1
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983), 14.
2
B.J. Boland, Pergumulan Islan di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, cetakan
pertama), 113.
Sesuai dengan perkembangan Departemen ini, strukturnya
berkembang, yang awalnya hanya terdiri dari empat seksi, sekarang
terdiri dari lima direktorat jenderal, yaitu : Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Protestan, dan Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu Budha. Menteri agama juga dibantu oleh
loembaga Inspektorat Jenderal, Sekretariat Jenderal, Badan
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama serta Pusat
Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.
2. Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya
Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai
mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat dalam bulan desember 1945 menganjurkan agar pendidikan
madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar
memberikan bantuan pada madrasah. Departemen agama dengan
segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran
dan pendidikan agama Islam, mengawasi pengangkatan guru-guru
agama, dan mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946,
Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang
diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada tahun
1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman
Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun
rencana pembangunan pendidikan Islam. Dalam rencananya,
ibtidaiyah selama 6 tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan
tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud Yunus juga menyarankan agar
pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum yang disetujui
oleh konferensi pendidikan se-Sumatera di Padang Pajang, 2-10
Maret 1947.
Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami
kemandegan karena terjadi aksi militer Belanda kedua. Setelah
revolusi selesai, usaha untuk mengkoordinasikan sekolah-sekolah
agam dimulai kembali, bukan saja untuk Jawa dan Sumatera,
melainkan seluruh Indonesia. Lembaga-lembaga yang didirikan
seperti : Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun),
Aliyah (3 tahun), Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan
sekolah dasar baik umum maupun agama, 2 tahun lulusan SMP atau
tsanawiyah), Sekolah Guru, dan Hakim Agama Islam/ SGHA (4
tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah). Dua sekolah yang terakhir
mengalami perubahan pada tahun 1953. PGA menjadi 6 tahun, 4
tahun bagian pertama dan 2 tahun bagian atas, Sedangkan, SGHA
dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim
Islam Negeri/PHIN (4 tahun bagi lulusan PGA 4 tahun).
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di
Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud
Yunus membuka Islamic College petama tanggal 9 Desember 1945
di Padang, yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas
Pendidikan dan Bahasa Arab.
Perguruan Tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas
keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun
1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII
dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tangal 26
September 1951 secara resmi dbuka perguruan Tinggi baru dengan
nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah
pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta
didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini
dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang
berdinas dalam pemerintahan dan untuk pengajaran agama di
sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian
Agama.
IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, ada 14 buah
IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus, Juga
bermula dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun1980-an,
dibuka Program Pascasarjana IAIN dan beberapa tahun kemudian
IAIN Alauddin Ujung Pandang dan IAIN Syiah Kuala, Aceh, juga
membuka program yang sama. Sampai tahun 1992, Program
Pascasarjana IAIN Jakarta sudah mengeluarkan puluhan orang
doktor.
3. Hukum Islam
Lembaga Islam yang penting yang ditangani oleh Departemen
Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia
membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat
pribadi.Hukum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai dan
rujuk (faraidh), wakaf, hibah, dan sangat baitul mal. Keberadaan
lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah
kelanjutan dari masa kolonial Belanda.
Kemantapan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional
semakin meningkat setelah Undang-Undang Peradialan Agama
ditetapkan tahun 1989.Undang-Undang Peradilan Agama ini
merupakan kelengkapan dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) UU
No. 14/1970 disebutkan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan
Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagai suatu undang-undang lain untuk mengatur empat lingkungan
peradilan yang diundangkan dalam UU itu, antara lain UU tentang
Peradilan Agama.
Berkenaan dengan itu, Ismail Suny mengatakan bahwa selama
Orde Baru ada tiga undang-undang yang merupakan tonggak-
tonggak penting bagi umat Islam, yaitu UU no. 14/1970, UU
no.I/1974, dan UU no. 7/1989. Dengan tiga undang-undang tersebut,
berlakulah hukum Islam dalam tata Hukum Nasional di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah.
4. Haji
Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji.Di
masa penjajahan tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927 ketika
sekitar 52.000 orang pergi ke Mekah.Sungguhpun angka itu baru
pada tahun-tahun terakhir terlewati, tetapi umumnya dalam keadaan
biasa jumlah jamaah meningkat cepat karena memang keinginan
menunaikan ibadah haji semakin kuat.Angka tertinggi sampai tahun
1992, yaitu sekitar 107.000 orang jamaah haji Indonesia
diberangkatkan.
Sejak awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah,
termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah
suci.Bahkan dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jamaah
haji) Indonesia ditunjuk.
Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat islam Indonesia
ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam
penyelenggraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham
diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak
terwujud.Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan.Pada
tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan Haji Indonesia,
didirikan di Jakarta.Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan
itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank
Haji Indonesia, dan sebuah perusahan kapal, Perlayaran Muslimin
Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi sepuluh tahun kemudian
perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam
mencarter kapal dari perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai
kapal sendiri. Cara ini ditempuh sampai tahun 1962, ketika MUSI
dibekukan oleh pemerintah, mungkin sekali karena pertimbangan
politik.Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, Petugas Haji
Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan
naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah
anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.
Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru,
Perseroan Terbatas “ Arafat” didirikan dengan modal dari para
jemah haji atau calon jemaah itu sendiri. Dan pada tahun 1964,
panitia perbaikan haji diganti dengan badan baru, Dewan Urusan
Haji. Dewan ini mengajak PHI untuk kembali mengurus jemaah haji,
tetapi campur tangan pemirintah di dalamnya semakin besar, karena
tanggung jawab penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah
setempat. Namun semua usaha yang dilakukan tidak ada yang
berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh, tahu 1966, organisasi-
organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatan penyelenggaraan
perjalanan haji. Banyak umat Islam yang menjadi korban dari
kegiatan ini, ada jamaah yang tidak dapat berangkat atau dibiarkan
tanpa layanan dalam perjalanan. Ini merupakan salah satu sebab
mengapa pemerintah pada tahun 1970 memegang monopoli
perjalanan haji.3
Alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam
perjalanan penyelenggaraan haji adalah sebagai
berikut: Pertama, pemerintah merasa bertanggung jawab atas
penyelenggaraan perjalanan haji agar masyarakat merasa tenteram
dan terjamin. Kedua, kemungkinan faktor laba juga menjadi
perhatian pemerintah. Kalau pun hal ini tidak dimaksudkan untuk
dikejar, tetapi sekurang-kurangnya uang masuk secara ekstra dapat
juga dicatat. Uang ini, karena tiap jamaah dibebankan tambahan
3
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983), 108.
biaya untuk berbagai dana, mempermudah usaha pemerintah
memberikan bantuan ke berbagai proyek yang bermanfaat bagi umat
Islam, seperti penyelesaian pembagunan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan
Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji
Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping
itu, pemerintah masih perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing
Ibadah Haji (TPIH). Sesuai dengan aspirasi sebagian masyarakat,
sejak awal tahun 1980-an, dikenal adanya Ongkos Naik Haji (ONH)
Plus, yang tentu berbeda dengan ONH biasa dalam hal pelayanan.
Karena “kelebihan” pelayanan itu, maka biayanya juga lebih mahal
dari ONH biasa.