Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PRINSIP KERJA OBAT

A. KERJA DAN EFEK OBAT


Dalam farmakodinamika, kerja dan efek merupakan bagian yang paling
fundamental dan kompleks. Terkadang antara kerja dan efek sulit dibedakan
oleh orang awam. Namun, antara kerja dengan efek merupakan suatu hal yang
sangat berbeda. Kerja diakibatkan oleh suatu obat sedangkan efek merupakan
suatu respon jaringan akibat obat. Kerja merupakan perubahan kondisi yang
mengakibatkan timbulnya suatu efek atau respon. Sedangkan efek merupakan
perubahan fungsi struktur atau proses akibat kerja obat.
Efek suatu obat dibedakan menjadi dua yaitu efek utama (main effect)
atau efek yang dikehendaki dan efek samping (side effect) atau efek yang tidak
dikehendaki (undesired effect). Efek utama suatu obat adalah efek yang
diharapkan dalam penggunaannya, misalnya antipiretik dari parasetamol,
antihistamin dan CTM. Sedangkan efek samping adalah efek yang tidak
dikehendaki, efek tersebut belum tentu merugikan meskipun kebanyakan dari
efek samping adalah merugikan. Efek samping CTM berupa sedatif sering
digunakan pada penderita yang mengalami kesulrtan tidur, efek samping
ketotifen yang berupa peningkatan nafsu makan juga sering digunakan. Kedua
efek samping tersebut tergolong sebagai efek yang tidak merugikan. Sedangkan
efek samping kebanyakan antibiotika (penilisilin, sulfadiasin) dan antalgin berupa
alergi merupakan efek samping yang merugikan, atau efek
samping penggunaan parasetamol jangka panjang yang berupa kerusakan sel
hati atau nekrosis hati.

B. LEVEL AKSIOBAT
Untuk mempelajari aksi suatu obat, periu mempertimbangkan efek yang
dihasilkan pada sistem biologis dalam level atau tingkatan bagian dari organisme
yang berbeda-beda. Tingkatan utama dari yang sederhana menuju yang
komplek adalah sebagai berikut molekuler btologi, subseluler, sel, organ atau
jaringan, organisme utuh, dan interaksi antar organisme.
Aksi obat pada tingkat molekuler
Obat mempunyai target pada sistem makromolekuler atau molekul seperti
reseptor, enzim (sistem enzim), sistem transport atau komponen genetik.
Sebagai contoh pada reseptor, obat berinteraksi dengan komponen biologis
pada membran sel yartu reseptor yang akhirnya menghasilkan suatu komponen
molekuler antara lain cAMP, inositol trifosfat (IP3) dan diasilgliserol. Reseptor
dalam hal ini merupakan suatu glikoprotein dalam membran sel, sedangkan
ketiga senyawa tersebut merupakan komponen tingkat molekuler akibat interaksi
obat dan reseptor. Di samping itu terdapat beberapa obat yang beraksi pada
komponen genetik misalnya DNA atau RNA, misalnya faktor pertumbuhan
(growth factor). Aksi sennyawa tersebut dengan DNA atau RNA merupakan aksi
pada tingkat mlekuler.
Aksi obat pada struktur subseluler
Aksi ini memiliki target pada komponen subseluler seperti mitokondria,
mikrotubulus, lisosom, granul sitoplasma. Granul atau vesikel sitoplasma juga
termasuk dalam aksi obat pada struktur subseluler seperti vesikel saraf
kolinergik atau adrenergik, granul sel mast dan sel kromafin.

Aksi obat pada sel


Sel merupakan unit fundamental dari suatu organisme sehingga
pemahaman aksi obat pada sel adalah sangat penting. Termasuk dalam
tingkatan ini adalah senyawa kimia pengatur endogen (neurotransmitter) meliputi
sintesis dan pelepasannya, maupun aksinya pada sel lainnya misalnya sel otot
atau endokrin.

Aksi obat pada jaringan dan organ


Aksi obat pada jaringan juga merupakan aksi pada sel, akan tetapi
beberapa penelitian tentang farmakodinamika suatu obat hingga tingkatan
seluler sulit dikerjakan. Disamping itu, meskipun aksi dari obat terjadi pada level
sel tapi aksi tersebut terjadi pada sekeiompok sel tertentu, seperti aksi obat
diuretik pada sekeiompok sel atau jaringan / organ yang dinamakan ginjal
sehingga aksi tersebut lebih ditekankan pada level janngan atau organ.
Aksi obat pada organisme utuh
Aksi obat dalam tingkatan organisme utuh melibatkan sistem kontrol yang
terintegral (mekanisme homeostatik) dari tubuh, menghasilkan efek ikutan pada
beberapa struktur seluler, set, atau jaringan lain. Sebagai contoh, antagonis alfa
adrenoreseptor yang dapat merelaksasi otot polos pembuluh darah akan
menyebabkan vasodilatasi, dan juga mempengaruhi kecepatan denyut jantung.
Contoh lain, aksi langsung asetilkolin pada jantung pada kondisi normal adalah
menurunkan denyut jantung, tetapi injeksi intravena dosis kecil dapat
menghasilkan efek yang terbalik.
Aksi obat dan interaksi antar organisme
Aksi obat pada tingkatan yang lebih komplek atau tingkatan interaksi
antar organisme dibagi menjadi dua : (1) obat mempengaruhi hubungan
organisme dari jenis yang berbeda, (2) obat mempengaruhi hubungan sosial.
Sebagai contoh tipe pertama adalah penggunaan pestisida untuk
pemberantasan hama, yang melibatkan interaksi dua organisme yaitu manusia
dan hama (misalnya tikus), sedangkan tipe dua adalah terkait dengan peran
faktor sosial misalnya penggunaan alkohol atau narkoba seseorang yang
berdampak pada orang lain.

C. MEKANISME AKSI OBAT


Satu prinsip dasar dari farmakologi adalah molekul obat dapat
mempengaruhi komponen organisme hidup sehingga dapat menghasilkan efek
atau respon. Obat dapat bekerja dalam tubuh apabila berinteraksi atau berikatan
dengan komponen tubuh dan berdasarkan apakah obat tersebut diperantarai
oleh komponen tertentu dari sel (target obat spesifik). Ehrlich menyatakan bahwa
" Corpora non agunt nisi fixata " atau suatu obat tidak akan bekerja jika tidak
berikatan dengan targetmya. Dalam bekerja pada suatu organisme hidup,
mekanisme aksi obat dibedakan menjadi : (1) aksi non-spesifik, yaitu mekanisme
aksi obat yang didasarkan sifat fisika kimiawi yang sederhana, (2) aksi spesifik,
yaitu mekanisme aksi obat yang melibatkan interaksi dengan komponen spesifik
organisme misalnya reseptor, enzim, komponen genetik, kanel ion.
C.1. AKSI OBAT NON-SPESIFIK
Pertimbangan utama obat yang beraksi berdasarkan mekanisme fisika
kimiawi non-spesifik adalah bahwa obat tersebut tidak menunjukkan efek yang
lain pada dosis dimana obat tersebut menghasilkan suatu aksi fisikakimiawi
dalam miliu fisiologi yang sesuai. Aksi obat non-spesifik biasanya melibatkan
dosis yang besar dalam menimbulkan efek atau respon. Aksi obat non-spesisik
yang berdasarkan sifat fisika adalah aksi yang berdasarkan osmolaritas, massa
fisis, adsorpsi, radioaktivitas, radioopasitas atau muatan listrik. Sedangkan yang
berdasarkan sifat kimia adalah berdasarkan asam basa, oksidasi, reduksi atau
kelasi.

Aksi obat berdasarkan sifat osmolaritas


Senyawa yang tidak melintasi membran fisiologi yang permeabel
terhadap air cenderung untuk tinggal dalam air hingga kondisi ekuilibrium
osmotik tercapai. Obat yang termasuk dalam golongan ini menimbulkan efek
karena sifat osmotiknya. Contoh obat adalah purgatif salin, diuretik osmotik,
senyawa protein plasma, dan senyawa yang digunakan untuk menurunkan
tekanan intraokuler dalam glaukoma.

Aksi obat berdasarkan massa fisis


Aksi obat ini menimbulkan efek karena perubahan massa fisis dari obat
tersebut. Pemberian peroral suatu agar dan biji psillium dapat menyerap air dan
mengembang volumenya sehingga mengakibatkan peristaltik dan purgasi.

Aksi obat berdasarkan sifat adsorber)


Suatu material yang partikelnya mempunyai area permukaan adsorpsi
yang luas dapat digunakan untuk pengobatan diarea, misalnya kaolin dan karbon
aktif, atau untuk pengobatan dermatologi.

Aksi obat berdasarkan rasanya


Senyawa yang mempunyai rasa pahit dapat menginduksi keluarnya
asam klorida ke lambung sehingga akan merangsang nafsu makan. Contoh
senyawa adalah gentian.
Aksi obat pengendapan protein
Beberapa desinfektan misalnya fenol beraksi dengan mendenaturasi
protein mikroorganisme. Astringen dan senyawa hemostatik tertentu juga beraksi
mengendapkan dan denaturasi protein sel.

Aksi obat berdasarkan barier fisik


Demulsen mengandung gum musilago atau material minyak yang
digunakan untuk melapisi membran mukosa yang mengalami inflamasi sehingga
dapat
menurunkan iritasi. Misalnya beberapa obat yang digunakan untuk penyakit
iritasi kerongkongan.

Surfaktan
Kelompok utama obat-obat surfaktan meliputi sabun, yang digunakan
sebagai senyawa pembersih kulit, antiseptik dan desinfektan. Aktivitas
antimikroba disebabkan oleh gangguan membran plasma dari mikroorganisme
tersebut. Surfaktan juga digunakan untuk pengobatan flatulen, untuk membantu
laksatif.

Obat radioaktivitas dan radioopasitas


Sifat spesifik dari senyawa tersebut (emisi ionisasi radiasi dan absorpsi x-
ray) berdasarkan struktur nuklear dari konstituen atom. Contoh senyawa ini
131
adalah I pada pengobatan hipertireodisme (radioaktivitas) dan barium sulfat
yang dikenal sebagai bubur barium untuk diagnosa gangguan pada saluran
pencernaan (radioopasitas).

Aksi obat berdasarkan aktivitas asam dan basa


Aktivitas asam dan basa dapat digunakan dalam pengobatan suatu
penyakit. Beberapa penyakit timbul diakibatkan karena kelebihan keasamaan
atau kebasaan di organ tertentu. Obat yang beraksi dengan menetralisasi
kelebihan keasaman atau kebasaan tersebut tergolongan dalam kelompok ini.
Antasida digunakan untuk pengobatan ulser lambung beraksi berdasarkan
aktivitas netralisasi asam lambung oleh kemampuan basanya. Contoh lain dari
obat golongan ini adalah resin yang mengikat anion (kolistiramin) dan kation
(polistiren sulfonat) dalam traktus intestinal, senyawa yang mengibah pH urin
tubular yang digunakan untuk mengubah kecepatan ekskresi dari obat tertentu
yang mudah terionisasi, protamin dan senyawa polibasa lainnya yang
mengantagonis aksi heparin dengan menutupi sifat asamnya.

Senyawa pengoksidasi dan pereduksi


Beberapa desinfektan bereaksi sebagai senyawa pengoksidasi.
Beberapa aksi obat yang berdasarkan perubahan potensial redok dalam eritrosit
adalah pengobatan methaemoglobin dengan metilen blue dan keracunan karbon
monooksida dengan sodium nitrit. Larutan kalium permanganat konsentrasi
rendah digunakan dalam keracunan morfin, strychnin, akotinin dan pikrotoksin
berdasarkan reaksi oksidasi. Akan tetapi pada konsentrasi tinggi dapat
mengakibatkan kerusakan pada beberapa sel.

Senyawa pengkelat
Beberapa obat aksinya berdasarkan pembentukan kelat adalah EDTA
(etilen diamin tetra asetat) dan dimerkaprol yang dapat membentuk komplek
kelat dengan logam-logam seperti timbal atau tembaga sehingga logam tersebut
dapat dikeluarkan dari tubuh.

C.1. AKSI OBAT SPESIFIK


Beberapa obat menghasilkan suatu efek setelah berikatan atau
berinteraksi dengan komponen organisme yang spesifik. Komponen organisme
tersebut biasanya berupa suatu protein. Beberapa obat beraksi sebagai substrat
yang salah
atau sebagai inhibitor untuk sistem transport atau enzim. Kebanyakan obat
menghasilkan efeknya dengan aksi pada molekul yang spesifik dalam
organisme, biasanya pada membran sel. Protein tersebut dinamakan reseptor,
dan secara normal merespon senyawa kimia endogen dalam tubuh. Senyawa
kimia endogen tersebut adalah substansi transmitter sinapsis atau hormon.
Sebagai contoh, asetilkolin merupakan suatu substansi transmitter yang
dilepaskan dan ujung syaraf autonom dan dapat mengaktivasi reseptor pada otot
polos skeletal, mengawali serangkaian kejadian yang menghasilkan kontraksi
otot polos. Senyawa kimia (misalnya asetilkolin) atau obat yang mengaktivasi
reseptor dan menghasilkan respon dinamakan agonis. Beberapa obat dinamakan
antagonis dapat berikatan dengan reseptor, tapi tidak menghasilkan suatu efek.
Antagonis menurunkan kemungkinan substansi transmitter (atau agonis yang
lain) untuk berinteraksi dengan reseptor sehingga lebih lanjut dapat menurunkan
atau mengeblok aksi agonis tersebut.
Aktivasi reseptor oleh suatu agonis atau hormon disertai dengan respon
biokimia atau fisiologi oleh mekanisme transduksi yang senng melibatkan
molekul-molekul yang dinamakan pembawa pesan kedua ("Second
Messengers").
Interaksi antara obat dengan sisi ikatan pada reseptornya tergantung dari
kesesuaian / keterpaduan dari dua molekul tersebut. Molekul yang paling sesuai
dengan reseptor dan mempunyai jumlah ikatan yang banyak (biasanya nor,-
kovalen), yang terkuat akan mengalahkan senyawa yang lain dalam berinteraksi
dengan sisi aktif reseptornya. Oleh karenanya, senyawa tersebut mempunyai
affmitas terbesar terhadap reseptornya. Secara defmitif, afinrtas adalah
kemampuan suatu senyawa / obat dalam berinteraksi dengan reseptor.
Kemampuan obat untuk berinteraksi dengan satu tipe tertentu dari reseptor
dinamakan spesifisitas. Tidak ada spesifik yang sesungguhnya, tetapi beberapa
mempunyai aksi selektif yang relatif pada satu tipe dari reseptor.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa terdapat beberapa komponen
organisme yang digunakan sebagai target aksi suatu obat spesifik yang
mekanismenya diilustrasikan pada gambar 1. Target obat spesifik tersebut
adalah :
¾ Enzim
¾ Kanel ion
¾ Molekul pembawa
¾ Reseptor
Sebenamya terdapat beberapa target aksi obat spesifik lainnya. Sebagai
contoh adalah protein tertentu yang disebut dengan tubulin, sebagai target aksi
dari kolsikin (obat anti-inflamasi dan imunosupresan), protein intraseluler dikenal
sebagai imunofilin merupakan target dari beberapa obat imunosupresif misalnya
siklosporin. Target untuk senyawa kemoterapi yang mempunyai tujuan menekan
invasi mikroorganisme atau sel kanker, meliputi DNA dan konstrtuen dinding sel
merupakan suaru protein target yang belum dimasukkan dalam pembagian di
atas.
Enzim
Beberapa obat mempunyai target aksi enzim disajikan pada tabel I.
Obat yang bekerja pada enzim dibagi menjadi 3 berdasarkan mekanisme
aksinya :
• Inhibitor kompetitif
• Substrat palsu
• Pro-drug

Tabel I beberapa contoh enzim sebagai target aksi obat (Rang et a/., 1999)

Nama enzim Inhibitor Substrat palsu Pro-drug


Asetilkolinesterase Neostaigmin
Organofosfat
Kolin asetiltransferase Hemikolinium
Siklooksigenase Aspirin
Xantin oksidase Allopurinol
Angiotensin-corverting enzim Kaptopril
Karbonik anhidrase
HMG-CoA reduktase Asetazolamid
Dopa dekarboksilase Simvastatin
Monoamin oksidase-A Metil dopa
Monoamin oksidase-B Iproniasid
Dihidrofolat reduktase Seleginin
Trimetropim
Metroteksat
DNA polimerase Sitarabin Sitarabin
Thymidin kinase Asiklovir Kortison
Hidroksilase Enalapril
Neostigmin merupakan suatu inhibitor kompetitif suatu enzim yang
menghambat asetilkolinesterase (gambar 2), sedangkan aspirin dan golongan
obat anti-inflamasi non-steroid lainnya menghambat enzim siklooksigenase.
Sedangkan obat antikanker fluorourasil merupakan suatu substrat palsu, akan
mengalami transformasi kimia untuk membentuk produk abnormal yang
mengganti jalur metabolisme yang normal. Fluorourasil mengganti urasil sebagai
intermediet pada biosintesis purin sehingga tidak dapat terjadi penghambatan
sintesis DNA dan pada akhirnya pembelahan sel terhenti.

Kanel ion
Obat yang mempunyai target aksi kanel ion disajikan pada tabel II.
Berdasarkan mekanismenya dibedakan menjadi 2 yaitu (gambar 1):
• Pengeblok kanel
• Modulator kanel
Aksi obat yang dapat berhubungan dengan kanel (pengeblok kanel)
adalah mengeblok secara fisik kanel ion. Contohnya adalah anastesi lokal pada
kanel natrium yang tergantung voltase atau diuretik amirolid yang mengeblok
pemasukan natrium pada sel tubuler ginjal. Sedangkan beberapa obat yang
beraksi pada reseptor GABA yartu benzodiazepin dan barbiturat merupakan
suatu modulator kanel klorida yang mempunyai sisi aktif pada bagian yang lain
dari kanel. Interaksi senyawa tersebut pada sisi aktif tersebut dapat memodulasi
terbukanya kanel klorida.
Tabel II beberapa contoh kanel ion
sebagai target aksi obat (Rang et a/., 1999)
Nama kanel ion Pengeblok Modulator
Voltage-gated Na+ channels Analstesi lokal Veratridin
Renal tubule Na+ channels Amirolid Aldosteron
Voltage-gated Ca2+ channels Dihidropiridin
Agonis β-adrenergik
Voltage-gated K+ channels 4-aminopiridin
ATP-sensitive Na+ channels ATP Sulfonilurea
GABA-gated Cl channels Pikrotoksin Benzodiazepin
Barbiturat
Molekul Pembawa
Transport molekul organik kecil dan ion menembus membran sel
biasanya membutuhkan protein pembawa karena molekul tersebut terlalu polar
untuk menembus mebran sel. Terdapat beberapa contoh molekul pembawa
disajikan pada tabel III. Protein pembawa mempunyai sisi aktif terhadap
senyawa yang akan dibawanya dan bersifat spesifik. Sebagai contoh obat yang
bekerja pada molekul pembawa adalah hemikolinium yang dapat menghambat
pembawa klonik pada ujung syaraf autonom (gambar 2). Sebagai ilustrasi
interaksi suatu senyawa terhadap molekul pembawa disajikan pada gambar 1.

Gambar 2. Pelepasan asetilkolin pada ujung


syaraf autonom (Rang et a/., 1999)
Tabel III beberapa contoh molekul pembawa sebagai target aksi obat
(Rang et at., 1999)

Molekul pembawa Inhibitor Substrat palsu


Pembawa kolin Hemikolinium
Pengambilan Noradrenalin 1 Trisiklik antidepresan Amfetamin
Kokain Metildopa
Pengambilan Noradrenalin Reserpin
(vesikuler)
Pembawa asam lemah Probenesid
Na+/K+/2CI- co-transporter Loop diuretik
Pompa Na+/K+ Glikosida jantung
Pompa proton Omeprazol

Reseptor
Reseptor merupakan suatu molekul target yang jetas dan spesifik
terdapat dalam organisme, tempat molekul obat (agonis) berinteraksi membentuk
suatu komplek yang reversibel sehingga pada akhirnya menimbulkan respon.
Reseptor dengan beberapa agonis misalnya hormon, substansi transmitter,
faktor pertumbuhan dan sitokin dapat membentuk suatu komplek dan pada
akhirnya akan menstimulasi peristiwa-peristiwa biokimia dan pada akhirnya
menimbulkan efek. Suatu senyawa yang dapat mengaktivasi reseptor sehingga
menimbulkan respon adalah agonis. Selain itu, senyawa yang dapat membentuk
komplek dengan reseptor tapi tidak dapat menimbulkan respon dinamakan
antagonis. Sedangkan senyawa yang mempunyai aktivitas diantara dua
kelompok tersebut dinamakan agonis parsial. Pada suatu kejadian dimana tidak
semua reseptor diduduki atau berinteraksi dengan agonis untuk menghasilkan
respon maksimum, sehingga seolah-olah terdapat kelebihan reseptor, kejadian
ini dinamakan reseptor cadangan (spare reseptor). Sebagai ilustrasi interaksi
baik agonis maupun antagonis terhadap reseptor disajikan pada gambar 1.
Contoh dari agonis adalah asetilkolin yang bekerja pada reseptor
asetilkolin nikotinik, sedangkan antagonisnya adalah tubokurarin. Menarik disini
adalah bahwa ternyata terdapat reseptor yang mempunyai beberapa sub-unit
yang dibedakan dari organ reseptor tersebut dan respon yang ditimbulkan
misalnya reseptor histamin yang terdiri reseptor H-1, H-2 dan H-3. Mepiramin
dan ranitidin berturut-turut merupakan antagonis H-1 dan H-2. Beberapa agonis
dan antagonis pada beberapa reseptor disajikan pada tabel IV.

Tabel IV beberapa contoh reseptor sebagai


target aksi obat (Rang et a/., 1999)
Reseptor Agonis Antagonis
Asetilkolin nikotinik Asetilkolin Tubokurarin
Nikotin
β-adrenoreseptor Noradrenalin Propanolol
Isoprenalin
Histamin-1 (H-1 reseptor) Histamin Mepiramin
Histamin-2 (H-2 reseptor) Impromidin Ratinidin
Opiat (n-reseptor) Morfin Nalokson
5-HT2 5-HT Ketanserin
Dopamin Dopamin Klorpromasin
Insulin Insulin
Estrogen Etinilestradiol Tamoksifen
Progesteron Noretisteron Danazol

Beberapa reseptor telah dapat diidentifikasi susunan asam aminonya. Empat tipe
utama reseptor adalah sebagai berikut:
1. Agonist (ligand) gated channels. Tersusun dari subunit protein yang
membentuk sebuah pori (celah) central.
2. G-Protein coupled reseptors. Membentuk sebuah familia reseptor dengan
tujuh helik yang merentang membran. Reseptor tersebut terhubung ke
respon fisiologi oleh pembawa pesan kedua.
3. Steroid and thyroid hormones reseptors. Reseptor tersebut terdapat dalam
inti sel dan mengaturtranskripsi dan sintesis protein.
4. Insulin reseptors. Reseptor tersebut secara langsung terhubung pada
tyrosine kinase.
Pertanyaan
1. Bagaimana sifat ikatan antara obat atau agonis dengan target aksinya
2. Sebutkan dan jelaskan ikatan-ikatan yang memperantarai interaksi obat
dengan target aksinya!
3. Mengapa histamin, adrenergik dan asetiikolin mempunyai beberapa sub-tipe,
jelaskan ?

Anda mungkin juga menyukai