Anda di halaman 1dari 23

EKSISTENSI KEMENTERIAN AGAMA SEBAGAI INSTITUSI

HUKUM DI INDONESIA DALAM TINJAUAN POLITIK HUKUM


Makalah Institusi Hukum
Oleh
M. Faizurrizqi Al-Farisi AD (200201210002)
Dosen Pengampu : Dr. Supriyadi, M.H.

PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2021
A. Pendahuluan
Belakangan ini perkembangan institusi hukum di Indonesia mengarah pada
tuntutan pelaksanaan pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita dari reformasi.
Akibat perkembangan yang terjadi tersebut, pemerintah tidak hanya dituntut
memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, namun juga dapat
melaksanakan fungsinya secara efektif dan efisien sesuai kaidah administrasi
negara agar terwujud pelayanan yang maksimal. Pelayanan pemerintah ditujukkan
untuk melayani masyarakat di berbagai sector pelayanan publik. Untuk
mempermudah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, pemerintah
menggolongkan sektor pelayanan yang dinaungi oleh kementerian atau institusi
pemerintahan. Kementerian atau instansi ini berbentuk organisasi yang mempunyai
sistem yang terstruktur dalam roda kerjanya.
Seperti halnya urusan atau hak yang mestinya diperoleh masyarakat beragama
di Indonesia, khususnya yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan,
dalam hal ini Pemerintah menyediakan Kementerian Agama (Kemenag) sebagai
wadah/ perpanjangan tangan dari Pemerintah dalam menyediakan
keperluan/kebutuhan masyarakat beragama di Indonesia. Kemenag merupakan
organisasi (institusi) pelaksana teknis penyelenggaraan kegiatan pemerintah dalam
bidang keagamaan, dimana konsistensinya sangat vital di Negara republik
Indonesia yang memiliki berbagai macam agama.1 Karena menangani bidang
keagamaan, sudah barang tentu Kemenag harus lebih siap dalam memberikan
pelayanan kepada seluruh masyarakat Indonesia, bahkan harus mampu menjadi
tolak ukur bagi pelaksanaan kegiatan bagi setiap instansi, mengingat berposisi
diatas nama agama. Maka dari itulah Kemenag harus mampu memberikan inspirasi,

1
Tim Penulis Kementerian Agama RI, Rencana Strategis Kementerian Agama tahun 2020-2024,
(Jakarta: Kemenag RI, 2020), 58.

1
baik dalam bentuk pemikiran maupun budaya yang mampu diadopsi oleh
masyarakat.
Jika meninjau kembali sejarah kelahiran daripada Kementerian Agama, maka
tidak lepas dari dinamika politik hukum yang sedang bergejolak pada masa-masa
menjelang pendiriannya. Hal ini tak lain karena masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat yang majmuk atau multi-agama, maka salah satu dari banyaknya
landasan politik hukum atas pembentukan Kementerian Agama adalah diharapkan
agar bisa memenuhi kebutuhan umat beragama di Indonesia. Namun dalam proses
pembentukan tersebut nyatanya tidak mudah, terdapat banyaknya gejolak yang
mewarnai antara lain pro dan kontra atas pendirian institusi tersebut.
Kemudian lambat laun setelah Kemenag melewati masa gejolak atas
kelahirannya kini dituntut dengan tugas yang tidak bisa dianggap remeh, karena
langsung bersentuhan dengan agama, kita tahu agama di Indonesia merupakan
suatu hal yang sangat sensitif, apabila tersentuh dengan perasaan tersinggung maka
umat beragama menjadi marah hingga berujung pada amukan massa di berbagai
tempat. Hal inilah yang kemudian juga menjadi aspek kehati-hatian dalam
memberikan pelayanan terhadap umat beragama, namun tetap memperhatikan
objektifitas kinerja seperti yang didasarkan pada Keputusan Menteri Agama Nomor
2 Tahun 2010, bahwa visi Kementerian Agama adalah “Terwujudnya masyarakat
Indonesia yang taat beragama, rukun, cerdas, mandiri dan sejahtera lahir bathin”.2
Uniknya daya tahan Kementerian Agama ditengah dinamika umat beragama
dan tuntutan tanggungjawab kerja perlu layaknya untuk dikaji, terutama dari segi
aspek politik hukum, karena dari sinilah akan diketahui secara mendalam landasan
filosofis dan pertimbangan sosiologis eksistensi Kementerian Agama hingga bisa
tetap konsisten menjalankan fungsi dan perannya, oleh hal itu maka perlunya
penelusuran terkait dengan sejarah, tranformasi, kewenangan, spesialisasi, dan
produk hukum Kemenag sebagai institusi hukum di Indonesia.

2
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian
Agama Tahun 2010 - 2014

2
B. Pembahasan
1. Eksistensi Kementerian Agama dalam Perspektif Politik Hukum
Dalam mengkaji aspek politik hukum dalam eksistensi Kementerian Agama di
Indonesia maka tak lepas dari latar belakang dengan melalui kegiatan pemaparan
sejarah, penulis akan memulai sejarah berdirinya Kementerian Agama Indonesia
ini terbentuk awal mulanya sebagai salah satu strategi yang diharapkan bangsa
Jepang untuk memperoleh simpati dari bangsa Indonesia, khususnya umat Islam,
mulanya bangsa Jepang membentuk badan yang mengurusi tentang keagamaan,
bernama Shumubu,3 atau Kantor Kementerian Agama yang bertugas mengamati
semua urusan keagamaan dan umat Islam. Kantor ini dikepalai oleh Kolonel Horie
Chozo, seorang arsitek yang membidangi usaha pemerintah penjajahan Jepang di
Jawa. Dalam beberapa bulan, pegawai Shumubu semuanya berasal dari bangsa
Jepang, sampai bangsa Indonesia dan komunitas orang Arab dan kantor Biro
Urusan Indonesia (Bureau for Indonesia Affairs) di bawah kekuasaan Belanda
diperkenankan untuk bekerja disana.
Meskipun K.H. Hasyim Asy’ari diberi tanggung jawab sebagai kepala, dalam
prakteknya, dia mendelegasikan tugas-tugasnya kepada anaknya K.H. Wahid
Hasyim.4 Wahid Hasyim-lah menurut Boland, yang meletakkan dasar-dasar bagi
berdirinya Kementerian Agama, seperti mengambil tugas sebelumnya dikerjakan
oleh Departemen Dalam Negeri, Kehakiman dan Pendidikan, dan membentuk
kantor-kantor agama di wilayah-wilayah di setiap karesidenan, sebagaimana
dinyatakan Wahid Hasyim: “Hadlratus Syaikh (Hasyim Asy’ari) dan saya diminta
untuk membentuk kantor Jawatan Agama Pusat (Shumubu) Saya mengajukan
pendapat kepada Saiko Shikikan (the Supreme Commander) bahwa pembentukan
tidak mungkin bisa apabila kantor wilayah (cabang) tidak dibentuk diseluruh Jawa
dan Madura. Pendapat saya ini diterima oleh pemerintah Jepang”.5
Kemudian pada masa kemerdekaan, Realitas politik menjelang dan masa awal
kemerdekaan menunjukkan bahwa pembentukan Kementerian Agama memerlukan

3
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), 55.
4
Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta:
Gramedia, 1994), 322.
5
Saifuddin Zuhri, Guruku Orang-orang Pesantren, (Bandung: al-Ma’arif, 1974), 172.

3
perjuangan tersendiri. Dalam rapat besar (sidang) Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 11 Juli 1945 Mr.
Muhammad Yamin mengusulkan perlu diadakannya kementerian yang istimewa,
yaitu yang berhubungan dengan agama yakni Kementerian Islamiyah yang
menurutnya memberi jaminan kepada umat Islam (masjid, langgar, surau, wakaf)
yang di tanah Indonesia dapat dilihat dan dirasakan artinya dengan kesungguhan
hati. Tetapi usulnya tentang ini tidak begitu mendapat sambutan.
Pada waktu Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) melangsungkan
sidang hari Minggu, 19 Agustus 1945 untuk membicarakan pembentukan
kementerian/departemen, usulan tentang Kementerian Agama tidak disepakati oleh
anggota PPKI. Hanya enam dari 27 Anggota PPKI yang setuju didirikannya
Kementerian Agama. Beberapa anggota PPKI yang menolak antara lain: Johannes
Latuharhary mengusulkan kepada rapat agar masalah-masalah agama diurus
Kementerian Pendidikan. Abdul Abbas seorang wakil Islam dari Lampung,
mendukung usul agar urusan agama ditangani Kementerian Pendidikan. Iwa
Kusumasumatri, seorang nasionalis dari Jawa Barat, setuju gagasan perlunya
Kementerian Agama tetapi karena pemerintah itu sifatnya nasional, agama
seharusnya tidak diurus kementerian khusus. Ki Hadjar Dewantara, tokoh
pendidikan Taman Siswa, lebih suka urusan-urusan agama menjadi tugas
Kementerian Dalam Negeri. Dengan penolakan beberapa tokoh penting ini, usul
pembentukan Kementerian Agama akhirnya ditolak.
Keputusan untuk tidak membentuk Kementerian Agama dalam kabinet
Indonesia yang pertama, menurut B.J. Boland, telah meningkatkan kekecewaan
orang-orang Islam yang sebelumnya telah dikecewakan oleh keputusan yang
berkenaan dengan dasar negara, yaitu Pancasila, dan bukannya Islam atau Piagam
Jakarta.6
Ketika Kabinet Presidensial dibentuk di awal bulan September 1945, jabatan
Menteri Agama belum diadakan. Demikian halnya, di bulan Nopember, ketika
kabinet Presidential digantikan oleh Kabinet Parlementer di bawah Perdana Menteri

6
M. Fathoni, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Departemen Agama RI,
2005), 57.

4
Sjahrir. Usulan pembentukan Kementerian Agama pertama kali diajukan kepada
BP-KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) pada tanggal 11
Nopember 1946 oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Suaidy, dan M. Sukoso
Wirjosaputro, yang semuanya merupakan anggota KNIP dari Karesidenan
Banyumas. Usulan ini mendapat dukungan dari Mohammad Natsir, Muwardi,
Marzuki Mahdi, dan Kartosudarmo yang semuanya juga merupakan anggota KNIP
untuk kemudian memperoleh persetujuan BP-KNIP.
Kelihatannya, usulan tersebut kembali dikemukakan dalam sidang pleno BP-
KNIP tanggal 25-28 Nopember 1945 bertempat di Fakultas Kedokteran UI
Salemba. Wakil-wakil KNIP Daerah Karesidenan Banyumas dalam pemandangan
umum atas keterangan pemerintah kembali mengusulkan, antara lain; Supaya
dalam negara Indonesia yang sudah merdeka ini janganlah hendaknya urusan
agama hanya disambil lalukan dalam tugas Kementerian Pendidikan, Pengajaran &
Kebudayaan atau departemen-departemen lainnya, tetapi hendaknya diurus oleh
suatu Kementerian Agama tersendiri.7
Usul tersebut mendapat sambutan dan dikuatkan oleh tokoh-tokoh Islam yang
hadir dalam sidang KNIP pada waktu itu. Tanpa pemungutan suara, Presiden
Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta, yang kemudian
menyatakan, bahwa Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat perhatian
pemerintah. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 januari 1946 pemerintah
mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi: Presiden Republik
Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite Nasional
Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama.8
Pengumuman berdirinya Kementerian Agama disiarkan oleh pemerintah
melalui siaran Radio Republik Indonesia. Haji Mohammad Rasjidi diangkat oleh
Presiden Soekarno sebagai Menteri Agama RI Pertama. H.M. Rasjidi adalah
seorang ulama berlatar belakang pendidikan Islam modern dan di kemudian hari
dikenal sebagai pemimpin Islam terkemuka dan tokoh Muhammadiyah. Rasjidi saat

7
Azyumardi Azra & Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: biografi sosial-politik, (Jakarta:
Departemen Agama RI), 5
8
Penetapan Pemerintah 1946 No. 1/S.D.

5
itu adalah menteri tanpa portfolio dalam Kabinet Sjahrir. Dalam jabatan selaku
menteri negara (menggantikan K.H.A.Wahid Hasyim), Rasjidi sudah bertugas
mengurus permasalahan yang berkaitan dengan kepentingan umat Islam.9
Kementerian Agama mengambil alih tugas-tugas keagamaan yang semula
berada pada beberapa kementerian, yaitu Kementerian Dalam Negeri, yang
berkenaan dengan masalah perkawinan, peradilan agama, kemasjidan dan urusan
haji; dari Kementerian Kehakiman, yang berkenaan dengan tugas dan wewenang
Mahkamah Islam Tinggi; dari Kementerian Pengajaran, Pendidikan dan
Kebudayaan, yang berkenaan dengan masalah pengajaran agama di sekolah-
sekolah.
Dengan adanya Kementerian Agama, maka hal-hal yang mengenai keagamaan
dan pekerjaan yang tadinya diurus oleh beberapa jawatan itu dikerjakan oleh
Kementerian Agama. Maklumat Kementerian Agama No. 2 tertanggal 23 April
1946 menetapkan bahwa10:
1. Shumuka yang dalam zaman Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen
menjadi Jawatan Agama Daerah yang selanjutnya ditempatkan dibawah
Kementerian Agama.
2. Hak untuk mengangkat penghulu Landraad (sekarang bernama pengadilan
negeri), ketua dan anggota Raad agama yang dahulu ada dalam tangan
Residen, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.
3. Hak untuk mengangkat penghulu masjid, yang dahulu ada dalam tangan
Bupati, selanjutnya diserahkan kepada Kementerian Agama.
Dalam pengumuman Kementerian Agama No. 3 hal tersebut dalam maklumat
No. 2 itu dikuatkan dengan pengumuman persetujuan Dewan Kabinet dalam
sidangnya tgl 29 Maret 1946. Dengan berdirinya Kementerian Agama dapatlah
diperbaiki beberapa hal kesalahan yang diperbuat dalam zaman pemerintahan
Belanda dan Jepang yang berakibat perpecahan dalam beberapa golongan agama.
Keputusan dan penetapan pemerintah ini dikumandangkan di udara oleh RRI
ke seluruh dunia, dan disiarkan oleh pers dalam, dan luar negeri, dengan H. Rasjidi

9
Azyumardi Azra & Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: biografi sosial-politik, 9.
10
Maklumat Kementerian Agama No. 2 tertanggal 23 April 1946.

6
BA sebagai Menteri Agama yang pertama Pembentukan Kementerian Agama
segera menimbulkan kontroversi di antara berbagai pihak.11 Kaum Muslimin
umumnya memandang bahwa keberadaan Kementerian Agama merupakan suatu
keharusan sejarah dan merupakan kelanjutan dari instansi yang bernama Shumubu
(Kantor Urusan Agama) pada masa pendudukan Jepang, yang mengambil preseden
dari Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor untuk Urusan Pribumi Islam pada
masa kolonial Belanda). Bahkan sebagian Muslim melacak eksistensi Kementerian
Agama ini lebih jauh lagi, ke masa kerajaan-kerajaan Islam atau kesultanan, yang
sebagiannya memang memiliki struktur dan fungsionaris yang menangani urusan-
urusan keagamaan.
Kemudian pada masa Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama, ia
mempunyai peran yang signifikan dalam pembentukan Kementerian Agama.
Sejarah pembentukannya cukup lama dan membutuhkan beberapa tahun sebelum
pertama kali diperdebatkan dalam pertemuan di parlemen pada tahun 1950-an. Ada
beberapa alasan penolakan diadakannya Departemen Agama, di antaranya,
pertama, ongkos (biaya) pendiriannya sangat mahal; kedua, kenyataannya bahwa
banyak persoalan yang ditangani Departemen Agama dapat diambil alih
oleh kementerian yang lainnya, seperti kehakiman, penerangan, pendidikan dan
kebudayaan; ketiga, bahwa kementerian akan memperhatikan hanya kepada urusan
agama Islam dan bahwa agama seharusnya dipisah dari politik (negara).12 Sebagai
respon terhadap keberatan tersebut, Wahid Hasyim yang ditunjuk sebagai menteri
agama selama tiga kali berturut-turut mencoba menjelaskan bahwa:
“Pemerintah menyepakati prinsip pemisahan gereja (agama) dan negara, dalam
pengertian tidak mencampuri urusan-urusan internal sebuah kekhususan agama.
Bagaimanapun, pemerintah merasa berkewajiban untuk melayani kebutuhan-
kebutuhan keagamaan masyarakat berdasarkan Pancasila. Pemisahan antara
agama dan negara mengecualikan satu kepercayaan ateistik. Meskipun menteri
mempertimbangkan bahwa kementerian agama sebenarnya dapat dihapus apabila

11
Azyumardi Azra & Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI: biografi sosial-politik, 18.
12
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A Wahid Hasyim, (Jombang: Pustaka Tebu Ireng, 2014),
611.

7
fungsi-fungsinya dapat dijalankan oleh berbagai kementerian lain, menghapus
kementerian agama dapat melukai perasaan umat Islam Indonesia”.13
Selanjutnya dia mengatakan bahwa kementerian tidak memberikan perhatian
yang lebih kepada umat Islam dibanding dengan agama lainnya. Dia menolak
adanya tuduhan deskriminasi dalam kementerian agama. Sebagai bukti, dia
menunjukkan bahwa subsidi yang diberikan kepada madrasah hanya satu rupiah per
siswa, sedang bagi sekolah non-Islam tiap siswa menerima empat rupiah dari
Departemen Pendidikan. Selama revolusi, Wahid Hasyim memberikan substansi
(isi) dan arahan yang jelas pada kementerian. Pada awal Indonesia setelah Indonesia
terpecah menjadi beberapa negara federal yang mana masing-masing daerah
berubah menjadi negara, Wahid Hasyim berusaha untuk menyatukan semua
departemen agama yang ada di masing-masing bagian negara federal tersebut di
bawah kontrol negara kesatuan Republik Indonesia.14 ketika semua negara federasi
melebur menjadi negara kesatuan kembali pada tahun 1950, dia mengundang
seluruh pimpinan dan kementerian agama masing-masing negara federasi untuk
mendiskusikan dan merumuskan wilayah kerja kementerian. Setelah mengadakan
diskusi, pertemuan tersebut menghasilkan Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1950
yang terdiri beberapa poin15:
1. Mewujudkan sedapat mungkin nilai-nilai paling luhur yang terkandung
dalam prinsip ke-Esaan Tuhan (akidah tauhid).
2. Memastikan bahwa setiap penduduk dapat menikmati kebebasan untuk
memilih agamanya sendiri, dan memberikan pelayanan berdasarkan agama
dan kepercayaan itu.
3. Membina, mendorong, memelihara dan mengembangkan perilaku
keagamaan.
4. Menyediakan, membina dan mengawasi pendidikan keagamaan di sekolah-
sekolah negeri.

13
Zaini Dahlan, Pembaruan Pendidikan Islam, (Surabaya: Sinar Grafika, 2005), 78
14
Aboebakar Atjeh, Sejarah Hidup KH. A Wahid Hasyim, 620.
15
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1950 tentang Surat-Surat Perbendaharaan.

8
5. Membina, mendorong dan mengawasi pelatihan pendidikan di madrasah
(sekolah keagamaan) dan sekolah-sekolah keagamaan lain.
6. Mengatur pelatihan guru-guru agama dan hakim-hakim agama.
7. Memperhatikan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan
spiritual bagi anggota militer; di asrama-asrama, penjara dan tempat-tempat
lain yang dianggap perlu.
8. Menyelesaikan melakukan dan mengawasi segala masalah yang berkaitan
dengan perkawinan, perceraian, dan rujuk (kembali damai antar keluarga)
muslim.
9. Memberikan bantuan materi untuk memperbaiki dan memelihara tempat-
tempat ibadah (masjid, gereja dan lain-lain).
10. Mengatur dan mengawasi pengadilan agama dan pengadilan tinggi Islam.
11. Melakukan penyelidikan perkara-perkara yang berhubungan dengan
masalah wakaf (hak milik yang didermakan untuk agama atau masyarakat
umum), mendaftar lembaga-lembaga wakaf dan mengawasi manajemen
mereka.
12. Meningkatkan kecerdasan dan keahlian masyarakat dalam kehidupan sosial
dan keagamaan.
Keberhasilan Wahid Hasyim dalam menyatukan kembali cabang kementerian
yang telah terpecah menunjukkan keinginannya untuk mempertahankan kesatuan
bangsa Indonesia, khususnya umat Islam Indonesia.16 Terlebih lagi yang mulanya
Kementerian Agama hanya banyak mengurus keperluan dan kebutuhan masyarakat
Islam, kini seluruh kebutuhan umat beragama juga menjadi perhatian bagi
Kementerian Agama.
2. Tugas dan Fungsi Kementerian Agama Pasca Reformasi
Pada masa pasca reformasi, Kementerian agama yang dulu bernama
Departemen Agama juga sudah berubah secara resmi menjadi Kementerian Agama.
Kementerian Agama memiliki satu tugas pokok yaitu menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agama untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan

16
Zaini Dahlan, Pembaruan Pendidikan Islam, 80.

9
pemerintahan negara. Kemudian dalam menyelanggarakan tugasnya, Kementerian
Agama menjalankan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agama.17:
1. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang bimbingan
masyarakat Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu,
penyelenggaraan haji dan umrah, dan pendidikan agama dan keagamaan;
2. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Agama;
3. pengelolaan barang milik/kekayaan Negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agama;
4. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agama;
5. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Agama di daerah;
6. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
7. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan di bidang
agama dan keagamaan;
8. pelaksanaan penyelenggaraan jaminan produk halal; dan
9. pelaksanaan dukungan substantif kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Agama.
Dari paparan mengenai tugas dan beberapa fungsi Kemenag yang telah
dipaparkan diatas menunjukkan sikap antusias Pemerintah untuk memberikan
pelayanan keagamaan semaksimal mungkin yang kemudian tertuang pada
peraturan yang memiliki substasnsi ideal tersebut. Namun terlepas dari itu semua,
perlu juga untuk dikaji mengenai bagaimana tugas dan fungsi tersebut dijalan secara
realitanya. Dalam hal ini penulis hendak mengangkat persoalan mengenai
pengawasan pelaksanaan tugas di lingkungan Kemenag yangg untuk beberapa
kasus tidak jalan.

17
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agama.

10
Salah satu kegiatan yang berpotensi menjadi sumber korupsi di Kementerian
Agama adalah pada tanggung jawab institusi ini dalam pengurusan
penyelenggaraan ibadah haji dan pengelolaan seluruh dana haji untuk jemaah yang
mendaftar. Terungkapnya kasus korupsi haji setidaknya telah terjadi atau diduga
terjadi selama tiga periode menteri sejak tahun 2003-2014 dan selalu berkaitan
dengan Menteri Agama. Pada tahun 2006, Menteri Agama, Said Agil Husain dan
Dirjen (Direktur Jenderal) Bimas (Bimbingan Masyarakat) Islam dan
Penyelenggaran Haji, Taufik Kamil, dipenjara atas penyalahgunaan Dana Abadi
Umat (DAU) dan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH).18 Pada periode
selanjutnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Menteri Agama
Maftuh Basyuni ke KPK atas dugaan penyalahgunaan DAU dan kelebihan
pembayaran biaya penerbangan (avtur).19 Berikutnya, pada tahun 2014, Menteri
Agama, Suryadharma Ali ditangkap oleh KPK terkait penyelenggaraan ibadah haji
tahun 2010-2013. Walau kasus dugaan yang menimpa Maftuh Basyuni tidak
berlanjut ke pengadilan, adanya pengaduan ini paling tidak menunjukkan adanya
kemungkinan praktik tersebut yang telah terjadi secara berulang.
Dari ketiga periode kasus haji tersebut, penulis memilih kasus praktik korupsi
haji tahun 2010-2013 atau masa menteri agama Surya Dharma Ali. Pada periode
tersebut, praktik korupsi yang terjadi merupakan yang tertinggi jika dibandingkan
dengan periode-periode sebelumnya karena meliputi empat hal, yaitu keuangan
haji, petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) dan Pendamping Amirul
Hajj20 perumahan jemaah haji, dan sisa kuota haji nasional. Sedangkan, pada
periode-periode sebelumnya, Maftuh Basyuni dan Said Agil Husin hanya terkait
dengan keuangan haji. Fakta ini menunjukkan kasus praktik korupsi pada periode
tersebut lebih ekstrim dibandingkan periode-periode sebelumnya. Hal lain yang
menarik dalam kasus praktik korupsi haji tahun 2010-2013 adalah adanya sistem
yang diatur dalam regulasi-regulasi yang bermasalah sehingga membuka peluang

18
M. Ali Mubarak & Ulya Fuhaidah, "Manajemen Pengelolaan Dana Haji Republik Indonesia”,
Iltizam Journal Of Shariah Economic Research, Vol. 2, No. 2, (2018), 76
19
Zubaedi, "Analisis Problematika Manajemen Pelaksanaan Haji Indonesia", Manhaj, Vol. 4,
Nomor 3, (September–Desember 2016), 189
20
Tim Penulis Kementerian Agama RI, Rencana Strategis Kementerian Agama tahun 2020-2024,
62.

11
terjadinya korupsi. Setelah kasus tersebut, tepatnya tahun 2014, Kementerian
Agama melakukan reformasi pelaksanaan haji yang mengindikasikan adanya
masalah pada regulasi-regulasi sebelumnya sehingga tidak transparan dan rentan
terhadap praktik korupsi. Hal ini juga disampaikan oleh M. Jasin, Irjen (Inspektur
Jenderal) Kementerian Agama periode 2012-2017 bahwa reformasi kebijakan pada
penyelenggaraan ibadah haji dibuat untuk membuat haji lebih transparan dan
terhindar dari praktik korupsi.21
Korupsi di Kementerian Agama menjadi lebih sensitif dibandingkan yang
lainnya karena Kementerian Agama erat kaitannya dengan urusan moral dan
agama. Munculnya kasus korupsi oleh Suryadharma Ali pada penyelenggaraan
ibadah haji tahun 2010-2013 dan adanya reformasi haji pasca kasus tersebut
mengindikasikan adanya faktor-faktor berkaitan dengan sistem yang memberikan
kesempatan. Faktor yang memberikan kesempatan dilatarbelakangi oleh
terciptanya suatu kondisi yang memberikan individu kesempatan melakukan
praktik korupsi. Kesempatan tersebut dapat berupa pengawasan yang lemah,
berasal dari regulasi, kedudukan dan kewenangan seseorang.
Dalam hal ini ditemukan adanya regulasi yang bermasalah dan pengawasan
oleh DPR yang disalahgunakan sehingga praktik korupsi haji tahun 2010-2013
dapat terjadi. Adapun kasus korupsi yang terbukti dilakukan oleh Suryadharma Ali
terdapat pada 1) penggunaan setoran awal dana BPIH dan APBN; 2) penunjukan
petugas PPIH dan Pendamping Amirul Hajj; 3) pengarahan kepada Tim Penyewaan
Perumahan Jemaah Haji Indonesia di Arab Saudi; dan 4) pengisian sisa kuota haji
nasional. Regulasi yang bermasalah ini dikarenakan multitafsir, terpusat pada
menteri, ketiadaan regulasi, dan adanya perbedaan antara regulasi di Indonesia dan
Arab Saudi. Hal ini memberikan kesempatan Suryadharma Ali secara tidak sah dan
tidak sesuai ketentuan dapat menggunakan setoran awal dana BPIH, menunjuk
petugas PPIH dan membentuk Pendamping Amirul Hajj, mengarahkan Tim
Penyewaan Perumahan Jemaah Haji Indonesia, dan mengisi sisa kuota haji
nasional. 22

21
Zubaedi, "Analisis Problematika Manajemen Pelaksanaan Haji Indonesia", 192.
22
M. Ali Mubarak & Ulya Fuhaidah, "Manajemen Pengelolaan Dana Haji Republik Indonesia”, 79.

12
Pengawasan oleh DPR yang seharusnya mengawasi implementasi
penyelenggaraan ibadah haji agar terhindar dari praktik korupsi justru
disalahgunakan. Adanya pengawasan oleh DPR justru memberikan kesempatan
anggota DPR untuk menyalahgunakannya dengan cara merekomendasikan nama
petugas PPIH dan jemaah haji yang ingin diberangkatkan lebih cepat, serta ikut
serta dalam pengadaan akomodasi haji. Hal tersebut dilakukan Suryadharma Ali
dengan dalih harmonisasi hubungan Kementerian Agama dengan DPR agar
mempermudah persetujuan DPR dalam perumusan dana BPIH dan kebijakan
Kementerian Agama lainnya.
Terlepas dari kesalahan tersebut, perlu diperhatikan juga bahwa Kemenag
dalam menjalankan fungsinya juga dapat dirasakan aspek manfaatnya bagi umat
beragama di Indonesia. Khususnya pada bidang-bidang tertentu seperti bimbingan
masyarakat beragama, mulai diperhatikan kebutuhannya terlebih masalah-masalah
materi keagamaan, bantuan dana pembangunan, dan lain-lain. Selain itu juga untuk
mengembalikan citra Kemenag yang memegang slogan “ikhlas beramal” tentu juga
turut berbenah diri dari kesalahan masa silam (menyoal korupsi dana haji), dengan
menetapakan sasaran program antara lain pertama, terwujudnya penyelenggaraan
ibadah haji yang transparan dan akuntabel. Kedua, menguatnya pengawasan dan
pengendalian penyelenggaraan ibadah umrah dan ibadah khusus sesuai standar dan
ketiga, meningkatkan tata kelola organisasi Ditjen PHU yang efektif dan
akuntabel.23
3. Produk Hukum Kementerian Agama
Perlu diketahui bahwa Kementerian Agama juga memiliki produk hukumnya
sendiri yakni berupa Peraturan Menteri Agama (PMA), Keputusan Menteri Agama
(KMA), dan Surat Edaran Menteri Agama. Masing-masing produk hukum tersebut
memiliki daya ikatnya sendiri.
Adapun yang membedakan antara PMA dengan KMA adalah terkait mengenai
penggunaan istilah “keputusan” dan “peraturan”. Menurut Asshiddiqi, negara
sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang

23
https://haji.kemenag.go.id/v4/bahas-target-sasaran-program-dan-anggaran-tahun-2020-kemenag-
dan-dpr-gelar-rapat-dengar-pendapat. Diakses pada 02/03/2001, pukul 23.03.

13
mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-
keputusan itu: Yaitu keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general
and abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat
individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi
penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa ‘vonnis’
hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan.24 Oleh karena itu menurut
Jimly, ada tiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dibedakan
dengan penggunaan istilah “peraturan”, “keputusan/ketetapan” dan “tetapan”,
menurut Jimly istilah-istilah tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk25:
1. Istilah “peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan
yang menghasilkan peraturan (regels).
2. Istilah “keputusan” atau “ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil
kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif
(beschikkings).
3. Istilah “tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan
yang menghasilkan putusan (vonnis).
Dari penjelasan Jimly di atas tersebut maka dapat disimpulkan pengertian
istilah “keputusan” dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian istilah
“keputusan” yang luas, di dalamnya terkandung juga pengertian
“peraturan/regels”, “keputusan/beschikkings” dan “tetapan/vonnis”. Sedangkan,
dalam istilah “keputusan” dalam arti yang sempit, berarti adalah suatu hasil
kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).
Mengenai perbedaan antara keputusan (beschikking) dengan peraturan
(regeling) disebutkan bahwa keputusan (beschikking) selalu bersifat individual dan
kongkrit (individual and concrete), sedangkan peraturan (regeling) selalu bersifat
umum dan abstrak (general and abstract). Yang dimaksud bersifat general and
abstract, yaitu keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan
kaedah umum.26 Selain itu, menurut Maria Farida Indrati S yang dimaksud sebagai

24
Jimly Ashhidiqui, perihal undang-undang,(Jakarta: Rajawali Press, 2004), 9.
25
Jimly Ashhidiqui, perihal undang-undang, 10.
26
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang karangan, (Surabaya: Sinar Grafika,
2005), 2.

14
suatu keputusan (beschikkiking) bersifat sekali-selesai (enmahlig), sedangkan
peraturan (regeling) selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Lebih jauh, Jimly
menyatakan bahwa produk keputusan digugat melalui peradilan tata usaha negara,
sedangkan produk peraturan diuji (Judicial review) langsung ke Mahkamah agung
atau kalau untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.27
Mengenai keberadaan produk hukum keputusan menteri yang berlaku umum,
abstrak dan terus menerus. Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa memang saat ini
di Indonesia ada juga peraturan menteri yang berlaku sebagai peraturan perundang-
undangan (regels) yang mengikat umum, yang masih disebut sebagai Surat
Keputusan (Keputusan Menteri).28 Terhadap keputusan menteri yang bersifat
mengatur (regels), kita harus merujuk pada ketentuan Pasal 100 UU No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) yang
berbunyi: “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur,
Keputusan Bupati/Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum
Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini”. Jadi, menurut UU 12/2011 keputusan-
keputusan yang sifatnya mengatur yang sudah ada sebelum berlakunya undang-
undang tersebut, harus dimaknai sebagai peraturan. Ketentuan seperti ini juga diatur
dalam Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan (“UU 10/2004”) yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh
UU 12/2011.
Sedangkan surat Edaran merupakan suatu perintah pejabat tertentu kapada
bawahannya/orang di bawah binaannya. Dalam konteks surat edaran Menteri
Agama tidak mempunyai kekuatan mengikat keluar karena pejabat yang
menerbitkannya tidak memiliki dasar hukum menerbitkan surat edaran. Pejabat
penerbit Surat Edaran tidak memerlulan dasar hukum karena Surat Edaran
merupakan suata peraturan kebijakan yang diterbitkan semata-mata berdasarkan

27
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), 78.
28
Jimly Ashhidiqui, perihal undang-undang, 11

15
kewenangan bebas namun perlu perhatikan beberapa faktor sebagai dasar
pertimbangan penerbitannya:
1. Hanya diterbitkan karena keadaan mendesak
2. Terdapat peraturan terkait yang tidak jelas yang butuh ditafsirkan
3. Substansi tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
4. Dapat dipertanggung jawabkan secara moril
Sekiranya sudah jelas garis pembeda antara PMA, KMA, dan surat edaran
Menteri Agama sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, maka berikutnya penulis
akan menyoroti beberapa terbitan produk hukum Kementerian Agama tersebut dari
segi manfaat serta efektivitasnya dalam realita pelaksanaannya.
Pertama, menyoroti terbitnya Peraturan Menteri Agama Nomor 19 Tahun 2018
tentang Pencatatan Perkawinan yang merupakan perubahan terbaru atas Peraturan
Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Perkawinan. Pada
substansi PMA tersebut terdapat aturan mengenai pemberian kartu perkawinan atau
yang dikenal dengan istilah kartu nikah di samping buku pencatatan perkawinan
atau biasa disebut dengan istilah buku nikah untuk pasangan suami istri setelah
proses akad nikah selesai dilaksanakan di depan Pegawai Pencatat Nikah.
Pernerbitan kartu nikah ini telah menimbulkan polemik di kalangan masyarakat,
terutama mengenai urgensi diterbitkannya kartu tersebut. Dalam hal ini, beberapa
kalangan menilai bahwa penerbitan kartu nikah berdampak positif dalam
menghadapi tuntutan di era digital sebagaimana sekarang terutama dari segi
efisiensi, orisinalitas dan integrasi data; dan beberapa kalangan yang lain
menyatakan bahwa penerbitan kartu nikah tidak diperlukan mengingat telah adanya
buku nikah sehingga berpotensi memboroskan anggaran, namun pendapat ini telah
dimentahkan adanya.29
Jika dilihat dari segi eksistensinya, penulis berpandangan bahwa penerbitan
kartu nikah dapat bermanfaat bagi masyarakat muslim di Indonesia khususnya,
serta juga bisa dikatagorikan sebagai maslahah mursalah karena sama sekali tidak
didukung atau ditolak oleh dalil syara’, tetapi sejalan dengan hukum syara’ yang

29
Zakiyatul Ulya, "Penerbitan Kartu Nikah di Era Digital Perspektif Maslahah", JIIS, Volume 1,
Nomor 1, (Juni 2019), 97.

16
bersumber dari al-qur’an dan hadis; dari segi tingkat kebutuhannya, termasuk
katagori maslahah hajiyah karena melengkapi keberadaan buku nikah dan
memudahkan manusia dalam menjalani kehidupan dan menghilangkan kesulitan
terutama yang berhubungan dengan pememelihara keturunan (hifdh al nasl); dari
segi kandungannya, termasuk katagori maslahah ‘ammah karena berkaitan dengan
kepentingan mayoritas warga Indonesia meskipun pelaksanaanya secara bertahap;
dan dari segi perubahannya, dapat dikatagorikan sebagai maslahah mutaghayirah
karena memungkinkan adanya perubahan kebutuhan manusia terkait dengan
pembuktian status perkawinan sejalan dengan perubahan era.30
Kedua, mengenai Keputusan Menteri Agama Nomor 90 tahun 2018 tentang
petunjuk pelaksanaan pelayanan terpadu Kementerian Agama, yang mana dalam
kandungan substansialnya terdapat himbauan administratif untuk penyederhanaan
layanan dengan memperhatikan standar berikut31:
1. Penyederhanaan persyaratan pelayanan;
2. Percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi waktu yang
telah ditetapkan dalan standar pelayanan;
3. Kepastian biaya pelayanan disesuaikan dengan peraturan perundang
undangan;
4. Kejelasan prosedur pelayanan dapat ditelusuri dan diketahui setiap
tahapannya sesuai dengan urutan prosedurnya;
5. Mengurangi berkas kelengkapan permohonan pelayanan sama untuk dua
atau lebih permohonan pelayanan;
6. Memberikan hak kepada masyarakat untuk memperoleh informasi dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan; dan
7. Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan
pengaduan/keluhan dengan menyediakan sarana prasarana pengaduan.
Menyikapi standar pelayanan yang telah dihimbaukan dalam KMA Nomor 90
tahun 2018, tampaknya Kementerian Agama Kabupaten Nganjuk melakukan

30
Zakiyatul Ulya, "Penerbitan Kartu Nikah di Era Digital Perspektif Maslahah", 101.
31
Keputusan Menteri Agama Nomor 90 tahun 2018 tentang petunjuk pelaksanaan pelayanan terpadu
Kementerian Agama.

17
kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Nganjuk pada tanggal 30 April 2019
untuk bersinergi bersama antara KUA dengan instansi pelayan publik lainnya
dalam menyelenggarakan pelayanan pernikahan secara terpadu satu pintu di
lingkungan Mall Pelayanan Publik. Perjanjian tersebut dituangkan secara tertulis
dalam Surat Perjanjian Bersama Nomor: B-872/KK.13.13.1/HM.01/04/20193.32
Mall Pelayanan Publik itu sendiri pada dasarnya adalah bentuk dari
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu atap atau kegiatan penyelenggaraan
perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya mulai dari tahap
permohonan sampai ke tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat,
hakekatnya untuk menciptakan penyederhanaan terhadap waktu, persyaratan, dan
kepastian biaya.33 Kemudian tidak hanya pelayanan yang lebih ringkas yang
diutamakan, namun juga tetap memperhatikan aspek prosedur yang telah ditapkan
dalam undang-undang dapat terpenuhi serta bernilai manfaat bagi masyarakat Islam
pada khususnya.
Oleh karena itu, dalam hal ini penulis melihat bahwa pelaksanaan pelayanan
pernikahan berbasis Mall pelayanan publik di KUA Kecamatan Nganjuk, tetaplah
sesuai dengan apa yang tertera dalam PMA No 19 Tahun 2018 pada pelaksanaan
prosedurnya, yakni meliputi pemberitahuan kehendak nikah, pemeriksaan nikah,
pengumuman nikah, pelaksanaan akad nikah, hingga penyerahan buku nikah34
tetaplah sesuai dengan apa yang diatur dalam undang-undang, adapun adanya Mall
Pelayanan Publik ini sebagai sarana pembantu pelayanan pernikahan yakni sebagai
alat untuk mempermudah akses pendukung berjalannya prosedur dan pelaksanaan
pelayanan pernikahan.
Sedangkan pada aspek kemanfaatan, dalam hal ini jelas bahwa pelayanan
pernikahan berbasis Mall Pelayanan Publik dirasa memberikan manfaat bagi
masyarakat Nganjuk. Adapun manfaat yang terlihat dengan adanya pelayanan
nikah berbasis Mall Pelayanan Publik yaitu pertama, akses jalan menuju Mall

32
M. Faizurrizqi Al-Farisi AD, Peningkatan Pelayanan Pernikahan Berbasis Mall Pelayanan
Publik di KUA Kecamatan Nganjuk, Kabupaten Nganjuk Perspektif Mashlahah Mursalah, (Skripsi
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2019), 4.
33
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Perizinan Terpadu Satu Pintu.
34
Peraturan Menteri Agama no 19 tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan

18
Pelayanan Publik lebih mudah daripada ke kantor KUA Nganjuk karena tidak
melewati kemacetan, bisa diakses dengan kendaraan roda empat dan petunjuk jalan
bisa diakses dengan mudah melalui aplikasi Google Maps. Kedua, lebih ringkasnya
waktu dan biaya, karena dengan model pelayanan nikah berbasis Mall Pelayanan
Publik kini calon pengantin bisa mengurus persyaratan administrasi pada satu
lokasi. Ketiga, sarana prasarana yang lengkap dan memadai, hal ini terlihat pada
ruang pelayanan dan balai nikah yang lebih nyaman daripada sebelumnya karena
dilengkapi dengan fasilitas yang memadai.
Tentu setelah melihat paparan fakta empiris dari pelaksanaan KMA Nomor 90
tahun 2018 tentang petunjuk pelaksanaan pelayanan terpadu Kementerian Agama
diatas, dapat disimpulkan bahwa KMA Nomor 90 tahun 2018 memiliki nilai yang
positif dan bermanfaat bagi masyarakat Islam pada khususnya.
Ketiga, mengkaji mengenai Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2020 tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan Di
Rumah Ibadah Dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di
Masa Pandemi.35 Sebagaimana kapasitas sebuah surat edaran, ia tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat karena pejabat yang menerbitkannya tidak memiliki
dasar hukum menerbitkan surat edaran.
Adapun surat Edaran tentang Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan
di Rumah Ibadah dalam Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di
Masa Pandemi diterbitkan sebagai respon atas kerinduan umat beragama untuk
kembali melaksanakan ibadah di rumah ibadah masing-masing dengan tetap
menaati protokol kesehatan, terutama dalam rangka pencegahan persebaran Covid-
19 dan perlindungan masyarakat dari risiko ancaman dampaknya, rumah ibadah
harus menjadi contoh terbaik pencegahan persebaran Covid-19.36 Maka dalam hal
ini bisa dikatakan Surat Edaran tersebut tidak menyalahi ketentuan dan bisa
dipertanggungjawabkan secara moril meski tidak memiliki kekuatan hukum.

35
Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Panduan
Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan Di Rumah Ibadah Dalam Mewujudkan Masyarakat
Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi
36
Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Panduan
Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan Di Rumah Ibadah Dalam Mewujudkan Masyarakat
Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi

19
C. Kesimpulan
Latar belakang berdirinya Kementerian Agama dimulai pada masa
pemerintahan Jepang di Indonesia, mulanya terbentuk sebagai salah satu strategi
yang diharapkan bangsa Jepang untuk memperoleh simpati dari bangsa Indonesia.
Kemudian pada masa awal kemerdekaan eksistensi Kementerian Agama mulai
mengalami dinamika antara pro dan kontra, keadaan final dari gejolak tersebut
berujung pada pembentukan Kementerian Agama, Tanpa pemungutan suara,
Presiden Soekarno memberi isyarat kepada Wakil Presiden Mohamad Hatta, yang
kemudian menyatakan, bahwa Adanya Kementerian Agama tersendiri mendapat
perhatian pemerintah. Sebagai realisasi dari janji tersebut, pada 3 januari 1946
pemerintah mengeluarkan ketetapan NO.1/S.D. yang antara lain berbunyi: Presiden
Republik Indonesia, Mengingat: Usul Perdana Menteri dan Badan Pekerja Komite
Nasional Pusat, memutuskan: Mengadakan Departemen Agama.
Pada masa pasca reformasi, Kementerian agama yang dulu bernama
Departemen Agama juga sudah berubah secara resmi menjadi Kementerian Agama.
Kementerian Agama menjalankan fungsi sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agama.
Dalam sudut pandang politik hukum Peraturan tersebut menyimpan maksud/tujuan
agar Kementerian Agama dapat menjalankan fungsi dan tugasnya secara optimal
dalam pelayanan hal keagamaan.
Kementerian Agama juga memiliki produk hukumnya sendiri yakni berupa
Peraturan Menteri Agama (PMA), Keputusan Menteri Agama (KMA), dan Surat
Edaran Menteri Agama. Masing-masing produk hukum tersebut memiliki daya
ikatnya sendiri. Hal ini juga yang dijadikan sebagai landasan hukum acuan kerja
bagi Kementerian Agama di Indonesia dan juga badan unitnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Buku
AD, M. Faizurrizqi Al-Farisi. Peningkatan Pelayanan Pernikahan Berbasis Mall
Pelayanan Publik di KUA Kecamatan Nganjuk, Kabupaten Nganjuk
Perspektif Mashlahah Mursalah. Skripsi UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang. 2019.
Ashhidiqui, Jimly. Perihal undang-undang. Jakarta: Rajawali Press. 2004.
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-undang karangan. Surabaya:
Sinar Grafika. 2005.
Atjeh, Aboebakar. Sejarah Hidup KH. A Wahid Hasyim. Jombang: Pustaka Tebu
Ireng. 2014.
Azra, Azyumardi & Saiful Umam. Menteri-Menteri Agama RI: biografi sosial-
politik. Jakarta: Departemen Agama RI.
Haidar, Ali. Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqih dalam
Politik. Jakarta: Gramedia, 1994.
M. Fathoni. Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Departemen Agama RI. 2005.
S, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan. Yogyakarta: Kanisius. 2007.
Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES. 1986.
Tim Penulis Kementerian Agama RI. Rencana Strategis Kementerian Agama tahun
2020-2024.
Zuhri, Saifuddin. Guruku Orang-orang Pesantren. Bandung: al-Ma’arif. 1974.

Jurnal
Mubarak, M Ali & Ulya Fuhaidah. "Manajemen Pengelolaan Dana Haji Republik
Indonesia”. Iltizam Journal Of Shariah Economic Research. Vol. 2, No. 2.
2018.
Zubaedi. "Analisis Problematika Manajemen Pelaksanaan Haji Indonesia".
Manhaj. Vol. 4. Nomor 3. September–Desember 2016.

Peraturan Perundang-undangan
Keputusan Menteri Agama Nomor 90 tahun 2018 tentang petunjuk pelaksanaan
pelayanan terpadu Kementerian Agama.
Keputusan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Rencana Strategis
Kementerian Agama Tahun 2010 – 2014.
Penetapan Pemerintah 1946 No. 1/S.D.
Peraturan Menteri Agama no 19 tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Perizinan Terpadu Satu Pintu.

21
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1950 tentang Surat-Surat Perbendaharaan.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2015 Tentang
Kementerian Agama.
Surat Edaran Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Keagamaan Di Rumah Ibadah Dalam
Mewujudkan Masyarakat Produktif dan Aman Covid di Masa Pandemi.
Website
https://haji.kemenag.go.id/v4/bahas-target-sasaran-program-dan-anggaran-tahun-
2020-kemenag-dan-dpr-gelar-rapat-dengar-pendapat. Diakses pada
02/03/2021, pukul 23.03.

22

Anda mungkin juga menyukai