruh
menguras. Pada informan utama (ketua FKD dengan strata pratama) sudah
melakukan upaya menanggulangi faktor resiko masalah kesehatan, yaitu dengan cara
pembuangan air limbah dari rumah warga dibuat satu titik yang akan dibuang ke
sungai.
Ketua FKD dengan strata pratama belum memahami peran apa yang seharusnya
dilakukan sehingga apa yang dilakukan oleh kader (ketua posyandu) ketua FKD tidak
mengetahui. FKD/FKK beranggotakan berbagai unsur dimasyarakat, meliputi: 1)
kepala desa dan perangkatnya, 2) Badan Permusyawaratan Desa, 3) TP PKK, 4)
lembaga sosial, 5) tokoh agama, tokoh masyarakat, kader, 6) perwakilan kelompok. 2
Upaya yang dilakukan dengan meningkatkan kemandirian masyarakat dalam
bidang kesehatan, dengan cara meningkatkan pengetahuan, kemauan dan kemampuan
masyarakat sehingga masyarakat dapat berkontribusi dalam meningkatkan derajat
kesehatan.6
Upaya penyiapan dana
Peran FKD dalam upaya penyiapan dana untuk pencegahan dan
penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan, kedua informan utama (ketua FKD
dengan strata pratama dan mandiri) mengatakan sudah melakukan upaya penyiapan
dana untuk pencegahan dan penanggulangan faktor resiko masalah kesehatan dengan
cara mengambil dari zakat mal, alokasi ADD, iuran jimpitan Rp. 500,-, iuran swadaya
yang sifatnya insidentil.
Upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM
Peran FKD dalam upaya menemukan masalah kesehatan di UKBM, informan
utama (ketua FKD dengan strata pratama) mengatakan belum melakukan upaya
menemukan masalah kesehatan di UKBM, karena pemahaman yang belum ada
tentang peran FKD dalam pelaksanaan desa siaga aktif, namun pernyataan informan
utama (Ketua FKD dengan strata pratama) tidak didukung oleh informan triangulasi
(ketua posyandu, bidan desa maupun pemegang program promkes) yang mengatakan
96
Adanya kesempatan
Kesempatan menjadi anggota FKD kedua informan utama (ketua FKD dengan
strata pratama dan mandiri) mengatakan bahwa dalam pemilihan bukan karena
mendaftar atau mengajukan diri tapi karena diajak ditunjuk oleh masyarakat.
Kesediaan juga berpengaruh oleh adanya kesempatan atau ajakan untuk berperan
97
serta dan masyarakat melihat memang ada hal-hal yang berguna dalam kegiatan yang
akan datang.7
Rasa memiliki
Kedua informan utama (ketua FKD dengan strata pratama dan mandiri)
mengatakan ada rasa memiliki terhadap desa siaga aktif, yaitu ada rasa ingin
mengembangkan, membesarkan karena itu berguna. Rasa memiliki sesuatu akan
tumbuh jika sejak awal kegiatan masyarakat sudah diikutsertakan, jika rasa memiliki
ini bisa tumbuhkan dengan baik, maka peran serta akan dapat dilestarikan. 7
DAFTAR PUSTAKA
Fallen, R & Budi Dwi K,R. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas. Nuha