Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH ISLAM TERHADAP LAHIRNYA LEMBAGA-LEMBAGA SOSIAL

KEAGAMAAN DAN POLITIK DI INDONESIA

Adinda Nurrahmah, Atiyah Fitrianidah, Muhammad Geraldien Rafsanjani


Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
E-mail: adinda.rahmah22@mhs.uinjkt.ac.id, geraldienr@gmail.com,
atiyahfitrianidah@gmail.com

Abstrak
This study analyzes the influence of Islam on the birth of Religious and Political Social
institutions in Indonesia. This study includes an analysis of the definition, background of its
founding, and various social, religious and political institutions in Indonesia. This research also
focuses on the development and role of Social, Religious and Political institutions in Indonesia
in increasing Nationalism. Through this historical study, it is hoped that a better understanding
will be created about the Social, Religious and Political institutions that exist in Indonesia.
Keywords: Islam, Social Religious Institutions, Political Institutions

Abstrak
Kajian ini menganalisis pengaruh Islam terhadap lahirnya lembaga-lembaga Sosial Keagamaan
dan Politik di Indonesia. Kajian ini melibatkan analisis terhadap definisi, latar belakang
berdirinya, serta macam-macam lembaga Sosial Keagamaan dan lembaga Politik di Indonesia.
Penelitian ini juga fokus terhadap perkembangan serta peran lembaga Sosial Keagamaan dan
lembaga Politik di Indonesia dalam meningkatkan Nasionalisme. Melalui kajian sejarah ini
diharapkan tercipta pemahaman yang lebih baik tentang lembaga-lembaga Sosial Keagamaan
dan Politik yang ada di Indonesia.
Kata kunci: Islam, Lembaga Sosial Keagamaan, Lembaga Politik

Pendahuluan
Pengaruh Islam terhadap lembaga sosial, agama, dan politik di Indonesia telah menjadi
fenomena yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sejak kedatangannya pada
abad ke-13, Islam telah membawa perubahan signifikan terhadap tatanan sosial, kehidupan
beragama, dan dinamika politik Indonesia. Sejarah panjang Islam di Indonesia telah melahirkan

1
berbagai lembaga yang tidak hanya mengatur kehidupan beragama, namun juga mempengaruhi
pembentukan struktur politik dan dinamika sosial masyarakat Indonesia.
Kehadiran Islam di Indonesia tidak hanya menjadi landasan spiritual individu, namun juga
menjadi landasan terbentuknya pranata sosial yang berperan penting dalam kehidupan sehari-
hari. Dalam konteks keberagaman budaya Indonesia, lembaga sosial dan keagamaan tidak hanya
menjadi wadah penguatan identitas umat Islam, namun juga wadah integrasi sosial antar suku
dan keberagaman yang ada. Tak hanya itu, pengaruh Islam juga merambah ke politik Indonesia.
Gerakan Islam telah memainkan peran penting dalam membentuk dinamika politik baik di
tingkat lokal maupun nasional. Partai-partai berbasis Islam, organisasi keagamaan dan gerakan
sosial Islam mempunyai pengaruh besar dalam membentuk kebijakan publik dan menciptakan
forum partisipasi politik dalam komunitas Muslim. Hal ini mencerminkan kompleksitas
hubungan antara Islam dan politik yang terus berubah seiring berjalannya waktu dan dinamika
sosial di Indonesia.
Islam mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pembentukan organisasi sosial,
keagamaan, dan politik di Indonesia. Pada awalnya Islam berusaha ikut serta dalam
pembangunan untuk mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ormas
Islam sangat antusias dalam membangun lembaga pendidikan seperti pesantren, sekolah,
madrasah, dan universitas sebagai platform yang positif. Beberapa lembaga keagamaan dan
politik seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebenarnya muncul dari gerakan
politik dalam arti politik politik. Islam juga tidak membedakan secara utuh antara perkara sakral
dan profan, itulah sebabnya umat Islam yang taat menolak pemisahan agama dan negara. Oleh
karena itu, hubungan Islam dengan institusi sosial, agama, dan politik Indonesia sangatlah
kompleks dan berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.1

Pengertian Lembaga-Lembaga Sosial Keagamaan dan Politik di Indonesia

Lembaga sosial keagamaan adalah struktur atau organisasi sosial yang berdasarkan pada
ajaran agama atau keyakinan spiritual tertentu. Tujuan dari lembaga ini adalah untuk
memfasilitasi kegiatan keagamaan, menyebarkan ajaran agama dan melestarikan nilai-nilai
spiritual di masyarakat. Lembaga sosial keagamaan berperan penting dalam membentuk dan
memelihara kehidupan spiritual masyarakat. Tugasnya antara lain mengajarkan keagamaan,
1
Masykuri Abdillah, “HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA DALAM KONTEKS MODERNISASI POLITIK DI ERA
REFORMASI”, https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667

2
menyelenggarakan ibadah, dan perayaan keagamaan di gereja, masjid, pura, atau wihara. Mereka
juga fokus menjaga moral dan etika berdasarkan ajaran agama dan pelayanan sosial, seperti
membantu masyarakat miskin, merawat orang sakit, dan membantu di saat krisis. Dengan cara
ini, lembaga ini tidak hanya menciptakan komunitas dan solidaritas berdasarkan keyakinan
agama, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan spiritual individu dan komunitas. Selain itu,
lembaga ini berperan dalam melestarikan dan meneruskan tradisi keagamaan dengan
menyelenggarakan upacara dan perayaan keagamaan.

Lembaga politik adalah struktur atau organisasi yang terlibat dalam pemilihan kebijakan,
pengambilan keputusan, dan administrasi pemerintahan. Di Indonesia, lembaga politik meliputi
partai, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPD (Dewan Perwakilan Daerah), dan pimpinan
seperti presiden dan pemerintah daerah. Institusi politik bertanggung jawab menciptakan dan
memelihara stabilitas politik, membuat undang-undang dan melaksanakan kebijakan pemerintah.
Melalui proses demokrasi, lembaga politik juga memberikan wadah bagi partisipasi masyarakat
dalam pengambilan keputusan.

Latar Belakang Lahirnya Lembaga Sosial Keagamaan dan Politik di Indonesia


Peran yang sangat dominan dari masyarakat sipil dalam membentuk lembaga-lembaga
sosial di Indonesia adalah melalui wakaf. Ini mengacu pada pengalihan harta, seperti tanah atau
bangunan, dari individu atau keluarga (wakif) untuk diurus oleh individu atau kelompok
pengelola (nadzir). Wakaf, atau yang dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai "pious Gift,"
telah ada sejak ribuan tahun lalu, jauh sebelum era Islam, dan telah diamalkan dalam berbagai
tradisi dan budaya. Berbeda dari filantropi lainnya, wakaf menekankan pada pengelolaan dana
secara berkelanjutan yang tidak habis digunakan untuk kebutuhan konsumsi. Harta wakaf itu
sendiri bukanlah yang digunakan, tetapi hasil dari pengelolaan harta tersebut yang kemudian
dimanfaatkan untuk kegiatan sosial.

Praktik wakaf yang kuat sebelum kemerdekaan, seperti sumbangan tanah dan bangunan
untuk tempat ibadah dan pendidikan Islam, mendorong pemerintah kolonial Belanda untuk
membuat peraturan wakaf yang spesifik (Fauzia, 2010; Salim, 2003). Banyak lembaga seperti
pesantren, masjid, rumah dhuafa, panti asuhan, dan klinik yang dijalankan oleh organisasi

3
masyarakat sipil dan ormas Islam bergantung pada praktik wakaf (Bamuallim dan Irfan Abu
Bakar, 2005).2

Selain itu Indonesia yang merupakan negara dengan keragaman agama yang tinggi,
mencerminkan pembentukan lembaga-lembaga keagamaan sebagai respons terhadap
keberagaman ini. Proses penyebaran agama, seperti Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha,
membentuk lembaga-lembaga keagamaan sebagai pusat ibadah dan pengajaran. Unsur
spiritualitas yang kuat dalam budaya Indonesia mendorong keberadaan lembaga-lembaga
keagamaan sebagai wadah untuk memenuhi kebutuhan spiritual masyarakat.

Pengaruh dari tradisi lokal, seperti pura di Bali atau wihara di komunitas Buddha,
mengilustrasikan integrasi agama dengan tradisi setempat. Lembaga-lembaga keagamaan bukan
hanya menjadi pilar dalam membimbing dan memberdayakan masyarakat secara spiritual dan
moral, tetapi juga berkontribusi pada pembentukan karakter dan nilai-nilai penting dalam
kehidupan bersama. Selain itu, melalui warisan sejarah, peran agama terlihat dalam proses
perjuangan kemerdekaan dan pembentukan identitas nasional Indonesia.

Islam juga memiliki pengaruh terhadap latar belakang lahirnya lembaga politik di
Indonesia, yang terlihat dalam pernyataan partai politik yang memiliki berdampak ke dalam
kehidupan politik di Indonesia. Berikut adalah beberapa poin penting terkait pengaruh Islam
terhadap latar belakang lahirnya partai politik di Indonesia:

1. Partai politik Islam klasik: Sebelum masa moden, partai politik Islam klasik muncul di
Mesir dan Indonesia di era awal kemerdekaan. Partai politik Islam klasik mengikuti
prinsip politik dalam Islam dan menggunakan hukum Islam sebagai dasar dalam
mengatur kehidupan politik.3
2. Partai politik Islam modern: Setelah tahun 1945, partai politik Islam modern muncul di
Indonesia. Partai politik Islam modern menggunakan metode sejarah untuk memahami
tentang hukum dalam pendirian partai politik menurut perspektif Islam.4

2
Hilman Latief, FILANTROPI DAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA, h-128 Vol. XXVIII No. 1 2013/1434,
Article in Jurnal Pendidikan Islam · February 2016.
3
Amin Heri Susanto, “HUKUM MENDIRIKAN PARTAI POLITIK PERSPEKTIF ISLAM: REFLEKSI ISLAM POLITIK KLASIK
DAN MODERN”, Volume 11, Nomor 1, Juni 2020., hal 164.
4
Ibid., hal 157.

4
3. Dampak ideologi Timur Tengah mulai tercermin dalam pembentukan partai politik Islam
di Indonesia melalui penggunaan prinsip-prinsip ideologis yang tidak dapat ditawar lagi,
seperti keharusan mendasarkan pada prinsip Islam atau Al-Quran dan Hadist. Pengaruh
ideologi Timur Tengah ini berhasil meraih dukungan masyarakat Indonesia dan
memengaruhi tokoh-tokoh pendiri partai politik Islam, terutama PKS, PBB, dan PPP.
Pengaruh ini juga turut memengaruhi pembuatan kebijakan politik nasional.5
4. Konsep Musyarakah Siyasiah adalah teori yang digunakan oleh Ikhwanul Muslimin
untuk melegitimasi keterlibatan politik kelompok Islam yang memiliki pemikiran
ideologis yang berbeda dengan sistem yang dianut oleh suatu negara, seperti Indonesia, di
mana Islam bukanlah satu-satunya agama resmi yang dianut.6

Islam mempengaruhi sejarah dan kebijakan politik di Indonesia melalui partai politik yang
memiliki berdampak ke dalam kehidupan politik di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam
memiliki peran dalam kebijakan politik di Indonesia dan mengaruhi bagaimana partai politik
beroperasi dalam suasana demokrasi.

Macam-Macam Lembaga Sosial Keagamaan


1. Muhammadiyah
Muhammadiyah (bahasaArab: ‫محمدية‬, translit. muḥammadiyyah, har. 'pengikut Muhammad')7;
secara resmi bernama Persyarikatan Muhammadiyah, yaitu organisasi Islam non-pemerintah di
Indonesia serta merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Muhammadiyah atau
Moehammadijah adalah nama gerakan Islam yang lahir di Kauman Yogyakarta pada tanggal 18
November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah). Didirikan oleh seorang kyai yakni Kyai Haji
Ahmad Dahlan, yang sebelumnya atau nama kecilnya bernama Muhammad Darwisy8.

Muhammadiyah menyarankan membuka kran ijtihad untuk menyesuaikan detail hukum


Islam dengan perkembangan saat ini, dengan tujuan untuk terus mengedepankan Pancasila
didalam dekapan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini bertolak belakang

5
Mohammad Riza Widyarsa, Syafiuddin Fadlillah, Randi M. Ramdhani, Fahmi Salsabilla, “Pengaruh Ideologi Politik
Islam di Indonesia Terhadap Partai Politik di Indonesia. Studi Kasus Partai Keadilan Sejahtera”, Jurnal AL-AZHAR
INDONESIA SERI PRANATA SOSIAL, Vol . 1, No. 1, Maret 2011., hal 28.
6
Ibid., hal 29.
7
Nashir M. Si, Dr. H Haidar. “MUHAMMADIYAH: A REFORM MOVEMENT”. Surakarta 57102 Jawa Tengah –
Indonesia (2015)., hal 12.
8
Ibid., hal 11.

5
dengan cara berpikir sebagian besar umat Islam kolonial yang merasa puas dengan ijtihad dari 4
mazhab dan menutup diri dari kemungkinan pembaharuan ijtihad.

Muhammadiyah memilik peran sangat penting dalam memperluas teologi Salafi di


Indonesia. Salafiyah merupakan gerakan reformasi dalam Islam Sunni. Pada saat didirikan,
Muhammadiyah telah mengadopsi platform reformis yang mengkolanorasikan pendidikan agama
serta modern, terutama sebagai sarana untuk mendorong mobilitas ke atas umat Islam ke dalam
komunitas "masa kini" dan membersihkan Islam Indonesia dari praktik sinkretis lokal. Sebagai
lembaga modernis, Muhammadiyah selalu mendukung budaya lokal serta mengedepankan
toleransi antara umat beragama di Indonesia, sementara terdapat beberapa universitas mayoritas
dihadiri oleh mahasiswa non-Muslim, terutama di provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua.
Komunitas ini juga mengoperasikan jaringan besar pada rumah sakit amal dan saat ini
mengoperasikan 162 perguruan tinggi.

Meskipun pemimpin dan anggota Muhammadiyah sering terlibat dalam proses politik di
Indonesia, organisasi tersebut tidak berfungsi sebagai partai politik. Muhammadiyah lebih fokus
pada upaya sosial dan pendidikan. Mereka terlibat aktif dalam kegiatan yang mendukung
masyarakat dan pendidikan, serta tidak secara resmi terlibat dalam kegiatan politik sebagai
entitas partai politik.

Pada 18 November 1912 M bertepatan pada 8 Zulhijah 1330 H, Ahmad Dahlan, seorang
ulama Muslim yang bekerja sebagai pejabat pengadilan di Keraton Yogyakarta dan memiliki
latar belakang pendidikan dari Makkah, mendirikan Muhammadiyah di Kampung Kauman,
Yogyakarta. Pendirian organisasi ini dipengaruhi oleh beberapa motif yang menjadi latar
belakangnya. Salah satu motif utamanya adalah kondisi kurang majunya masyarakat Muslim
pada masa itu, di mana masih banyak yang terjerumus dalam praktik-praktik spiritual yang tidak
sesuai dengan ajaran Islam serta masifnya penyebaran agama Kristen di kalangan masyarakat
yang ekonominya rendah. Ahmad Dahlan, yang dipengaruhi oleh pemikiran reformis
Muhammad Abduh dari Mesir, meyakini bahwa modernisasi serta penyucian ajaran agama dari
praktik-praktik yang tidak sesuai sangatlah penting dalam reformasi agama. Oleh karena itu,
Muhammadiyah dari awal sangat fokus dalam menjaga konsep keesaan Tuhan (tauhid) dan
melakukan usaha untuk menyempurnakan keyakinan akan satu Tuhan di kalangan masyarakat.

6
Antara tahun 1913 dan 1918, Muhammadiyah telah mendirikan lima sekolah berbasis Islam.
Pada tahun 1919, mereka mendirikan sebuah sekolah menengah Islam yang disebut Hooge
School Muhammadiyah. Dalam upaya mendirikan dan memajukan sekolah-sekolah ini,
Muhammadiyah menerima bantuan penting dari Boedi Oetomo, sebuah gerakan nasionalis yang
memiliki peran krusial dalam sejarah Indonesia pada paruh pertama abad kedua puluh, yang
menyediakan guru-guru untuk mendukung pendidikan di Muhammadiyah. Meskipun terlibat
dalam pendidikan dan menerima bantuan dari Boedi Oetomo, Muhammadiyah secara umum
menghindari aktivitas politik. Sejak awal berdirinya, fokus utama Muhammadiyah adalah pada
kegiatan pendidikan dan sosial, menegaskan komitmennya terhadap pembangunan masyarakat
dan pelayanan sosial.

2. Nadhatul Ulama
Pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1334 H, Nahdlatul Ulama (NU) dibentuk di Surabaya
oleh K.H. Hasyim Asy'ari bersama sejumlah tokoh ulama tradisional dan pengusaha di Jawa
Timur. Proses pendiriannya dimulai dengan munculnya Nahdlatuttujjar (1918) sebagai gerakan
ekonomi di desa, kemudian Taswirul Afkar (1922) sebagai gerakan intelektual dan budaya, serta
Nahdatul Watan (1924) sebagai gerakan politik melalui pendidikan. NU, setelah resmi terbentuk
sebagai jam'iyah pada tahun 1926, memiliki tiga pilar utama: (1) Aspek Ekonomi yang terkait
dengan masyarakat, (2) Aspek Intelektual, Sosial, dan Budaya, dan (3) Aspek Kebangsaan.
Setelah berdiri, NU mendirikan banyak madrasah yang berperan bersama pondok pesantren yang
sudah ada sebelumnya dan memiliki akar yang kuat di Indonesia.
Pada Muktamar III tahun 1928 di Surabaya, NU membicarakan pengembangan pondok
pesantren dan madrasah sebagai salah satu program utamanya. Salah satu program yang terus
berlangsung dari NU adalah pengelolaan madrasah atau sekolah, yang dikenal dengan nama
Ma'arif. Segala program kerja NU tidak hanya untuk mencapai tujuan baru, tetapi pertama-tama
adalah implementasi ajaran agama Islam. Hal yang sama berlaku untuk urusan Madrasah atau
Sekolah, yang awalnya adalah pelaksanaan perintah agama dalam bidang pendidikan, sekaligus
menjadi kontribusi NU dalam upaya pencerahan bangsa dan umat.
NU, merupakan organisasi tumbuh dari masyarakat, sebagian besar madrasah Ma'arif
Nahdatul Ulama didirikan, dibangun, dan didukung oleh masyarakat sendiri yang kemudian
bergabung dengan Ma'arif Nahdatul Ulama. Mereka bersedia untuk dikordinasikan, dibimbing,
dan diawasi oleh Ma'arif NU.

7
3. Persatuan Islam

Pada tanggal 1 Syafar 1342 H/12 September 1923 M, Persatuan Islam (Persis) didirikan di
Bandung. Ide awalnya muncul dari H. Zamzam, seorang alumni Dar al-‘Ulum Mekkah,
sebelumnya beliau menjadi guru agama di pondok Dar al-Muta’alimin pada tahun 1910-1912.
Bersama temannya, H. Muhammad Yunus, yang merupakan seorang pedagang sukses dan juga
berasal dari Palembang, keduanya memiliki latar belakang pendidikan agama tradisional dan
keahlian dalam bahasa Arab yang memungkinkan mereka mengakses kitab-kitab keagamaan
yang menjadi perhatian mereka.

Kedekatan latar belakang pendidikan dan budaya ini membawa mereka berdiskusi tentang
Islam. Diskusi mereka umumnya berkisar pada isu-isu terkait gerakan keagamaan yang sedang
berkembang pada saat itu serta masalah-masalah agama yang dibahas dalam majalah al-Munir
dari Padang dan majalah al-Manar dari Mesir, yang telah lama menjadi bacaan dan perhatian
mereka.

Salah satu karyanya dalam sebuah majalah al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Abduh
yang sangat mempengaruhi mereka adalah: “Al-Islam Mahjubun bi al-Muslimin, Islam telah
tertutup oleh kaum muslimin,” lalu kemudian menjadi ungkapan yang sangat populer di
kalangan pembaru, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia. Tulisan ini mengusulkan
pemikiran dan gaya hidup baru serta kemajuan bagi umat Islam dengan tujuan menghidupkan
kembali ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah.

Hubungan kekeluargaan yang sangat dekat antara H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus,
serta sama-sama berasal dari Sumatera, secara tidak langsung menciptakan semacam jaringan
keluarga besar. Sehingga mereka memiliki hubungan kekerabatan tiga keluarga yang pindah dari
Palembang pada abad ke-18. Ikatan kekeluargaan ini terjalin erat melalui hubungan pernikahan,
kepentingan bersama dalam perdagangan, dan pertemuan rutin dalam mempelajari agama atau
kegiatan sosial keagamaan lainnya.

Macam-Macam Lembaga/Partai Politik Islam di Indonesia

8
1. PKB muncul setelah rezim Orde Baru runtuh dan Soeharto mundur dari jabatannya pada 21
Mei 1998. Partai ini memiliki keterkaitan yang erat dengan Nahdlatul Ulama (NU).
Keprihatinan anggota Nahdliyin terhadap sikap PBNU mendorong lahirnya partai politik dari
NU, seperti Partai Bintang Sembilan di Purwokerto dan Partai Kebangkitan Umat di Cirebon.
Pada 3 Juni 1998, PBNU membentuk Tim Lima yang dipimpin oleh K.H. Ma’ruf Amin
untuk merespons aspirasi Nahdliyin. Tim Asistensi juga dibentuk untuk membantu
menghimpun usulan pembentukan partai politik baru dari kalangan Nahdliyin. Pada 23 Juni
1998, PKB didirikan sebagai wadah aspirasi warga NU. Pendiriannya terjadi di rumah Gus
Dur, Ketua Umum PBNU, dengan kehadiran beberapa tokoh NU seperti KH Ilyas Rukhiat,
KH Mustofa Bisri, KH Munasir Ali, dan KH Muchit Muzadi. Matori Abdul Djalil terpilih
sebagai Ketua Umum PKB.

2. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) adalah PPP merupakan partai Islam yang terkait erat
dengan Muhammadiyah, sebuah organisasi Islam yang besar. Fokusnya adalah
mengimplementasikan keadilan sosial serta kemakmuran berlandaskan pada nilai-nilai Islam.

3. Partai Bulan Bintang (PBB) merupakan sebuah partai politik Islam di Indonesia yang
berkomitmen mendukung penerapan hukum-hukum Islam atau syariah di dalam negara.
Fokusnya adalah memperjuangkan penggunaan nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek
kehidupan.

Peran Lembaga Sosial Keagamaan

1. Agama sebagai Inspirasi Nasionalisme dan Patriotisme: Menyajikan nilai-nilai moral dan
etika dari keagamaan, memotivasi individu untuk mencintai tanah air, mengedepankan
keadilan, serta berperan dalam kemakmuran bangsa.
2. Semangat Sumpah Pemuda 1928 sebagai Pemersatu: Memberikan dukungan rohani dan
moral kepada generasi muda untuk bersatu tanpa memedulikan perbedaan agama,
mendorong semangat persatuan melalui kegiatan keagamaan.
3. Proses Pembentukan NKRI: Mendorong toleransi lintas agama, mengadvokasi keragaman
sebagai kekuatan, serta mempromosikan semangat kebangsaan untuk menjaga kesatuan dan
kedaulatan negara.

9
4. Pancasila sebagai Sumber Nilai Universal: Menggabungkan nilai-nilai keagamaan yang
sejalan dengan prinsip-prinsip Pancasila, seperti keadilan sosial dan kasih sayang
kemanusiaan.
5. Bhinneka Tunggal Ika sebagai Toleransi dan Dialog: Menjadi platform keagamaan untuk
memfasilitasi dialog antar umat beragama, memperkuat pemahaman, dan menekankan
Bhinneka Tunggal Ika sebagai ciri identitas bangsa.
6. Pertahanan NKRI melalui Moral dan Spiritualitas: Memberikan dukungan moral dan spiritual
dalam menghadapi tantangan, menggerakkan komunitas untuk bersama-sama
mempertahankan integritas dan kedaulatan NKRI.

Peran Lembaga Politik


1. Pembangunan Nasionalisme dan Patriotisme melalui Edukasi Politik: Menyelenggarakan
program edukasi politik guna meningkatkan kesadaran nasional, mempromosikan rasa cinta
tanah air, serta mendorong partisipasi aktif dalam proses pembangunan.
2. Semangat Sumpah Pemuda 1928 melalui Organisasi Pemuda: Mendirikan organisasi pemuda
seperti partai pemuda yang memimpin gerakan kebangsaan, menjadi pendorong semangat
Sumpah Pemuda.
3. Proses Pembentukan NKRI melalui Aktivitas Politik: Melalui perjuangan politik, diplomasi,
dan keterlibatan dalam proses kebijakan, lembaga politik berperan dalam pembentukan dan
pengakuan eksistensi NKRI.
4. Pancasila sebagai Dasar Konsep Negara: Terlibat dalam penyusunan konsep Pancasila
sebagai landasan negara, dan berupaya untuk mengakui serta menerapkan nilai-nilai tersebut
dalam struktur sosial.
5. Peran dalam Penyusunan UUD 45 melalui Konstituante: Anggota konstituante dari berbagai
partai politik terlibat dalam pembuatan UUD 45, yang menetapkan dasar hukum negara yang
mengakui hak-hak dasar warga.
6. Bhinneka Tunggal Ika dalam Legislatif Toleran: Membuat kebijakan legislasi yang
mendukung toleransi, menjaga kebebasan beragama, dan memperkuat konsep Bhinneka
Tunggal Ika sebagai elemen persatuan.
7. Pertahanan NKRI melalui Keputusan Politik: Mengambil keputusan politik yang strategis
untuk menghadapi ancaman terhadap NKRI, bekerja sama dengan lembaga keamanan dan
masyarakat sipil guna menjaga stabilitas dan keamanan nasional.

10
Simpulan
Dampak signifikan Islam dalam membentuk lembaga-lembaga sosial, keagamaan, dan
politik di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Islam berperan sentral dalam
membentuk identitas dan struktur sosial masyarakat Indonesia. Lembaga-lembaga keagamaan,
seperti NU, Muhammadiyah dan Persis, menjadi pusat penyebaran nilai-nilai Islam dan
pendidikan agama. Secara politik, partai-partai Islam turut berkontribusi dalam dinamika politik
nasional, menciptakan landasan bagi keberagaman dan pluralisme di Indonesia. Kesimpulan
jurnal ini memberikan wawasan mendalam tentang peran Islam dalam membentuk lanskap sosial
dan politik di Indonesia.

Catatan Akhir

Howard M. Federspiel. (2009). "Persatuan Islam: Islamic Reform in Twentieth Century


Indonesia" Equinox Publishing Asia PTE LTD Jurnal Al Hikmah vol. XIV nomor 2/2013.

Tim Penyusun Persatuan Islam (Persis) Pusat. Penjelasan Qanun Asasi-Qanun Dakhili Pedoman
Kerja Rencana Jihad 2015-2020,( Bandung: Pimpinan Pusat Persatuan Islam (Persis),
2016), P. 7

Badri Khaeruman, Persatuan Islam Sejarah Pembaruan Pemikiran Kembali Kepada Al-Qur’an
Dan Al-Sunnah,(Bandung:Fappi&Iris Press,2010), P. 45

Hilman Latief. (2016). Filantropi Dan Pendidikan Islam Di Indonesia. Vol. XXVIII No. 1
2013/1434, Article in Jurnal Pendidikan Islam.

Amin Heri Susanto. (2020). Hukum Mendirikan Partai Politik Perspektif Islam: Refleksi Islam
Politik Klasik Dan Modern. Volume 11, Nomor 1.

Masykuri Abdillah. (6/2023). Hubungan Agama Dan Negara Dalam Konteks Modernisasi
Politik Di Era Reformasi. Berita Sekolah, Kolom Direktur by admin.
https://graduate.uinjkt.ac.id/?p=15667.

Mohammad Riza Widyarsa, Syafiuddin Fadlillah, Randi M. Ramdhani, Fahmi Salsabilla. (2011)
“Pengaruh Ideologi Politik Islam di Indonesia Terhadap Partai Politik di Indonesia. Studi
Kasus Partai Keadilan Sejahtera”. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial, Vol . 1,
No. 1.

Nashir M. Si, Dr. H Haidar. (2015). “Muhammadiyah: A Reform Movement”. Surakarta 57102
Jawa Tengah – Indonesia.

11
Subhan Zein. (2015). "Nasionalisme dalam Pemikiran dan Gerakan Islam di Indonesia."
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, 5(1), 85-102.

12

Anda mungkin juga menyukai