Anda di halaman 1dari 29

SKENARIO

Nyeri Perut
Nn. A, 20 tahun, mengeluh nyeri perut sejak 3 bulan yang lalu. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan di epigastrium. Dokter menduga terdapat gangguan saluran cerna
bagian atas, sehingga menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan gastroskopi. Hasil
pemeriksaan tersebut menunjukkan gastritis dan duodenitis, sehingga dilakukan pemeriksaan
lebih lanjut untuk mengetahui penyebab keadaan tersebut. Pasien diberikan obat dan
makanan yang sesuai untuk mencegah komplikasi dari penyakit tersebut.

KATA SULIT
 Gastroskopi: pemeriksaan pada bagian perut dengan menggunakan endoskopi yang
dimasukkan melalui mulut.
 Gastritis: peradangan atau inflamasi pada lambung. Gastritis dibagi menjadi 2 jenis
yaitu akut dan kronik.
 Duodenitis: peradangan pada mukosa dan submucosa duodenum.
 Epigastrium: bagian perut tengah dan di atas yang terletak di antara angulus sterni.

PERTANYAAN
1. Mengapa terdapat nyeri tekan pada epigastrium?
2. Apa penyebab gastritis dan duodenitis?
3. Mengapa dilakukan gastroskopi? Dan apa hasilnya?
4. Apa pemeriksaan lain selain gastroskopi?
5. Apa diagnosis penyakit scenario tersebut?
6. Apa komplikasi dari penyakit tersebut?
7. Apa tatalaksana dari scenario tersebut?
8. Apa factor risikonya?
9. Obat dan makanan apa yang baik untuk dikonsumsi pada penderita di atas?
10. Apa saja gejala yang ditimbulkan?

JAWABAN
1. Karena ada inflamasi di dalam rongga di daerah tersebut.
2. Disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori dari makanan dan minuman yang
terkontaminasi, peningkatan asam lambung, autoimun, penggunaan obat-obatan
(seperti: OAINS), pola makan tidak teratur.
3. Dilakukan gastroskopi untuk melihat adanya inflamasi pada mukosa lambung dan
duodenum.
4. Pemeriksaan USG, darah samar, endoskopi, pemeriksaan tinja, biopsy, rontgen.
5. Sindroma dyspepsia.
6. Ulcus peptikum, perforasi lambung, kanker lambung.
7. Proton pump inhibitor untuk mengurangi produksi asam lambung berlebih (contohnya
omeprazole), antacid untuk menetralkan asam lambung, antobiotik diberi apabila
penyebab penyakit adalah bakteri.
8. Pola makan tidak baik, immunocompromised, konsumsi NSAID.
9. Hindari obat NSAID, hindari makanan yang dapat menaikkan asama lambung (seperti
kopi, pedas, santan, buah-buahan asam), makan makanan yang mudah dicerna (seperti
bubur dan oatmeal).
10. Nyeri ulu hati, mual, muntah.

HIPOTESIS
Gastritis dapat disebabkan oleh bakteri Helicobacter pylori, peningkatan asam lambung,
penggunaan OAINS dan pola makan tidak teratur. Gejalanya nyeri pada ulu hati, mual,
muntah, dan sindroma dyspepsia. Dapat dideteksi dengan gastroskopi dengan ditemukannya
inflamasi pada mukosa lambung dan duodenum. Tatalaksana dapat diberikan PPI, antacid,
dan antibiotic.

SASARAN BELAJAR
1. Mengetahui dan memahami tentang Anatomi Gaster
1.1. Makroskopis
1.2. Mikroskopis
2. Mengetahui dan memahami tentang Mekanisme Kerja Gaster
2.1. Makroskopis
2.2. Mikroskopis
3. Mengetahui dan memahami tentang Sindroma Dispepsia dan Gastritis
3.1. Definisi
3.2. Etiologi
3.3. Epidemiologi
3.4. Klasifikasi
3.5. Patofisiologi
3.6. Manifestasi klinis
3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding
3.8. Tatalaksana
3.9. Komplikasi
3.10. Pencegahan
3.11. Prognosis
1. Mengetahui dan memahami tentang Anatomi Gaster
1.1. Makroskopis

Gaster (ventriculus)/ Lambung


 Letak pada region epigastrium sinistra dan hypochondrium sinistra dan
sebagian pada region umbilical cranio lateral sinistra.
 Bentuk seperti koma, dalam bidang frontal dengan lengkung ke kiri.
 Dimulai dari esophagus pars abdominalis pada foramen esophagicum pada
diaphragm setinggi T X.
 Bentuk tergantung:
o Banyaknya isi
o Lanjutnya pencernaan
o Kuatnya otot-otot ventriculus
o Keadaan usus-usus dikelilinginya
 Dapat dibedakan:
o Curvatura minor (lengkung kecil), sebelah medial
o Curvatura major (lengkung besar)
o Paries ventralis (anterior)
o Paries dorsalis (posterior)
 Ventriculus dapat dibagi dalam:
o Cardia, tempat muara esophagus ke dalam ventriculus
o Fundus atau Fornix, bagian yang menonjol ke kranial disebelah
kiri esophagus
o Corpus, bagian dari tempat muara esophagus sampai tempat
terkaudal
o Pars pylorica, bagian dari tempat terkaudal sampai akhir
ventriculus
o Pylorus, tempat terakhir ventriculus
 Pada batas antara corpus dan pars pylorica, lengkung ventriculus lebih
membuat suatu sudut atau angulus dengan incisura yang melintang disebut
incisura angularis
 Pada pylorus terdapat tempat yang sempit disebut isthmus, dengan vena
yang berjalan melintang. Terdapat serabut-serabut yang berjalan melingkar
membentuk m. spincter pylori.
 Dinding ventriculus terdiri atas, dari luar ke dalam:
a. Tunica serosa, sebetulnya peritoneum viscerale
b. Tunica muscularis, terdiri atas 3 lapisan otot dari luar ke dalam:
1) Stratum longitudinale, lanjutan stratum longitudinale esophagus
2) Stratum circulare, juga lanjutan stratum circulare esophagus
3) Stratum obliquum
c. Tunica mucosa
Mekanisme kerja tunica muscularis
 Pada kontraksi tunica muscularis, ventriculus tidak pipih lagi, tetapi
membulat seperti usus
 Pada waktu relaksasi paries ventralis berdekatan dengan paries dorsalis.
Gerakan yang dilakukan oleh tunica muscularis fundus dan corpus ialah
peristole, yaitu kontraksi tonis yang berulang-ulang tetapi tidak keras.
 Pada pars pylorica terjadi juga gerakan peristaltic yang terjadi karena
kontraksi berturut-turut dan berganti-berganti stratum circulare dan
stratum longitudinale dari oral ke anal. Gerakan ini dilakukan untuk
menggerakkan isi pars pylorica kea rah pylorus, dimulai dari incisura
angularis, kemudian semakin kosong ventriculus, makin oral mulainya
akhirnya pada ventriculus yang kosong gerakan peristaltic dimulai dari
cardia.
 Pada ventriculus yang kosong, stratum obliquum dapat berkontraksi
tersendiri. Bila ia berkontraksi, daerah curvatura minor dipisah dari daerah
curvatura major, sehingga menjadi suatu canalis antara cardia dan pylorus,
disebut canalis gastricus. Ini terjadi secara reflektoris pada waktu minum
saat ventriculus kosong.
 Pada waktu muntah terjadi kontraksi m. sphincter pylori dan otot-otot pada
pars pylorica, sedangkan otot-otot pada corpus, fundus, dan cardia
relaksasi. Karena kontraksi otot-otot pylorica isi yang seharusnya
terdorong ke pyloricus tidak dapat melalui m. spincter pylori, pergi ke
corpus, fundus dan cardia, yang otot-ototnya melakukan relaksasi.
 Pada waktu muntah gerakan-gerakan tersebut didahului oleh gerakan
inspirasi dengan rima glottides tertutup, sehingga desakan intrathoracal
turun dan esophagus membuka. Gerakan ventriculus tersebut disertai
dengan kontraksi otot perut yang menyebabkan bertambahnya desakan
intra abdominal, yang membantu masuknya isi ventriculus ke esophagus.
Kemudian terjadi gerakan ekspirasi disertai dengan kontraksi otot perut,
sehingga desakan intrathoracal bertambah dan isi esophagus dikeluarkan.

Batas-Batas
Anterior
Dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma dan
lobus kiri hepar.

Posterior
Bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal
kiri, A.lienalis, pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.

Perdarahan
Pembuluh Arteri

Gambar 2: Perdarahan Gaster

a. A.gastrica sinistra
Berasal dari A.coelica. Ia berjalan ke atas dan kiri untuk mencapai
oesophagus dan kemudian berjalan turun sepanjang curvatura minor
lambung. Ia memperdarahi sepertiga bawah oesophagus dan bagian kanan
atas lambung.
b. A.gastrica dextra
Berasal A.hepatica pada pinggir atas pylorus dan berjalan ke kiri sepanjang
curvatura minor. Ia memperdarahi bagian kanan bawah lambung.
c. A.gastrica brevis
Berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan ke depan dalam
ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi fundus
d. A.gastroepiploica sinistra
Berasal dari A.lienalis pada hillus limfa dan berjalan ke depan dalam
ligamentum gastrolienalis untuk memperdarahi lambung sepanjang bagian
atas curvatura major.
e. A.gastroepiploida dextra
Berasal dari A.gastroduodenalis yang merupakan cabang dari A.hepatica. Ia
berjalan ke kiri dan memperdarahi lambung sepanjang bagian bawah
curvatura major
Pembuluh Vena
Vena-vena ini mengalirkan darah ke sirkulasi portal. V.gastrica sinistra dan
dextra langsung mengalirkan darah ke V.porta. V.gastrica brevis dan
V.gastroepiploica sinistra bermuara dalam V.lienalis. V.gastroepiploica dextra
bermuara dalam V.mesenterica superior.

Pembuluh Limfe
1 Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe sepenjang
A.V.gastrica sinistra. Efferent kelenjar limfe ini berjalan ke nodulus
lymphaticus coelica, yang terletak disekitar pangkal A.coelica.
2 Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe sepanjang
A.V.gastrica dextra. Efferent dari kelenjar limfe ini berjalan sepanjang
A.hepatica dan kemudian masuk ke nodus lymphaticus coelica.
3 Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe sepanjang
A.gastrica brevis dan A.gastroepiploica sinistra dan kemudian memasukkan
cairan limfe ke kelenjar limfe pada hillus limfa. Dari sini pembuluh limfe
ini berjalan ke nodus lymphaticus pancreticolienalis yang terletak sepanjang
A.lienalis, yang selanjutnya mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphatici
coelica.
Pembuluh limfe yang mengalirkan cairan limfe ke nodus lymphaticus
gastroepiploica dextra, yang terletak sepanjang bagian bawah curvatura
major lambung. Pembuluh limfe efferent bermuara pada kelenjar limfe yang
terletak sepanjang A.gastroduodenalis, yang selanjutnya mengalirkan cairan
limfe ke nodus lymphaticus coelica.

Persarafan
Saraf-saraf lambung, berasal dari plexus symphaticus coeliacus dan dari
N.vagus kanan dan kiri.
Truncus vaginalis anterior, yang dibentuk dalam thorax terutama berasal dari
N.vagus kiri. Truncus ini masuk abdomen pada permukaan anterior oesophagus.
Truncus yang mungkin tunggal atau multiple, kemudian membelah menjadi
cabang-cabang yang mempersarafi permukaan anterior lambung. Rami hepatici
berjalan sampai hati dan dari sini ramus pylorica berjalan turun ke pylorus.
Truncus vaginalis posterior, yang dibentuk dalam thorax terutama berasal dari
N.vagus kanan, masuk ke abdomen pada permukaan posterior oesophagus.
Truncuskemudian membelahmenjadi cabang-cabang yang terutama
mempersarafi permukaan posterior lambung. Suatu cabang yang besar berjalan
ke plexus mesentericus superior dan plexus coeliacus dan disebarkan ke usus
halus sejauh flexura lienalis dan ke pancreas. Persarafan simpatis lambung
membawa serabut-serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri, sedangkan
serabut parasimpatis N.vagus merupakan sekretomotoris untuk kelenjar
lambung dan motoris untuk otot dinding lambung. Sphincter pylorus menerima
serabut-serabut motoris dari sistem simpatis dan serabut-serabut inhibitor dari
N.vagus.
1.2. Mikroskopis
a. Lapisan Mukosa

Lapisan mukosa merupakan lapisan yang tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal,


disebut juga rugae. Mukosa lambung terdiri atas tiga lapisan, yakni epitel, lapisan
propria, dan muskularis mukosa. Pada epitel permukaannya menekuk dengan
kedalamaan berbeda ke dalam lamina propria membentuk sumur lambung (gastric
pits). Lamina propria tersusun atas jaringan pengikat longgar diselingi otot polos
dan sel-sel limfoid. Juga terdapat muskularis mukosa, yakni lapisan yang
memisahkan mukosa dan submukosa yang masih merupakan lapisa notot polos
(Junquiera dan Carneiro, 2003) .

Mukosa lambung mempunyai satu lapis epitel silinder yang berlekuk-lekuk


(foveolae gastricae), tempat bermuaranya kelenjar lambung yang spesifik. Kelenjar
pada daerah cardiac dan pylorus hanya memproduksi mukus, sedangkan kelenjar
pada daerah corpus dan fundus memproduksi mukus, asam klorida dan enzim
proteolitik. Karena itu pada kelenjar corpus dan fundus ditemukan 3 jenis sel, yaitu
sel yang memproduksi mukus yaitu sel mukus, sel yang menghasilkan HCl yaitu
sel parietal, sel yang menghasilkan enzim proteolitik yaitu sel epitel mukosa
(Sukirno, 2008).

b. Lapisan submukosa

Lapisan submukosa tersusun atas jaringan alveolar longgar yang menghubungkan


lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak dengan gerakan peristaltik. Pada lapisan ini banyak mengandung pleksus
saraf, pembuluh darah, dan saluran limfe (Price danWilson, 2006).

c. Lapisan muskularis

Lapisan muskularis tersusun atas tiga lapis otot polos. Bagian luar tersusun atas
lapisan longitudinal, bagian tengah tersusun atas lapisan sirkuler, dan bagian dalam
tersusun atas lapisan oblik (Price dan Wilson, 2006)

d. Lapisan serosa

Lapisan ini adalah lapisan tipis jaringan ikat yang menutupi lapisan muskularis.
Merupakan lapisan paling luar yang merupakan bagian dari peritonium visceralis.
Jaringan ikat yang menutupi peritonium visceralis banyak mengandung sel lemak
(Eroschenko, 2003).
Histologi bagian-bagian gaster :
1. Esophagus cardia

Pada bagian esophagus cardia terjadi peralihan dari epitel berlapis gepeng
menjadi epitel selapis silindris. Saat mencapai cardia kelenjer esophagus di
submucosa tidak ada lagi.
2. Gaster Fundus

Mukosa diliputi oleh epitel selapis torak. Foveola gastrica sepertiga tebal
mukosa ( dangkal ) sedangkan kelenjernya ( fundus ) duapertiga tebal mukosa,
terletak di lamina propria.
3. Gaster Pilorus

Memiliki foveola gastrica yang lebih dalam. Sel-sel kelenjer hamper homogeny,
semua sel mucus kelenjer pylorus sering berkelok-kelok di dalam lamina
propria. Tunika muskularis dengan lapisan sirkular amat tebal membentuk
sfingter.
2. Mengetahui dan memahami tentang Mekanisme Kerja Gaster
2.1. Biokimia
Mekanisme Sekresi Asam Lambung

Sel-sel parietal secara aktif mengeluarkan HCl ke dalam lumen kantung lambung yang
kemudian mengalirkannya ke dalam lumen lambung. pH isi lambung turun sampai
serendah 2 akibat sekresi HCl. Ion hidrogen dan ion klorida secara aktif ditansportasikan
oleh pompa yang berbeda di membran plasma parietal. Ion hidrogen secara aktif
dipindahkan melawan gradien konsentrasi karena itu diperlukan banyak energi, sel-sel
parietal memiliki banyak mitokondria. Klorida juga disekresikan secara aktif tetapi
melawan gradien kosentrasi jauh lebih kecil.

Ion hidrogen yang disekresikan tidak dipindahkan dari plasma tetapi berasal dari proses-
proses metabolisme di dalam sel parietal. Apabila disekresikan, netralitas interior di
pertahankan oleh pembentukan dari asam karbonat untuk menggantikan yang keluar
tersebut.

H2O +CO2 dibantu oleh Carbonat


Anhidrase menjadi H2CO3-

H+ masuk ke lumen lambung melalui
H+K+ATPase

HCO3- bertukar dengan Cl- di plasma

H berikatan dengan Cl-
+


Membentuk HCl
2.2. Fisiologi
Fungsi gaster
a. Penyimpan makanan. Kapasitas lambung normal memungkinkan adanya interval
yang panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan makanan dalam
jumlah besar sampai makanan ini dapat terakomodasi di bagian bawah saluran cerna.
b. Produksi kimus. Aktivitas lambung mengakibatkan terbentuknya kimus (massa
homogen setengah cair berkadar asam tinggi yang berasal dari bolus) dan
mendorongnya ke dalam duodenum.
c. Digesti protein. Lambung mulai digesti protein melalui sekresi tripsin dan asam
klorida.
d. Produksi mukus. Mukus yang dihasilkan dari kelenjar membentuk barrier setebal 1
mm untuk melindungi lambung terhadap aksi pencernaan dan sekresinya sendiri.
e. Produksi faktor intrinsik.
 Faktor intrinsik adalah glikoprotein yang disekresi sel parietal.
 Vitamin B12, didapat dari makanan yang dicerna di lambung, terikat pada faktor
intrinsik. Kompleks faktor intrinsik vitamin B12 dibawa ke ileum usus halus,
tempat vitamin B12 diabsorbsi.
f. Absorbsi. Absorbsi nutrien yang berlangsung dalam lambung hanya sedikit.
Beberapa obat larut lemak (aspirin) dan alkohol diabsorbsi pada dinding lambung.
Zat terlarut dalam air terabsorbsi dalam jumlah yang tidak jelas.

Mekanisme pencernaan makanan pada gaster


Mekanik
Makanan bergerak dari kerongkongan menuju lambung, yaitu bagian saluran
pencernaan yang melebar. Makanan yang masuk ke dalam lambung tersimpan
selama 2-5 jam. Selama makanan berada di dalam labung, makanan di cerna secara
kimiawi dengan bercampurnya dengan getah lambung yang dihasilkan dari dinding
lambung. Dalam getah lambung itu sendiri terdapat campuran zat-zat kimia yang
sebagian besar terdiri dari air dan sekresi asam lambung. Asam lambung
mengandung HCl yang berfungsi untuk mematikan bakteri atau membunuh kuman
yang masuk ke lambung dan berfungsi untuk menghasilkan pepsinogen menjadi
pepsin. Lambung juga mengandung enzim renin yang berfungsi untuk
menggumpalkan kasein dalam susu. Mukosa (lendir) pada lambung berfungsi
melindungi dinding lambung dari abrasi asam lambung.
Proses pencampuran tersebut dipengaruhi oleh gerak mengaduk yang bergerak
disepanjang lambung setiap 15-25 detik akibat adanya kontraksi dinding lambung
yang menyebabkan ketiga otot lambung bergerak secara peristaltik mengaduk dan
mencampur makan dengan getah lambung. Sesudah kira-kira tiga jam, makanan
menjadi berbentuk bubur yang disebut kim. Gerakan mengaduk dimulai dari
kardiak sampai di daerah pylorus yang terjadi terus-menerus baik pada saat
lambung berisi makanan maupun pada saat lambung kosong. Akibat gerakan
peristaltik, kim terdorong ke bagian pilorus. Di pilorus terdapat sfingter yang
merupakan jalan masuknya kim dari lambung ke usus halus. Gerakan peristaltik
tersebut menyebabkan sfingter pilorus mengendur dalam waktu yang sangat
singkat. Jadi, di dalam lambung terjadi pencernaan secaea mekanis dengan bantuan
peristaltik dan pencernaan kimiawi dengan bantuan asam lambung dan enzim
pepsin serta renin.
Persyarafan otonom
 Persarafan pada lambung umumnya bersifat otonom. Suplay saraf parasimpatis
untuk lambung di hantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf vagus. Trunkus
vagus mencabangkan ramus gastric, pilorik, hepatic dan seliaka.
 Persarafan simpatis melalui saraf splangnikus mayor dan ganglia seliakum.
Serabut-serabut afferent simpatis menghambat pergerakan dan sekresi lambung.
Pleksus auerbach dan submukosa (meissner) membentuk persarafan intrinsic
dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa
lambung.

Fisiologi sekresi gaster


1. Fase sefalik
Terjadi sebelum makanan mencapai lambung. Masuknya makanan ke dalam
mulut atau tampilan, bau, atau pikiran tentang makanan dapat merangsang
sekresi lambung.

2. Fase lambung
Terjadi saat makanan mencapai lambung dan berlangsung selama makanan
masih ada.
 Peregangan dinding lambung merangsang reseptor saraf dalam mukosa
lambung dan memicu refleks lambung. Serabut aferen menjalar ke medula
melalui saraf vagus. Serabut eferen parasimpatis menjalar dalam vagus
menuju kelenjar lambung untuk menstimulasi produksi HCl, enzim-enzim
pencernaan, dan gastrin.
 Fungsi gastrin:
- Merangsang sekresi lambung,
- Meningkatkan motilitas usus dan lambung,
- Mengkonstriksi sphincter oesophagus bawah dan merelaksasi sphincter
pylorus,
- Efek tambahan: stimulasi sekresi pancreas.
 Pengaturan pelepasan gastrin dalam lambung terjadi melalui penghambatan
umpan balik yang didasarkan pada pH isi lambung.
- Jika makanan tidak ada di dalam lambung di antara jam makan, pH
lambung akan rendah dan sekresi lambung terbatas.
- Makanan yang masuk ke lambung memiliki efek pendaparan (buffering)
yang mengakibatkan peningkatan pH dan sekresi lambung.

3. Fase usus
Terjadi setelah kimus meninggalkan lambung dan memasuki usus halus yang
kemudian memicu faktor saraf dan hormon.
 Sekresi lambung distimulasi oleh sekresi gastrin duodenum sehingga dapat
berlangsung selama beberapa jam. Gastrin ini dihasilkan oleh bagian atas
duodenum dan dibawa dalam sirkulasi menuju lambung.
 Sekresi lambung dihambat oleh hormon-hormon polipeptida yang
dihasilkan duodenum. Hormon ini dibawa sirkulasi menuju lambung,
disekresi sebagai respon terhadap asiditas lambung dengan pH di bawah 2,
dan jika ada makanan berlemak. Hormon-hormon ini meliputi gastric
inhibitory polipeptide (GIP), sekretin, kolesistokinin (CCK), dan hormon
pembersih enterogastron.
Tabel 2: Stimulasi Sekresi Lambung

Terdapat empat aspek motilitas lambung: (1) pengisian lambung/gastric filling, (2)
penyimpanan lambung/gastric storage, (3) pencampuran lambung/gastric mixing,
dan (4) pengosongan lambung/gastric emptying.
1. Pengisian lambung
Jika kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml, tetapi organ ini dapat
mengembang hingga kapasitasnya mencapai 1 liter (1.000 ml) ketika makan.
Akomodasi perubahan volume yang besarnya hingga 20 kali lipat tersebut akan
menimbulkan ketegangan pada dinding lambung dan sangat meningkatkan
tekanan intralambung jika tidak terdapat dua faktor berikut ini:
 Plastisitas otot lambung
Plastisitas mengacu pada kemampuan otot polos lambung mempertahankan
ketegangan konstan dalam rentang panjang yang lebar, tidak seperti otot
rangka dan otot jantung, yang memperlihatkan hubungan ketegangan.
Dengan demikian, saat serat-serat otot polos lambung teregang pada
pengisian lambung, serat-serat tersebut melemas tanpa menyebabkan
peningkatan ketegangan otot.
 Relaksasi reseptif lambung
Relaksasi ini merupakan relaksasi refleks lambung sewaktu menerima
makanan. Relaksasi ini meningkatkan kemampuan lambung
mengakomodasi volume makanan tambahan dengan hanya sedikit
mengalami peningkatan tekanan. Tentu saja apabila lebih dari 1 liter
makanan masuk, lambung akan sangat teregang dan individu yang
bersangkutan merasa tidak nyaman. Relaksasi reseptif dipicu oleh tindakan
makan dan diperantarai oleh nervus vagus.
2. Penyimpanan lambung
Sebagian otot polos mampu mengalami depolarisasi parsial yang autonom dan
berirama. Salah satu kelompok sel-sel pemacu tersebut terletak di lambung di
daerah fundus bagian atas. Sel-sel tersebut menghasilkan potensial gelombang
lambat yang menyapu ke bawah di sepanjang lambung menuju sphincter
pylorus dengan kecepatan tiga gelombang per menit. Pola depolarisasi spontan
ritmik tersebut, yaitu irama listrik dasar atau BER (basic electrical rhythm)
lambung, berlangsung secara terus menerus dan mungkin disertai oleh kontraksi
lapisan otot polos sirkuler lambung.
Setelah dimulai, gelombang peristaltik menyebar ke seluruh fundus dan
corpus lalu ke antrum dan sphincter pylorus. Karena lapisan otot di fundus dan
corpus tipis, kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut lemah. Pada saat
mencapai antrum, gelombang menjadi jauh lebih kuat disebabkan oleh lapisan
otot di antrum yang jauh lebih tebal.
Karena di fundus dan corpus gerakan mencampur yang terjadi kurang kuat,
makanan yang masuk ke lambung dari oesophagus tersimpan relatif tenang
tanpa mengalami pencampuran. Daerah fundus biasanya tidak menyimpan
makanan, tetapi hanya berisi sejumlah gas. Makanan secara bertahap disalurkan
dari corpus ke antrum, tempat berlangsungnya pencampuran makanan.
3. Pencampuran lambung
Kontraksi peristaltik lambung yang kuat merupakan penyebab makanan
bercampur dengan sekresi lambung dan menghasilkan kimus. Setiap gelombang
peristaltik antrum mendorong kimus ke depan ke arah sphincter pylorus.
Sebelum lebih banyak kimus dapat diperas keluar, gelombang peristaltik sudah
mencapai sphincter pylorus dan menyebabkan sphincter tersebut berkontraksi
lebih kuat, menutup pintu keluar dan menghambat aliran kimus lebih lanjut ke
dalam duodenum. Bagian terbesar kimus antrum yang terdorong ke depan, tetapi
tidak dapat didorong ke dalam duodenum dengan tiba-tiba berhenti pada
sphincter yang tertutup dan tertolak kembali ke dalam antrum, hanya untuk
didorong ke depan dan tertolak kembali pada saat gelombang peristaltik yang
baru datang. Gerakan maju-mundur tersebut, yang disebut retropulsi,
menyebabkan kimus bercampur secara merata di antrum.

4. Pengosongan lambung
Kontraksi peristaltik antrum—selain menyebabkan pencampuran lambung—
juga menghasilkan gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah
kimus yang lolos ke dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik
sebelum sphincter pylorus tertutup erat terutama bergantung pada kekuatan
peristalsis. Intensitas peristalsis antrum dapat sangat bervariasi di bawah
pengaruh berbagai sinyal dari lambung dan duodenum; dengan demikian,
pengosongan lambung diatur oleh faktor lambung dan duodenum.
Faktor di lambung yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung.
Faktor lambung utama yang mempengaruhi kekuatan kontraksi adalah jumlah
kimus di dalam lambung. Apabila hal-hal lain setara, lambung mengosongkan
isinya dengan kecepatan yang sesuai dengan volume kimus setiap saat.
Peregangan lambung memicu peningkatan motilitas lambung melalui efek
langsung peregangan pada otot polos serta melalui keterlibatan plexus intrinsik,
nervus vagus, dan hormon lambung gastrin. Selain itu, derajat keenceran
(fluidity) kimus di dalam lambung juga mempengaruhi pengosongan lambung.
Semakin cepat derajat keenceran dicapai, semakin cepat isi lambung siap
dievakuasi.
Faktor di duodenum yang mempengaruhi kecepatan pengosongan lambung.
Walaupun terdapat pengaruh lambung, faktor di duodenumlah yang lebih
penting untuk mengontrol kecepatan pengosongan lambung. Duodenum harus
siap menerima kimus dan dapat bertindak untuk memperlambat pengsongan
lambung dengan menurunkan aktivitas peristaltik di lambung sampai duodenum
siap mengakomodasi tambahan kimus. Bahkan, sewaktu lambung teregang dan
isinya sudah berada dalam bentuk cair, lambung tidak dapat mengosongkan
isinya sampai duodenum siap menerima kimus baru.

3. Mengetahui dan memahami tentang Sindroma Dispepsia dan Gastritis


3.1. Definisi
Dispepsia fungsional adalah sindrom yang mencakup salah satu atau lebih gejala-
gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa
terbakar di ulu hati, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Dispepsia terbagi
menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia fungsional diklasifi
kasikan kembali menjadi postprandial distress syndrome dan epigastric pain
syndrome (Kriteria Roma III).

3.2. Etiologi
 Idiopatik/Dispepsia fungsional (50-70%)
 Ulkus peptikum (10%)
 Gastroesophageal reflux disease (GERD) (5-20%)
 Kanker lambung (2%)
 Gastroparesis
 Infeksi Helicobacter pylori
 Pankreatitis kronis
 Penyakit kandung empedu
 Penyakit celiac
 Parasite usus (Giardia lamblia, Strongyloides)
 Malabsorpsi karbohidrat (laktosa, sorbitol, fruktosa)
 Obat NSAID
 Antibiotik, suplemen besi, dll
 Metabolic (diabetes mellitus, tiroid/paratiroid)
 Iskemia usus
 Kanker pancreas atau tumor abdomen

3.3. Epidemiologi
Dyspepsia merupakan keluhan klinis yang sering dijumpai dalam praktik
klinis sehari-hari. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007,
ditemukan peningkatan prevalensi dyspepsia fungsional dari 1,9% pada tahun
1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Istilah dyspepsia sendiri mulai gencar
dikemukakan sejak akhir tahun1980-an, yang menggambarkan keluhan atau
kumpulan gejala sindrom yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di
epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,
regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar ke dada.
Dyspepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat
prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana pelayanan
kesehatan primer. Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark mengungkapkan
bahwa 1 dari 5 pasien yang dating dengan dyspepsia ternyata terinfeksi oleh H.
pylori yang terdeteksi setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan.

3.4. Klasifikasi
Batasan dispepsia terbagi atas dua yaitu:

a. Dispepsia organik, dyspepsia yang telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya. Dispepsia organic dikategorikan menjadi :
1. Dispepsia tukak (ulcer-like dyspepsia).
Keluhan penderita yang sering diajukan adalah rasa nyeri di ulu hati. Berkurang
atau bertambahnya rasa nyeri ada hubungannya dengan makanan, pada tengah
malam sering terbangun karena nyeri atau pedih di ulu hati. Hanya dengan
pemeriksaan endoskopi dan radiologi dapat menentukan adanya tukak lambung
atau di duodenum.
2. Dispepsia bukan tukak.
Mempunyai keluhan yang mirip dengan dispepsi tukak. Biasa ditemukan pada
gastritis, duodenitis, tetapi pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan tanda-
tanda tukak.
3. Refluks gastroesofageal.
Gejala yang klasik dari refluks gastroesofageal yaitu rasa panas di dada dan
regurgitasi asam, terutama setelah makan. Bila seseorang mempunyai keluhan
tersebut disertai dengan keluhan sindroma dispepsia lainnya, maka dapat disebut
sindroma dispepsia refluks gastroesofageal.
4. Penyakit saluran empedu.
Sindroma dispepsi ini biasa ditemukan pada penyakit saluran empedu. Rasa nyeri
dimulai dari perut kanan atas atau di ulu hati yang menjalar ke punggung dan
bahu kanan.
5. Karsinoma.
Karsinoma dari saluran cerna sering menimbulkan keluhan sindroma dispepsia.
Keluhan yang sering diajukan adalah rasa nyeri di perut, kerluhan bertambah
berkaitan dengan makanan, anoreksia, dan berat badan yang menurun.
6. Pankreatitis.
Rasa nyeri timbulnya mendadak, yang menjalar ke punggung. Perut dirasa makin
tegang dan kembung. Di samping itu, keluhan lain dari sindroma dispepsi juga
ada.
7. Dispepsia pada sindroma malabsorbsi.
Pada penderita ini—di samping mempunyai keluhan rasa nyeri perut, nausea,
anoreksia, sering flatus, kembung—keluhan utama lainnya yang mencolok ialah
timbulnya diare profus yang berlendir.
8. Dispepsia akibat obat-obatan.
Banyak macam obat yang dapat menimbulkan rasa sakit atau tidak enak di daerah
ulu hati tanpa atau disertai rasa mual, dan muntah, misalnya obat golongan
NSAID (non steroid anti inflammatory drugs), teofilin, digitalis, antibiotik oral
(terutama ampisilin, eritromisin), alkohol, dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu
ditanyakan obat yang dimakan sebelum timbulnya keluhan dispepsia.
9. Gangguan metabolisme.
Diabetes melitus dengan neuropati sering timbul komplikasi pengosongan
lambung yang lambat, sehingga timbul keluhan nausea, vomitus, perasaan lekas
kenyang. Hipertiroidi mungkin menimbulkan keluhan rasa nyeri di perut dan
vomitus, sedangkan hipotiroidi menyebabkan timbulnya hipomoltilitas lambung.
Hiperparatiroidi mungkin disertai rasa nyeri di perut, nausea, vomitus, dan
anoreksia.

b. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus (DNU),
Dispepsia yang tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional dibagi atas 3 sub grup
yaitu:
1. Dispepsia mirip ulkus {ulcer-like dyspepsia) bila gejala yang dominan adalah
nyeri ulu hati;
2. Dispepsia mirip dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia) bila gejala dominan
adalah kembung, mual, cepat kenyang
3. Dyspepsia non-spesific yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan (a) maupun (b)

3.5. Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan
makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding
lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL
yang akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga
rangsangan di medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak
adekuat baik makanan maupun cairan.
Proses patofisiologi yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan
dengan dispepsia fungsional adalah hipersekresi asam lambung, infeksi
Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, dan hipersensitivitas viseral.
a. Sekresi asam lambung. Kasus dengan dispepsia fungsional, umumnya
mempunyai tingkat sekresi asam lambung yang rata-rata normal, baik sekresi
basal maupun dengan stimulasi pentagastrin. Diduga adanya peningkatan
sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak
di perut.
b. Helicobacter pylori. Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional
belum sepenuhnya dimengerti dan diterima.
c. Dismotilitas gastrointestinal. Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia
fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan adanya hipomotilitas
antrum. Tapi harus dimengerti bahwa proses motilitas gastrointestinal merupakan
proses yang sangat kompleks, sehingga gangguan pengosongan lambuk tidak
dapat mutlak mewakili hal tersebut.
d. Ambang rangsang persepsi. Dinding usus mempunyai berbagai reseptor,
termasuk reseptor kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Berdasarkan studi,
tampaknya kasus dispepsia ini mempunyai hipersensitivitas viseral terhadap
disetensi balon di gaster atau duodenum.
e. Disfungsi autonom. Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam
hipersensitivitas gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya
neuropati vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proximal
lambung waktu menerima makanan, sehingga menimbulkan gangguan
akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.
f. Aktivitas mioelektrik lambung. Adanya disritmia mioelektrik lambung pada
pemeriksaan elektrogastrografi dilaporkan terjadi pada beberapa kasus dispepsia
fungsional, tetapi hal ini bersifat inkonsisten.
g. Hormonal. Peran hormonal belum jelas dalam patogenesis fungsional.
Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon motilin yang menyebabkan
gangguan motilitas antroduodenal. Dalam beberapa percobaan, progesteron,
estradiol, dan prolaktin mempengaruhi kontraktilitas otot polos dan
memperlambat waktu transit gastrointestinal.
h. Diet dan faktor lingkungan. Adanya intoleransi makanan dilaporkan lebih sering
terjadi pada kasus dispepsia fungsional dibandingkan kasus kontrol.
i. Psikologis. Adanya stres akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan
mencetuskan keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan
kontraktilitas lambung yang mendahului keluhan mual setelah stimulus stres
sentral. Korelasi antara faktor psikologis stres kehidupan, fungsi autonom, dan
motilitas tetap masih kontroversial. Tidak didapatkan kepribadian yang
karakteristik untuk kelompok dispepsia fungsional ini, walaupun dilaporkan
dalam studi terbatas adanya kecenderungan masa kecil yang tidak bahagia,
adanya sexual abuse, atau adanya gangguan psikiatrik pada kasus dispepsia
fungsional.

3.6. Manifestasi klinis


Keluhan yang sering diajukan pada sindroma dispepsia ini adalah:
1. nyeri perut (abdominal discomfort)
2. rasa pedih di ulu hati
3. mual, kadang-kadang sampai muntah
4. nafsu makan berkurang
5. rasa cepat kenyang
6. perut kembung
7. rasa panas di dada dan perut
8. regurgitasi
banyak mengeluarkan gas asam dari mulut (ruktus)

3.7. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Diagnosis
1. Anamnesis
Riwayat minum obat termasuk minuman yang mengandung alkohol dan
jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan kalau mungkin
harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu
diperhatikan. Gejala (alarm symptom) seperti disfagia, berat badan turun,
nyeri menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang
sangat sering, hematemesis, melena atau jaudice kemungkinan besar adalah
merupakan penyakit serius yang memerlukan pemeriksaan seperti
endoskopi dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk mendeteksi struktur
peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus, pankreatitis
kronis atau keganasan pankreas empedu. Pasien ulkus peptikum biasanya
berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan
mencerna makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan
pasien pada malam hari banyak ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala
esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan membungkuk setelah
makan kenyang yaitu perasaan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak
spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala
perasaan asam pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah
makan biasanya didapatkan pada penyakit esofagus, gastritis erosif dan
karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa jam setelah makan
sering terjadi pada ulkus duodenum.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan dyspepsia biasanya normal, kecuali
epigastrik terasa sakit. Adanya sakit pada epigastrik tidak secara akurat
dapat membedakan dyspepsia organic dengan dyspepsia fungsional. Sakit
abdominal pada palpitasi harus dievaluasi dengan tanda Carnett untuk
mengetahui apakah sakitnya dari dinding abdomen atau dari inflamasi
dibawah visceral. Adanya peningkatan rasa sakit karena regangan otot (test
Carnett positif) menandakan bahwa terjadi sakit di dinding abdomen.
Tetapi, jika sakitnya menurun (test Carnitt negative), sumber sakit tidak
berasal dari dinding abdomen dan biasanya dari organ intra-abdominal,
dengan otot dinding abdomen teregang melindungi viscera. Temuan lain
pada pemeriksaan fisik adalah: ditemukan massa abdominal (contoh:
hepatoma) atau limfadenopati (kanker gastrik periumbal atau supraclavicula
sinistra), jaundice (contoh: metastasis liver sekunder) atau anemia sekunder.
Ascites mengindikasikan adanya karsinomatosis peritoneal. Pasien dapat
mempunyai gejala otot lemah, lemak subkutan hilang dan edema perifer
karena berat badan menurun.

3. Pemeriksaan Penunjang & Laboratorium


Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah termasuk tes fungsi liver harus
dilakukan untuk mengidentifikasi pasien dengan kegawatdaruratan (contoh:
anemia defisiensi besi) dan penyakit metabolic yang dapat menyebabkan
dyspepsia (contoh: diabetes dan hiperkalsemia). Pemeriksaan laboratorium
perlu dilakukan, seperti pemeriksaan darah, urine, dan tinja secara rutin.
Dari pemeriksaan darah, bila ditemukan leukositosis berarti ada tanda-tanda
infeksi. Pada pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak
mengandung lemak, berarti kemungkinan pasien menderita malabsorbsi.
Seseorang yang diduga menderita dispepsi tukak, sebaiknya diperiksa asam
lambungnya.

a. Endoskopi
a) Diagnostik
 Untuk menentukan atau menegakkan diagnosis yang pada
pemeriksaan radiologi menunjukkan hasil yang meragukan atau
kurang jelas
 Untuk menentukan diagnosis pada klien yang sering mengeluh
nyeri epigastrium, muntah-muntah, sulit atau nyeri telan.
Sedangkan radiologi menunjukkan hasil yang normal
 Melaksanakan biopsy atau sitologi pada lesi-lesi di saluran
pencernaan yang diduga keganasan
 Untuk menentukan sumber perdarahan secara tepat dan tepat
 Memantau residif pada keganasan maupun menilai klien pasca
bedah
 Menentukan diagnosis pada kelainan pankreatobillier.

b) Terapeutik
 Skleroterapi endoskopi (STE) adalah menyuntikkan obat
sklerotik melalui endoskopi pada varises esophagus
 Ligasi varises esophagus (LVE) adalah pengikatan varises pada
esophagus dengan menggunakan peralatan endoskopi
 Polipeptomi adalah pengambilan polip pada saluran pencernaan
dengan menggunakan peralatan endoskopi
 Sfingterektomi adalah melebarkan saluran papilla vateri dengan
menggunakan peralatan endoskopi
 Dilatasi adalah melebarkan lumen esophagus. Misalnya struktur
esophagus pada pasien akalasia
 Perkutaneous endoskopi gastrostomi (PEG) adalah pemasangan
selang untuk pemberian nutrisi ke lambung melalui dinding
perut dengan bantuan endoskopi.
 Untuk pengambilan benda asing (corpus alienum) yang masuk
ke dalam saluran pencernaan

Gambar 17: Pemeriksaan Endoskopi

Pada pemeriksaan ini juga dapat mengidentifikasi ada tidaknya


bakteri Helicobacter pylori, dimana cairan tersebut diambil dan
ditumbuhkan dalam media Helicobacter pylori. Pemeriksaan antibodi
terhadap infeksi Helicobacter pylori dikerjakan dengan metode Passive
Haem Aglutination (PHA), dengan cara menempelkan antigen pada
permukaan sel darah merah sehingga terjadi proses aglutinasi yang
dapat diamati secara mikroskopik. Bila di dalam serum sampel terdapat
anti Helicobacter pylori maka akan terjadi aglutinasi dan dinyatakan
positif terinfeksi Helicobacter pylori.

b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan ini banyak menunjang diagnosis suatu penyakit di saluran
cerna. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis
terhadap saluran cerna bagian atas dan sebaiknya menggunakan kontras
ganda. Pada refluks gastroesofageal, akan tampak peristaltik di
oesophagus yang menurun terutama di bagian distal, tampak
antiperistaltik di antrum yang meninggi, serta sering menutupnya
pylorus sehingga sedikit barium yang masuk ke intestinal. Pada tukak,
baik di lambung maupun di duodenum, akan terlihat gambaran yang
disebut niche, yaitu kawah dari tukak yang terisi kontras media. Bentuk
niche dari tukak yang jinak umumnya reguler, semisirkuler, dengan
dasar licin.

c. Ultrasonografi (USG)
Merupakan sarana diagnostik yang non-invasif. Akhir-akhir ini makin
banyak dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari
suatu penyakit, apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat
digunakan setiap saat, dan pada kondisi pasien yang berat sekalipun
dapat dimanfaatkan. Pemanfaatan alat USG pada sindroma dispepsia
terutama bila ada dugaan kelainan di tractus biliaris, pancreas, kelainan
di tiroid, bahkan juga ada dugaan di oesophagus dan lambung.

d. Biopsi
Adanya H. Pylory dapat ditentukan dengan biopsy dan histology melalui
kultur, meskipun hal ini merupakan tes laboratorium khusus. Ada juga
tes pernafasan yang mendeteksi H. Pylori, serta tes serologis terhadap
antibody pada antigen H. Pylori.

Diagnosis Banding
1. Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) dapat menjadi salah satu
diagnosis banding. Umumnya, penderita penyakit ini sering melaporkan
nyeri abdomen bagian atas epigastrum/ulu hati yang dapat ataupun
regurgitasi asam. Kemungkinan lain, irritable bowel syndrome (IBS) yang
ditandai dengan nyeri abdomen (perut) yang rekuren, yang berhubungan
dengan buang air besar (defekasi) yang tidak teratur dan perut kembung..
2. Obat-obatan juga dapat menyebabkan sindrom dispepsia, seperti suplemen
besi atau kalium, digitalis, teofilin, antibiotik oral, terutama eritromisin dan
ampisilin. Mengurangi dosis ataupun menghentikan pengobatan dapat
mengurangi keluhan dispepsia. Penyakit psikiatrik juga dapat menjadi
penyebab sindrom dispesia. Misalnya pada pasien gengan keluhan
multisistem yang salah satunya adalah gejala di abdomen ternyata menderita
depresi ataupun gangguan somatisasi. Gangguan pola makan juga tidak
boleh dilupakan apalagi pada pasien usia remaja dengan penurunan berat
badan yang signifikan.
3. Diabetes Mellitus (DM) dapat menyebabkan gastroparesis yang hebat
sehingga timbul keluhan rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, mual,
dan muntah. Lebih jauh diabetik radikulopati pada akar saraf thoraks dapat
menyebabkan nyeri abdomen bagian atas. Gangguan metabolisme, seperti
hipotiroid dan hiperkalsemia juga dapat menyebabkan nyeri abdomen
bagian atas.
4. Penyakit jantung iskemik kadang-kadang timbul bersamaan dengan gejala
nyeri abdomen bagian atas yang diinduksi oleh aktivitas fisik. Nyeri dinding
abdomen yang dapat disebabkan oleh otot yang tegang, saraf yang tercepit,
ataupun miositis dapat membingungkan dengan dispepsia fungsional.
Cirinya terdapat tenderness terlokalisasi yang dengan palpasi akan
menimbulkan rasa nyeri dan kelembekan tersebut tidak dapat dikurangi atau
dihilangkan dengan meregangkan otot-otot abdomen.
Tabel 5 : Diagnosis Banding Syndrom Dyspepsia

3.8. Tatalaksana
Salah satu segi pengobatan ulkus duodenalis atau ulkus gastrikum adalah
menetralkan atau mengurangi keasaman lambung. Proses ini dimulai dengan
menghilangkan iritan lambung (misalnya obat anti peradangan non-steroid, alkohol
dan nikotin). Makanan cair tidak mempercepat penyembuhan maupun mencegah
kambuhnya ulkus. Tetapi penderita hendaknya menghindari makanan yang
tampaknya menyebabkan semakin memburuknya nyeri dan perut kembung.

ANTASID
Antasid mengurangi gejala, mempercepat penyembuhan dan mengurangi
jumlah angka kekambuhan dari ulkus. Sebagian besar antasid bisa diperoleh tanpa
resep dokter.
Kemampuan antasid dalam menetralisir asam lambung bervariasi berdasarkan
jumlah antasid yang diminum, penderita dan waktu yang berlainan pada penderita
yang sama. Pemilihan antasid biasanya berdasarkan kepada rasa, efek terhadap
saluran pencernaan, harga dan efektivitasnya. Tablet mungkin lebih disukai, tetapi
tidak seefektif obat sirup.

1. Antasid yang dapat diserap

Obat ini dengan segera akan menetralkan seluruh asam lambung.


Yang paling kuat adalah natrium bikarbonat dan kalsium karbonat, yang efeknya
dirasakan segera setelah obat diminum. Obat ini diserap oleh aliran darah, sehingga
pemakaian terus menerus bisa menyebabkan perubahan dalam keseimbangan
asam-basa darah dan menyebabkan terjadinya alkalosis (sindroma alkali-susu).
Karena itu obat ini biasanya tidak digunakan dalam jumlah besar selama lebih dari
beberapa hari.

2. Antasid yang tidak dapat diserap

Obat ini lebih disukai karena efek sampingnya lebih sedikit, tidak menyebabkan
alkalosis. Obat ini berikatan dengan asam lambung membentuk bahan yang
bertahan di dalam lambung, mengurangi aktivitas cairan-cairan pencernaan dan
mengurangi gejala ulkus tanpa menyebabkan alkalosis.
Tetapi antasid ini mempengaruhi penyerapan obat lainnya (misalnya tetracycllin,
digoxin dan zat besi) ke dalam darah.

3. Alumunium Hdroksida

Merupakan antasid yang relatif aman dan banyak digunakan. Tetapi alumunium
dapat berikatan dengan fosfat di dalam saluran pencernaan, sehingga mengurangi
kadar fosfat darah dan mengakibatkan hilangnya nafsu makan dan lemas. Resiko
timbulnya efek samping ini lebih besar pada penderita yang juga alkoholik dan
penderita penyakit ginjal (termasuk yang menjalani hemodialisa). Obat ini juga
bisa menyebabkan sembelit.

4. Magnesium Hidroksida

Merupakan antasid yang lebih efektif daripada alumunium hidroksida.


Dosis 4 kali 1-2 sendok makan/hari biasanya tidak akan mempengaruhi kebiasaan
buang air besar; tetapi bila lebih dari 4 kali bisa menyebabkan diare. Sejumlah
kecil magnesium diserap ke dalam darah, sehingga obat ini harus diberikan dalam
dosis kecil kepada penderita yang mengalami kerusakan ginjal. Banyak antasid
yang mengandung magnesium dan alumunium hidroksida.

Rekomendasi pengobatan anti H.pylori


Obat Dosis Durasi Eradikasi
Kelompok 1 (3 jenis obat): 4 x II tablet 14 hari 88% - 90%

pBismuth 4 x 500 mg

p Tetracycline 4 x 250 mg

p Metronidazole
Kelompok 2, 3 dan 4 (3 2 x I kapsul 10-14 hari 86% - 91%
jenis obat):

p Penyekat pompa proton 2 x 500 mg

p Clarithromycin atau 2 x 1000 mg


Amoxicillin 2 x 500 mg

p Metronidazole 2 x 1000 mg

OBAT-OBAT ULKUS
Ulkus biasanya diobati minimal selama 6 minggu dengan obat-obatan yang
mengurangi jumlah asam di dalam lambung dan duodenum.
Obat ulkus bisa menetralkan atau mengurangi asam lambung dan meringankan gejala,
biasanya dalam beberapa hari.

1. Sucralfate
Cara kerjanya adalah dengan membentuk selaput pelindung di dasar ulkus untuk
mempercepat penyembuhan. Sangat efektif untuk mengobati ulkus peptikum dan
merupakan pilihan kedua dari antasid.
Sucralfate diminum 3-4 kali/hari dan tidak diserap ke dalam darah, sehingga efek
sampingnya sedikit, tetapi bisa menyebabkan sembelit.

2. AntagonisH2
Contohnya adalah cimetidine, ranitidine, famotidine dan nizatidine. Obat ini
mempercepat penyembuhan ulkus dengan mengurangi jumlah asam dan enzim
pencernaan di dalam lambung dan duodenum. Diminum 1 kali/hari dan beberapa
diantaranya bisa diperoleh tanpa resep dokter. Pada pria cimetidine bisa menyebabkan
pembesaran payudara yang bersifat sementara dan jika diminum dalam waktu lama
dengan dosis yang tinggi bisa menyebabkan impotensi. Perubahan mental (terutama
pada penderita usia lanjut), diare, ruam, demam dan nyeri otot telah dilaporkan terjadi
pada 1% penderita yang mengkonsumsi cimetidine.

Jika penderita mengalami salah satu dari efek samping tersebut diatas, maka
sebaiknya cimetidine diganti dengan antagonis H2 lainnya. Cimetidine bisa
mempengaruhi pembuangan obat tertentu dari tubuh (misalnya teofilin untuk asma,
warfarin untuk pembekuan darah dan phenytoin untuk kejang).

3. Omeprazole dan Iansoprazole

Merupakan obat yang sangat kuat menghambat pembentukan enzim yang diperlukan
lambung untuk membuat asam. Obat ini dapat secara total menghambat pelepasan
asam dan efeknya berlangsung lama.
Terutama efektif diberikan kepada penderita esofagitis dengan atau tanpa ulkus
esofageal dan penderita penyakit lainnya yang mempengaruhi pembentukan asam
lambung (misalnya sindroma Zollinger-Ellison).

4. Antibiotik
Digunakan bila penyebab utama terjadinya ulkus adalah Helicobacter pylori.
Pengobatan terdiri dari satu macam atau lebih antibiotik dan obat untuk mengurangi
atau menetralilsir asam lambung. Yang paling banyak digunakan adalah kombinasi
bismut subsalisilat (sejenis sucralfate) dengan tetracyclin dan metronidazole atau
amoxycillin. Kombinasi efektif lainnya adalah omeprazole dan antibiotik.
Pengobatan ini bisa mengurangi gejala ulkus, bahkan jika ulkus tidak memberikan
respon terhadap pengobatan sebelumnya atau jika ulkus sering mengalami
kekambuhan.

5. Misoprostol
Digunakan untuk mencegah ulkus gastrikum yang disebabkan oleh obat-obat anti
peradangan non-steroid. Obat ini diberikan kepada penderita artritis yang
mengkonsumsi obat anti peradangan non-steroid dosis tinggi. Tetapi obat ini tidak
digunakan pada semua penderita artritis tersebut karena menyebabkan diare (pada
30% penderita).

PEMBEDAHAN

Jarang diperlukan pembedahan untuk mengatasi ulkus karena pemberian obat sudah
efektif.
Pembedahan terutama dilakukan untuk:

- Mengatasi komplikasi dari ulkus peptikum (misalnya prforasi, penyumbatan


yang tidak memberikan respon terhadap pemberian obat atau mengalami
kekambuhan)
- 2 kali atau lebih perdarahan karena ulkus
- Ulkus gastrikum yang dicurigai akan menjadi ganas
- Ulkus peptikum yang berat dan sering kambuhan.

Tetapi setelah dilakukan pembedahan, ulkus masih dapat kambuh dan dapat timbul
masalah-masalah lain seperti pencernaan yang buruk, anemia dan penurunan berat
badan.

3.9. Komplikasi
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun, dapat memicu adanya komplikasi
yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi Ulkus Peptikum, yaitu luka di dinding
lambung yang dalam atau melebar, tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam
lambung. Bila keadaan Ulkus Peptikum ini terus terjadi, luka akan semakin dalam dan
dapat menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan
terjadinya muntah darah. Muntah darah ini sebenarnya pertanda yang timbul
belakangan. Awalnya penderita pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam
terlebih dulu. Yang artinya sudah ada perdarahan awal.Tapi komplikasi yang paling
dikuatirkan adalah terjadinya kanker lambung yang mengharuskan penderitanya
melakukan operasi.
3.10. Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit dispepsia ini adalah sebagai berikut :

1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)


Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko dispepsia
bagi individu yang belum ataupun mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan
pola hidup sehat, promosi kesehatan (Health Promotion) kepada masyarakat
mengenai :

a. Modifikasi pola hidup dimana perlu diberi penjelasan bagaimana mengenali


dan menghindari keadaan yang potensial mencetuskan serangan dispepsia.
b. Menjaga sanitasi lingkungan agar tetap bersih, perbaikan sosioekonomi dan
gizi dan penyediaan air bersih.
c. Khusus untuk bayi, perlu diperhatikan pemberian makanan. Makanan yang
diberikan harus diperhatikan porsinya sesuai dengan umur bayi. Susu yang
diberikan juga diperhatikan porsi pemberiannya
d. Mengurangi makan makanan yang pedas, asam dan minuman yang beralkohol,
kopi serta merokok.

2. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)


Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment).

a. Diagnosis Dini (Early Diagnosis)


Setiap penderita dispepsia sebaiknya diperiksa dengan cermat. Evaluasi klinik
meliputi anamnese yang teliti, pemeriksaan fisik, laboratorik serta
pemeriksaan penunjang yang diperlukan, misalnya endoskopi atau
ultrasonografi. Bila seorang penderita baru datang, pemeriksaan lengkap
dianjurkan bila terdapat keluhan yang berat, muntah-muntah telah berlangsung
lebih dari 4 minggu, penurunan berat badan dan usia lebih dari 40 tahun. Untuk
memastikan penyakitnya, disamping pengamatan fisik perlu dilakukan
pemeriksaan
b. Pengobatan Segera (Prompt Treatment)
1) Diet mempunyai peranan yang sangat penting. Dasar diet tersebut adalah
makan sedikit berulang kali, makanan yang banyak mengandung susu
dalam porsi kecil. Jadi makanan yang dimakan harus lembek, mudah
dicerna, tidak merangsang peningkatan dalam lambung dan kemungkinan
dapat menetralisir asam HCL.
2) Perbaikan keadaan umum penderita
3) Pemasangan infus untuk pemberian cairan, elektrolit dan nutrisi.
4) Penjelasan penyakit kepada penderita. Golongan obat yang digunakan
untuk pengobatan penderita dispepsia adalah antasida, antikolinergik,
sitoprotektif dan lain-lain.

3. Pencegahan Tertier
Rehabilitasi mental melalui konseling dengan psikiater, dilakukan bagi
penderita gangguan mental akibat tekanan yang dialami penderita dispepsia
terhadap masalah yang dihadapi.
3.11. Prognosis
Dispepsia fungsional yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang
yang akurat mempunyai prognosis yang baik.
Mahadeva et al. (2011) menemukan bahwa pasien dispepsia fungsional memiliki
prognosis kualitas hidup lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan
dispepsia organik. Tingkat kecemasan sedang hingga berat juga
lebih sering dialami oleh individu dispepsia fungsional.25 Lebih jauh diteliti,
terungkap bahwa pasien dispepsia fungsional, terutama yang refrakter terhadap
pengobatan, memiliki kecenderungan tinggi untuk mengalami depresi dan
gangguan psikiatris.
DAFTAR PUSTAKA

Dorland, W. A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 29. Jakarta: EGC

FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi 5.
Jakarta: Gaya Baru

Idrus, Alwi dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan IPD FKUI

Putz, Reinhard & Reinhard Pabst. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2 Edisi 22.
Jakarta: EGC

Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC

Sherwood, Laurale. 2001. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, Edisi 2. Jakarta: EGC

(http://www.kalbemed.com/portals/6/197_cme-dispepsia.pdf)
(http://www.kalbemed.com/Portals/6/1_10_259CME-
Faktor%20Risiko,%20Klasifikasi,%20dan%20Terapi%20Sindrom%20Dispepsia.pdf )

Anda mungkin juga menyukai