Anda di halaman 1dari 14

LINGKUNGAN GEOLOGI REGIONAL

Disusun oleh:
Ikbar Musaffa Levi
111.150.026

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2016

1
Geologi Regional Bandung Jawa Barat

1. FISIOGRAFI

Menurut van Bemmelen (1949), secara fisiografis daerah Jawa Barat dibagi menjadi lima bagian
besar, yaitu Dataran Aluvial Jawa Barat Utara, Antiklinorium Bogor, Kubah dan Pegunungan pada Zona
Depresi Tengah, Zona Depresi Tengah Jawa Barat, dan Pegunungan Selatan Jawa Barat. Daerah
penelitian terletak pada Zona Bandung, tepatnya pada Kubah dan Pegunungan pada Zona Depresi Tengah
(Gambar 1).

Gambar 1. Fisiografi Jawa Barat (menurut van Bemmelen, 1949).

Zona Bandung merupakan daerah gunungapi yang relatif memiliki bentuk depresi dibandingkan
zona yang mengapitnya yaitu Zona Bogor dan Zona Pegunungan Selatan. Sebagian besar terisi oleh
endapan aluvial dan vulkanik muda (Kuarter) dari produk gunungapi yang terletak pada dataran rendah di
daerah perbatasan dan membentuk barisan. Walaupun Zona Bandung membentuk depresi, ketinggiannya
masih terbilang cukup besar seperti misalnya depresi Bandung dengan ketinggian 700-750 mdpl (meter
di atas permukaan laut). Di beberapa tempat pada zona ini merupakan campuran endapan Kuarter dan
Tersier, pegunungan Tersier tersebut yaitu Pegunungan Bayah (Eosen), bukit di Lembah Cimandiri

2
(kelanjutan dari Pegunungan Bayah), Bukit Rajamandala (Oligosen) dan plateau Rongga termasuk
dataran Jampang (Pliosen), dan Bukit Kabanaran.

2. STRATIGRAFI REGIONAL

Menurut Martodjojo (1984), wilayah Jawa Barat dapat dibagi menjadi empat mandala sedimentasi, yaitu:

1. Mandala Paparan Kontinen Utara terletak pada lokasi yang sama dengan Zona Dataran Pantai
Jakarta pada pembagian zona fisiografi Jawa Bagian Barat oleh van Bemmelen (1949). Mandala ini
dicirikan oleh endapan paparan yang umumnya terdiri dari batugamping, batulempung, dan
batupasir kuarsa, serta lingkungan pengendapan umumnya laut dangkal. Pada mandala ini pola
transgresi dan regresi umumnya jelas terlihat. Struktur geologinya sederhana, umumnya sebagai
pengaruh dari pergerakan isostasi dari batuan dasar. Ketebalan sedimen di daerah ini dapat
mencapai 5000 m.
2. Mandala Sedimentasi Banten kurang begitu diketahui karena sedikitnya data yang ada. Pada
Tersier Awal, mandala ini cenderung menyerupai Mandala Cekungan Bogor, sedangkan pada
Tersier Akhir, ciri dari mandala ini sangat mendekati Mandala Paparan Kontinen.
3. Mandala Cekungan Bogor terletak di selatan Mandala Paparan Kontinen Utara. Pada pembagian
zona fisiografi Jawa Barat oleh van Bemmelen (1949), mandala ini meliputi Zona Bogor, Zona
Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Mandala sedimentasi ini dicirikan oleh endapan aliran
gravitasi, yang kebanyakan berupa fragmen batuan beku dan batuan sedimen, seperti andesit,
basalt, tuf, dan batugamping. Ketebalan sedimen diperkirakan lebih dari 7000 m.
4. Mandala Pegunungan Selatan Jawa Barat terletak di selatan Mandala Cekungan Bogor. Pada
pembagian zona fisiografi Jawa Barat menurut van Bemmelen (1949), mandala ini meliputi
Pegunungan Selatan Jawa Barat dan Zona Bandung.

Berdasarkan pembagian mandala sedimentasi di atas, daerah penelitian terletak pada Mandala
Cekungan Bogor. Mandala Cekungan Bogor menurut Martodjojo (1984) mengalami perubahan dari
waktu ke waktu sepanjang zaman Tersier–Kuarter. Mandala ini terdiri dari tiga siklus pengendapan.
Pertama-tama diendapkan sedimen laut dalam, kemudian sedimen darat yang berangsur berubah menjadi
sedimen laut dangkal, dan yang terakhir diendapkan sedimen dengan mekanisme aliran gravitasi. Siklus
pertama dan kedua sedimen berasal dari utara,
sedangkan siklus ketiga berasal dari selatan. Lebih lanjut, Martodjojo (1984) telah membuat penampang
stratigrafi terpulihkan utara-selatan di Jawa Barat (Gambar 2).

3
Gambar 2. Penampang stratigrafi utara-selatan Jawa Barat (Martodjojo, 1984).

Skema stratigrafi wilayah Bandung telah diperkenalkan sebelumnya oleh beberapa peneliti
dengan klasifikasi atau penamaannya berdasarkan lokasi penelitiannya masing-masing. Koesoemadinata
dan Hartono (1981) mengklasifikasikan stratigrafi di daerah Bandung berdasarkan litologi dan penafsiran
sedimentasi serta menyesuaikan dengan Sandi Stratigrafi Indonesia (Tabel 1). Penamaan ini kemudian
diusulkan sebagai satuan stratigrafi resmi. Sementara itu Kartadinata (2009) menggunakan studi
tefrokronologi hasil erupsi Gunung Tangkubanparahu dalam penelitiannya. Adanya persamaan dan
perbedaan hasil analisis peneliti-peneliti sebelumnya ini menjadi dasar acuan penulis, terutama dalam
penentuan umur di daerah penelitian (Gambar 3).

4
Tabel 1. Stratigrafi daerah Bandung (Koesoemadinata dan Hartono, 1981).

Umur Satuan Stratigrafi Tebal (m) Keterangan

Bahan lepas tidak terkonsolidasi, berukuran lempung


Endapan sungai ±5
sampai bongkah.

Bidang erosi
Holosen

Lava basalt berstruktur kekar kolom, konglomerat


Formasi Cikidang 0-65 gunungapi, tuf kasar berlapis sejajar dan breksi
gunungapi yang kadang-kadang berwarna coklat tua.

Pleistosen Atas Batulempung gunungapi, batulanau gunungapi,


Formasi Kosambi 0-80 mengandung sisa tumbuhan, setempat dijumpai struktur
perlapisan dan silang-siur.

Perulangan urut-urutan breksi-tuf, fragmen skoria


Formasi Cibeureum 0-180
andesit-basalt dan batuapung.

Bidang erosi

Pleistosen Bawah
Konglomerat gunungapi, breksi gunungapi, tuf, dan
Formasi Cikapundung ± 0-350 sisipan lava andesit. Umumnya berwarna lebih terang
dari formasi lainnya, fragmen piroksen andesit.

Gambar 3. Stratigrafi daerah Bandung (Kartadinata, 2009).

5
6
3. Lingkungan pengendapan

Cekungan Bandung merupakan cekungan (basin) yang dikelilingi oleh gunung api dengan
ketinggian 650 m sampai lebih dari 2000 meter. Sungai Citarum yang berhulu di gunung Wayang
Kabupaten Bandung (1700 m dpl) melewati dasar cekungan dan mengalir menuju Waduk Saguling,
bermuara di pantai utara Jawa tepatnya di Kabupaten Karawang. Berdasarkan ciri-ciri litologi, Cekungan
Bandung terbagi atas 4 bagian berdasarkan batuan penyusunnya yaitu: endapan tersier, hasil gunung api
tua, hasil gunung api muda dan endapan danau (Narulita et al., 2008). Untuk penjelasan terhadap geologi
Cekungan Bandung berdasarkan studi pustaka, dapat dijabarkan dalam beberapa sub bab sebagai berikut:

1. Morfologi

Terkait dengan batas wilayah Cekungan Bandung, terdapat 4 anggapan mengenai batas luasan
Cekungan Bandung (Brahmantyo, 2004), yaitu:
a. Dataran Tinggi Bandung (wilayah administratif Kota Bandung saat ini kecuali kecuali kawasan Kota
Bandung utara yaitu sebelah utara jalan raya timur meliputi: Surapati-Cicaheum-Ujungberung-Cileunyi).
b. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu.
c. Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum-Rajamandala (Waduk Saguling).
d. Batas Administratif Kabupaten Bandung Bagian Barat.
Batasan Cekungan Bandung adalah daerah yang didasarkan pada sebaran endapan danau Bandung purba
yang secara morfologis membentuk Dataran Danau Bandung dan daerah sekelilingnya yang merupakan
sumber asal endapan danau (Brahmantyo, 2005). Sehingga Cekungan Bandung adalah cekungan
topografi yang membentuk daerah pengaliran Citarum hingga berakhir di titik aliran Citarum pada daerah
perbukitan Rajamandala (Pasir Kiara-Pasir Larang, berdekatan dengan poros bendungan Saguling).
Definisi batasan Cekungan Bandung ini sesuai dengan anggapan ke-3 yaitu DAS Citarum-Rajamandala
(Waduk Saguling) (Brahmantyo, 2005).
Untuk identifikasi satuan bentang alam, Cekungan Bandung dapat dibagi menjadi beberapa satuan
bentang alam (Sampurno, 2004), sebagai berikut:
a. Satuan Dataran Danau Bandung

Satuan Dataran Danau Bandung berukuran cukup luas dengan ukuran kurang lebih 750 km
persegi yang memanjang ke arah barat-timur, terletak pada ketinggian sekitar 700 m dpl. Luas dataran ini
sekitar 20 persen dari seluruh Cekungan Bandung. Dataran ini merupakan dataran endapan danau

7
Bandung purba yang telah mengering ribuan tahun yang lalu. Sungai utama dari dataran ini adalah
Citarum yang membelah dataran danau sehingga Ci Tarum terletak pada titik terendah pada Cekungan
Bandung. Di dalam satuan dataran danau terdapat Dataran Kipas Aluvial yang menempati seperlima luas
Dataran Danau Bandung. Dataran Kipas Aluvial menyebar hingga meliputi daerah Cimahi-Dago sebagai
batas utara menuju Cicaheum dan Buah Batu. Citarum mengalir di Dataran Danau Bandung dengan pola
meander berkelok-kelok khususnya di sebelah utara Ciparay hingga Curug Jompong (sebelah selatan
Cimahi).

b. Satuan Kerucut Gunung Api

Satuan Kerucut Gunung Api merupakan pagar yang mengelilingi dataran danau, menempati sekitar 70
persen dari seluruh luas daerah Cekungan Bandung. Satuan ini terdiri dari badan gunung api kuarter
dengan ketinggian sekitar 2000 m. Di sebelah utara berjajar deretan gunung api Burangrang, Tangkuban
Perahu (2076 m), Bukit Tunggul, Canggak, Manglayang. Untuk di sebelah timur terdapat kerucut-kerucut
gunung api kecil-kecil antara lain Mandalawangi (1650 m), Mandalagiri, Gandapura dan lain sebagainya.
Bagian selatan terdapat dataran danau berjajar gunung api Malabar (2343 m), Patuha (2434 m) dan lain
sebagainya. Diantara gunung-gunung api tersebut masih banyak ditemui endapan-endapan vulkanik
seperti breksi vulkanik, tufa, beberapa lidah-lidah lava. Tufa di daerah Lembang dan Dago kaya akan batu
apung dan bersifat tras. Ke arah Satuan Dataran Danau, kerucut gunung api menjadi melandai membentuk
kaki gunung api dimana kemiringan lahannya berkisar 5 hingga 15 persen.

c. Satuan Pematang Homoklin

Satuan Pematang Homoklin adalah perbukitan memanjang yang membentuk daerah perbukitan
Rajamandala-Padalarang, memanjang kurang lebih dengan arah timur timur laut- barat barat daya.
Kedudukan satuan ini berada di dinding barat dari Cekungan Bandung dimana terdapat celah aliran Ci
Tarum yang membelah perbukitan. Memiliki ketinggian sekitar 800-1000 m dpl dan seluas kurang lebih 7
persen dari luas total Cekungan Bandung. Pematang Homoklin menunjukkan bahwa lereng sebelah utara
lebih terjal sekitar kurang lebih 30-140 persen dibandingkan daerah lereng sebelah selatan. Lereng selatan
memiliki kemiringan lapisan pembentuknya sekitar rata-rata 30-60 persen. Ci Tarum menyusuri daerah di
sebelah selatan perbukitan Rajamandala. Batuan-batuan pembentuknya adalah berbagai batuan sedimen
marin tersier dari berbagai formasi antara lain batu gamping dan batu lempung.

8
d. Satuan Perbukitan Isolasi

Di dalam satuan dataran danau bermunculan bukit-bukit yang terpisah satu sama lain atau
berkelompok menjadi jajaran perbukitan. Bukit-bukit tersebut dikelompokkan menjadi suatu Satuan
Perbukitan Terisolasi yang terdapat di sebelah selatan Cimahi dan Dayeuhkolot dan berketinggian sekitar
800-900 m. Bukit-bukit tersebut antara lain Gunung Bohong (878 m), Gunung Pangaten, Gunung
Koromong, Gunung Geulis dan lain sebagainya. Sungai-sungai yang berada di kaki perbukitan kerucut
gunung api maupun yang berada di dataran danau mengandung berbagai jenis pasir untuk bahan
bangunan.

2. Geologi dan Sifat-Sifat Fisik Batuan

Litologi penyusun wadah dan isi Cekungan Bandung adalah batuan gunung api yang secara
stratigrafi kegiatan vulkanismenya sudah dimulai sejak Kala Paleosen. Berdasarkan Bronto and Hartono
(2006), kemungkinan pembentukan Cekungan Bandung disebabkan oleh 4 hal utama yaitu:
1. Merupakan cekungan antar gunung (intra-mountain basin), sebagai bentukan utamanya adalah proses
eksogen.
2. Merupakan graben, sebagai bentukan murni deformasi tektonika.
3. Merupakan kaldera, sebagai bentukan murni letusan gunung api.
4. Merupakan volcano-tectonic calderas, sebagai hasil perpaduan proses tektonika dan vulkanisme.
Cekungan Bandung terdiri atas berbagai formasi morfologi yang terdiri atas berbagai batuan berumur
Oligosen hingga Resen. Batuan-batuan tersebut dikelompokkan dalam beberapa formasi (Sampurno, 2004
dan Hutasoit, 2009), sebagai berikut:

a. Formasi Cibeureum

Merupakan lapisan aquifer utama dengan sebaran berbentuk kipas yang bersumber dari Gunung
Tangkubanparahu. Formasi ini terutama terdiri atas perulangan breksi dan tuf dengan tingkat konsolidasi
rendah serta beberapa sisipan lava basal, dengan umur Plistosen Akhir-Holosen. Breksi dalam formasi ini
adalah breksi vulkanik yang disusun oleh fragmen-fragmen skoria batuan beku andesit basal dan batu
apung.

b. Formasi Kosambi

9
Nama Formasi Kosambi diusulkan oleh Koesoemadinata dan Hartono (1981) untuk
menggantikan nama Endapan Danau yang digunakan oleh Silitonga (1973). Sebaran formasi ini
dipermukaan adalah di bagian tengah. Litologinya terutama terdiri atas batu lempung, batu lanau dan batu
pasir yang belum kompak dengan umur Holosen. Formasi ini mempunyai hubungan menjemari dengan
Formasi Cibeureum bagian atas. Berdasarkan sifat litologinya, formasi ini berperan sebagai akuintar di
kawasan Cekungan Bandung.

c. Formasi Cikapundung

Formasi ini adalah satuan batuan tertua yang tersingkap di daerah penelitian (Koesoemadinata dan
Hartono, 1981) dan terdiri atas konglomerat dan breksi kompak, tuf dan lava andesit. Umur formasi ini
diperkirakan Plistosen Awal. Kekompakan litologi penyusun formasi ini dapat digunakan sebagai salah
satu pembeda dengan formasi Cibeureum serta dasar untuk menentukan peran formasi ini sebagai batuan
dasar hidrogeologi di kawasan Cekungan Bandung. Menurut Silitonga (1973) formasi ini adalah
ekuivalen dengan Qvu. Selain formasi ini, berdasarkan sifat litologinya Qvl, Qvb, Qob, dan Qyl dapat
dimasukkan sebagai batuan dasar. Satuan-satuan lain yang membentuk batuan dasar adalah batuan
gunung api Kuarter (kecuali Formasi Cibeureum dan Formasi Cikapundung), batuan gunung api Tersier,
batuan sedimen Tersier, dan batuan terobosan yang tercakup didalam peta geologi.

c. Endapan Batuan Vulkanik (Kuarter)

Berbagai endapan gunung api dapat dipisahkan antara lain berdasarkan umur maupun komposisi.
Umumnya terdiri dari breksi vulkanik, tufa, lidah-lidah lava, endapan lahar dan aglomerat. Tufa dari
Gunung Tangkuban Perahu yang menyebar hingga Lembang, beberapa tempat di Dago, dan Kipas
Aluvial Bandung utara, sebagian besar mengandung batu apung yang bersifat berpori dan permeabel.
Tufa yang membentuk daerah Gunung Burangrang, Gunung Sunda, Gunung Bukit Tunggul, Gunung
Canggak dan perbukitan Dago Utara hingga Maribaya terdiri atas breksi vulkanik berselingan dengan
endapan lahar, tufa halus dan lidah-lidah lava. Sifat batuan umumnya sedikit kompak daripada tufa
berbatu apung tetapi masih cukup permeabel. Lapisan endapan vulkanik di sebelah utara umumnya
menunjukkan kemiringan ke arah selatan sekitar 5-7 derajat. Pada permukaannya, endapan vulkanik
menunjukkan tanah hasil pelapukan yang bersifat gembur dan mudah terkikis tetapi subur.

d. Endapan Danau Purba

10
Terdiri dari lapisan-lapisan kerakal, batu pasir, batu lempung, tersemen, lemah, gembur dan
terkadang kenyal. Beberapa lapisan bersifat permeabel dan menjadi akifer yang baik. Beberapa lapisan
lain bersifat lembek, organik dan mempunyai daya dukung rendah dan air tanah yang dikandungnya dapat
bersifat agak asam atau berbau sulfur. Kedudukan lapisan umumnya horisontal dengan hubungan antar
lapisan kadang-kadang berbentuk silang jari.

e. Endapan Aluvial

Terdiri dari kerikil, pasir, lanau dari endapan sungai atau endapan banjir pada umumnya bersifat lepas
sampai tersemen lemah, atau plastis bahkan dapat bersifat mengalir bila jenuh air. Pasir lepas dan kerakal
endapan sungai masih mengandung cukup banyak lumpur.

Sebagai gambaran dari kondisi geologi kawasan Cekungan Bandung, dapat dilihat pada gambar 1,
sebagai berikut:

11
4. STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

Pulau Jawa merupakan bagian dari sistem busur kepulauan yang mengalami interaksi konvergen
antara Lempeng Samudera Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia. Interaksi ini terjadi dengan
Lempeng Samudera Hindia-Australia bergerak ke utara yang menunjam ke bawah tepian Benua Eurasia
yang relatif tidak bergerak (Asikin, 1992).

Interaksi konvergen ini juga menyebabkan terbentuknya jalur subduksi yang berkembang
semakin muda ke arah baratdaya-selatan dan ke arah utara (Katili, 1975 dalam Asikin, 1992). Pada
Zaman Kapur-Paleosen, jalur subduksi ini dapat ditelusuri dari Jawa Barat bagian selatan (Ciletuh),
Pegunungan Serayu (Jawa Tengah), dan Laut Jawa bagian timur sampai ke bagian tenggara Kalimantan
dengan jalur magmatik yang terdapat pada daerah lepas Pantai Utara Jawa. Jalur subduksi ini membentuk
punggungan bawah permukaan laut yang terletak di selatan Pulau Jawa selama Zaman Tersier. Hal ini
menunjukkan pada akhir Zaman Kapur hingga Oligo-Miosen terjadi pergerakan jalur subduksi ke arah
selatan. Pada Neogen sampai Kuarter, jalur magmatik Pulau Jawa kembali bergerak ke arah utara dengan
jalur subduksi yang relatif tidak bergerak. Hal ini menunjukkan pada Neogen penunjamannya lebih landai
dibanding dengan pada Zaman Paleogen.

Evolusi tektonik di atas dikuatkan oleh hasil penelitian Pulunggono dan Martodjojo (1994), yang
menyimpulkan bahwa pada dasarnya di Pulau Jawa terdapat empat arah kelurusan struktur yang dominan
(Gambar 4), yaitu:

1. Pola Meratus yang berarah timurlaut-baratdaya, terbentuk pada 80-53 juta tahun yang lalu (Kapur
Akhir-Eosen Awal) dan merupakan pola tertua di Jawa. Pola Meratus ini diwakili oleh Sesar
Cimandiri di Jawa Barat, yang dapat diikuti ke timur laut sampai batas timur Cekungan Zaitun dan
Cekungan Biliton, Sesar naik Rajamandala serta sesar-sesar lainnya di daerah Purwakarta.
2. Pola Sunda yang berarah utara-selatan, terbentuk pada 53-32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal-
Oligosen Akhir). Pola ini diwakili oleh sesar-sesar yang membatasi Cekungan Asri, Cekungan
Sunda, dan Cekungan Arjuna.
3. Pola Struktur Sumatera yang berarah baratlaut-tenggara, sejajar dengan arah sumbu panjang Pulau
Sumatera (Pegunungan Bukit Barisan). Pola ini diwakili Sesar Baribis, sesar-sesar di Lembah
Cimandiri dan Gunung Walat.

12
4. Pola Jawa yang berarah barat-timur, yang terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu. Pola ini
merupakan pola struktur yang paling muda, memotong dan merelokasi Pola Struktur Meratus dan
Pola Struktur Sunda.

Pola kelurusan yang terdapat di daerah penelitian dipengaruhi oleh pola Jawa.

Gambar 4. Pola struktur Pulau Jawa (Martodjojo dan Pulonggono, 1994).

Ekspresi geomorfologi yang jelas dari aktivitas neotektonik di Cekungan Bandung adalah Sesar
Lembang. Sesar ini secara morfologi diekspresikan berupa gawir sesar (fault scarp) dengan dinding gawir
menghadap ke arah utara. Menurut Tjia (1968), Sesar Lembang di bagian barat Maribaya (Lembah
Sungai Cikapundung) mempunyai karakter strike slip lebih dominan daripada dip slip, yaitu sesar mengiri
turun, sedangkan di bagian timur Maribaya mempunyai karakter dip slip lebih dominan. Silitonga (1973)
berpendapat bahwa Sesar Lembang merupakan sesar normal dengan blok utara relatif turun. Dari timur ke
barat, tingginya gawir sesar yang mencerminkan besarnya pergeseran sesar berubah dari sekitar 450 meter
di ujung timur (Maribaya, Gunung Pulusari) hingga 40 meter di sebelah barat (Cisarua) dan bahkan
menghilang di ujung barat di sekitar utara Padalarang. Berdasarkan peta topografi maupun foto udara atau
citra satelit, sesar ini mempunyai panjang sampai 22 km.

13
DAFTAR PUSTAKA

Brahmantyo, 2004. Mencari Delineasi Geomorfologi Cekungan Bandung. Departemen Pekerjaan Umum:
Jakarta
Brahmantyo, 2005. Geologi Cekungan Bandung. Diktat Kuliah. Institut Teknologi Bandung: Bandung
Hutasoit, 2009. Kondisi Permukaan Air Tanah Dengan Dan Tanpa Peresapan Buatan Di Daerah
Bandung: Hasil Simulasi Numerik. Jurnal Geologi Indonesia: Bandung
Anonim,web:http://smamuhammadiyahtasikmalayasosiologi.blogspot.co.id/2013/04/sejarah-danau-
bandung.html
Anonim,web:
http://mentarigeologi.blogspot.co.id/2015/12/download-peta-geologi-lembar-jawa-barat.html

14

Anda mungkin juga menyukai