Anda di halaman 1dari 13

A.

Islam Indonesia Pada Masa Revolusi


Pada awal kemerdekannya, Indonesia menghadapi sebuah
pertanyaan besar, apakah pemerintahan akan dijalankan berlandaskan
ajaran agama Islam ataukah secara sekuler? Hal ini dipicu oleh tindakan
dimentahkannya kembali Piagam Jakarta. Kedudukan golongan Islam
merosot dan dianggap tidak bisa mewakili jumlah keseluruhan umat
Islam yang merupakan mayoritas. Misalnya saja, dalam KNIP dari 137
anggotanya, umat islam hanya diwakili oleh 20 orang, di BPKNIP yang
beranggotakan 15 orang hanya 2 orang tokoh Islam yang dilibatkan.
Belum lagi dalam kabinet, hanya Menteri Pekerjaan umun dan Menteri
Negara yang di percayakan kepada tokoh Islam, padahal Umat Islam
mencapai 90% di Indonesia.
Dalam usaha untuk menyelesaikan masalah perdebatan ideologi
diambilah beberapa keputusan. Mereka menganjurkan suatu negara
yang mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintah
mengakui nilai keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan
kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah, Departemen Agama
didirikan.
1. Departemen Agama
Departemen Agama (dulu namanya Kementerian Agama)
didirikan pada masa Kabinet Syahrir pada tanggal 3 Januari 1946.
Menteri Agama yang pertama adalah M.Rasyidi yang diangkat pada
tanggal 12 Maret 1946. Usaha untuk mendirikan departemen itu
mulanya mendapat halangan dari para perumus UUD 1945, ketika
PPKI mengadakan rapat pada tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi
Komite Nasional pusat (KNIP), pada tanggal 11 November 1945
mengusulkan pendiriannya. Usul itu diprakarsai oleh K.H.
Abudardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan M. Sukoso Wirjosaputro,
kesemuannya adalah anggota KNIP dari daerah Banyumas. Usul itu
mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr. Marzuki
Mahdi, dan M Kartusodarmo (semuannya anggota KNIP) dan
disetujui oleh badan legislatif tersebut 1 . Dapat dikatakan, bahwa
berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pihak
pemerintah kala itu dengan keinginan mayoritas Muslim.
Sebelum terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan
mengenai apakah kmenterian ini akan dinamakan Kementerian
Agama Islam atau Kementerian Agama. Akhirnya, diputuskan
menjadi Kementerian Agama, yang pertama-tama mempunyai tiga
seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing untuk kaum
Muslimin, umat Prostetan, umat Katolik Roma, dan umat Hindu-
Budha (dulu disebut agama Hindu Bali). Karena ia tidak mengatur
hanya satu agama, tetapi lima agama yang diakui Indonesia, maka,
pemimpin politik Indonesia mengatakan, bahwa Indonesia bukahlah
negara sekuler dan bukan juga negara agama. Dasar pertama dari
Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dianggap memadai untuk
mrmbenarkan adanya Departemen Agama ini.
Tujuan dan Fungsi Departemen Agama (dirumuskan pada 1967)
adalah sebagai berikut:2
a. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah
serta membimbing perguruan-perguruan agama.
b. Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan
Agama dan keagamaan.
c. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
d. Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
e. Mengurus dan mengembangkan IAIN, perguruan tinggi agama
swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi
pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.
f. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan ibadah
haji.

1
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983), 14.
2
B.J. Boland, Pergumulan Islan di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, cetakan
pertama), 113.
Sesuai dengan perkembangan Departemen ini, strukturnya
berkembang, yang awalnya hanya terdiri dari empat seksi, sekarang
terdiri dari lima direktorat jenderal, yaitu : Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Protestan, dan Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Hindu Budha. Menteri agama juga dibantu oleh
loembaga Inspektorat Jenderal, Sekretariat Jenderal, Badan
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama serta Pusat
Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.

2. Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya
Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai
mendapat perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat dalam bulan desember 1945 menganjurkan agar pendidikan
madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar
memberikan bantuan pada madrasah. Departemen agama dengan
segera membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran
dan pendidikan agama Islam, mengawasi pengangkatan guru-guru
agama, dan mengawasi pendidikan agama. Pada tahun 1946,
Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru agama, 45 orang
diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada tahun
1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman
Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun
rencana pembangunan pendidikan Islam. Dalam rencananya,
ibtidaiyah selama 6 tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan
tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud Yunus juga menyarankan agar
pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum yang disetujui
oleh konferensi pendidikan se-Sumatera di Padang Pajang, 2-10
Maret 1947.
Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami
kemandegan karena terjadi aksi militer Belanda kedua. Setelah
revolusi selesai, usaha untuk mengkoordinasikan sekolah-sekolah
agam dimulai kembali, bukan saja untuk Jawa dan Sumatera,
melainkan seluruh Indonesia. Lembaga-lembaga yang didirikan
seperti : Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun),
Aliyah (3 tahun), Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan
sekolah dasar baik umum maupun agama, 2 tahun lulusan SMP atau
tsanawiyah), Sekolah Guru, dan Hakim Agama Islam/ SGHA (4
tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah). Dua sekolah yang terakhir
mengalami perubahan pada tahun 1953. PGA menjadi 6 tahun, 4
tahun bagian pertama dan 2 tahun bagian atas, Sedangkan, SGHA
dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim
Islam Negeri/PHIN (4 tahun bagi lulusan PGA 4 tahun).
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di
Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud
Yunus membuka Islamic College petama tanggal 9 Desember 1945
di Padang, yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas
Pendidikan dan Bahasa Arab.
Perguruan Tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas
keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun
1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII
dipisahkan dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tangal 26
September 1951 secara resmi dbuka perguruan Tinggi baru dengan
nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah
pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta
didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini
dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para pejabat yang
berdinas dalam pemerintahan dan untuk pengajaran agama di
sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi
Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian
Agama.
IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, ada 14 buah
IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus, Juga
bermula dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun1980-an,
dibuka Program Pascasarjana IAIN dan beberapa tahun kemudian
IAIN Alauddin Ujung Pandang dan IAIN Syiah Kuala, Aceh, juga
membuka program yang sama. Sampai tahun 1992, Program
Pascasarjana IAIN Jakarta sudah mengeluarkan puluhan orang
doktor.

3. Hukum Islam
Lembaga Islam yang penting yang ditangani oleh Departemen
Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia
membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat
pribadi.Hukum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai dan
rujuk (faraidh), wakaf, hibah, dan sangat baitul mal. Keberadaan
lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah
kelanjutan dari masa kolonial Belanda.
Kemantapan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional
semakin meningkat setelah Undang-Undang Peradialan Agama
ditetapkan tahun 1989.Undang-Undang Peradilan Agama ini
merupakan kelengkapan dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan-
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) UU
No. 14/1970 disebutkan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan
Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara.
Sebagai suatu undang-undang lain untuk mengatur empat lingkungan
peradilan yang diundangkan dalam UU itu, antara lain UU tentang
Peradilan Agama.
Berkenaan dengan itu, Ismail Suny mengatakan bahwa selama
Orde Baru ada tiga undang-undang yang merupakan tonggak-
tonggak penting bagi umat Islam, yaitu UU no. 14/1970, UU
no.I/1974, dan UU no. 7/1989. Dengan tiga undang-undang tersebut,
berlakulah hukum Islam dalam tata Hukum Nasional di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah.

4. Haji
Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji.Di
masa penjajahan tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927 ketika
sekitar 52.000 orang pergi ke Mekah.Sungguhpun angka itu baru
pada tahun-tahun terakhir terlewati, tetapi umumnya dalam keadaan
biasa jumlah jamaah meningkat cepat karena memang keinginan
menunaikan ibadah haji semakin kuat.Angka tertinggi sampai tahun
1992, yaitu sekitar 107.000 orang jamaah haji Indonesia
diberangkatkan.
Sejak awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah,
termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah
suci.Bahkan dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jamaah
haji) Indonesia ditunjuk.
Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat islam Indonesia
ingin mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam
penyelenggraan perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham
diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini tidak
terwujud.Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan.Pada
tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan Haji Indonesia,
didirikan di Jakarta.Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan
itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank
Haji Indonesia, dan sebuah perusahan kapal, Perlayaran Muslimin
Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi sepuluh tahun kemudian
perusahaan MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam
mencarter kapal dari perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai
kapal sendiri. Cara ini ditempuh sampai tahun 1962, ketika MUSI
dibekukan oleh pemerintah, mungkin sekali karena pertimbangan
politik.Setahun sebelumnya, pada tahun 1961, Petugas Haji
Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan kemudahan-kemudahan
naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI adalah
anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.
Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru,
Perseroan Terbatas “ Arafat” didirikan dengan modal dari para
jemah haji atau calon jemaah itu sendiri. Dan pada tahun 1964,
panitia perbaikan haji diganti dengan badan baru, Dewan Urusan
Haji. Dewan ini mengajak PHI untuk kembali mengurus jemaah haji,
tetapi campur tangan pemirintah di dalamnya semakin besar, karena
tanggung jawab penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah
setempat. Namun semua usaha yang dilakukan tidak ada yang
berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh, tahu 1966, organisasi-
organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatan penyelenggaraan
perjalanan haji. Banyak umat Islam yang menjadi korban dari
kegiatan ini, ada jamaah yang tidak dapat berangkat atau dibiarkan
tanpa layanan dalam perjalanan. Ini merupakan salah satu sebab
mengapa pemerintah pada tahun 1970 memegang monopoli
perjalanan haji.3
Alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam
perjalanan penyelenggaraan haji adalah sebagai
berikut: Pertama, pemerintah merasa bertanggung jawab atas
penyelenggaraan perjalanan haji agar masyarakat merasa tenteram
dan terjamin. Kedua, kemungkinan faktor laba juga menjadi
perhatian pemerintah. Kalau pun hal ini tidak dimaksudkan untuk
dikejar, tetapi sekurang-kurangnya uang masuk secara ekstra dapat
juga dicatat. Uang ini, karena tiap jamaah dibebankan tambahan

3
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983), 108.
biaya untuk berbagai dana, mempermudah usaha pemerintah
memberikan bantuan ke berbagai proyek yang bermanfaat bagi umat
Islam, seperti penyelesaian pembagunan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan
Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji
Daerah (TPHD), Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping
itu, pemerintah masih perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing
Ibadah Haji (TPIH). Sesuai dengan aspirasi sebagian masyarakat,
sejak awal tahun 1980-an, dikenal adanya Ongkos Naik Haji (ONH)
Plus, yang tentu berbeda dengan ONH biasa dalam hal pelayanan.
Karena “kelebihan” pelayanan itu, maka biayanya juga lebih mahal
dari ONH biasa.

5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia
dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan
Majelis Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan
dengan agama hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh
ulama.Karena itu kerjasama antara pemerintah dan ulama perlu
terjalin dengan baik.Pertama kali majelis ulama didirikan pada masa
pemerintahan SMajelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah
karena diperlukan untoekarno.uk menjamin keamanan. Di jawa barat
berdiri pada tanggal 12 Juli 1958, diketuai oleh seorang panglima
militer. Setelah keamanan sudah pulih dari pemberontakan DI-TII
tahun 1961,Majelis Ulama ini bergerak dalam kegiatan-kegiatan di
luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan pendidikan.
Dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disah kan
dalam kongres tersebut, disebutkan bahwa Majelis Ulama Indonesia
berfungsi:
a. Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan
dan kepadapemerintah dan umat Islam umumnya sebagai
amar ma’ruf nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan
ketahanan nasional.
b. Mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta
meningkatkan suasana kerukunan antar umat beragama
dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
c. Mewakili islam dalam konsultasi antar umat beragama.
d. Penghubung antra ulama dan umara (pemerintah) serta
menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat
guna menyukseskan pembangunan nasional.

Dalam periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum


Majelis Ulama ini dipegang oleh Prof. Dr. Hamka yang terpilih
kembali untuk masa jabatan 1980-1985. Tidak lama setelah itu, ia
mengundurkan diri. Dia digantikan oleh K.H. Syukri Ghozali.
Namun, yang disebut terakhir ini meninggal dunia pada tanggal 20
September 1984, sebelum masa jabatannya berakhir. Dia kemudian
digantikan oleh K.H.E.Z. Muttaqin. Jabatan ketua MUI periode
1985-1990 dan periode 1990-1995 dipegang oleh K.H. Hasan Basri.

B. Peran Islam dalam Kemerdekaan


Ajaran Islam yang dipeluk oleh sebagaian besar rakyat Indonesia
telah memberikan kontribusi besar, serta dorongan semangat, dan
sikap mental dalam perjuangan kemerdekaan. Tertanamnya “RUHUL
ISLAM” yang di dalamnya memuat antara lain :
1. Jihad fi Sabilillah, telah memperkuat semangat rakyat untuk
berjuang melawan penjajah ( Sartono Kartodirdjo, 1982). Dengan
semangat Jihad, umat akan melawan penjajah yang zhalim,
termasuk perang suci, bila wafat syahid, surga imbalannya.
2. Ijin Berperang Dari Allah SWT. (Q.S. Al Haj : 39) “ Telah diijinkan
berperang bagi orang-orang yang diperangi, sesungguhnya mereka
itu dijajah/ditindas, maka Allah akan membela mereka (yang
diperangi dan ditindas)”.
3. Symbolbegrijpen (Simbol kalimat yang dapat menggerakkan
rakyat), yaitu “TAKBIR” Allahu Akbar, selalu berkumandang
dalam era perjuangan umat Islam di Indonesia.
4. “Khubul Wathon minal Iman”, cinta tanah air sebagian dari Iman,
menjadikan semangat Partiotik bagi umat Islam dalam melawan
penjajahan.

Pada kesimpulannya Dr. Douwwes Dekker ( Setyabudi Danudirdja)


menyatakan bahwa :“Apabila Tidak ada semangat Islam di Indonesia,
sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari Indonesia”

Dengan demikian ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini,


punya peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat diabaikan
dalam perjuangan di Indonesia.

Dan ternyata agama islam tertanam begitu kokoh dalam nurani


bangsa Indonesia, sehingga semangat perjuangan mereka, khususnya
para pahlawan kita tidak pernah pudar sedikitpun sampai titik darah
penghabisan.

Islam telah mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi


kebenaran, kejujuran dan kesucian. Karena itu jika kaum penjajah
berani menghancurkan kebenaran dan kejujuran, serta berani menodai
kesucian, mereka akan membelanya pantang menyerah. Islam juga
mendidik karakter bangsa Indonesia kayakinan akan adanya hidup di
balik maqam, keyakinan dan adanya ancaman keburukan serta balasan
atas kebaikan. Maka untuk membela kebenaran mereka bersedia
berjihad di jalan Allah. Demikian pula Islam juga mendidik karakter.
Perlu diketahui bahwa perjuangan membela kebenaran, menegakkan
perikemanusiaan dan perikeadilan termasuk menolong agama Allah.
Sungguh, begitu besar jasa Islam di masa lalu, maka kepada para
penulis sejarah hendaklah tidak mengecilkan peran umat Islam di
nusantara ini, sehingga para generasi penerus tidak buta terhadap peran
Islam dan umatnya tersebut.

Setelah 66 tahun kemerdekaan negeri ini, adalah sebuah kepatutan


bagi umat Islam Indonesia untuk mengambil peran besar dalam
pembangunan ini seperti besarnya umat Islam di masa lalu. Sebab jika
peran kita lebih besar, kita akan mampu menentukan arah
pembangunan yang lebih manusiawi, hingga insyaallah dapat
melepaskan diri dari penyakit peradaban kita yakni KKN (Korupsi,
Kolusi, dan Nepostisme).

C. Peradaban Islam dan Negara Pancasila


Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang
menyatakan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah darahnya.
Keinginan untuk bersatu, persamaan nasib akan melahirkan rasa
nasionalitas yang berdampak pada munculnya kepercayaan diri, rasa
yang amat diperlukan untuk mempertahankan diri dalam perjuangan
menempuh suatu keadaan yang lebih baik. Dua faktor penyebab
munculnya nasionalisme, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor
pertama sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap penjajah yang
menimbulkan perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan atau
peperangan. Sedang faktor kedua sebagai renaissance yang dianggap
simbol kepercayaan atas kemampuan diri sendiri.
Selain kondisi bangsa Indonesia berada dalam dominasi politik,
militer dan ekonomi bangsa-bangsa asing, nasionalisme Natsir muncul
atas dorongan ajaran agama yang diyakininya yang mewajibkan kepada
setiap Muslim untuk mencintai tanah airnya. Karena itu, nasionalisme
merupakan bagian dari Islam yang selalu mengajarkan agar mengenal
kebudayaan dan bangsa-bangsa lain tanpa menanggalkan pribadinya
sebagai Muslim. Inilah yang dimaksud nasionalisme Islami, yaitu
orang-orang yang tetap komitmen pada pandangan bahwa negara dan
masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama yang, -dalam arti
luas-, bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
melainkan juga hubungan antara sesama manusia, sikap manusia
terhadap lingkungannya, alam dan lain-lain sebagainya. Sementara
nasilonalis sekuler sebaliknya, yakni tanpa perhatian melihat
keterpautannya dengan agama.
Wajar jika nasionalisme dan Islamisme selalu hadir berdampingan
dalam sejarah bangsa Indonesia, bahkan selama masa penjajahan,
agama menjadi aspek yang menegaskan perjuangan nasional. Selain
organisasi-organisasi nasional, seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond,
Jong Batak, Jong Ambon dan lainnya, tidak sedikit gerakan-gerakan
yang berasaskan ke-Islam-an banyak yang tampil menjadi pelopor dan
penggerak bangkitnya nasionalisme. Artinya kekuatan nasionalisme dan
Islamisme melebur menjadi satu dalam memerangi segala bentuk
penjajahan. Bahkan dalam sejarah Indonesia, keduanya menjadi
kekuatan besar yang terpadu dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Bahkan pergerakan organisasi keagamaan sejak awal telah memiliki
kesadaran kebangsaan dan nasionalisme.Wadah-wadah seperti
Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, dan lainnya
telah berhasil menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian.
Organisasi ini memulai gerakannya dengan menanamkan persaudaraan
antar sesama rakyat yang berada di luar batas Indonesia dengan ikatan
ke-Islam-an. Karena itu, ikatan persaudaraan yang melewati lintas etnik,
budaya, politik tersebut terus dipertahankan secara konsisten.Sebab,
persaudaraan yang diikat oleh kesadaran keagamaan ini menjadi benih-
benih tumbuhnya sikap nasionalsime dan kesadaran mempertahankan
NKRI.
Kaitannya hubungan antara Islam dan negara, pemikiran Natsir
berorientasi pada paradigma integralistik; yaitu penyatuan antara agama
dan negara secara utuh. Artinya, dirinya menentang gagasan yang lebih
menyukai pemisahan antara agama dan negara (sekularistik). Uraian
kenegaraan menurutnya menjadi satu bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari Islam. Karena itu, tujuan terbentuknya suatu negara
adalah untuk melaksanakan undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan
dengan kehidupan individu maupun sosial. Natsir tidak menentukan
model negara yang dikehendaki oleh Islam, sebab bentuk negara
menurutnya merupakan urusan keduniaan. Karena itu, manusia
memiliki kebebasan menentukan model suatu negara yang hendak
dibentuknya. Monarki boleh, republik pun tidak dilarang. Ia lebih
menekankan pada sisi aplikasi penyelenggaraan suatu negara. Namun
ketika mengusulkan ide-idenya, kelihatannya ia lebih cenderung pada
bentuk negara republik ketimbang monarki. Hal ini dapat dilihat dari
pemikirannya mengenai demokrasi, penekanannya terhadap sistem
syura (musyawarah) dalam proses pengambilan keputusan, yang
tampak lebih dominan.

Anda mungkin juga menyukai