Anda di halaman 1dari 45

Metodologi Penelitian Terhadap Kasus MDR Tuberkulosis Paru

Oktaviani Angella B

102012429/B10

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Terusan Arjuna No.6 Jakarta Barat 11510

Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731

Email: ester_octaviani@yahoo.com

I.PENDAHULUAN

Penelitian adalah suatu usaha penyelidikan yang hati-hati dan secara teratur terhadap
suatu objek tertentu untuk memperoleh suatu kebenaran atau bukti kebenaran. Penelitian pada
hakikatnya merupakan suatu upaya untuk memahami dan memecahkan masalah secara
ilmiah, sistematis dan logis. Pada penelitian kesehatan berorientasikan atau memfokuskan
kegiatan pada masalah-masalah yang timbul dibidang kesehatan/kedokteran dan sistem
kesehatan.Berdasarkan metode yang digunakan, penelitian kesehatan dapat digolongkan
menjadi dua kelompok besar yaitu metode penelitian survei dan metode penelitian
eksperimen. Penelitian survei adalah suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan
intervensi terhadap subjek penelitian. Dalam survei penelitian dilakukan pada sebagian dari
populasi ( sampel ), sedangkan penelitian eksperimen adalah peneliti melakukan percobaan
terhadap variabel independennya. Langkah-langkah dalam penatalaksanaan survei yaitu
menentukan tujuan penelitian, hipotesis, kerangka teori dan kerangka konsep, variabel,
definisi operasional, desain penelitian, subjek penelitian, alat ukur, pengolahan data,
kesimpulan dan laporan.1

II.PEMBAHASAN

II.1 Kerangka Teori

Menurut kamus Bahasa Indonesia Poerwadarminta, teori adalah “pendapat yang


dikemukakan sebagai suatu keterangan mengenai sesuatu peristiwa (kejadian), dan asas–asas,

1
hukum–hukum umum yang menjadi dasar sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan; serta
pendapat cara –cara dan aturan–aturan untuk melakukan sesuatu”. Kerangka teoritis adalah
suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor‐faktor
penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Kerangka Teori atau Kerangka
Pikir atau Landasan Teori adalah kesimpulan dari Tinjauan Puskata yang berisi tentang
konsep-konsep teori yang dipergunakan atau berhubungan dengan penelitian yang akan
dilaksanakan. Kerangka teori berisi prinsip-prinsip teori yang memengaruhi dalam
pembahasan. Prinsip-prinsip teori itu berguna untuk membantu gambaran langkah dan arah
kerja. Kerangka teori itu harus dapat menggambarkan tata kerja teori. Penyusunan teori
merupakan tujuan utama dari ilmu karena teori merupakan alat untuk menjelaskan dan
memprediksi fenomena yang diteliti. Teori selalu berdasarkan fakta, didukung oleh dalil dan
proposisi. Secara defenitif, teori harus berlandaskan fakta empiris karena tuijuan utamanya
adalah menjelaskan dan memprediksikan kenyataan atau realitas. Suatu penelitian dengan
dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan si peneliti dalam upaya menjelaskan
fenomena yang diteliti.1,2,3
Teori memberikan konstribusi terhadap penilitian antara lain:
- teori meningkatkan keberhasilan penelitian karena teori dapat menghubungkan
penemuan-penemuan yang nampaknya bebeda- beda kedalam suatu keseluruhan serta
memperjelas proses-proses yang terjadi didalamnya.
- Teori dapat memberikan penjelasan terhadap hubungan-hubungan yang diamati dalam
suatu penelitian.

Teori dapat memandu penelitian sehingga penelitian yang dilakukan memberikan


hasil yang diharapkan.4

II.2 Kerangka Konsep

Dari hasil kerangka teori serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut
maka dikembangkan suatu kerangka konsep penelitian. Yang dimaksud dengan kerangka
konsep penelitian adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu
terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang satu dengan variabel yang lain dari

2
masalah yang ingin diteliti. Jadi variabel adalah simbol atau lambang yang menunjukkan nilai
atau bilangan dari konsep. Variabel adalah yang bervariasi.4

Konsep adalah suatu abstraksi yang dibentuk dengan menggeneralisasikan suatu


pengertian. Oleh sebab itu, konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung. Agar
dapat diamati dan dapat diukur, maka konsep tersebuh harus dijabarkan ke vriabel-variabel.
Dari variabel itulah konsep dapat diamati dan diukur. Kerangka konsep penelitian ini di
diperlukan agar memperoleh gmbaran secara jelas ke arah mana penelitian dapatberjalan,
atau data apa yang dikumpulkaan.4

Contoh: sehat adalah suatu konsep, isilah ini mengungkapkan sejumlah observasi
tentang hal-hal atau gejala yangmencerminkan kerangka keragaman kondisi kesehatan
seorang. Untuk mengetahui apakah seseoraang itu sehat atau tidak sehat maka pengukuran
konsep sehat tersebut harus melalui konstruk atau variabel-variabel, misalnya tekanan darah,
denyut nadi, Hb darah, kolesterol, gula darah dan sebagainya. Tekanan darah, denyut nadi,
Hb dan sebagainya ini adalah variabel-varibel yang digunakan untuk mengukur atau
mengoservasi apakah seorang tersebutsehat atau tidak sehat.4

Sosial ekonomi adalah suatu konsep, dan untuk mengukur sosial ekonomi keluarga
misalnya harus melalui variabel tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan keluaraga dan
sebagainya. Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yangt ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.
Kerangka konsep ini dikembangkan atau diacukan ke pada tujuan penelitian yang telah
dirumuskan, serta didasari oleh kerangka teori yang telah di sajikan dalam tinjauan
kepustakaan sebelumnya. Dengan perkataan lain kerangka konsep adalah merupakan
formulasi atau simplifikasi dari kerangka teori atau teori-teori yang mendukung penelitia
tersebut. Oleh sebab itu, kerangka konsep ini terdiri dari variabel-variabel serta hubungan
variabel yang satu dengan yang lain. Dengan adanya kerangka konsep akan mengarahkan kita
untuk menganalisis hasil penelitian.1,4,5

II.3 Variabel Penelitian

Variabel didefinisikan sebagai karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu
subyek ke subyek lain. Yang dimaksud dengan variabel adalah karakteristik suatu subyek,
bukan subyek atau bendanya sendiri. Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang
dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh

3
kelompok lain. Variabel digunakan sebagai ciri, sifat atau ukuran yang dimiliki atau
didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep pengertian tertentu, misalnya umur,
jenis kelamin, pendidikan, status perkawinan, pekerjaan, pengetahuan, pendapatan, penyakit
dan sebagainya. Variabel juga dapat diartikan sebagai konsep yang mempunyai bermacam-
macam nilai. Misalnya badan, sosial, ekonomi, mahasiswa dan sebagainya.Selanjutnya
konsep ini dapat diubah menjadi variabel dengan cara memusatkan aspek tertentu. Misalnya:
a. Badan (konsep)  berat badan, tinggi badan (variabel)
b. Mahasiswa ( konsep)  jenis kelamin mahasiswa, umur mahasiswa, prestasi
mahasiswa (variabel).
c. Darah (konsep)  tekanan darah.1,5,6
Berdasarkan sifatnya variabel dapat dibedakan menjadi:
a. Variabel Kontinu
Variabel yang dapat ditentukan nilainya dengan jarak jangkau tertentu dengan
desimal yang tidak terbatas. Misalnya berat badan, tinggi badan, pendapatan dan
sebagainya. Misalnya seorang anak mempunyai tinggi 1,47 meter dengan berat
badan 54,25 kilogram.1,4
b. Variabel Deskrit
Konsep yang nilainya tidak dapat dinyatakan dalam bentuk pecahan atau desimal.
Variabel ini sering juga dinyatakan sebagai kategori.jika mempunyai dua kategori
dinamakan variabel dikotomi. Misalnya jenis kelamin, terdiri dari dari laki-laki
atau perempuan. Status perkawinan, sudah menikah dan belum menikah. Jika ada
lebih dari dua kategori disebut juga vriabel politomi. Tingkat pendidikan adalah
variabel politomi, bisa SD, SMP, SMA, perguruan tinggi dan sebagainya. Jumlah
anak hanya bisa: 3,4 atau 10. tidak mungkin ada jumlah anak 4,4 dan
sebagainya.1,4,6
Berdasarkan hubungan fungsional atau perannya variabel dibedakan menjadi:
a. Variabel tergantung (dependen)
Variabel ini berdiri sendiri, tidak ada variabel lain yang mendampingi. Variabel
tunggal seperti ini digunakan pada penelitian deskriptif sebagai contoh penelitian
tentang “lama rawat pasien post sectio di RS jakarta” memiliki variabel tunggal
yaitu “ lama hari rawat”.1
b. Variabel bebas (independen)
Yang dimaksud dengan variabel bebas adalah variabel yang bila ia berubah akan
mengakibatkan perubahan variabel lain; variabel yang berubah akibat perubahan

4
variabel bebas ini disebut sebagai variabel tergantung. Dengan perkataan lain
independent variable merupakan variabel risiko atau sebab, dan dependent
variable merupakan variabel akibat atau efek. Contoh:
1. Pemberian obat A menyebabkan penurunan tekanan darah
2. Perbedaan kadar kolesterol pada siswa lelaki dan perempuan.
Pada contoh pertama pemakaian obat A merupakan variabel bebas, sedangkan
tekanan darah adalah variabel tergantung. Dalam contoh kedua, kadar kolesterol
serum adalah variabel tergantung, sedangkan jenis kelamin merupakan variabel
bebas.
Dalam hubungan antar-variabel perlu dipahami bahwa satu jenis variabel dapat
berfungsi berbeda, bergantung kepada konteks penelitian. Misalnya dalam
penelitian tentang faktor resiko terjadinya hipertensi, hipertensi merupakan
variabel tergantung ( dengan variabel bebas atau risiko misalnya faktor keturunan,
konsumsi garam, merokok,kegemukan, kebiasaan olahraga dan lain-lain). Akan
tetapi dalam penelitian tentang penyebab kematian pada manula, hipertensi
merupakan salah satu variabel bebas sedangkan variabel tergantung adalah
kematian. Perlu ditekankan bahwa meskipun namanya variabel “bebas -
tergantung” atau variabel “prediktor-efek” atau ‘ kausa outcome’ namun perlu
diingat bahwa terdapatnya hubungan antara variabel bebas dengan variabel
tergantung tidak selalu merupakan hubungan sebab-akibat.5
c. Variabel Perancu (confounding)
Variabel perancu adalah jenis variabel yang berhubungan dengan variabel bebas
dan variabel tergantung, tetapi bukan merupakan variabel antara. Identifikasi
variabel perancu ini amat penting oleh karena bila tidak, ia dapat membawa kita
kesimpulan yang salah misalnya disimpulkan tidak ada hubungan antar variabel
padahal sebenarnnya hubungan tersebut tidak ada atau sebaliknya, disimpulkan
tidak ada hubungan padahal sebenarnya hubungan tersebut ada. Variabel
pengganggu dapat terjadi dengan dua cara yaitu membuat suatu perbedaan
tersebut tidak ada atau menyembunyikan suatu perbedaan yang sebenarnya ada.
Sebagai contoh kita tinjau penelitian yang mencari hubungan antara kebiasaan
minum kopi dan kejadian penyakit jantung koroner; peneliti ingin menguji
hipotesis bahwa PJK lebih sering terjadi pada peminum kopi. Disini yang bertidak
sebagai variabel bebas adalah kebiaaan minum kopi dan variabel tergantungnya
adalah variabel perancu, oleh karena:

5
1. Kebiasaan minum kopi berhubungan dengan kebiasaan merokok; perokok
lebih sering minum kopi daripada bukan perokok.
2. Kebiasaan merokok diketahui berhubungn dengan PJK.
Jadi kebiasaan merokok memenuhi syarat sebagai perancu oleh karena ia
mempunyai hubungan dengan kebiasaan minum kopi dengan kejadian PJK.
Apabila kebiasaan merokok ini tidak diindentifikasi, mungkin akan ditemukan
hubungan positif antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian PJK, misalnya
diperoleh data bahwa subyek yang gemar minum kopi lebih banyak yang
menderita PJK dibanding dengan subyek yang tidak gemar minum kopi dengan
kejadian PJK, namun ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan PJK;
perokok banyak yang minum kopi, jadi seolah-olah kebiasaan minum kopi
berhubungan dengan kejadian PJK, namun ada hubungan antara kebiasaan
merokok dengan PJK; perokok banyak yang minum kopi, jadi seolah-olah
kebiasaan minum kopi berhubungan dengan kejadian PJK.4,5
d. Variabel Intervening
Variabel ini berada ditengah antara variabel bebas dan variabel terikat. Variabel
ini dipengaruhi oleh variabel bebas secara langsung dan sisi lain variabel ini
mempengaruhi variabel terikat. Sebagai dan disisi lain variabel ini mempengaruhi
variabel terikat. Sebagai contoh variabel ini pada penelitian tentang hubungan
antara pola mkan dan kadar Hb ibu hamil dipengaruhi pola makannya dan kadar
Hb akan mempengaruhi kemungkinan terjadinya perdarahan post partum.3
e. Variabel Pendahulu (Eksternus)
Variabel ini ada atau terjadi mendahului dua variabel yang saling berhubungan
tersebut menjadi tidak ada. Sebagai contoh dari sebuah penelitian di instalasi
gawat darurat RS cipto mangunkusumo jakarta disimpulkan bahwa kejadian KPD
lebih banyak terjadi pada primigravida dibandingkan multigravida. Benarkah
demikian? Terkesan primigravida lebih beresiko dibangdingkan multigravida.
Tetapi setelah dimasukkan variabel eksternus yaitu “ aktivitas sehari-hari”.
Hasilnya multigravida lebih berhati-hati dalam beraktivitas dibandingkan
primigravida. Jadi yang berpengaruh besar pada kejadian KPD bukan status
gravida tetapi bagaimana aktivitas sehari-hari dilakukan.1,3
f. Variabel Aktif

6
Variabel yang dimanipulaasi oleh peneliti dinamakan variabel aktif. Jika seorang
peneliti memanipulasikan metode mengajar, cara menghukum, adalah variabel-
variabel aktif, karena variabel ini dapat dimanipulasikan.
g. Variabel Atribut
Ada juga variabel-variabel yang tidak bisa dimanipulasikan. Variabel
demikiandinamakan variabel atribut. Variabel-variabel atribut umumnya
merupakan karakteristik manusia seperti intelegensia, jenis kelamin, status sosial,
pendidikan, sikap dan sebagainya.4

Ditinjau dari segi korelasi antar variabel dalam penelitian, terdapat beberapa bentuk
korelasi antara lain:
a. Korelasi simetris, yaitu terjadi apabila antar dua variabel ada hubungan, tetapi
tidak ada mekanisme saling mempengaruhi, masing-masing bersifat mandiri.
Contohnya: hubungan antara tinggi dan berat badan, merupakan variabel
tergantung dari variabel bebas pertumbuhan.
b. Korelasi asimetris, ialah korelasi antar dua variabel dengan satu variabel (bebas
bersifat mempengaruhi varibel yang lain (terikat). Contoh: tingginya kadar
lipoprotein berat jenis rendah (Low density lipoprotein) dalam darah akan mengakibatkan
aterosklerosis.
c. Korelasi timbal balik, korelasi antar dua variabel yang atar keduanya saling
mempengaruhi. Contoh: korelasi antara malnutrisi dengan
malabsorbsi. Malabsorbsi akan mengakibatkan malnutrisi, sementara malnutrisi
mengakibatkan atropi selaput lendir usus yang mengakibatkan malabsorbsi.7

II.3.1 Skala Variabel

Pada variabel dapat berskala kategorikal (yang dibagi menjadi skala nominal dan
ordinal) dan skala numerik (yang dapat dibedakan menjadi skala interval dan rasio).
Pembagian jenis variabel ini tidak hanya penting dalam proses melakukan pengukuran tetapi
juga dalam analisis data.

Skala pengukuran pada variabel kategorikal ada dua yaitu skala nominal dan skala
ordinal.

a. Skala Nominal

7
Pengukuran paling lemah tingkatannya, terjadi apabila bilangan atau lambang-
lambang-lambang lain digunakan untuk mengkalsifikasikan obyek pengamatan.
Misal : Jenis kelamin, hanya membedakan laki-laki dan perempuan tanpa melihat
tingkatan atau urutan tertentu.4,5
b. Skala Ordinal
Pengukuran ini tidak hanya membagi objek menjadi kelompok-kelompok yang
tidak tumpang tindih, tetapi antara kelompok itu ada hubungan (rangking). Jadi
dari kelompok yang sudah ditentukan dapat diurutkan menurut besar kecilnya.
Dengan kata lain, data skala ordina mempunyai urutan kategori yang bermakna,
tetapi tidak ada jarak yang terukur diantara kategori. Misal: Tingkat
pendidikan.4,5,6
Variabel dengan skala pengukuran numerik umumnya disajikan dalam bentuk tabel
dan grafik. Skala pengukuran pada variabel numerik ada dua yaitu skala interval dan ratio.
a. Skala Interval
Kalau di dalam skala ordinal kita hanya dapat menentukan urutan dari kelompok
maka di dalam skala interval selain membagi objek menjadi kelompok tertentu
dan dapat diurutkan juga dapat ditentukan jarak dari urutan kelompok tersebut dan
tidak mempunyai titik nol absolut.
Misal: Suhu normal badan Andi biasanya 32 0C. Ketika dia menderita demam,
suhu tubuhnya menjadi 37 0C. Berarti suhu Andi lebih panas 50C daripada suhu
normal. Nol derajat celcius bukan 0 absolut, artinya walaupun nilainya 0 bukan
berarti suhu menjadi normal, tetapi tetap ada nilainya. Tetapi jika suhu tubuh
dalam skala Kelvin (0K), termasuk dalam skala rasio karena memiliki 0
absolut/mutlak.4,5
b. Skala Rasio
Dengan skala rasio kita dapat mengelompokkan data, kelompok itu pun dapat
diurutkan dan jarak antara urutan pun dapat ditentukan. Selain itu, sifat lain untuk
data dengan skala rasio kelompok tersebut dapat diperbandingkan (ratio). Hal ini
disebabkan karena skala rasio mempunyai titik ’nol mutlak’. Misal : Usia
Responden pada penelitian.1,4,5
Tabel 1. Contoh Skala Pengukuran Variabel

8
SKALA PENGUKURAN
NUMERIK/NON
KATEGORIKAL/KUALITATIF/DIKONTI
KATEGORIKAL/KUANTITATIF/KONTI
NYU
NYU

Nominal Rasio
Jenis kelamin Berat badan

Golongan darah Umur

Status Pernikahan Tinggi badan

Agama Kadar gula darah

Kota Kadar kolesterol

Lama tinggal di suatu kota

Ordinal Interval
Tingkat pendidikan Suhu badan (oC)

Klasifikasi kadar kolesterol Tingkat Kecerdasan (IQ)

Sikap

Tingkat Pengetahuan

Derajat Keganasan Kanker

Tingkat Kesembuhan

II.4 Desain Penelitian

Jenis penelitian survey yang biasa dikenal adalah suvey deskriptip yang disebut juga
sebagai explanatory study atau studi menjelajah dan survey analitik atau explanatory study.

9
II.4.1 Survei Deskriptif
Survei ini diarahkan untuk menjelaskan atau menguraikan keadaan dalam suatu
komunitas atau masyarakat. Misalnya, prevalensi karies gigi untuk golongan umur 8 tahun di
Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada tahun 1999 adalah 60% dengan tingkat keparahan
sedang. Disini ada informasi mengenai apa,dimana, dan kapan untuk menjawab pertanyaan
bagaimana atau how. Survei deskriptif umumnya digunakan untuk menelaah gejala atau
masalah yang sedang hangat dialami, menelaah kasus yang ingin dijelskan secara tepat,
melihat insidens atau prevalesni penyakit tertentu guna perencanaan program pelayanan
kesehatan.7 Urutan langkah penelitian deskriptif adalah:
a. Memilih masalah yang akan diteliti
b. Merumuskan dan membuat batasan masalah yang akan diteliti, dan berdasarkan
masalah tersebut diadakan studi pendahuluan untuk mendapatkan informasi dan
teori yang diapaki sebagai dasar menyusun konsep penelitian.
c. Merumuskan dan memilih alat ukur dan teknik pengumpulan data.
d. Menentukan kriteria atau kategori untuk klasifikasi data.
e. Mengadakan kalibrasi untuk menghindari bias antar-peneliti bila peneliti lebih
dari satu orang, selanjutnya uji coba alat ukur dan keabsahan alat ukur tersebut.
f. Melaksanakan pengumpulan data.
g. Mengolah dan menganalisis data.
h. Menyimpulkan dan menjelaskan hasil penelitian dalam laporan penelitian

II.4.2 Survei yang bersifat analitik


Survei ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimana atau how dan mengapa atau wht
karena penelitian ini berusaha menjelaskan bagaimana dan mengapanya suatu keadaan.
Misalnya, ”Mengapa masyarakat Kampung Ambon kelurahan Kayu Putih, Kecamatan Pulo
Gadung, Jakarta Timur kurang memanfaatkan fasilitas kesehatan gigi di balai kesehatan
Masyarakat FKUI? Mengapa anak-anak sekolah dasar negeri kebersihan giginya buruk? ” Di
sini peneliti mencoba menjelaskan. Survey analitik terdiri atas:
a. Cross-sectional study
Jenis penelitian ini berusaha mempelajari dinamika hubungan atau korelasi antara
faktor-faktor resiko dengan dampak atau efeknya. Faktor risiko dan dampak atau
efeknya di observasi pada saat yang sama, artinya setiap subyek penelitian
diobservasi hanya satu kali saja dan faktor risiko serta dampak diukur menurut

10
keadaan atau status pada saat diobservasi.7 Angka rasio prevalensi memberi
gambaran tentang prevalensi suatu penyakit di dalam populasi yang berkaitan
dengan faktor risiko yang dipelajari atau yang timbul akibat faktor-faktor resiko
tertentu.7 Langkah-langkah penelitian potong lintang adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi variabel-variabel penelitian dengan memilah antara
faktor resiko dan yang termasuk dampak serta faktor risiko yang tidak
dipelajari dampaknya untuk mengendalikan pengaruhnya. Misalnya, antara
variabel gizi anak, kebiasaan mengisap ibu jari, dan kebiasaan bernapas
melalui mulut dihubungkan dengan prognati dan maloklusi gigi.
2. Setelah variabel teridentifikasi, dilakukan penelitian kembali untuk
mengetahui apakah masih ada variabel luar yang mungkin berpengaruh
atau berhubungan dengan variabel yang telah teridentifikasi. Juga diteliti
apakah pengaruhnta dapat dikontrol. Bila tidak dapat dikontrol, model
yang telah ditetapkan perlu dirancang ulang. selanjutnya apakah subyek
penelitian sudah sesuai dengan tujuan penelitian ? apakah seluruh populasi
diambil sebagai sampel atau hanya sebagian saja?
3. Menetapkan subyek penelitian dengan memperhatikan atau mengusahakan
variabilitas, yaitu dengan cara memaksimalkan variabilitas faktor resiko
yang dipelajari dan meminimalkan variabilitas faktor resiko yang tidak
dipelajari.
4. Melaksanakan analisi hubungan atau perbedaan proporsi antar-kelompok
hasil observasi.
Keterbatasan penelitian potong lintang adalah :
1. Dibutuhkan subyek penelitian yang relatif besar atau banyak dengan
asumsi variabel bebas yang berpengaruh cukup banyak.
2. Kurang dapat menggambarkan proses perkembangan penyakit secara
tepat.
3. Faktor-faktor resiko tidak dapat diukur secara akurat dan akan
mempengaruhi hasil penelitian.
4. Nilai prognosanya atau prediksinya lemah atau kurang tepat.
5. Korelasi faktor resiko dengan dampaknya adalah paling lemah bila
dibandingkan dengan rancangan penelitian yang lainnya.
6. Kesimpulan hasil penelitian berkaitan dengan kekuatan rancangan yang
disusun sangat berpengaruh, umumnya kekuatan rancangan yang baik

11
adalah sekitar 40% artinya hanya sebesar 40% variabe bebas atau faktor
resiko mampu menjelaskan variabel terikat atau dampak, sisanya yaitu
60% tidak mampu dijelaskan dengan model yang dibuat.

b. Case Control Study


Rancangan penelitian ini ada yang menyebutnya sebagai studi retrospektif,
meskipun istilah ini kurang tepat. Penelitian ini berusaha melihat ke belakang,
yaitu data digali dari dampak (efeknya) atau akibat yang terjadi. Kemudia dari
dampak tersebut ditelusuri variabel-variabel penyebabnya atau variabel yang
mempengaruhinya. penelitian epidemiologi kasus kontrol ini hasil korelasinya
lebih tajam dan mendalam bila dibandingkan dengan rancangan penelitian potong-
lintang, sebab menggunakan subyek kontrol atau subyek dengan dampak positif
dicarikan kontrolnya dan subyek dengan dampak negatif juga dicari kontrolnya.
kemudia variabel penyebab atau yang berpengaruh ditelusuri lebih dulu, baru
kemudian faktor resiko atau variabel yang berpengaruh diamati secara
retrospektif. Keuntungan rancangan kasus kontrol dibanding rancangan potong
lintang, kasus kontrol mempunyai kelebihan, yaitu variabel bebasnya atau faktor
resiko dapat dibatasi, justru keterbatasan jumlah faktor risiko akan meningkatkan
potensi rancangan. selain itu tingkat keabsahan rancangan kasus kontrol lebih
tinggi, untuk mempelajari perkembangan atau etiologi penyakit. yang dimaksud
dengan matching adalah pemilihan subyekkontrol dengan karakteristik semirip
mungkin dengan kasus. hal ini penting untuk mengendalikan faktor resiko yang
perlu dikendalikan misalnya karakteristik jenis kelamin, umur, pendidikan yang
dapat atau dikehendaki untuk dikendalikan.7
Tahap pertama: mengindentifikasi variable dependen (efek) dan variable-variabel
independen (faktor risiko)
 Variable dependen : malnutrisi
 Variable independen : perilaku ibu dalam memberikan makanan.
 Variable independen yang lain : pendidikan ibu, pendapatan keluarga,
jumlah anak dsb.
Tahap kedua: menetapkan objek penelitian, yaitu populasi dan sampel penelitian.
Objek penelitian di sini adalah pasangan ibu dan balita daerah mana yang
dianggap menjadi populasi dan sampel penelitian ini.

12
Tahap ketiga: mengindentifikasikan kasus, yaitu anak balita yang menderita
malnutrisi. Yang dimaksud kasus di sini adalah anak balita yang memenuhi
criteria malnutrisi yang telah ditetapkan. Misalnya berat per umumnya kurang dari
75% standar Havard. Kasus diambil dari populasi yang telah ditetapkan.
Tahap keempat: pemilihan subjek sebagai control, yaitu pasangan ibu-ibu dengan
anak balita mereka. Pemilihan control hendaknya didasarkan kepada kesamaan
karakteristik subjek pada kasus. Misalnya cirri-ciri masyarakatnya, social
ekonominya, letak geografis dsb. Pada kenyataannya memang sulit untuk memilih
kelompok control yang mempunyai karakteristik yang sama dengan kelompok
kasus. Oleh sebab itu sebagian besar cirri-ciri tersebut kiranya dapat dianggap
mewakili.
Tahap kelima: melakukan pengukuran secara retrospektif, yaitu dari kasus (anak
balita yang malnutrisi) itu diukur atau dinyatakan kepada ibunya dengan,
menggunakan metode “recall” mengenai perilaku atau kebiasaan memberikan
makanan kepada anaknya. Recall disini maksudnya menanyakan kepada ibu anak
balita kasus tentang jenis-jenis makanan serta jumlahnya yang diberikan kepada
anak balita selama periode tertentu. Biasanya menggunakan metode 24 jam (24
hours recall).
Tahap keenam: melakukan engolahan dan analisis data. Analisis data dilakukan
dengan membandingkan proporsi perilaku ibu yang baik dan yang kurang baik
dalam hal memberikan makanan kepadsa anaknya pada kelompok kasus, dengan
proporsi perilaku ibu yang sama pada kelompok control. Dari sini akan diperoleh
bukti atau tidak adanya hubungan antara perilaku pemberian makanan dengan
malnutrisi pada anak balita.
Kelebihan Rancangan Penelitian Case Control7
a. Adanya kesamaan ukuran watu antara kelompok kasus dengan kelompok
control.
b. Adanya pambatasan atau pengndalian factor resiko sehingga hasil penilitian
lebih tajam disbanding dengan hasil rancangan cross sectional.
c. Tidak menghadapi kendala etik seperti pada penelitian eksperimen atau cohort
d. Tidak memerlukan waktu lama (lebih ekonomis)
Kekurangan Rancangan Penelitian Case Control7
a. Pengukuran variable yang retrospektif, objektifitas dan reliabilitasnya kurang
karena subjek penelitian harus mengingat kembali factor-faktor risikonya.

13
b. Tidak dapat diketahui efek variable luar karena secara teknis tidak dapat
dikendalikan.
c. Kadang-kadang sulit memilih control yang benar-benar sesuai dengan
kelompok kasus karena banyaknya factor resiko yang harus dikendalikan.

c. Kohort study
Penelitian kohort atau sering disebut penelitian prospektif adalah suatu penelitian
survey (non eksperimen) yang paling baik dalam mengkaji hubungan antara factor
resiko dengan efek (penyakit). Faktor resiko yang akan dipelajari diidentifikasi
dulu kemudian diikuti ke depan secara prospektif timbulnya efek yaitu penyakit
atau salah satu indicator status kesehatan. Contoh klasik studi kohort adalah
Framingham Heart Study.7
Rancangan penelitian kohort disebut juga sebagai survey prospektif meskipun
sesungguhnya kurang tepat. Rancangan penelitian ini merupakan rancangan
penelitian epidemiologis noneksperimental yang paling kuat mengkaji hubungan
antara faktor risiko dengan dampak atau efek suatu penyakit.7
Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan longitudinal ke depan, dengan
mengkaji dinamika hubungan antara faktor risiko dengan efek suatu penyakit.
Pendekatan yang dilakukan adalah mengidentifikasi faktor risiko, kemudian
dinamikanya diikuti atau diamati sehingga timbul suatu efek atau penyakit.
Kesimpulan hasil penelitian diketahui dengan membandingkan subyek yang
mempunyai efek positif (sakit) antara kelompok subyek dengan faktor risiko
positif dan faktor risiko negative (kelompok kontrol).7
Kelebihan penelitian Kohort7
a. Dapat membandingkan dua kelompok, yaitu kelompok subyek dengan faktor
risiko positif dan subyek dari kelompok control sejak awal penelitian.
b. Secara langsung menetapkan besarnya angka risiko dari waktu ke waktu.
c. Keseragaman observasi terhadap faktor risiko maupun efek dari waktu ke
waktu.
Kekurangan penelitian Kohort7
a. Memerlukan waktu penelitian yang relative cukup lama.
b. Memerlukan sarana dan prasarana serta pengolahan data yang lebih rumit.
c. Kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out sehingga mengurangi
ketepatan dan kecukupan data untuk dianalisis.

14
d. Menyangkut etika sebab faktor risiko dari subyek yang diamati sampai
terjadinya efek, menimbulkan ketidaknyamanan bagi subyek. Contoh
penelitian retrospektif kohort: penelitian yang dilakukan oleh National
Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yang bertujuan untuk
menguji hipotesis bahwa energy yang dihasilkan oleh video display terminal
(VDT’s) dimungkinkan dapat menybabkan keguguran secara spontan.7

II.5 Konsep Penelitian Tuberkulosis Paru

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka kerangka konsep penelitian
ini adalah :

Definisi Konsep:

1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru
yang membedakan seseorang dengan lainnya, meliputi : umur, jenis kelamin,
status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan.2
2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak yang
berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari kekuatan di
luar pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat penderita TB Paru,

15
meliputi : dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas, dan rasa tanggung
jawab.2
3. Kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam
menelan obat pada tahap intensif sesuai jadwal yang ditentukan yaitu selama 2
bulan dan menaati segala nasihat dari petugas kesehatan.2

II.6 Usulan Penelitian TBC

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien TBC dalam meminum obat serta
efektivitas dari PMO dan program wajib puskesmas di wilayah K.

II.7 Tuberkulosis Paru

Data yang dilaporkan WHO Indonesia menempati urutan nomor tiga setelah india dan
cina yaitu dengan angka 1,7 juta orang Indonesia, menurut teori apabila tidak diobati, tiap
satu orang penderita tuberkulosis akan menularkan pada sekitar 10 sampai 15 orang dan cara
penularannya dipengaruhi berbagai factor. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit
saluran pernafasan bagian bawah. Tuberkulosis paru (TBC) adalah penyakit infeksi pada paru
yang disebabkan oleh mycobacterium tuberkulosa. Penularan kuman dipindahkan melalui
udara ketika seseorang sedang batuk, bersin, yang kemudian terjadi droplet. Seseorang
penderita TBC akan mengalami tanda dan gejala seperti kelelahan, lesu, mual, anoreksia,
penurunan berat-badan, haid tidak teratur pada wanita, demam sub febris dari beberapa
minggu sampai beberapa bulan, malam batuk, produksi sputum mukuporolent atau disertai
darah, nafas bunyi crakles (gemercik), Wheezing (mengi). Keringat banyak malam hari,
kedinginan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi tuberkulosis menurut Alsagaff


(2001) adalah adanya sumber infeksi (sering kontak dengan penderita), penurunan daya tahan
tubuh (pasien infeksi HIV, pengguna obat-obat terlarang atau alkohol), faktor lingkungan
(pemukiman yang penuh, kumuh), virulensi tinggi dan jumlah basil banyak (perilaku buang
dahak sembarangan), faktor imunologis, faktor psikologis, dan kelompok sosio ekonomi
rendah (nutrisi dan sebagainya).

Penatalaksanaan TBC meliputi promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.


Penatalasanaan secara promotif yaitu Peningkatan kesehatan diberikan pada individu dan

16
keluarga baik yang kontak dengan penderita TBC maupun tidak, adapun cara-cara untuk
meningkatkan kesehatan terkait dengan TBC meliputi hal-hal : menghindari factor resiko,
mengelola stress, menjaga kebersihan diri (Personal higiene), nutrisi yang seimbang,
imunisasi, pemeriksaan rutin (laboratorium).

Pengetahuan penderita TBC dan keluarga pada tingkatan tahu adalah mengingat
penyebab kambuhnya batuk, tertarik menjadi tahu setelah melihat iklan obat batuk dan
dengan obat batuk tersebut gejala batuk bisa reda. Contoh dari pengetahuan tingkat kedua
(memahami) adalah mampu menjelaskan tanda dan gejala penyakit TBC, ataupun penyakit
lainya. Pengetahuan yang terkait pada aplikasi misalnya adalah seorang penderita atau
keluarga yang mampu memilih berobat secara rutin ke puskesmas atau Balai Paru untuk
pengobatan sakit TBC.

II.7.1 Epidemiologi

Di Negara industri diseluruh dunia ,angka kesakitan dan kematian akibat penyakit
TBC menunjukkan penurunan. Tetapi sejak tahun 1980an,grafik menetap dan meningkat di
daerah dengna prevalensi HIV tinggi. Morbiditias tinggi biasanya terdapat pada kelompok
masyarakat dengan social ekonomi rendah dan prevalensinya lebih tinggi pada daerah
perkotaan daripada pedesaan.8

Menurut hasil SKRT (survei kesehatan rumah tangga) tahun 1986 ,penyakit
tuberculosis di Indonesia merupakan penyebab kematian ke-3 dan menduduki urutan ke-10
penyakit terbanyak di masyarakat. SKRT tahun 1992 menunjukkan jumlah penderita
penyakit tuberculosis semakin meningkat dan menyebabkan kematian terbanyak yaitu pada
urutan kedua. Pada tahun 1999 di Jawa Tengah, penyakit tuberculosis menduduki urutan ke-6
dari 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit, sedangkan menurut SURKERNAS 2001, TBC
menempati urutan ke-3 penyebab kematian (9,4%).8

WHO memperikrakan terjadi kasus TBC sebanyak 9 juta per tahun di seluruh dunia
pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3 juta orang per tahun.Dari seluruh
kematian tersebut, 25% terjadi di Negara berkembang. Sebanyak 75% dari penderita berusia
15-50 tahun (usia produktif). WHO menduga kasus TBC di Indonesia merupakan nomor 3
terbesar di dunia setelah Cina dan India. Prevalensi TBC secara pasti belum diketahui.
Asumsi prevalensi BTA(+) di Indonesia adalah 130 per 100.000 penduduk. WHO

17
menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi di dunia 50% nya berasal dari Negara
Negara Afrika dan Asia serta Amerika. Penyakit ini menyerang semua golongan umur dan
jenis kelamin, serta mulai merambah tidak hanya pada golongan social ekonomi rendah saja.
Profil kesehatan Indonesia tahun 2002 menggambarkan persentase penderita TBC sebesar
adalah usia 25-34 tahun (23,67%). Gambaran di seluruh dunia menunjukkan bahwa
morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai dengna bertambahnya umur dan pada pasien
berusia lanjut ditemukan bahwa penderita laki laki lebih banyak daripada wanita. Laporan
dari seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2002 menunjukkan bahwa dari 76.230
penderita TBC BTA+ terdapat 43.249 laki-laki (56,79%) dan 32,936 perempuan(43,21%).8,9

Anak yang pernah terinfeksi TBC mempunyai risio menderita penyakit ini sepanjang
hidupnya sebesar 10%. Di Amerika Serikat dan Kanada, peningkatan TB pada anak berusia
0-4 tahun adalah 19%,sedangkan pada usia 5-15 tahun adalah 40%. Pada tahun 1998-2002
dari jumlah seluruh kasus TB anak dari tujuh Rumah Sakit Pusat Pendidikan di Indonesia
selama 5 tahun adalah penyandang TB dengan angka kematian yang bervariasi dari 0%-
14,1%. Kelompok usia terbanyak adalah 12-60 bulan (42,9%) sedangkan untuk bayi <12
bulan didapatkan 16,5%. Karena sulitnya menegakkan diagnosis TB pada anak, data TB anak
sangat terbatas,termasuk di Indonesia. Untuk mengatasi kesulitas tersebut, WHO sedang
melakukan upaya dengan cara membuat consensus diagnosis di berbagai Negara. Dengan
adanya consensus ini, diharapkan diagnosis TB anak dapat ditegakkan, sehingga
kemungkinan overdiagnosis atau underdiagnosis dapat diperkecil dan angka prevalens
pastinya diketahui. Dari seluruh penderita tersebut, angka kesembuhan hanya mencapai
70,03% dari 85% yang ditargetkan. Rendahnya angka kesembuhan disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu penderita(perilaku,karakteristik,social ekonomi),petugas (perilaku, keterampilan)
, ketersediaan obat,lingkungan, PMO(pengawas minum obat) serta virulensi dan jumlah
kuman.10

II.7.2 Interaksi host,agent dan environment


Dewasa ini wawasan mengenai diagnosis, gejala ,pengobatan dan pencegahan TBC suatu penyakit
infeksi menular terus berkembang. Sejalan dengan itu, maka perlu dipelajari faktor-faktor penentu
yang saling berinteraksi sesuai dengan tahapan perjalanan alamiah.8
1. Periode Prepatogenesis
a. Faktor Agent ( Mycobacterium tuberculosis)
Karakteristik alami dari agen TBC hampir bersifat resisten terhadap desinfektan
kimia atau antibiotik dan mampu bertahan hidup pada dahak yang kering untuk jangka waktu

18
yang lama. Kuman ini bersifat tahan asam. Pada Host ,daya infeksi dan kemampuan
tinggal sementara Mycobacterium Tuberculosis sangat tinggi. Patogenesis hampir
rendah dan daya virulensinya tergantung dosis infeksi dan kondisi Host . Sifat
resistensinya merupakan problem serius yang sering muncul setelah penggunaan
kemoterapi moderm,sehingga menyebabkan keharusan mengembangkan obat
baru.
Umumnya sumber infeksinya berasal dari manusia dan ternak (susu) yang
terinfeksi. Untuk transmisinya bisa melalui kontak langsung dan tidak langsung,
serta transmisi kongenitalyang jarang terjadi. Bila agen penyebab penyakit dengan
pejamu berada dalam keadaan seimbang, maka seseorang berada dalam keadaan
sehat. Perubahan keseimbangan akan menyebabkan seseorang sehat atau sakit. 8,11
b. Faktor lingkungan
Distribusi geografis TBC mencakup seluruh dunia dengan variasi kejadian yang
besar dan prevalensi menurut tingkat perkembangannya. Penularannya pun
berpola sekuler tanpa dipengaruhi musim dan letak geografis. Keadaan sosial-ekonomi
merupakan hal penting pada kasus TBC. Pembelajaran sosiobiologis menyebutkan
adanya korelasi positif antara TBC dengan kelas sosial yang mencakup
pendapatan, perumahan, pelayanan kesehatan, lapangan pekerjaan dan tekanan
ekonomi. Pada lingkungan biologis dapat berwujud kontak langsung dan
berulang-ulang dengan hewanternak yang terinfeksi adalah berbahaya.
Lingkungan terdiri dari lingkungan fisik dan nonfisik.
 Lingkungan fisik antara lain seperi keadaan geografis dan lingkungan tempat
tinggal. Sanitasi lingkungan perumahan sangat berkaitan dengan penularan
penyakit. Rumah dengan pencahayaan yang kurang memudahkan
perkembangan sumber penyakit. Sinar matahari mengandung sinar ultra violet
yang bisa membunuh kuman penyakit. Aliran udara berkaitran dengan
penularan penyakit. Rumah denan ventilasi yang baik akan menyulitkan
pertumbuhan kuman penyakit. Pertukaran udara dapat memecah dan menugrai
konsentrasi kuman di udara.
 Lingkungan nonfisik meliputi social, budaya, ekonomi dan politik.
Lingkungan social masyarakat berpengaruh pada tingkat pengetahuan sikap
dan praktek masyarakat dalam bidang kesehatan. Kemampuan ekonomi
masyarakt biasanya tercermin pad akondisi lingkungan perumaha seperti

19
sarana air minum , dan kondisi rumah. Pemimpin dengan tingkat kepedulian
tinggi terhadap kesehatan masyarakat akan mendukung dalam bentuk
komitmen dari dana untuk penanggulangan penyakit. 8
c. Faktor Host
Hal yang perlu diketahui tentang pejamu meliputi karakteristik, gizi, daya tahan
tubuh, higieni , dan pengobatan. Penurunan daya tahan tubuh akan menyebabkan
bobot agen penyebab penyakit menjadi lebih berat sehingga seseorang menjadi
sakit. Umur merupakan faktor terpenting dari Host pada TBC.
Terdapat 3 puncak kejadian dan kematian ; (1) paling rendah pada awal anak
(bayi) dengan orang tua penderita, (2) paling luas pada masa remaja dan dewasa muda
sesuai dengan pertumbuhan, perkembangan fisik-mental dan momen kehamilan pada
wanita, (3) puncak sedang pada usia lanjut. Pria lebih umum terkena, kecuali pada
wanita dewasa muda yang diakibatkan tekanan psikologis dan kehamilan yang
menurunkan resistensi. Penduduk pribumi memiliki laju lebih tinggi daripada populasi yang
mengenal TBC sejak lama, yang disebabkan rendahnya kondisi sosioekonomi.
Kebiasaan sosial dan pribadi turut memainkan peranan dalam infeksi TBC, sejak
timbulnya ketidakpedulian dan kelalaian. Status gizi,kondisi kesehatan secara
umum, tekanan fisik-mental dan tingkah laku sebagai mekanisme pertahanan
umum juga berkepentingan besar. Imunitas spesifik dengan pengobatan
infeksiprimer memberikan beberapa resistensi, namun sulit untuk dievaluasi.8,11

2. Periode Pathogenesis (Interaksi Host-Agent)


Interaksi terutama terjadi akibat masuknya Agent ke dalam saluran respirasi dan
pencernaan Host .Contohnya Mycobacterium melewati barrier plasenta, kemudian
berdormansi sepanjang hidup individu, sehingga tidak selalu berarti penyakit klinis.
Infeksi berikut seluruhnya bergantung pada pengaruh interaksi dari Agent,Host dan
Lingkungan.
Pada rantai penularan atau skema diatas, prinsip memutuskan rantai penularan
penyakit menular adalah memotong garis penghubung di antara host-agent-
environment dan bila penyakit diketahui ditularkan melalui vector, maka garis yang
menghubungkan vector dengan agent host dan environment juga harus diputuskan.
Sebagai contoh memutuskan garis antra agent dan host dengan melakukan imunisasi
sehingga host menjadi imun, memberikan pengobatan kepada penderita secara
adekuat sehingga terjadi konversi bakteri(+) menjadi (-) sehingga penderita menjadi

20
tidak menularkan lagi. Antara agent dan environment dengna melakukan sanitasi air
minum (pada diare) sehingga di dalam air tidak mengandung agent lagi. Penyehatan
lingkungan pemukiman misalnya membuat rumah sehat sehingga sinar matahari dapat
masuk , ventilasi udara yang baik dapat membuat agent menjadi tidak dapat hidup
sekaligus host juga dapat hidup secara seimbang di lingkungan yang sehat. Pada
pengobatan TBC yang terjadi adalah pasien umumnya tidak patuh minum obat yang
direncanakan selama 6 bulan, sehingga akan menimbulkan resistensi dan kekambuhan
yang lebih parah,di Puskesmas diberikan pengobatan dengan Pengawasan Minum
Obat(PMO) sehingga obat yang diberikan benar benar diminum sampai selesai.8

II.7.3 Penularan

Penyakit tuberculosis yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis


ditularkan melalui udara (droplet nuclei) saat seorang pasien TBC batuk dan percikan ludah
yang mengandung bakteri tersebut terhirup oleh orang lain saat bernapas. Bila penderita
batuk, bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain,basil tuberculosis tersembur
dan terhisap ke dalam paru orang sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan.9

Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas papran dengan sumber
infeksi dan tidak berhubungan dengna faktor genetic dan faktor pejamu lainnya. Risiko
tertinggi berkembangnya penyakit yaitu pada anak berusaia di bawah 3 tahun , risiko rendah
pada masa kanak-kanak, dan meningkat lagi pada masa remaja,dewasa muda, dan usia lanjut.
Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan bisa menyebar ke
bagian tubuh lain melalui peredaran darah,pembuluh limfe atau langsung ke orang
terdekatnya.9

Setiap satu BTA positif akan menularkan kepada 10-15 orang lainnya, sehingga
kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan
bahwa kontak terdekat (misalnya keluarga serumah) akan dua kali lebih berisiko
dibandingkan kontak biasa (tidak serumah). Seorang penderita dengan BTA+ yang derajat
positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit ini. Sebaliknya penderita dengan BTA(-)
dianggap tidak menularkan. Angka risiko penularan infeksi TBC di Amerika Serikat adalah
sekitar 10/10.000 populasi. Di Indonesia angka ini sebesar 1-3% yang berarti di antara 100
penduduk terdapat 1-3 warga yang akan terinfeksi TBC. Setengah dari mereka BTAnya akan
positif(0,5%).

21
Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka harus dicari sumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular Tb. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum. Sebaliknya jika
ditemukan pasien TB dewasa aktif, maka anak disekitarnya atua yang kontak erat harus
ditelusur ada atau tidaknya infeksi TB (pelacakan sentrifugal). Pelacakan tersebut dilakuakn
dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisikm dan pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin.
18,10

II.7.4 Diagnosis dan manifestasi

Pathogenesis TB sangat kompleks ,sehingga manifestasi klinis TB sangat bervariasi


dan bergantung pada beberpa faktor. Faktor yang berperan adalah kuman TB, pejamu, serta
interaksi antar keduanya. Faktor kuman bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman,sedangkan faktor pejamu bergantung pada usia, dan kompetensi imun serta
kerentanan pejamu pada awal terjadi infeksi. Untuk mengetahui tentang penderita
tuberculosis dengan baik harus dikenali tanda dan gejalanya. Seseorang ditetapkan sebagai
tersangka penderita tuberculosis paru apabila ditumeukan gejala klinis utama(cardinal
symptom) pada dirinya.8,10,11

Gejala utama pada tersangka TBC adalah :

 Batuk berdahak lebih dari tiga minggu


 Batuk berdahak
 Sesak napas
 Nyeri dada

II.7.5 Pengobatan TB Paru

a. Pengobatan penderita (case holding)


Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.
1. Tahap awal (intensif)
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi

22
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA
positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.1,3,5
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di
Indonesia:
 Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3.
 Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan OAT Sisipan : HRZE dan OAT
Anak : 2HRZ/4HR

a. Kategori 1
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
 Pasien baru TB paru BTA positif.
 Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
 Pasien TB ekstra paru

Tabel 2. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)310

Tahap Intensif Tahap Lanjutan

Berat Badan tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu

RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)


30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

23
Tabel 2.1 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1: 2HRZE/ 4H3R310

Dosis per hari / kali Jumlah


Tablet Kaplet Tablet Pirazinamid Tablet hari/kali
Tahap Lama
Isoniasid Rifampisin @ 500 mgr Etambutol menelan
Pengobatan Pengobatan
@ 300 @ 450 @ 250 obat
mgr mgr mgr
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

b. Kategori 2
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
 Pasien kambuh
 Pasien gagal
 Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 3. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E310

Tahap Intensif Tahap Lanjutan

tiap hari 3 kali seminggu


Berat
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol


38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol


55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol


≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

24
+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

Tabel 3.1 Dosis paduan OAT KDT Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E310

Tahap Intensif Tahap Lanjutan

tiap hari 3 kali seminggu


Berat
Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E(400)
Selama 28
Selama 56 hari selama 20 minggu
hari
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol


38-54 kg 3 tab 4KDT 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol


55-70 kg 4 tab 4KDT 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol


≥71 kg 5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

+ 1000mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

Tabel 3.2 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2: 2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)10

Etambutol
Tablet Kaplet Jumlah
Tahap Lama Tablet Tablet Tablet
Isoniasid Rifampisin Streptomisin hari/kali
Pengoba- Pengoba- Pirazinamid @ @
@ 300 @ 450 injeksi menelan
tan tan @ 500 mgr 250 400
mgr mgr obat
mgr mgr
Tahap
2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
Intensif
(dosis
1 bulan 1 1 3 3 - - 28
harian)

25
Tahap
Lanjutan
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
(dosis 3x
semggu)

Catatan:

 Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
 Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
 Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest
sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).8,9,10

3. OAT Sisipan (HRZE)


Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir pengobatan
intensif masih tetap BTA positif.
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori
1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 4. Dosis KDT Sisipan : (HRZE)

Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


Berat Badan
RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 4.1. Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE

Tablet Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lamanya Etambutol hari/kali
Isoniasid Ripamfisin Pirazinamid
Pengobatan Pengobatan menelan
@ 300 mgr @ 450 mgr @ 500 mgr
@ 250 obat

26
mgr
Tahap
intensif
1 bulan 1 1 3 3 28
(dosis
harian)

4. OAT Kategori Anak


Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam
waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif
maupun tahap lanjutan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.10

Tabel 4 Dosis OAT KDT anak10

2 bulan tiap hari 4 bulan tiap hari


Berat badan (kg)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

Sumber data: IDAI

Tabel 4.1 Dosis OAT Kombipak anak: 2RHZ/ 4RH 10

BB BB BB
Jenis Obat
< 10 kg 10 – 19 kg 20 – 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Keterangan:

 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit


 Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.

27
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
 OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum.

Tabel 4.2 Dosis Obat Antituberkulosis pada anak10

Dosis harian Dosis


Nama obat maksimal (mg Efek samping
(mg/kgBB/hari) per hari)

Isoniazid 5−15* 300 hepatitis, neuritis perifer,


hipersensitivitas
Rifampisin** 10−20 600 gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye
kemerahan
Pirazinamid 15−30 2000 toksisitas hati, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15−20 1250 neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah-
hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15−40 1000 ototoksik, nefrotoksik

 * Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi


10 mg/kgBB/hari.
 ** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
menganggu bioavailabilitas rifampisin.
 Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut
kosong (satu jam sebelum makan).10

Setelah pemberian OAT pada pasien TB perlu dilakukan langkah berikut:

a. Pengamatan timbulnya efek samping:

28
o Tubuh melemah
o Nafsu makan berkurang
o Gatal-gatal
o Sesak napas
o Mual dan muntah
o Berkeringat dingin dan menggigil
o Gangguan pendengaran dan penglihatan (biru dan merah)

Efek samping obat :

o INH : neuropati perifer , hepatotoksik/hepatitis


o Rifampicin: sindrom flu, hepatotoksik
o Pirazinamid : hiperurisemia, hepatotoksik
o Etambutol : neuritis optic, nefrotoksik, ruam kulit
o Streptomisin : nefrotoksik, gangguan N.VIII

Kriteria kesembuhan :

o Pemeriksaan dahak (3x dalam seminggu) dengan hasil negative


dinyatakan sembuh tetapi bila pada akhir pengobatan masih BTA+
maka pengobatan dilanjutkan selama 3 bulan lagi
o Jumlah obat yang diminum minimal 90% dari paket pengobatan.
(Masa pengobatan intensif dan intermiten maksimal 9 bulan)
o Pencatatan dan pelaporan yang harus dilakukan oleh puskesmas
adalah register laboratorium, kartu pengobatan penderita, kartu
pengenal penderita, register pengobatan, catatan kotor penderitam
data lokasi penderita per desa.
b. Evaluasi pengobatan
Sebaiknya pasien kontrol tiap dua bulan. Evaluasi hasil pengobatan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit
dan tidak jarang terjadi salah diagnosis. Dilakukan dengan cara evaluasi klinis
yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada
awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermakan, hilangnya
demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan , dan lain lain. Apabila
respons pengobatan baik,maka pengobatan dilanjutkan.

29
II.7.6 Upaya Kesehatan Puskesmas

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui puskesmas, yakni


terwujudnya Kecamatan Sehat Menuju Indonesia Sehat, puskesmas bertanggung jawab
menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat, yang
keduanya jika ditinjau dari sistem kesehatan nasional merupakan pelayanan kesehatan tingkat
pertama. Upaya kesehatan tersebut dikelompokkan menjadi dua yakni:12

a) Upaya Kesehatan Wajib


Upaya kesehatan wajib puskesmas adalah upaya yang ditetapkan berdasarkan
komitmen nasional, regional dan global serta yang mempunyai daya ungkit tinggi
untuk peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan wajib ini harus
diselenggarakan oleh setiap puskesmas yang ada di wilayah Indonesia. Upaya
kesehatan wajib tersebut adalah:12
 Program pengobatan (kuratif dan rehabilitatif) yaitu bentuk
pelayanan kesehatan untuk mendiagnosa, melakukan tindakan pengobatan
pada seseorang pasien dilakukan oleh seorang dokter secara ilmiah
berdasarkan temuan-temuan yang diperoleh selama anamnesis dan
pemeriksaan.
 Promosi Kesehatan yaitu program pelayanan kesehatan puskesmas yang
diarahkan untuk membantu masyarakat agar hidup sehat secara optimal
melalui kegiatan penyuluhan (induvidu, kelompok maupun masyarakat).
 Pelayanan KIA dan KB yaitu program pelayanan kesehatan KIA dan KB
di Puskesmas yang ditujukan untuk memberikan pelayanan kepada PUS
(Pasangan Usia Subur) untuk ber KB, pelayanan ibu hamil, bersalin dan nifas
serta pelayanan bayi dan balita.
 Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menular dan tidak menular
yaitu program pelayanan kesehatan Puskesmas untuk mencegah dan
mengendalikan penular penyakit menular/infeksi (misalnya TB, DBD, Kusta).
 Kesehatan Lingkungan yaitu program pelayanan kesehatan lingkungan di
puskesmas untuk meningkatkan kesehatan lingkungan pemukiman melalui
upaya sanitasi dasar, pengawasan mutu lingkungan dan tempat umum
termasuk pengendalian pencemaran lingkungan dengan peningkatan peran
serta masyarakat.

30
 Perbaikan Gizi Masyarakat yaitu program kegiatan pelayanan kesehatan,
perbaikan gizi masyarakat di Puskesmas yang meliputi peningkatan
pendidikan gizi, penanggulangan Kurang Energi Protein, Anemia Gizi Besi,
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), Kurang Vitamin A, Keadaan
zat gizi lebih, Peningkatan Survailans Gizi, dan Perberdayaan Usaha
Perbaikan Gizi Keluarga/Masyarakat.9
b) Program Nasional Pemberantasan TB Paru
Dalam perkembangannya dalam upaya ekspansi penanggulangan TB, kemitraan
global dalam penanggulangan TB mengembangkan strategi sebagai berikut: 13
1. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
2. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
3. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
4. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintahmaupun swasta
5. Memberdayakan pasien dan masyarakat
6. Melaksanakan dan mengembangkan riset

Adapun kegiatan P2TB dilaksanakan dengan cara penemuan dan pengobatan pasien,
perencanaan, pemantauan dan evaluasi, peningkatan SDM (pelatihan, supervisi),
penelitian, promosi kesehatan, dan kemitraan dengan lintas sector.13

Tujuan P2TB adalah menurunkan angka kesakitan dan angka kematian TB,
memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya multidrug resistance
(MDR),sehingga TB tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Kebijakan P2TB:

a. Penanggulangan TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi


dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program yang meliputi:
perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan
sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
b. Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS.
c. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
penanggulangan TB.
d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan
terhadap peningkatan mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan

31
dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan
mencegahterjadinya MDR-TB.
e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka penanggulangan TB dilaksanakan oleh
seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit
Pemerintah dan swasta, Rumah Sakit Paru(RSP), Balai Pengobatan Penyakit
Paru Paru (BP4), Klinik Pengobatanlain serta Dokter Praktek Swasta (DPS).
f. Penanggulangan TB dilaksanakan melalui promosi, penggalangan kerjasama
dan kemitraan dengan program terkait, sektor pemerintah, non pemerintah dan
swasta dalam wujud Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TB (Gerdunas
TB).
g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan
untuk peningkatan mutu pelayanan dan jejaring.
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB diberikankepada
pasien secara cuma-cuma dan dijamin ketersediaannya.
i. Ketersediaan sumberdaya manusia yang kompeten dalam jumlah yangmemadai
untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
j. Penanggulangan TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dankelompok
rentan terhadap TB.
k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam Millennium
Development Goals (MDGs)

Strategi P2TB:

a. Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk menjamin


ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan TB suatu prioritas
b. Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu dilaksanakan
secara bertahap dan sistematis
c. Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melaluikegiatan
advokasi, komunikasi dan mobilisasi social
d. Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen dan bantuan
sumber daya.
e. Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan
supervisi, pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan

32
II.8 Hubungan antara pekerjaan, PMO pelayanan kesehatan dan dukungan keluarga
dengan perilaku berobat pasien Tb paru

II.8.1 Perilaku Berobat

Pencapaian untuk menurunkan angka mortalitas dan mobiditas sangat diinginkan oleh
pemerintah terhadap kasus Tuberkulosis Paru. Pengobatan yang teratur dan tuntas merupakan
suatu usaha pengendalian penularan TB Paru yang telah dilakukan oleh pemerintah melalui
strategi DOTS (Direct Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS yang telah gencar
dilakukan telah menunjukkan angka kesembuhan pasien menjadi >85%. Masa pengobatan
penderita TB Paru mempunyai kebiasaan pindah berobat dengan alasan tidak ada perubahan
(tidak sembuh) dan sakitnya bertambah parah 11 . Panduan OAT jangka pendek dan peran
Pengawas Menelan Obat (PMO) merupakan strategi untuk menjamin kesembuhan penderita
6 . Walaupun panduan obat yang digunakan baik tetapi apabila penderita tidak berobat
dengan teratur, maka umumnya hasil pengobatan akan mengecewakan. Sehingga
menyebabkan kegagalan yang dapat mengakibatkan terjadinya kemungkinan resistensi
primer kuman TB terhadap obat anti Tuberkulosis atau Multi Drug Resistance (MDR) 10 .
Tuberkulosis adalah penyakit yang mudah menular dan menyebar melalui udara. Jika tidak
diobati, setiap orang dengan TB aktif dapat menginfeksi rata-rata 10 sampai 15 orang per
tahun. Lebih dari dua miliar orang, sama dengan sepertiga dari total penduduk dunia,
terinfeksi basil TB, mikroba yang menyebabkan TB. Satu dari setiap 10 orang-orang akan
menjadi sakit dengan TB aktif dalam seumur hidupnya. Orang yang hidup dengan HIV
berada pada risikoyang jauh lebih besar. Oleh karena itu sangat diperlukan perilaku berobat
yang teratur bagi setiap penderita. Penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Batua dan
Puskesmas Tamamaung mengungkapkan bahwa dari 74 pasien TB Paru didapatkan 22 orang
yang tidak teratur dalam menjalani pengobatannya, sedanglan 52 orang teratur dalam
pengobatan. Pasien TB Paru yang tidak teratur berobat memberikan alasan yang beragam
mengapa tidak menjalani pengobatannya dengan teratur.14

II.8.2 Hubungan Pekerjaan Dengan Perilaku Berobat

Berdasarkan variabel pekerjaan, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien TB


Paru yang tidak teratur berobat lebih banyak yang memiliki pekerjaan yang menghasilkan
pendapatan untuk kebutuhan sehari-hari pasien dan keluarga sama halnya dengan pasien TB
Paru yang teratur berobat lebih banyak memiliki pekerjaan. Hasil uji statistik (OR=0.617,
LL-UL=0.221- 1.720) menunjukkan bahwa pekerjaan bukan merupakan faktor risiko

33
terhadap perilaku berobat pasien TB Paru. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Perdana (2008) menunjukkan bahwa pasien TB Paru yang bekerja lebih patuh
dibandingkan dengan yang tidak memiliki pekerjaan namun tidak menunjukkan adanya
hubungan dan penelitian oleh Zuliana (2009) menemukan bahwa pekerjaan tidak
berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru. Namun, menurut Philipus (1997)
yang dikutip oleh Perdana (2008) memperlihatkan adanya hubungan yang bermakna antara
jenis pekerjaan dengan keteraturan dalam berobat. Pekerjaan merupakan suatu aktifitas yang
dilakukan untuk mencari nafkah. Faktor lingkungan kerja mempengaruhi seseorang untuk
terpapar suatu penyakit. Lingkungan kerja yang buruk mendukung untuk terinfeksi TB Paru
antara lain supir, buruh, tukang becak dan lain- lain dibandingkan dengan orang yang bekerja
di daerah perkantoran. Penelitian yang dilakukan oleh Arsin dkk (2004) menunjukkan bahwa
jenis pekerjaan yang berisiko tinggi terpapar kuman TB adalah sopir, buruh/tukang,
pensiunan/purnawirawan, dan belum bekerja. Penyebab pasien yang tidak bekerja cenderung
tidak teratur berobat karena didasari oleh pendapat mereka yang mengatakan bahwa berobat
ke puskesmas harus mengeluarkan biaya untuk transportasi dan difokuskan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari daripada untuk pengobatan. Tetapi obat yang diberikan oleh pihak
puskesmas gratis. Sehingga tidak ada alasan bagi pasien untuk tidak teratur berobat walaupun
tidak bekerja. Hendaknya pasien maupun keluarga pasien membuka usaha kecil-kecilan
untuk menambah pendapatan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari.14

II.8.3 Hubungan Peran PMO Dengan Perilaku Berobat

Metode DOTS sangat berpengaruh terhadap sikap pasien terhadap keteraturan minum
obat. Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT (Obat Anti
Tuberkulosis) jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan
pengobatan diperlukan seorang PMO (Pengawas Menelan Obat). Namun dalam penelitian
menemukan bahwa pengawasan langsung oleh PMO tidak berjalan dengan seharusnya. Hasil
tabulasi silang variabel peran PMO dengan perilaku pasien TB Paru diperoleh nilai OR
=3.636 yang berarti pasien TB Paru yang memiliki peran PMO yang kurang berisiko 3.636
kali untuk tidak teratur berobat dibandingkan dengan penderita TB Paru yang memiliki peran
PMO yang baik. Jika dilihat dari nilai upper dan lower limit (95% CI 1.225 – 10.790), maka
peran PMO bermakna secara statistik. Penelitian ini didukung oleh penelitian Sumarman dan
Krisnawati (2012) yang menemukan bahwa peran PMO yang kurang baik berisiko sebesar
3.013 kali untuk menyebabkan pasien tidak patuh periksa ulang dahak pada fase akhir
pengobatan dibandingkan dengan pasien yang memiliki peran PMO yang baik. Sama halnya

34
yang ditemukan oleh Sumange (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara peran PMO
dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru. Dukungan sosial oleh PMO berupa dukungan
emosional meningkatkan motivasi kepada pencderita TB Paru untuk sembuh. Peran PMO
lebih banyak dilakukan oleh anggota keluarga sebanyak 41 orang kemudian diikuti oleh
teman sebanyak 4 orang. Pasien yang tidak teratur secara keseluruhan (100%) memiliki PMO
dari anggota keluarga tetapi tidak berperan dengan baik. Kurangnya pemahaman akan tugas
sebagai PMO sehingga pasien TB Paru dengan peran PMO yang kurang lebih banyak tidak
teratur berobat. Tugas sebagai PMO kebanyakan dikerjakan berupa mengingatkan untuk
ambil obat dan mengawasi menelan obat, tetapi kurang melakukan tugas untuk memberikan
penyuluhan kepada anggota keluarga yang lain. 14

II.8.4 Hubungan Pelayanan Kesehatan Dengan Perilaku Berobat

Peranan petugas kesehatan dalam melayani pasien TB Paru diharapkan dapat


membangun hubungan yang baik dengan pasien. Unsur kinerja petugas kesehatan
mempunyai pengaruh terhadap kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan
terhadap pasien Tuberkulosis Paru yang secara langsung atau tidak langsung akan
berpengaruh terhadap keteraturan berobat pasien yang pada akhirnya juga menentukan hasil
pengobatan. Pasien yang tidak teratur berobat lebih banyak menyatakan mendapat sikap
petugas kesehatan yang baik sebanyak 13 orang (59.1%) daripada sikap petugas kesehatan
yang kurang sebanyak 9 orang (40.9%). Sedangkan pasien yang teratur berobat lebih banyak
menyatakan mendapat sikap petugas kesehatan yang kurang sebanyak 28 orang (53.8%)
daripada sikap petugas kesehatan yang baik sebanyak 24 orang (46.2%). Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa petugas kesehatan bukan merupakan faktor risiko terhadap perilaku
berobat pasien TB Paru. Hal ini disebabkan karena nilai OR (odds ratio)< 1 (OR=0.593).
Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Perdana (2008) yang mengemukakan bahwa pelayanan kesehatan berhubungan
kepatuhan berobat penderita TB Paru. Tetapi sejalan dengan penelitian Erawatyningsih dkk
(2009) dan Zuliana (2009) yang menemukan bahwa pelayanan kesehatan tidak berhubungan
dengan kepatuhan berobat penderita TB Paru 13,18 . Hubungan yang saling mendukung
antara pelayanan kesehatan dengan penderita TB Paru serta keyakinan penderita terhadap
pelayanan kesehatan merupakan faktor yang penting bagi penderita untuk menyelesaikan
pengobatannya.14

II.8.5 Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Perilaku Berobat

35
Kegagalan pengobatan TB Paru dapat disebabkan oleh putus berobat atau terjadinya
resisten terhadap obat yang disebabkan oleh ketidakteraturan pasien dalam menjalani
pengobatannya. Keluarga merupakan orang yang dekat dengan pasien. Peran keluarga sangat
dibutuhkan dalam memperhatikan pengobatan anggota keluarganya. Sehingga keluarga harus
memberi dukungan agar penderita dapat menyelesaikan pengobatannya sampai sembuh.
Penelitian ini menemukan bahwa pasien yang tidak teratur berobat lebih banyak ditemukan
dukungan keluarga yang kurang sebanyak 14 orang (63.6%) daripada untuk kategori baik 8
orang (36.4%). Pasien yang teratur berobat lebih banyak ditemukan dukungan keluarga yang
baik sebanyak 33 orang (63.5%) dan kategori kurang 19 orang (36.5%). Hasil tabulasi silang
variabel dukungan keluarga dengan perilaku pasien TB Paru diperoleh nilai OR=3.039 yang
berarti penderita TB Paru yang memiliki dukungan keluarga yang kurang berisiko 3.039 kali
untuk tidak teratur berobat dibandingkan dengan penderita TB Paru yang memiliki dukungan
keluarga yang baik. Jika dilihat dari nilai upper dan lower limit (95% CI 1.079 - 8.564), maka
dukungan keluarga bermakna secara statistik. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Perdana (2008) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan dukungan
keluarga dengan kepatuhan pasien TB Paru. Tetapi sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Raharno (2005) di Instalasi Rawat Jalan RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan dan
Tahan (2006) menemukan bahwa dukungan keluarga berhubungan dengan ketidakteraturan
berobat pasien TB Paru. Peran keluarga yang baik merupakan motivasi atau dukungan yang
ampuh dalam mendorong pasien untuk berobat teratur sesuai anjurannya. Adanya dukungan
atau motivasi yang penuh dari keluarga dapat mempengaruhi perilaku minum obat pasien TB
Paru secara teratur. Sehingga keluarga perlu berperan aktif mendukung supaya pasien
menjalani pengobatan secara teratur sampai dinyatakan sembuh oleh petugas kesehatan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga terhadap pasien untuk teratur berobat
cukup baik. Pada umumnya dukungan keluarga yang diberikan dalam bentuk memberikan
motivasi untuk teratur berobat, bantuan dana untuk kebutuhan sehari-hari, serta bantuan
transportasi untuk pasien TB Paru. Tetapi masih ada anggota yang menghindari pasien yang
menyebabkan pasien merasa malu untuk menjalani pengobatan. Peran keluarga menentukan
pasien untuk menjalani pengobatan.14

II.9 Health Promotion & Preventive Tuberkulosis Paru

II.9.1 Health Promotion

36
o Penyuluhan perorangan menggunakan metode penyuluhan langsung. Materi yang
dijelaskan adalah informasi tentang TB.

o Penyuluhan kelompok menggunaka metode penyuluhan langsung dengan cara


ceramah mengenai TB. Materi penyuluhan adalah semua informasi tentang TB.15

o Materi penyuluhan :

a. Pengertian dan Faktor Resiko TB


TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru,
tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
b. Cara penularan :
 Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
 Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
 Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak
berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah
percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman.
 Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang
gelap dan lembab.
 Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
 Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan
oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara
tersebut.
c. Risiko penularan:
 Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
 Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko

37
terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10
(sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
 ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%.5
 Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif. Risiko menjadi sakit TB.
 Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.
 Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata
terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan
menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien
TB BTA positif.
 Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien
TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi
HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).5

II.9.2 Preventif

Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari
TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:

Pencegahan Primer

Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TB paling efektif,walaupun


hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar kesehatan
sebelumnya yang sudah tinggi. Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan TB yang meliputi
yaitu :

 Imunisasi Aktif,melalui vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada daerah
dengan angka kejadiantinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi dengan nilai
proteksi yang tidak absolutdan tergantung Host tambahan dan lingkungan.
 Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan pengobatan
diabetes, malnutrisi, sakit kronis dan mental.
Contohnya:

a. Pencegahan pada faktor penyebab tuberculosis (agent) bertujuan mengurangi


penyebab atau menurunkan pengaruh agent tuberculosis yaitu mycobacterium

38
tuberkulosis serendah mungkin dengan melakukan isolasi pada penderita
tuberkulosis selama menjalani proses pengobatan.
b. Mengatasi faktor lingkungan yang berpengaruh pada penularan tuberkulosis
seperti meningkatkan kualitas pemukiman dengan menyediakan ventilasi pada
rumah dan mengusahakan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah.
c. Meningkatkan daya tahan pejamu seperti meningkatkan status gizi individu,
pemberian imunisasi BCG terutama anak.
d. Tidak membiarkan penderita tuberculosis tinggal serumah dengan bukan penderita
karena bisa menyebabkan penularan.
e. Meningkatkan pengetahuan individu pejamu (host) tentang tuberculosis defenisi,
peyebab, cara untuk mencegah penyakit tuberculosis paru seperti imunisasi BCG,
dan pengobatan tuberculosis paru.

Pencegahan Sekunder

Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus TB
yang timbul dengan 3 komponen utama yaitu Agent, Host dan Lingkungan. Kontrol pasien
dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi spesifik, walau
terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak langsung dapat
dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TB sebagai pusat, sehingga pengobatan dini
dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat dan gejala infeksi juga
penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif. Langkah kontrol kejadian kontak
adalah untuk memutuskan rantai infeksi TB, dengan imunisasi TB negatif dan
Chemoprophylaxis pada TB positif. Kontrol lingkungan dengan membatasi penyebaran
penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi epidemiologi, sehingga
ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan terhadap epidemiologi TB.
Melalui usaha pembatasan ketidak mampuan untuk membatasi kasus baru harus dilanjutkan,
dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis.16

Pecegahan sekunder atau pencegahan tingkat kedua yang meliputi diagnosis dini dan
pencegahan yang cepat untuk mencegah meluasnya penyakit, untuk mencegah proses
penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi. Sasaran pencegahan ini ditujukan
pada mereka yang menderita atau dianggap menderita (suspect) atau yang terancam akan
menderita tuberkulosis (masa tunas). 6

39
Contohnya :

 Pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) pada penderita tuberkulosis paru


sesuai dengan kategori pengobatan seperti isoniazid dan rifampisin.
 Penemuan kasus tuberkulosis paru sedini mungkin dengan melakukan
diagnosis pemeriksaan sputum (dahak) untuk mendeteksi BTA pada orang
dewasa.
 Diagnosis dengan tes tuberkulin
 Anamnesis baik terhadap pasien maupun keluarganya
 Melakukan foto thorax
 Libatkan keluarga terdekat sebagai pengawas minum obat anti tuberkulosis.6

Pencegahan Tersier

Rehabilitasi merupakan tingkatan terpenting pengontrolan TB. Dimulai dengan


diagnosis kasus berupa trauma yang menyebabkan usaha penyesuaian diri secara psikis,
rehabilitasi penghibur selama fase akut dan hospitalisasi awal pasien, kemudian rehabilitas
ipekerjaan yang tergantung situasi individu. Selanjutnya, pelayanan kesehatan kembali dan
penggunaan media pendidikan untuk mengurangi cacat sosial dari TB, serta penegasan
perlunya rehabilitasi.16

Selain itu, tindakan pencegahan sebaiknya juga dilakukan untuk mengurangi


perbedaan pengetahuan tentang TB, yaitu dengan jalan sebagai berikut :

 Perkembangan media
 Metode solusi problem keresistenan obat
 Perkembangan obat bakterisidal baru
 Kesempurnaan perlindungan dan efektifitas vaksin
 Pembuatan aturan kesehatan primer dan pengobatan TB yang fleksibel
 Studi lain yang intensif
 Perencanaan yang baik dan investigasi epidemiologi TB yang terkontrol.
Pencegahan tertier atau pencegahan tingkat ketiga dengan tujuan mencegah jangan
sampai mengalami kelainan permanent, mencegah bertambah parahnya suatu penyakit atau
mencegah kematian. Dapat juga dilakukan rehabilitasi untuk mencegah efek fisik, psikologis
dan sosial.6

40
- Lakukan rujukan dalam diagnosis, pengobatan secara sistematis dan berjenjang.

- Berikan penanganan bagi penderita yang mangkir terhadapat pengobatan

- Kadang-kadang perlu dilakukan pembedahan dengan mengangkat sebagian paru-paru


untuk membuang nanah

Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan petugas


kesehatan.16

II.10 Pengolahan Data Menggunakan Program SPSS

SPSS adalah salah satu program komputer yang khusus dibuat untuk mengolah data
dengan metode statistik tertentu. Dulu singkatan SPSS adalah Statictical Package for the
Social Sciences, sekarang diperluas untuk melayani berbagai jenis user, seperti untuk proses
produksi di pabrik, riset ilmu-ilmu sains dan lainnya. Sekarang singkatan SPSS adalah
Statistical Product and Service Solutions.17

Penjelasan proses statistik dengan SPSS:

 Data yang akan diproses dimasukkan lewat menu DATA EDITOR yang otomatis
muncul di layar saat SPSS dijalankan.
 Data yang telah diinput kemudian diproses, juga lewat menu DATA EDITOR.
 Hasil pengolahan data muncul di layar (window) yang lain dari SPSS, yaitu
VIEWER. Output SPSS bisa berupa teks/tulisan, tabel atau grafik.17

II.11 Pengolahan Data Menggunakan Analisis Statistik

II.11.1 Analisis Statistik

Umumnya, teknik analisis data dalam penelitian kuantitatif menggunakan alat-alat


statistik. Ada 2 jenis statistik analisis data dalam suatu penelitian, yaitu analisis data statistik
deskriptif dan inferensi.

Analisis data deskriptif adalah cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang
telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku
untuk umum/generalisasi. Ciri analisis deskriptif, yaitu penyajian data lebih ditekankan dalam
bentuk tabel, grafik, dan ukuran-ukuran statistik, seperti persentase, rata-rata, variasi,
korelasi, dan angka indeks.

41
Analisis data inferensi adalah penyajian statistik yang dihasilkan dari penelitian secara
sampel. Umumnya, analisis data inferensi digunakan untuk menganalisis data sampel yang
hasilnya untuk memperkirakan populasi. Ciri-ciri analisis data inferensi yaitu penyajian data
dalam bentuk tabel dan ukuran-ukuran statistik. Analisis data yang digunakan untuk
generalisasi dapat melalui dua pendekatan, yairu pendekatan parametrik dan non-parametrik.
Statistik parametrik digunakan untuk menguji parameter populasi melalui statistik atau
menguji ukuran populasi melalui data sampel yang distribusi nilai pengamatannya diketahui.
Statistik non-parametrik digunakan untuk menguji parameter populasi melalui statistik atau
menguji ukuran populasi melalui data sampel yang distribusi nilai pengamatannya tidak
diketahui.

II.11.2 Statistik Deskriptif

a. Mengukur Tendensi Sentral


 Mean
Mean adalah ukuran pemusatan lokasi yang banyak digunakan dalam statistika.
Ukuran ini mudah dihiitung dengan memanfaatkan data yang dimiliki. Namun
demikian, kekurangan dari ukuran pemusatan ini sangat dipengaruhi nilai ekstrim.
Mean diperoleh dengan cara membagi jumlah nilai data oleh banyaknya data.
Untuk populasi dan sampel rumusnya sama hanya berbeda pada simbol.18
Rumus untuk populasi:

𝑋1 + 𝑋2 + ⋯ + 𝑋𝑁
µ=
N

Rumus untuk sampel:


𝑋1+𝑋2+⋯+𝑋𝑛
𝑋= n

 Median
Sekumpulan data statistik sebanyak N telah diurutkan dari yang terkecil sampai
yang terbesar atau sebaliknya. Data statistik yang berada di tengah-tengah disebut
median.18
 Modus
Modus adalah sekumpulan data yang nilai terjadinya sering muncul atau yang
mempunyai frekuensi paling tinggi.18
b. Mengukur Variabilitas

42
 Quartil
 Desil
 Percentil
c. Varian dan Simpangan Baku
Dalam praktik, simpangan rata-rata jarang sekali digunakan. Penggunaan harga-harga
mutlak dala simpangan rata-rata sangan sulit dan merepotkan secara matematis. Untuk
memanipulasi hal ini telah digunakan kuadrat semua simpangan yang disebut varian.
Varian suatu populasi mempunyai satuan kuadrat dari satuan hasil pengamatan. Oleh
karena itu agar diperoleh varian yang sama dengan satuan amatan asalnya kita tarik akar
variannya, inilah yang disebut simpangan baku.18
Jadi S2 adalah varian, sedangkan √varian adalah simpangan baku. Sama seperti mean,
untuk melihat varian sampel dan populasi dibedakan dari simbolnya.
Rumus varian populasi:
∑(𝑋𝑖 − 𝜇)2
𝜎2 =
𝑛−1

Rumus varian sampel:


∑(𝑋𝑖 − 𝑥)2
𝑆2 =
𝑛−1

d. Penyajian Data
Seringkali untuk keperluan analisis, selain dibuat tabel distribusi frekuensi relatif dan
kumulatif, data disajikan dalam bentuk grafik. Grafik yang berupa gambar pada
umumnya lebih mudah ditangkap dan diambil kesimpulan secara cepat daripada tabel.
Contoh yang dapat digunakan adalah diagram batang, garis atau lingkaran.18

III.PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Langkah-langkah dalam penelitian yaitu menentukan tujuan penelitian, hipotesis,


kerangka teori dan kerangka konsep, variabel, definisi operasional, desain penelitian, subjek
penelitian, alat ukur, pengolahan data, kesimpulan dan laporan. Pada kasus ini usulan
penelitiannya ialah faktor-faktor apa yang mempengaruhi kepatuhan pasien tb paru dalam

43
meminum obat sehingga diperlukan beberapa data sampel dari suatu populasi yang diambil
sampel untuk dilakukan penelitian dan dicari apa penyebab tidak patuhnya pasien meminum
obat apakah ada hubungannya dengan pekerjaan,PMO pelayanan kesehatan ataupun
dukungan keluarga. Angka TBC di Indonesia cukup tinggi menduduki posisi 3 di dunia oleh
karena itu diperlukan perhatian pemerintah dalam menangani kasus TB di masyarakat dalam
bentuk pelayanan di puskesmas atau pelayanan kesehatan agar programnya dapat terlaksana
dan pasien yang telah mendapat regimen pengobatan dapat patuh meminum obat sehingga
angka MDR tidak meningkat.

Daftar Pustaka
1. Notoatmodjo S. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010.h.83-
113.
2. Arifin Z. Dasar-dasar penulisan karya ilmiah. Jakarta: Gramedia Wigiasarana
Indonesia; 2008.h.56-57.
3. Suyanto. Metodologi dan aplikasi penelitian keperawatan. Jakarta: Nuha Medika;
2011.h.22-26.
4. Nazir M. Metode penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia; 2009.h.25,149-160.
5. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Edisi ke-3. Jakarta:
Sagung Seto; 2008.h.59-61, 255-261.
6. Azwar A, Prihartono J. Metodologi penelitian kedokteran dan kesehatan masyarakat.
Jakarta: Binarupa Aksara; 2005.h.23-24.
7. Budiharto. Metodologi penelitian kesehatan gigi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2011.h.1-47.
8. Widoyono. Penyakit tropis, epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasan.
Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.h.1-21.
9. Ranuh IGN, Suyitni H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto. Pedoman
imunisasi di Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008.4-5,131.
10. Rahajoe N Nastiti, Basir Darfioes, MS Makmuri, Kartasasmita CB. Pedoman nasional
tuberkulosis anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi PP IDAI; 2007.h.3-5,25-
41,53-7,63-5.
11. Waloejono K .Pedoman praktis pelaksanaan kerja di puskesmas. Magelang: Balai
Pelatihan Kesehatan; 2000.h.120-3.

44
12. Departemen Kesehatan RI. Pedoman kerja puskesmas. Jilid ke-I. Jakarta: Bakti
Husada; 1991.h.B1-6, C2-4.

13. Budiman Chandra. Ilmu kedokteran pencegahan & komunitas. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC: 2009.h.25-50.
14. Amelda, Ridwan, Leida (2012). Hubungan antara Pekerjaan, PMO, Pelayanan
Kesehatan, Dukungan Keluarga dan Diskriminasi dengan Perilaku Berobat Pasien TB
Paru”. Jurnal Epidemiologi.h.7-10.

15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Standar Penanggulangan Penyakit


Tuberkulosis. Jakarta; 2002.
16. Merryani Girsang. Pengobatan standar penderita TBC. Jakarta: Cermin Dunia
Kedokteran: 2000.h.6-8.
17. Santoso S. Panduan lengkap menguasai SPSS 16. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo; 2008.h.13-4.
18. Wibisono Y. Metode statistik. Yogyakarta: Penerbit Gadjah Mada University Press;
2009.h.155-97.

45

Anda mungkin juga menyukai