Anda di halaman 1dari 133

ISSN 2337-1891

TAALLUM
Jurnal Pendidikan Islam
Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013

ISSN 2337-1891

TAALLUM
Jurnal Pendidikan Islam
Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013
Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Nopember. Berisi tulisan yang diangkat dari kajian analisis-kritis di bidang pendidikan. ISSN 2337-1891 Penanggung Jawab Maftukhin Redaktur Imam Fuadi M. Saifudin Zuhri Nur Efendi Muhammad Ridho Penyunting Abd. Aziz Anin Nurhayati Tadjudin Redaktur Pelaksana Muh. Kharis Nuryani Arina Shofiya Umy Zahroh Muhamad Zaini Fathul Mujib Khoirul Anam Sekretariat Akhmad Rizqon Khamami Moh. Arif Isno Zainudin Muhibur Rohman Muh. Nurul huda

Alamat Penyunting dan Tata Usaha : Subag Umum Urusan Penerbitan STAIN Tulungagung Lantai II JI. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung 66221 Telepon (0355) 321513 Fax (0355) 311 656. Email: jurnal_taallum.stainta@yahoo.co.id Taallum (Jurnal Pendidikan Islam) diterbitkan sejak 1 Juni 1991 oleh Jurusan Tarbiyah STAIN Tulungagung. Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media lain. Naskah diketik di atas kertas berukuran A4 spasi 1,5 sepanjang lebih kurang 20 halaman, dengan format seperti tercantum pada Pedoman Bagi Penulis di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan disunting untuk keseragaman format, istilah dan tata cara lainnya. Dicetak di Percetakan KKS Yogya. Isi di luar tanggung jawab Percetakan

ISSN 2337-1891

TAALLUM
Jurnal Pendidikan Islam
Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013
DAFTAR ISI

Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum Magdalena Fenomena Madrasah Pasca Skb 3 Menteri Tahun 1975 dan Implikasinya terhadap Dunia Pendidikan Islam Anin Nurhayati Pandangan Terhadap Anak Dalam Ajaran Islam Moh. Lutfi Nurcahyono Strategi Pemasaran dan Implementasinya Dalam Lembaga Pendidikan Khoirul Anam Analisis Metode Permainan Sosial Untuk Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Ahmad Syaikhudin Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) Dalam Pembelajaran Matematika Untuk Kelas Rendah Muthik Chasnawati Pengawasan Dalam Manajemen Pendidikan Tadjudin Pendidikan Akhlak Sebagai Tuntutan Masa Depan Anak Zainudin Pendidikan Tinggi Dalam Islam Asrop Syafii Hakikat Manusia dan Potensi Ruhaninya Dalam Pendidikan Islam: Sebuah Kajian Ontology Abd. Aziz Tinjauan Matematis Manusia Prima Syaiful Hadi

119-132

133-144 145-158

159-170

171-182

183-194 195-204 205-216 217-222

223-234 235-260

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH UMUM

Magdalena STAIN Padang Sidempuan, Jl. Imam Bonjol Km. 4,5 Sihitang. Tapanuli Selatan magdalena178@gmail.com ABSTRACT Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 is a law that manage all of educational system, included Islamic educational system. Based on the law, Islamic educational implementation in general school has streght and weakness. The streght of it is Islamic educational implementation as a element of the education system can help to reach the national education purpose. Meanwhile, its weakness can find for several aspect such educational result, matter and time allocation, Islamic religion teacher, environment, and Islamic learning methodology. Kata Kunci: pendidikan agama Islam, sekolah umum Pendahuluan Sejak kemerdekaan sampai dikeluarkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah banyak dikeluarkan regulasi yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, baik dalam bentuk perundang-undangan, keputusan menteri, ketetapan MPR/MPRS dan peraturan pemerintah, di antaranya: Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 BAB XIII Pasal 31, Undang- Undang RI nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, Undang-Undang Pendidikan No. 20 tahun 1954, TAP. MPRS No.XXVII/MPRS/1966, UU.R.I Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan sebagainya. Dalam sistem pendidikan Indonesia, pendidikan agama pada mulanya tidak masuk ke dalam kurikulum sekolah umum.Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa pendidikan agama adalah urusan orang tua di rumah, bukan urusan pemerintah/sekolah atau adanya anggapan bahwa pendidikan agama adalah urusan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sudah berkembang di tengah masyarakat terutama sistem pendidikan madrasah dan pondok pesantren.

120

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 119-132

Perkembangan Pendidikan Agama di Sekolah Umum PerspektifPerundang-Undangan Pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi: 1) Tiap- tiap warga negara berhak mendapat pengajaran; dan 2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran Nasional yang diatur dengan undang-undang. Isi konstitusi ini mengamanatkan bahwa dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah harus mengupayakan satu sistem pengajaran yang benar-benar mampu mengakomodir semua unsur bangsa yang sangat majemuk dalam berbagai aspek (agama, suku bangsa, etnis, budaya dan sebagainya).Konstitusi ini juga menuntut pemerintah segera mengupayakan sebuah undang-undang yang mengatur sistem pendidikan nasional. Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, usaha-usaha yang dilakukan dalam mengembangkan pendidikan adalah: pertama sekali membentuk Panitia Penyelidik Pendidikan dan Pengajaran tahun 1946 pada masa Menteri PP dan K Mr. Soewandi, panitia tersebut diketuai oleh Ki Hajar Dewantoro. Panitia itu bertugas untuk meninjau kembali dasar-dasar, isi, susunan, dan seluruh usaha pendidikan/ pengajaran.1 Rencana pokok-pokok pengajaran yang dirumuskan Panitia ini memberikan sebuah gambaran bahwa yang dimaksud dengan satu sistem pengajaran nasional yang dikehendaki oleh pasal 31 UUD 1945 adalah pendidikan dan pengajaran nasional yang bersendikan agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat. Pada awal kemerdekaan, pemerintah dan bangsa Indonesia telah mewarisi sistem pendidikan dan pengajaran yang dualistis, yaitu: (1) sistem pendidikan dan pengajaran pada sekolah-sekolah umum yang sekuler, tak mengenal ajaran agama, yang merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, dan (2) sistem pendidikan dan pengajaran Islam yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat Islam sendiri, baik yang bercorak isolatif-tradisional maupun yang bercorak sintesis dengan berbagai variasi pola pendidikannya.2 Kedua sistem pendidikan yang ada pada awal kemerdekaan tersebut di atas, sering dianggap saling bertentangan serta tumbuh dan berkembang secara terpisah satu sama lain. Sistem pendidikan dan pengajaran yang pertama pada mulanya hanya menjangkau dan dinikmati oleh sebagian kalangan masyarakat, terutama kalangan atas saja.Sedangkan yang kedua (sistem pendidikan madrasah dan pesantren) tumbuh dan berkembang secara mandiri di kalangan rakyat dan berurat- akar dalam masyarakat serta dinikmati oleh kalangan bawah. Sistem pendidikan yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa ini bukanlah sistem pendidikan dan pengajaran warisan pemerintah kolonial Belanda yang bercorak sekuler dan netral terhadap agama, tetapi bukan pula sistem pendidikan warisan dari ummat Islam.Tampaknya mereka menghendaki terjadinya perpaduan atau integrasi
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 83 2 Ibid., hal. 76
1

Magdalena, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

121

antara kedua sistem pendidikan dan pengajaran warisan budaya bangsa tersebut menjadi satu sistem pendidikan nasional. Dalam menjalankan tugasnya, khusus dalam bidang pendidikan agama, Panitia Penyelidik Pengajaran RI menghasilkan rekomendasi sebagai berikut: pertama, pelajaran agama dalam semua sekolah diberikan pada jam pelajaran sekolah.Kedua, para guru dibayar oleh pemerintah, ketiga, pada sekolah dasar, pendidikan ini diberikan mulai kelas IV, keempat, pendidikan tersebut diselenggarakan seminggu sekali pada jam tertentu, kelima, para guru diangkat oleh Departemen Agama, keenam, para guru agama diharuskan juga cakap dalam pendidikan umum, ketujuh , pemerintah menyediakan buku untuk pendidikan umum, kedelapan, diadakan latihan bagi para guru agama, kesembilan, kualitas pesantren dan madrasah harus diperbaiki, dan kesepuluh, pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan.3 Sebagai kelanjutan dari rekomendasi tersebut, pemerintah mengeluarkan PP No. 1/SD tanggal 3 Januari 1946 dan pada tanggal tersebut dinyatakan secara resmi berdirinya Kementerian Agama. Perkembangan berikutnya, Menteri Agama melalui keputusan Nomor 1185/KJ tanggal 20 Nopember 1946 menyempurnakan organisasi Kementerian Agama dan membentuk komisi yang bertugas melaksanakan kewajibankewajiban antara lain: a).Urusan pelajaran dan Pendidikan Agama Islam dan Kristen, b).Urusan pengangkatan guru agama dan c).Urusan pengawasan pelajaran agama.4 Untuk merealisasikan hasil di bidang pendidikan agama, maka Menteri PP & K dan Menteri Agama menerbitkan Peraturan Bersama No. 1142/bhg.A (Pengajaran) tanggal 2-12-1946, No. 1285/K.J. (Agama) tanggal 12-12-1946 yang menentukan adanya pelajaran agama di Sekolah Rakyat sejak kelas IV dan berlaku efektif mulai 1-1-1947.5 Dengan demikian pelaksanaan pendidikan agama di sekolah secara resmi dilaksanakan pada tanggal 1-1-1947 yang didahului oleh keluarnya peraturan bersama Menteri PP & K dan Menteri Agama dan diajarkan pada kelas IV sekolah dasar (Sekolah Rakyat).Untuk membuat rencana pengajaran agama dibentuk Badan Penasehat yang dinamai: Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam (tahun 1947 M), yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantoro dan Drs. Abdullah Sigit. Setelah pemerintah Republik Indonesia Serikat berpusat di Jakarta (tahun 1950), maka mulai diadakan kesatuan rencana Pendidikan Islam untuk seluruh Indonesia. Kebetulan waktu itu Mahmud Yunus dipindahkan dari Kementerian Agama Yogyakarta ke Kementerian Agama RIS Jakarta (3 September 1950).Maka diusahakanlah oleh Sekjen Kementerian Agama RI Yogyakarta Mr. Sunaryo bersama Mahmud Yunus untuk mengadakan kompromi antara rencana Sumatera dengan rencana Kementerian Agama Yogya. Karena menurut rencana Sumatera pendidikan agama dimulai dari kelas I SR, sedangkan menurut rencana Kementerian Agama RI Yogya dimulai dari kelas IV.6
Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1991), hal. 91 Darwis Dasopang, Pendidikan Agama Islam di Sekolah: Telaah Historis dan Dinamika Perkembangannya dalam Pendidikan dan Psikologi Islam Al-Rasyidin (ed.) (Bandung: Citapustaka Media, 2007), hal. 56 5 Abdul Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan. Visi, Misi dan Aksi (Jakarta: PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hal. 10 6 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1983), hal. 358
4 3

122

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 119-132

Peraturan resmi pertama tentang pendidikan agama di sekolah dapat ditemukan dalam Undang-Undang Pendidikan tahun 1950 nomor 4.7 Tentang hal ini terdapat pada bab XII Tentang Pengajaran Agama di sekolah-sekolah negeri, pasal 20 sebagai berikut: ayat (1) dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orangtua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut, dan (2) cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama.8 Untuk keseragaman pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum, Departemen Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dan Departemen Agama mengeluarkan keputusan bersama yang dikeluarkan pada tanggal 16 Juli 1951 yang menetapkan bahwa pendidikan agama diberikan mulai kelas IV Sekolah Rakyat selama dua jam perminggu. Di lingkungan khusus dimana Islam kuat, pelajaran agama mulai di kelas I dan jam pelajaran ditambah 4 jam perminggu.9 Peraturan bersama itu memuat isi antara lain: (a) pada tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan vak) diberikan pendidikan agama (pasal 1); (b) Di sekolah-sekolah rendah pendidikan agama dimulai di kelas IV, banyaknya 2 (dua) jam pelajaran dalam 1 (satu) minggu (pasal 2 ayat 1); (c) Di lingkungan yang istimewa pendidikan agama dapat dimulai di kelas I dan jamnya dapat ditambah menurut kebutuhan, tetapi tidak melebihi 4 jam seminggu dengan ketentuan bahwa mutu pengetahuan umum bagi sekolah-sekolah rendah itu tidak boleh dikurangi dibandingkan dengan sekolah-sekolah rendah lainnya di lain-lain lingkungan. (pasal 2 ayat 2); (d) Di sekolah-sekolah lanjutan tingkatan pertama dan tingkatan atas baik sekolah-sekolah umum maupun sekolah-sekolah vak, diberi pendidikan Agama 2 (dua) jam pelajaran dalam tiap-tiap minggu. (pasal 3); (e) Pendidikan Agama diberikan menurut agama murid masing-masing. (pasal 4 ayat 1); (f) Pendidikan Agama baru diberikan kepada sesuatu kelas yang mempunyai murid sekurang-kurangnya sepuluh orang, yang menganut suatu macam agama. (pasal 4 ayat 2); dan (g) Murid dalam suatu kelas yang memeluk agama lain daripada agama yang sedang diajarkan pada waktu itu, dan murid-murid yang meskipun memeluk agama yang sedang diajarkan tetapi tidak mendapat izin dari orang tuanya untuk mengikuti pelajaran itu, boleh meninggalkan kelasnya selama jam pelajaran agama itu. (pasal 4 ayat 3).10 Undang-Undang Pendidikan Nomor 20 tahun 1954 antara lain berbunyi: (1) Dalam sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pelajaran agama, orangtua menetapkan apakah anaknya mengikuti pelajaran tersebut; (2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur melalui ketetapan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan bersama dengan Menteri Agama. Penjelasan pasal ini antara lain menetapkan bahwa pengajaran agama tidak boleh mempengaruhi kenaikan kelas pada murid.11

7 8

Karel A. Steenbrink, Pesantren , hal. 91-92 Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV Ilmu, 1976), hal. 261 9 Karel A. Steenbrink, Pesantren , hal. 92 10 Djumhur, Sejarah , hal. 271-272 11 Karel A. Steenbrink, Pesantren , hal. 91-92

Magdalena, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

123

Setelah gagalnya gerakan G-30-S/PKI melakukan pemberontakan pada tahun 1965, pemerintah dan rakyat Indonesia semakin menunjukkan perhatian yang besar terhadap pendidikan agama, sebab disadari dengan bermentalkan agama yang kuatlah bangsa Indonesia akan terhindar dari paham komunis. Untuk merealisasikan cita-cita tersebut, maka ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966, pasal I memutuskan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah dasar sampai universitasuniversitas negeri.12 Ketetapan MPRS ini menjadikan pendidikan agama semakin kokoh kedudukannya dalam sistem pendidikan nasional dan membuktikan bagaimana pentingnya peranan pendidikan agama dalam upaya mengantisipasi usaha-usaha pihak luar yang akan merongrong eksistensi bangsa Indonesia yang agamis. Ketetapan MPRS ini diikuti dengan lahirnya peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 23 Oktober tahun 1967, dimana ditetapkan bahwa kelas I dan II Sekolah Dasar diberikan mata pelajaran agama 2 jam perminggu, kelas III tiga jam perminggu, dan kelas IV, 4 jam perminggu. Hal ini berlaku juga bagi SMP dan SMA. Sedangkan di Perguruan Tinggi diberikan 2 jam perminggu.13 Kehidupan sosial, agama dan politik di Indonesia sejak tahun 1966 mengalami perubahan yang sangat besar. Periode ini disebut Zaman Orde Baru dan zaman munculnya angkatan baru yang disebut Angkatan 66. Pemerintah orde baru bertekad sepenuhnya untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 dan melaksanakannya secara murni. Pemerintah dan rakyat akan membangun manusia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya. Yakni membangun bidang rohani dan jasmani untuk kehidupan yang baik, di dunia dan di akhirat sekaligus (simultan).Oleh karena itu Orde Baru disebut juga sebagai Orde Konstitusional dan Orde Pembangunan.14 Berdasarkan tekad dan semangat tersebut di atas maka kehidupan beragama dan pendidikan agama khususnya makin memperoleh tempat yang kokoh dalam struktur organisasi pemerintahan dan masyarakat pada umumnya.Dalam sidang-sidang MPR yang menyusun GBHN pada tahun 1973-1978 dan 1983 selalu ditegaskan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah negeri dalam semua tingkatan (jenjang) pendidikan. Dalam GBHN-GBHN itu dirumuskan sebagai berikut:Bahwa bangsa dan pemerintah Indonesia bercita-cita menuju kepada apa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Pembangunan Nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Hal ini berarti adanya keserasian, keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan bidang jasmani dan rohani, antara bidang material dan spiritual, antara bekal keduniaan dan ingin berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dengan sesama manusia dan dengan lingkungan hidupnya secara seimbang. Pembangunan seperti tersebut di atas menjadi pangkal tolak pembangunan di bidang agama.15 Pada tahun ajaran 1976 diberlakukan kurikulum 1975 untuk SD, SMP dan SMA dengan surat Keputusan Menteri PP & K No. 008/C/U/1975, No. 008/D/U/1975.
Haidar Putra Daulay, Sejarah , hal. 90 Karel A. Steebrink, Pesantren, hal. 94 14 Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, bekerja sama dengan Dirjen Binbaga Islam Depag, 2010), hal. 155 15 Ibid., hal. 156
13 12

124

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 119-132

Jam pengajaran pendidikan agama untuk SD tetap seperti kurikulum 1968, sedangkan untuk SLTP dan SLA ditetapkan menjadi 2 jam pelajaran pada setiap minggu. Demikian pula dengan ditetapkan kurikulum 1984, kedudukan pendidikan agama, baik fungsi, peranan maupun jumlah jam pelajarannya berlangsung seperti yang sudah berjalan.16 Pada era pembangunan sekarang ini, pendidikan agama di masyarakat tetap dibina dan digalakkan dalam usaha untuk mengembangkan kehidupan beragama. Pendidikan agama dalam arti sebagai salah satu bidang studi telah diintegrasikan dalam kurikulum sekolah-sekolah negeri.Hal tersebut di atas ditegaskan dalam TAP. MPR 1983 tentang GBHN bidang agama, poin 1 c dan 1 d, sebagai berikut:pertama, Dengan semakin meningkatnya dan meluasnya pembangunan, maka kehidupan keagamaan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa harus semakin diamalkan baik di dalam kehidupan pribadi maupun dalam hidup sosial kemasyarakatan (1c.) dan kedua, Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan kehidupan keagamaan dan kehidupan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk pendidikan agama yang dimasukkan ke dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri (1d).17 Setelah diterbitkannya Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional sebagai pengganti Undang-Undang No. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah, maka kedudukan pendidikan agama menjadi semakin kuat. Antara lain dalam undang-undang tersebut mengenai pendidikan agama disebutkan bahwa: penyelenggaraan pendidikan agama di dalam keluarga sebagai upaya untuk menumbuhkan dan memberikan keyakinan agama (pasal 10 ayat 4); isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan selain wajib memuat Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, juga memuat pendidikan agama (pasal 39 ayat 2). Demikian pula secara eksplisit pendidikan agama dijumpai pula sebagai isi kurikulum dari bahan kajian minimal bagi pendidikan dasar (pasal 39 ayat 3). Selanjutnya pada pasal 38 ayat 2 dijelaskan tentang arti pendidikan agama, yakni merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan dengan kerukunan antar ummat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.18 Undang-Undang No.20 Tahun 2003 menjelaskan status dan kedudukan pendidikan agama tersebut pada Bab V Pasal 12 ayat (1) Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.19 Dengan berbagai uraian di atas dapat dipahami bahwa pendidikan agama di sekolah sudah mendapat perhatian yang sangat serius dari pemerintah Indonesia sejak zaman kemerdekaan sampai sekarang. Hal ini dibuktikan dengan keluarnya berbagai regulasi dan aturan yang membahas tentang posisi penting pendidikan agama dalam kehidupan bangsa Indonesia, dimana aturan-aturan yang ada berkembang ke arah
Abdurrahman Saleh, Pendidikan , hal. 13 Zuhairini, Sejarah , hal. 237 18 Pemerintah RI, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003tentang Sitem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hal. 41-42 19 Haidar Putra Daulay, Sejarah , hal. 91
17 16

Magdalena, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

125

yang lebih baik dari aturan yang satu ke aturan yang berikutnya, sehingga pelaksanaan pendidikan agama di sekolah berpijak pada landasan hukum yang kokoh dan dapat dipertanggungjawabkan. Perspektif Kurikulum Kurikulum secara kebahasaan, berasal dari bahasa latin currere, yang berarti lapangan perlombaan lari. Secara terminologi, kurikulum berarti suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.20 Kurikulum menurut Abdur Rahman Saleh adalah: cita-cita yang dimanifestasikan dalam bentuk program; jalan yang ditempuh; segala pengalaman anak di bawah bimbingan sekolah; perangkat program pendidikan (yaitu kegiatan dan pengalaman belajar) yang direncanakan dan dilaksanakan guna mencapai tujuan pendidikan; seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran dalam kegiatan belajar-mengajar.21 Berdasarkan pengertian di atas dipahami bahwa cita-cita suatu bangsa dijabarkan dalam kurikulum pendidikannya, baik dalam bentuk teori maupun dalam bentuk pengalaman-pengalaman pembelajaran yang berfungsi sebagai proses pematangan tarap berfikir anak-anak bangsanya. Dengan demikian isi dan muatan kurikulum senantiasa mengalami penyesuaian terhadap perkembangan yang terjadi di tengah masyarakat dengan tekanan yang berbeda. Dalam dunia pendidikan Indonesia telah terjadi beberapa kali pergantian kurikulum sebagai inovasi dan penyesuaian terhadap perubahan dan perkembangan zaman demi tercapainya tujuan ideal bangsa Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam tata pergaulan dunia yang sangat kompetitif. Kurikulum yang pertama sekali digunakan di sekolah-sekolah di Indonesia adalah kurikulum tahun 1950, kemudian diganti dengan kurikulum 1958 yang dipergunakan sampai tahun 1964, yaitu pada waktu kurikulum 1964 mulai disusun dan dilaksanakan mulai tahun 1965. Kurikulum ini terus dipergunakan walaupun masih mengalami perubahan sampai tersusunnya kurikulum 1968 dan mulai dipergunakan pada tahun 1969.22 Kurikulum 1968 merupakan kurikulum sekolah terakhir yang disusun sebelum Repelita I. Dan kurikulum 1975 adalah kurikulum yang disusun pertama kali dalam periode era pembangunan jangka panjang pertama, yaitu pada masa Repelita II. Kurikulum 1975 disusun sebagai koreksi terhadap kelemahan-kelemahan kurikulum 1968, baik dilihat dari pengorganisasian materinya, pendekatan belajar mengajarnya, sarana prasarana, maupun sistem pengelolaannya. Kurikulum tahun 1975 terus

Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan, Panduan Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Bina Mitra Pemberdayaan Madrasah, 2005), hal. 1 21 Abdurrahman Saleh, Pendidikan , hal. 39 22 Ace Suryana dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1993), hal. 97

20

126

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 119-132

berlangsung sampai tahun 1984, yaitu pada waktu kurikulum 1984 disusun untuk digunakan pada jenis sekolah tertentu.23 Kurikulum yang berlaku di Indonesia sekarang adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KSTP) sebagai inovasi dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).Aspek yang ditekankan dalam kurikulum yang berlaku sekarang adalah keseimbangan antara aspek pengetahuan (kognisi), keterampilan (psikomotor), dan aspek sikap (apeksi) secara bersamaan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Th. 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 dinyatakan bahwa pendidikan dasar dan menengah wajib memuat; pendidikan Agama, pendidikan Kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan sosial, seni budaya, pendidikan jasmani dan olah raga, keterampilan/kejuruan dan muatan lokal.24 Dalam Undang-Undang ini, pendidikan agama merupakan mata pelajaran wajib bagi jenjang pendidikan dasar dan ikut menentukan naik tidaknya siswa ke jenjang yang lebih tinggi, bahkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Th. 2003 secara implisit menyatakan bahwa nilai pendidikan agama menentukan lulus tidaknya seorang peserta didik dari sebuah lembaga pendidikan. Perspektif Jam Pelajaran Dalam fase kemerdekaan era orde lama (1945 1959), pada masa ini Pendidikan Agama Islam telah dikelola secara sistematis dalam muatan kurikulum nasional.Dalam hal ini, guru agama di sekolah umum dituntut untuk memiliki pengetahuan umum yang dapat menopang tugasnya. Alokasi waktu yang disediakan sebanyak 2 jam pelajaran perminggu. Materi yang diajarkan meliputi akidah, syariah dan akhlak. Pengalokasian terhadap pendidikan agama Islam yang demikian secara umum tidak jauh berbeda dengan kebijakan pendidikan yang berlaku sampai dewasa ini.25 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 6 ayat 1 menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, mata pelajaran kewarganegaran dan kepribadian, mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, mata pelajaran estetika, dan mata pelajaran jasmani, olah raga, dan kesehatan. Sementara itu, mengenai struktur kurikulum SD/MI dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, kurikulum SD/MI memuat 8 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri seperti tertera pada tabel; kedua, subtansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SD/MI merupakan IPA terpadu dan IPS terpadu; ketiga, pembelajaran pada kelas I s/d III dilaksanakan melalui pendekatan tematik, sedangkan pada kelas IV s/d VI dilaksanakan melalui pendekatan mata pelajaran; keempat, jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikilum satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran perminggu secara keseluruhan; kelima, alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah
Ibid., hal. 98 Pemerintah RI, Undang-Undang Nomor 20 , hal. 22 25 Samsul Nizar, Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hal. 174
24 23

Magdalena, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

127

35 menit; dan keenam, minggu efektif dalam 1 tahun pelajaran (dua semester) adalah 34 38 minggu. Sedangakan struktur kurikulum SMP/MTs dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama , kurikulum SMP/MTs memuat 10 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri; kedua, subtansi mata pelajaran IPA dan IPS pada SMP/MTs merupakan IPA terpadu dan IPS terpadu; ketiga, jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikilum satuan pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran per minggu secara keseluruhan; keempat, alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 40 menit; dan kelima, minggu efektif dalam 1 tahun pelajaran (dua semester) adalah 34 38 minggu. Sementara itu struktur kurikulum SMA/MA adalag sebagai berikut: pertama, kurikulum SMA/MA Kelas X terdiri atas 16 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri, Kelas XI dan XII Program IPA, IPS, Bahasa dan Keagamaan terdiri atas 13 mata pelajaran, muatan lokal dan pengembangan diri; kedua, jam pembelajaran untuk setiap mata pelajaran dialokasikan sebagaimana tertera dalam struktur kurikilum Satuan Pendidikan dimungkinkan menambah maksimum empat jam pembelajaran perminggu secara keseluruhan; ketiga , alokasi waktu satu jam pembelajaran adalah 45 menit, dan keempat, minggu efektif dalam 1 tahun pelajaran (dua semester) adalah 34 38 minggu. Struktur kurikulum SMK/MAK meliputi substansi pembelajaran yang ditempuh dalam satu jenjang pendidikan selama tiga tahun atau dapat diperpanjang hingga empat tahun mulai dari kelas X sampai dengan kelas XII atau kelas XIII. Struktur SMK/ MAK disusun berdasarkan standar kompetensi lulusan dan standar kompetensi mata pelajaran.26 Respon Masyarakat tentang Pendidikan Agama di Sekolah Umum Hingga saat ini bangsa Indonesia masih mengalami suasana keprihatinan yang bertubi-tubi.Hasil survey menunjukkan bahwa negeri kita masih bertengger dalam jajaran negara yang paling korup di dunia. Dari lingkungan pejabat tinggi hingga lingkungan pejabat paling rendah; disiplin makin longgar, tingkat penindasan yang kuat terhadap yang lemah sebagaimana tampak dalam tingkah laku semrawut dan saling menindas para pelaku lalu lintas yang tidak kunjung berkurang, semakin meningkatnya tindak kriminal, tindak kekerasan, anarchisme, premanisme, tindakan brutal, perkelahian antar pelajar, konsumsi minuman keras, dan narkoba yang sudah melanda di kalangan pelajar, white collar crimes (kejahatan kerah putih), KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang melanda di berbagai institusi dan lain-lain.27 Bangsa Indonesia sedang menghadapi krisis multi dimensional.Hasil kajian berbagai disiplin ilmu dan pendekatan, tampaknya ada kesamaan pandangan bahwa segala macam krisis itu berpangkal dari krisis akhlak atau moral. Anehnya, krisis ini oleh beberapa pihak antara lain disebabkan karena kegagalan pendidikan agama. Bertolak dari hasil survey di beberapa Negara (Indonesia, Rusia, Pakistan, Bangladesh, Nigeria, Argentina, AS, Kanada dan sebagainya), Azyumardi Azra tidak setuju pada
26 Mendiknas, Lampiran Permendiknas no.22 Tahun 2006 tanggal, 23 Mei 2006 , (Jakarta: Mendiknas, 2006), hal. 6-19 27 Muhaimin, Rekonstruksi, hal. 54

128

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 119-132

pendapat yang mengatakan maraknya tindak kriminal disebabkan oleh gagalnya pendidikan agama. Maraknya tindak kriminal lebih disebabkan oleh: 1) lemahnya penegakan hukum, atau soft state (Negara lembek) dalam penegakan hukum, semuanya bisa diatur dengan sogok menyogok, money politic, dan lain sebagainya; 2) mewabahnya gaya hidup hedonistik; dan 3) kurang adanya political will dan keteladanan dari pejabatpejabat publik untuk memberantas korupsi atau penyakit sosial lainnya. Karena itu tidaklah adil apabila orang secara simplistis mengkambinghitamkan agama.28 Terlepas dari kontroversi penyebab maraknya tindak kriminal di beberapa negara termasuk di Indonesia, yang jelas pendidikan agama banyak menuai komentar negatif dari masyarakat, baik masyarakat awam, birokrat maupun masyarakat akademis. Mochtar Buchori; beliau menilai pendidikan agama masih gagal disebabkan praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif dan mengabaikan pembinaan aspek apektif yaitu kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama.29 Maftuh Basyuni; dalam majalah Tempo, 24 Nopember 2004 menyatakan bahwa pendidikan agama yang berlangsung saat ini cenderung masih mengedepankan aspek kognisi (pemikiran) daripada apeksi (rasa) dan psikomotorik (tingkah laku). 30 Komaruddin Hidayat; beliau mengatakan pendidikan agama lebih berorientasi pada belajar tentang agama, sehingga hasilnya banyak orang yang mengetahui nilai-nilai ajaran agama, tetapi perilakunya tidak relevan dengan ajaran agama yang diketahuinya.31 Kekurangberhasilan pendidikan agama di sekolah dari beberapa komentar di atas dikarenakan: isi pendidikan agama yang ada terlalu akademis, terlalu banyak topik, banyak pengulangan yang tidak perlu, akhlak dalam arti perilaku hampir tidak diperhatikan, kecuali yang bersifat kognitif dan hafalan. Dalam hal pengajaran Alquran, proses yang ada hampir tidak memungkinkan anak didik memiliki kemampuan membaca dan menulis Alquran dengan baik karena metode yang dipakai tidak memadai.32 Salah satu komentar yang paling menarik adalah yang disampaikan oleh Rasdiana bahwa orientasi pembelajaran Alquran di sekolah masih sebatas kemampuan membaca, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna.Padahal untuk sampai pada ajaran Islam yang utuh diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dalam memahami dan menggali makna yang terkandung di dalam Alquran sebagai sumber utama ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Berbagai persoalan internal pendidikan agama Islam tersebut hingga kini belum terpecahkan secara memadai, tetapi di sisi lain pendidikan Islam juga sedang berhadapan dengan faktor-faktor eksternal yang antara lain berupa menguatnya pengaruh budaya materialisme, konsumerisme, dan hedonisme, yang menyebabkan terjadinya perubahan life style (gaya hidup) masyarakat dan peserta didik pada umumnya. Di
Ibid., hal. 54. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005), hal. 23 30 Ibid. 31 Ibid. 32 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001), hal. 38
29 28

Magdalena, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

129

tengah-tengah suasana semacam itudiperlukan upaya fungsionalisasi pendidikan agama Islam seoptimal mungkin melalui manajemen kurikulum PAI yang lebih profesional di sekolah. Analisis terhadap Pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah Umum Secara konseptual-teoretis pendidikan agama di sekolah berfungsi sebagai: 1) pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, 2) penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, 3) penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial, 4) perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan seharihari, 5) pencegahan dari hal-hal negatif budaya asing yang dihadapinya sehari-hari, 6) pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nirnyata), sistem dan fungsionalnya, dan 7) penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.33 Dengan beratnya fungsi yang diemban oleh pendidikan agama Islam di sekolah dalam tugas-tugas keagamaan tentunya akan menyebabkan perhatian pemerintah terhadap segala aspek yang berhubungan dengan peningkatan kualitas pendidikan agama (baik dari segi regulasi, penambahan dan perbaikan fasilitas, penambahan jumlah jam, peningkatan mutu dan kompetensi guru dan sebagainya) akan semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sementara itu permasalahan-permasalahan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah dapat dikategorikan dalam berbagai aspek: 34 Pertama , hasil yang diharapkan.Rumusan tujuan pendidikan agama yang terangkum dalam kata meningkatkan iman dan takwa merupakan hal yang masih sangat luas.Unsur ketakwaan yang mana yang perlu dicapai secara khusus pada masing-masing jenjang pendidikan (dari SD-PT) perlu dirumuskan mengingat keterbatasan waktu, fasilitas dan kondisi lingkungan serta spesifikasi jenis dan tingkatan sekolah tertentu.Kedua, Materi dan alokasi waktu.Luasnya ruang lingkup materi pendidikan agama Islam jika dibandingkan dengan alokasi waktu yang tersedia (2 jam pelajaran perminggu) tidak akan bisa dituntaskan apalagi kalau dihubungkan dengan konsep belajar tuntas (mastery learning). Permasalahan luasnya materi pelajaran agama di sekolah dengan minimnya alokasi waktu yang tersedia dapat diatasi dengan berbagai upaya antara lain: penekanan kegiatan-kegiatan keagamaan di sekolah dalam bentuk habitualisme atau kegiatankegiatan pembiasaan seperti pembiasaan pengucapan salam, pembiasaan salat zuhur berjamaah, pembiasaan doa sebelum dan sesudah pembelajaran oleh guru-guru yang beragama Islam dan pembiasaan melafalkan surat-surat pendek sebelum dan sesudah pembelajaran. Dan upaya lainnya adalah pengintegrasian nilai-nilai agama pada seluruh mata pelajaran atau bidang studi oleh semua guru yang beragama Islam. Ketiga, Siswa sebagai peserta didik.Analisis faktual menunjukkan kondisi siswa di sekolah terutama pada sekolah lanjutan terdiri dari latar belakang yang sangat bervariasi mulai dari latar belakang sekolah asal, kondisi keluarga sampai pengalaman
33 34

Muhaimin, Pengembangan , hal. 40 Abdurrahman Saleh, Pendidikan , hal. 25-28

130

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 119-132

keagamaan.Kondisi seperti ini tentu sangat menyulitkan bagi para guru agama dalam menjalankan tugasnya untuk menyelesaikan program pengajaran dalam kurikulum pendidikan agama Islam.Keempat, Ooangtua siswa.Keterlibatan orangtua dalam rangka memberhasilkan program pembelajaran agama memiliki peranan yang cukup strategis. Kondisi orangtua yang cukup sibuk sehingga tidak memiliki waktu luang untuk memantau proses belajar anaknya di rumah (termasuk pendidikan agama) merupakan permasalahan yang cukup serius pada masa sekarang ini. Kelima, lingkungan pendidikan.Proses internalisasi nilai-nilai agama yang dilakukan di sekolah sering kali kontradiksi dengan fakta yang terjadi di tengah masyarakat, sehingga peserta didik mengalami kebingungan untuk menentukan pilihan di antara kontradiksi yang terjadi antara nilai-nilai ideal yang ditanamkan di sekolah dengan fakta-fakta sosial di tengah masyarakat.Keenam, guru agama.Permasalahan yang sering terjadi mengenai guru agama adalah masalah rasio guru agama dengan jumlah siswa, kualitas dan kapasitas keilmuan guru agama, masalah profesionalisme guru agama, dualisme birokrasi pengelola pendidikan (Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama), dan sebagainya. Ketujuh, metodologi. Kelemahan pendidikan Islam dalam aspek metode dapat diidentifikasi sebagai berikut: a). kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna dan nilai atau kurang mendorong penjiwaan terhadap nilainilai keagamaan yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik, b). kurang dapat berjalan bersama dengan program-program pendidikan non agama, c). kurang mempunyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat atau kurang ilustrasi konteks sosial budaya, atau bersifat statis akontekstual dan lepas dari sejarah, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.35 Apa yang digambarkan ini hanya merupakan sebagian kecil dari persoalanpersoalan pelaksanaan pendidikan agama di sekolah, apabila ditelusuri lebih lanjut akan ditemukan berbagai kendala yang merupakan permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala dalam proses pelaksanaan pendidikan agama di sekolah. Diakui bahwa terdapat beberapa kesulitan dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Islam, baik yang bersifat internal maupun eksternal.Kesulitan internal, berasal dari sifat bidang studi Pendidikan Agama Islam itu sendiri yang banyak menyentuh aspek-aspek metafisika dan bersifat abstrak, atau menyangkut hal-hal yang bersifat supra-rasional. Sedangkan kesulitan eksternal berasal dari luar bidang studi Pendidikan Agama Islam itu sendiri, antara lain menyangkut dedikasi guru PAI mulai menurun, lebih bersifat transaksional dalam bekerja, orangtua di rumah mulai kurang memperhatikan pendidikan agama anaknya, orientasi tindakan semakin materialistis, orang semakin bersifat rasional, orang semakin bersifat individualis, kontrol sosial semakin melemah dan lain-lain. Penutup Dinamika perkembangan pendidikan agama terus-menerus mendapat perhatian dari seluruh masyarakat Indonesia, perhatian itu bukan saja datang dari kelompok masyarakat dan pemeluk agama saja tetapi juga dari pemerintah sebagai penyelenggara

35

Muhaimin, Pengembangan , hal. 27

Magdalena, Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum

131

pendidikan termasuk pendidikan agama dan keagamaan. Respon dan perhatian terhadap penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah ini dibuktikan dengan banyaknya undangundang dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak Indonesia merdeka sampai sekarang yang mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum. Dan peraturan perundang-undangan yang ada senantiasa mengalami perkembangan ke arah yang positif sehingga pelaksanaan pendidikan agama di sekolah mengalami perbaikan tahun demi tahun. Perhatian terhadap pentingnya pendidikan agama semakin dirasakan oleh segenap bangsa Indonesia ketika ajaran agama mampu menangkis dan menggagalkan upaya sekelompok masyarakat Indonesia yang ingin mengubah dasar dan haluan negara yang berlandaskan agama menjadi idiologi komunis yang anti agama. Undang-undang paling mutakhir yang mengatur tentang pendidikan agama di sekolah adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam undang- undang ini dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Upaya mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia tidak akan tercapai apabila mengabaikan peran pendidikan agama di sekolah, karena sebagian besar anak Indonesia usia sekolah mengenyam pendidikan pada sekolah-sekolah umum (SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi Umum). DAFTAR PUSTAKA Daulay, Haidar Putra . Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Dasopang, Darwis. Pendidikan Agama Islam di Sekolah: Telaah Historis dan Dinamika Perkembangannya dalam Pendidikan dan Psikologi Islam Al-Rasyidin (ed.). Bandung: Citapustaka Media, 2007. Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu, 1976. Hardinah, Hesti. (ed.), UU. RI No. 2 Th. 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semarang: Aneka Ilmu, 2008. Majelis Pertimbangan dan Pemberdayaan Pendidikan Agama dan Keagamaan, Panduan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Bina Mitra Pemberdayaan Madrasah, 2005. Mendiknas, Lampiran Permendiknas No. 22 Tahun 2006 Tanggal 23 Mei 2006 . Jakarta: Mendiknas, 2006. Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam . Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009. Muhaimin, Rekonstruksi Pendidikan Islam.Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2009. Nizar, Samsul.Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching, 2005.

132

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 119-132

Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001. Saleh, Abdul Rahman. Pendidikan Agama dan Keagamaan. Visi, Misi dan Aksi.Jakarta: PT. Gemawindu Pancaperkasa, 2000. Steenbrink, Karel A. Pesantren Madrasah dan Sekolah.Jakarta: LP3ES, 1991. Suryana, Ace dan H.A.R. Tilaar, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 1993. UU Tentang Sitem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika, 1993. UU RI No. 20 Th. 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional. Semarang: Aneka Ilmu, 2003. Yunus,Mahmud.Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1983. Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, bekerja sama dengan Dirjen Binbaga Islam Depag, 2010.

FENOMENA MADRASAH PASCA SKB 3 MENTERI TAHUN 1975 DAN IMPLIKASINYA TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN ISLAM

Anin Nurhayati STAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung umy_zidne@yahoo.com ABSTRACT Madrasah as one of Islamic education in Indonesia has a long history in this nation. Formally, madrasah is developed as a response toward two important conditions, those are the reformation of Islam in Indonesia and education under supervision of Dutch. The implication of such condition in modern era is the issue of the decree of three ministers that reduce the problem dualism in education and the improvement of the quality of madrasah. The issue of such decree is a stepping point to integrate madrasah to the national system of education. Kata Kunci: posisi madrasah, SKB 3 menteri Pendahuluan Madrasah sebagai institusi pendidikan keagamaan di Indonesia, memiliki sejarah yang panjang. Penelusuran jejak-jejak madrasah dapat dimulai dari upaya-upaya memperbarui sistem pendidikan Islam, baik yang dilakukan secara pribadi oleh pemimpin-pemimpin Islam, maupun yang dilakukan secara institusional lewat organisasi sosial-keagamaan. Bukan hal yang mudah pula untuk membuktikan siapa pemimpin, atau lembaga mana yang pertama kali memulai melakukan perubahan substansi, dan didaktik-metodik dalam pendidikan Islam, yang diambil dari sistem pendidikan Barat ini.1 Masuknya ide-ide pembaruan pemikiran Islam ke Indonesia pada awal abad keduapuluh, dan dikategorikanlah madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam yang menyuarakan suara pembaruan, berbeda dengan pesantren yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional.2 Identitas madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia tetap dipertahankan meskipun harus menghadapi berbagai tantangan dan kendala yang
1 aidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 96-98 2 Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 55

134

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 133-143

tidak kecil, terutama pada masa penjajahan. Menurut Maksum ada dua faktor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah di Indonesia, pertama, karena pembaruan Islam, kedua adalah sebagai respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Sedangkan menurut Muhaimin bahwa kehadiran madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam setidaknya karena beberapa alasan: yaitu sebagai manifestasi pembaruan sistem pendidikan Islam, penyempurnaan sistem pesantren, keinginan sebagian kalangan santri terhadap model pendidikan Barat, dan sebagai sintesa sistem pendidikan pesantren dan sistem pendidikan Barat.3 Pasca kemerdekaan dibentuklah departemen agama pada 3 Januari 1946 yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia, termasuk didalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Namun pada perkembangan selanjutnya, madrasah walaupun sudah berada di bawah naungan Departemen Agama tetapi hanya sebatas pembinaan dan pengawasan. Hal ini berjalan sampai berakhirnya Orde Lama. Bahkan pada awalawal masa pemerintahan Orde baru, kebijakan tentang madrasah bersifat melanjutkan dan meningkatkan kebijakan orde lama. Pada tahap ini madrasah belum dipandang sebagai bagian dari sitem pendidikan nasional, tetapi baru bersifat lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri Agama. Hal ini disebabkan pendidikan madrasah belum didominasi oleh muatan-muatan agama, menggunakan kurikulum yang belum terstandar, memiliki struktur yang tidak seragam, dan kurang terpantaunya manajemen madrasah oleh pemerintah. Menghadapi kenyataan tersebut langkah pertama dalam melakukan pembaruan adalah dikeluarkannya kebijakan Menteri Agama dengan melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah.4 Salah satunya seperti tercantum pada Pasal 1 TAP MPRS No. XXVII tahun 1966 menetapkan pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai ke universitas-universitas negeri.5 Hal ini menunjukkan bahwa upaya melakukan formalisasi dan strukturisasi madrasah merupakan agenda awal pemerintah pada masa Orde Baru. Dalam dekade 1970-an madrasah terus dikembangkan untuk memperkuat keberadaannya, namun di awal-awal tahun 1970-an, justru kebijakan pemerintah terkesan berupaya untuk mengisolasi madrasah dari bagian sistem pendidikan nasional. Hal ini terlihat dengan langkah yang ditempuh pemerintah dengan mengeluarkan suatu kebijakan berupa Keputusan Presiden Nomor 34 tahun 1972 tentang Tanggung Jawab Fungsional Pendidikan dan Latihan. Selanjutnya Keppres ini dipertegas oleh Inpres No 15 tahun 1974 yang mengatur operasionalnya. Dengan Keppres dan Inpres ini, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Mendikbud. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelengaraan pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Depdikbud.6
Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Islam di Indonesia ( Malang: UMM Presss, 2006), hal. 117-118 4 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 360; Lihat juga Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKis, 2008), hal. 205 5 Haidar Putra Daulay, Pendidikan , hal. 150 6 Samsul Nizar, Sejarah , hal. 360
3

Anin Nurhayati, Fenomena Madrasah Pasca SKB 3 Menteri Tahun 1975 ...

135

Kebijakan yang dinilai tidak menguntungkan umat Islam ini menimbulkan respons dan kegelisahan tokoh-tokoh Islam dan organisasi-organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, karena kebijakan ini akan menghilangkan wewenang Menteri Agama di bidang pendidikan. Respons itu ditunjukan antara lain oleh MP3A7 yang berpendapat bahwa yang paling tepat untuk diserahi tanggungjawab dalam penyelenggaran pendidikan madrasah adalah Depag, sebab Menteri Agamalah yang lebih tahu konstelasi pendidikan Islam, bukan Mendikbud atau menteri-menteri yang lain.8 Melihat aspirasi umat Islam yang keberatan atas kebijakan yang dikeluarkan pemerintah, maka pemerintah pun secara aktif menyikapi tuntutan umat Islam tersebut, sehingga pada tanggal 26 November 1974 diadakan sidang kabinet terbatas yang salah satu hasilnya adalah kesepakatan yang dikeluarkan oleh tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri) yang dikenal dengan SKB 3 Menteri tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Madrasah.9 Melihat fenomena lahirnya SKB 3 Menteri diatas sesungguhnya menarik untuk dikaji bahwa kebijakan yang berupa SKB ini merupakan keputusan politik atau solusi politik pemerintah dalam menyikapi penyelenggaran pendidikan madrasah. Terlepas bahwa SKB 3 Menteri ini dapat juga dianggap sebagai tonggak sejarah modernisasi madrasah. Dengan lahirnya SKB ini pula dikotomi dua macam pendidikan agama dan umum melahirkan dualisme pendidikan di Indonesia semakin kuat. Madrasah sebelum SKB 3 Menteri Tahun 1975 Perkembangan pendidikan dan pengajaran Islam dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem tradisional yang diadakan di surau, langgar, masjid dan pesantren. Perkembangan selanjutnya yang mengubah sistem halaqah ke sistem klasikal dipengaruhi oleh sistem sekolah-sekolah pemerintah kolonial Belanda. Hal ini bertujuan untuk menandingi sekolah-sekolah Belanda yang diskriminatif dan netral agama yang dinilai tidak sesuai dengan cita-cita Islam. Sejarah dan perkembangan madrasah di Indonesia di bagi pada 2 periode yaitu periode sebelum kemerdekaan dan periode setelah kemerdekaan, tepatnya sampai masa orde lama. Latar belakang pertumbuhan madrasah sebelum kemerdekaan dapat dikembalikan pada dua situasi yaitu adanya gerakan Pembaharu Islam di Indonesia10 dan adanya respon masyarakat muslim terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Madrasah dalam beberapa hal dapat dikatakan sebagai lembaga persekolahan ala Belanda yang diberi muatan keagamaan.11 Adapun setelah kemerdekaan, dibentuklah Departemen Agama yang akan mengurus masalah keberagamaan di Indonesia termasuk didalamnya pendidikan, khususnya madrasah. Dalam bagian struktur organisasinya terdapat bagian pendidikan dengan tugas pokoknya mengurus masalah pendidikan agama di sekolah umum dan
Lihat Marwan Saridjo, Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2010), hal. 111 8 Nurasa, Pola , hal. 363 9 Ibid. 10 Khozin, Jejak-jejak , hal. 118 11 Ibid.
7

136

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 133-143

pendidikan agama di sekolah agama (madrasah dan pesantren), di samping itu ditambah lagi dengan penyelenggaraan pendidiikan guru untuk pengajaran agama disekolah umum, dan guru pengetahuan umum di perguruan-perguruan agama. Perkembangan madrasah pada masa orde lama sejak awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Departemen Agama (Kemenag). Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu capaian yang paling menonjol dari pembinaan madrasah pada masa Orde Lama adalah pengembangan yang intensif terhadap madrasah keguruan, baik dalam bentuk Pendidikan Guru Agama (PGA) maupun Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN). Selain itu Departemen Agama (Kemenag) juga mengambil kebijakan pemberdayaan dan peningkatan kualitas dengan menegerikan beberapa madrasah swasta.12 Namun demikian, perhatian pemerintah tersebut tidak berlanjut. Hal ini Nampak ketika Undang-undang pendidikan nasional pertama (UU no 4 tahun 1950 jo UU no. 12 tahun 1954)13 diundangkan, masalah madrasah dan pesantren tidak dimasukkan sama sekali, oleh karena itu mulai muncul sikap diskriminatif pemerintah terhadap madrasah dan pesantren. Seharusnya pemerintah dalam hal ini Departemen Agama berusaha membuka akses madrasah ke pentas nasional, karena memang salah satu tujuan dari pemnbentukan Departemen Agama adalah untuk memperjuangkan politik pendidikan Islam. Adapun untuk merealisasikan UU No 4 Tahun 1950 pasal 1 tetang kewajiban belajar maka diselenggarakanlah konsep MWB (Madrasah Wajib Belajar) sebagai tindak lanjutnya.14 Sedangkan untuk pengorganisasian dan pengaturan kurikulum serta penyelenggaran MWB, diatur sebagai berikut: a) MWB adalah tanggung jawab pemerintah. b) MWB menampung murid-murid yang berumur antara 6-14 tahun. c) Lama belajar MWB adalah 8 tahun. d) Pelajaran yang dibeikan pada MWB terdiri dari tiga kelompok studi, yaitu pelajaran agama, pengetahuan umum dan pelajaran ketrampilan dan kerajinan tangan. e). 25% dari jumlah jam pelajaran digunakan untuk agama, sedangkan 75% untuk pengetahuan umum, ketrampilan dan kerajinan tangan.15 MWB ini dinilai telah menawarkan konsep yang lebih baik meskipun pada akhirnya mengalami kegagalan.. Madrasah Perspektif SKB 3 Menteri Tahun 1975 SKB ini dapat dipandang sebagai model solusi yang disatu sisi memberikan pengakuan eksistensi madrasah, dan di sisi lain memberikan kepastian akan berlanjutnya usaha yang mengarah pada pembentukan sistem pendidikan nasional yang integratif. Akan tetapi melihat sejarah kelahiran SKB ini dan mencermati isinya nampak terlihat ada sebuah solusi politik yang mana hal itu bisa di baca pada konsiderans butir b yang berbunyi bahwa dipandang perlu mempertimbangkan penerbitan Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Menteri Dalam Negeri tentang Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah, sebagai pelaksanaan
12 13

Khozin, Jejak-jejak , hal. 122 Saridjo, Pendidikan , hal. 73 14 ibid, hal. 87 15 Khozin, Jejak-jejak , hal. 120

Anin Nurhayati, Fenomena Madrasah Pasca SKB 3 Menteri Tahun 1975 ...

137

dari Keputusan presiden No 34 tahun 1972 dan Instruksi Presiden No 15 tahun 1974. Dalam kenyataannya, isi SKB tidak sepenuhnya sejiwa dengan sebagian isi Keppres. Dalam SKB dinyatakan bahwa pengelolaan madrasah tetap menjadi tanggung jawab dan wewenang Menteri Agama, yang tadinya dalam Keppres kewenangan pengelolaan terhadap pembinaan pendidikan termasuk pendidikan madrasah dialihkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu dari perspektif pembaruan pendidikan Islam (madrasah dan pesantren) ide dan gagasan-gagasan SKB 3 Menteri pada dasarnya merupakan kelanjutan dari gagasan-gagasan yang sama yang muncul sebelumnya seperti yang pernah dilakukan oleh Menteri Agama KH Moh Ilyas (1953-1959) yang memasukkan tujuh mata pelajaran umum16 dalam kurikulum, dan konsep pengembangan madrasah wajib belajar (MWB) tahun 1958/1959.17 Di satu sisi SKB 3 Menteri itu dipandang sebagai pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madrsah dan sekaligus merupakan langkah strategis menuju tahapan integrasi madrasah dan Sistem Pendidikan Nasional yang tuntas. Dengan SKB tersebut, madrasah memperoleh definisinya yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang kurangnya 30% disamping mata pelajaran umum. Sejumlah diktum dari SKB 3 Menteri ini memang memperkuat posisi madrasah lebih ditegaskan dengan memerinci bagian-bagian yang menunjukkan kesetaraan madrasah dengan sekolah. Memperhatikan uraian di atas memang nampaknya SKB 3 Menteri memberikan beberapa keuntungan kepada madrasah, akan tetapi ada konsekuensi yang harus dipenuhi oleh madrasah yang merupakan muatan atau substansi madrasah, bahwa semua madrasah harus mengubah kurikulum dan jumlah jam pelajarannya, tidak boleh kurang dari yang disediakan di sekolah umum. Pada tahap awal setelah SKB, Depag menyusun kurikulum 1976 yang diberlakukan secara intensif mulai 1978. Kemudian kurikulum 1976 ini disempurnakan lagi melalui kurikulum 1984 sebagaimana dinyatakan dalam SK Menteri Agama No. 45 tahun 1987. Penyempurnaan ini sejalan dengan perubahan kurikulum sekolah di lingkungan Depdikbud.18 SKB 3 Menteri dapat dipandang sebagai tonggak integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Meskipun demikian, bukan berarti pelaksanaan SKB 3 Menteri berlangsung tanpa hambatan. Sebagian kaum muslim khususnya kalangan ulama tradisional memandang bahwa SKB 3 Menteri telah membawa siswa madrasah serba tanggung, mereka tidak menguasai pengetahuan umum dengan baik, tidak juga menguasai pengertian agama dengan memadai. Hal ini menurut mereka, akan menyebabkan mandeknya kaderisasi ulama.19 Menteri Agama (H.A. Mukti Ali) menyadari implikasi yang akan timbul dari perubahan komposisi kurikulum mata pelajaran agama dan umum 30%:70% itu terhadap penguasaan pengetahuan agama bagi peserta didik di madrasah. Oleh karena itu beliau

Saridjo, Pendidikan , hal. 92 Ibid., hal. 114 18 M. Ali Hasan dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), hal. 59 19 Ibid., hal. 123
17

16

138

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 133-143

selalu mengatakan bahwa sebaik-baik penyelenggaraan madrasah (pola SKB) berada dalam lingkungan pondok pesantren yang kegiatan belajar mengajarnya berlangsung selama 24 jam. Dengan demikian, kurikulum madrasah dapat di desain 100% untuk agama dan 100% untuk umum.20 Di sisi lain bahwa pemerintah tidak mendiamkan keluhan-keluhan sehubungan dengan SKB 3 Menteri. Sebagai respons terhadap keluhan-keluhan tersebut, Menteri Agama Munawir Syadzali memprakarsai Pendidikan Madrasah Aliyah Program Khusus, madrasah berasrama dengan kurikulum 70 % agama. Lembaga ini dimaksudkan untuk mencetak ulama. Dengan MAPK diharapkan kaderisasi ulama tidak mengalami kemandekan.21 Signifikansi SKB 3 Menteri ini bagi umat Islam adalah, pertama, terjadinya mobilitas sosial dan vertikal siswa siswi madrasah yang selama ini terbatas di lembagalembaga pendidikan tradisional (madrasah dan pesantren), kedua, membuka peluang kemungkinan anak-anak santri memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Madrasah Pasca SKB 3 Menteri Dengan diterbitkannya SKB 3 Menteri tahun 1975 yang bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pendidikan madrasah,22 dan diterapkannya kurikulum baru pada tahun 1976 sebagai realisasi SKB 3 Menteri tersebut. SKB 3 Menteri itu telah memberikan nilai positif dengan menjadikan status madrasah yang sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Sisi positif lain dari SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktekkan umat Islam. Dengan berlakunya SKB 3 Menteri, maka kedudukan Madrasah memang telah sejajar dengan sekolahsekolah umum. Dari segi organisasi, madrasah sama dengan sekolah umum, dari segi jenjang pendidikan, MI, MTs, dan MA sederajat dengan SD, SMP dan SMA. SKB 3 Menteri ini kemudian dikuatkan dengan SKB 2 Menteri tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah. Yang isinya anatara lain penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah-sekolah umum yang lebih tinggi. SKB 2 Menteri ini dijiwai oleh ketetapan MPR No II/TAP MPR/1983 tentang perlunya penyesuaian sistem pendidikan sejalan dengan adanya kebutuhan pembangunan di segala bidang, antara lain dilakukan melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan baik di sekolah umum maupun madrasah. Substansi dan pembakuan kurikulum sekolah umum dan madrasah ini antara lain: 1) kurikulum sekolah umum dan madrasah terdiri dari program inti dan program khusus; 2) program inti untuk memenuhi tujuan pendidikan sekolah umum dan madrasah secara kualitatif sama; 3) program khusus (pilihan) diadakan untuk memberikan bekal kemampuan siswa yang akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi bagi sekolah dan madrasah tingkat menengah atas; 4) pengaturan pelaksanaan kurikulum sekolah dan madrasah mengenai sistem kredit, bimbingan karier, ketuntasan belajar dan sistem
Saridjo, Pendidikan Islam, hal. 117 Ibid, hal. 124 22 Marwan Saridjo, Bunga Rampai pendidikan Agama Islam (Jakarta: Amissco, 1996), hal. 118
21 20

Anin Nurhayati, Fenomena Madrasah Pasca SKB 3 Menteri Tahun 1975 ...

139

penilaian adalah sama; dan 5) hal-hal yang berhubungan dengan tenaga guru dan sarana pendidikan dalam rangka keberhasilan pelaksanaan kurikulum akan diatur bersama oleh kedua departemen tersebut.23 Menindaklanjuti SKB 2 Menteri tersebut lahirlah kurikulum 1984 untuk madrasah yang tertuang dalam keputusan Menteri Agama no 99 tahun 1984 untuk Madrasah Ibtidaiyah. No 100 tahun 1984 untuk Madrasah Tsanawiyah dan no 101 tahun 1984 untuk Madrasah Aliyah. Dengan demikian kurikulum 1984 tersebut mengacu kepada SKB Tiga Menteri dan SKB 2 Menteri, baik dalam susunan program, tujuan, maupun bahan kajian dan pelajarannya. Berdasar pada paparan diatas nampak jelas bahwa ciri madrasah yang paling menonjol sejak SKB 3 Menteri sampai 1987 adalah menyangkut pelaksanaan sistem pendidikan dan pengajaran yang direalisasikan dengan perubahan dan pengembangan kurikulum. Terlepas dari semua sisi positif sejumlah kebijakan yang dilakukan terhadap madrasah, akan tetapi madrasah tetap dihadapkan pada berbagai masalah, diantaranya: di satu sisi madrasah harus tetap mempertahankan mutu pendidikan agama yang menjadi ciri khasnya akan tetapi di sisi lain madrasah di tuntut untuk mampu menyelenggarakan pendidikan umum secara baik dan berkualitas supaya sejajar dengan sekolah-sekolah umum. Kegagalan madrasah dalam memikul beban tersebut hanya akan memperkuat anggapan orang bahwa madrasah adalah semacam sekolah serba tanggung. Masalah lain karena lahirnya SKB 3 Menteri tersebut belum diimbangi dengan penyediaan guru, sarana dan prasarana, buku-buku dan peralatan lain dari departemen terkait. Begitu juga beban kurikulum madrasah yang menerapkan kurikulum sekolah 100% ditambah dengan kurikulum agama sebagai ciri khas telah berakibat beban belajar siswa madrasah menjadi lebih berat dan lebih banyak disbanding dengan beban belajar anak sekolah umum. Meskipun demikian SKB 3 Menteri boleh dikatakan berhasil memodernisasi madrasah. Kesuksesan SKB 3 Menteri, mendorong pemerintah untuk terus memodernisasikan madrasah. Langkah yang ditempuh adalah dengan meningkatkan kualitas guru, mutu kurikulum dan pada akhirnya pada tahun 1993-1994 madrasah mulai menyelenggarakan EBTANAS sebagaimana sekolah-sekolah umum. Untuk memetakan dan mengetahui eksistensi madrasah pasca implementasi SKB 3 Menteri, maka pembahasan tentang madrasah dalam pelaksanaan UndangUndang No 2 tahun 1989 dan madrasah dalam pelaksanaan Undang-undang No 20 tahun 2003 sangat penting untuk dilakukan. Perubahan Sistem Pendidikan nasional yang ditetapkan melalui Undang-undang No 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Naional berdampak cukup signifikan pada perubahan sistem pendidikan madrasah. Disamakannya madrasah dengan sekolah umum dengan menerapkan kurikulum yang yang 100% sama antara kurikulum madrasah dengan sekolah umum. Dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989 menetapkan pendidikan agama sebagai mata pelajaran wajib pada setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, termasuk prasekolah negeri dan swasta. 24 Pendidikan keagamaan merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, yang eksistensinya
23 24

Nurasa, Pola dan , hal. 366 Saridjo, Bunga Rampai, hal. 150

140

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 133-143

disebutkan dalam pasal 11 ayat 6 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989.25 Integrasi madrasah ke dalam Sistem Pendidikan Nasional menemukan bentuk dalam UUSPN pada tahun 1989. Melalui UUSPN, madrasah mengalami perubahan definisi, dari sekolah agama menjadi sekolah umum yang berciri khas Islam. Dengan demikian madrasah tidak hanya telah menjadi lembaga modern, tetapi juga mendapat legitimasi sepenuhnya sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Keadaan diatas menuntut adanya perubahan pada kurikulum madrasah. Hal itu dikarenakan madrasah bukan lagi sekolah agama, akan tetapi merupakan sekolah umum yang berciri khas Islam, maka nilai-nilai Islam harus tercermin dalam kurikulum madrasah, khususnya untuk mata pelajaran umum.26 Sedangkan dalam undang-undang No 20 tahun 2003, kedudukan madrasah mendapatkan pengakuan pemerintah yang setara dengan sekolah umum lainnya. Hal ini bias dilihat d bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan.27 Oleh karena itu sangatlah jelas ada keterkaitan yang sangat kuat antara SKB Tiga Menteri tahun 1975, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) No 2 tahun 1989 dan Undang-Undang No 20 tahun 2003. Dimana SKB 3 Menteri tahun 1975 merupakan tonggak awal sejarah madrasah mulai diakui secara yuridis oleh pemerintah, dan madrasah setingkat dengan sekolah umum yang sederajat. Sedangkan UU No 2 tahun 1989, madrasah mengintegrasi dalam sistem pendidikan nasional dengan porsi 70% matapelajaran umum dan 30% mata pelajaran agama. Adapun Undangundang No 20 tahun 2003, madrasah menerapkan 100% kurikulum sekolah umum yang berciri khas Islam dengan tidak mengurangi jam pelajaran agama sebagai unggulannya. Berdasarkan pada uraian diatas, dapat dilihat dengan jelas perbedaan kondisi madrasah sebelum, perspektif dan pasca diberlakukannya SKB 3 Menteri tahun 1975 sebagaimana tergambar dalam tabel berikut ini:

Lihat Ali Rohmat, Kapita Selekta, hal. 169 Fuad Jabali dan Jamhari, IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 124 27 Lihat UU No 20 tahun 2003 pasal 17 dan 18
26

25

Anin Nurhayati, Fenomena Madrasah Pasca SKB 3 Menteri Tahun 1975 ...

141

Implikasi SKB 3 Menteri Aspek Lembaga Madrasah yang dianggap sebagai lembaga pendidikan tradisional, telah berubah dan membuka peluang bagi kemungkinan siswa siswi madrasah memasuki wilayah pekerjaan pada sektor modern. Lebih dari itu madrasah juga telah mendapat pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang pengelolaanya dibawah naungan Kementerian Agama. Dan secara tidak langsung hal ini telah memperkuat dan memperkokoh posisi Kemenag dalam struktur pemerintahan, karena telah ada legitimasi politis pengelolaan madrasah. Aspek Kurikulum Karena diakui sejajar dengan sekolah umum, maka komposisi kurikulum madrasah harus sama dengan sekolah. Efeknya adalah bertambahnya beban yang harus dipikul oleh madrasah. Di satu pihak ia harus memperbaiki mutu pendidikan umumnya setaraf dengan standar yang berlaku di sekolah, dilain pihak bagaimanapun juga madrasah harus menjaga agar mutu pendidikan agamanya tetap baik.

142

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 133-143

Aspek Siswa Dalam SKB Tiga Menteri ditetapkan bahwa: 1) ijazah siswa madrasah mempunyai nilai sama dengan ijazah sekolah umum yang setingkat dan 2) Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum. Aspek Masyarakat SKB 3 Menteri telah mengakhiri reaksi keras umat Islam yang menilai pemerintah terlalu jauh mengintervensi kependidikan Islam yang telah lama dipraktikkan umat Islam atas dasar semangat pembaruan di kalangan umat Islam. Tentunya semua ini karena madrasah adalah wujud riel dari partisipasi masyarakat yang peduli pada nasib pendidikan anak bangsanya. Tren pengelolaan pendidikan yang semakin menitikberatkan pada peningkatan partisipasi masyarakat yang seluas-luasnya akan menuntut para pengelola madrasah agar mampu terlepas dari berbagai ketergantungan. Dengan kembali pada khittah madrasah sebagai lembaga pendidikan berbasis masyarakat, maka hanya tinggal satu tahap yakni memberdayakan partisipasi masyarakat agar lebih efektif dan efisien. Penutup Madrasah merupakan salah satu bentuk kelembagaan pendidikan Islam yang memiliki sejarah sangat panjang. Awalnya pendidikan Islam yang diselenggarakan di rumah-rumah yang dikenal dengan sebutan Dar al-Arqam, kemudian seiring dengan perkembangan Islam dan terbentuknya masyarakat muslim, pendidikan Islam diselenggarakan di masjid yang dikenal dengan system halaqah. Kebangkitan madrasah merupakan awal dari bentuk pelembagaan pendidikan Islam secara formal. Latar belakang pertumbuhan madrasah di Indonesia dipengaruhi dua kondisi, yaitu adanya Gerakan Pembaharu Islam di Indonesia dan adanya respon masyarakat muslim terhadap pendidikan Hindia Belanda. Sebagai implikasinya bahwa SKB 3 Menteri merupakan langkah tepat mereduksi masalah dualisme sistem pendidikan dan peningkatan kualitas madrasah dan sekaligus menjawab reaksi keras masyarakat. SKB 3 Menteri ini merupakan langkah strategis dan arif menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional. Karena konskwensi dari SKB tersebut adalah bahwa madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolanya tetap berada pada Departemen Agama. Dalam hal ini madrasah tidak lagi hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggara kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang kurangnya 30%, di samping mata pelajaran umum. Disamping itu SKB 3 menteri juga memungkinkan Departemen Agama untuk melakukan pemantapan struktur madrasah secara lebih menyeluruh. Dengan demikian SKB 3 menteri ini telah mendorong tercapainya kesamaan status madrasah dengan sekolah, bukan hanya dalam struktur kelembagaan, tetapi juga dalam struktur mata pelajaran yang dapat mengakomodasikan secara penuh kurikulum yang digunakan di sekolah-sekolah umum.

Anin Nurhayati, Fenomena Madrasah Pasca SKB 3 Menteri Tahun 1975 ...

143

DAFTAR PUSTAKA Ali, Mukti dan M. Ali Hasan. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003. Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif. Yogyakarta: LKiS, 2008. Asrohah, Hanun. 1999. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu Assegaf, Abd. Rachman. Politik Pendidikan Nasional: Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari Proproklamasi ke Reformasi . Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005. Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2000. . Madrasah dan Tantangan Globalisasi: Perspektif Historis-Sosiologis Pendidikan Islam. Jakarta: yayasan Wakaf Paramadina. 2004 . Dan Saiful Umam (Ed), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik. Jakarta: PPIM. 1997 Daulay, Haidar Putra. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004. . Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. Jabali, Fuad dan Jamhari. IAIN dan Modernisasi Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2002. Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Islam di Indonesia. Malang: UMM Presss, 2006. Maksum. Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya. Pamulang Timur: Logos Wacana Ilmu. 1999. Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2009. Muliawan, Jasa Ungguh. Pendidikan Islam Integratif: Upaya Mengintegrasikan Kembali Dikotomi Ilmu an Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Mustafa, H.A dan Abdullah Aly. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung: Pustaka Setia. 1998. Nizar, Samsul. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. Nurasa, Pola dan Kebijakan Pendidikan Islam dalam Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. Jakarta: Kencana, 2007. Saridjo, Marwan. Bunga Rampai pendidikan Agama Islam. Jakarta: Amissco, 1996. . Pendidikan Islam dari Masa ke Masa: Tinjauan Kebijakan Publik terhadap Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Yayasan Ngali Aksara, 2010. Sholeh, Abdur Rachman. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004 Suwendi. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.

PANDANGAN TERHADAP ANAK DALAM AJARAN ISLAM

Moh. Lutfi Nurcahyono Alumnus Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga Jurusan Hukum Islam Konsentrasi Hukum Keluarga moh.lutfinurcahyono@yahoo.co.id ABSTRACT Children in a family like banana trees, which bear fruit only once. Through its fruit, banana tree not only can grow up with dignity but also can be affected by disease; withered, thin, and then die with no edible fruit. So are children in a family, they could make their family proud, or they could fall into the darkness and obscurity. Based on this disturbing phenomenon, Islam encourages family as much and as early as possible to direct the development of children so as to grow up with dignity in the world and the hereafter. Kata Kunci: Anak, keluarga, Islam Pendahuluan Kenali, cintai, dan amalkan kitab sucimu1 Penulis sengaja memilih sepenggal buah nasehat dari M. Quraish Shihab di atas bukan tanpa alasan dan penguatan, ide ini muncul karena bertepatan membahas tentang anak dalam pandangan Islam yang secara pasti mengarahkan penulis untuk mencoba memberikan pemaparan tentang anak dengan berangkat dari kitab suci al-Quran. Penting juga bahwa cerminan sepenggal nasehat tersebut memberikan pemahaman bahwa hal inilah yang menjadi cerminan bagaimana konsepsi anak dalam Islam khususnya tentang upaya orang tua untuk mengarahkan anak-anaknya menuju jalan yang tentunya sesuai dengan doktrin agama yang diyakini kebenarannya. Kita tidak bisa memungkiri bahwa anak adalah suatu ikon tersendiri dalam keluarga lebih-lebih kehadirannya ditunggu-tunggu sejak lama. Terbukti bagaimana pengalihan kasih sayang antara suami-istri menyatu bagaimana memberikan perhatian secara penuh terhadap anak. Anak bisa memberikan motivasi tersendiri baik bagi sang ayah ataupun sang ibu. Namun begitu keberadaan anak juga tidak jarang memberikan mala petaka yang cukup mengecewakan hati. Lebih-lebih adanya anak hanya memberikan tambahan beban materi maupun mental yang berdampak kualitas
M. Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 5.
1

146

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

dan kuantitas hidup menjadi tidak bermutu. Dengan pola pemosisian anak inilah kemudian munculah berbagai tanggapan dari Islam itu sendiri yaitu adakalanya anak sebagai cobaan atau fitnah, anak sebagai pemberi syafaat pada hari akhir, anak adalah aset atau investasi jangka panjang bagi keluarga, atau ada juga pemahaman yang muncul dalam masyarakat bahwa banyak anak banyak rizki. Untuk itulah pada kesempatan kali ini akan mencoba membahas keterkaitan pemahaman-pemahaman tersebut. Pemahaman yang hanya parsial akan memberikan pemahaman yang akan tumpang tindih lebih-lebih tidak ilmiah. Penulis juga akan mengulas pendidikan anak karena hal ini sangat memberikan pengaruh ketika dibenturkan keinginan idealnya orang tua yang memposisikan anak sebagai syafaat baginya. Kemudian juga berlanjut bagaimana idealnya ahklak seorang anak kepada orang tuanya. Mengingat nasehat dari M.Quraish Shihab di atas, maka penulis dalam pembahasannya berangkat dari ayat-ayat al-Quran yang secara khusus mengkaji hal-hal tersebut. dengan menggunakan model pendekatan filsafat etik, karena penulis berusaha menemukan nilai-nilai morality yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut.. Islam dan Keluarga Agama yang paling diridhai di sisi Allah hanyalah Islam.2 Statement yang mungkin cukup menggambarkan sikap apologetic sangat jelas ketika orang yang non-Islam membaca statement ini. Namun, sebagai orang muslim yang amantu billahi dan amalus shalih harus senyatanya bahwa dalam kehidupan tidak hanya klaim bahwa agama yang paling diridlai hanyalah Islam itu mampu membuahkan stigma-stigma positif yang berpotensi untuk memberikan penyelamatan bagi orang lain. Inilah yang kemudian mengarahkan bahwa membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat adalah target utama yang harus dijunjung tinggi. Manusia sebagai ummatan wa>hidatan (umat yang satu)3 sudah sepantasnyalah cita-cita keberadaban adalah momen yang amat penting untuk ditegakkan. Amat benarlah Islam memposisikan sebagai ummatan wasathan (umat yang berada di tengah)4 harus mampu memberikan uswah hasanah (suri tauladan yang baik) kepada yang lain. Hal ini bertujuan untuk memberikan statement bahwa umat Islam adalah umat yang mampu mengimbangi segala aspek kehidupan. Umat yang memilih untuk berada di tengah-tengah semua aspek kehidupan pastilah umat yang harus mampu meramu pemosisian diri sebagai media untuk memberikan kenyamanan kepada semua pihak. Misi yang terang sebagai ummatan wasathan adalah mengajak kepada kebaikan, menyuruh dengan cara yang maruf, dan berpartisipasi untuk ikut serta mencegah segala hal yang mengacu kepada kemungkaran.5 Sehingga sangat tepat sekali ketika ada penyebutan bahwa umat Islam adalah khairu ummah (sebaik-baik umat).6 Bertilik dari hal di atas untuk lebih memerankan tugas Islam secara mendasar maka menanamkan dan membumikan nilai-nilai Islam dalam masyarakat haruslah
2 3

QS. Al-Imran: 19 QS. Yunus: 19 4 QS. Al-Baqarah: 143 5 QS. Al-Imran: 104 6 QS. Al-Imran: 110

Moh. Lutfi Nurcahyono, Pandangan Terhadap Anak Dalam Ajaran Islam

147

berangkat dari lingkup kecil dari masyarakat itu sendiri yaitu keluarga. Keluarga yang sehat baik jasmani maupun rahani tentunya akan mengantarkan masyarakat yang cukup ideal. Masyarakat yang dikatakan ideal adalah masyarakat yang mempunyai elemen keluarga (suami-istri dan anak) yang ayem, tentrem, dan sentosa. Pijakan bagi masyarakat baik lingkup kecil ataupun besar (negara) adalah peranan suami-istri yang mencerminkan kekompakkan. Suami-istri yang kompak pasti akan memunculkan keturunan yang tangguh dan akan memberikan manuver-manuver sebagai problemsolving dalam masyarakat itu sendiri. Peran keluarga yang ideal sebagaimana yang dijelaskan di atas tapatlah sangat menjanjikan apabila diukir dalam bingkaian konsepsi dari mahabbah ke sakinah. Secara alami, seseorang tertarik kepada lawan jenisnya mula-mula melalui pertimbangan jasmani. Suasana saling ketertarikan tersebut membuat yang bersangkutan masuk dalam kubangan jatuh cinta, baik sepihak (bertepuk sebelah tangan) atau kedua belah pihak (gayung bersambut). Hal inilah yang dinamakan mahabbah dalam bahasa arab yang merupakan hubungan pria-wanita yang dalam psikologi Freud berhubungan dengan libido, maksudnya masih diliputi dengan hasrat pemenuhan kebutuhan biologis. Tingkat yang selanjutnya adalah mawaddah yang diartikan jika seseorang memilih pasangan lebih mementingkan hal-hal yang abstrak, misalnya segi kepribadian atau nilai-nilai yang sejenisnya. Mawaddah akan berpotensi menjadi lebih kuat karena segi lahiri atau jasmani tidak terlalu banyak menjadi pertimbangan. Kualitas kepribadian adalah lebih penting dan lebih utama baginya dari pada penampakan fisik. Dari tingkatan mawaddah akan mengantarkan pria-wanita kepada jenjang yang lebih tinggi yaitu rahmah. Rahmah adalah jenis cinta ilahi yang berpangkal dari sifat rahman dan rahim-Nya Allah. Dengan begitu cintanya pria-wanita akan dapat mencapai kualitas kecintaan yang tidak terbatas, yang serba meliputi, murni dan sejati, yang sejalan dengan firman Allah, Rahmah-ku meliputi segala sesuatu.7 Berangkat dari rahmah itulah rasa saling tertarik antar manusia dari dua jenis yang diikat dengan perjanjian yang berat (mitsqan ghalidlan) dalam pernikahan yang sah dapat menciptakan suasana keluarga sakinah, yaitu kelurga bahagia yang diliputi rasa tenang, tenteram, dan sentosa yang sempurna.8 Kesakinahan tersebut kemudian akan membuahkan duriyyah yang mampu berperan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal itu juga akan menjadikan cerminan bahwa nilai-nilai keIslaman telah merasuk dalam kehidupan masyarakat yang kemudian cita-cita masyarakat religius akan tercapai, baik pada waktu itu maupun pada masa yang akan dihadapi karena keluarga itu juga menurunkan keturunan yang tangguh dan yang akan memberikan maneuver-manuver sebagai problem-solving dalam masyarakat religius itu sendiri. Pemahaman-Pemahaman Status Anak Sejarah telah menampilkan bagaimana manusia di dunia ini memposisikan anakanak yang mereka miliki. Sebagaimana yang dilakukan masyarakat arab jahiliyyah dan kebanyakan masyarakat pada umumnya pada zaman dulu, ketika mendengar bahwa anak yang dilahirkan perempuan maka menjadi hitamlah muka mereka karena malu,
QS. Al-Araf: 156 Nurcholish Madjid, Masyarakat Religious, (Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat), cet ke-2, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 74.
8 7

148

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

akan tetapi jika dikabarkan bahwa anak yang lahir laki-laki maka bahagialah mereka. Inilah cerminan bagaimana kondisi masyarakat di dunia ini mempersepsikan anak sesuai dengan pemahaman konsumtif mereka. Anak bukan sebagai lahan inventasi ke depan, generasi penerus dan meneruskan misi kemanusiaan. Banyak orang mewarisi anak dengan air mata tidak dengan mata air, maka jadilah generasi menjadi generasi yang amburadul dan tidak bermutu baik untuk konsumsi dunia maupun akhirat. Tepatlah gagasan bahwa janganlah kita wariskan air mata untuk generasi kita akan tetapi wariskan mata air untuk masa depan mereka. Berikut ini penulis akan memaparkan bagaimana konsepsi anak dengan berangkat dari pemahaman yang telah dipaparkan dalam Islam atau pemahaman yang menggejala dalam masyarakat. Hal ini mengarahkan kita supaya benar-benar faham tentang posisi anak dalam kehidupan dunia yang serba fana ini. Anak adalah Fitnah Islam sebagaimana yang tercermin dalam al-Quran memberikan gambarangambaran terkait bagaimana posisi anak itu sendiri. Salah satu dari gambaran tersebut adalah bahwa anak itu adalah fitnah atau dalam redaksi tafsir-tafsir diartikan cobaan (ikhba>r dan imtiha>n) sebagaimana tercermin dalam firman Allah:

Artinya: Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. 9

Artinya: Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. 10 Fitnah dalam konteks harta benda dan anak adalah cobaan yang menyusahkan seseorang untuk melakukan atau meninggalakan, menerima atau mengingkari kaitannya dengan itiqad, ucapan, perbuatan, atau persoalan-persoalan lain. Dalam masalah harta bisa menjadi cobaan terhadap seseorang yang bisa mengakibatkan sikap-sikap yang bertentangan dengan kemanusiaan tumbuh subur dalam dirinya. Adapun dalam anak sebagai fitnah karena anak itu merupakan buah hati (tsamratu al-fua>d) dan belahan hati (afladzu al-akba>d), hal ini sebagaimana pendapat Muhammad Abduh yang dikutip oleh Rasyid Ridha dalam tafsir al-manar bahwa sebagian kegilaan itu diliputkan oleh Allah dalam hati para ibu dan bapak, Allah mengarahkan keduanya kepada pendermaan harta, sehat, senang, dan lain sebagainya yang sebenarnya Allah mampu untuk mendermakannya sesuai kehendak keduanya.11 Dalam hadits yang diriwayatkan Abi Said juga diterangkan bahwa anak itu adalah buah hati yang bisa menimbulkan ketakutan, kebakhilan, dan kesediahan.12
QS. Al-Anfal: 29 QS. Al-Taghabun: 15 11 Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Beirut: Daru al-Kutub al-Ilmiyah, 1999), hal.538 12 Alau al-Din Ali Ibnu Hisam al-Din al-Muttaqiy al-Hindiy al-Burhanu Furiy, Kanzul al-Amal fi Sunani al-Aqwal wa al-Af al, (Madinah: Muassasah al-Risalah, 1981), hal. 284
10 9

Moh. Lutfi Nurcahyono, Pandangan Terhadap Anak Dalam Ajaran Islam

149

Nurchalish Madjid mengutip pendapat A. Yusuf Ali yang menyatakan bahwa Suatu keluarga besar-banyak anak- pernah dianggap suatu sumber kekuasaan dan kekuatan.maka dalam bahasa Inggris, seseorang dengan banyak anak disebut kantong panahnya penuh (quiver full). Sebagaimana anak panah di panah seorang perkasa, begitu pulalah anak-anak usia mudamu. Bahagiakanlah orang yang kantong panahnya penuh dengan mereka: mereka tidak bakal terhina, melainkan mereka akan berbicara dengan pihak musuh di pintu gerbang. Demikian pula halnya dengar harta dan kekayaan: semuanya itu menambah harga diri, kekuasaan dan pengaruh orang. Tetapi kekayaan dan keluarga besar itu adalah suatu ujian dan percobaan. Semuanya dapat berbalik menjadi sumber keruntuhan ruhani, jika salah ditangani, atau jika kecintaan kepada semuanya itu menyisihkan kecintaan kepada Tuhan.13 M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa anak menjadi cobaan bukan saja ketika orang tua terdorong oleh cinta kepadanya sehingga ia melanggar, tetapi juga dalam kedudukan anak sebagai amanat Allah swt. Allah menguji manusia melalui anaknya, untuk melihat apakah ia memelihara secara aktif, yakni mendidik dan mengembangkan potensi-potensi anak agar menjadi manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah, yakni menjadi hamba Allah sekaligus khalifah di dunia. Mengabaikan tugas ini, adalah salah satu bentuk penghianatan terhadap Allah dan amanat yang dititipkannya kepada manusia. Demikian harta benda, bukan saja menjadi ujian ketika harta itu menjadikan manusia manusia melupakan fungsi sosial harta, atau berusaha meraihnya secara batil, tetapi ia juga adalah ujian dari apakah harta tersebut dipelihara dan dikembangkan sehingga hasilnya berlipat ganda melalui usaha yang halal dan baik.14 Anak dalam artian fitnah (ujian atau cobaan) memberikan pemahaman yang menegaskan bahwa orang tua harus berperan sebagaimana tugasnya mendidik anak secara benar dan sesuai dengan tuntunan agama. Hanya dengan pendidikan yang baik maka kesan anak sebagai fitnah akan tergeser dengan sendirinya. Anak akan menjadikan kekuatan yang memberikan pengaruh baik dalam kedudukan maupun kehormatan. Karena sebagaimana yang dijelaskan oleh A. Yusuf Ali bahwa banyak anak akan menjadikan seseorang penuh dengan busur panah yang bisa berpengaruh dalam masyarakat. Anak adalah Perhiasan Keindahan dunia tidak terlepas dengan hal-hal yang mampu memberikan nuansa tenang dan kepuasan bagi manusia ketika mengarungi kehidupannya. Maha Adil bagi Allah yang memberikan hal-hal yang memang kodratnya menjadi kesukaan manusia. Dihiaskanlah untuk kehidupan dunia ini bagi seorang insan dengan rasa kecintaan kepada wanita, kemudian mendambakan anak-anak, semangat untuk mencari harta berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Serasa kesurgaan dunia ketika semua hal tersebut mampu diperoleh oleh manusia. Akan tetapi Allah lebih menekankan bahwa semua itu hanyalah kesenangan dunia yang tidak kekal, hanya bagi Allahlah segalanya akan kekal.
Nurchalish Madjid, Masyarakat Religious,hal. 85-86 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran, cet VI, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 426
14 13

150

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

Artinya: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apaapa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). 15 Dalam ayat tersebut menyimpulkan tiga kata yang harus mendapat perhatian dengan seksama. Pertama Zuyyina, artinya diperhiaskan. Maksudnya, segala barang yang diingini itu ada baiknya dan ada buruknya, tetapi apabila keinginan telah timbul, yang kelihatan hanya eloknya saja dan lupa akan buruk atau susahnya. Kata kedua ialah Hubb, artinya kesukaan atau cinta. Kata ketiga ialah Syahwat, yaitu keinginankeinginan yang menimbulkan selera menarik nafsu buat memilikinya. Maka disebutlah enam perkara yang disenangi oleh manusia pada ghalibnya.16 Salah satu dari enam kesenangan dunia adalah anak. Anak sebagaimana diposisikan dalam lingkungan keluarga adalah buah dari kecintaan terhadap perempuan. Syawat yang dimiliki seorang laki-laki akan mengarahkan keinginan yang bersifat batin yaitu dengan memiliki anak. Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.17 Sejarah telah mengukir tentang pemposisian seorang anak khususnya laki-laki. Masyarakat arab jahiliah dengan sangat bangga ketika mempunyai keturunan anak laki-laki. Hal ini sebagai anggapan bahwa mahkota kehormatan keluarga ada di tangan laki-laki, begitu sebaliknya ketika yang lahir anak perempuan maka muka mereka menjadi hitam karena menanggung malu dengan kelahiran tersebut. anak perempuan hanya akan mendatangkan aib dan merusak citra kehormatan. Islam datang dengan membawa perubahan terhadap pemahaman tersebut, Nabi Muhammad menunjukkan (sebagaimana beliau sangat menyanyangi putrid-putri beliau yaitu: Fatimah az-Zahra, Zainab, Ummu Kulsum, dan Ruqaiyah) ajaran Islam yang tidak mendiskriminasikan anak perempuan. Namun, anak sebagaiman yang disinggung di atas sebagai fitnah harus benar-benar mendapatkan perlakuan yang spesial. Spesial karena dia adalah belahan hati, special karena sangat menyenangkan, dan special karena tidak jarang apabila salah dalam memposisikan anak akan malah menambah kesengsaraan batin. Kesenangan secara jelas ketika dia masih kecil sangat menghibur bagi orang tuanya. Tidak jarang baik ibu maupun bapak akan menuai ketentraman batin ketika ditengah keluarga ada si mungil yang menyimbulkan kecintaan yang tulus antara suamiistri tersebut. kesenangan juga akan tampak ketika di hari senja orang tua menuai
15

QS. Ali-Imran: 16 HAMKA, Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1986), hal. 117-118 17 QS. Al-Munafiqqun: 9
16

Moh. Lutfi Nurcahyono, Pandangan Terhadap Anak Dalam Ajaran Islam

151

kebahagiaan batin karena rasa hormatnya anak-anaknya, menuai kesuksesan yang membanggakan, dan terlebih sangat terharu bahkan menangis ketika di waktu senja anak-anaknya datang dengan mencium tangan dan mukanya. Menjadilah anak-anak itu rona-rona ketenangan yan sungguh menjadikan orang tua menangis karena bangga. Akan tetapi lain halnya jika anak-anak yang masih kecil itu sangat menghibur mata kemudian tidak mendapat penanganan yang tepat hanya akan menyisakan kepedihan dan penyesalan bagi orang tuanya. Hal ini diakibatkan karena menilai anak hanya pada eloknya saja tidak pada buruk dan susahnya. Anak adalah Fitrah Kehidupan Setiap bayi yang lahir di dunia ini tercipta tanpa ada pengetahuan secuilpun mengenai apa,siapa, kapan, dimana, bagaimana, dan mengapa dia bisa menghirup udara dunia. Perlahan namun pasti bayi itu kemudian mulai menangkap dengan indera tentang apa-apa yang awalnya dia tidak mengetahui. Dari hal inilah penting untuk dipertegas bahwa bayi itu adalah manusia awal yang kontruks pengetahuaannya dibentuk bagaimana inderawinya menangkap fenomena-fenomena di sekitarnya. Kaitannya dengan kajian bertauhid dalam al-Quran menyatakan bahwa fitrahnya manusia itu bertauhid kepada Allah, perjanjian yang telah diikrarkan sewaktu sebelum dia lahir di dunia adalah cerminan bahwa semua manusia dilahirkan dalam keadaan Islam. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah aku ini Tuhanmu? mereka menjawab: Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).18 Ayat ini menegaskan bahwa manusia menyatakan tentang keesaan Tuhan dan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah. Akan tetapi pada kenyataannya manusia lalai dengan apa yang telah dia ikrarkan. Fitrah manusia adalah kejadiaannya sejak semula atau bawaan sejak lahir, karena arti dari pada fitrah itu adalah kata yang diambil dari akar kata al-fathr yang berarti belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain antara lain penciptaan atau kejadian.19 Dari pengertian inilah bahwa manusia itu sejak awal kejadiaannya, membawa potensi yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.20 Potensi keagamaan yang dibawa manusia adalah al-dn al-qayym. Manusia secara fitrah berpotensi untuk meraih apa yang sudah diberikan Allah kepadanya. Namun begitu kebanyakan manusia tidak mengetahui fitrah yang telah dia miliki sejak lahir. Inilah yang menegaskan bahwa adanya berbagai keyakinan yang berbeda-beda di kalangan manusia tidak terlepas dari kelupaan atas fitrahnya. Sungguh Nabi Muhammad menegaskan bahwa:
QS. Al-Araf: 172 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudlui Atas Pelbagai Permasalahan Umat, cet VIII, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 283 20 QS. Ar-Rum: 30
19 18

152

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

Artinya: Setiap bayi itu dilahirkan sesuai dengan fitrahnya, kedua orang tuanyalah yang menjadikan dia yahudi, nasrani, atau majusi. Sebagaimana binatang ternak melahirkan yang sejenisnya apakah engkau menyakini pasti yang terlahir onta? 21 Patut untuk diperhatikan bahwa keberadaan anak dalam lingkup keluarga dari sisi keberagamaan adalah fitrah yang tidak bisa dipaksakan. Inilah yang kemudian memberikan kesan bahwa amanat yang diberikan oleh Allah kepada orang tua adalah menyangkut bagaimana pembentukan orang tua terhadap anak tersebut. dalam artian apakah nantinya anak akan tumbuh sesuai dengan fitrahnya atau melenceng sesuai kehendak orang tuanya. Kejelasan ini akan berdampak pada keberlanjutan anak menjadi khalifah di bumi ini. Al-di>n al-qayyi>m adalah fitrah yang sejalan dengan jati diri manusia, kalau tidak pada masa muda, maka menjelang tutup usiapun akan menyadari tentang al-dn al-qayym. Sebagaimana Firaun yang durhaka dan merasa dirinya tuhan pun pada akhirnya bertobat dan ingin beragama, tapi sayang nasi sudah menjadi bubur. Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Firaun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Firaun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya Termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).22 Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim.23 Bagi manusia fitrah itu tidak hanya potensi keagamaan akan tetapi menyangkut bagaimana fitrah akal dan jasadnya. Hal ini sebagaimana pendapat Syekh Muhammad al-Thahir Ibnu al-Asyur yang menyatakan bahwa:

Artinya : Sesungguhnya fitrah itu adalah bentuk dan system yang diwujudkan oleh Allah kepada semua makhluk. Fitrah yang khusus kepada manusia adalah apa yang diciptakan oleh Allah pada manusia yang kaitannya dengan jasmani dan akalnya. 24

Ahmad Ibnu Hambal Ibnu Abdullah al-Syibani, Musnad Ibnu Hanbal, (tt: Muassisah al-Qurtubah, tt), juz 2, hal. 233. 22 QS. Yunus: 90 23 QS. Al-Nah: 2 24 Syekh Muhammad al-Thahir Ibnu al-Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir, (tt: Daru alNasyr, 1997), juz 21, hal. 90.

21

Moh. Lutfi Nurcahyono, Pandangan Terhadap Anak Dalam Ajaran Islam

153

Anak dilahirkan dengan fitrahnya juga tidak terlepas bagaimana fitrah anak menyangkut jasmani dan akalnya. Adapun orang tua hanya sebagai media untuk mengarahkan, membenarkan dan meluruskan fitrah anak yang pada kenyataannya belum mengetahui dengan pasti. Amanat yang diemban oleh orang tua cukup menjadikan penguat bahwa peran serta orang tua untuk anaknya adalah wajib Anak adalah Sumber Rizki Ada keyakinan yang lazimnya difahami oleh masyarakat bahwa banyak anak banyak rizki. Hal ini kemudian memberikan arahan kepada suami-istri untuk mempunyai anak tanpa ada keberencanaan. Sangat tepat sekali jikalau anak sebagai sumber rizki bukan dalam maksud bukan kuantitas anak yang dimiliki. Sebenarnya adanya anak dalam keluarga sangat diidam-idamkan, maka dari itu seorang suami akan mendapatkan suplai semangat bekerja yang lebih ketika persembahan hasil keringatnya tidak hanya untuk belahan jiwanya akan tetapi juga untuk buah hati yang sangat diidam-idamkan. Entah apa yang dimaksud banyak anak banyak rizki dalam konteks sekarang. Penulis hanya bisa memprediksi bahwa adagium tersebut muncul untuk merespon penduduk pada masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan yang masih sedikit jumlahnya. Munculnya adagium tersebut kemudian diyakini oleh masyarakat secara turun temurun. Namun, dengan berjalannya waktu adanya program KB (keluarga berencana) dari pemerintah dengan bersemangatkan dua anak cukup harus dipahami oleh sebagian masyarakat yang masih menyakini adagium di atas dengan berkaca kepada filosofisnya. Al-Quran secara tegas bahwa keberadaan anak itu tidak menjadikan orang lalu berputus asa yang kemudian meniatkan diri untuk membunuh anaknya karena takut kemiskinan.

Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. 25 Anak adalah sumber rizki untuk konteks sekarang harus difahami dengan mengarahkan para orang tua untuk berkenyakinan bahwa banyak anak jangan difahami secara kuantitas, melainkan kualitas anak harus didahulukan. Banyak rizki harus difahami dengan memposisikan anak sebagai lahan investasi jangka panjang. Dengan begitu bukan banyak anak banyak rizki, melainkan kualitas yang dimiliki oleh anak sebagai motifasi untuk meraih rizki. Anak adalah Penolong atau Pemberi Syafaat bagi Orang Tua Sebagaimana penjelasan nabi Muhammad bahwa tidak ada yang paling berharga bagi seseorang ketika meninggal dunia kecuali shadaqah jariah, amal shalih, dan anak shalih yang selalu mendoakannya. Betapa sangat terhinanya ketika seseorang meninggal dalam keadaan tidak mempunyai salah satu dari ketiganya. Penekanan inilah yang
25

QS. Al-Isra: 31

154

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

sangat memberikan sumbangsih anak kepada orang tua ketika sudah meninggal, tidak ada yang berharga melainkan doa sang anak yang bisa menolong keringanan beban pertanyaan yang diajukan oleh para malaikat. Sudah sepantasnya keberadaan anak ketika masih hidup selalu mendoakan orang tua yang telah meninggal sebagai bukti birrul walidain-nya. Hal tersebut sebenarnya juga tidak terlepas kesuksenan orang tua dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Sehingga sudah sepantasnya balasan dari Allah kepada mereka dengan meyadarkan anak-anaknya untuk mendoakannya. Pertolongan Allah kepada para orang tua juga dalam hal ketika anak yang belum baligh meninggal mendahului orang tuanya maka pada saatnya nanti dia akan memberikan syafaat kepada mereka karena sudah pasti kesucian jiwanya menuntut dia masuk ke dalam surga. Jiwa yang masih suci sebagaimana fitrahnya kemudian menjadi syafaat bagi orang tuanya. Hal ini penting untuk diperhatikan bahwa, kehilangan dambaan hati lebih-lebih pada waktu kecil pasti akan berdampak cukup berat bagi kedua orang tuanya. Namun begitu, ketika kesabaran dan sikap pasrah kepada Allah yang diutamakan maka sebenarnya secara tidak langsung dan dengan sendirinya dia sudah memutuskan perkara yang tepat karena sesungguhnya dari Allahlah semuanya dan kepada Allahlah semuanya akan kembali. Kesadaran bahwa anak itu murni bukan hak milik orang tua, melainkan keberadaannya pasti sesuai dengan kehendak Allah, jikalau Allah menginginkan ada, maka adalah anak tersebut, dan jika Allah menghendaki meniadakan maka terpisahlah anak tersebut dengan orang tuanya. Hal inilah yang kemudia menjadikan Allah menghadiahi mereka dengan adanya syafaat yang diberikan anak yang telah meninggal dikarenakan mereka menghadapinya dengan penuh kesabaran dan penyandaran yang sepenuhnya hanya kepada Allah. Pendidikan Anak Pendidikan merupakan media yang penting untuk mengarahkan peran serta orang tua terhadap anak. Pendidikan yang tepat akan menghasilkan perilaku anak sesuai dengan yang diharapkan umunya para orang tua. Pendidikan yang terbaik bagi anak adalah pendidikan yang mampu mentranformasikan nilai-nilai kekinian dalam bingkaian moralitas yang benar. Sehingga orang tua pada era sekarang mendapat tantangan yang cukup menantang terkait peran sertanya dalam usaha menumbuhkan potensi-potensi fitroh anak agar benar-benar menjadi khalifah di bumi. Kurikulum yang diajarkan kepada anak dalam Islam berangkat dari nilai-nilai ketauhidan. Hal ini sebagai modal dan fondasi dasar yang penting untuk menguatkan kecerdasan emosional dan spiritual anak. Kita telah diberikan contoh bagaimana luqman dalam mengarahkan anaknya pertama kalinya menguatkan ketauhidannya

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan

Moh. Lutfi Nurcahyono, Pandangan Terhadap Anak Dalam Ajaran Islam

155

Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.26 Sikap yang seperti ini yang seharusnya ditekankan pada era saat ini. Kita tau bahwa pendidikan tidak ubahnya sebagai lahan untuk mencari peluang pekerjaan dan itu pantas, namun begitu pendidikan seharusnya tidak meninggalkan tujuan utamanya yaitu menghapus ketidaktahuan bukan memintarkan. Berpijak dari hal inilah penekannya anak untuk diperkenalkan ketauhidan selain untuk meluruskan fitrahnya, hal ini juga berperan untuk menghindarkan dia dari sikap dhalim baik li-nafsihi maupun li ghairihi. Sikap dhalim inilah yang menjadikan anak itu laksanan racun dalam keluarga pada akhirnya yang semakin lama menggerogoti kedua orang tuanya. Keidentikan dhalim dengan syirik kemudian menjadikan alasan bahwa pendidikan ketauhidan adalah yang harus diperkenalkan dan ditanamkan dalam jiwa anak-anak. Setelah mempunyai dimensi kekuatan emosional dan spiritual yang tembal pada anak maka untuk proses yang selanjutnya yaitu menganjurkan para orang tua untuk tau diri dan sadar bahwa anak-anak akan menghadapi masa yang berbeda dengan masa orang tuanya maka dari itu pendidikannyapun harus disesuaikan dengan masanya. Hal seperti ini jauh-jauh telah disabdakan nabi Muhammad bahwa didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, kerena mereka akan hidup tidak pada zamanmu. Pendidikan kepada anak bisa saja dengan menggunakan nasehat, seperti ucapan seorang ayah kepada anak-anaknya Kenali, cintai, dan amalkan kitab sucimu, atau dengan memberikan uswah hasanah, dan yang paling penting yaitu memberikan kepada mereka dengan luqmatul hala>l (suapan yang halal). Hubungan Anak dan Orang Tua dalam Islam Tibalah kita pada pembahasan tentang bagaimana perilaku anak kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah mendidiknya dengan pengorbanan yang tiada tara. Al-Quran secara tegas menyuruh kepada anak untuk melindungi ketauhidannya dan berbakti kepada kedua orang tua. Sebagaimana yang tertera dalam ayat berikut ini:

Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu

26 27

QS. Luqman: 13 QS. Al-Isra: 23

156

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

mengatakan kepada keduanya Perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. 27 Ayat ini selain menegaskan ketauhidan hanya kepada Allah, juga memberikan arahan kepada manusia supaya bersikap baik kepada kedua orang tua. Kata ihsa>na sebagai bentuk ibadah kepada Allah dengan berbakti kepada kedua orang tua memberikan dua penekanan, pertama, memberikan nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan baik, karena itu kata ihsan lebih luas dari sekedar member nikmat atau nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam kandungan makna adil, karena adil adalah memperlakukan orang lain sama dengan perlakuan kepada anda, sedangkan ihsan, memperlakukannya lebih baik dari perlakuannya terhadap anda. Adil adalah mengambil semua hak anda dan atau memberi semua hak orang lain, sedang ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus anda beri dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya anda ambil.28 Oleh karena itulah sebagai anak yang harus difahami terkait bagaimana ihsan (berbuat baik) kepada orang tua yang diperintahkan Islam adalah bersikap sopansantun kepada keduanya dalam ucapan dan perbuatan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat, sehingga mereka merasa senang terhadap kita, serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai kemampuan kita (sebagai anak).29 Hal ini terlebih ketika mereka telah lanjut usia, sebagai anak harus mampu dan wajib berucap kata dengan ucapan yang paling mulia (kari>man). Maksudnya apa-apa yang disampaikan kepada mereka bukan saja yang benar dan tepat, bukan saja juga yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi ia juga harus yang terbaik dan termulia, dan kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu kesalahan terhadap anak, maka kesalahan tersebut dianggap tidak ada atau dimaafkan (dalam arti dianggap tidak pernah ada dan terhapus dengan sendirinya) karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk terhadap anaknya. Demikian makna kariman yang dipesankan kepada anak dalam menghadapi orang tuanya. Sebagai anak yang berbakti kepada kedua orang tua adalah di setiap dia menengadah kepada ilahi rabbi tak lupa selalu berdoa:

Artinya: Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana jika orang tua itu menyuruh atau mengajarkan perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma agama? Apakah sebagai anak harus mentaatinya, atau tidak mentaatinya? Jika tidak mentaati bagaimana cara Islam untuk hal itu? Menjadi anak duharkakah anak tersebut? dalam hal tersebut Islam kemudian mengarahkan kepada manusia untuk selalu taat kepada orang tua dalam kondisi apapun, meskipun orang tua sampai pada batas mengajak anak untuk kesyirikan. Ketika hal tersebut terjadi sebagai anak yang sudah mengerti tentang baik-

28 29

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, hal. 442 Ibid, hal: 443 30 QS. Luqman: 15

Moh. Lutfi Nurcahyono, Pandangan Terhadap Anak Dalam Ajaran Islam

157

buruk, halal-haram, dan benar-salah maka sudah semestinya anak tidak mengikuti kemauan orang tua. Sikap protes anak kepada orang tua bukan dengan mengklam secara kasar, akan tetapi tetap dengan mengunakan kata-kata yang sopan lagi manguatkan. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam al-Quran: Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. 30 Sampai kapanpun bahwa rasa hormat anak kepada orang tua memang tidak bisa diabaikan. Dalam kondisi apapun sikap hormat dan santun tetap menjadi perintah Allah untuk dipraktekkan anak kepada orang tua. Meski demikian rasa ingin mendapatkan rahmat dari Allah adalah yang menjadi muara semua hal itu. Hal inilah yang kemudian menguatkan ketika adanya orang tua kepada anak malah menjauhkan dari penggapaian rahmat Allah maka anak boleh menolak dan tetap berkosisten menjaga akhlakul karimahnya. Karena ketaatan itu hanya dapat dituntut hanya jika orang tua benar-benar yakin bahwa ia berada dalam kebenaran (al-haqq) dan kebaikan (almarf), serta jelas tidak dalam kepalsuan (al-ba>thil) dan kejahatan (al-munkar). Tetapi orang tua tetap berhak atas perilaku baik anak mereka, dalam bentuk tingkah laku dan sikap hormat penuh kasih-sayang. Sehingga dapat ditarik kesimpulan tentang perilaku anak kepada orang tua adalah, pertama, larangan berkata kotor dan tidak pantas kepada orang tua, lebih-lebih ketika salah satu atau keduanya sudah lanjut usia, akan tetapi harus berucap dengan kata-kat yang halus. Kedua, merendahkan diri sebagai bentuk kesopanan dan cinta kasih. Ketiga, selalu berdoa dengan penuh harapan kepada Allah agar merahmati keduanya dengan penuh kasih sayang sebagaimana keduanya telah berbuat baik kepada anak di waktu kecil. Hal inilah yang perlu kita renungkan bersama dan resapi yang kemudian kita bisa memperbaiki seberapa jauh sikap hormat kita kepada keduanya. Penutup Islam pada kenyataannya sangat tepat sekali dalam memposisikan anak dalam lingkup keluarga, baik anak sebagai fitnah, perhiasan, fitrah kehidupan, sumber rizki, penolong dan pemberi syafaat bagi orang tuanya. Semua hal tersebut memberikan asupan-asupan nilai yang perlu dipertimbangkan oleh para orang tua di saat era yang menomorduakan pendidikan keluarga, kesibukan masing-masing suami-istri akan mengurangi rasa perhatiannya kepada si buah hati. Menjadilah buah hati itu tumbuh sesuai dengan lingkungan yang dia hinggapi, sangat beruntung jika lingkungannya baik, akan tetapi sangat menyayangkan jika dia terjebak dalam kubangan modernitas, konsumtif, matrealis, dan hedonis. Hal inilah yang kemudian menempatkan persepsipersepsi anak dalam Islam menjadi penting untuk mengingatkan kembali para orang tua yang mempunyai kecenderungan acuh tak acuh kepadanya.

158

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

DAFTAR PUSTAKA al-Burhanu Furiy, Alau al-Din Ali Ibnu Hisam al-Din al-Muttaqiy al-Hindiy, Kanzul al-Amal fi Sunani al-Aqwal wa al-Af al , Madinah: Muassasah al-Risalah, 1981 al-Syibani, Ahmad Ibnu Hambal Ibnu Abdullah, Musnad Ibnu Hanbal, t.tp.: Muassisah al-Qurtubah, tt al-Asyur, Syekh Muhammad al-Thahir Ibnu, al-Tahrir wa al-Tanwir, t.tp.: Daru alNasyr, 1997 HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1986 Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religious (Membumikan Nilai-Nilai Islam Dalam Kehidupan Masyarakat), cet ke-2, Jakarta: Paramadina, 2000 Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Beirut: Daru al-Kutub al-Ilmiyah, 1999 Shihab, M. Quraish, Mukjizat al-Quran: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan, 2007 _____, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran , cet VI, Jakarta: Lentera Hati, 2006 _____, Wawasan al-Quran: Tafsir Maudlui Atas Pelbagai Permasalahan Umat, cet VIII, Bandung: Mizan, 1998

STRATEGI PEMASARAN DAN IMPLEMENTASINYA DALAM LEMBAGA PENDIDIKAN

Khoirul Anam STAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung chasna_choir@yahoo.com ABSTRACT According to the perspective of marketing, Islamic education institution is categorized as a non profit organization. It is an activity to serve students and stakeholders. Since principally the function of the institution to serve, therefore, the marketing strategy is done by: identification of the market, segmenting and positioning of the market, differentiating product, and marketing communication. Through implementing those strategies, an educational institution can compete with others. In other words, by implementing certain strategies, an educational institution can win the competition, especially in improving the number of students from year to year. Kata Kunci: strategi pemasaran, lembaga pendidikan Pendahuluan Orientasi dunia pemasaran mengalami perubahan dari profitoriented beralih kepada costumer satisfied oriented. Perusahaan tidak bisa hanya mengharapkan keuntungan maksimal tanpa memperlihatkan kepuasan pada pelanggan/konsumen. Masalah yang sering dihadapi oleh perusahaan meskipun orientasi mereka sudah menganut consumen satisfied adalah realitas bahwa mereka belum mampu memberikan kepuasan yang benar-benar diterima oleh konsuman. Demikian halnya kalau kita tarik dalam wilayah pendidikan. Pendidikan formal dalam hal ini sekolah/madrasah msedang mengalami perubahan besar berupa lingkungan global pendidikan atau sering disitilahkan dengan globalisasi pendidikan. Globalisasi bermakna suatu proses keterbukaan yang seluas-luasnya, bebas dari keterbelengguan kultural, bebas dari ketertutupan. Globalisasi dengan ciri pasar bebasnya tidak hanya menjual barang hasil produksi industri saja, tetapi juga sumberdaya manusia yang siap kerja. Dalam globalisasi, kualitas menjadi kunci. Barang (produk pendidikan) yang kurang berkualitas akan terpinggirkan. Implikasi dari hal ini adalah fakta bahwa masyarakat sudah mulai mempertanyakan dan memilih sekolah-sekolah bermutu untuk putra putri mereka.1
Ulil Multazam, Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, (online), http://www.scribd.com/ doc/80640303/Strategi-Pemasaran-Jasa-Pendidikan#download , diakses 15 September 2013
1

160

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-170

Dengan demikian sudah saatnya lembaga pendidikan sebagai salah satu bentuk pelayanan jasa menerapkan strategi pemasaran untuk menarik pemakai jasa mereka. Masyarakat sebagai pengguna jasa selalu mengharapkan sekolah/lembaga pendidikan memberikan penyediaan layanan pendidikan secara maksimal.Dalam kondisi krisis multidimensi yang berkepanjangan, pendidikan telah menarik perhatian berbagai pihak setelah bergeser menjadi salah satu pos pengeluaran yang semakin besar dan memberatkan di sebahagaian besar anggota masyarakat. Tingginya biaya pendidikan merupakan konsekuensi dari meningkatnya biaya dan ditambah lagi dengan berkurangnya kemampuan para penyandang dana pendidikan. Pendidikan yang mahal akan semakin menjadi relatif ketika kita melihat dari sudut pandang yang berbeda. Apabila pendidikan dianggap sebagai suatu bentuk investasi yang akan memberikan suatu benefit di masa mendatang maka tidak akan terjadi penempatan biaya pendidikan dalam skala prioritas terakhir atau berada di bawah pengeluaran-pengeluaran yang konsumtif. Perspektif inilah yang harus terus diupayakan menjadi sepandang agar tidak terjadi gap pendekatan bagi solusi masalahmasalah seputar pendidikan. Komunikasi yang sering sumbang harus disamakan, paling tidak untuk membuka forum diskusi yang lebih terarah bagi semua pihak yang berkepentingan di dunia pendidikan. Bermunculannya sekolah-sekolah baru menimbulkan fenomena dalam dunia kependidikan. Bentuk dan pendekatan pendidikan semakin berkembang dan kompleks. Tidak hanya pemain-pemain lama yang mengembangkan sekolah yang sudah ada namun juga dari pelaku usaha non kependidikan dan bahkan penyelenggara pendidikan dari luar negeri. Secara objektif, masyarakat semakin sulit menentukan pilihan lembaga pendidikan formal/sekolah yang akan digunakan. Kemudian dengan semakin ditambahkannya fitur-fitur pengajaran tersebut, maka biaya operasional secara rasional akan bertambah. Hal yang logis ketika kualitas suatu produk/layanan ditingkatkan maka akan meningkatkan biaya. Di lain pihak pengelolaan suatu lembaga menuju organisasai yang efektif dan efisien merupakan syarat mutlak keberhasilan organisasi tersebut. Tidak terkecuali lembaga pendidikan yang juga akan semakin dituntut menjadi organisasi yang tepat sasaran dan berdayaguna. Selain itu lembaga pendidikan formal memerlukan suatu sistem pengelolaan yang profesional. Sekolah formal sebagai organisasi nirlaba telah banyak mengalami redefenisi dalam hal bagaimana seharusnya sekolah dapat tetap beroperasi dalam iklim hypercompetitive. Visi dan Misi lembaga pendidikan dengan pendekatan situsional akan seringkali disalahartikan oleh masyarakat. Dari paparan kondisi pendidikan di atas, maka pengelolaan sekolah memainkan peranan yang penting dan menentukan keberlangsungan serta perkembangan sekolah itu dimasa yang akan datang. Untuk keberlangsungan produk berupa jasa layanan pendidikan tersebut, maka perlu lembaga pendidikan perlu mengembangkan sebuah strategi pemasaran produknya di tengah persaingan dengan lembaga-lembaga pendidikan. Strategi pemasaran ini merupakan salah satu bagian yang penting dan punya dampak luas serta kuat terhadap kelancaran produk atau jasa.

Khoirul Anam, Strategi Pemasaran dan Implementasinya Dalam Lembaga Pendidikan

161

Pengertian Strategi Pemasaran Strategi Setiap organisasi mempunyai strategi untuk mendukung aktivitas serta kelangsungan organisasinya, dimana strategi harus sesuai dengan keadaan dan kondisi masyarakat.Strategi adalah suatu program yang mendukung untuk mencapai suatu tujuan perusahaan. Amstrong mendefinisikan bahwa setidaknya terdapat tiga pengertian strategi. Pertama, Strategi merupaka deklarasi maksud yang mendefinisikan cara untuk mencapai tujuan, dan memperhatikan sungguh-sungguh alokasi sumber daya perusahaan yang penting untuk jangka panjang dan mencocokkan sumber daya dan kapabilitas dengan lingkungan eksternal. Kedua, strategi merupakan perspektif dimana isu kritis atau factor keberhasilan dapat dibicarakan, serta keputusan strategis bertujuan untuk membuat dampak yang besar serta jangka panjang kepada prilaku dan keberhasilan organisasi.Ketiga, strategi pada dasarnya adalah mengenai penetapan tujuan (tujuan strategis) dan mengalokasikan atau menyesuaikan sumber daya dengan peluang (strategis berbasis sumber daya) sehingga dapat mencapai kesesuaian strategis dan basis sumber dayanya.2 Sementara itu Syaiful Sagala mendefinisikan strategi sebagai sebuah rencana yang komprehensif mengintegrasikan segala sumber daya dan kapabilitas yang mempunyai tujuan jangka panjang untuk memenangkan kompetisi3. Berdasarkan keseluruhan definisi di atas, maka strategi dapat didefinisikan sebagai sekumpulan pilihan kritis untuk perencanaan dan penerapan serangkaian rencana tindakan dan alokasi sumber daya yang penting dalam mencapai tujuan dasar dan sasaran, dengan memperhatikan keunggulan kompetitif,komparatif, dan sinergis yang ideal berkelanjutan, sebagai arah, cakupan, dan perspektif jangka panjang keseluruhan yang ideal dari individu atau organisasi. Pemasaran Aktivitas pemasaran merupakan tombak dari segala usaha oraganisasi, sebaliknya apapun produk yang dihasilkan oleh suatu organisasi tidak akan pernah mendatangkan bisnis tanpa adanya keinginan pemasaran. Demikian halnya bagi lembaga pendidikan. Sehingga kegiatan pemasaran lebih mendekati suatu seni untuk mencari masyarakat yang keliru menilai sub-fungsi pemasaran. Pemasaran adalah seni mengidentifikasikan dan memahami kebutuhan konsumen merasa puas sekaligus memberikan keuntungan bagi organisasi.Pemasaran adalah suatu sistem total dari kegiatan bisnis yang dirancang untuk merencanakan, menentukan harga, promosi dan mendistribusikan barang-barang yang dapat memuaskan keinginan dan mencapai pasar sasaran serta tujuan perusahaan. Menurut Kotler Pemasaran adalah sebagai sebuah proses sosial dan manajerial yang dengan nya individu-individu dan kelompok-kelompok memproleh apa yang mereka butuhkan dan mereka inginkan dengan menciptakan dan saling mempertukarkan produk-

Michael Armstrong. Strategic Human Resource Management : A Guide toAction. (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 39-42 3 Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan . (Bandung: Alfabeta, 2007), hal. 137

162

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-170

produk dan nilai satu sama lain4. Dalam karya yang lain, Kotler Mendefinisikan Pemasaran sebagai proses sosial dan manajerial yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok untuk memproleh apa yang mereka inginkan melalui penciptaan, penawaran,dan pertukaran produk-produk yang bernilai dengan yang lainnya5. Berdasarkan definisi di atas, maka dapat dimaklumi bahwa pemasaran mengandung pengertian yaitu bagaimana memahami,merencanakan dan mengelola pertukaran dari barang atau jasa dari tangan produsen (lembaga pendidikan) ke konsumen (stakeholder) sebagai pembeli (pengguna jasa) sehingga komsumen akan memproleh kepuasan. Strategi Pemasaran Strategi pemasaran pada dasarnya merupakan rencana yang menyeluruh serta terpadu dan menyatu dibidang pemasaran barang dan jasa.Dengan perkataan lainnya strategi pemasaran itu adalah serangkaian tujuan dan sasaran kebijakan, serta aturan yang memberi arah kepada usaha-usaha pemasaran barang dan jasa.Strategi pemasaran juga merupakan wujud rencana yang terarah dibidang pemasaran, untuk memproleh suatu hasil yang optimal. Strategi pemasaran menurut Kotler merupakan pendekatan pokok yang akan digunakan oleh unit bisnis dalam mencapai sasaran yang telah ditetapkan terlebih dahulu, didalamnya tercantum keputusan-keputusan pokok mengenai target pasar, penempatan produk di pasar, bauran pemasaran dan tingkat biaya pemasaran yang diperlukan6. Definisi Kotler ini memberikan pemahaman pemasaran sebagai suatu proses sosial dan manajerial di mana individu dan kelompok mendapatkan kebutuhan dan keinginan mereka dengan menciptakan, menawarkan dan bertukar sesuatu yang bernilai satu dengan lainnya. Sementara itu menurut Winardi menyatakan bahwa. Strategi pemasaran yang digunakan oleh perusahaan merupakan hasil dipadukannya berbagai elemen pemasaran7. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkanbahwa strategi pemasaran merupakan rangkaian suatu kegiatanyang terarah untuk mencapai sasaran dan dengan pola berpikiryang inovatif dan kreatif, untuk menghadapi kecenderungan yangterjadi di dalam organisasi maupun di luar organisasi, yang akanberpengaruh terhadap kepentingan maupun masa depan organisasi sendiri. Jenis-Jenis Strategi Pemasaran Untuk mengetahui jenis strategi pemasaran mana yang tepat dan sesuai dengan sebuah organisasi, perlu terlebih dahulu mengetahui jenis dan bentuk kebutuhan konsumen (pengguna), sebelum organisasi memasarkan produk yang dihasilkan.Untuk lebih jelasnya Tedjasatesan mengatakan bahwa strategi pemasaran dapat dibagi kedalam empat jenis dasar, yaitu : (1) merangsang kebutuhan primer dengan menambah jumlah pemakai; (2) merangsang kebutuhan primer dengan memperbesar tingkat pembeli;
Philip Kotler, Marketing Management: The Millennium Edition, 10th Edition, ( t.tp.: Prentice Hall, 2000), hal. 73 5 Philip Kotler, Kotler on Marketing How to Create, Win and Dominate Markets, (t.tp.: Free Press, 1999), hal. 182 6 Philip Kotler, Marketing Management,, hal. 109 7 Winardi. Motivasi dan Pemotivasian. (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2001), hal. 93
4

Khoirul Anam, Strategi Pemasaran dan Implementasinya Dalam Lembaga Pendidikan

163

(3) merangsang kebutuhan selektif dengan mempertahankan pelayanan yang ada; dan (4) merangsang kebutuhan selektif dengan menjaring pelanggan yang ada. Sementara itu mengatakan bahwa strategi pemasaran terdiri dari: pertama, strategi kebutuhan primer. Strategi kebutuhan primer dirancang terutama untuk menaikan tingkat permintaan akan bentuk atau kelas produk dari bukan pemakaian sekarang (yang tidak ada atau hanya mempunyai sedikit pesaing saja) serta produkproduk dengan bagian pasar yang besar kemungkinan besar akan mendapat manfaat dari strategi yang dirangcang untuk meningkatkan jumlah pemakai bentuk produk. Kedua, strategi kebutuhan selektif. Strategi kebutuhan selektif dirancang untuk memperbaiki posisi pesaing suatu produk,jas atau bisnis. Fokus dasar dari strategistrategi ini adalah pada bagian pasar,karena perolehan penjualan diharapkan akan dating dengan mengembangkan bentuk produk satu kelas pesaing. Strategi kebutuhan selektif dapat dicapai dengan mempertahankan pelanggan lama atau dengan menyaring pelanggan baru. Ada 3 faktor yang mempengaruhi perusahaan mengadakan perubahan atau penyesuaian strategi pemasarannya, yaitu: (a) daur hidup perusahaan; (b) posisi persaingan perusahaan di pasar; dan (c) situasi ekonomi. Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan strategi pemasaran dalam meningkatkan penjualan serta memperluas marketshare, yaitu: a) kekuatan dan kelemahan perusahaan, b) sasaran keuangan pemasaran, dan c) program kegiatan strategi pemasaran. Sementara itu langkah-langkah sistematis untuk merancang strategi pemasaran, menurut Purnama adalah:pertama, strategi segmentasi pasar (market segmentation strategy); kedua, strategi penentuan pasar sasaran (market targeting strategy); ketiga, strategi penentuan posisi pasar (market positioning strategy). Market segmentation strategy pada dasarnya merupakan suatu strategi memahami struktur pasar dengan cara mengelompokkan pembeli aktual maupun potensial yang berbeda yang mungkin meminta produk dan atau bauran pemasaran tersendiri. Langakh kedua yaitu market targeting strategy dilakukan untuk memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dilayani, dan langkah selanjutnya adalah market positioning strategy yaitu membentuk dan mengkomunikasikan manfaat utama yang membedakan produk dalam pasar. Model-Model Strategi Pemasaran dalam Lembaga Pendidikan Sebagai bagian dari organisasi yang bergerak di bidang jasa, posisi lembaga pendidikan sangat strategis dan sangat kompleks, karena banyak elemen yang mempengaruhinya, seperti sistem internal madrasah, lingkungan fisik, kontak personal, tagihan dan pembayaran, komentar dari mulut ke mulut dan sebagainya. Oleh karena itu Gronroos sebagaimana dikutip Ulil Multazam menegaskan bahwa pemasaran jasa tidak hanya membutuhkan pemasaran eksternal, tetapi juga pemasaran internal dan pemasaran interaktif8.Dengan begitu dalam strategi pemasaran lembaga pendidikan haruslah menerapkan tiga model pemasaran jasa yang diungkapkan oleh Gronroos tersebut dengan tujuan agar terjadi keserasian dan bisa mencegah terjadinya kesalahpahaman antar komponen fungsi menajemen dalam organisasi pendidikan tersebut.

Ulil Multazam, Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, (online), http://www.scribd.com/ doc/80640303/Strategi-Pemasaran-Jasa-Pendidikan#download , diakses 15 September 2013

164

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-170

Pemasaran Eksternal Model pemasaran ini menggambarkan aktivitas normal yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dalam mempersiapkan produk, menetapkan harga, melakukan distribusi informasi dan mempromosikan produk jasa yang bernilai superior kepada para pelanggan.Pelanggan lembaga pendidikan dalam hal ini adalah wali murid. Bila pemasaran ini dilakukan dengan maksimal, maka sebagai pelanggan, wali murid akan ada ikatan yang kuat dengan lembaga pendidikan tersebut, sehingga keuntungan jangka panjang bagi kelangsungan lembaga pendidikan bisa terjamin. Pemasaran Internal Model pemasaran internal menggambarkan tugas dan fungsi yang diemban oleh lembaga pendidikan dalam rangka melatih dan memotivasi tenaga pendidik, tenaga kependidikan, serta para siswa sebagai aset utama organisasi agar dapat melayani pelanggan dengan maksimal. Yang tak kalah pentingnya adalah pemberian penghargaan atau reward dan pengakuan yang sepadan dan manusiawi. Aspek ini membangkitkan motivasi, moral kerja, rasa bangga, loyalitas, dan rasa memiliki setiap orang dalam organisasi, yang pada gilirannya dapat memerikan kontribusi besar bagi organisasi dan bagi pelanggan yang dilayani9. Pemasaran Interaktif Jenis pemasaran model ini menggambarkan interaksi antara pelanggan dalam hal ini para wali murid dengan tenaga pendidik dan kependidikan serta dengan manajer organisasi (kepala sekolah/madrasah). Diharapkan setiap sumber daya manusia organisasi yang loyal, bermotivasi tinggi, dan diberdayakan ( empowered) dapat memberikan Total Quality Service kepada setiap pelanggan dan calon pelanggan. Bila ini terealisasi, maka pelanggan yang puas akan menjalin hubungan berkesinambungan dengan personil dan organisasi yang bersangkutan, dan bahkan bisa menjadi sarana dan media pemasaran organisasi10. Macam-Macam Strategi Pemasaran dalam Lembaga Pendidikan Dalam organisasi jasa semacam lembaga pendidikan, banyak hal-hal yang perlu diterapkan strategi pemasarannya.Hal ini dimaksudkan agar sustainabilitas lembaga pendidikan bisa dipertahankan dan prestasinya dapat ditingkatkan.Beberapa hal yang dapat diterapkan strategi pemasarannya sebagaimana dijelaskan berikut ini. Produk Pendidikan Produk merupakan segala sesuatu yang dapat ditawarkan produsen untuk diperhatikan, diminta, dibeli, digunakan, atau dikonsumsi pasar sebagai pemenuhan kebutuhan atau keinginan pasar bersangkutan.Produk yang ditawarkan tersebut meliputi barang fisik, jasa, organisasi, dan ide.Jadi, produk bisa berupa manfaat tangible maupun manfaat intangible yang dapat memuaskan pelanggan11.

ibid ibid 11 ibid


10

Khoirul Anam, Strategi Pemasaran dan Implementasinya Dalam Lembaga Pendidikan

165

Biaya Pendidikan Untuk menjamin kesuksesan memasarkan produknya, lembaga pendidikan harus menetapkan biaya pendidikan secara tepat.Biaya pendidikan merupakan satu- satunya unsur pemasaran yang memberikan pemasukan atau pendapatan bagi lembaga pendidikan, sedangkan ketiga unsur lainnya yaitu : 1) produk, 2) distribusi informasi, dan 3) promosi menyebabkan timbulnya biaya (pengeluaran). Harga atau biaya pendidikan dalam dunia pendidikan bisa diungkapkan dengan berbagai istilah. Misalnya SPP, komisi, gaji, honorarium dan sebagainya. dalam pandangan konsumen, harga seringkali digunakan sebagai indikator nilai jikabiaya tersebut dihubungkan dengan manfaat yang dirasakan atas suatu produk lembaga pendidikan. Distribusi Informasi Distribusi informasi lembaga pendidikan berkaitan dengan penentuan dan manajemen saluran distribusi yang digunakan oleh institusi untuk memasarkan produkproduknya sehingga produk-produk tersebut dapat sampai di tangan konsumen yang menjadi sasaran dalam jumlah dan jenis yang dibutuhkan pada waktu yang diperulukan, dan tempat yang tepat. Strategi distribusi informasi menurut Ulil Multazam dapat menggunakan antara lain: 1) strategi saluran distribusi berganda; 2) strategi modifikasi saluran distribusi; 3) strategi pengendalian saluran distribusi; dan 4) strategi manajemen konflik dalam saluran distribusi12. Menempatkan Posisi dalam Persaingan : Kajian terhadap Lembaga Pendidikan Perusahaan ataupun penyedia layanan jasa yang berhasil selalu berusaha mengenali pesaingnya sebaik mungkin seperti yang dilakukannya terhadap para konsumen. Analisis dan situasi persaingan akan membantu manajemen untuk memutuskan di mana akan bersaing dan bagaimana menentukan posisi menghadapi pesaingnya pada setiap pasar sasaran. Karena itu, pasar terlebih dahulu perlu didefenisikan atau ditentukan sehingga konsumen dan pesaing dapat dianalisis secara tepat. Untuk mempersiapkan strategi pemasaran efektif, perusahaan harus mempelajari pesaing aktual dan potensialnya. Perusahaan perlu mengidentifikasi strategi, tujuan, kekuatan, kelemahan, dan pola reaksi pesaing. Di samping itu, perusahaan juga perlu mengetahui bagaimana merancang system intelijen kompetitif yang efektif, pesaing mana yang akan dihadapi dan mana yang akan dihindari. Untuk menganalisis persaingan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Langkah-langkah tersebut adalah: 1) melihat struktur industri dimana organisasi akan bersaing dan menguaraikan karakteristik industri, 2) melakukan identifikasi dan analisis terhadap kelompok perusahaan strategis yang bersaing, 3) mengidentifikasi dan menguraikan pesaing utama organisasi, 4) mengevaluasi pesaing utama organisasi, 5) melakukan antisipasi terhadap pesaing, dan 6) mengidentifikasi kemungkinan adanya kompettitor baru yang masuk. Memahami struktur pasar sangat berguna untuk mengidentifikasi pesaing dan menjadikannya sebagai acuan atu pedoaman untuk menganalisis. Persaingan yang terjadi bisa berupa persaingan merek, industri, jenis atau bentuk produk, persaingan generik, dan geografi.
12

ibid

166

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-170

Menurut Micahel E. Porter diperlukan suatu kinerja yang berguna menganalisis kekuatan bersaing. Dalam padangan tradisional persaingan dikembangkan menjadi lima kekuatan bersaing yang menentukan kinerja industri (Five Forces Model) yang terdiri dari persaingan di antara perusahaan yang ada, ancaman pesaing baru, ancaman produk subtitusi, kekuatan penawaran pemasok, dan kekuatan penawaran pembeli. Five force model tersebut juga pada gilirannya menggambarkan jenis persaingan vertikal dan horizontal. Analisis kelompok strategi berguna untuk menentukan bagaiman cara bersaing, membandingkan proforma, dan mengantisipasi strategi masa depan yang akan digunakan para pesaing utama. Perumusan kelompok strategis merupakan hal penting, terutama jika industri memiliki banyak pesaing. Jika sebuah coorporate atau organisasi masuk kelompok pemimpin pasar, maka ia selalu ingin tetap menjadi yang terunggul. Untuk menjadi yang pertama, biasanya ia mengambil tindakan ke tiga arah, yaitu: (1) organisasi harus menemukan cara mengembangkan jumlah permintaan keseluruhan, (2) menjaga tingkat pasar yang dikuasai dengan bertahan atau menyerang dengan baik, (3) mencoba meningktakan pangsa pasarnya meskipun luasnya tidak berubah. Kemudian organisasi yang menempati urutan kedua, ketiga, atau yang lebih rendah dalam persaingan, biasa disebut runner-up atau penyusul (trailing firm). Bagi kelompok ini bisa memilih salah satu dari dua strategi atau penampilan, yaitu menyerang market leader dan pesaing lainnya (market challenger) atau memilih sebagai market follower. Ada kalanya dalam suatu persaingan, terdapat suatu organisasi yang menghindari bentrok dengan perusahaan besar dan mengkhususkan diri pada sebagian dari pasar (kelompok ini disebut market nichers, threshold firms atau foothold firm). Kelompok ini biasanya mencoba masuk ke satu atau lebih celah-celah pasar yang aman dan menguntungkan.Dengan analisis kelompok strategis dalam memahami pesaing utama akan sangat membantu karena pesaing utama dan terdekat perusahaan adalah mereka yang mengejar pasar sasaran yang sama dengan strategi yang juga sama. ExperientalMarketing Experiential marketing merujuk pada pengalaman nyata pelanggan terhadap brand/product/service untuk meningkatkan penjualan/ sales dan brand image/ awareness. Experiential marketing adalah lebih dari sekedar memberikan informasi dan peluang pada pelanggan untuk memperoleh pengalaman atas keuntungan yang didapat dari produk atau jasa itu sendiri tetapi juga membangkitkan emosi dan perasaan yang berdampak terhadap pemasaran, khususnya penjualan. Jadi dengan experiential marketing, pemasar diharapkan dapat menggunakan berbagai pilihan strategi yang sesuai sesuai dengan tujuan yang diharapkan, baik itu untuk mencapai brand awareness, brand perception, brand equity ataupun brand loyalty. Experiential marketing memberikan peluang pada pelanggan untuk memperoleh serangkaian pengalaman atas merek, produk dan jasa yang memberikan cukup informasi untuk melakukan keputusan pembelian. Aspek emosional dan rasional adalah beberapa aspek yang hendak dibidik pemasar melalui program ini dan seringkali kedua aspek ini memberikan efek yang luar biasa dalam pemasaran. Implementasi pendekatan ini lebih banyak dilakukan dalam rangka memasarkan produk. Kendatipun demikian, dalam bidang jasa pun juga tak mau ketinggalan untuk

Khoirul Anam, Strategi Pemasaran dan Implementasinya Dalam Lembaga Pendidikan

167

turut mengimplementasikan pendekatan ini. Seperti kursus komputer dan lembaga pendidikan (matematika, menggambar, bahasa, musik) misalnya Scomtec, Kumon, Cyberkids, Purwacarakamendesain interior ruangannya sedemikian rupa sesuai dengan misi dan visi perusahaan dalam kelas-kelas kecil ber-AC (air conditioner) dan membagi-bagikan brosur atau memasang spanduk yang memberi kesempatan calon pelanggannya untuk memperoleh pengalaman langsung mengikuti kursus dengan COBA GRATIS dalam kurun waktu tertentu. Dengan cara ini diharapkan pelanggan akan memperoleh informasi tentang sense (desain kelas dan interior kantor yang nyaman), feel (mengalami secara langsung apa yang ditawarkan pemasar) serta relate (gengsi yang ditawarkan sebagai kelompok referensi yang trampil, tidak gagap teknologi dan menghargai karya musik dan keindahan). Namun yang perlu dipahami bahwa untuk menerapkan pendekatan ini, seorang pemasar dituntut untuk dapat memilih strategi yang tepat dengan konsumen yang akan dibidik sesuai dengan kondisi sosial, perkembangan jaman, dan teknologi. Relationship Marketing Strategi ini menjadi sebuah pembicaraan menarik manakala perusahaan mencoba mengembangkan kiat atau strategi yang tepat menghadapi konsumen yang memiliki banyak pilihan. Bagaimana tidak, berbagai konsep yang selama ini ada nyatanya kurang tepat untuk mengantisipasi masalah-masalah yang muncul. Relationship Marketing merupakan paradigma baru yang berkembang dalam dunia pemasaran. Strategi ini sangat berhubungan dengan masalah promosi, ini karena promosi merupakan bagian dari pemasaran, relationship marketing adalah sebuah terobosan baru dalam pemasaran. Relationship Marketingmerupakan strategi bisnis dan strategi pemasaran yang mampu memberdayakan kekuatan keinginan pelanggan dengan tekanan teknologi informasi untuk memberikan kepuasan pelanggan. Penerapan strategi relationship marketing tidak lain adalah upaya untuk memperlakukan konsumen sebagai mitra dalam situasi yang sama-sama untung. Sehingga dengan demikian, dapat terjalin seuatu kepuasan yang tinggi bagi para konsumen dan keberhasilan pemasaran bagi pihak perusahaan. Implementasi Strategi Pemasaran pada Lembaga Pendidikan Kalau kita merujuk pada definisi yang diberikan Kotler mengenai strategi pemasaran di depan, pemasaran produk dan jasa, termasuk sekolah akan terkait kepada konsep: permintaan, produk, nilai dan kepuasan pelanggan. Konsep produk dalam dunia pendidikan terbagi atas jasa kependidikan dan lulusan. Jasa kependidikan sendiri terbagi atas jasa: kurikuler, penelitian, pengembangan kehidupan bermasyarakat, ekstrakurikuler dan administrasi. Bentuk produk-produk tersebut hendaknya sejalan dengan permintaan pasar atau keinginan pasar yang diikuti oleh kemampuan dan kesediaan dalam membeli jasa kependidikan. Lembaga pendidikan hendaknya dapat berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Selain itu juga perlu mencermati pergeseran konsep keuntungan pelanggan menuju nilai (value) dari jasa yang terhantar. Lembaga pendidikan mahal tidak menjadi masalah sepanjang manfaat yang dirasakan siswa melebihi biaya yang dikeluarkan. Dan sebaliknya lembaga pendidikan murah bukan jaminan akan diserbu calon siswa apabila dirasan nilainya rendah.

168

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-170

Langkah-langkah kegiatan dalam mendesain serta mengelola strategi pemasaran pada lembaga pendidikan yaitu:pertama, identifikasi pasar. Tahapan pertama dalam strategi pemasaran lembaga pendidikan adalah mengidentifikasi dan menganalisis pasar.Dalam tahapan ini perlu dilakukan suatu penelitian/ riset pasar untuk mengetahui kondisi dan ekspektasi pasar termasuk atribut-atribut pendidikan yang menjadi kepentingan konsumen pendidikan. Termasuk dalam tahapan ini adalah pemetaan dari lembaga pendidikan lain. Tahap kedua adalah segmentasi pasar dan positioning.Penentuan target pasar merupakan langkah selanjutnya dalam stretegi pemasaran lembaga pendidikan. Dalam pasar yang sangat beragam karakternya, perlu ditentukan atribut-atribut apa yang menjadi kepentingan utama bagi pengguna layanan jasa pedidikan. Secara umum pasar dapat dipilah berdasarkan karakteristik demografi, geografi, psikografi maupun perilaku. Dengan demikian lembaga pendidikan akan lebih mudah menentukan strategi pemasaran apa yang diterapkan sehubungan dengan karakteristik dan kebutuhan pasar. Setelah diketahui karakter pasar, maka kita akan menentukan bagian pasar mana yang akan kita layani. Tentunya secara ekonomis, melayani pasar yang besar akan membawa lembaga pendidikan masuk ke dalam skala operasional yang baik. Langkah ketiga yaitu diferensiasi produk.Melakukan diferensiasi merupakan cara yang efektif dalam mencari perhatian pasar. Dari sekian banyaknya lembaga pendidikan yang ada, orangtua siswa tentunya akan kesulitan untuk memilih lembaga pendidikan untuk anaknya dikarenakan atribut-atribut kepentingan antar lembaga pendidikan semakin standar. Lembaga pendidikan satu hendaknya dapat memberikan tekanan yang berbeda dari lembaga pendidikan lainnya.Titik tekan tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk-bentuk kemasan yang menarik seperti logo dan slogan. Fasilitas internet bisa jadi merupakan standar, namun jaminan internet yang aman dan bersih akan menarik perhatian orangtua dan bisa menjadi strategi merebut pasar. Melakukan pembedaan, secara mudah dapat pula dilakukan melalui bentukbentuk tampilan fisik yang tertangkap panca indra yang memberikan kesan baik, seperti pemakaian seragam yang menarik, gedung lembaga pendidikan yang bersih atau stiker lembaga pendidikan dan sebagainya. Langkah keempat adalah komunikasi pemasaran.Akhirnya pengelola lembaga pendidikan hendaknya dapat mengkomunikasikan pesan-pesan strategi pemasaran lembaga pendidikan yang diharapkan pasar. Lembaga pendidikan sebagai lembaga ilmiah akan lebih elegan apabila bentuk-bentuk komunikasi disajikan dalam bentuk/ format ilmiah, seperti menyelenggarakan kompetisi bidang studi, forum ilmiah/ seminar dan yang paling efektif adalah publikasi prestasi oleh media independen seperti berita dalam media massa. Komunikasi yang sengaja dilakukan lembaga pendidikan dalam bentuk promosi atau bahkan iklan sekalipun perlu menjadi pertimbangan.Bentuk dan materi pesan agar dapat dikemas secara elegan namun menarik perhatian agar lembaga pendidikan tetap dalam imege lembaga pendidikan sebagai pembentuk karakter dan nilai.Publikasi yang sering terlupakan namun memiliki pengaruh yang kuat adalah promosi mouth to mouth.Publikasi yang dimaksud adalah melalui perantara alumni-alumni lembaga pendidikan.Alumni yang sukses dapat membagi pengalaman (testimony) atau bukti keberhasilan lembaga pendidikan kepada calon pengguna jasa layanan pendidikan.

Khoirul Anam, Strategi Pemasaran dan Implementasinya Dalam Lembaga Pendidikan

169

Penutup Lembaga pendidikan dalam perspektif marketing merupakanjenis non profit organization. Pendidikan merupakan sebuah kegiatan yang melayani konsumen, berupa murid, siswa, mahasiswa dan juga masyarakat umum yang dikenal sebagai stakeholder.Posisi lembaga pendidikan hakekatnya adalah pemberi layanan.Dengan demikian strategi pemasaran pada lembaga pendidikan berarti rencana yang komprehesif pada kegiatan lembaga pendidikan dalam memberi layanan jasa pendidikan yang memuaskan kepada pengguna dengan cara memperhatikan konsep, model, produk, biaya pendidikan dan strategi distribusi informasi jasa lembaga pendidikan. Implementasi strategi pemasaran pada lembaga pendidikan bisa dilakukan dengan cara : identifikasi pasar, segmentasi pasar dan positioning, diferensiasi produk, serta komunikasi pemasaran. Dengan langkah-langkah sebagaimana tersebut di atas, maka lembaga pendidikan diharapkan bisa mencapai keseimbangan/ ekuilibrium dalam operasionalisasi pengajaran dalam kondisi memperebutkan kue dari banyak penyelenggara lembaga pendidikan.Dengan demikian masalah lembaga pendidikan yang kekurangan murid ataupun dalam hal manajerial bisa dieliminir sedemikian rupa dengan menjalankan strategi-strategi pemasaran secara efektif dalam persaingan yang sehat. DAFTAR PUSTAKA Ade Gunawan, Menempatkan Posisi dalam Persaingan, Jurnal ilmiah Manajemen & Bisnis, Vol. 01 No. 01 Oktober 2001. Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Arman D. Hutasuhut, Strategi Pemasaran Berorientasi Hubungan dengan Pelanggan, Jurnal Manajemen & Bisnis, Vol. 04 No. 01 April 2004. Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Dewi Andriani, Mengembangkan Strategi Pemasaran pada Tahap Daur Hidup Produk, Jurnal Manajemen & Bisnis, Vol. 4 No. 2 Oktober 2004. Prodi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Fransisca Andreani, Experiental Marketing: Sebuah Pendekatan Pemasaran, Jurnal Manajemen Pemasaran, Vol. 2. No. 1 April 2007. Jurusan Manajemen Pemasaran, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra Henry Sumurung Octavian, Manajemen Pemasaran Sekolah sebagai Salah Satu Kunci Keberhasilan Persaingan Sekolah, Jurnal Pendidikan Penabur, No. 05/Th. IV / Desember 2005 Michael Armstrong. Strategic Human Resource Management : A Guide toAction. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003 Philip Kotler, Kotler on Marketing How to Create, Win and Dominate Markets, t.tp.: Free Press, 1999 Philip Kotler, Marketing Management: The Millennium Edition, 10th Edition, t.tp.: Prentice Hall, 2000 Robert Kristaung, Perkembangan Relationship Marketing dan Relevansinya dalam Praktik Pemasaran Jasa, Jurnal Manajemen dan Pemasaran Jasa, Vol 1 No. 1, Maret 2005. Jurusan Manajemen Pemasaran, Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Petra

170

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-170

Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan . Bandung: Alfabeta, 2007. Ulil Multazam, Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, (online), http: http:// www.scribd.com/ doc/80640303/Strategi-Pemasaran-Jasa-Pendidikan# download, diakses 15 September 2013. Winardi. Motivasi dan Pemotivasian. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

ANALISIS METODE PERMAINAN SOSIAL UNTUK PEMBELAJARAN IPS DI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH

Ahmad Syaikhudin STAIN Ponorogo, Jl. Pramuka No. 156 Pos Box 116 Ponorogo 63471 nuzulaprabandari@yahoo.co.id ABSTRACT Education is a deliberate effort to improve learners personality through the mastery of knowledge, affection, and good behavior. To improve the quality of education, it is important to develop method and strategies of teaching subject matter including social sciences subject matter. Some social games are worth doing for teaching such subject matter. This article is intended to review each game strategy within the confine of classic and modern theory of social game. Teacher plays important role in the success of implementation of method. Kata Kunci: metode permainan sosial, teori bermain klasik dan modern Pendahuluan Anak usia sekolah dasar dalam perkembangannnya merupakan anak pada tahap pertengahan dan akhir anak-anak.Pada suatu investigasi diketahui lebih dari 40% anakanak usia 7 sampai 11 tahun pada waktu siang berinteraksi dengan teman sebaya. Bermain merupakan kegiatan yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik, sosial, emosi, intelektual, dan spiritual anak sekolah dasar. Dengan bermain anak dapat mengenal lingkungan, berinteraksi, serta mengembangkan emosi dan imajinasi dengan baik. Bagi anak bermain adalah kegiatan yang serius, tetapi mengasyikkan. Bermain merupakan aktifitas yang dipilih sendiri karena menyenangkan. Bermain adalah alat utama yang menjadi latihan untuk pertumbuhan karena anak langsung mencobakan diri secara aktif. Permainan adalah alat bagi anak untuk menjelajahi dunianya dari yang tidak dikenali sampai ia mengetahui, dari tidak dapat diperbuatnya sampai dia mamp, bahkan trampil melakukannya. Permasalahannya hingga saat ini, di sekolahsekolah terutama di sekolah dasar, kegiatan bermain masih dianggap kurang penting, sehingga belum ada program yang terencana dan terstruktur. Pembelajaran terpadu (tematik) yang menggabungkan beberapa bidang studi di kelas rendah belum memasukkan unsur-unsur permainan. Demikian pula halnya dengan kegiatan bermain dan permainan di sekolah utamanya di sekolah dasar, pemahaman orang tua dan masyarakat masih kurang. Bermain dianggapnya main-main, membuang waktu dan memerlukan biaya, padahal banyak alat permainan yang dapat dipergunakan anak adalah alat permainan dari

172

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-182

lingkungan anak itu sendiri, dari alam dan permainan yang sengaja di buat guru, orang tua atau perusahaan yang dirancang untuk pendidikan anak. Alat permainan yang terakhir itu disebut alat permainan edukatif. Tempat bermain pun sangat fleksibel,tempat bermain anak di sekolah dapat dilakukan di kelas dan di luar kelas, yang penting lingkungannya aman dan kondusif, pembelajarannya terencana dan terstruktur dan tersedianya alat-alat permainan yang memadai Bentuk-bentuk permainan seperti: permainan eksplorasi (penjelajahan), permainan energik, permainan kemahiran (skillfull play) dapat dilakukan di luar kelas. Permainan yang lain, seperti permainan sosial dan puzzle dapat dilakukan di dalam kelas. Dalam proses pembelajaran, pendekatan, metode, media yang diterapkan diusahakan sesuai dengan dunia anak anak Sekolah Dasar yang suka bermain. Ketepatan memilih pendekatan, metode dan media sangat besar pengaruhnya bagi anak-anak sekolah dasar dalam upaya menguasai konsep IPS. Penyajian pembelajaran ini dapat dilakukan dalam suatu bentuk permainan yang membuat anak-anak lebih bersemangat dan tidak bosan, karena bermain memang dunia anak-anak. Hal ini dapat dilihat dari tingkat perkembangan motorik anak usia Sekolah Dasar. Teori Bermain Klasik dan Modern Teori Bermain Klasik Teori klasik muncul sebelum abad ke-20 dan sebagian besar menggambarkan suatu kekuasaan dan kekuatan pada saat teori itu diangkat atau dimunculkan. Menurut pandangan dari para pakar Psikologi & Biologi teori klasik meliputi: (1) Teori Rekreasi/ pelepasan (Lazarus&Schaller), (2) Teori Teleologi/ pembawaan (K. Groos&Roeles), (3) Teori Sublimasi (Ed. Clapatade), (4) Teori Rekapitulasi/ Evolusi/ Reinkarnasi (Hall), (5) Teori Surplus Energi (H. Spencer), (6) Teori C. Buhler.1 Teori Rekreasi/Pelepasan (Lazarus & Schaller) menyatakan bahwa bermain merupakan kegiatan yang berlawanan dengan kerja dan kesungguhan, Bermain merupakan imbangan antara kerja dengan istirahat. Orang yang merasa penat akan bermain dan berekreasi untuk mengadakan pelepasan agar kesegaran jasmani dan rohaninya segera kembali. Teori Teleologi/Pembawaan (K. Groos & Roeles) menyatakan permainan merupakan kegiatan yang mempunyai tugas biologis yang akan digunakan oleh manusia untuk mempelajari fungsi hidup, penguasaan gerak, rasa ingin tahu, persaingan sebagai persiapan hidup dimasa yang akan datang. Seseorang bermain bukan karena masih muda tetapi melalui bermain seseorang akan menjadi awet muda. Teori Sublimasi yang dimunculkan oleh Clapatade menyatakan bahwa permainan bukan hanya merupakan kegiatan untuk mempelajari fungsi hidup (Gross), tetapi juga merupakan proses sublimasi (menjadi lebih mulia, lebih tinggi, atau lebih indah). Melalui bermain seseorang yang memiliki insting/naluri yang rendah akan belajar untuk berubah dan meningkatkannya menjadi perbuatan dan tindakan yang lebih baik/tinggi. Dalam Rekapitulasi/Evolusi/Reinkarnasi dari Hall, permainan merupakan kesimpulan dari masa lalu (anak akan bermain permainan yang pernah dimainkan oleh nenek moyangnya), serta pertumbuhan jiwa manusia yang wajar haruslah melalui tahap-

Sukintaka. Teori Bermain untuk PGSD. (Jakarta: Dikdasmen, 1992), hal. 23

Ahmad Syaikhudin, Analisis Metode Permainan Sosial Untuk Pembelajaran IPS...

173

tahap perkembangan manusia yang wajar sampai pada pertumbuhan yang sempurna. Tahap itu meliputi: Pertumbuhan manusia, masa prenatal (pertumbuhan-kelahiran), masa bayi&masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, masa tua. Teori Surplus Energi yang digagas H. Spencer, meyatakah bahwa surplus atau kelebihan tenaga yang dimiliki oleh seseorang (yang belum digunakan/tersimpan) akan disalurkan atau dikeluarkan melalui aktifitas bermain atau permainan. Surplus/kelebihan tersebut meliputi: kelebihan energi, kelebihan kekuatan hidup, kelebihan emosi dan vitalitas. Teori C. Bhler, menyatakan bahwa di samping permainan merupakan kegiatan untuk mempelajari fungsi hidup (teori Groos), bermain juga merupakan Funtion Lust (nafsu untuk berfungsi) & Aktivitat Drang (kemauan untuk aktif. Untuk bisa bermain seseorang harus mempunyai kehendak, kemauan & nafsu untuk bermain permainan yang diinginkan.. Teori Bermain Modern Teori Psikoanalisa (Sigmund Freud). Bermain merupakan media, sarana, alat atau cara untuk mengeluarkan/melepaskan emosi-emosi dari dalam diri. Bermain juga merupakan media untuk belajar mengatasi pengalaman traumatik atau frustasi. Bermain merupakan salah satu cara untuk mengukur, menguasai dan mengetahui sifat suatu alat. Teori ini berasal dari Sigmund Freud dan Adler, Freud berpendapat permainan merupakan pernyatan nafsu-nafsu yang terdapat di daerah bawah sadar. Permainan merupakan bentuk pemuasan dari nafsu seksual yang terdapat di kompleks terdesak. Sedangkan menurut Adler, permainan merupakan pernyataan nafsu-nafsu yang terdapat di bawah alam sadar itu sumbernya dari nafsu berkuasa. Permainan merupakan usaha sadar untuk menutup-nutupi perasaan harga diri kurang Teori Kognitif (Piaget&Vygotsky). Bermain merupakan bagian atau tahap perkembangan kognitif (daya tiru, daya ingat, daya tangkap, daya imajinasi,) (gaya belajar manusia ATM & PDE) yang harus dilalui oleh seorang anak. Bermain juga merupakan sarana untuk belajar berpikir mengungkapkan ide-ide (kreatifitas/daya cipta), atau berimajinasi. Tahap Bermain (Jean Piaget): 1). Sensory Motor Play (3/4 Bln 6 Bln) yaitu bermain syaraf, perasaan, otot-otot, gerakan-gerakan kasar; 2) Symbolic / Make Belive Play (2 7 Tahun) yaitu bermain permainan nyata; 3) Social Play Games With Rules (8 11 Tahun) yaitu bermain berkelompok dengan aturan sederhana; 4) Games With Rules & Sports (11 Tahun keatas) yaitu bermain dan berolahraga dengan aturan-aturan yang disederhanakan atau aturan resmi/baku. Teori Belajar Sosial menyatakan bahwa manusia sebagai makluk monodualisme yaitu makluk individu dan makluk sosial. Bermain dapat menjadi sarana atau media untuk berkomunikasi, bersosialisasi dan berinteraksi dengan orang lain atau makhluk hidup lain (makhluk sosial). Teori Kompensasi menyatakan bermain tidak hanya berfungsi sebagai pengisi waktu luang/rekreasi saja tetapi sekarang sudah menjadi kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan atau untuk mempertahankan hidup (sebagai profesi)..

174

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-182

Bermain dan Peraminan Bermain adalah manifestasi penyesuaian salah satu dasar proses-proses mental menuju pada pertumbuhan intelektual. Bermain sangat bermanfaat bagi perkembangan kognitif dan kereatif, sebab pada dasarnya bermain itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan dari kewajaran dan keindahan gerak manusia. Bermain adalah suatu kebutuhan bagi anak, dengan merancang pembelajaran tertentu untuk dilakukan sambil bermain, maka anak belajar sesuai dengan tuntutan taraf perkembangannya. Jika kebutuhan bermain tidak terpenuhi, ada satu tahap perkembangan yang tidak berfungsi dengan baik. Dan hal ini akan terlihat ketika anak menjadi remaja.2 Anak-anak setelah memasuki masa sekolah melakukan hubungan sosial yang lebih banyak dengan anak lain dibanding sebelum memasuki usia sekolah, dengan demikian permainan yang bersidaf individual digantikan dengan permainan kelompok. Permainan kelompok membutuhkan sejumlah teman bermain dan lingkungan pergaulan sosial. Bentuk permainan berkelompok sangat cocok bagi anak-anak usia sekolah dasar karena sesuai dengan tingkat perkembangan sosial anak usia SD.3 Jenis permainan yang dimainkan oleh anak sangat ditentukan oleh umur anak. Untuk kelompok umur tertentu jenis permainannya akan berbeda dengan jenis permainan yang dimainkan oleh kelompok umur yang lain. Hal in disebabkan oleh kemampuan anak, dan juga oleh kesenangan anak. Dari penelitian Hurlock4, yang diamati dalam waktu satu minggu diperoleh kesimpulan bahwa jumlah permainan yang dimainkan oleh anak pada kelompok umur yang jumlah permainannya yang dimainkan oleh anak pada kelompok umur yang berbeda-beda, akan berbeda juga. Adapun hasil penelitian itu sebagai berikut : Umur 8 tahun : rata-rata ganti permainan 40,11 %, Umur 12 tahun : rata-rata ganti permainan 17,71 %. Hal ini dapat terjadi sebab ada kemungkinan bahwa anak pada kelompok umur lebih tua hanya mempunyai waktu luang yang sedikit, dan pada kelompok umur yang lebih muda untuk memperoleh rasa senang, mereka dapat bermain tanpa alat, atau dengan alat, atau dengan alat yang mereka peroleh dari tempat di sekelilingnya. Mereka dapat bermain sendiri dengan berfantasi, atau bermain dengan teman siapa saja yang mau menemani dan ikut bermain. Anak-anak yang lebih muda akan bermain dengan aktivitas jasmani yang lebih sedikit dibandingkan dengan permainan anak-anak yang lebih tua. Anak kelompok umur lebih tua akan memainkan permainan yang mempunyai peraturan yang tetap dan biasanya menuntut aktivitas jasmani yang lebih berat. Fungsi Bermain dalam Pendidikan Bigo, Kohnstam, dan Palland memberikan pandangan bahwa permainan mempunyai makna pendidikan, dengan uraian sebagai berikut: (1) permainan merupakan salah satu dari banyak wahana untuk membawa anak kepada hidup bersama atau bermasyarakat. Anak akan memahami dan menghargai dirinya atau temannya. Pada anak yang bermain, akan tumbuh rasa kebersamaan, yang sangat baik bagi pembentukan rasa sosialny; (2) dalam permainan anak akan mengetahui kekuatannya, menguasai alat bermain, dan mengetahui sifat alat; (3) dalam permainan, anak akan mempunyai suasana, yang tidak hanya mengungkapkan fantasinya saja, tetapi juga
John D. Latuheru, Media Pembelajaran. (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan, 1988), hal. 109
2

Ahmad Syaikhudin, Analisis Metode Permainan Sosial Untuk Pembelajaran IPS...

175

akan mengungkapkan semua sifat aslinya, dan pengungkapan itu dilakukan secara patuh dan spontan. Anak laki-laki dan perempuan yang berumur sama akan berbuat yang berbeda terhadap permainan yang sama (misalnya bermain dengan kubus, atau boneka); (4) dalam permainan, anak mengungkapkan macam-macam emosinya, dan sesuai dengan yang diperolehnya saat itu jenis emosi itu diungkapkannya, serta tidak mengarah pada prestasi.; (5) dalam bermain anak akan dibawa kepada kesenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan dalam dunia kehidupan anak. Semua situasi ini mempunyai makna wahana pendidikan; (6) permainan akan mendasari kerjasama, taat kepada peraturan permainan, pembinaan watak jujur dalam bermain, dan semuanya ini akan membentuk sifat fairplay (jujur, sifat kesatria, atau baik) dalam bermain; dan (7) bahaya dalam bermain dapat saja timbul, dan keadaan ini akan banyak gunanya dalam hidup yang sesungguhnya. Sedangkan Huizinga karena masalah permainan dalam perluasannya merupakan gejala kebudayaan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa permainan itu mempunyai makna pendidikan praktis. Lain halnya dengan Montessori yang menyebutkan permainan sebagai alat untuk mempelajari fungsi. Rasa senang akan terdapat dalam segala macam jenis permainan, akan merupakan dorongan yang kuat untuk mempelajari sesuatu. Metode Permainan Sosial untuk Pembelajaran IPS di Madrasah Ibtidaiyah Permainan Scramble Harjasurjana dan Mulyati dalam Rahayu Mengemukakan bahwa Istilah Scramble di pinjam dari bahasa inggris yang berarti perbuatan, pertarungan, perjuangan. Istilah ini digunakan untuk sejenis permainan kata, dimana permainan menyusun huruf-huruf yang telah diacak susunannya menjadi suatu kata yang tepat . Yang dimaksud dengan scramble adalah sebuah permainan yang dapat dilakukan oleh 2 atau 4 orang dalam satu kelompok, dalam permainan ini, para pemainnya harus menyusun kembali kata-kata dari huruf-huruf, kalimat dari kata-kata, dan wacana dari potongan kalimat-kalimat yang susunannya telah diacak terlebih dahulu. Teknik ini digunakan untuk sejenis permainan anak-anak. Melalui permainan ini, anak-anak berlomba untuk menyusun kalimat dari kata-kata yang tersedia. Permainan ini dapat melatih anak-anak untuk aktif. Scramble berasal dari bahasa Inggris yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti perebutan, pertarungan, perjuangan. Seperti yang diungkapkan oleh Fadmawati pembelajaran metode scramble adalah pembelajaran secara berkelompok dengan mencocokkan kartu pertanyaan dan kartu jawaban yang telah disediakan sesuai dengan soal. Pembelajaran metode scramble, memiliki kesamaan dengan model pembelajaran lainnya, siswa dikelompokkan secara acak berdasarkan kemampuan tinggi, sedang, dan rendah, atau jika memungkinkan, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda. Metode pembelajaran scramble dapat dilakukan seorang guru dengan langkah-langkah berikut: pertama,guru menyiapkan sebuah wacana, kemudian keluarkan kalimat-kalimat yang terdapat dalam wacana tersebut ke dalam kartu-kartu kalimat; kedua, guru membuat kartu soal beserta kartu jawaban yang diacak nomornya sesuai materi bahan ajar teks yang telah dibagikan sebelumnya dan membagikan kartu soal tersebut; ketiga, siswa dalam kelompok masing-masing

176

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-182

mengerjakan soal dan mencari kartu soal untuk jawaban yang cocok, sebelumnya jawaban telah di acak sedemikian rupa; dan keempat, siswa di haruskan dapat menyusun kata jawaban yang telah tersedia dalam waktu yang telah ditentukan. Setelah selesai mengerjakan soal, hasil pekerjaan siswa dikumpulkan dan dilakukan pemeriksaan. Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran metode scramble ini adalah model pembelajaran kelompok yang membutuhkan kreativitas serta kerjasama siswa dalam kelompok. Metode ini memberi sedikit sentuhan permainan acak kata, dengan harapan dapat menarik perhatian siswa. Permainan Monopoli Monopoli diciptakan oleh Elizabeth Magie pada tahun 1903. Nama permainan ini disebut The Landlords Game. Hingga kemudian muncul monopoli versi baru dan diberi nama Monopoli yang dibuat oleh Charles Darrow yang kemudian langsung didaftarkan sehingga mendapatkan hak cipta. Parker Brothers membeli hak cipta monopoli dari Charles Darrow yang kemudian membuat permainan monopoli menjadi permainan terlaris di dunia.5 Permainan monopoli dapat dikembangkan sebagai media pembelajaran dengan melakukan penyesuaian terhadap aturan main serta dengan memodifikasi papan main monopoli sedemikian rupa dengan beberapa sisipan materi yang menjadi tujuan pembelajaran.6 Media permainan monopoli langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: (1) guru membagi siswa ke dalam kelompok yang masing-masing kelompok berjumlah 5-6 orang; (2) guru menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa untuk belajar; (3) guru menjelaskan materi secara garis besar; (4) guru membagikan media permainan monopoli; (5) guru memberikan petunjuk cara bermain monopoli; (6) guru mengamati dan membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam melaksanakan permainan monopoli; (7) dalam menjawab pertanyaan dari permainan monopoli siswa diberikan kebebasan untuk menjawab soal dengan mencari jawaban dari buku terlebih dahulu dan diberi waktu selama 3 menit; dan (8) setelah waktu permainan usai guru meminta siswa untuk mengumpulkan media permainan monopoli. Permainan Ular Tangga Ular tangga menjadi bagian dari permainan tradisional di Indonesia meskipun tidak ada data yang lengkap mengenai kapan munculnya permainan tersebut. Pada zaman dulu, banyaknya anak-anak Indonesia yang bermain ular tangga membuat permainan ini menjadi sangat populer di masyarakat. Permainan ini ringan, sederhana, mendidik, menghibur dan sangat berinteraktif jika dimainkan bersama sama. Permainan ular tangga memerlukan sebuah medan permainan adalah sebuah papan atau karton bergambar kotak-kotak biasanya berukuran 10 x 10 kotak. Tiap kotak diberi nomor urut mulai dari nomor 1 dari sudut kiri bawah sampai nomor 10 di sudut kanan bawah, lalu dari kanan ke kiri mulai nomor 11 baris kedua sampai nomor
3 4

Hurlock, E.B, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1978), hal. 264 Ibid., hal. 294 5 Juwita Setiono. http://www.hasbro.com/. diakses 6 Mei 2012 6 Supardi. Peraturan Permainan Monopoli. http://pojokpendidikan.com.

Ahmad Syaikhudin, Analisis Metode Permainan Sosial Untuk Pembelajaran IPS...

177

20 dan seterusnya sampai nomor 100 di sudut kiri atas. Kotak-kotak tertentu berisi gambar yang mengandung pesan atau perbuatan. Ada pesan atau perbuatan baik, ada yang buruk. Pesan atau perbuatan baik bisaanya diganjar dengan kenaikan ke kotak yang lebih tinggi lewat tangga, sedangkan pesan atau perbuatan buruk dihukum dengan penurunan ke kotak lebih rendah melewati ular. Karena itu dinamakan Ular Tangga. Pada saat sekarang pengenalan kembali permainan ular tangga ditengah-tengah masyarakat dilakukan dengan berbagai macam cara. Salah satunya dengan merubah muatan pengetahuan atau pesan nilai-nilai kehidupan yang akan disampaikan. Modifikasi pada permainan ular tangga sebagai media pembelajaran IPS dilakukan dengan cara merubah gambar-gambar dalam kotak dengan gambar sesuai dengan konsep IPS berdasarkan kurikulum yang berlaku. Modifikasai pada konsep atau pesan dirubah berdasarkan kesesuaian materi yang tidak banyak memerlukan praktek pembuktian percobaan. Permainan mulai dari start kemudian berdasarkan hasil kocokan dadu, bidak dijalankan sesuai arah bilangan naik pada setiap gambar berhenti pada hitungan terakhir jumlah mata dadu yang muncul. Tanda tanda naik atau turun secara lompat dari posisi bidak menetap pada hitungan terakhir jumlah mata dadu. Gambar dan petunjuk yang dituliskan dalam papan permainan memberikan informasi aturan dalam bermain ular tangga sebagai tanda naik lompat, maupun turun lompat, bahkan melakukan atraksi dalam kelompok. Langkah langkah permainan ular tangga: (1) guru menyiapkan Media berupa beberan dan kartu yang berisi pertanyaan yang diletakkan disamping beberan, pada bagian atas/depan kartu bertuliskan nomor dari nomor 1 s.d. nomor 50; (2) masingmasing Siswa menyiapkan kertas dan alat tulis; (3) guru membagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan jumlah rombel dimana masing-masing kelompk terdiri dari 4 siswa. Apabila setelah dibagi dengan 4 masih ada siswa yang belum mendapatkan kelompok maka bisa dimasukkan dalam kelompok yang lain, sehingga ada kelompok yang anggotanya 5 anak; (4) setiap siswa mendapat satu buah Pion/kertas bertuliskan namanya; (5) kemudian semua hompimpah untuk menentukan siapa yang melempar dadu terlebih dahulu; (6) setiap siswa melempar dadu sesuai dengan urutanya; (7) setelah siswa melempar dadu siwa menjalankan pion/ kertas yang bertuliskan namanya sesuai dengan hasil lemparan dadu, kemudian siswa mengambil pesan pada nomor tersebut (sesuai dengan hasil lemparannya) dan mengerjakannya pada kertas masingmasing, apabila dalam melempar keluar angka enam maka siswa yang bersangkutan diperbolehkan melempar dadu lagi; (8) apabila jatuh pada tanda tangga maka Pion/ kertas siswa langsung naik sesuai dengan arah tangga dan tetap mengambil kartu untuk dikerjakan, begitupula apabila pion/kartu tepat pada gambar ekor Ular maka pion/kertas yang bertuliskan nama siswa turun mengikuti arah ular dan mengambil kartu untuk dikerjakan; (9) kartu yang telah diambil ditulis soalnya lalu dikembalikan seperti semula; (10) setiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang mereka pegang setelah semua melempar dan mengerjakan, kembali pada pelempar pertama untuk melempar dadu lagi dan mengambil kartu lagi , begitu juga seterusnya; (11) permainan berhenti apabila semua pemain sudah berada pada nomor 60 dan sudah mengerjakan semua pesan-pesannya; (12) pemainnya yang selesai lebih dulu dinyatakan sebagai pemenang; (13) setiap siswa membacakan hasil kerjanya untuk ditanggapi oleh temannya guru memberikan kesimpulan hasil kerja yang telah ditanggapi oleh

178

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-182

siswa kemudian lembar jawaban dikumpulkan untuk diberi nilai oleh guru; dan (14) guru memberikan nilai berdasarkan keaktifan siswa, kecepatan dalam mengerjakan, dan keberanian siswa untuk tampil membacakan hasilnya. Serta keberanian siswa untuk memberikan tanggapan, kesesuaian antara pertanyaan dan jawaban. Analisis Permainan Sosial Permaianan sosial menekankan pada usaha mengembangkan kemampuan siswa agar memiliki kecakapan untuk berhubungan dengan orang lain sebagai usaha membangun sikap siswa yang demokratis dengan menghargai setiap perbedaan dalam realitas sosial. Berikut ini terdapat beberapa permainan sosial daiantaranya adalah permainan scramble, monopoli, dan permainan ular tangga. Analisis Permainan Scramble Permainan Scramble dapat dikategorikan sebagai metode permainan yang modern. Permainan dengan metode scramble berbentuk permainan acak kata, kalimat, atau paragraf. Pembelajaran metode scramble adalah sebuah metode yang menggunakan penekanan latihan soal berupa permainan yang dikerjakan secara berkelompok. Dalam metode pembelajaran ini perlu adanya kerja sama antar anggota kelompok untuk saling membantu teman sekelompok untuk dapat berfikir kritis sehingga dapat lebih mudah mencari penyelesaian soal. Metode permainan ini diharapkan dapat memacu hasil belajar siswa dalam pelajaran IPS. Dalam permaianan ini perkembangan kognitif anak sangat diperlukan, artinya semua komponen yang ada dalam diri mereka akan bekerja secara terus menerus dan berkelanjutan selama mereka terus bermain, ide-ide secara individual akan muncul ketika permainan menyusun kata serta kalimat berlangsung. Aktivitas fisik juga menuntut seluruh bagian tubuh untuk bergerak yang memungkinkan terjadinya respon terhadap kedua bagian otak. Perkembangan otak sebenarnya terjadi ketika anak-anak bergerak dan bermain. Kemungkinan besar fungsi otak dan keterampilan motorik berkembang secara beriringan, proses ini tidak mungkin diperoleh dari aktivitas pembelajaran selain bermain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa permainan dengan metode scramble ini adalah salah satu pengembangan dari teori sosial dimana anak-anak dapat bersosialisasi dengan anak-anak lainnya sebagai bagian hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan kelompok. Dengan demikian, metode scramble dapat memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan organ tubuh anak yang disebabkan aktif bergerak tetapi bermain juga berfungsi sebagai proses sublimasi artinya suatu pelarian dari perasaan tertekan yang berlebihan menuju hal-hal positif, melalui sublimasi anak akan menuju kearah yang lebih mulia, lebih indah dan lebih kreatif. Sesuai dengan teori rekresi, permainan scramble dapat berfungsi sebagai kegiatan refresing. Anak-anak tidak dipaksa untuk belajar seperti mendengarkan guru atau membaca buku, tapi melakukan kegiatan permainan. Dengan bermain anak tidak merasa penat seperti belajar dengan metode konvensional. Sejalan dengan teori teleology, dengan scramble anak dapat melepaskan rasa ingin tahunya terhadap kata-kata atau huruf, anak dapat belajar tentang persaingan sehingga dapat digunakan untuk bekal di kehidupan. Untuk melakukan permainan ini dengan baik, anak harus mempunyai

Ahmad Syaikhudin, Analisis Metode Permainan Sosial Untuk Pembelajaran IPS...

179

kehendak, kemauan dan nafsu untuk bermaian dan memenangkan permainan (teori C. Bhler). Dalam teori bermain modern, permainan scramble dapat dianalisis seperti uaraian berikut. Sesuai teori psikoanalisa, scramble dapat digunakan sebagai media (alat) untuk mengeluarkan emosi yang ada dalam diri anak. Emosi yang terpendam di bawah sadar dapat dikeluarkan anak ketika bermain. Ketika di alam nyata anak tidak dapat berekspresi karena tidak mempunyai kesempatan atau keberanian, maka ketika bermain scramble, anak diberi giliran/kesempatan berekspresi, mengeluarkan kemampuannya, yang kemungkinan tidak pernah diketahuai oleh orang-orang disekitarnya. Sedang menurut teori kognitif, permainan scramble ini digolongkan dalam permainan sosial (Social Play Games With Rules) untuk anak usia 8-11 tahun. Dengan demikian yang cocok melakukan permainan ini adalah siswa mulai kelas II atau kelas III. Dalam teori belajar sosial, scramble dapat digunakan sebagai media berkomunikasi, yaitu ketika anak mencari dan menyesuaikan jawaban dengan anggota kelompoknya. Anak bersosialisasi dengan anggota kelompokknya maupun anggota kelompok lain ketika berdiskusi maupun mengkomunikasikan jawaban yang disetujui semua peserta. Dalam permainan scramble, pemenang adalah orang atau kelompok yang telah menyelesaikan kalimatnya. Pihak yang menang akan mendapatkan poin dan akan mendapatkan apresiasi dalam berbagai macam bentuk sebgai penghargaan atas prestasi (teori kompensasi). Analisis Permainan Monopoli Salah satu contoh permainan yang dapat dimodifikasi dengan menambahkan gambar atau tulisan namun tetap menyajikan materi-materi pembelajaran didalamnya serta mudah dimainkan oleh siswa adalah permainan monopoli. Permainan monopoli merupakan salah satu jenis permainan papan yang bertujuan untuk mengumpulkan kekayaan dan menguasai komplek-komplek pada papan permainan monopoli. Guru dapat memodifikasi bentuk papan permainan monopoli ini serta dengan segala peraturannya agar dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Permainan monopoli bertujuan untuk menguasai komplek-komplek yang ada sehingga terjadi persaingan antar pemain. Maka dalam pembelajaran dengan menggunakan media berbasis permainan monopoli memerlukan pembelajaran aktif siswa karena dalam penggunaanya sebagai media pembelajaran, siswa harus menjawab pertanyaan terlebih dahulu ketika membeli atau menyewa komplek. Analisis permainan monopoli dengan teori bermaian klasik akan diuraikan sebagai berikut. Tidak jauh berbeda dengan analisis pada permainan scramble, permainan monopoli juga sejalan dengan teori rekresi yang dapat berfungsi sebagai kegiatan refresing. Monopoli, yang pada kegiatan aslinya merupakan kegiatan permainan jual/ beli/sewa property, dimodifikasi untuk materi pembelajaran. Anak diharapkan akan menikmati permainan ini tanpa beban seperti ketika melakukan permainan aslinya. Unsur persaingan sangat kental pada permainan monopoli ini, seperti esensi pada permainan aslinya. Dengan suasana persaingan ini, anak dapat memperoleh ilmu bertahan hidup dalam situasi bersaing yang sehat. Dan untuk dapat melakukan permainan ini dengan baik, anak harus mempunyai keinginan untuk bermain. Agar mempunyai keinginan ini, guru harus dapat mengkondisikan kelas maupun kelompok dengan baik.

180

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-182

Dalam teori bermain modern, permainan monopoli dapat dianalisis seperti uaraian berikut. Sesuai teori psikoanalisa, monopoli dapat digunakan sebagai media (alat) untuk mengeluarkan emosi yang ada dalam diri anak. Emosi anak digunakan untuk menjual atau membeli property miliknya. Anak dapat belajar mengendalikan emosi dengan tidak menjual atau membeli. Sedang menurut teori kognitif, seperti permainan scramble, permainan monopoli ini digolongkan dalam permainan sosial (Social Play Games With Rules) yang diperuntukkan untuk anak usia 8-11 tahun. Dengan demikian yang cocok melakukan permainan ini adalah siswa mulai kelas II atau kelas III. Dalam permainan ini kegiatan anak dalam berkomunikasi (dengan lawan mainnya) adalah ketika mengkomunikasikanbarang mana yang dijual atau dibeli, berapa harga yang disepakati sesuai aturan. Komunikasi merupakan cara anak untuk bersosialisasi, melakukan kesepakatan bersama, mendiskusikan aturan yang tidak dipahami, serta saling berempati terhadap nasip peserta lain. Dalam permainan monopoli, pemenang adalah orang atau kelompok yang berhasil mengumpulkan uang paling banyak. Sejumlah uang ini sudah dapat digunakan sebagai kompensasi kemenangan mereka. Selain itu kompensasi dapat diberikan oleh guru berupa kata-kata maupun barang sebagai hadiah. Analisis Permainan Ular tangga Permainan ular tangga pada awalnya berasal dari negara India dengan sebutan Moksha Patamu sebelum abad ke-16. Pada awalnya permainan ini dikembangkan menggunakan dasar agama Hindu sebagai bentuk pengajaran moral dan agama pada anak-anak. Dilihat dari perkembangannya, permainan ular tangga dari segi edukasinya merupakan permainan yang memiliki nilai-nilai pendidikan yang tinggi.Banyak hal yang bisa didapatkan anak melalui bermain ular tangga. Pengetahuan yang didapatkan dalam permainan ini melalui muatan gambar dan aktifitas yang tersaji. Nilai-nilai kehidupan yang bisa di dapatkan melalui permainan ini adalah nilai sportifitas, kejujuran, kebersamaan, toleransi, ketelitian, kedisiplinan dan masih banyak lagi. Permaianan ini juga sangat tepat untuk membangun sikap kebersamaan anak sekarang ini yang cenderung egois dan mau menang sendiri. Sistem permainan ini diawali dengan penentuan urutan bermain melaui hompimpah dan pemilaihan warna bidak pemain. Analisis permainan ular tangga dengan teori bermaian klasik akan diuraikan sebagai berikut. Permainan ular tangga dapat berfungsi sebagai kegiatan refresing anak yang telah jenuh dengan pembelajaran konvensional. Permainan ini sangat mengasikkan bagi anak karena tidak mengandalkankan kemampuan kognitif secara langsung, tapi hanya mengandalkan keberuntungan. Makna dari kegiatan permainan ini bukan siapa yang menang atau yang kalah (seperti juga pada dua permainan sosial yang telah diuraikan sebelumnya), tetapi pada pesan yang ditulis pada tiap kotaknya. dari keseluruhan permainan, konsep hidup yang dapat dipelajari anak adalah konsep keberuntungan. Konsep ini juga perlu dipahami dan dimengerti oleh anak sebagai bekal hidupnya. Ketika melakukan permainan ini, anak akan terdorong untuk terus bermain dan bermain untuk mencapai kotak yang menjadi tujuan akhir, meskipun harus naik turun tangga dan ular. Keinginan anak untuk ikut barmain dapat ditingkatkan dengan adanya gambar dan kata-kata yang menarik.

Ahmad Syaikhudin, Analisis Metode Permainan Sosial Untuk Pembelajaran IPS...

181

Dalam teori bermain modern, permainan ular tangga dapat dianalisis seperti uaraian berikut. Permainan ini juga tergolong dalam permainan sosial (Social Play Games With Rules), sehingga cocok untuk anak usia sekolah dasar (khususnya usia 8-11 tahun). Emosi anak untuk mencapai puncak kemenangan semakin dipacu dengan keluarnya mata dadu yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam hal ini akhirnya anak dilatih untuk dapat menerima kekalahan dengan lapang dada atau merayakan kemenangan dengan wajar. Kegiatan berkomunikasi dalam permainan ini dilakukan anak ketika menyampaikan pesan yang ada dalam kotak-kotak kepada teman atau lawan main. Interaksi juga terjad iketika anak saling menyerahkan dadu untuk dikocok oleh orang lain, atau sesuai kesepakatan. Dalam permainan ular tangga, pemenang adalah orang atau kelompok yang berhasil paling cepat mencapai kotak yang digunakan sebagai finish. Kompensasi dapat diberikan oleh guru berupa kata-kata maupun barang sebagai hadiah. Kompensasi lain yang diperoleh siswa adalah pemahaman terhadap pesan yang ada dalam setiap kotak. Untuk permainan ini guru dapat membuat eveluasi dalam melihat pemahaman siswa tehadap pesan yang ada di kotak-kotak dan memberikan kompensasi bagi siswa yang mempunyai pemahaman paling baik. Jadi bukan kompensasi bagi siswa yang menang permainan. Penutup Dari tiga metode permainan sosial yang dianalisis, ditemukan bahwa media permainan yang cocok digunakan untuk siswa di kelas bawah adalah permainan monopoli dan permainan ular tangga. Sedangkan permainan scramble sebaiknya digunakan untuk kelas atas karena dibandingkan dengan dua permainan tersebut model permainan ini sulit untuk diterapkan pada kelas bawah. Namun demikian tidak menutup kemungkinan ketiga model permainan ini dapat digunakan pada kelas bawah dan kelas atas dengan catatan guru dapat mengemas permainan ini dengan sangat kreatif. Hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan metode permainan adalah peran pengelolaan kelas oleh guru. Guru harus dapat mengatur kelas terutama dalam pengelompokan untuk permainan sehingga terbentuk kelompok yang adil dan merata. Hal ini dimaksudkan agar terbentuk suasana kelas yang nyaman yang mendukung anak untuk semangat dalam melakukan permainan. Dengan demikian esensi bermain seperti tersebut dalam teori bermain dapat diperoleh siswa DAFTAR PUSTAKA Hurlock, E.B. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 1978 Jeffree, Dorothhy M., Let me Play. Great Britain: A Condor Book Souvenir Press, 1985 Sukintaka, Teori Bermain untuk PGSD. Jakarta: Dikdasmen, 1992 Teori Teori Perkembangan. FPOK UPI. Modul Pembelajaran Prodi PJKR. Tidak diterbitkan. Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005 Latuheru, D. John, Media Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan, 1988

182

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 159-182

Moeslichatoen. Metoda Pengajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta : Depdiknas, 2004 Setiono, Juwita. http://www.hasbro.com/. diakses 6 Mei 2012 Supardi. Peraturan Permainan Monopoli. http://pojokpendidikan.com. Diakses 7 Mei 2012

MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TEAM ASSISTED INDIVIDUALIZATION (TAI) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA UNTUK KELAS RENDAH

Muthik Chasnawati MI Hidayatuth Tholibin Karangtalun Kalidawir Tulungagung umu_raihan@yahoo.co.id ABSTRACT Teachers must be creative in playing their role as educators including in the field of mathematics. Through the implementation and modification of teaching models, students are hoped to be a good and independent generation who are creative and innovative. One of the teaching models which may be used is Cooperative learning with Team Assisted Individualization (TAI) models. Kata Kunci: pembelajaran kooperatif, Team Assisted Individualization Pendahuluan Matematika merupakan mata pelajaran yang berusaha membekali peserta didik untuk memiliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta mampu bekerja sama. Problem yang muncul kemudian adalah bahwa mata pelajaran ini masih banyak kurang diminati oleh peserta didik. Dari beberapa hasil riset yang telah dilakukan, masih dijumpai banyaknya peserta didik yang enggan, kurang senang dan menemui kesulitan dalam menghadapi mata pelajaran matematika. Tidak jarang pula dari peserta didik yang mengeluhkan bahwa matematika dianggap sebagi mata pelajaran yang membosankan, menjemukan ataupun banyak sebutan lain yang bernilai negatif. Meskipun dalam kegiatan belajar mengajar sudah tercakup adanya komponenkomponen seperti model, strategi, pendekatan, metode, dan teknik yang dikembangkan untuk meningkatkan minat peserta didik dalam belajar serta untuk mencapai tujuan utama pembelajaran yaitu adanya keberhasilan peserta didik dalam belajar dalam rangka pendidikan baik dalam suatu mata pelajaran maupun pendidikan pada umumnya, namun semua itu belum cukup untuk menghilangkan kesan negatif yang sudah melekat pada peserta didik tentang matematika. Kegiatan pembelajaran di sekolah/madrasah menunjukkan bahwa banyak model pembelajaran telah dikembangkan, namun masih jarang digunakan dalam proses

184

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 183-211

pembelajaran. Masih terlihat adanya pembelajaran di sekolah-sekolah yang berpusat pada guru dimana guru masih aktif sebagai pemberi informasi dan mendominasi pembelajaran di kelas, sedangkan peserta didik pasif sebagai penerima informasi (teacher centered), meskipun paradigma pendidikan yang baru sudah mengarahkan pada student centered. Selain itu pembelajaran masih menekankan pada hafalan dan drill-drill (latihan) yang kemung-kinan besar disebabkan banyaknya materi yang harus diselesaikan dalam waktu yang relatif singkat. Meskipun peserta didik tidak lagi dianggap objek pembelajaran, tetapi kenyataannya materi pembelajaran masih sangat ditentukan oleh guru. Di sebagian besar sekolah, masih terlihat kurang mengoptimalkan pengembangan kapabilitas peserta didik, baik yang menyangkut cipta, rasa, dan karsa, serta peserta didik kurang memiliki kesempatan untuk berpikir kritis, logis, kreatif, dan inovatif. Hal ini disebabkan adanya anggapan di benak para pendidik akan adanya keuwetan atau terlalu banyak hal yang harus dipersiapkan ataupun kurangnya pengetahuan guru tentang model-model pembelajaran yang tepat untuk digunakan. Dengan kenyataan seperti itu, maka sudah saatnya bagi para pendidik untuk mencoba mengembangkan profesionalismenya melalui pengembangan model-model pembelajaran yang benar-benar mampu mengaktifkan dan menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan sekaligus menyenangkan. Dengan demikian peserta didik akan merasakan kebermaknaan belajar bagi hidup dan kehidupannya dan akhirnya meaningful learning akan terwujud. Namun yang perlu diingat oleh para tenaga pendidik adalah bahwa untuk mencapai hasil akhir pembelajaran yang diharapkan, guru harus memahami bahwa tidak ada model pembelajaran yang paling tepat atau sempurna untuk segala situasi dan kondisi. Dengan demikian, dalam memilih model pembelajaran yang tepat haruslah memperhatikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi tenaga pendidik itu sendiri. Salah satu model pembelajaran yang mungkin bisa menjadi pilihan atau alternatif penyelesaian problem pembelajaran di atas adalah cooperative learning. Cooperative learning yang memiliki berbagai tipe sangat memungkinkan dilakukan dengan menyesuaikan kondisi siswa, sifat materi bahan ajar, fasilitas-media yang tersedia, dan kondisi guru itu sendiri. Salah satu tipe dari cooperative learning yang mungkin sesuai untuk pembelajaran matematika di kelas rendah adalah tipe Team Assisted Individualization (TAI). Hakekat Model Pembelajaran Pengertian Pembelajaran Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, tetapi sebenarnya mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar agar peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seorang peserta didik, namun proses pengajaran ini memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan pengajar saja. Sedangkan pembelajaran menyiratkan adanya interaksi antara pengajar dengan peserta didik.

Muthik Chasnawati, Model Pembelajaran Kooperatif ...

185

Pembelajaran dalam pengertian psikologi kognitif adalah usaha membantu siswa atau anak didik mencapai perubahan struktur kognitif melalui pemahaman. Sedangkan menurut psikologi humanistik, pembelajaran adalah usaha guru untuk menciptakan suasana yang menyenangkan untuk belajar (enjoy learning), yang membuat siswa dipanggil untuk belajar.1 Pembelajaran adalah kegiatan yang dirancang untuk mendukung proses belajar yang ditandai dengan adanya perubahan perilaku yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam proses pembelajaran keaktifan siswa lebih diutamakan, mereka mempunyai kebebasan yang bertanggung jawab untuk mengungkapkan ide atau gagasan dalam pikirannya, sehingga dengan sendirinya pemahaman mereka tentang materi lebih tertanam di dalam pikirannya. Dengan demikian dapat diketahui bahwa pembelajaran merupakan komunikasi dua arah antara guru dan siswa yang berlangsung dalam suatu proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pembelajaran yang dilaksanakan harus bertumpu pada empat pilar pendidikan universal sebagaimana yang dirumuskan oleh UNESCO. Pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha untuk mencari agar mengetahui informasi yang dibutuhkan dan berguna bagi kehidupan. Empat pilar pembelajaran tersebut menurut Sulipan adalah learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk melakukan sesuatu), learning to be (belajar untuk menjadi seseorang), dan learning to live together (belajar untuk menjalani hidup bersama).2 Learning to know, mengandung pengertian bahwa belajar untuk memperoleh pengetahuan umum yang bersifat luas sebagai alat untuk pemahaman dan belajar tidak hanya berorientasi kepada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus beroreintasi kepada proses belajar. Berdasarkan hal tersebut siswa bukan hanya sadar akan apa yang harus dipelajari akan tetapi juga memiliki kesadaran dan kemapuan bagaimana cara mempelajari apa yang harus dipelajarinya, sedangkan guru sebagai pengajar seyogyanya berfungsi sebagai fasilitator dan dapat berperan sebagai teman sejawat dalam berdialog selama proses pembelajaran sehingga siswa dapat mengembangkan penguasaan pengetahuan mereka. Learning to do, mengandung pengertian bahwa belajar bukan sekedar mendengar dan melihat dengan tujuan untuk akumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar untuk memperoleh kompetensi dalam menghadapi berbagai situasi dan dapat bertindak kreatif pada lingkungan tertentu. Belajar melakukan sesuatu akan bisa berjalan jika siswa diberi kesempatan untuk melakukan sesuatu dan sekolah memfasilitasi siswa untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimilikinya, serta bakat dan minatnya. Learning to be, mengandung pengertian bahwa belajar untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu dengan kepribadian yang memiliki tanggung jawab sebagai manusia. Bagi anak yang agresif, proses pengembangan diri akan berjalan bila diberi kesempatan cukup luas untuk berkreasi. Sebaliknya bagi anak yang pasif,

Max Darsono, Belajar dan Pembelajaran, (Semarang: IKIP Semarang Press, 2001), hal. 2425 2 Sulipan, Teori Belajar Menurut Piaget, Bruner, dan Vygotsky, (http://sulipan. wordpress.com/2011/05/16/teori-belajar-menurut-piaget-bruner-dan vygotsky), diakses 29 Mei 2011.

186

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 183-211

peran pengajar sebagai pengarah sekaligus fasilitator sangat dibutuhkan untuk mengembangkan diri siswa secara maksimal. Learning to live together, mengandung pengertian belajar untuk mengembangkan saling pengertian satu sama lain sebagai pengakuan adanya saling ketergantungan dan belajar untuk bekerja sama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat global bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Sekolah berfungsi sebagai tempat bersosialisasi guna mempersiapkan siswa untuk hidup bermasyarakat. Kebiasaaan hidup bersama, saling menghargai, terbuka, memberi, dan menerima perlu ditumbuhkembangkan di lingkungan sekolah. Model Pembelajaran Dalam pembelajaran, berbagai masalah sering dialami oleh guru. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam pembelajaran, maka perlu adanya model-model pembelajaran yang dipandang dapat membantu guru dalam proses belajar mengajar. Model dirancang untuk mewakili realitas sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia sebenarnya. Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelompok maupun tutorial.3 Sejalan dengan pendapat di atas, model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial. Fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang pengajar dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran4. Berbeda dengan pendapat di atas, dikemukakan bahwa model mengajar merupakan suatu kerangka konseptual yang berisi prosedur sistematik dan mengorganisasikan pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan belajar tertentu yang befungsi sebagai pedoman bagi guru dalam proes belajar mengajar.5 Dengan demikian model pembelajaran diartikan sebagai prosedur sistematis dalam mengorganisasi-kan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Jadi, sebenarnya model pembela-jaran memiliki arti yang sama dengan pendekatan atau strategi pembelajaran. Saat ini telah banyak dikembangkan berbagai macam model pembelajaran, dari yang sederhana sampai model yang agak kompleks dan rumit karena memerlukan banyak alat bantu dalam penerapannya. Seorang guru diharapkan memiliki motivasi dan semangat pembaharuan dalam proses pembelajaran yang dijalaninya. Menurut Sardiman A. M.6, guru yang kompeten adalah guru yang mampu mengelola program belajar-mengajar. Mengelola di sini memiliki arti yang luas yang menyangkut bagaimana seorang guru mampu menguasai keterampilan dasar mengajar, seperti membuka dan menutup pelajaran, menjelaskan, menvariasi media, bertanya, memberi penguatan, dan sebagainya, juga bagaimana
Agus Suprijono, Cooperative Learning, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 46 Trianto, Model pembelajaran terpadu: konsep, strategi, dan implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal. 51 5 Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2010), hal. 176 6 Sardiman, A. M., Interaksi dan motivasi belajar-mengajar, (Jakarta: Rajawali, 2004), hal. 165
4 3

Muthik Chasnawati, Model Pembelajaran Kooperatif ...

187

guru menerapkan strategi, teori belajar dan pembelajaran, dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif. Pendapat serupa dikemukakan oleh Colin Marsh yang menyatakan bahwa guru harus memiliki kompetensi mengajar, memotivasi peserta didik, membuat model instruksional, mengelola kelas, berkomunikasi, merencanakan pembela-jaran, dan mengevaluasi 7. Semua kompetensi tersebut mendukung keberhasilan guru dalam mengajar. Setiap guru harus memiliki kompetensi adaptif terhadap setiap perkem-bangan ilmu pengetahuan dan kemajuan di bidang pendidikan, baik yang menyangkut perbaikan kualitas pembelajaran maupun segala hal yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar peserta didiknya. Model Cooperative Learning Masyarakat sudah lama mengenal semboyan bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Dunia pendidikan kita juga sudah lama mengenal semboyan silih asah, silih asih, silih asuh. Semboyan ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani yang dikemukakan oleh bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara juga telah begitu melekat di hati masyarakat Indonesia. Pendidikan yang menekankan pada interaksi kooperatif adalah pendidikan yang secara sungguh-sungguh berupaya mengaktualisasikan berbagai semboyan tersebut dalam dunia pendidikan. Dengan demikian, pendidikan yang menekankan pada interaksi kooperatif pada hakikatnya bukan suatu ide baru tetapi hanya merupakan back to basic, kembali ke akar budaya bangsa kita sendiri. Wina Sanjaya juga menyatakan bahwa cooperative learning merupakan model pembelajaran yang menggunakan sistem pengelompokan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen). Sistem penilaian dilakukan terhadap kelompok dan memperoleh penghargaan (reward), jika kelompok mampu menunjukkan prestasi yang dipersyaratkan. Dengan demikian, setiap anggota kelompok akan mempunyai ketergantungan positif. Ketergantungan semacam itulah yang selanjutnya akan memunculkan tanggung jawab individu terhadap kelompok dan ketrampilan interpersonal dari setiap anggota kelompok.8 Sedangkan Johnson sebagaimana dikutip Anita Lie mengemukakan cooperative learning sebagai kegiatan pembelajaran secara kelompok yang terstruktur. Peserta didik belajar dan bekerjasama untuk sampai kepada pengalaman kegiatan belajar yang optimal, baik secara individu maupun kelompok9. Sejalan dengan pendapat Johnson tersebut, Nurhadi memberikan pengertian pembelajaran kooperatif sebagai pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.10

Colin Marsh, Handbook for beginning teachers, (Sydney : Addison Wesley Longman Australia Pry Limited, 1996), hal. 10 8 Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan , (Jakarta: Kencana, 2006), halaman 240 9 Anita Lie, Cooperative Learning, (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 17 10 Nurhadi, Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual, (Jakarta: Depdiknas, 2004), hal. 112

188

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 183-211

Demikian halnya Mohamad Nur menjelaskan bahwa dengan model pembelajaran kooperatif dapat memotivasi seluruh siswa, memanfaatkan seluruh energi sosial siswa, saling mengambil tanggung jawab.11 Berdasarkan pendapat tersebut, pembelajaran kooperatif dapat menimbulkan rasa gotong royong yang tinggi, tidak membeda-bedakan antarras dan intelegensi, serta melatih siswa berpikir aktif dan kreatif. Dari beberapa pendapat tersebut di atas dapat diambil sebuah pengertian bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran kelompok yang terstruktur untuk mencapai suatu tujuan yaitu hasil belajar akademik, menerima terhadap keragaman dan pengembangan terhadap ketrampilan sosial. Banyak guru telah melaksanakan metode belajar kelompok, dengan membagi para siswa dan memberikan tugas kelompok. Namun hasil kegiatannya tidak seperti yang diharapkan. Siswa tidak memanfaatkan kegiatan tersebut dengan baik dan kreatif untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mereka. Para siswa tidak dapat bekerja sama secara efektif dalam kelompok, malah memboroskan waktu dengan bermain, bergurau, duduk diam, bahkan ada kalanya siswa memanfaatkan kesempatan ini untuk mengerjakan tugas mata pelajaran yang lainnya. Pada waktu yang sama ada beberapa siswa mendominasi kelompoknya. Untuk mencapai hasil yang maksimal, unsur model pembelajaran gotong royong harus diterapkan yaitu: (1) saling ketergantungan positif, (2) interaksi tatap muka, (3) akuntabilitas individual, dan (4) keterampilan menjalin hubungan antar pribadi. Pendapat tersebut di atas adalah yang membedakan pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran kelompok tradisional. Adapun unsur-unsur atau elemen tersebut seperti yang dinyatakan Abdurrahman & Bintoro seperti yang dikutip oleh Nurhadi adalah sebagai berikut: pertama, saling ketergantungan positif, dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan suasana yang mendorong siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhkan inilah yang dimaksud dengan saling ketergantungan positif. Saling ketergantungan dapat dicapai melalui: saling ketergantungan mencapai tujuan, saling ketergantungan menyelesaikan tugas, saling ketergantungan bahan atau sumber, saling ketergantungan peran, dan saling ketergantungan hadiah. Kedua,interaksi tatap muka, interaksi tatap muka akan memaksa siswa saling tatap muka dalam kelompok sehingga mereka dapat berdialog. Dialog tidak hanya dilakukan dengan guru. Interaksi semacam itu sangat penting karena siswa merasa lebih mudah belajar dari sesamanya. Ketiga, akuntabilitas individual, pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam belajar kelompok. Penilaian ditujukan untuk mengetahui penguasaaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian secara individual selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok yang memerlukan bantuan dan siapa yang dapat memberikan bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua anggotanya, karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan sumbangan demi kemajuan kelompok. Penilaian kelompok yang didasarkan atas rata-rata penguasaan semua anggota kelompok secara individual ini yang dimaksud dengan akuntabilitas individual.

11

Mohamad Nur, Pembelajaran Kooperatif, (Surabaya: UNESA, 2005), hal. 1

Muthik Chasnawati, Model Pembelajaran Kooperatif ...

189

Keempat, keterampilan menjalin hubungan antar pribadi, keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan antar pribadi (interpersonal relationship) tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat menjalin hubungan antar pribadi akan memperoleh teguran dari guru juga dari sesama siswa.12 Dari pendapat di atas pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa keuntungan antara lain: dapat meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial, memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial, menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois, meningkatkan rasa saling percaya, meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasa lebih baik, dan membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) Ada banyak tipe pembelajaran kooperatif. Mohamad Nur mengidentifikasi tiga model pembelajaran kooperatif yang cocok untuk hampir seluruh mata pelajaran dan tingkat kelas: Students Teams Achievement Divisions (STAD), Teams Games Tournament (TGT), Jigsaw II. Dua yang lain merupakan kurikulum komprehensif yang dirancang untuk digunakan pada mata pelajaran tertentu: Cooperative Reading and Composition (CIRC) untuk pengajaran membaca dan menulis di Kelas II-VIII dan Team Accelerated Instruction/Team Assisted Individualization (TAI) untuk Matematika pada kelas III-VI.13 Pembelajaran kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization) ini dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu, kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah. Ciri khas pada tipe Team Assisted Individualization ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompokkelompok untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama. Terjemahan bebas dari Team Assisted Individualization adalah Bantuan individual dalam Kelompok (BidaK) dengan karaktristik bahwa tanggung jawab belajar adalah pada siswa.14 Oleh karena itu siswa harus membangun pengetahuan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola komunikasi guru adalah negoisasi dan bukan imposisi-intruksi. Model pembelajaran Team Assisted Individualization memiliki 8 (delapan) komponen yaitu sebagai berikut: (1) teams yaitu pembentukan kelompok heterogen yang terdiri atas 4 sampai 5 siswa; (2) placement test yakni pemberian pre-test kepada
Nurhadi, Pembelajaran, hal. 112 Muhamad Nur, Pembelajaran, hal. 5 14 Heru Wahyudi, Model Pembelajaran TAI, (http://choiroe.blogspot.com/2010/04/ model-pembelajaran-tai.html), diakses 19 April 2011.
13 12

190

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 183-211

siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu; (3) curriculum materials yaitu siswa bekerja secara individu tentang materi kurikulum penutup penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, pecahan, perbandingan, persen, statistika, dan aljabar; (4) team study yaitu tahapan tindakan bantuan secara individual kepada siswa yang membutuhkannya; (5) team scores and team recognition yaitu pemberian skor terhadap hasil kerja kelompok dan pemberian kriteria penghargaan terhadap kelompok yang berhasil dalam menyelesaikan tugas; (6) teaching group yakni pemberian materi secara singkat dari guru menjelang pemberian tugas kelompok; (7) fact test yaitu pelaksanaan tes-tes kecil berdasarkan fakta yang diperoleh siswa; dan (8) whole-class units yaitu pemberian materi oleh guru kembali di akhir waktu pembelajaran dengan strategi pemecahan masalah.15 Adapun prosedur pelaksanaan pembelajaran Team Assisted Individualization menurut Slavin adalah: 1) Guru meminta siswa untuk berkelompok (4-5 orang); 2) Guru menginformasikan kompetensi dasar, tujuan dan indikator yang ingin dicapai; 3) Guru membagikan wacana/materi/LKS untuk dikerjakan secara mandiri oleh siswa(bantuan diberikan anggota kelompok jika menemui jalan buntu); 4) Siswa mendiskusikan hasil kerja mereka masing-masing dalam kelompok masing-masing; 5) Masing-masing kelompok melaporkan hasil diskusi mereka; 6) Kesimpulan siswa bersama-sama guru; 7) Guru memberikan tes/assessment; 8) Penutup (penghargaan). Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Tipe Team Assisted Individualization (TAI) Model pembelajaran kooperatif memiliki kelebihan dan kelemahannya masingmasing. Demikian halnya dengan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization. Berikut ini adalah kelebihan dan kelemahan model pembelajaran tipe Team Assisted Individualization (TAI). Kelebihan pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization antara lain : a) meningkatkan motivasi belajar; b) mengurangi perilaku yang mengganggu dan konflik antar pribadi; c) program ini bisa membantu siswa yang lemah/ siswa yang mengalami kesulitan dalam memahami materi belajar; d) model pembelajaran Team Assisted Individualization membantu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dan mengurangi anggapan banyak peserta didik bahwa matematika itu sulit; e) pada model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization peserta didik mendapatkan penghargaan atas usaha mereka; dan f) melatih peserta didik untuk bekerja secara kelompok, melatih keharmonisan dalam hidup bersama atas dasar saling menghargai. Slavin juga mengungkapkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) mempunyai kelebihan sebagai berikut: 1) guru terlibat minimal dalam pengaturan dan pengecekan rutin; 2) guru akan menggunakan waktunya paling sedikit dalam mengajar kelompok kecil; 3) pelaksanaan program sederhana; 4) para siswa dapat mengecek pekerjaan satu sama lain; 5) mengurangi perilaku yang
Anonim, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization), (http://matematikacerdas.wordpress.com/2010/01/28/model-pembelajaran-kooperatif-tipetai-team- assisted-individualization/), diakses 19 April 2011.
15

Muthik Chasnawati, Model Pembelajaran Kooperatif ...

191

mengganggu; 6) mengurangi konflik antar pribadi; 7) program ini sangat membantu siswa yang lemah; 8) meningkatkan motivasi belajar pada diri siswa; dan 9) meningkatkan hasil belajar16. Sedangkan kelemahan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) adalah : pertama, tidak semua mata pelajaran cocok diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI); dan kedua, apabila model pembelajaran ini merupakan model pembelajan yang baru diketahui, kemungkinan sejumlah peserta didik bingung, sebagian kehilangan rasa percaya diri dan sebagian mengganggu antar peserta didik lain. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) Langkah-langkah dalam model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) secara umum adalah sebagai berikut: 1) guru menyiapkan materi bahan ajar yang akan diselesaikan oleh kelompok siswa; 2) guru memberikan pre-test kepada siswa atau melihat rata-rata nilai harian siswa agar guru mengetahui kelemahan siswa pada bidang tertentu. (Mengadopsi komponen Placement Test); 3) guru memberikan materi secara singkat. (Mengadopsi komponen Teaching Group); 4) guru membentuk kelompok kecil yang heterogen tetapi harmonis berdasarkan nilai ulangan harian siswa, setiap kelompok 4-5 siswa. (Mengadopsi komponen Teams); 5) setiap kelompok mengerjakan tugas dari guru berupa LKS yang telah dirancang sendiri sebelumnya, dan guru memberikan bantuan secara individual bagi yang memerlukannya. (Mengadopsi komponen Team Study); 6) ketua kelompok melaporkan keberhasilan kelompoknya dengan mempresentasikan hasil kerjanya dan siap untuk diberi ulangan oleh guru. (Mengadopsi komponen Student Creative); 7) guru memberikan post-test untuk dikerjakan secara individu. (Mengadopsi komponen Fact Test); 8) guru menetapkan kelompok terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada) berdasarkan hasil koreksi. (Mengadopsi komponen Team Score and Team Recognition); dan 9) guru memberikan tes formatif sesuai dengan kompetensi yang ditentukan. Adapun contoh langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) untuk kelas rendah dengan mengadaptasi pendapat dari Slavin yaitu : pertama, guru mengkondisikan siswa serta mengingatkan kembali materi sebelumnya. Selanjutnya guru mengemukakan tujuan pembelajaran serta memotivasi siswa untuk dapat aktif mengikuti proses belajar mengajar. Setelah guru mengkondisikan kelas, selanjutnya guru menjelaskan materi secara singkat. Langkah kedua, siswa membentuk kelompok berdasarkan pembagian kelompok heterogen yang telah ditetapkan oleh guru. Penetapan ini merujuk pada tes penempatan atau bisa berdasarkan nilai rata-rata ulangan harian siswa. Langkah ketiga, guru menunjuk dua atau tiga orang dalam masing-masing kelompok yang bertugas sebagai pemeriksa jawaban. Langkah keempat, para siswa membaca halaman panduan mereka dan meminta teman satu kelompok atau guru untuk membantu bila diperlukan. Selanjutnya mereka akan memulai latihan kemampuan.

16

Slavin, R. Cooperative learning. (Boston: Allyn and Bacon,1995), hal. 101

192

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 183-211

Langkah kelima, masing-masing siswa mengerjakan empat soal latihan kemudian lembar jawabannya diperiksa oleh pasangan masing-masing dalam kelompoknya. Jika jawaban keempat soal tersebut benar, maka siswa tersebut dapat melanjutkan mengerjakan tes formatif . Jika ada jawaban yang salah, siswa harus mencoba mengerjakan kembali keempat soal tersebut sampai siswa bersangkutan dapat menyelesaikan keempat soal tersebut dengan benar. Siswa yang pada tahap ini mengalami kesulitan, didorong untuk meminta bantuan kepada guru. Langkah keenam, setelah siswa dapat menjawab keempat soal latihan dengan benar, ia dapat mengikuti tes formatif yang soalnya menyerupai soal latihan. Pada saat mengerjakan tes formatif, siswa bekerja sendiri sampai selesai. Seorang teman sekelompok akan memeriksa lembar jawabannya dan menghitung skor tes. Apabila siswa tersebut dapat menjawab 80% soal atau lebih dengan benar, maka pemeriksa akan menandatangani hasil tes itu untuk menunjukkan bahwa siswa tersebut telah dinyatakan sah oleh teman satu kelompoknya untuk mengikuti tes unit. Bila siswa tersebut tidak bisa mengerjakan 80% soal dengan benar, guru akan dipanggil untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi siswa tersebut. Guru mungkin akan meminta si siswa untuk kembali mengerjakan soal-soal latihan kemampuan kemudian mengerjakan tes formatif selanjutnya yang setara dengan tes formatif awal, atau jika tidak, siswa tersebut boleh terus melanjutkan ke tes unit. Tak ada siswa yang boleh mengerjakan tes unit sampai dia mengerjakan tes formatif dan pekerjaannya diperiksa oleh temannya. Langkah ketujuh, tes formatif para siswa ditandatangani oleh siswa pemeriksa yang berasal dari kelompok lain supaya bisa mendapatkan tes unit. Siswa tersebut selanjutnya menyelesaikan tes unitnya, dan siswa pemeriksa akan menghitung skornya. Dalam model pembelajaran ini, peran guru hanya sebagai fasilitator dan mediator dalam proses belajar mengajar. Guru cukup menciptakan kondisi lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya agar mereka dapat belajar secara optimal. Langkah akhir dalam proses pembelajaran ini guru memberikan ulangan (posttest) untuk dikerjakan secara individu dan siswa tidak boleh bekerjasama dalam mengerjakannya. Setelah cukup, guru meminta setiap ketua kelompok untuk mengumpulkan hasil post test masing-masing anggotanya kemudian menukarkan hasil post-test kepada kelompok lain untuk dicocokkan sesuai jawaban yang ditulis di papan tulis oleh guru. Selanjutnya guru menetapkan kelompok terbaik sampai kelompok yang kurang berhasil (jika ada) berdasarkan hasil koreksi kemudian guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang memperoleh skor tertinggi dengan memberikan hadiah. Setelah itu guru membubarkan kelompok yang dibentuk dan siswa kembali ke tempat duduk masing-masing. Untuk menutup pembelajaran, siswa bersama guru membuat kesimpulan dari hasil pembelajaran kemudian guru memberikan pekerjaan rumah. Penutup Guru adalah profesi yang luar biasa mulia diantara profesi yang lain. Dengan kesabaran dan keprofesionalannya seorang guru berusaha mentransfer segala apa yang dimilikinya kepada anak didik tanpa lelah, setiap hari dan setiap saat. Seorang guru senantiasa dituntut untuk melakukan pembaharuan dalam melaksanakan tugas dan perannya sebagai pendidik. Melalui penerapan dan pemodifikasian model

Muthik Chasnawati, Model Pembelajaran Kooperatif ...

193

pembelajaran yang sedang berkembang saat ini diharapkan anak didik menjadi subjek belajar yang baik dan generasi yang mandiri, mampu menciptakan sesuatu secara kreatif dan inovatif tanpa harus meniru bangsa lain. Tanpa mengurangi makna sebenarnya dari pembelajaran, perlu diciptakan pembelajaran yang menyenangkan, sehingga mampu mengubah image belajar sebagai suatu keterpaksaan menjadi suatu kebutuhan, dengan cara membawa peserta didik menikmati sisi-sisi keindahan dan kemenarikan dari suatu materi pelajaran yang sedang dipelajarinya dalam kemasan model pembelajaran yang tepat. Semoga kita termasuk guru yang dapat menciptakan kesenangan dalam belajar, bahkan kalau mungkin dapat menyebabkan anak didik kecanduan belajar. DAFTAR PUSTAKA A. M., Sardiman. Interaksi dan motivasi belajar-mengajar , Jakarta: Rajawali, 2004 Anonim, Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Team Assisted Individualization), (http://matematikacerdas.wordpress.com/2010/01/28/model-pembelajarankooperatif-tipe-tai-team- assisted-individualization/), diakses 19 April 2011. Darsono, Max. Belajar dan Pembelajaran, Semarang: IKIP Semarang Press, 2001 Heru Wahyudi, Model Pembelajaran TAI, (http://choiroe.blogspot.com/ 2010/ 04/ model-pembelajaran-tai.html), diakses 19 April 2011. Lie, Anita, Cooperative Learning, Jakarta: Gramedia, 2003 Marsh, Colin. Handbook for beginning teachers, Sydney : Addison Wesley Longman Australia Pry Limited, 1996 Nur, Mohamad. Pembelajaran Kooperatif, Surabaya: UNESA, 2005 Nurhadi, Pembelajaran dengan Pendekatan Kontekstual, Jakarta: Depdiknas, 2004 Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung: Alfabeta, 2010 Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan , Jakarta: Kencana, 2006 Slavin, R. Cooperative learning. Boston: Allyn and Bacon,1995 Sulipan, Teori Belajar Menurut Piaget, Bruner, dan Vygotsky, (http://sulipan. wordpress.com/2011/05/16/teori-belajar-menurut-piaget-bruner-dan vygotsky), diakses 29 Mei 2011. Suprijono, Agus. Cooperative Learning, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011 Trianto, Model pembelajaran terpadu: konsep, strategi, dan implementasinya dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta: Bumi Aksara, 2010

194

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 145-158

PENGAWASAN DALAM MANAJEMEN PENDIDIKAN

Tadjudin STAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung tadjudin.p3m@gmail.com ABSTRACT Among the functions of management, the function of control is very important. At this point, a manager should make an evaluation if the set up goal has been reached or not. If not yet, a manager should lead the people to make a reflection about the possible reasons for why the goal is not reached yet. Kata Kunci: pengawasan, manajemen pendidikan Pendahuluan Membangun peradaban bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan watak dan karakter manusia unggul dari sisi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi oleh fitrah kemanusiaan. Fitrah adalah titik tolak kemuliaan manusia, baik sebagai bawaan seseorang sejak lahir atau sebagai hasil proses pendidikan. Pada hakikatnya, pendidikan merupakan upaya membangun budaya dan peradaban bangsa, sehingga UUD 1945 secara tegas mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara1. Pendidikan adalah salah satu unsur paling penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan merupakan proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi) dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi dan karakter manusia2. Kemudian, pada satu fokus yang lebih
Lihat Tujuan pendidikan Nasional sebagaimana termaktub dalam Bab II Pasal 3Undang Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung : Citra Umbara, 2003), hal. 7 2 Endang Saifuddin Anshari, Pokok-pokok Pikiran tentang Islam, (Jakarta : Usaha Interprises, 1976), hal. 85
1

196

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 213-221

khusus yaitu pendidikan formal, manusia diberikan dasar-dasar pengetahuan sebagai pegangan dalam menjalani hidup dan menghadapi kenyataan hidup dimana didalam pendidikan formal dalam hal ini adalah sekolah menjadi suatu jenjang yang mungkin memang sudah selayaknya dilalui dalam proses kehidupan manusia. Kemudian dalam pendidikan sekolah itu, manusia juga selain melatih kedewasaan juga mengasah intelektualitasnya dan kompetensinya dengan tanggung jawab dan kesadaran. Dalam lembaga pendidikan, manusia dilatih intelektualitasnya dengan pengetahuan dan ilmu-ilmu yang diajarkan dalam proses pendidikannya pada jenjang-jenjang yang telah ada dan diatur. Untuk itu, pada pendidikan sekolah sangat diperlukan adanya perencanaan dalam pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan tersebut. Perencanaan yang dimaksud adalah kurikulum pendidikan atau sekolah yang di dalamnya terdapat standar-standar pembelajaran dan pengembangan intelektualitas manusia. Setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan adanya pengawasan atau supervise sebagai suatu rangkaian dari kegiatan manajemen pendidikan3. Pengawasan bertanggung jawab tentang keefektifan program itu. Oleh karena itu, supervise haruslah meneliti ada atau tidaknya kondisi-kondisi yang akan memungkinkan tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Pengertian Pengawasan Pengawasan sebagai komponen dalam proses manajemen memiliki peran penting dalam proses pencapaian tujuan yang sudah ditetapkan. Proses ini dilaksanakan ketika suatu program sedang dilaksanakan sampai dengan kegiatan tersebut selesai dilaksanakan. Istilah pengawasan ini didalamnya mengandung beberapa aktifitas, diantaranya adalah inspeksi, control dan evaluasi.4 Berdasar pada pengertian tersebut, maka sebenarnya ketika membahas tentang pengawasan, maka secara otomatis aktifitas control juga dilakukan. Oleh karena itu maka tulisan ini hanya memaparkan masalah pengawasan sebagai fungsi manajemen. Dalam dunia pendidikan istilah pengawasan lebih cenderung dikonotasikan dengan kegiatan supervisi, yakni kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh seorang pengawas (supervisor) guna membantu seorang guru dalam memberikan arahan pada pelaksanaan kegiatan pendidikan, yakni dalam proses pengajaran dan pembelajaran. Tetapi sesungguhnya kedua istilah tersebut meskipun dalam tataran praktik dianggap sama ada perbedaan, walaupun pada akhirnya kedua istilah tersebut dipakai dalam kegiatan yang sama. Istilah pengawasan dalam hal ini cenderung mengarah kepada salah satu peran seorang manajer dalam kegiatan manajemen, atau yang dikenal dengan istilah controlling. Oleh karena itu, istilah pengawasan dapat dipahami sebagai bagian kecil dari peran seorang manajer (bagian kecil dari fungsi kontrol). Artinya bahwa pengawasan merupakan coercion atau compeling yaitu suatu proses yang bersifat memaksa agar aktifitas dapat disesuaikan dengan rencana yang telah ditetapkan5.
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi, dan Implementasi , (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hal. 154 4 Hendyat Soetopo, Manajemen Pendidikan (Bahan Kuliah Manajemen Pendidikan) Universitas Negeri Malang, 2001), hal. 75 5 Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 102
3

Tadjudin, Pengawasan Dalam Manajemen Pendidikan

197

Sebelum lebih jauh membahas tentang pengawasan, terlebih dahulu perlu dipaparkan tentang pengertian dari pengawasan itu sendiri. Hendyat Soetopo mengartikan pengawasan sebagai suatu aktifitas dalam usaha mengendalikan, menilai dan mengembangkan kegiatan organisasi agar sesuai dengan rencana dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.6 Dengan pengawasan berarti para manajer berusaha untuk meyakinkan bahwa organisasi bergerak dalam arah atau jalur tujuan. Apabila salah satu bagian dalam organisasi menuju arah yang salah, para manajer berusaha untuk mencari sebabnya dan kemudian mengarahkan kembali ke jalur tujuan yang benar.7 S. Hendayaningrat memberikan definisi pengawasan sebagai suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan yang dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan.8 Ada juga yang mendefinisikan pengawasan (controlling) merupakan suatu kegiatan untuk mencocokkan apakah kegiatan operasional (actuating) di lapangan sesuai dengan rencana (planning) yang telah ditetapkan dalam mencapai tujuan (goal) dari organisasi.9 Pengawasan dapat diartikan sebagai proses kegiatan monitoring untuk meyakinkan bahwa semua kegiatan organisasi terlaksana seperti yang direncanakan dan sekaligus juga merupakan kegiatan untuk mengoreksi dan memperbaiki bila ditemukan adanya penyimpangan yang akan mengganggu pencapaian tujuan.10 Berdasarkan paparan tersebut diatas tentunya dapat diambil pengertian bahwa pengawasan sebagai fungsi manajemen pendidikan bisa mengandung komponen; suatu aktifitas yang dilakukan dengan melihat-mengecek-menilai-mengoreksi-mencocokkan kegiatan yang dilaksanakan dengan perencanaan yang sudah ditetapkan dan melakukan perbaikan apabila pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan rencana. Dengan demikian yang menjadi obyek dari kegiatan pengawasan adalah mengenai kesalahan, penyimpangan, cacat dan hal-hal yang bersifat negatif seperti adanya kecurangan, pelanggaran dan korupsi, untuk kemudian dilakukan perbaikan-perbaikan.. Fungsi Pengawasan Pengawasan ini mempunyai berbagai fungsi pokok, diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, mencegah terjadinya berbagai penyimpangan atau kesalahan; maksudnya bahwa pengawasan itu dapat mencegah kemungkinan terjadinya berbagai penyimpangan, kesalahan serta penyelewengan. Kedua, memperbaiki berbagai penyimpangan dan kesalahan yang terjadi; artinya dengan adanya pengawasan hendaknya dapat dilakukan tindakan perbaikan terhadap penyimpangan atau kesalahan yang terjadi, agar tidak terus berlarut-larut, yang akhirnya dapat mengakibatkan kerugian organisasi.
Ibid. Subardi, A., Dasar - Dasar Manajemen, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, 1992), hal. 6 8 Handayaningrat, S., Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, (Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994), hal. 143 9 Soewartojo, J., Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya, (Jakarta: Restu Agung, 1995), hal. 132 10 Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka Pengembangan Sumberdaya Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hal. 17
7 6

198

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 213-221

Ketiga, mempertebal rasa tanggung jawab terhadap karyawan atau para pekerja dalam melakukan tugas yang dibebankannya. Untuk meningkatkan rasa tanggung jawab, dapat pula di tempuah suatu cara, yakni kalau memang tidak bisa dihindarkan adanya penyimpangan, maka kepada setiap pihak diwajibkan untuk membuat laporan secara tertulis mengenai penyimpangan tersebut. Keempat, mendinamisir organisasi serta segenap kegiatan menejemen lainnya ; yakni dengan adanya pengawasan diharapkan sedini mungkin dapat dicegah terjadinya penyimpangan sehingga setiap bagian organisasi selalu siap dan selalu berusaha jangan sampai terjadi kesalahan pada bagiannya atau dengan kata lain bahwa setiap bagian ada yang selalu dalam keadaan yang dinamis serta terarah dengan sisten manajemen yang mantap.11 Tujuan Pengawasan Pada dasarnya tujuan pengawasan secara tidak langsung dapat dicermati dari batasan pengertian pengawasan tersebut, yakni suatu upaya melakukan perbaikanperbaikan terhadap pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan guna mencapai tujuan yang diinginkan. Namun secara rinci tentang tujuan dari kegiatan pengawasan dalam sebuah manajemen adalah agar: (1) pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan, prosedur dan perintah yang telah ditetapkan; (2) hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang ditetapkan; (3) sSarana yang ada dapat didayagunakan secara efektif dan efisien; dan (4) diketahui kelemahan dan kesulitan organisasi untuk dicari jalan perbaikannya.12 Berdasarkan maksud tujuan dari dilaksanakannya pengawasan tersebut diharapkan dapat mencapai target tentang adanya kepastian terhadap kualitas dan kuantitas pekerjaan, meminimalisir pemborosan bahan, tenaga, biaya dan pikiran sehingga dapat diketahui perkembangan dari tiap-tiap taraf dan langkah-langkah kegiatan serta dapat diketahui pula ada atau tidaknya perubahan dan perlu atau tidaknya perbaikan, penyesuaian rencana, bimbingan, pengarahan dan system yang diterapkan. Begitupun, pengawasan dalam manajemen pendidikan mempunyai tujuan yang amat beragam, yang secara umum dalam dipaparkan beberapa hal berikut: (a) menjamin ketepatan pelaksanaan sesuai rencana, kebijaksanaan dan perintah (aturan yang berlaku); (b) menertibkan koordinasi kegiatan. Kalau pelaksana pengawasan banyak, jangan ada objek pengawasan dilakukan berulang-ulang, sebaliknya ada objek yang tak pernah tersentuh pengawasan; (c) m encegah pemborosan dan penyimpangan, Karena pengawasan mempunyai prinsip untuk melindungi masyarakat, maka pemborosan dana yang ditanggung masyarakat harus dicegah oleh penyimpangan yang dilakukan pihak kedua; (d) menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang dan jasa yang dihasilkan. Tujuan akhir suatu pekerjaan yang professional adalah terciptanya kepuasan masyarakat; (e) membina kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan organisasi. Jika barang atau jasa yang dihasilkan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat, maka masyarakat tidak saja percaya pada pemberi jasa, tapi juga pada institusi yang memberikan perlindungan pada masyarakat dan akhirnya percaya pula pada kepemimpinan
Fattah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 102 12 Hendyat Soetopo, Manajemen Pendidikan..., hal. 76
11

Tadjudin, Pengawasan Dalam Manajemen Pendidikan

199

organisasi; (f) mengetahui jalannya pekerjaan apakah lancar atau tidak; (g) memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh pegawai dan mengusahakan pencegahan agar tidak terulang kembali kesalahan yang sama atau timbulnya kesalahan baru; (h) mengetahui penggunaan budget yang telah ditetapkan dalam rencana awal (planning) terarah kepada sasarannya dan sesuai dengan yang direncanakan; (i) mengetahui pelaksanaan kerja sesuai dengan program (fase/tingkat pelaksanaan); dan (j) mengetahui hasil pekerjaan dibandingkan dengan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. Prinsip Pengawasan Prinsip pengawasan dalam sebuah organisasi terhadap suatu pekerjaan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan sebenarnya adalah dalam rangka untuk melakukan perbaikan-perbaikan demi tercapainya suatu tujuan. Masalah yang dihadapi dalam melaksanakan pengawasan dalam suatu organisasi adalah bagaimana mengubah pola pikir yang bersifat otokratif dan korektif menjadi konstruktif dan kreatif.13 Suatu sikap yang menciptakan situasi dan relasi dimana para pekerja merasa aman dan merasa diterima sebagai subyek yang dapat berkembang sendiri. Pengawasan merupakan suatu aktifitas yang memungkinkan adanya intervensi positif dalam memeriksa arah yang diambil dan mengevaluasi hasil atau penyimpangan dari perencanaan sebelumnya, oleh karena itu pengawasan harus bersifat komprehensif dan terbuka.14 Terhadap berbagai hasil kinerja yang dilakukan. Prinsip yang harus dipertimbangkan dalam memberikan pengawasan antara lain adalah:15 pertama, prinsip ilmiah, yakni kegiatan pengawasan dilaksanakan berdasarkan data obyektif yang diperoleh dalam kenyataan pelaksanaan proses kegiatan, menggunakan alat perekam yang akurat untuk memperoleh data seperti angket, observasi, percakapan pribadi dan seterusnya, setiap kegiatan pengawasan dilaksanakan secara sistematis, berencana dan kontinyu. Prinsip kedua, prinsip demokratis, yakni pengawasan yang dilakukan berdasarkan hubungan kemanusiaan yang akrab dan penuh kehangatan, menjunjungtinggi harga diri dan martabat dan bukan berdasarkan atasan dan bawahan, tetapi berdasarkan rasa kesejawatan. Prinsip ketiga, kerjasama. Prinsip ini bertujuan mengembangkan usaha bersama dengan memberi support, mendorong, menstimulasi sehingga merasa tumbuh bersama. Prinsip keempat, konstruktif dan kreatif, yakni pengawasan dilakukan dalam rangka mengembangkan potensi kreatifitas dan menciptakan situasi kerja yang menyenangkan, bukan melalui cara-cara yang menakutkan. Prinsip lain yang mendasari dari pelaksanaan pengawasan disamping sebagaimana tersebut diatas adalah sebagai berikut:16 (1) prinsip organisasional, artinya pengawasan harus dilaksanakan dalam kerangka struktur organisasi yang melingkupinya; (2) prinsip perbaikan, artinya pengawasan berusaha mengetahui kelemahan atau kekurangan dan kemudian dicarikan jalan pemecahanya; (3) prinsip komunikasi, artinya pengawasan dilakukan untuk membina system kerjasama antara
Piet A. Sahertian, Konsep Dasar ..., hal. 20 Udian Saifudin Saud, Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehansif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal.228 15 Piet A. Sahertian, Konsep Dasar..., hal. 20 16 Hendyat Soetopo, Manajemen Pendidikan, hal. 77
14 13

200

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 213-221

atasan dan bawahan, membangun hubungan baik dalam proses pelaksanaan pengelolaan organisasi; (4) prinsip pencegahan, artinya bahwa pengawasan dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan dalam mengelola komponen-komponen organisasi; (5) prinsip pengendalian, artinya pengawasan dilakukan agar semua proses manajemen berada pada rel yang telah digariskan sebelumnya; (6) obyektifitas, yakni pengawasan dilakukan berdasarkan data nyata di lapangan tamnpa menggunakan penilaian dan tafsiran subyektif dari pengawas; dan (7) prinsip kontinyuitas, artinya dilakukan secara terus menerus, baik selama berlangsungnyab proses maupun setelah pelaksanaan kerja. Fungsi Pengawasan Fungsi utama dari pengawasan adalah ditujukan pada perbaikan dan peningkatan kualitas untuk mencapai tujuan, atau dengan kata lain adalah menilai dan memperbaiki factor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pekerjaan. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Swearingen bahwa fungsi dari pengawasan adalah untuk; mengkoordinasikan semua usaha, melengkapi kepemimpinan, memperluas pengalaman pekerja, menstimuli usaha-usaha yang kreatif, memberi fasilitas dan penilaian yang terus menerus, menganalisis situasi, memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada setiap staf, memberi wawasan yang lebih luas dan terintegrasi dalam merumuskan tujuan-tujuan organisasi dan meningkatkan kemampuan kinerja.17 Proses Pengawasan Proses pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan melalui beberapa tahapan, dimana tahap-tahap tersebut adalah merupakan rangkaian suatu proses yang dilakukan dalam pengawasan. Proses pengawasan menurut M. Manulang dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu; menentukan alat pengukur (standard), mengadakan penilaian (evaluasi) dan mengadakan tindakan perbaikan (corrective action).18 Secara rinci proses pengawasan tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: pertama, penentuan standar. Penentuan standar dalam proses pengawasan secara tepat memang agak sulit, akan tetapi penentuan standard terkait waktu dengan perilaku pegawai harus dilakukan. Diantara standar yang harus ditetapkan dalam melakukan pengawasan adalah standard waktu, yakni berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam menghasilkan suatu produk atau memberikan layanan jasa tertentu, standard produktifitas, yakni jumlah produk dan layanan jasan yang dihasilkan selama periode waktu tertentu, standard biaya, yakni berapa biaya yang dikeluarkan untuk semua barang dan jasa, standard kualitas, yakni tingkat kemampuan yang dikehendaki, standard tingkah laku, artinya tipe tingkah laku yang dikehendaki terhadap pegawai dalam suatu organisasi. Lebih lanjut tentang penentuan standard ini Amirullah Haris Budiono mengacu kepada empat sumber informasi yang mencakup; pengamatan pribadi, laporan statistik, laporan lisan dan laporan tertulis.19 Kedua, evaluasi unjuk kerja. Evaluasi unjuk kerja ini dilakukan dengan melakukan pengecekan terhadap penyimpangan berdasarkan standard yang telah ditetapkan. Hasil
Swearingen, Supervision of Instruction Foundation and Dimension, (New York, British Manual of Sociology, 1961), hal. 21 18 M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Jakarta, Galia Indonesia, 1990), hal. 69 19 Amirullah Haris Budiono, Pengantar Manajemen, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), hal. 304
17

Tadjudin, Pengawasan Dalam Manajemen Pendidikan

201

dari evaluasi ini kemudian dibandingkan dengan standard yang ada, oleh karena itu evalusai ini harus dilakukan dengan menggunakan ukuran yang akurat, dimana instrumentnya harus disusun secara lengkap dan valid. Mengadakan pengukuran ini harus terlebih dahulu dilakukan, karena tindakan perbaikan dapat dilakukan berdasarkan dari hasil evaluasi yang didahului oleh kegiatan pengukuran tersebut. Ketiga, tindakan perbaikan. Tindakan perbaikan ini dilakukan apabila, proses dan hasil kerja teradapat penyimpangan dari standard yang ditentukan, akan tetapi apabila proses dan hasil kerja telah sesuai dengan standard maka yang harus dilakukan adalah peningkatan. Tindakan perbaikan terhadap penyimpangan-penyimpangan harus dibuatkan skala prioritas dalam penanganannya. Dalam melakukan perbaikan ada beberapa kemungkinan yang harus dipertimbangkan, yaitu; tersedianya alokasi waktu yang memadai, rasionalisasi tambahan pegawai dan atau peralatan, alokasi waktu yang cukup bagi manajer untuk melakukan perbaikan manajemen dan adanya usaha extra dari semua komponen yang ada. Apabila usaha-usaha tersebut gagal dilaksanakan, maka perlu dilakukan penjadwalan ulang karena mungkin terdapat perubahan pada semua bidang. Etika Pengawasan Etika selalu berkaitan dengan standar baik-buruk. Hanya perlu diingat bahwa standar ini tidak berada di ruang hampa, selamanya berkonteks, mungkin sosial (politik, ekonomi atau kebudayaan) dengan lingkup lokal atau nasional, atau universal (kemanusiaan). Masalah dalam konteks ini manakala ada kekuasaan yang menentukan standar dan konteks baik buruk suatu perilaku. Misalnya, kekuasaan menetapkan standar baik-buruk hanya berkonteks politik dan lokal. Sementara pelaku ingin menggunakan konteks kebudayaan dan universal. Pembicaraan tentang etika dapat pula melalui 2 jalan, yaitu pertama mempertanyakan keberadaan institusional, dan kedua dengan melihat keberadaan individual pelaku profesi. Jika yang pertama bersifat makro dengan pendekatan struktural, maka yang kedua bersifat mikro dengan memperhatikan nilai-nilai yang mendasari perilaku seseorang. Jalan lainnya dapat juga dilakukan dengan menitik-beratkan kepada bekerjanya nilai-nilai atas diri seseorang. Ada yang bersifat sosial, yaitu nilai-nilai yang diperoleh dari komunitas (sosialisasi) yang menjadi acuan dan komunitas memiliki daya pemaksa untuk dijalankannya nilai tersebut. Disini pelaku bersifat pasif. Selain itu ada pula nilai yang dipilih oleh individu secara sadar di antara sekian banyak nilai yang tereksposure kepadanya. Nilai ini dipilih dengan kesadaran, bahkan dengan sikap kefilsafatan tertentu. Maka pelaku dapat disebut bersifat aktif. Baik etika bersifat makro maupun mikro, ataupun nilai bersifat pasif maupun aktif, kesemuanya saling berkaitan, yang satu akan menentukan lainnya. Etika makro dapat dikenali dengan melakukan analisis atas keberadaan institusi dalam interaksinya dengan institusi-institusi lainnya sebagai bagian sistem sosial. Peran sosial dari suatu institusi bagi yang menggunakan cara pandang struktural fungsionalisme adalah bertolak dari harapan/ekspektasi (expectation) institusi lain yang berada dalam system sosial. Keseimbangan terjadi manakala setiap pihak menjalankan peran yang berkesesuaian dengan ekspektasi pihak lainnya. Pandangan mekanistis atas sistem sosial ini mengabaikan pilihan-pilihan idealisme dari pelaku dalam institusi sosial. Jika sistem sosial sepenuhnya mesin yang dapat direkayasa tentulah kese-

202

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 213-221

imbangan dapat tercapai. Tetapi kenyataannya peran sosial adalah resultante dari peran yang ditetapkan bagi dirinya sendiri oleh pengelola institusi dengan peran yang menjadi ekspektasi institusiinstitusi lainnya. Berdasarkan paparan tersebut tentunya seorang pengawas dalam suatu manajemen harus bertindak secara professional dan selalu mendasarkan diri pada etika keilmuan yang dimiliki, menjaga kedudukan, martabat dan jabatannya di mata orang lain. Karena etika adalah pandangan, keyakinan dan nilai akan sesuatu yang baik dan buruk, benar dan salah dan merupakan standar kelayakan pengelolaan organisasi yang memenuhi kriteria etika.20 Pengawasan harus dilakukan berdasarkan nilai personal sebagai standar etika yang terdiri dari; Nilai (Values) sendiri pada dasarnya merupakan pandangan ideal yang mempengaruhi cara pandang, cara berfikir dan perilaku dari seseorang, Nilai Personal atau Personal Values pada dasarnya merupakan cara pandang, cara pikir, dan keyakinan yang dipegang oleh seseorangsehubungan dengan segala kegiatan yang dilakukannya dan Nilai Personal terdiri dari nilai terminal dan nilai instrumental. Nilai terminal pada dasarnya merupakan pandangan dan cara berfikir seseorang yang terwujud melalui perilakunya, yang didorong oleh motif dirinya dalam meraih sesuatu. Nilai instrumental adalah pandangan dan cara berfikir seseorang yang berlaku untuk segala keadaan dan diterima oleh semua pihak sebagai sesuatu yang memang harus diperhatikan dan dijalankan.21 Sebagaimana yang dipaparkan oleh Hendyat Soetopo bahwa dalam menjalankan tugasnya pengawas handaklah berpedoman etik jabatan bahwa pengawas adalah; manusia Pancasila, pendidik, memiliki pengetahuan dan wawasan yang mutakhir, membantu melaksanakan program pendidikan, memahami dan menguasai masalahmasalah kependidikan, mampu memecahkan masalah demi kesuksesan organisasinya, mampu bekerjasama dan bergaul dengan berbagai pihak, menguasai teknik riset operasional, berusaha memelihara nama baik pengawas.22 Berdasarkan dari paparan dan uraian tersebut, jelaslah bahwa dalam rangka melaksanakan proses pengawasan, seorang pengawas harus benar-benar memiliki kematangan pribadi dan kematangan wawasan terhadap pekerjaan yang diawasi yang berhubungan dengan bidang personal, material, dan operasional dalam organisasi agar mampu mengendalikan organisasi untuk berjalan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan untuk mencapai tujuan. Karakteristik Pengawasan Sistem pengawasan yang efektif menurut Amirullah mempunyai karakteristik; akurat terhadap informasi, ekonomis, tepat waktu ketika diketahui penyimpangan, Sesuai dengan realitas oeganisasi, berpusat pada pengendalian strategic, Terkoordinasi dengan arus kerja, Obuektif dan komprehensif, fleksibel dan dapat diterima oleh para anggota.23
M. Nur Nasution, Manajemen Mutu Terpadu, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), hal.79 Malayu SP. Hasibuan, Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007), hal. 201 22 Hendyat Soetopo, Manajemen ..., hal. 83 23 Amirullah Haris Budiono, Pengantar Manajemen, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004), hal. 307-309
21 20

Tadjudin, Pengawasan Dalam Manajemen Pendidikan

203

Pengawasan yang efektif adalah pengawasan yang tepat sesai dengan proses yang harus dilalui, tanpa menyimpang dari system yang dianut sehingga tahapan yang dilaluinya benar. Pengawasan sebagai suatu system, sebagaimana halnya system-sistem yang lain mempunyai karakteristik tertentu, namun demikian karakteristik tersebut tidak bersifat mutlak tetapi bersifat nisbi, artinya pada kondisi yang berbeda karakteristik itu menjadi berbeda pula. Penutup Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa diantara beberapa fungsi manajemen, pengawasan mempunyai peran yang penting. Dalam fungsi, manajer melakukan evaluasi apakah tujuan yang ditetapkan dapat dicapai, dan kalau tidak dapat dicapai, maka harus dicari faktor penyebabnya sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan, sehingga tindakan pengawasan ini dapat dijadikan sebagai bentuk instrospeksi diri bagi seseorang. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam proses manajemen tidak akan ada artinya, kalau tidak segera diikuti dengan tindakan pengawasan sebagai pengendalian. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa; apabila kegiatan pengawasan sebagai bentuk pengendalian dilakukan secara efektif akan menjadikan jaminan bahwa tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi akan dapat tercapai. DAFTAR PUSTAKA Budiono, Amirullah Haris. Pengantar Manajemen, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2004. Fattah, Nanang. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996 Handayaningrat, S., Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen, CV. Haji Masagung, Jakarta, 1994. Hasibuan, Malayu SP. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah , PT. Bumi Aksara, 2007. Manullang, M. Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta, Galia Indonesia, 1990. Nasution, M. Nur. Manajemen Mutu Terpadu, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Saud, Udian Saifudin. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehansif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2006. Sahertian, Piet A. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka Pengembangan Sumberdaya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000. Soetopo, Hendyat. Manajemen Pendidikan (Bahan Kuliah Manajemen Pendidikan) Universitas Negeri Malang, 2001. Soewartojo, J., Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya, Restu Agung, Jakarta, 1995. Subardi, A., Dasar - Dasar Manajemen, Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta, 1992. Swearingen, Supervision of Instruction Foundation and Dimension, New York, British Manual of Sociology, 1961.

PENDIDIKAN AKHLAK SEBAGAI TUNTUTAN MASA DEPAN ANAK

Zainudin STAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung 66221 hib.goldenage@gmail.com ABSTRACT Teaching morality to children must be conducted seriously. Morality is one of essential matters in this country because it has close relationship with norms in society. When people morality is under control, there is a peace in the society. Therefore, in teaching children, teachers should incorporate morality every time and everywhere.The main purpose is, of course, to gain prosperity among people. Kata Kunci: pendidikan akhlak Pendahuluan Pendidikan akhlak merupakan obyek kajian yang sangat dinamis dan mendapat pehatian amat luas di kalangan pemerhati pendidikan sehingga ragamnya senantiasa lahir dan belum pernah berhenti. Didalam diri sesorang muncul akhlak mahmudah (akhlak terpuji) ataupun akhlak madzmumah (akhlak Tercela). Menurut Imam AlGhazali.1 berakhlak mulia dan terpuji artinya menghilangkan semua adat kebiasaan yang tercela yang sudah digariskan dalam agama Islam serta menjauhkan diri dari perbuatan tercela tersebut, kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, melakukannya dan mencintainya. Sedangkan akhlak madzmumah atau akhlak tercela ini dikenal dengan sifat-sifat muhlikat, yakni segala tingkah laku manusia yang dapat membawanya kepada kebinasaan dan kehancuran diri, yang bertentangan dengan fitrahnya untuk selalu mengarah kepada kebaikan. Pengertian Pendidikan Akhlak Pengertian Pendidikan Secara etimologi, pengertian pendidikan yang dideskripsikan oleh ahli menyatakan bahwa pendidikan adalah sebagai suatu proses pembentukan kemampuan dasar yang fundamental, baik menyangkut daya pikir (intelektual) maupun daya perasaan (emosional) menuju ke arah tabiat manusia dan manusia biasa. Hal ini sebagaimana yang dipaparkan oleh John Dewey seperti dikutip oleh M. Arifin.2
1

Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 2000), hal. 1

hal. 155
2

206

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 223-234

Dapat juga dipahami bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan suatu ikhtiar sadar yang diarahkan untuk mematangkan potensi fitrah seseorang, agar nantinya, melahirkan kemampuan dalam mengaktualisasikan kepribadian sesuai dengan predikat yang disandangnya, disamping itu juga diharapkan dapat bertanggungjawab terhadap perbuatannya di hadapan Sang Pencipta. Kematangan di sini dimaksudkan sebagai gambaran dari tingkat perkembangan optimal yang dicapai oleh setiap potensi fitrah manusia.3 Pada awalnya, Islam menyebut pendidikan dengan kata tadib. Kata tadib mengacu kepada pengertian yang lebih tinggi dan mencakup seluruh unsur pengetahuan (ilm), pengajaran (talim) dan pengasuhan yang baik (tarbiyah). kemudian perkembangan kata-kata tadib sebagai istilah pendidikan hilang dari peredaran, sehingga para ahli pendidik Islam bertemu dengan istilah at tarbiyah atau tarbiyah, sehingga sering disebut tarbiyah. Sebenarnya kata ini berasal dari Rabba-YurobbiTarbiyatan yang artinya tumbuh dan berkembang.4 Walaupun dalam Al-Quran tidak disebutkan secara jelas tentang definisi pendidikan, namun dari beberapa ayat dapat ditemukan indikasi ke arah pendidian, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. 17/Al-Isra : 24 :

Artinya : Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka mendidik aku waktu kecil. (Q.S. al-Isra : 24)5 Berdasarkan ayat tersebut dapat diambil pengertian bahwa al-Tarbiyah adalah proses pengasuhan pada fese permulaan pertumbuhan manusia, karena anak sejak dilahirkan di dunia dalam keadaan tidak tahu apa-apa, tetapi ia sudah dibekali Allah SWT berupa potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan. Maka pendidikan anak sangat penting mengingat untuk kelangsungan perkembangannya menuju ke tahap selanjutnya. Menurut Frederic J. Mc. Donald, dalam bukunya Educational Psychology, mengungkapkan bahwa education in the sense used here, is a process or an activity which is directed at producting desirable changes in the behaviour of human beings. Pendidikan dalam pengertian yang digunakan di sini adalah sebuah proses atau aktivitas yang menunjukkan pada proses perubahan yang diinginkan di dalam tingkah laku manusia.6 Menurut Nelson B. Henry, education is the process by which those powers (abilities, capacities) of the man that are susceptible to habituation are perfected by good habits.7 Artinya, pendidikan adalah suatu proses di mana kemampuan seseorang dapat terpengaruh oleh kebiasaan yang berupa kebiasaan yang baik.
Jalaluddin, Teologi Pendidikan,(Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 51 Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, (Bandung : Ramadhani, 1993), hal. 9 5 Departemen Agama Republiik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, (Semarang : PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994), hal. 428 6 Frederic J. Mc. Donald, Educational Psychology, (San Francisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959), hal. 4 7 Nelson B. Henry, Philosophies of Education, (The United States of America : The University, 1962), hal. 205
4 3

Zainudin, Pendidikan Akhlak Sebagai Tuntutan Masa Depan Anak

207

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendidikan adalah suatu kegiatan atau usaha yang dilakukan secara sadar dan disengaja untuk memberikan bimbingan, baik jasmani maupun rohani, melalui penanaman nilai-nilai Islam, latihan moral, fisik serta menghasilkan perubahan ke arah positif yang nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan, dengan kebiasaan bertingkah laku, berpikir dan berbudi pekerti yang luhur menuju terbentuknya manusia yang berakhlak mulia. Pengertian Akhlak Akhlak secara etimologi dapat diartikan sebagai budi pekerti, watak dan tabiat.8 Kata akhlak berasal dari bahasa Arab, jamak dari khuluqun ( ) yang menurut lughot diartikan sebagai budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Menurut Rahmat Djatnika, bahwa pengertian akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, di antaranya menurut etimologi kata akhlak berasal dari bahasa Arab ( ) bentuk jamak dari mufrodnya khuluq ( ), yang berarti budi pekerti. Sinonimnya adalah etika dan moral. Etika berasal dari bahasa Latin, etos yang berarti kebiasaan. Moral berasal dari bahasa Latin juga, mores yang juga berarti kebiasaan. Sedangkan menurut terminolog, kata budi pekerti terdiri dari kata budi dan pekerti. Budi adalah yang ada pada manusia, yang berhubungan dengan kesadaran, yang didorong oleh pemikiran, rasio yang disebut karakter. Pekerti adalah apa yang terlihat pada manusia, karena didorong oleh perasaan hati yang disebut dengan behaviour. Jadi, budi pekerti merupakan perpaduan dari hasil rasio dan rasa yang bermanifestasi pada karsa dan tingkah laku manusia.9 Menurut Abuddin Nata, akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah daging dan melekat dalam jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan pertimbangan dan pemikiran.10 Menurut Elizabeth B. Hurlock, behaviour which may be called true morality not only conforms to social standarts but also is carried out voluntarily, it comes with the transition from external to internal authority and consist of conduct regulated from within.11 Artinya, bahwa tingkah laku boleh dikatakan sebagai moralitas yang sebenarnya itu bukan hanya sesuai dengan standar masyarakat, tetapi juga dilaksanakan dengan suka rela, tingkah laku itu terjadi melalui transisi dari kekuatan yang ada di luar (diri) dan ke dalam (diri) dan ada ketetapan hati dalam melakukan (bertindak) yang diatur dalam diri. Sedangkan Imam Al-Ghazali mengemukakan definisi akhlak sebagai berikut :

8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hal. 15 9 Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Jakarta : Balai Pustaka, 1994), hal. 26 10 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 5 11 Elizabeth B. Hurlock, Child Development,Edisi IV, (Kugllehisa, Mc. Grow Hill, 1978), hal. 386

208

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 223-234

Artinya: Bahwa akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak memerlukan pertimbangan pikiran (terlebih dahulu). 12 Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya. Menurutnya juga, bahwa akhlak bukanlah pengetahuan (marifah) tentang baik dan jahat, maupun kodrat (qudrah) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fil) yang baik dan jelek, melainkan suatu keadaan jiwa yang mantap (hayarasikha fi-n-nafs). 13 Dengan demikian dapat dipahami bahwa akhlak adalah suatu sikap atau kehendak manusia disertai dengan niat yang tentram dalam jiwa yang berlandaskan al-Quran dan al-Hadits yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan atau kebiasaankebiasaan secara mudah tanpa memerlukan pembimbingan terlebih dahulu. Jiwa kehendak jiwa itu menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang bagus, maka disebut dengan akhlak yang terpuji. Begitu pula sebaliknya, jika menimbulkan perbuatan-perbuatan dan kebiasaan-kebiasaan yang jelek, maka disebut dengan akhlak yang tercela. Pendidikan Akhlak Setelah dijelaskan secara terpisah mengenai pengertian pendidikan dan pengertian akhlak, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan akhlak adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak dan keutamaan perangai, tabiat yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan oleh anak sejak masa kecil sampai ia menjadi seorang mukallaf, seseorang yang telah siap mengarungi lautan kehidupan. Ia tumbuh dan berkembang dengan berpijak pada landasan iman kepada Allah dan terdidik untuk selalu kuat, ingat bersandar, meminta pertolongan dan berserah diri kepada-Nya, maka ia akan memiliki potensi dan respon yang instingtif di dalam menerima setiap keutamaan dan kemuliaan. Di samping itu agar anak terbiasa melakukan akhlak mulia.14 Pondasi dan Arah Pendidikan Akhlak Pondasi Pendidikan Akhlak Pondasi pendidikan akhlak menurut ajaran islam adalah al-Quran dan al-Hadis, karena akhlak merupakan sistem moral yang bertitik pada ajaran Islam. Al-Quran dan al-Hadis sebagai pedoman hidup umat Islam menjelaskan kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan. Al-Quran sebagai dasar akhlak menjelaskan tentang kebaikan
Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Juz III, (Beirut : Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), hal. 58 13 Muhammad Abul Quasem, Kamil, , Etika Al-Ghazali: Etika Majemuk di Dalam Islam, terj. J. Muhyidin, (Bandung : Pustaka, 1975), hal. 81-82 14 Raharjo, dkk., Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal. 63
12

Zainudin, Pendidikan Akhlak Sebagai Tuntutan Masa Depan Anak

209

Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. maka selaku umat Islam sebagai penganut Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab : 21) 15 Berdasarkan ayat tersebut di atas dijelaskan bahwasannya terdapat suri teladan yang baik, yaitu dalam diri Rasulullah SAW yang telah dibekali akhlak yang mulia dan luhur. Dalam firman yang lain, Allah berfirman :

Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. al-Qalam : 4)16 Di dalam sebuah hadis juga disebutkan tentang betapa pentingnya akhlak di dalam kehidupan manusia. Bahkan diutusnya rasul adalah dalam rangka menyempurnakan akhlak yang baik, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, bahwa :

Artinya: Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansur berkata : menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin Ijlan dari Qoqo bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairoh berkata Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (H.R.Ahmad).17 Berdasarkan hadits tersebut di atas memberikan pengertian tentang pentingnya pendidikan akhlak dalam kehidupan manusia, di mana dengan pendidikan akhlak yang diberikan dan disampaikan kepada manusia tentunya akan menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun perempuan, memiliki jiwa yang bersih, kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, mengetahui arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, mengetahui perbedaan buruk dan baik, memilih satu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang tercela dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang mereka lakukan.
15 16

Depag RI, Al Quran., hal. 670 Ibid., hal. 960 17 Al Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Juz II, (Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah, t.th.), hal. 504.

210

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 223-234

Arah Pendidikan Akhlak Arah dan tujuan pokok dari pendidikan Islam adalah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Pendidikan yang diberikan kepada anak didik haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak. Setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam. Tujuan pendidikan akhlak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : 1) Tujuan Umum Menurut Barnawy Umari, bahwa tujuan pendidikan akhlak secara umum meliputi a) Supaya dapat terbiasa melakukan yang baik, indah, mulia, terpuji serta menghindari yang buruk, jelek, hina dan tercela. b) Supaya perhubungan kita dengan Allah SWT dan dengan sesama makhluk selalu terpelihara dengan baik dan harmonis.18 Menurut Ali Hasan bahwa tujuan pokok akhlak adalah agar setiap orang berbudi (berakhlak), bertingkah laku (tabiat) berperangai atau beradat istiadat yang baik atau yang sesuai dengan ajaran Islam.19 2) Tujuan Khusus, a) Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia da beradat kebiasaan yang baik b) Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang pada akhlak mulia dan membenci akhlak yang rendah. c) Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, emosi, tahan menderita dan sabar. d) Membimbing siswa ke arah dikap yang sehat dan dapat membantu mereka berinteraksi sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong, sayang kepada yang lemah, dan menghargai orang lain. e) Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dan f) Selalu tekun beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. dan bermuamalah yang baik.20 Athiyyah Al-Abrasyi menjelaskan tujuan dari pendidikan moral dan akhlak dalam Islam adalah membentuk orang-orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam bicara dan mulia dalam bertingkah laku dan perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Jiwa dari pendidikan Islam adalah pendidikan moral dan akhlak.21 Sedangkan menurut Ahmad Amin, bahwasannya tujuan pendidikan akhlak (etika) bukan hanya mengetahui pandangan atau teori, bahkan setengah dari tujuan itu adalah mempengaruhi dan mendorong kehendak kita supaya membentuk hidup suci dan menghasilkan kebaikan dan kesempurnaan dan memberi faedah kepada sesama manusia. maka etika itu adalah mendorong kehendak agar berbuat baik, akan tetapi ia tidak selalu berhasil kalau tidak ditaati oleh kesucian manusia.22 Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak Ruang lingkup pendidikan akhlak meliputi: akhlak kepada Allah SWT, akhlak terhadap sesama manusia, akhlak terhadap lingkungan. Akhlak kepada Allah SWT
Barnawy Umari, Materi Akhlak, (Sala : Ramadhani, 1984), hal. 2 M. Ali Hasan, Tuntunan Akhlak, (Jakarta : Bulan Bintang, 1988), hal. 11 20 Chabib Thoha, Saifudin Zuhri, dkk., Metodologi Pengajaran Agama, (Fakultas Tarbiyah,Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hal. 136 21 Muhammad Athiyyah Al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, (Bandung : Pustaka Setia, 2003), hal. 114 22 Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), terjemah. K.H. Farid Maruf, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hal. 6-7
19 18

Zainudin, Pendidikan Akhlak Sebagai Tuntutan Masa Depan Anak

211

dapat diartikan sebagai sikap/perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan yang Khaliq. Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah : 1) Karena Allah yang telah menciptakan manusia dan menciptakan manusia di air yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk. (Q.S. al-Thariq : 5-7). Dalam ayat lain, Allah menyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia menjadi segumpal darah, daging, dijadikan tulang dan dibalut dengan daging, dan selanjutnya diberikan ruh. (Q.S. Al-Muminun: 12-13) 2) Karena Allah lah yang telah memberikan perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal, pikiran dan hati sanubari. Di samping anggota badan yang kokoh dan sempurna pada manusia. 3) Karena Allah lah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang dan ternak dan lain sebagainya. (Q.S.al Jatsiyah : 12-13) 4) Allah lah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan untuk menguasai daratan dan lautan. (Q.S. al-Isra : 70)23 Dalam berakhlak kepada Allah SWT., manusia mempunyai banyak cara, di antaranya dengan taat dan tawadduk kepada Allah, karena Allah SWT menciptakan manusia untuk berakhlak kepada-Nya dengan cara menyembah kepada-Nya, sebagaimana fiman Allah SWT:

Artinya: Dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia,melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku. (Q.S. adz-Dzariyat : 56)24 Ada dua dimensi dalam berakhlak kepada Allah SWT : 1). Akhlak kepada Allah karena bentuk ketaatan (kewajiban kepada Allah). Perintah untuk taat kepada Allah ditegaskan dalam firman-Nya yaitu:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.(Q.S. An-Nisaa : 59)25
23 24

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 148 Depag RI, Al Quran., hal. 862 25 Ibid.,hal. 128

212

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 223-234

Akhlak kepada Allah adalah taat dan cinta kepada-Nya, mentaati Allah berarti melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,di antaranya melaksanakan shalat wajib lima waktu. 2). Akhlak kepada Allah karena bentuk tawadduk kepada Allah (keikhlasan dalam melaksanakan perintah-Nya). Tawadduk adalah sikap merendahkan diri terhadap ketentuan-ketentuan Allah SWT, sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyu dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S. al-Mukminun : 1-7)26 Untuk menumbuhkan sikap tawadduk, manusia harus menyadari asal kejadiannya, menyadari bahwa hidup di dunia ini terbatas, memahami ajaran Islam, menghindari sikap sombong, menjadi orang yang pemaaf, ikhlas, bersyukur, sabar dan sebagainya. Akhlak terhadap sesama manusia, antara lain meliputi akhlak terhadap Rasul, orang tua (ayah dan ibu), guru, tetangga dan masyarakat. 1) Akhlak terhadap Rasulullah, Akhlak karimah kepada Rasulullah adalah taat dan cinta kepadanya, mentaati Rasulullah berarti melaksanakan segala perintahnya dan menjauhi larangannya. Ini semua telah dituangkan dalam hadits (sunnah) beliau yang berwujud ucapan, perbuatan dan penetapannya. Dan sebagaimana firman Allah SWT:

Artinya: Barangsiapa yang menaati Rasul, sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (Q.S.an-Nisaa : 80)27 Akhlak terhadap orang tua (ayah dan ibu). Wajib bagi umat Islam untuk menghormati kedua orang tuanya, yaitu dengan berbakti, mentaati perintahnya dan berbuat baik kepada keluarganya, di antaranya : Pertama, berbicara dengan perkataan yang baik. Firman Allah SWT:

26 27

Ibid., hal. 526 Ibid., hal. 132

Zainudin, Pendidikan Akhlak Sebagai Tuntutan Masa Depan Anak

213

Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya berumur lanjut dalam pemeliharanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kaduanya perkataan ah dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. al-Isra : 23)28 Kedua, membantu orang tua (ayah dan ibu). 3) Akhlak terhadap guru. Akhlakul karimah kepada guru di antaranya dengan menghormatinya, berlaku sopan di hadapannya, mematuhi perintah-perintahnya, baik itu di hadapannya ataupun di belakangnya, karena guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang murid, yaitu yang memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya. 4) Akhlak terhadap tetangga dan masyarakat. Pentingnya akhlak tidak terbatas pada perorangan saja, tetapi penting untuk bertetangga, masyarakat, umat dan kemanusiaan seluruhnya. Di antaranya akhlak terhadap tetangga dan masyarakat adalah saling tolong menolong, saling menghormati, persaudaraan, pemurah, penyantun, menepati janji, berkata sopan dan berlaku adil. Allah SWT berfiman dalam Q.S.Al-Maaidah : 2 :

Artinya: Dan tolonglah menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah,sesungguhnya Allah amat berat siksanya. (Q.S. Al-Maaidah: 2)29 Yang dimaksud dengan lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tidak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Binatang, tumbuhan, dan benda-benda tidak bernyawa semuanya diciptakan oleh SWT., dan menjadi milik-Nya, serta semua memiliki ketergantungan kepadaNya. Keyakinan ini mengantarkan sang muslim untuk menyadari bahwa semuanya adalah umat Tuhan yang seharusnya diperlakukan secara wajar dan baik, seperti firman Allah SWT dalam Q.S. 6/Al-Anaam: 38:

28 29

Ibid., hal. 427 Depag RI, Al-Quran , hal. 157

214

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 223-234

Artinya: Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam Al Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.(Q.S. Al-Anaam : 38)30 Akhlak kepada alam adalah segala sesuatu yang ada dilangit dan dibumi beserta isinya, selain Allah, melalui al Quran Allah mewajibkan kepaa manusia untuk mengenal alam semesta beserta isinya. Manusia sebagai kholifah diberi kemampuan oleh Allah untuk mengelola bumi dan alam semesta ini. Manusia diturunkan ke bumi ini membawa rahmaat dan cinta kasih kepada alam seisinya. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban terhadap alam sekitarnya yakni dengan melestarikan, memelihara, dan memanfaatkannya dengan baik. Metode Pendidikan Akhlak Khatib Ahmad Santhut31 yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, membagi metode pendidikan moral/akhlak ke dalam 5 bagian, di antaranya adalah : Keteladanan Suritauladan merupakan metode terbaik dalam pendidikan akhlak, karena sifat manusia adalah menirukan apa yang meraka lihat, mereka dengar. Apalagi pada masa anak-anak, anak sangat peka sekali. Keteladanan selalu menuntut sikap yang konsisten serta kontinyu, baik dalam perbuatan maupun budi pekerti yang luhur. Dengan memberikan tuntunan Yang dimaksud di sini adalah dengan memberikan hukuman atas perbuatan anak atau perbuatan orang lain yang berlangsung di hadapannya, baik itu perbuatan terpuji atau tidak terpuji menurut pandangan al-Quran dan Sunnah. Dengan kisah-kisah sejarah Islam memperhatikan kecenderungan alami manusia untuk mendengarkan kisahkisah sejarah. Di antaranya adalah kisah-kisah para Nabi, seperti yang telah dikisahkan dalam al Quran dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah, dan baigama bias mengambil pelajaran orang yang durhaka terhadap risalah kenabian serta balasan yang ditimpakan kepada mereka. al-Quran telah banyak menggunakan kisah untuk segala aspek pendidikan termasuk juga pendidikan akhlak.

Ibid., hal. 192 Khatib Ahmad Santhut, Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, terj. Ibnu Burdah, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), hal. 85-95
31

30

Zainudin, Pendidikan Akhlak Sebagai Tuntutan Masa Depan Anak

215

Menanamkan rasa takut pada Allah Motivasi dan menanamkan rasa takut kepada Allah dengan jalan mejalankan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan segala larangannya, yang disandarkan pada keteladanan yang baik dan mendorong anak untuk menyerap dan mencontoh perbuatanperbuatan terpuji, bertingkah laku baik yang akhirnya akan menjadi suatu kebiasaan dan akhirnya akan menjadi perwatakannya. Memupuk Hati Nurani Pendidikan akhlak tidak dapat mencapai sasarannya tanpa disertai pemupukan hati nurani yang merupakan kekuatan dari dalam manusia, yang dapat menilai baik buruk suatu perbuatan. Bila hati nurani merasakan senang terhadap perbuatan tersebut, dia akan merespon dengan baik, bila hati nurani merasakan sakit dan menyesal terhadap suatu perbuatan, ia pun akan merespon dengan buruk. Menurut Ahmad D. Marimba, ada 3 metode dalam pendidikan akhlak, yaitu :32 a). Dengan pembiasaan, Tujuannya adalah agar cara-cara yang dilakukan dengan tepat, terutama membentuk aspek kejasmanian dari kepribadian atau memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan sesuatu. b). Dengan pembentukan pengertian, minat dan sikap. Dengan diberikan pengetahuan dan pengertian. c). Pembentukan kerohanian yang luhur. Penutup Sejarah telah membuktikannya bahwa, terjadinya suatu kerusakan, keserakahan, korupsi dan hal-hal yang merusakkan tatanan bermasyarakat, berbangsa ataupun bernegara, itu disebabkan karena lemahnya akhlakul karimah. Sebagai contoh sangatlah sulit sekarang ini mencari orang yang jujur, semua itu disebabkan karena kurangnya pendidikan akhlak terutama pada masa anak-anak. Pendidikan akhlak pada anak dikalahkan dengan pelajaran-pelajaran sains dan tehonogi melulu, banyak sekolah yang mengajarkan pendidikan agama hanya sebatas formalitas belaka, bahkan terlalu sulit mencari panutan, mencari tuntunan, mencari contoh untuk ditiru anak-anak. Mereka tidak berfikir bahwa apa yang terjadi dikemudia hari pada diri anak jika anak-anak tidak dibekali akhlak yang baik. Pendidikan Akhlak adalah suatu pembentukan sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu pemikiran dan pertimbangan.. DAFTAR PUSTAKA Al-Abrasyi, Muhammad Athiyyah, Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2003 Al-Ghazali, Imam., Ihya Ulumuddin Juz III, Beirut: Dar Ihya al-Kutub al-Ilmiyah, t.th. Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhla), terjemah. K.H. Farid Maruf, Jakarta: Bulan Bintang, 1975 Arifin, M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Maarif, 1989), hal. 76-81.

32

216

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 223-234

Departemen Agama Republiik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994 Djatnika, Rahmat, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), Jakarta : Balai Pustaka, 1994 Hambal, Al Imam Ahmad bin. Musnad Juz II, Beirut : Darul Kutub al Ilmiyah, t.th. Hasan, M. Ali, Tuntunan Akhlak, Jakarta : Bulan Bintang, 1988 Henry, Nelson B., Philosophies of Education, The United States of America : The University, 1962 Hurlock, Elizabeth B. Child Development, Kugllehisa, Mc. Grow Hill, 1978 Jalaluddin, Teologi Pendidikan,Jakarta ; PT. Raja Grafindo Persada, 2001 Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung : Al-Maarif, 1989 Mc. Donald, Frederic J., Educational Psychology, San Francisco, Wadsworth Publishing Company Inc., 1959 Muhammad Abul Quasem, Kamil, , Etika Al-Ghazali:Etika Majemuk di Dalam Islam, terj. J. Muhyidin, Bandung : Pustaka, 1975 Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997 Santhut, Khatib Ahmad, Daur al-Bait fi Tarbiyah ath-Thifl al-Muslim, terj. Ibnu Burdah, Menumbuhkan Sikap Sosial, Moral dan Spiritual Anak dalam Keluarga Muslim, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 1998 Thoha, Chabibet.al., Metodologi Pengajaran Agama, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999 Umari, Barnawy. Materi Akhlak, Sala : Ramadhani, 1984 Zuhairini, dkk., Metodologi Pendidikan Agama, Bandung : Ramadhani, 1993

PENDIDIKAN TINGGI DALAM ISLAM

Asrop Syafii STAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung asrop_stain@yahoo.co.id ABSTRACT The stagnant of Islam is started with the abolition of Khalifah system in governance and the division of kingdom as province by which it raised the spirit of raising independent nations. The nations then separate information and knowledge so that the syekh do not get full authority in developing scientific community or halaqoh. The reformation of Islam does not only function as a bridge from the tradition of Greece and new Islam but it develop knowledge by using different tradition among Muslim scholars. Kata Kunci: pendidikan tinggi Pendahuluan Kepastian tentang sejarah bangsa Arab sebagai penduduk gurun pasir hampir tidak dikenal orang, yang dapat diketahui dari sejarah mereka hanyalah yang dimulai dari sekitar lima puluh tahun sebelum Islam lahir. Alasan tentang tidak bisa diketahuinya sejarah tersebut perlu dipaparkan secara jelas dan sekaligus tentang asal-usul dari bahasa Arab yang kemudian ditetapkan sebagai bahasa Al-Quran. Penyebab tidak dapat ditemukannya sejarah tersebut antara lain adalah; disebabkan karena bangsa Arab penduduk padang pasir itu terdiri atas berbagai macam suku bangsa yang selalu berperang-perang. Peperangan-peperangan itu pada asal mulanya ditimbulkan oleh keinginan memelihara hidup, karena hanya siapa yang kuat sajalah yang berhak memiliki tempat-tempat yang berair dan padang-padang rumput tempat menggembalakan binatang ternak. Adapun si lemah, dia hanya berhak mati atau jadi budak.1 Pengembangan ajaran Islam menurut Stanton diawali dengan pengembangan ajaran Islam ke wilayah, penetapan bahasa Arab sebagai basa ilmu pengetahuan dan pengembangan pendidikan Islam yang dilakukan dengan mendatangkan guru/dosen tamu dari kalangan non muslim. Pada perkembangan berikutnya, pendidikan Islam mengalami transformasi yang cukup berarti. Selain dilaksanakan di rumah-rumah, pendidikan Islam juga dilaksanakan di kuttab dan masjid. Kuttab adalah tempat belajar yang terletak di rumah guru. Kuttab
1

http://members.tripod.com/~centrin21/sejarah.htm, diakses tanggal 2 Desember 2008

218

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 235-240

dipandang sebagai lembaga pendidikan dasar tertua yang pernah ada, dan dalam perkembangannya mengalami perluasan fungsi, tidak hanya untuk belajar tulis baca, melainkan juga untuk belajar semua hal yang berkaitan dengan al-Quran.2 Lembaga Formal Pendidikan Tinggi Dalam pemaparan ini kiranya perlu disampaikan tentang dasar dan alasan secara detail munculnya dikotomi ilmu pengetahuan dan pendidikan yaitu dikotomi antara Barat dan Timur serta kondisi wilayah yang terjadi saat itu. Sebagaimana yang dikemukakan berikut ini: Ada beberapa alasan mendasar mengapa legalisme fiqh ini terjadi dalam lembaga pendidikan Islam, menurut Azyumardi Azra hal ini dikarenakan; Pertama Adanya pandangan yang tinggi terhadap ilmu-ilmu keagamaan sebagai jalan untuk menuju Tuhan. Kedua lembaga-lembaga pendidikan Islam dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan (fuqaha) sehingga kelompok saintis tidak mendapatkan dukungan secara institusional, dan justru saintis merupakan tantangan bagi fuqaha. Ketiga, hampir seluruh lembaga pendidikan Islam didirikan dan dikembangkan oleh para penyandang dana, dermawan dan penguasa politik dari kelompok ahli ilmu agama yang termotivasi akan mendatangkan banyak pahala karena mempelajari ilmu-ilmu agama. Disamping itu adanya penekanan dari penguasa politik untuk menegakkan ortodoksi Sunni, baik karena alasan yang murni atau alasan politik yang lain.3 Namun dalam perkembangannya paparan Stanton sejalan dengan dengan penjelasan dari Azyumadi Azra bahwa; Pada perkembangan selanjutnya setelah masyarakat muslim mulai terbentuk, pendidikan diselenggarakan dalam bentuk formal, sehingga menjadi salah satu pilar dari peradaban Islam. Dalam hal ini pendidikan Islam bentuk formal ditandai oleh munculnya madrasah sebagai lembaga pendidikan dan sekaligus sebagai jalur pendidikan. Di dalam madrasah berlangsung proses komunikasi paedagogis antara pendidik dan peserta didik, yang darinya diharapkan mengarah kepada tercapainya tujuan instruksional.4 Pengaruh Hellenisme atas Pendidikan Tinggi Stanton juga memaparkan secara implisit tentang proses penghapusan dikotomi ilmu pengetahuan yang dilakukan dengan memaparkan proses penerjemahan referensireferensi kedalam bahasa Arab sebagai bahasa ilmu pengetahuan tetapi belum melakukan secara mendalam yang disertai alasan-alasan yang kokoh. Islam pada hakekatnya adalah religion of nature, segala bentuk dikotomi antara agama dengan saint harus dihindari. Alam penuh dengan tanda-tanda, pesan-pesan Ilahi yang menunjukkan kehadiran kesatuan sistem global. Semakin jauh ilmuwan mendalami saint, dia akan memperoleh wisdom berupa philosophic perennis yang dalam filsafat Islam disebut transendence. Iman tidak bertentangan dengan saint, karena iman adalah rasio dan rasio adalah alam. Konflik antara iman dengan saint
Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 7 3 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Moderniasasi menuju Millenium Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hal. 161 4 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. IV, (Bandung: Mizan, 1988), hal. 62
2

Asrop Syafii, Pendidikan Tinggi Dalam Islam

219

sesungguhnya hanya merupakan struggle antara dua kekuatan yang bertikai yakni kekuatan konservatif yang cenderung tertutup, memformalkan dan mendogmakan sesuatu dengan kekuatan progresif yang cenderung bersifat terbuka, mendeformalkan dan mendedogmakan.5 Perlu dipaparkan juga tentang kontribusi Islam dalam bidang ilmu pengetahuan kepada Barat, diantara konstribusi tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Mehdi Nakosteen sebagai berikut; Dari sinilah, maka kemudian Islam banyak memberikan konstribusi terhadap ilmu pengetahuan kepada dunia Barat, konstribusi tersebut antara lain sebagai berikut: (1) sepanjang abad ke 12 dan sebagian abad ke 13, karya-karya muslim dalam bidang filsafat, sais telah diterjemahkan kedalam bahasa Latin, khususnya dari Spanyol. Penerjemahan ini telah memperkaya kurikulum pendidikan dunia Barat, khususnya di Northwest Eropa; (2) muslim telah memberikan sumbangan eksperiental mengenai metode-metode dan teori-teori saint ke dunia Barat; (3) sistem notasi dan desimal Arab dikenalkan ke dunia Barat; (4) karya terjemahan dari Ibnu Sina dalam bidang kesehatan dipakai sebagai teks di lembaga pendidikan tinggi sampai pertengahan abad 17; (5) ilmuwan-ilmuwan muslim dengan karya-karyanya telah merangsang kebangkitan Eropa dan memperkaya kebudayaan Romawi kuno; (6) lembaga-lembaga pendidikan Islam yang telah didirikan jauh sebelum Eropa bangkit, dalam bentuk madrasah sebagai pendahulu berdirinya universitas di Eropa; (7) para ilmuwan muslim berhasil melestarikan pemikiran dan tradisi ilmiah Romawi-Persia sewaktu Eropa dalam kegelapan; (8) sarjana-sarjana Eropa belajar di berbagai lembaga pendidikan tinggi dunia Islam dan mentransfer ilmu pengetahuan ke dunia barat; (9) ilmuwan-ilmuwan muslim telah menyumbangkan pengetahuan tentang rumah sakit, sanitasi serta makanan ke Eropa.6 Masa Jaya Ilmu Pengetahuan Islam Perkembangan ilmu pengetahuan Islam hanya dipaparkan melalui hasil penterjemahan-penterjemahan terhadap manuskrip-menuskrip dan buku-buku ilmu pengatahuan dan penentuan kurikulum pada sebuah lembaga pendidikan, keberhasilan tersebut kemudian berakhir dengan sebuah kemunduran yang belum secara jelas dipaparkan yakni munculnya dikotomi ilmu pengetahuan dikalangan umat Islam. Semakin maraknya dikotomik dan tradisi taqlid di kalangan umat Islam, menurut Abdurrahman Masud sampai saat ini ada kesan umum bahwa Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran. Indikatornya adalah mayoritas umat Islam hidup di negara-negara dunia ketiga yang serba keterbelakangan ekonomi dan pendidikan. Kondisi ini diperparah dengan cara berfikir yang serba dikotomis seperti Islam versus non Islam, Timur versus Barat, ilmu agama versus ilmu non agama (Secular Sciences) dan bentuk-bentuk dikotomi lainnya. Paradigma ini dipengaruhi bahwa sains dan teknologi sebagai lambang peradaban dewasa ini tumbuh dan berkembang di dunia Barat yang notobene negara nonmuslim. Akibatnya, pemahaman penjajahan Barat atas Timur semakin menguat dan dominasinya telah menyisihkan umat Islam yang
Abdurrohman Masud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hal. 45 6 Mehdi Nakosteen, History of Islamic Origins of Westem Education, (Colorado: t.p., 1964), hal. 61
5

220

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 235-240

semakin terbelakang dalam bidang sains, teknologi modern, informasi, ekonomi dan kultur (inferior complex). Dikotomik ini bukan hanya muncul dari lembaga pendidikan Islam, tetapi telah menjangkiti seluruh lapisan Islam.7 Lembaga Informal Pendidikan Tinggi Karena adanya penekanan dan perlakuan yang tidak berimbang antara pendidikan agama dan pendidikan non agama, maka menjadikan lembaga informal untuk bangkit dan meningkatkan materi pengkajian dan tempat pelaksanaannya, baik di rumah pribadi, rumah bangsawan, maupun rumah penguasa, sehingga perkembangan ilmu sains lebih mendapat respon melalui pendidikan informal. Sebagai contoh, al-Kindi mendirikan sekolah informal (berawal dari halaqah) berbahasa Arab, yang mengajarkan filsafat, yang kemudian dikembangkan oleh al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Lalu alKhawarizm membuat laboratorium perbintangan, maraknya koleksi perpustakaan baik pribadi maupun di perguruan tinggi (masa al-Makmun) di Baith al-Hikmah, penerjemahan dan pencetakan manuscript ilmu pengetahuan baik sains maupun agama, dijadikannya rumah sakit dan klinik sebagai pusat kajian ilmu, menjadikan perkembangan ilmu pengetahuan umum/sains justru yang menyebarluaskan adalah dari pendidikan informal. sementara kurikulum pendidikan formal terbatas pada ilmu agama, fiqh dan madzhab, hal inilah yang menurut Stanton sebagai awal kemunduran umat Islam yang mengakibatkan terjadinya transmisi pendidikan tinggi ke Eropa. Sebenarnya intelektualisme Islam pada waktu suda sangat tinggi namun etos keilmuan itu justru diwariskan ke peradaban Barat.8 Transmisi Pendidikan Tinggi ke Eropa Abad Pertengahan Kemunculan Uniersitas Islam diawali oleh begitu menjamurnya lemaga pendidikan di Eropa, setidaknya ada tiga lembaga pendidikan Eropa yang memiliki andil besar yaitu; Lembaga Pendidikan Kedokteran ( Tibb) di Salirno, Lembaga pendidikan Hukum (Qanun) di Bologna dan Lebaga Pendidikan Ketuhanan (Lahut) di Paris.9 Disamping itu dapat dicermati pula bahwa faktor penyebab berdirinya universitas Islam adalah adanya faktor internal yaitu faktor normatif religius dan factor external historis kontektual yang terdiri dari aspek politik, ekonomi, kultural, dan aspek sosial.10 Pendidikan Islam pada Masa Klasik Pada masa ini Islam dianggap telah gagal menarik warisan kreatif miliknya secara berkelanjutan dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan. Kegagalan tersebut bertolak dari hasil penelitian tentang sejarah pada masa awal pendidikan Islam dengan temuan-temuan sebagai berikut; pertama, materi pendidikan yang terbatas pada halhal puncak dan belum kepada bagian bawah. Kedua, munculnya lembaga pendidikan tinggi tidak untuk kelanjutan pendidikan dasar tetapi untuk memenuhi dua kebutuhan masyarakat yaitu filsafat yang mengarah kepada keimanan dan ilmu pengetahuan
Abdurrahman Masud, Menggagas , hal. 65 Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina, 1997), hal.11 9 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleks Historis , (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), hal. 160 10 Abdullah Idi & Toto Suharto, Revitalisasi, hal. 37
8 7

Asrop Syafii, Pendidikan Tinggi Dalam Islam

221

yang berfungsi untuk memadukan wahyu dengan pengalaman keilmuan. Ketiga, pengangkatan mufti sebagai pengambilan keputusan hukum yang yang dibayar untuk mengeluarkan fatwa. Keempat, penghapusan aliran-aliran personal dan menetapkan hanya empat aliran yang diterima. Kelima, pelarangan pengakajian terhadap ilmu-ilmu asing dan penempatan studi humanistic dalam studi keagamaan serta Ilmu-ilmu alam dan sosial. Keenam, dibatasinya ruang gerak dan pengawasan yang ketat terhadap para ilmuwan untuk melakukan penelitian dan ujian untuk peningkatan ilmu-ilmu alam dan sosial. Ketujuh, hilangnya misi akademik yang berakibat hilangnya kreatifitas intelektual khususnya dalam bidang kerjasama untuk melanjutkan independensi dan pembaharuan struktur dan fungsinya sehingga ikatan-ikatan keorganisasian menjadi lemah. Kedelapan, tidak adanya organisasi masyarakat terdidik untuk menjaga kelangsungan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Kesembilan, memudarnya semangat intelektual bersamaan dengan datangnya kekuatan pasukan penjajah dari timur yang tidak memiliki tradisi pendidikan dantidak menghargai usaha-usaha intelektual.11 Kesimpulan Islam telah kehilangan misi akademik untuk mempelajari ilmu pengetahuan pada semua bidang studi dan keilmuan, karena cenderung mempertahankan status quo ajaran agama Islam, tertutupnya kesempatan mengadakan penelitian untuk peningkatan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Sementara di Barat misi akademi berkembang dengan dukungan para profesor dan ilmuwan bersama-sama dengan masyarakat penyumbang dana dalam satu komitmen bersama dan mengembangkan seluruh kajian disiplin ilmu. Inilah yang menurut Stanton menjadi penyebab titik kemandulan pendidikan Islam. Titik kemandulan Islam tersebut dimulai dengan penghapusan kholifah dan pemilahan-milahan kerajaan kedalam provinsi sehingga munculnya semangat nasionalisme untuk mendirikan Negara-negara sendiri yang akhirnya dapat memisahkan keleluasaan informasi dan pengetahuan, syekh tidak lagi bisa berpindah-pindah untuk membangun halaqoh. Masuknya bahasa arab sebagai bahasa dialektika masyarakat pada wilayah-wilayah kekuasaan Islam yang dapat menciptakan sekat-sekat dalam bidang bahasa, sehingga mempersulit komunikasi. Namun demikian, Islam tidak hanya sekedar sebagai jembatan penghubung terhadap warisan keilmuan pada masa lalu dari bangsa Yunani, tetapi lebih dari itu, Islam telah berusaha mengembangkan pengetahuan itu sebelum berpindah ke angkatanangkatan ilmuwan baru dari tradisi yang berbeda dengan metodologi pengajaran yang digunakan dalam lembaga pendidikan. Dengan demikian metodologi-metodologi pengajaran Islam-lah yang mendorong kelahiran universitas-universitas di Barat sebagai asal-usul pendidikan di Barat pada abad pertengahan.

11

Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan hal. 162

222

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 235-240

DAFTAR RUJUKAN Al Abrosyi, M. Athiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam, alih bahasa Bustami A. Ghani dan Djohar Bahry, Jakarta, Bulan Bintang, 1993. Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Cet. IV, Bandung, Mizan, 1988. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Moderniasasi menuju Millenium Baru, Jakarta, Logos, 1999. Fahmi, Asma Hasan, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam, alihbahasa Ibrahim Husein, Jakarta, Bulan Bintang, 1979. http://members.tripod.com/~centrin21/sejarah.htm, Sejarah Bangsa Arab. Idi, Abdullah & Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam , Tiara Wacana, Yogyakarta, 2006. Ismail, Faisal, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleks Historis , Yogyakarta, Titian Ilahi Press, 1996. Madjid, Nurcholis, Kaki Langit Peradaban Islam, Jakarta, Paramadina, 1997. Masud, Abdurrohman, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Gama Media, Yogyakarta, 2002. Nakosteen, Mehdi, History of Islamic Origins of Westem Education, (Terj.) Colorado, 1964.

HAKIKAT MANUSIA DAN POTENSI RUHANINYA DALAM PENDIDIKAN ISLAM : SEBUAH KAJIAN ONTOLOGY

Abd. Aziz STAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung aziz_suci72@yahoo.co.id ABSTRACT Human being is actually a combination of some inseparable parts such as body and mind. If one of the parts is missing, such creature is not a human being anymore. To reach a comprehensive human being or it also called as insan kamil, an education is a must. Through education, the balanced role between body and mind can be attained. Kata Kunci: manusia, potensi ruhani, pendidikan Islam Pendahuluan Dalam diskursus pendidikan Islam, pemahaman terhadap eksistensi manusia sebagai subyek sekaligus obyek pendidikan harus dapat terpahami secara tepat, sebab kalau pemahamannya salah akan mengakibatkan kurang tepatnya operasinal pendidikkan. Penyimpangan pendidikan seperti adanya perlakuan yang salah terahadap anak didik, tidak terlepas dari kesalahpahaman dalam memandang hakikat ontologis manusia yang akan dididik. Hakikat manusia menurut Islam adalah wujud yang diciptakan, dengan penciptaan manusia ini, manusia telah diberi oleh penciptaNya (Allah) potensi-potensi untuk hidup yang dalam hal ini berbubungan dangan konsep fitrah manusia. Fitrah adalah potensi manusia yang dapat digunakan untuk hidup didunia. Dengan potensi-potensi itu manusia akan mampu mengantisipasi semua problem kehidupan yang banyak. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung pada kebenaran hanif, sedangkan pelengkapnya adalah dhamir (hati nurani) sebagai pancaran keinginan kepada kebaikan, kesucian, dan kebenaran. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan marifatullah. Syaiyid Quthub memberikan makna fitrah dengan memadukan dua pendapat, yaitu bahwa fitrah merupakanl jiwa kemanusiaan yang perlu dilengkapi dengan tabiat beragama, antara fitrah kejiwaan manusia dan tabiat beragama rnerupakan relasi yang utuh, rnengingat keduanya ciptaan Allah pada diri manusia sebagai potensi dasar manusia yang rnemberikan hikmah (wisdom), mengubah diri kearah yang lebih baik,

224

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 241-251

mengobati jiwa yang sakit, dan meluruskan diri dari rasa keberpalingan.1 Dapat difahami bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada tumbuhnya daya kemampuan manusia untuk bertahan hidup maupun memperbaiki hidup. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai kemampuan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalarn program pendidikan. Pendidik dituntut untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasar peserta didik, serta kecenderugan - kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang tersedia. Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidak-tidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut. Bagi teori Lorenz yang membangun pembawaan agresi manusia sejak lahir, perhatian pendidikan diarahkan untuk rnencapai obyek--obyek pengganti dan prosedur-prosedur sublimasi yang akan membantu menghilangkan sifatsifat agresi ini, jelasnya, seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya untuk menjauhkan timbulnya pelajaran yang dapat menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik. Konsep fitrah ini tidak terkecuali bagi pendidik muslim untuk berikhtiar menanamkan tingkah laku yang sebaik-baiknya, karena fitrah itu tidak dapat berkembang dengan sendirinya. Konsep fitrah memiliki tuntutan agar pendidikan Islam diarahkan untuk bertumpu pada al-tauhid. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat hubungan yang mengikat manusia dengan Allah SWT. Apa saja yang dipelajari anak didik seharusnya tidak bertentanganprinsip-tauhid.KepercayaanmanusiaakanadanyaAllahmelaluifitrahnya tidak dapat disamakan dengan teori yang memndang bahwa monoteisme sebagai suatu tingkat kepercayaan agama yang tinggi. Al-tauhid merupakan inti dari sernua ajaran yang dianugerahkan Allah kepada manusia, munculnya kepercayaan tentang banyaknya Tuhan yang rnendominasi manusia hanya ketika at-tauhid telah dilupakan. Konsep altauhid inilah yang rnenekankan keagungan Allah yang harus dipatuhi dan diperhatikan dalam kurikulum pendidikan Islam. Potensi Ruhani Manusia Berkali-kali Allah Swt. mengingatkan kepada manusia agar mengenal diri sendiri karena dengan mengenal dirinya manusia dapat mengetahui subtansinya. pengetahuan subtansi manusia dapat dilihat dari potensi Ruhaninya, yang terdiri dari empat unsur pokok, yaitu Ruh, Qolb, Aqlu, dan Nafsu.2 Keempat unsur Ruhani itulah yang dapat menentukan substansi manusia. Pertama, ruh. Ruh adalah nyawa atau sumber hidup. Bangsa mesir purba memandang ruh sebagai inti kepercayaan. Orang Israel melihat manusia sebagai jalinan badan dan ruh, setelah meninggal badan kembali ke tanah sedangkan ruh kembali ke Tuhan untuk memperoleh balasan. Agama zoroaster aliran upanisad wedanta menyatakan bahwa ruh manusia merupakan pancaran dari ruh semesta, setelah manusia lepas dari reingkarnasi, ruh tersebut bersatu kembali dengan Tuhan. Sebaliknya, bealiran upnisad samkhnya memandang adanya dua unsur asal manusia, yaitu ruh dan zat, seirama ruh itu ditawan oleh dzat, selama itu pula ada
1 2

Saiyid Quthub, Tafsir Fi Dlilalil Quran, (Libanon : Darul Ahya, t.t.), hal. 453 Barmawie Umary, Materi Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1989), hal. 21

Abd. Aziz, Hakikat Manusia dan Potensi Ruhaninya Dalam Pendidikan Islam :...

225

kelahiran, dan bila terjadi perpisahan antara keduanya akan menyebabkan kematian. Aliran filsafat serba dzat memnganggap ruh itu pancaran dari dzat, sedang aliran filsafat serba ruh menganggap bahwa ruhlah yang hakikat, sedangkan dzat merupakan pancaran laka. Bagi Aliran Filsafat serba dua seperti filsafat Stoa, Aristoteles, berpendapat bahwa ruh dan dzat adalah hakikat.3 Dalam Alquran, istilah ruh sering disebutkan, tetapi mempunyai makna-makna yang berbeda. Adakalanya ruh sebagai pemberian hidup dari Allah kepada manusia adakalanya penciptaan terhadap nabi Isa, ruh menun,jukkan Al-quran, juga menunjukkan wahyu dan malaikat yang membawanya. Semua pengertian tersebut tidak satupun menjukkan badan atau badan ruh, sehingga menunjukkan bahwa ruh berbeda dengan Nafs.4 Setinggi apa pun ilmu seseorang, ia tidak mungkin menernukan hakikat ruh, karena ruh bagian dari misteri Ilahi dan manusia tidak mempunyai pengetahuan penuh untuk memahaminya. Kedua, hakikat qalb (Hati). Al-quran termasuk rahasia manusia, yang merupakan anugerah Allah SWT yang paling mulia. Hal ini karena dengan qalb ini, manusia mampu beraktivitas sesuai dengan hal-hal yang dititahkan oleh Allah. qalb berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cenderung pada kebaikan. Sentral aktivitas manusia bukan ditentukan oleh badan yang sehat sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan para ahli biologi. Al-qalb mempunyai nama-nama lain yang disesuaikan dengan aktivitasnya, ia dapat dikatakan sebagai dhomir karena sifatnya yang tersembunyi, Fuad karena sebagai tumpuan tanggung jawab manusia, karena berbentuk benda, luthfu kerena sebagai sumber perasan halus, qalb karena suka berubah-ubah kehendaknya, serta sirr karena bertempat pada tempat yang rahasia dan sebagai muara bagi rahasia manusia.5 Al-qalb merupakan pusat penalaran, pemikiran dan kehendak, yang berfungsi untuk berfikir (Q.S. 22:46), memahami sesuatu. Al-qalb dapat dikategorikan intuisi atau pandangan yang dalam, yang mempunyai rasa keindahan, dan kehidupannya dari -sinar mentari yang membawa manusia pada kebenaran, dan sebagai alat untuk mengenal kebenaran ketika pengindraan tidak memainkan peranannya.6 Qalb manusia dapat mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika Tuhan telah melimpahkan cahayanya kepada qalb, manusia dapat mengetahui segala sesuatu yang gaib. Dengan qolb pula, manusia dapat mengenal sifat-sifat Allah,7 yang nantinya ditransfer dan diinternalisasi pada kehidupan manusia sehari-hari. Qalb sebagai wadah fitrah yang sehat (Q.S. 26:89) dapat memperingatkan serta memberi pemahaman, dan petunjuk untuk semua manusia (Q.S.50:37, 64:11, 5:41, 49:7). Disamping itu, qalb sebagai alat menerima keimanan yang menimbilkan pahala dan dosa (Q.S.2:283, 15:12), ia tumpuan segala perasaan (emosi) manusia (Q.S. 2 ;74,3 ; 151,156,57;27). Dengan demikian,
3 4

Sisi Gazalba, Sistematika Filsafat Buku III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hal. 272 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988),

hal. 272 Umar Barmawie, Materi, hal. 21 Sir Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Relegion Thought In Islam, ( New Dehi: Labqri Fine Art Press,1481), hal. 15-16 7 Musthafa Zahri, Kunci Memahami ilmu Tasawwuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1976), hal. 121.
6 5

226

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 241-251

Qalb lebih khusus dibandingkan dengan nafs (jiwa), yang tidak menunjukkarn motivasi naluriah tetapi khusus mengenai aspek yang sadar saja.8 Ketiga, Hakikat akal. Aliran rasionalis memprioritaskan akal sebagai tumpuan dalam baik-buruk, benar-salah. Sebaliknya, aliran mistisisme sama sekali menafikan fungsi akal manusia. Akal bukanlah rasio, dan rasio bukanlah akal. Akal merupakan jalinan antara rasa dan rasio, yang mampu menerima segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra, dan sesuatu diluar pengalaman empiris. Dalam akal terdapat rasa yang menimbulkan rasa percaya. Tidak semua sesuatu yang masuk akal itu dinamakan rasional, karena dalam rasio tidak terdapat unsur rasa, rasio hanya dapat menangkap sesuatu yang indrawi, sedang akal lebih dari itu.9 Dalam pandangan AlGhozali, akal mernpunyai empat pengertian, yaitu : (1) sebutan yang membedakan manusia dengan hewan; (2) ilmu yang lahir disaat telah mencapai usia akil baligh,sehingga dapat mengetahui perbuatan yang baik dan yang selanjutnya diamalkan, dan perbuatan yang buruk yang selanjutnya ditinggalkan; (3) ilmu-ilmu yang didapat dari pengalaman, sehingga dapat dikatakan siapa yang banyak pengalaman maka ia orang yang berakal; dan (4) kekuatan yang dapat menghentikan dorongan naluriah untuk menerawang jauh ke angkasa, mengekang, dan menundukkan syahwat yang selalu menginginkan kenikmatan.10 Dengan kata lain, akal manusia terbagi atas dua macam, yaitu (1) akal yang berarti pengetahuan tentang hakikat segala keadaan. Oleh karena itu, akal ini beribarat sifat ilmu yang tempatnya di dalam qalb; dan (2) akal yang berarti menangkap dan mendapatkan segala ilmu yang merupakan potensi Ruhaniah.11 Akal berfungsi untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan yang kita hadapi dan mencari jalan yang efesien untuk menemukan maksud-maksud kita.12 Bahkan Plato (427-347 SM) menempatkan akal sebagai kompas manusia dalam memahami dunia ini, sedangkan Aristoteles memandang akal sebagai keaktifan untuk tumbuh dan pembiakan (Vegetatif), bergerak (animal), dan berfikir (tingkat tertinggi).13 John Dawey (1859-1952), penganut aliran prakmatis, menempatkan akal sebagai alat manusia untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam sekitarnya, dan alat yang bertugas untuk berfikir.14 Bagi manusia, akal dapat menghasilkan berbagai ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia, menetukan manusia dalam usahanya mencari jalan yang benar dan yang buruk, dan memberikan kepuasan dalam memecahkan persoalan-persoalan hidup, serta membentuk disiplintenaga- tenaga kepribadian yang lebih rendah (tenaga jasmaniah, rasa dan karsa). Sebaliknya akal juga memiliki sifat yang negatif, dan dapat mengusahakan untuk mencari jalan kearah
Hasan Langgulung, Azaz-Azaz , hal. 272 Anharudin, dalam, Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam, (Bandung: Gema Risalah Press, 1987) 10 Ali Gharisyah, Metode Pemikiran Pemikiran Islam, (Bandung: Gema Insani Press, t.t.), hal. 18-19 11 Amien Noersyam,Keajaiban Hati, ( Gresik : Bintang Palajar, t.t.), hal. 8 12 Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafdt Pendidikan Islam, (Bandung: A1-Maarif, 1989), hal. iii 13 Said.M, Mendidik Dari Zaman ke Zaman, (Jakarta: Dian Rakyat, 1963), hal. 97-101. 14 Ibid
9 8

Abd. Aziz, Hakikat Manusia dan Potensi Ruhaninya Dalam Pendidikan Islam :...

227

perbuatan yang sesat, mencari-cari alasan untuk membenarkan perbuatannya yang sesat (rasionalisasi), serta menghasilkan kecongkakan dalam diri manusia, karena dapat mengetahui segala-galanya. Bahkan, Abduh memberikan posisi akal sebagai kekuatan yang tertinggi yang mampu meneliti alam realitas dan alam abstrak yang pada akhirnya memperoleh konklusi bahwa segala yang ada pasti ada yang mengadakan, yakni Tuhan. Keempat, hakikat nafsu. S. Freud seorang ahli psikologi menyatakan bahwa manusia rnemiliki tiga kehendak, yaitu Id, Superego dan Ego. Id merupakan naluri primitif yang terletak dibagian bawah sadar dari kepribadiaan: Id ini paling besar pengaruhnya dalam kepribadian, kerjanya tidak rasional, tetapi bersifat impulsif, dan mendorong expresi clan gravitasi. Superego merupakan tempat penyimpanan nilainilai luhur yang dimiliki oleh seseorang, termasuk moral dan sikap yang ditanamkan melalui sosialisasi dan masyarakat, dan Ego adalah bagian yang berperan sebagai arbitrator atau pengendali konflik antara Id dan Superego. Kendatipun ketiga aspek itumempunyaifungsi,prinsipkerja,sifatdandinamikasendiri--sendiri,ketiganya berhubungan erat sehingga sulit dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, ketiga aspek tersebut yang paling banyak mempergunakan energi psikis itu juga berpengaruh terhadap tingkah laku yang dilakukan seseorang. Pengaruh tersebut yaitu: l) apabila rasa Id-nya menguasai sebagian besar energi psikis itu, tindakan-tindakannya akan bersifat primitif, impulsif, dan agresif dan dia akan mengumbar dorongan dorongan primitifnya; 2) apabila rasa Ego-nya menguasai sebagian besar teori energi psikis, pribadi akan bertindak dalam cara-cara yang realitis dan rasional-logis; dan 3) apabila rasa super egonya menguasai sebagian besar energi psikis perbuatan manusia menjalar pada hal-hal yang bersifat meralitas, mengejar hal-hal yang sempurna yang kadang-kadang kurang rasional.15 Manusia Sebagai Kholifatullah Kehidupan manusia didunia adalah sebagai wakil Allah SWT (Q.S. 2: 30,38: 26), sebagai pengganti dan penerus person(species) yang mendahuluinya (Q.5 :169). pewaris-pewaris dimuka bumi(Q.S. 27:62). Disamping itu, manusia adalah pemikul amanah yang semula ditawarkan pada langit, bumi, dan gunung, yang semunya enggan menerimanya, namun dengan ketololanya manusia mau menerima amanah itu(Q.S. 33:72), serta menjadi pemimpin atas diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. (H.R. bukhori-Muslim dari Ibnu Umar) Semuaanya itu merupakan atribut dari fungsi manusia sebagaiKholifah allah di muka bumi. Secara universal bahwa tujuan hidup manusia adalah memperoleh kebahagiaan dunia dan akherat. Kebagiaan itu sendiri sangat relatif sehingga masing-masing orang akan berbeda dalam memaknai arti bahagia itu sendiri. Ada yang menilai kekayaan harta benda sebagai sumber kebahagiaan hidup, kemudian yang lain menitikberatkan pada keindahan, pengetahuan, kesusilaan, kekuasaan, budi pekerti, keshalehan hidup, keagamaan dan sebagainya. Masing-masing orang, setelah merenungkan serta menilai hidupnya berdasarkan aneka ragam pengalaman yang telah dilalui serta pengetahuan yang diperoleh dari orang lain atau bangsa lain, ternyata mempunyai pandangan yang berbeda, dimana pandangan hidup itu dijadikan dasar guna mencapai tujuan hidupnya yaitu untuk mendapatkan kebahagiaan dalam hidupnya.

15

Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali, 1989), hal. 54

228

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 241-251

Dalam keberagaman pandangan hidup yang berbeda itu, maka oleh ahli pikir disusun secara sistematis lalu timbullah falsafah hidup manusia, yang didalamnya terdapat pokok bahasan, misalnya; dari mana asalnya hidup, siapa pemberi hidup, apa tujuan hidup, apa yang akan aterjadi sesudah mati, apakah hidup bahagia itu? dan sebagainya.16 Para ahli filsafat sependapat tentang tujuan akhir yang diinginkan oleh manusia itu, yaitu kebahagiaan, setiap manusia ingin bahagia. Untuk mencapai kebahagiaan itu bermacam-macam jalan yang ingin ditempuh oleh manusia dengan melalui tujuan-tujuan sementaranya masing-masing, setiap manusia ingin baik. Tujuan sementaranyapun harus merupakan kebaikan-kebaikan. Dan tujuan terakhir itulah yang disebut Summum Bonum. Dan summum bonum itulah kebahagiaan yang tertinggi yang ingin dicapai manusia.17 Karena anggapan tentang baik ini bermacam-macam interpretasi dan perkiraan masing-masing, maka terjadilah bermacam-macam usaha perbuatan yang dilakukannya, yang berbeda-beda. Dalam usaha dan perbuatan yang bermacam-macam dan berbeda-beda ini ada yang sejalan menuju tujuan akhir tetapi ada pula yang tidak sejalan. Artinya, sejalan dengan arah tujuan akhir akan sampai pada tujuan akhir itu, yaitu jalan-jalan yang merupakan kebaikan-kebaikan yang sebenarnya yang tidak bertentangan dengan tujuan akhir itu, yang mungkin dianggapnya merupakan kebaikan sebenarnya, yaitu kebaikan yang bersifat fatamorgana yakni kebaikan yang palsu. Kebahagiaan/kebaikan yang palsu ini akan mengakibatkan penderitaan, baik bagi dirinya ataupun pada yang lainnya baik langsung maupun tidak langsung. Namun, sesungguhnya tugas utama manusia itu sendiri adalah bukan mencari sebuah kebahagiaan, yang secara tidak langsung manusia hanya menjalankan fungsi haknya dibandingkan dengan menjalankan fungsi kewajibannya. Karena kalau kita ingat bahwa manusia disamping mempunyai status sebagai makhluk dan bagian dari alam, ia juga mempunyai tugas sebagai khalifah/penguasa di muka bumi ini. Dengan pengertian, bahwa manusia itu dibebani tanggung jawab dan anugerah kekuasaan untuk mengatur dan membangun dunia ini dalam berbagai segi kehidupan, dan sekaligus menjadi saksi dan bukti atas kekuasaan Allah SWT di alam jagat raya ini. Tugas kekhalifahan ini bagi manusia adalah merupakan tugas suci, karena merupakan amanah dari Allah SWT, maka menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi merupakan pengabdian (ibadah) kepada-Nya. Bagi mereka yang beriman akan menyadari statusnya sebagai khalifah (penguasa) di bumi, serta mengetahui batas kekuasaan yang dilimpahkan kepadanya. Adapun tugas kekhalifahan yang dibebankan kepada manusia itu banyak sekali, tetapi dapat disimpulkan dalam tiga bagian pokok sebagaimana yang ditulis oleh Abu Bakar Muhammad, yaitu : (1) tugas kekhalifahan terhadap diri sendiri meliputi menuntut ilmu yang berguna dan menghiasi diri dengan akhlak yang mulia; (2) tugas kekhalifahan dalam keluarga/rumah tangga dengan jalan membentuk rumah tangga bahagia, menyadari dan melaksanakan tugas dan kewajiban rumah tangga sebagai suami isteri dan orang tua; dan (3) tugas kekhalifahan dalam masyarakat, dengan mewujudkan persatuan dan kesatuan, menegakkan kebenaran dan keadilan sosial, bertanggung jawab
Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1984), hal. 7 Rachmat Djatmiko, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka Islam, 1985), hal. 65
17 16

Abd. Aziz, Hakikat Manusia dan Potensi Ruhaninya Dalam Pendidikan Islam :...

229

dalam amar maruf dan nahi munkar dan menyantuni golongan masyarakat yang lemah.18 Demi melaksanakan tugas-tugas tersebut, Allah SWT telah menurunkan wahyu yang disampaikan melalui rasul-Nya yaitu syariat Islam sebagai pedoman bagi manusia dan Allah SWT juga memberikan kelengkapan yang sempurna kepada manusia sehingga ia bisa dan mampu melaksanakan tugas kekhalifahan tersebut dan akhirnya ia akan mampu mempertanggungjawabkan tugas-tugas wewenang yang dikuasakan kepadanya. Penciptaan manusia sebagai mahluk yang tertinggi sesuai dengan maksud dan tujuan terciptanya manusia untuk menjadi kholifah. secara harfiah, Khalifah berarti yang mengikuti dari belakang. jadi, manusia adalah wakil atau pengganti di bumi dengan tugas menjalankan mandat yang diberikan oleh Allah kepadanya, membangun dunia ini sebaik-baiknya. (Q.S. 2:30,6:165) sebagai Khalifah, manusia akan dimintai pertanggung jawabannya atas tugas dalam menjalankan mandat Allah itu (Q.S. 10:14). Adapun mandat yang dimaksud adalah: 1) patuh dan tunduk sepenuhnya pada titah Allah SWT serta menjahul larangan-Nya; 2) bertanggungjawab atas kenyataan dan kehidupan di dunia sebagai pengemban amanah Allah; 3) berbekal diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, hidayah agama, dan kitab suci; 4) menerjemahkan segala sifat-sifat Allah SWT pada perilaku kehidupan sehari dalarn batas-batas kemanusiannya (kemampuan manusia), atau melaksanakan sunah-sunah yang diridhai-Nya terhadap alarn semesta; dan 5) membentuk masyarakat Islam yang ideal yang disebut dengan ummah, yaitu suatu masyaraksat yang sejumlah perseorangannya mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama. Tujuan tersebut adalah menghimpun diri secara harmonis dengan rnaksud untuk bergerak ke arah tujuan bersama, serta membentuk manusia theomorphis yaitu pribadinya terhadap Ruh Allah yang telah menaklukkan belahan dirinya yang berkaitan dengan Iblis sehingga ia bebas dari rasa bimbang.19 Implikasi dalam pendidikan Islam berkaitan dengan fungsi manusia sebagai khalifatullah adalah ; (a) memberikan kontribusi antar person dan antar umat untuk hidup saling mengisi dan melengkapi kekurangan masing-masing; (b) menjadikan alam sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan obyek pendidikan, alat pendidikan, serta media pendidikan; (c) melatih manusia menjadi manajer dan pemimimpin yang berkompetensi tinggi dengan kemampuan yang profisional dalam mengelola dan memanfaatkan alam dan isinya sebagai sarana untuk mengabdi kepada Allah SWT; (d) melatih sikap dan jiwa manusia. Apakah ia pantas diberi amanah, serta apakah ia mampu memikul amanah tersebut, dan sejauh mana ia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan amanat itu; dan (e) membentuk manusia seutuhnya, yaitu manusia yang mampu mentransfer dan mengiternalisasikan sifat-sifat Allah yang tertuang dalam asmaul husna, sehingga segala aktivitas yang dilakukan manusia mencerminkan citra manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Manusia sebagai Pewaris Para Nabi Kehadiran Nabi Muhammad SAW. di bumi, pada hakikatnya mengemban misi sebagai Rahmatal lil alamin (Q.S. 21:107) yakni suatu misi yang membawa clan
Abu Bakar Muhammad, Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya Menurut AlQuran, (Surabaya: Al-Ikhlas, t.t.), hal. 203 19 Ali Syariati, Sosiologi Islam, (Yogyakarta : Ananda, 1989), hal. 159
18

230

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 241-251

mengajak manusia dan seluruh sekalian alam untuk tunduk dan taat pada syariatsyariat dan hukum-hukum Allah SWT. guna kesejahteraan perdamaiaan, dan keselamatan dunia akhirat. Kemudian misi itu disempurnakan dengan pembentukan pribadi yang Islami, yaitu kepribadiaan yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal shaleh, serta bermoral tinggi dengan berpijak pada tiga kekuatan Ruhani pokok yang berkembang pada pusat kemanusiaan manusia (antropologis centra) yaitu: pertama, individualitas, yakni kemampuan mengembangkan diri pribadi sebagai makhluk pribadi; kedua, moralitas, yakni kemampuan mengembangkan diri selaku anggota masyarakat berdasarkan rnoralitas (nilai-nilai moral dan agama); dan ketiga, sosialitas, yakni kemampuan mengernbangkan diri selaku anggota masyarakat. Di samping itu, misi tersebut berpijak pada trilogi hubungan manusia, yaitu: (1) hubungan dengan Tuhan, karena manusia sebagai rnakhluk ciptaan-Nya; (2) hubungan pada masyarakat karena manusia sebagai anggota masyarakat; dan (3) hubungan dengan alam sekitarnya, karena manusia selaku pengelola pengatur, serta pemanfaatan kegunaan alam. Dalam konteks pendidikan Islam, ibadah mempunyai dampak positif terhadap perkembangan anak didik misalnya: (a) mendidik untuk berkesadaran berfikir, melalui adanya planning (niat) yang ikhlas, serta ketaatan sesuai dengan cara ddan bentuk yang dilakukan Rasulaulah SAW, (b) mendidik untuk melaksanakan ukhuwah Islamiah melalui shalat berjamaah, ibadah haji. Dengan melakukan kewajiban itu manusia akan memperoleh rasa persamaan, persatuan, solidaritas, dsb, (c) menanamkan rasa kemuliaan dalam diri manusia, karena dengan ibadah, manusia akan semakin dekat dengan Tuhannya, serta dapat menghindarkan dari sifat yang tercela (Q.S. 29:45); (d) mendidik manusia untuk berserah diri kepada Tuhannya; (e) mendidik pada sifat-sifat utama; (f) membekali manusia dengan kekuatan dorongan Ruhani yang bersumber dari kepercayaan diri dari keimanan dan peribadatannya; (g) memberikan suasana baru bagi anak didik dengan cara bertobat sehingga bersih dari noda dan dosa;20 (h) melatih kosentrasi yang utuh, menuju tujuan yang diinginkan; (i) memberi stimulasi dan motivasi ketika terjadi kegagalan dalam meraih suatu cita-cita, dan menghindarkan diri dari rasa kencokakan ketika meraih prestasi. Dengan demikian, jiwa manusia menjadi stabil, tidak mudah prustasi dan tidak mudah merasa puas terhadap semua yang diperoleh; (j) membina jiwa, penyucian terhadap potensi Ruhani, penguat daya intelek, dan memberi kekuatan baru dalam jasmani; (k) mendidik manusia yang bersifat Ruhani, meliputi pendidikan akhlak, intelektual, dan jasmani.21 Selanjutnya fungsi manusia sebagai warosatul anbiya berimplikasikan dalam proses pendidikan Islam sebagai berikut: (1) setiap manusia mempunyai kesadaran belajar dan rnengajar karena belajar dan mengajar merupakan kebutuhan pokok manusia; (2) prases belajar-mengajar bertumpu pada jiwa at-tauhid yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, dan di topang oleh misi kerasulan Nabi Muhammad SAW; (3) proses pendidikan Islam berorientasi pada multi kebutuhan manusia, mencakup

Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibuha, (Beirut: Darul Fikr, 1979), hal. 51-55 21 Abdul Rosyid Abdul Aziz Salim, At-Tarbiyah Islamiyah Wa Thuruqu Tadrisiha, (Kuwait: Darul Bunuts Ilmiah, 1975), hal. 119

20

Abd. Aziz, Hakikat Manusia dan Potensi Ruhaninya Dalam Pendidikan Islam :...

231

kebutuhan primer,kebutuhan sekunder, dan kebutuhan pelengkap; (4) proses pendidikan bermula dari pelatihan akhlak mulia dengan memberi uswatun hasanah kemudian dilamjutkan dengan pengernbangan daya nalar dan intelek,serta ketrampilan yang dapat mendukung rnasa depan anak didik; (5) mempersiapkan anak didik menuju masa depan yang lebih cerah; dan (6) pendidikan diberikan dengan berbagai teknik-strategi yang penuh hikmah, sehingga dengan sendirinya anak didik terpengaruh dengan misi amar maruf nahi mungkar. Dengan berdasar kepada eksistensi manusia yang diletakkan pada posisi sentral irri, maka perrdidikan Islam harus tidak meninggalkan konsep fitrah manusia yang memiliki potensi-potensi Ruhani yang telah penulis jelaskan diatas. Dengan konsep fitrah, Islam mempunyai landasan tersendiri dalam bidang pendidikan. Konsep fitrah tersebut senantiasa akan rnenjadi ketentuan normatif dalam rnengembangkan kualitas manusia melalui pendidikan. Salah satu perbedaan yang fundamental pendidikan Islam, dibandingkan dengan konsep pendidikan yang lainnya terletak pada pandangan dasar kernanusiaan. Dalarn konteks makro pendidikan, pandangan kemanusiaan Islam mengandung setidaknya tiga implikasi mendasar yaitu: Pertama, implikasi yang berkaitan dengan visi atau orientasi pendidikan dimasa depan. Berdasarkan konsep fitrah, pendidikan menurut pandangan Islam adalah pendidikan yang diarahkan pada upaya optimalisasi potensi dasar manusia secara keseluruhan. Pendidikan tidak semata-mata diarahkan pada upaya penumbuhan dan pengembangan manusia secara fisiologis yang lehih menekankan pada upaya pengayaan secara material. Juga tidak hanya diarahkan pada upaya perrgayaan aspek mentalspiritual. Pendidikan yang hanya nrementingkan satu aspek tersebut, tidak akan mengantarkan manusia pada corak personalitas yang utuh. Kedua, implikasi yang berkaitan dengan tujuan (ultimate goal) pendidikan, adalah, tujuan pendidikan Islam di masa depan harus diarahkan kepada pencapaian pertumbuhan kepribadian manusia muslim sejati. Ketiga, implikasi yang berkaitan dengan muatan materi dan metodologi pendidikan. Karena rnanusia diakui mempunyai banyak potensi dasar yang terangkum dalam potensi fitrah, maka muatan materi pendidikan harus yang dapat melingkupi seluruh potensi manusia. Materi yang dipentingkan adalah materi yang dapat menjaga keutuhan kepribadian muslim. Hal ini tentunya tanpa mengesampingkan pembidangan ilmu pengetahuan yang sesuai dengan cabang keilmuan yang ada. Tegasnya proses pendidikan Islam berakar kepada tujuan dan tugas hidup manusia, yaitu terbinanya individu dalam menjalankan tugas vertikal untuk mencari keridaan Allah SWT., serta tugas horizantal menuju kebahagian dunia-akhirat dan rahmat atas sekalian alam, Sehingga individu tersebut dapat menundukkan dirinya sendiri sebagai individu, sebagai anggota keluarga, sebagai anggota lingkungan, sebagai warga negara, sebagai warga dunia, dan sebagai warga alam. Dalam setiap kegiatan, idealnya tujuan pelaksanaan kegiatan tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu. Dengan demikian, ruang lingkup kegiatan tidak akan menyimpang. Suatu kegiatan yang tanpa disertai tujuan sasarannya akan kabur dan tidak jelas, akibatnya program dan kegiatannya sendiri menjadi tidak teratur. Selain itu, tujuan juga merupakan parameter keberhasilan kegiatan yang telah dilaksanakan. Tujuan merupakan sasaran yang akan dicapai oleh seorang atau sekelompok orang yang

232

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 241-251

melakukan suatu kegiatan. Tujuan mempunyai arti yang sangat penting bagi keberhasilan sasaran yang diinginkan, arah atau pedoman yang harus ditempuh dalam melaksanakan kegiatan. Sedangkan yang menjadi sasaran pendidikan Islam adalah manusia. Tujuan yang mendasar dengan diciptakannya manusia adalah beribadah dan tunduk kepada Allah SWT, serta menjadi khalifah di muka bumi untuk memakmurkannya dengan melaksanakan serta mentaati syariat agama Allah SWT. jika ini merupakan tujuan hidup manusia, maka pendidikannyapun harus mempunyai tujuan yang sama, yaitu mengembangkan pikiran manusia dan mengatur tingkah laku serta perasaannya berdasarkan Islam. Dengan demikian, tujuan akhir pendidikan Islam adalah merealisasikan pengabdian kepada Allah SWT di dalam kehidupan manusia. Dengan demikian, maka tujuan pendidikan Islam adalah sasaran yang akan dicapai oleh seorang atau sekelompok orang yang melaksanakan pendidikan Islam. Penutup Salah satu perbedaan Manusia dari binatang adalah kemampuannya untuk mengabstraksi sesuatu. Yakni, ketika inderanya menyerap suatu benda, akal bekerja melepaskan benda itu dari sifat-sifat material, lalu membandingkannya dengan bendabenda lain yang serupa dengannya dan memproduksi sebuah konsep bersama. Akal terus menerus mengabstraksi hingga mencapai sebuah konsepsi universal paling abstrak (basith) yang mewadahi semua wujud. Ketika ia melihat Manusia, misalnya, imajinasinya mengabstraksi benda itu menjadi sebuah spiecies (nau) yang menaungi semua Manusia yang lain. Ia kemudian membandingkan konsep ini dengan konsep binatang, lalu mengabstraksinya menjadi sebuah genus (jenis) yang menaungi keduanya. Proses abstraksi ini berlanjut ketika ia membandingkannya dengan konsep tumbuhan, demikian seterusnya hingga mencapai genus tertinggi yang disebut substansi (jauhar). Pada saat itu, akal berhenti mengabstraksi. DAFTAR RUJUKAN Anharudin, Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam, Bandung: Gema Risalah Press, 1987 An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibuha, Beirut: Darul Fikr, 1979. Djatmiko, Rachmat, Sistem Ethika Islami (Akhlak Mulia), Surabaya: Pustaka Islam, 1985. Gazalba, Sisi, Sistematika Filsafat Buku III, Jakarta: Bulan Bintang, III, 1981. Gharisyah, Ali, Metode Pemikiran Pemikiran Islam, Bandung: Gema Insani Press. Hamka, Falsafah Hidup,Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1984. Iqbal, Muhammad, Membangun Kembali Pikiran Agarna Dalam Islam, Terj. Ali Audah Dkk, Jakarta: Tintamasi, 1966. Iqbal, Sir Muhammad, The Reconstruction of Relegion Thought In Islam, India: Labqri Fine Art Press, Delhi, 1481. Khaldun, Abdurrahman bin, Diwan ul-Mubtada wal Khabar fi Tarikh Arab wal Barbar wa man asharahum min Dzaw il-Syan il-Akbar (Muqaddimah Ibn Khaldun), Damaskus: Dar ul-Fikr, 2003.

Abd. Aziz, Hakikat Manusia dan Potensi Ruhaninya Dalam Pendidikan Islam :...

233

Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, II,1988. Marimba, Ahmad D,. Pengantar Filsafdt Pendidikan Islam, Bandung: A1-Maarif, 1989. Muhammad, Abu Bakar, Membangun Manusia Indonesia Seutuhnya Menurut AlQuran,Surabaya: Al-Ikhlas, t.t. Quthub, Saiyid, Tafsir Fi Dlilalil Quran, Libanon : Darul Ahya, Juz.VI. Said.M, Mendidik Dari Zaman ke Zaman, Jakarta: Dian Rakyat, 1963. Salim, Abdul Rosyid Abdul Aziz, At-Tarbiyah Islamiyah Wa Thuruqu Tadrisiha, Kuwait: Darul Bunuts Ilmiah, 1975. Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan,Jakarta: Rajawali, 1989. Syam, Mohammad Noor, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya : Usaha Nasional, 1986. Syariati, Ali, Sosiologi Islam,Yogyakarta : Ananda, 1989. Umary, Barmawie, Materi Akhlak, Solo: Ramadhani,VIII, 1989. Zahri, Musthafa, Kunci Memahami ilmu Tasawwuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1976.

TINJAUAN MATEMATIS MANUSIA PRIMA

Syaiful Hadi STAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung aziz_suci72@yahoo.co.id ABSTRACT There is no unanimous agreement among mathematicians, the socalled math. Therefore, to know and understand mathematics can be studied through their characteristics. Based on those characteristics of mathematics, it can be inferred that the analogy of human characteristics in everyday life based on the values of: (1) an agreement, (2) consistency, (3) deduction, and (5) of the universe. Focusing on general characteristics can be mathematically structured review of human excellence based on the concept that human numbers primes that are always close to Allah SWT. and feel that the presence and behavior Allah SWT. willingness. Kata Kunci: Karakteristik Matematika, Manusia Prima Pendahuluan Suka atau tidak suka seseorang terhadap matematika, namun tidak dapat dihindari bahwa hidupnya akan senantiasa bertemu dengan matematika, entah itu dalam pembelajaran formal, non formal maupun dalam kehidupan praktis sehari-hari. Matematika merupakan alat bantu kehidupan dan pelayan bagi ilmu-ilmu yang lain, seperti fisika, kimia, biologi, astronomi, teknik, ekonomi, farmasi maupun matematika sendiri. Matematika dipandang sebagai struktur dari hubungan-hubungan maka simbolsimbol formal diperlukan untuk membantu memanipulasi aturan-aturan yang beroperasi di dalam struktur-struktur. Matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang yang mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur1. Oleh karena itu matematika tidak akan terlepas dari bilangan dan angka, penuangan kalimat-kalimat matematika selalu bermuara pada angka dan bilangan. Riedesel, Schwartz, dan Clements menulis beberapa alasan kenapa matematika perlu diajarkan, bahwa matematika adalah pemecahan masalah, suatu aktivitas untuk menemukan dan mempelajari pola maupun hubungan, cara berpikir dan alat untuk berpikir, berguna untuk semua, dan kemampuan matematik2.
Erman Suherman. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. (Bandung: JICAUPI, 2003), hal. 19 2 Riedesel, C. A., Schwartz, J. E., and Clements, D. H. Teaching Elementary School Mathematics. (Boston: Allyn & Bacon, 1996), hal. 21.
1

236

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 253-260

Secara etimologis, matematika berarti ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan bernalar, ia lebih menekankan aktivitas dalam dunia rasio (penalaran). Kemampuan bernalar ini dapat dilihat dari cara memecahkan persoalan-persoalan matematika maupun persoalan-persoalan kehidupan. Matematika tidak hanya membantu seseorang sebagai alat penunjang dalam mempelajari ilmu lain, melainkan juga dalam rangka pembentukan sikap dan kepribadian agar dapat berpikir logis, rasional, dan sistematis. Apakah matematika mencerminkan realitas? Pandangan bahwa matematika adalah ratu (queen) dan pelayan (servant) menunjukkan bahwa matematika mempunyai kaitan dengan realitas atau dapat melepaskan diri dari ikatannya dengan realitas. Matematika pada tingkat yang abstrak tidak bersedia lagi berhubungan dengan realitas fisik. Namun demikian, matematika tetap didisain (secara sembunyi-sembunyi) dengan harapan dapat membantu di dalam menyelesaikan seluruh masalah yang terkait dengan beragam fenomena fisik yang terjadi. Sama halnya dengan tidak ada yang salah apabila matematika dikenalkan melalui interaksinya dengan hal-hal fisik yang nyata. Perkembangan matematika adalah hasil dari kebutuhan manusia yang sangat material, sehingga matematika perlu diajarkan melalui pengamatan berbagai fenomena alam semesta yang dekat dengan siswa. Aristoteles menulis, objek matematika tidak dapat hadir terpisah dari benda-benda yang dapat diraba (yaitu, material)3. Matematika bersifat aksiomatik karena ia berangkat dari prinsip-prinsip umum yang diterima tanpa bukti, ia lahir dari unsur pangkal yang menjadi pijakan bagi definisi konsep dalam matematika. Dalam pengembangannya matematika membahas tentang konsep-konsep secara tersendiri maupun hubungan yang ada diantara konsep tersebut yang akan melahirkan konsep baru. Karena matematika dipenuhi oleh konsep-konsep, juga konsep yang ada (baru) dibentuk oleh beberapa konsep sebelumnya yang memiliki keterkaitan, sehingga matematika dikatakan sebagai ilmu yang menjaga hierakis dan sistematika. Mempelajari matematika berarti berhadapan dengan cukup banyak kesepakatan yang harus dipenuhi dan diikuti, jika tidak maka akan meruntuhkan bangunan matematika sebagai sebuah sistem yang utuh. Analogi Karakteristik Matematika dengan Karakteristik Manusia Memang sampai saat ini belum ada kesepakatan yang bulat diantara matematikawan, apa yang disebut matematika itu. Berbagai pendapat mengenai matematika bermunculan seiring berkembangnya ilmu matematika. Hudojo menyatakan sasaran penelaahan matematika tidaklah konkrit, tetapi abstrak. Dengan mengetahui sasaran penelaahan matematika, kita dapat mengetahui hakikat matematika yang sekaligus dapat kita ketahui juga cara berpikir matematika itu4. Menurut Johnson dan Rising matematika adalah pola berfikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis. Matematika adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat, representasinya dengan simbol dan padat, lebih berupa bahasa simbol mengenai ide dari pada mengenai bunyi5.
Woods, A. dan Grant, T.. Revolusi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan Modern . (Yogyakarta: IRE Prees, 2006). Hal. 54 4 Herman Hudojo, Strategi Belajar Mengajar Matematika. (Malang: IKIP Malang, 1990). Hal. 2 5 Erman Suherman.. Strategi Pembelajaran Matematika . (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2001), Hal. 19
3

Syaiful Hadi, Tinjauan Matematis Manusia Prima

237

Sedangkan Hudojo mengartikan matematika sebagai ilmu yang berkenaan dengan ide-ide atau gagasan-gagasan, struktur-struktur dan hubungannya yang diatur secara logis6. Berdasarkan definisi-definisi mengenai pengertian matematika tersebut, dapat dikatakan bahwa tidak ada definisi tunggal tentang matematika yang disepakati. Oleh karena itu untuk mengetahui dan memahami matematika dapat dipelajari melalui ciricirinya atau karakteristiknya. Karakteristik matematika secara umum memiliki objek kajian abstrak, bertumpu pada kesepakatan, berpola pikir deduktif, memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan semesta pembicaraan dan konsisten dalam sistemnya7. Berdasarkan karakteristik matematika tersebut ada beberapa nilai didik dalam pembelajaran matematika yang diharapkan dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, di antaranya: Kesepakatan Setiap orang yang mempelajari matematika secara sadar atau tidak sadar telah menggunakan kesepakatan-kesepakatan tertentu. Kesepakatan ini terdapat dalam matematika yang rendah maupun yang tinggi, dapat berupa simbol, istilah, definisi, ataupun aksioma. Contoh: (a) Penggunaan simbol bilangan 1, 2, 3, 4, ... dan seterusnya; (b) Pengertian tentang persegi; (c) Pengertian tentang titik, garis, bidang, dan lain-lain Dalam kehidupan sehari-hari, kadang tanpa kita sadari ada banyak kesepakatan berupa norma-norma baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh warga masyarakat dalam lingkungan tertentu. Jika seseorang berperilaku tidak sesuai dengan suatu kesepakatan dalam lingkungan tertentu, pastilah akan dianggap melanggar aturan yang tentu akan mendapatkan sangsi tertentu. Seseorang yang telah dibiasakan belajar matematika yang penuh dengan kesepakatan yang harus ditaati, pastinya akan mudah memahami perlunya kesepakatan dalam hubungan masyarakat dan mempunyai kesadaran yang lebih tinggi untuk mentaati kesepakatan tersebut. Nilai inilah yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran matematika. Konsistensi Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan ketaatasasan/konsistensi adalah tidak dibenarkannya adanya kontradiksi sesuai dengan karakteristik dari matematika sendiri. Contohnya, untuk setiap anggota himpunan bilangan bulat, berlaku bahwa jumlah dari 2 bilangan bulat adalah bilangan bulat. Maka hasil dari 3 + 8 haruslah bilangan bulat. Dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan adanya sikap dan nilai konsistensi ini, sehingga tidak akan banyak terjadi benturan-benturan dalam berhubungan dengan

Herman Hudojo, Strategi Hal. 4 R. Soedjadi, Matematika Sekolah untuk Masa Depan Termuat dalam Kiat-kiat Pendidikan Matematika di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, departemen Pendidikan Nasional, 2000), Hal. 13
7

238

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 253-260

anggota masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara telah ada aturan atau undang-undang yang harus ditaati oleh segenap warga Indonesia. Jika setiap warga negara telah terbiasa dengan berpikir matematika maka tidak akan banyak orang-orang yang melanggar aturan, sehingga tercipta negara yang aman dan damai. Oleh karena itu, setiap materi dalam pembelajaran matematika harus dapat menanamkan nilai konsistensi ini untuk membentuk tata nalar dan kepribadian siswa. Deduksi Secara sederhana, sesuai dengan karakteristik dari matematika, makna deduksi adalah proses menurunkan atau menerapkan pengertian atau sifat umum ke dalam keadaan khusus. Dalam pembahasan matematika, pola pikir deduktif inilah yang dapat diterima. Pola pikir induktif, sebenarnya juga dapat diterima sepanjang diperlukan untuk menyesuaikan bahan ajar dengan perkembangan intelektual siswa. Contoh: (a) Misalnya pengertian tentang segitiga sama sisi. Ada yang mengartikan adalah segitiga yang ketiga sisinya sama, ada juga yang mengartikan ketiga sudutnya sama. Dari kedua pengertian di atas maka tidak bisa keduanya digunakan secara bersama-sama sebagai definisi, salah satu harus diturunkan sebagai teorema; (b) Adanya pengertian pangkal dalam matematika akan dengan mudah kita pahami dalam membuat struktur deduksi matematika. Misalnya pengertian titik dan garis. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, segala peraturan perundangundangan diatur secara hirarkhis mulai dari Pancasila, UUD 1945, UU, Perpu, PP, Keppres, Kepmen, dan seterusnya. Dalam hal ini, peraturan di bawahnya merupakan penjabaran dari peraturan di atasnya atau yang lebih tinggi. Kebenaran dari peraturan yang satu tentunya merujuk kepada kebenaran peraturan yang di atasnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara juga diperlukan pola pikir deduktif. Semesta Salah satu karakteristik dari matematika yaitu simbol-simbol yang dikosongkan dari maknanya. Misalnya, apakah arti x, y, z, itu? Hal ini dapat diartikan bermacammacam tergantung si pemakai, apakah bilangan, vektor, pernyataan, atau yang lainnya. Hal ini, menunjukkan adanya lingkup pembelajatan yang dapat juga disebut semesta pembicaraan. Dalam pembelajaran matematika disadari atau tidak terdapat contoh atau soal yang sangat memperhatikan semesta. Bila semesta yang ditetapkan tidak diperhatikan, maka akan sangat besar kemungkinan arti yang diberikan akan salah. Contohnya pada jam empatan, berapakah 3 + 7 = ?, kita harus menyadari pada semesta berapakan kita bekerja. Di alam semesta ini, seluruh umat manusia diciptakan berkelompok-kelompok, berbangsa-bangsa dengan segala perbedaannya. Setiap kelompok mempunyai aturanaturan tertentu yang wajib ditaati oleh segenap anggota kelompok. Dalam bersikap dan bertutur kata kita harus memperhatikan di mana kita berada dan bagaimana aturan yang berlaku dalam kelompok tersebut. Secara umum, dimanapun kita berada harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat kita berada. Jadi dengan selalu menyadari semesta dalam matematika, dapat digunakan dengan selalu menyadari di mana kita berada dan apa yang berlaku dalam semesta tersebut.

Syaiful Hadi, Tinjauan Matematis Manusia Prima

239

Karakteristik Manusia Prima Sebagaimana yang dikemukan oleh Erman Suherman bahwa matematika adalah ilmu tentang bilangan dan ruang yang mempelajari hubungan pola, bentuk dan struktur. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini analogi bilangan dengan manusia Telah diketahui bersama bahwa dalam matematika terdapat enam himpunan bilangan yang sudah cukup dikenal, yaitu himpunan bilangan asli, himpunan bilangan cacah, himpunan bilangan bulat, himpunan bilangan rasional, himpunan bilangan real, dan himpunan bilangan kompleks. Himpunan bilangan asli yang dinotasikan dengan huruf N adalah

Huruf N diambil dari huruf awal kata Natural Numbers. HimpunanbilangancacahyangdinotasikandenganhurufWadalah W = { 0, 1, 2, 3, 4, 5, }. Huruf W diambil dari huruf awal kata Whole Numbers. Terlihat bahwa himpunan bilangan cacah tidak lain adalah himpunan bilangan asli digabung dengan {0}. HimpunanbilanganbulatyangdinotasikandeganhurufZadalah Z = { , -5, -4, -3, -2, -1, 0, 1, 2, 3, ,4, 5, } Terlihat bahwa himpunan bilangan bulat memuat himpunan bilangan cacah dan juga memuat himpunan bilangan asli. Himpunanbilanganrasionalyangdinotasikandenganhuruf! adalah

Himpunan bilangan rasional memuat semua bilangan bulat karena semua bilangan bulat b dapat ditulis sebagai . Himpunan bilangan real yang dinotasikan dengan huruf R memuat semua bilangan rasional dan bilangan irrasional. Bilangan irrasional misalnya 2, 3, dan 5. Himpunan bilangan kompleks yang dinotasikan dengan huruf C adalah C = { a + bi : a, b R, i2 = -1 }. Karena semua bilangan real a dapat ditulis sebagai a + 0i, maka himpunan bilangan kompleks memuat semua bilangan real. Dalam hal ini, kita mempunyai

Semua bilangan sebenarnya sudah ada dan disediakan oleh sang pencipta. Manusia hanya menemukannya dan kebetulan dimulai dari himpunan bilangan yang dapat dikatakan paling sederhana, yaitu bilangan asli. Jika dilakukan perumpamaan atau analogi kasar, misalkan bahwa himpunan bilangan kompleks mewakili semua manusia yang penuh dengan aneka sifat, yaitu

240

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 253-260

jelas (real) dan tidak jelas (imajiner), baik dan buruk, serta positif dan negatif, yang penulis sebut manusia kompleks. Selanjutnya dilakukan seleksi-seleksi yang ketat sehingga dihasilkan manusia yang jelas (tidak imajiner), tetapi masih bersifat baik dan buruk, positif dan negatif, serta yang rasional dan iirasional, yang dikenal dengan manusia real. Dilakukan seleksi lebih lanjut, dengan membuang manusia yang tidak rasional sehingga diperoleh manusia rasional, tapi masih bersifat baik dan buruk, positif dan negatif, serta manusia utuh (bulat) dan tidak utuh (pecahan). Dilakukan seleksi lebih lanjut dengan membuang manusia yang tidak utuh (pecahan) sehingga diperoleh manusia utuh (bulat), tetapi masih memiliki sifat positif, nol dan negatif. Diseleksi lagi dengan membuang manusia yang negatif, sehingga diperoleh manusia cacah, tetapi masih bersifat sia-sia (nol) dan positif. Selanjutnya dilakukan seleksi dengan membuang manusia yang sia-sia (yang mengerjakan sesuatu yang tidak bermakna tetapi bukan kejelekan), sehingga akhirnya diperoleh manusia asli. Dengan analogi tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia asli, natural, atau mungkin fitrah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) Merupakan manusia biasa (tetap manusia kompleks); (b) Merupakan manusia yang jelas, tidak imajiner; (c) Merupakan manusia yang rasional, bukan yang irrasional; (d) Merupakan manusia yang utuh (bulat), bukan yang pecahan; (e)Merupakan manusia yang tidak sia-sia atau nol serta tidak melakukan hal yang sia, bukan yang nol; (f) Merupakan manusia yang bersifat positif dan gemar melakukan hal yang positif, bukan yang negatif. Dalam konteks himpunan bilangan asli inilah, munculah konsep bilangan prima didefinisikan sebagai berikut. Jika p adalah bilangan bulat positif (bilangan asli) lebih dari satu yang hanya mempunyai pembagi positif 1 dan p,maka p adalah bilangan prima8. Contoh bilangan prima adalah 2, 3, 5, 7, 11, 13, 17, 19, 23, 31, 37, dan 43. Jika suatu bilangan mempunyai pembagi selain 1 dan bilangan itu sendiri, maka disebut bilangan komposit. Contoh bilangan komposit adalah 4, 6, 8, 9, 10, 12, 14, 15, dan 16. Bilangan komposit dapat berupa bilangan genap atau bilangan ganjil. Bilangan 1 hanya mempunyai satu pembagi, yaitu dirinya sendiri, maka 1 bukan bilangan bilangan prima dan bukan bilangan komposit. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka himpunan bilangan asli terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu 1, bilangan prima, dan bilangan komposit. Jika diadakan analogi, pemaknaan, atau ibarat dengan bilangan prima, maka akan diperoleh manusia prima. Manusia prima adalah manusia yang selalu dekat dengan yang satu, yang esa, dzat yang maha tunggal, yaitu Allah SWT. Bukankah Allah SWT adalah satu, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Ikhlash ayat 1.

Artinya: Katakanlah: Dia-lah Allah, yang Maha Esa.

Gatot Muhsetyo, Dasar-dasar Teoori Bilangan,(Jakarta: PGSM, 1997) Hal.92

Syaiful Hadi, Tinjauan Matematis Manusia Prima

241

Manusia prima adalah manusia yang tidak ada penghalang (hijab) antara dirinya dengan Allah SWT. Hati manusia prima selalu terpaut dengan Allah SWT. Tidak ada penyakit dalam hati manusia prima yang dapat menghalangi hubungannya dengan Allah SWT. Hatinya selalu bergetar dengan dzikrullah. Bilangan prima faktornya adalah 1 dan bilangan itu sendiri. sedangkan bilangan prima pada hakikatnya tersusun dari bilangan 1, dan sebenarnya semua bilangan (prima atau komposit) tersusun dari 1. Karena dekatnya dengan 1, maka bilangan prima akan mampu merasakan bahwa dirinya sendiri tersusun dari bilangan 1. Analogi dari hal ini adalah bahwa manusia prima akan merasa bahwa dirinya tidak mampu berbuat apaapa tanda kehendak Allah SWT. Semua kehendaknya adalah kehendak Allah. Semua tindakannya tercipta juga karena kehendak Allah. Hanya manusia prima yang mampu merasakan ini. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surat At-Takwir ayat 29

Artinya: Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. dan dalam Al-Quran surat Al-Anfal ayat 17.

Artinya: Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. Bilangan prima tidak lain juga merupakan bilangan asli. Dengan demikian, maka sifat-sifat bilangan asli juga berlaku untuk bilangan prima. Jadi, manusia prima adalah manusia asli dengan sifat-sifat yang khusus, yaitu yang selalu dekat dengan Allah SWT dan merasa bahwa keberadaan dan prilakunya atas kehendak Allah SWT. Dapat disimpulkan bahwa manusia prima adalah: (a) manusia biasa (tetap manusia kompleks); (c) manusia yang jelas, tidak imajiner; (d) manusia yang rasional, bukan yang irrasional (e) manusia yang utuh (bulat), bukan yang pecahan; (f) manusia yang tidak sia-sia serta tidak melakukan hal yang sia, bukan yang nol; (g) manusia yang bersifat positif dan gemar melakukan hal yang positif, bukan yang negatif; (h) manusia yang dekat dengan Yang Esa, (i) manusia yang sadar bahwa dirinya tidak ada apa-apanya selain karena kehedak Allah SWT. Kesimpulan Berdasarkan kajian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan memperhatikan karakteristik dari matematika dapat kita buat analogi karakteristik manusia dalam kehidupan sehari-hari yang didasarkan atas nilai-nilai: (1) kesepakatan; (2) konsistensi; (3) deduksi; dan (5) semesta. Sedangkan dapat disimpulkan tentang tinjaun matematis manusia prima berdasarkan konsep bilangan bilangan prima adalah yaitu yang selalu dekat dengan Allah SWT dan merasa bahwa keberadaan dan prilakunya atas kehendak Allah SWT.

242

TAALLUM, Volume 01, Nomor 02, Nopember 2013: 253-260

DAFTAR PUSTAKA Bell, Frederick H. 1981. Teaching and Learning mathematics (in Secondary Schools). Wm. C. Brown Company. Dubuque. Iowa Gatot Muhsetyo, (1997) Dasar-dasar Teoori Bilangan, Jakarta: PGSM Hudoyo, Herman. 1990. Strategi Belajar Mengajar Matematika .Malang: IKIP Malang. R. Soedjadi. 2000. Matematika Sekolah untuk Masa Depan Termuat dalam Kiatkiat Pendidikan Matematika di Indonesia , Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Riedesel, C. A., Schwartz, J. E., and Clements, D. H. (1996). Teaching Elementary School Mathematics. Boston: Allyn & Bacon. Suherman, Erman. dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI. Woods, A. dan Grant, T. (2006). Revolusi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan Modern. Yogyakarta: IRE Prees

PEDOMAN BAGI PENULIS


Taallum adalah publikasi ilmiah di bidang pendidikan Islam. Naskah yang diterima yaitu karya tulis yang merupakan hasil pemikiran (konseptual) yang ada hubungannya dengan pendidikan Islam yang belum pernah dipublikasikan di media lain. Petunjuk Penulisan 1. Penulis bertanggung jawab terhadap isi naskah. Korespondensi mengenai naskah dialamatkan kepada penulis dengan mencantumkan institusi, alamat institusi, dan email salah satu penulis; 2. Naskah akan dinilai dari 3 unsur, yang meliputi kebenaran isi, derajat orisinalitas, relevansi isi serta kesesuaian dengan misi jurnal; 3. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris; 4. Judul Naskah harus ditulis secara ringkas, tetapi cukup informatif untuk menggambarkan isi tulisan; 5. Naskah ditulis rapi dengan program Microsoft Word pada kertas berukuran A4 (satu sisi), dan setiap lembar tulisan diberi nomor halaman dengan jumlah halaman maksimal 20. Jarak spasi 1,5 kecuali abstrak dan daftar pustaka yang mempunyai jarak spasi 1. Model huruf yang digunakan adalah Times New Roman dengan font 12 kecuali judul berupa huruf kapital dengan font 14. Apabila terdapat ayat atau hadits (tulisan yang berbahasa Arab), maka diketik dengan huruf Traditional Arabic, ukuran 14 pts, Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat: jurnal_taallum.stainta@yahoo.co.id Margin masing-masing adalah 2,5 cm. Naskah diserahkan dalam bentuk soft copy dan hard copy; 6. Naskah yang ditulis dalam Bahasa Indonesia mencantumkan abstrak dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya dengan jumlah kata antara 150 sampai 200. Kata kunci harus dipilih untuk menggambarkan isi makalah dan paling sedikit 4 (empat) kata kunci; 7. Sistematika artikel meliputi: (a) judul, (b) nama penulis (tanpa gelar akademik), nama lembaga/institusi, dan email, (c) abstrak, (d) kata kunci, (e) pendahuluan (latar belakang dan dukungan kepustakaan yang diakhiri dengan tujuan atau ruang lingkup tulisan), (f) bahasan utama, (g) simpulan dan saran, (h) ucapan terima kasih (bila ada), (i) daftar rujukan/pustaka (hanya memuat sumber yang dirunjuk), dan (j) lampiran (bila ada) 8. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua bagian judul dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring ), dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul bagian : Peringkat 1 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Rata Tepi Kiri)

9.

Sumber rujukan (catatan akhir) sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian atau artikel-artikel (karya ilmiah) dalam jurnal dan/ atau majalah ilmiah. 10. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan foot-note (catatan kaki) dengan mencantumkan nama penulis, judul rujukan, kota terbit, nama penerbit, tahun, dan halaman. Contoh: 1 Wahbah al Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy, juz VII. (Beirut: Dar al-Fikr, 1986), hal. 12 11. Daftar pustaka disusun dengan tata cara seperti berikut ini: Buku/Kitab: al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh al-Islamy, juz VII, Beirut: Dar al-Fikr, 1986. Buku kumpulan artikel: Saukah, Ali dan M. Guntur Waseso (eds.), Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah, Malang: UM Press, 2002. Artikel dalam buku kumpulan artikel: Drogers, Andree, Meaning, Power and The Sharing of Religious Experience, dalam Jerald D. Gort, at.al. (ed.), Michihan: Eerdmans Publishing Company, 1992. Artikel dalam jurnal dan majalah: Masyhuri, Imam Malik, Abu Hasan al-Asyari dan Pemikiran Kalamnya, Kontemplasi, vol. 2 no. 1, Juni 2005. Artikel dalam koran: Naim, Ngainun, Pesantren dan Pembaharuan, Duta Masyarakat, 25 Januari 2004. Tulisan/berita dalam koran (tanpa nama pengarang): Islam Rahmatan li al-Alamin, Jawa Pos, 21 Desember 2005. Buku terjemahan: Lev, Daniel S., Peradilan Agama Islam di Indonesia, terj. Zaini Ahmad Noeh, Jakarta: Intermasa, 1980. Skripsi, Tesis, Disertasi dan Laporan Penelitian: Badruzzaman, Abad, Pemikiran Teologi Hassan Hanafi, Tesis tidak diterbitkan, Jakarta: UIN Jakarta, 2002.

Makalah seminar, lokakarya, penataran: Mujamil, Tantangan Pesantren Masa Depan, Makalah, disajikan dalam seminar nasional yang diselenggarakan oleh Jurusan Ushuluddin STAIN Tulungagung, pada tanggal 11 Juli 2003. Internet: Hitchcock, Carr dan Hall, A Survey of STM Onlinr Journals, 1990-1995: The Calm before the Storm, (Online), http://Journals.ecs.soton.ac.uk/survey/html, diakses 12 Mei 1999. 12. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh penyunting ahli (mitra bestari) yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan naskah atas dasar rekomendasi dari mitra bestari atau penyunting. 13. Penulis menerima bukti pemuatan sebanyak 3 (tiga) eksemplar dan cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.

Anda mungkin juga menyukai