Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PERADABAN ISLAM INDONESIA PASCA

KEMERDEKAAN
Disususun guna memenuhi tugas pada mata kuliah sejarah
peradaban islam

Dosen pengampu :Dr.Khairuddin M.Ag

Disusun oleh kelompok 13:

Irgia Audina (0301223095)

Bunga sari siagian (0301221023)

Zahirul (0301222109)

PAI 2

PRODI AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, tuhan yang maha esa
yang telah memberikan rahmat serta hidayah-nya sehingga penyusunan tugas ini
dapat di selesai kan. sholawat serta salam semoga tercurah limpahan atas nabi kita
Muhammad SAW, yang ataskehadirat nya telah membawakan cahaya yang begitu
terang. Tugas ini disusun untuk di ajukan sebagai tugas mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam.dengan judul “PERADABAN ISLAMA INDONESIA PASCA
KEMERDEKAAN”di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Sumatera Utara.
Terimakasih kami ucapkan kepada bapak Dr.Khairuddin,M.Ag selaku
dosen mata kuliah sejarah peradaban islam yang telah membimbing kami demi
kelancaran tugas ini. Demikian tugas ini disusun semoga bermanfaat khususnya
bagi selaku penyusun dan umumnya bagi kita semua. Menyadari makalah ini jauh
dari kesempurnaan, kami mengharap kritikdan saran yang membangun agar kami
dapat menjadi lebih baik.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak
kekurangan diberbagai sudut. Oleh karena itu kami kami mengharapkan kritik dan
saran dari para pembaca guna dapat meningkatkan lagi kualitas makalah kami
dimasa yang akan datang. Dan kami berharap semoga makalah ini membawa
manfaat bagi setiap pembacanya

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR I
DAFTAR ISI II

BAB I PENDAHULUAN 1
A.Latar belakang 1
B.Rumusan Masalah 1
C.Tujuan 2

BAB II PEMBAHASAN
A.Islam Indonesia Pada Masa Revolusi 3
B.Peran Islam Dalam Kemerdekaan 10
C.Peradaban Islam Dan Negara Pancasila 11
BAB III PENUTUP
A.Kesimpulan 14
B.Saran 14

II
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Di zaman modern ini masyarakat Indonesia telah banyak yang melupakan
sejarah-sejarah terutama sejarah peradaban Islam di Indonesia.
Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dengan
diproklamirkannya proklamasi oleh Ir.Soekarno, sesungguhnya perjuangan
bangsa ini masih banyak yang harus disempurnakan. Sejak awal kebangkitan
Nasional, posisi agama sudah mulai di bicarakan dalam kaitannya dengan politik
atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan yang
bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara Indonesia
merdeka hendaknya merupakan sebuah negara “sekuler”, negara yang dengan
jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana diterapkan di negara
turki oleh mustafa kamal. Golongan lainnya bependapat, negara Indonesia
merdeka adalah “Negara Islam”.
            Indonesia adalah Negara yang memiliki penduduk yang mayoritas
beragama Islam. Walaupun Indonesia tidak memakai Islam sebagai Asas Negara,
akan tetapi mayoritas kebudayaan yang diusung oleh Islam sangat mendominasi
kehidupan bangsa Indonesia, khususnya penduduk yang beragama Islam.
Kebudayaan-kebudayaan  yang berlaku itu berangsur-angsur membentuk suatu
peradaban Islam yang mampu membawa penduduk Indonesia kepada kemajuan
dan kecerdasan.
Peradaban Islam di Indonesia Sesudah Kemerdekaan mengalami perubahan yang
sangat pesat, perubahan tersebut terjadi hampir meliputi seluruh aspek kehidupan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan membahas sedikit tentang masalah
perubahan yang ada di peradaban islam sesudah kemerdekaan.

B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana perkembangan islam di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan?
2.Apa saja dampak perkembangan islam di Indonesia?

1
3.Apa saja gerakan islam di Indonesia

C.Tujuan Masalah
1.Mengetahui perkembangan islam di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan
2.Mengetahui dampak perkembangan islam di Indonesia
3.Mengetahui gerakan islam di indonesia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam Indonesia Pada Masa Revolusi


Pada awal kemerdekannya, Indonesia menghadapi sebuah pertanyaan
besar, apakah pemerintahan akan dijalankan berlandaskan ajaran agama Islam
ataukah secara sekuler? Hal ini dipicu oleh tindakan dimentahkannya kembali
Piagam Jakarta. Kedudukan golongan Islam merosot dan dianggap tidak bisa
mewakili jumlah keseluruhan umat Islam yang merupakan mayoritas. Misalnya
saja, dalam KNIP dari 137 anggotanya, umat islam hanya diwakili oleh 20 orang,
di BPKNIP yang beranggotakan 15 orang hanya 2 orang tokoh Islam yang
dilibatkan. Belum lagi dalam kabinet, hanya Menteri Pekerjaan umun dan Menteri
Negara yang di percayakan kepada tokoh Islam, padahal Umat Islam mencapai
90% di Indonesia.
Dalam usaha untuk menyelesaikan masalah perdebatan ideologi diambilah
beberapa keputusan. Mereka menganjurkan suatu negara yang mempunyai dasar
keagamaan secara umum dan pemerintah mengakui nilai keagamaan yang positif,
karena  itu akan memajukan kegiatan keagamaan. Dalam kerangka itulah,
Departemen Agama didirikan.

1.      Departemen Agama
Departemen Agama (dulu namanya Kementerian Agama) didirikan pada
masa Kabinet Syahrir pada tanggal 3 Januari 1946. Menteri Agama yang pertama
adalah M.Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret 1946. Usaha untuk
mendirikan departemen itu mulanya mendapat halangan dari para perumus UUD
1945, ketika PPKI mengadakan rapat pada tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi
Komite Nasional pusat (KNIP), pada tanggal 11 November 1945 mengusulkan
pendiriannya. Usul itu diprakarsai oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan
M. Sukoso Wirjosaputro, kesemuannya adalah anggota KNIP dari daerah
Banyumas. Usul itu mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi, Dr.
Marzuki Mahdi, dan M Kartusodarmo (semuannya anggota KNIP) dan disetujui
oleh badan legislatif tersebut.[1] Dapat dikatakan, bahwa berdirinya Departemen

3
Agama merupakan penyesuaian pihak pemerintah kala itu dengan keinginan
mayoritas Muslim.
Sebelum terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan mengenai apakah
kmenterian ini akan dinamakan Kementerian Agama Islam atau Kementerian
Agama. Akhirnya, diputuskan menjadi Kementerian Agama, yang pertama-tama
mempunyai tiga seksi dan kemudian empat seksi, masing-masing untuk kaum
Muslimin, umat Prostetan, umat Katolik Roma, dan umat Hindu-Budha (dulu
disebut agama Hindu Bali). Karena ia tidak mengatur hanya satu agama, tetapi
lima agama yang diakui Indonesia, maka, pemimpin politik Indonesia
mengatakan, bahwa Indonesia bukahlah negara sekuler dan bukan juga negara
agama. Dasar pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dianggap
memadai untuk mrmbenarkan adanya Departemen Agama ini.
Tujuan dan Fungsi Departemen Agama (dirumuskan pada 1967) adalah
sebagai berikut:[2]
1. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah serta
membimbing perguruan-perguruan agama.
2. Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan Agama dan
keagamaan.
3. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
4. Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan masalah yang
berhubungan dengan hukum agama.
5. Mengurus dan mengembangkan IAIN, perguruan tinggi agama swasta dan
pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi pendidikan agama pada
perguruan-perguruan tinggi.
6. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.
Sesuai dengan perkembangan Departemen ini, strukturnya berkembang,
yang awalnya hanya terdiri dari empat seksi, sekarang terdiri dari lima direktorat
jenderal, yaitu : Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan
Haji, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Protestan, dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu
Budha. Menteri agama juga dibantu oleh loembaga Inspektorat Jenderal,

4
Sekretariat Jenderal, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama
serta Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.

2.      Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya Departemen
Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat perhatian lebih serius.
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan desember 1945 menganjurkan
agar pendidikan madrasah diteruskan. Badan ini juga mendesak pemerintah agar
memberikan bantuan pada madrasah. Departemen agama dengan segera
membentuk seksi khusus yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan
agama Islam, mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi
pendidikan agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90
guru agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada
tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman Belanda
memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun rencana pembangunan
pendidikan Islam. Dalam rencananya, ibtidaiyah selama 6 tahun, tsanawiyah
pertama 4 tahun dan tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud Yunus juga menyarankan
agar pelajaran agama diberikan di sekolah-sekolah umum yang disetujui oleh
konferensi pendidikan se-Sumatera di Padang Pajang, 2-10 Maret 1947.
Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami kemandegan karena
terjadi aksi militer Belanda kedua. Setelah revolusi selesai, usaha untuk
mengkoordinasikan sekolah-sekolah agam dimulai kembali, bukan saja untuk
Jawa dan Sumatera, melainkan seluruh Indonesia. Lembaga-lembaga yang
didirikan seperti : Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun), Aliyah (3
tahun), Sekolah Guru Agama Islam (5 tahun bagi lulusan sekolah dasar baik
umum maupun agama, 2 tahun lulusan SMP  atau tsanawiyah), Sekolah Guru, dan
Hakim Agama Islam/ SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah). Dua
sekolah yang terakhir mengalami perubahan pada tahun 1953. PGA menjadi 6
tahun, 4 tahun bagian pertama dan 2 tahun bagian atas, Sedangkan, SGHA
dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim Islam
Negeri/PHIN (4 tahun bagi lulusan PGA 4 tahun).

5
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di Indonesia
sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud Yunus membuka
Islamic College petama tanggal 9 Desember 1945 di Padang, yang terdiri dari
Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.
Perguruan Tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas
keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun 1950. Pada
tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan dan diambil alih oleh
pemerintah dan pada tangal 26 September 1951 secara resmi dbuka perguruan
Tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di
bawah pengawasan Kementerian Agama. Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan
Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA). Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah
latihan bagi para pejabat yang berdinas dalam pemerintahan dan untuk pengajaran
agama di sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut
Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian Agama.
IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, ada 14 buah IAIN di
seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus, Juga bermula dari Jakarta
dan Yogyakarta, pada awal tahun1980-an, dibuka Program  Pascasarjana IAIN
dan beberapa tahun kemudian IAIN Alauddin Ujung Pandang dan IAIN Syiah
Kuala, Aceh, juga membuka program yang sama. Sampai tahun 1992, Program
Pascasarjana IAIN Jakarta sudah mengeluarkan puluhan orang doktor.

3.      Hukum Islam
Lembaga Islam yang penting yang ditangani oleh Departemen Agama
adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia membatasi dirinya pada
soal-soal hukum muamalat yang bersifat pribadi.Hukum muamalat pun terbatas
pada masalah nikah, cerai dan rujuk (faraidh), wakaf, hibah, dan sangat baitul mal.
Keberadaan lembaga peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah
kelanjutan dari masa kolonial Belanda.
Kemantapan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional semakin
meningkat setelah Undang-Undang Peradialan Agama ditetapkan tahun
1989.Undang-Undang Peradilan Agama ini merupakan kelengkapan dari UU No.
14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Dalam pasal

6
10 ayat (1) UU No. 14/1970 disebutkan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c)
Peradilan Militer, (d) Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai suatu undang-undang
lain untuk mengatur empat lingkungan peradilan yang diundangkan dalam UU itu,
antara lain UU tentang Peradilan Agama.
Berkenaan dengan itu, Ismail Suny mengatakan bahwa selama Orde Baru
ada tiga undang-undang yang merupakan tonggak-tonggak penting bagi umat
Islam, yaitu UU no. 14/1970, UU no.I/1974,              dan UU no. 7/1989.
[3] Dengan tiga undang-undang tersebut, berlakulah hukum Islam dalam tata
Hukum Nasional di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
sedekah.

4.      Haji
Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji.Di masa
penjajahan tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927 ketika sekitar 52.000 orang
pergi ke Mekah.Sungguhpun angka itu baru pada tahun-tahun terakhir terlewati,
tetapi umumnya dalam keadaan biasa jumlah jamaah meningkat cepat karena
memang keinginan menunaikan ibadah haji semakin kuat.Angka tertinggi sampai
tahun 1992, yaitu sekitar 107.000 orang jamaah haji Indonesia diberangkatkan.
Sejak awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah,
termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci.Bahkan dari
kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jamaah haji) Indonesia ditunjuk.  
Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat islam Indonesia ingin
mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggraan perjalanan haji.
Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi selama zaman jajahan keinginan ini
tidak terwujud.Setelah Indonesia merdeka, usaha ini dilanjutkan.Pada tahun 1950
sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan Haji Indonesia, didirikan di
Jakarta.Pemerintah memberikan kuasa kepada Yayasan itu untuk
menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank Haji Indonesia, dan sebuah
perusahan kapal, Perlayaran Muslimin Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi
sepuluh tahun kemudian perusahaan MUSI ini masih saja bertindak  sebagai agen
dalam mencarter kapal dari perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai kapal

7
sendiri. Cara ini ditempuh sampai tahun 1962, ketika MUSI dibekukan oleh
pemerintah, mungkin sekali karena pertimbangan politik.Setahun sebelumnya,
pada tahun 1961, Petugas Haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan
kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota PHI
adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.
Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru, Perseroan
Terbatas “ Arafat” didirikan dengan modal dari para jemah haji atau calon jemaah
itu sendiri. Dan pada tahun 1964, panitia perbaikan haji diganti dengan badan
baru, Dewan Urusan Haji. Dewan ini mengajak PHI untuk kembali mengurus
jemaah haji, tetapi campur tangan pemirintah di dalamnya semakin besar, karena
tanggung jawab penyelenggaraan haji terletak pada pemerintah setempat. Namun
semua usaha yang dilakukan tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh,
tahu 1966, organisasi-organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatan
penyelenggaraan perjalanan haji. Banyak umat Islam yang menjadi korban dari
kegiatan ini, ada jamaah yang tidak dapat berangkat atau dibiarkan tanpa layanan
dalam perjalanan. Ini merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah pada tahun
1970 memegang monopoli perjalanan haji.[4]
Alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam perjalanan
penyelenggaraan haji adalah sebagai berikut: Pertama,pemerintah merasa
bertanggung jawab atas penyelenggaraan perjalanan haji agar masyarakat merasa
tenteram dan terjamin. Kedua,kemungkinan faktor laba juga menjadi perhatian
pemerintah. Kalau pun hal ini tidak dimaksudkan untuk dikejar, tetapi sekurang-
kurangnya uang masuk secara ekstra dapat juga dicatat. Uang ini, karena tiap
jamaah dibebankan tambahan biaya untuk berbagai dana, mempermudah usaha
pemerintah memberikan bantuan ke berbagai proyek yang bermanfaat bagi umat
Islam, seperti penyelesaian pembagunan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan Tim
Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji Daerah (TPHD), Tim
Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping itu, pemerintah masih perlu untuk
mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji (TPIH).[5] Sesuai dengan aspirasi
sebagian masyarakat, sejak awal tahun 1980-an, dikenal adanya Ongkos Naik Haji

8
(ONH) Plus, yang tentu berbeda dengan ONH biasa dalam hal pelayanan. Karena
“kelebihan” pelayanan itu, maka biayanya juga lebih mahal dari ONH biasa.

5.      Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia dalam
menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis Ulama. Suatu
program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama hanya bisa berhasil
dengan baik bila disokong oleh ulama.Karena itu kerjasama antara pemerintah dan
ulama perlu terjalin dengan baik.Pertama kali majelis ulama didirikan pada masa
pemerintahan SMajelis ini pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena
diperlukan untoekarno.uk menjamin keamanan. Di jawa barat berdiri pada tanggal
12 Juli 1958, diketuai oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah
pulih dari pemberontakan DI-TII tahun 1961,Majelis Ulama ini bergerak dalam
kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan pendidikan.
Dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disah kan dalam
kongres tersebut, disebutkan bahwa Majelis Ulama Indonesia berfungsi:
1.      Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan
dan kepadapemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf nahi
mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2.      Mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana
kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa.
3.        Mewakili islam dalam konsultasi antar umat beragama.
4.       Penghubung antra ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah
timbal balik antara pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan
nasional.
Dalam periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum Majelis Ulama
ini dipegang oleh Prof. Dr. Hamka yang terpilih kembali untuk masa jabatan
1980-1985. Tidak lama setelah itu, ia mengundurkan diri. Dia digantikan oleh
K.H. Syukri Ghozali. Namun, yang disebut terakhir ini meninggal dunia pada
tanggal 20 September 1984, sebelum masa jabatannya berakhir. Dia kemudian
digantikan

9
oleh K.H.E.Z. Muttaqin. Jabatan ketua MUI periode 1985-1990 dan periode 1990-
1995 dipegang oleh K.H. Hasan Basri.

B.     Peran Islam dalam Kemerdekaan


Ajaran Islam yang dipeluk oleh sebagaian besar rakyat Indonesia telah
memberikan kontribusi besar, serta dorongan semangat, dan sikap mental dalam
perjuangan kemerdekaan. Tertanamnya “RUHUL ISLAM” yang di dalamnya
memuat antara lain :
1. Jihad fi Sabilillah, telah memperkuat semangat rakyat untuk berjuang melawan
penjajah ( Sartono Kartodirdjo, 1982). Dengan semangat Jihad, umat akan
melawan penjajah yang zhalim, termasuk perang suci, bila wafat syahid, surga
imbalannya.
2. Ijin Berperang Dari Allah SWT. (Q.S. Al Haj : 39) “ Telah diijinkan berperang
bagi orang-orang yang diperangi, sesungguhnya mereka itu dijajah/ditindas, maka
Allah akan membela mereka (yang diperangi dan ditindas)”.
3. Symbolbegrijpen (Simbol kalimat yang dapat menggerakkan rakyat), yaitu
“TAKBIR” Allahu Akbar, selalu berkumandang dalam era perjuangan umat Islam
di Indonesia.
4. “Khubul Wathon minal Iman”, cinta tanah air sebagian dari Iman, menjadikan
semangat Partiotik bagi umat Islam dalam melawan penjajahan.
Pada kesimpulannya Dr. Douwwes Dekker ( Setyabudi Danudirdja) menyatakan
bahwa :“Apabila Tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama
kebangsaan  yang sebenarnya lenyap dari Indonesia”
Dengan demikian ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini,
punya peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat diabaikan dalam
perjuangan di Indonesia.
Dan ternyata agama islam tertanam begitu kokoh  dalam nurani bangsa
Indonesia, sehingga semangat perjuangan mereka, khususnya para pahlawan kita
tidak pernah pudar sedikitpun sampai titik darah penghabisan.
Islam telah mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi
kebenaran, kejujuran dan kesucian. Karena itu jika kaum penjajah berani
menghancurkan kebenaran dan kejujuran, serta berani menodai kesucian, mereka

10
akan membelanya pantang menyerah. Islam juga mendidik karakter bangsa
Indonesia kayakinan akan adanya hidup di balik maqam, keyakinan dan adanya
ancaman keburukan serta balasan atas kebaikan. Maka untuk membela kebenaran
mereka bersedia berjihad di jalan Allah. Demikian pula Islam juga mendidik
karakter. Perlu diketahui bahwa perjuangan membela kebenaran, menegakkan
perikemanusiaan dan perikeadilan termasuk menolong agama Allah. Sungguh,
begitu besar jasa Islam di masa lalu, maka kepada para penulis sejarah hendaklah
tidak mengecilkan peran umat Islam di nusantara ini, sehingga para generasi
penerus tidak buta terhadap peran Islam dan umatnya tersebut.
Setelah 66 tahun kemerdekaan negeri ini, adalah sebuah kepatutan bagi
umat Islam Indonesia untuk mengambil peran besar dalam pembangunan ini
seperti besarnya umat Islam di masa lalu. Sebab jika peran kita lebih besar, kita
akan mampu menentukan arah pembangunan yang lebih manusiawi, hingga
insyaallah dapat melepaskan diri dari penyakit peradaban kita yakni KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepostisme).

C.    Peradaban Islam dan Negara Pancasila


Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang
menyatakan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah darahnya. Keinginan untuk
bersatu, persamaan nasib akan melahirkan rasa nasionalitas yang berdampak pada
munculnya kepercayaan diri, rasa yang amat diperlukan untuk mempertahankan
diri dalam perjuangan menempuh suatu keadaan yang lebih baik. Dua faktor
penyebab munculnya nasionalisme, yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor
pertama sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap penjajah yang menimbulkan
perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan atau peperangan. Sedang faktor
kedua sebagai renaissance yang dianggap simbol kepercayaan atas kemampuan
diri sendiri.
Selain kondisi bangsa Indonesia berada dalam dominasi politik, militer
dan ekonomi bangsa-bangsa asing, nasionalisme Natsir muncul atas dorongan
ajaran agama yang diyakininya yang mewajibkan kepada setiap Muslim untuk
mencintai tanah airnya. Karena itu, nasionalisme merupakan bagian dari Islam

11
yang selalu mengajarkan agar mengenal kebudayaan dan bangsa-bangsa lain tanpa
menanggalkan pribadinya sebagai Muslim. Inilah yang dimaksud nasionalisme
Islami, yaitu orang-orang yang tetap komitmen pada pandangan bahwa negara dan
masyarakat harus diatur oleh Islam sebagai agama yang, -dalam arti luas-, bukan
hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan
antara sesama manusia, sikap manusia terhadap lingkungannya, alam dan lain-lain
sebagainya. Sementara nasilonalis sekuler sebaliknya, yakni tanpa perhatian
melihat keterpautannya dengan agama.
Wajar jika nasionalisme dan Islamisme selalu hadir berdampingan dalam
sejarah bangsa Indonesia, bahkan selama masa penjajahan, agama menjadi aspek
yang menegaskan perjuangan nasional. Selain organisasi-organisasi nasional,
seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Batak, Jong Ambon dan lainnya,
tidak sedikit gerakan-gerakan yang berasaskan ke-Islam-an banyak yang tampil
menjadi pelopor dan penggerak bangkitnya nasionalisme. Artinya kekuatan
nasionalisme dan Islamisme melebur menjadi satu dalam memerangi segala
bentuk penjajahan. Bahkan dalam sejarah Indonesia, keduanya menjadi kekuatan
besar yang terpadu dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
Bahkan pergerakan organisasi keagamaan sejak awal telah memiliki
kesadaran kebangsaan dan nasionalisme.Wadah-wadah seperti Nahdhatul Ulama,
Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, dan lainnya telah berhasil menyingkirkan
sifat kepulauan dan keprovinsian. Organisasi ini memulai gerakannya dengan
menanamkan persaudaraan antar sesama rakyat yang berada di luar batas
Indonesia dengan ikatan ke-Islam-an. Karena itu, ikatan persaudaraan yang
melewati lintas etnik, budaya, politik tersebut terus dipertahankan secara
konsisten.Sebab, persaudaraan yang diikat oleh kesadaran keagamaan ini menjadi
benih-benih tumbuhnya sikap nasionalsime dan kesadaran mempertahankan
NKRI.
Kaitannya hubungan antara Islam dan negara, pemikiran Natsir
berorientasi pada paradigma integralistik; yaitu penyatuan antara agama dan
negara secara utuh. Artinya, dirinya menentang gagasan yang lebih menyukai
pemisahan antara agama dan negara (sekularistik). Uraian kenegaraan menurutnya
menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam. Karena itu, tujuan

12
terbentuknya suatu negara adalah untuk melaksanakan undang-undang Ilahi, baik
yang berkenaan dengan kehidupan individu maupun sosial. Natsir tidak
menentukan model negara yang dikehendaki oleh Islam, sebab bentuk negara
menurutnya merupakan urusan keduniaan. Karena itu, manusia memiliki
kebebasan menentukan model suatu negara yang hendak dibentuknya. Monarki
boleh, republik pun tidak dilarang. Ia lebih menekankan pada sisi aplikasi
penyelenggaraan suatu negara. Namun ketika mengusulkan ide-idenya,
kelihatannya ia lebih cenderung pada bentuk negara republik ketimbang monarki.
Hal ini dapat dilihat dari pemikirannya mengenai demokrasi, penekanannya
terhadap sistem syura (musyawarah) dalam proses pengambilan keputusan, yang
tampak lebih dominan.

13
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa
Peradaban Islam sesudah kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya :
1.      Departemen Agama dalam pemerintahan,
2.      Pendidikan,
3.      Hukum Islam,
4.      Haji, dan
5.      Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Islam telah mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi
kebenaran, kejujuran dan kesucian. Apabila Tidak ada semangat Islam di
Indonesia, sudah lama kebangsaan  yang sebenarnya lenyap dari Indonesia.
Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang
menyatakan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah darahnya.

B.     SARAN
Mungkin inilah yang dapat kami paparkan dalam makalah kelompok kami.
Meskipun penulisan ini jauh dari sempurna minimal kami sudah berusaha dengan
sebaik-baiknya. Masih banyak kesalahan dari penulisan kelompok kami, karna
kami juga masih dalam proses belajar dan kami juga butuh saran/ kritikan agar
bisa menjadi motivasi untuk perbaikan di masa depan.

14
DAFTAR PUSTAKA

         Yatim, Badri. (2005). Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.
         Sunanto, Musyrifah. (2007). Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu
Pengetahuan Islam, Jakarta : Kencana
         Suwito. (2008). Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana
          http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/132757-T%2027807-Islam
%20kultural-Metodologi.pdf. (diaskses 14 November 2013, 11:25)

[1] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983),


hlm. 14.
[2] B.J. Boland, Pergumulan Islan di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers,
cetakan pertama), hlm. 113.
[3] Ismail Suny, “Tradisi dan Inovasi Keislaman di Indonesia dalam
bidang Hukum.” disampaikan dalam Simposium Islam dan Kebudayaan Nasional
Indonesia, 21-24 Oktober 1991
[4] Deliar Noer, op. ct., hlm. 108
[5] Panji Masyarakat, No. 515, 11 September 1986, hlm. 17

15

Anda mungkin juga menyukai