Anda di halaman 1dari 26

BAB I DIABETES MELITUS I.

Definisi Diabetes melitus merupakan suatu kelompok


penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau keduaduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
anggota tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World
Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu
yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara
umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problematika anatomik dan kimiawi
akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif
dan gangguan fungsi insulin. Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak
terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun
sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada
kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya
urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 510 kali lipat karena terjadi
perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah
secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih
lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan
hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan faktor genetik yang
berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2. II. Etiologi Ada bukti yang menunjukkan
bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis
yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan
genetik yang biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes
melitus. Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan
imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Manifestasi klinis diabetes melitus
terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. Diabetes melitus tipe 2
ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada awalnya tampak
terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. 1
Insulin mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel
tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa
GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-
pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan
reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempatb reseptor
pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan
reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara
kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan
postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel
beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk
mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasin diabetes tipe 2 mengalami obesitas.
Karena obesitas berkaitan dengan resisten insulin, maka kelihatannya akan timbul
kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat
badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan
pemulihan toleransi glukosa. III. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis diabetes
melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien
dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa
yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika
hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul
glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan
pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa
hilang bersama urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori negatif dan
berat badan berkurang. Rasa alapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif
dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang
terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dn
timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan
segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya
penderita peka terhadap insulin. Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan
darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang
lebih berat, pasien tersebut mungkin 2
menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolpen. Biasanya mereka tidak
mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut
namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap sisekresi dan masih cukup untuk
menghambat ketoasidosis. IV. Diagnosis Diagnosis DM harus didasarkan atas
pemeriksaan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai
patokan penyaring dan diagnosis DM Kadar glukosa darah Plasma vena Darah kapiler
sewaktu (mg/dl) Kadar glukosa darah Plasma vena Darah kapiler puasa (mg/dl) Bukan
DM <110 <90 <110 <90 Belum pasti DM 110-199 90-199 110-125 90-109 DM ≥200 ≥200 ≥126
≥110

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vagina
pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl sudah
cukup untuk menegakkan diagnosa DM. Hasil pemeriksaam kadar glukosa darah puasa
≥126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan
khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan
mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl,
kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes
toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200
mg/dl. Langkah-langkah diagnostik DM dan tolerasni glukosa terganggu

3
V. Klasifikasi Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (ADA) : 1.
Diabetes melitus a. Tipe 1 Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-
onset dan tipe dependen insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang
usia. Diabetes tipe 1 ini dapat dibagi dalam 2 subtipe : (a) autoimun, akibat
disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti
adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya. b. Tipe 2 Diabetes tipe 2 dulu
dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependen insulin.
2. Diabetes gestasional Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama
kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM
adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat
gestasional terdahulu. 4
3. Tipe spesifik lain a) Cacat genetik fungsi sel beta : MODY b) Cacat genetik
kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat c) Endokrinopati : sindrom
cushing, akromegali d) Penyakit eksokrin pankreas e) Obat atau diinduksi secara
kimia f) infeksi 4. Gangguan toleransi glukosa (IGT) Pasien dengan IGT tidak dapat
memenuhi kriteria diabetes melitus, tetapi tes toleransi glukosanya memperlihatkan
kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis. 5. Gangguan glukosa puasa (IFG) Gangguan
glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 dan 126 mg/100 ml. VI.
Penatalaksaan Diabetes Melitus Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri
dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan
melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis,
meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan
penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis,
yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi
farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis
yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagainana yang
diharapkan. Pemberian terapi farmakologis tidak meninggalkan terapi non
farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya. 1. Edukasi Edukasi yang diberikan
kepada pasien meliputi pemahaman : • • • • • • • Perjalanan penyakit DM Makna dan
perlunya pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM dan risikonya Intervensi
farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan Interaksi antara asupan
makanan, aktifitas fisik dan hipoglikemik orak atau insulin serta obat-obat lainnya
Cara pemantauan glukosa darah Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti
hipoglikemia 5

Pentingnya perawatan diri

2. Terapi Gizi Medis Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: a. Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih
dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70%
jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =
monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan
energi sebesar 4 kilokalori. b. Lemak Lemak mempunyai kandungan sebesar 9
kilokalori per gramnya. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan
menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan
kolesterol sangat disarankan bagi para diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki
profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak
jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acid), merupakan salah satu asam
lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA
pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total,
kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi jantung,
menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam
lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan
aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan
perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. Untuk mencukupi kebutuhan
asam lemak tidak jenuh rantai panjang, dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan seminggu
2-3 kali. c. Protein Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari. Perhitungan jumlah kalori : Laki-laki Perempuan : BB
idaman (kg) x 30 kalori : BB idaman (kg) x 25 kalori 6
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang
(30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar. 3.
Latihan Jasmani Jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5
kali per minggu dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya
yang disenangi serta memungkin untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot
besar. 4. Terapi Farmakologis Golongan Insulin Sensitizing yaitu yang memperbaiki
sensitivitas insulin ;  Biguanid Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai
ialah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati,
tidak dimetabolisme tapi dikeluarkan secara cepat melalui ginjal. Karena cepatnya
proses tersebut maka metformin biasanya diberikan 2-3 kali sehari kecuali dalam
bentuk extended release. Efek samping yang terjadi dapat berupa asidosis laktat dan
untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal( kreatinin > 1,3 mg/dl pada wanita dan > 1,5 mg/dl pada pria) atau pada
gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus hati-hati pada orang lanjut
usia. Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin
pada tingkat seluler,distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati.
Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa
darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan.
Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah
setelah 2 jam dan dieksresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2
jam. Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak menyebabkan hipoglikemik.
Pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan
konsentrasi insulin plasma pada keadaa basal juga turun. Pada pemakaian kombinasi
dengan sulfonilurea, hipoglikemik dapat terjadi akibat pengaruh sulfonilureanya.
Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian
sulfonilurea. Pada pemakaian kombinasi metformin dengan insulin dapat
dipertimbangkan untuk pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. 7
 Glitazone atau Thiazolidinediones Obat ini dapat diberikan secara oral dan
monoterapinya dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa sebanyak 59-80
mg/dl dan A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo. Glitazone merupakan agonis
peroxicame activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor
PPAR gamma terdapat dijaringan target kerja insulin yang merupakan regulator
homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Glitazone dapat
merangsang ekskresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitifitas insulin
dan memperbaiki glikemia serta dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator
resistensi insulin seperti TNFalpha dan leptin. Glitazone diabsorpsi dengan cepat
dan mencapai konsentrasi tertinggi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi
farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7
jam bagi pioglitazone. Obat ini dapat digunakan dalam monoterapi ataupun kombinasi
dengan metformin dan sekretago insulin. Secara klinik rosiglitazone dapat diberikan
4 & 8 mg/hr ( dosis tunggal/terbagi 2x sehari) memperbaiki glukosa darah mg/dl.
Golongan Sekretagok Insulin Mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi
sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini berupa sulfonilurea dan
glinid.  Sulfonilurea Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Golongan obat ini
bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan. Karena itu hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai
kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai untuk DM
tipe 1. Efek akut obat golongan sulfonil urea berbeda dengan efek pada pemakaian
jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai 8 puasa sampai 55 mg/dl. Sedangkan
pioglitazone sebagai monoterapi/kombinasi dapat menurunkan glukosa darah dengan
dosis 45
masa paruh 4 jam pada pemakaian akut tapi pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa
paruhnya memanjang sampai 12 jam. Karena itu, dianjurkan hanya sekali sehari.
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa (36%) lebih besar dari glukosa sesudah
makan (21%). Pada pemakaian jangka lama efektifitas golongan obat ini dapat
berkurang. Pemakaian sulfonilurea selalu dimulai dengan dosis rendah untuk
menghindari kemungkinan hipoglikemia. Dosis permulaannya tergantung pada beratnya
hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa darah puasa < 200 mg/dl, SU sebaiknya
dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga
tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200 mg/dl
dapat diberikan dosis awal yang lebih besar . Obat ini sebaiknya diberi setengah
jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberi sekali
sehari sebaiknya diberi pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi
terbesar.  Glinid Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea dan memiliki
struktur yang mirip tapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid & nateglinid
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral dan cepat dikeluarkan melalui
metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat
menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat karena
lama menempel pada kompleks SUR menurunkan ekuivalen A1C pada SU. Nateglinid
mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa.
Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial
dengan efek hipoglikemik yang minimal. Penghambat Alfa Glukosidase Obat ini bekerja
dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga
menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini
bekerja dilumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada
kadar insulin. 9 sehingga dapat
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal
seperti meteorismus,diare. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau
kombinasi dengan insulin,metformin,glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek
maksimal obat ini harus digunakan pada saat makanan utama karena merupakan
penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang
sama karbohidrat berada diusus halus. Monoterapi acarbose dapat menurunkan glukosa
postprandial 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dl. Sedangkan dengan
terapi kombinasi akan menurunkan glukosa postprandial sebesar 20-30 mg/dl dari
keadaan sebelumnya. Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitors DPP-4 inhibitor DPP-4
merupakan protein membran yang diekspresikan pada berbagai jaringan termasuk sel
imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP
yaitu meningkatkan “glucose- mediated insulin secretion” dan mensupres sekresi
glukagon. Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C
sebesar 0,6-0,9 %.Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai
sebagai monoterapi. Obat yang termasuk golongan ini : sitagliptin, vildagliptin,
saxagliptin, and linagliptin. Insulin Terapi insulin diperlukan pada keadaan: 
Penurunan BB yang cepat  Hiperglikemia berat disertai ketosis  Ketoasidosis
diabetik  Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik  Gagal dengan kombinasi OHO
dosis hampir maksimal  Hiperglikemia dengan asidosis laktat  Stres berat( infeksi
sistemik, operasi besar, IMA, stroke )  Kehamilan dengan DM / DMG yang tidak
terkendali dengan TGM  Gangguan fungsi hati/ginjal berat  Kontraindikasi/alergi
dengan OHO  Kanker  Sirosis hati 10
 TBC paru  Fraktur  Tirotoksikosis VII.Komplikasi Komplikasi-komplikasi diabetes
melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan
komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang. 1. Komplikasi metabolik akut 
Ketoasidosis Diabetik (DKA) Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami
hiperglikemia dan glukosuria barat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis,
dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton
(asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma
mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan bebas ion hidrogen
dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat menyebabkan
diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien
dapat mengalami hipotensi dan syok. Akhirnya akibat penurunan penggunaan oksigen
otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. DKA ditangani dengan perbaikan
kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, pemulihan keseimbangan air dan
elektrolit, dan pengobatan keadaan yang mempercepat ketoasidosis (infeksi). 
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) Hiperglikemia berat dengan
kadar glukosa serum >600 mg/dl. Hiperglikemia mneyebabkan hiperosmolalitas,
diuresis osmotik dan dehidrasi berat. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian
elektrolitdan insulin reguler.  Hipoglikemia Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan
oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga
akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul
dan koma). Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat,
baik oral maupun intravena. 2. Komplikasi kronik jangka panjang  Mikroangiopati :
retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik. 11
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes
melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200
μg/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan. 
Makroangiopati Makroangiopati diabetik akan mengakibatkan penyumbatan vaskular.
Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular
perifer yang disertai kaludikasio intermiten dan gangren pada ekstrimitas serta
insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan
aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.

12
ULKUS DIABETIKUM I. Definisi Ulkus diabetikum, sesuai dengan namanya, adalah ulkus
yang terjadi pada kaki penderita diabetes dan merupakan komplikasi kronik yang
diakibatkan oleh penyakit diabetes itu sendiri. Insiden ulkus diabetikum setiap
tahunnya adalah 2% diantara semua pasien diabetes dan 5-7,5% diantara pasien
diabetes dengan neuropati perifer. II. Patofisiologi Ulkus diabetikum terjadi
akibat adanya perubahan mikrovaskular dan makrovaskular yang dalam hal ini terjadi
neuropati dan Peripheral Vascular Diseasse (PVD). Neuropati pada penderita diabetes
memiliki prevalensi lebih dari 50%. Patogenesisnya bersifat multifaktorial dan
diduga akibat perubahan patologis yang diinduksi hiperglikemia pada neuron-neuron
dan iskemia karena berkurangnya aliran darah neurovaskular yang berakibat rusaknya
neuron. Selain neuropati dan PVD, terdapat satu faktor lagi yang berperan, yaitu
infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tetapi sering merupakan
komplikasi iskemia dan neuropati. Penyebab terjadinya ulkus bersifat
multifaktorial, dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu akibat perubahan patofisiologi,
deformitas anatomi dan faktor lingkungan. Perubahan patofisiologi pada tingkat
biomolekular menyebabkan neuropati perifer, dan penurunan sistem imunitas yang
mengakibatkan terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas anatomi pada kaki,
yaitu pada neuroatropati charcot, terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris.
Faktor lingkungan terutama trauma akut dan kronis (akibat tekanan sepatu, benda
tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang dapat memulai terjadinya ulkus. Alas
kaki yang tidak tepat merupakan sumber trauma yang paling sering. Akibat dari
neuropati yang menganai saraf sensorik perifer dan rusaknya serabut mielin, maka
mekanisme proteksi normal akan terganggu sehingga pasien kurang waspadsa terhadap
trauma minor pada kaki, bahkan tidak mengetahui telah terdapat luka 13
di kakinya. Terganggunya persepsi propioseptif menyebabkan distribusi berat yang
salah, terutama pada saat berjalan sehingga dapat terbentuk kalus atau ulkus.
Adanya neuropati motorik dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, juga
menyebabkan abnormalitas pada mekanis otot kaki dan perubahan struktural kaki,
misalnya hammer toe, claw toe, prominent metatarsal head, charcot joint, dan
mudahnya terbentuk kalus. Gangguan otonom yang ada seperti anhidrosis, gangguan
aliran darah superfisial kaki, membuat kulit menjadi kering dan mudah terbentuk
retakan/fisura. Buruknya sirkulasi darah dan penyembuhan luka dapat memperbesar
luka kecil. III. Klasifikasi Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes. Suatu
klasifikasi mutakhir dianjurkan oleh International Working group on Diabetic Foot
(klasifikasi PEDIS 2003). Impaired Perfusion 1 = None 2 = PAD + but not critical
Size/ Extend in mm2 Tissue Loss/ Depth 3 = Critical limb ischemia 1 = Superficial
fullthickness, no deeper than dermis 2 = Deep ulcer, below dermis, involving
subcutaneous structures, fascia, muscle or tendon Infection 3 = All subsequent
layers of the foot involved including bone and or joint 1 = No symptoms or sign of
infection 2 = Infection of skin and subcutaneous tissue only 3 = Erythema > 2cm or
infection involving subcutaneous structure(s) No Systemic sign(s) of inflamatory
response Impaired Sensation 4 = infection with systemic manifestation : fever,
leucocytosis, shift to the left, metabolic instability, hypotemsion, azotemia 1 =
Absent 2 = Present

Dengan klasifikasi PEDIS akan dapat ditentukan kelainan apa yang lebih dominan,
vaskular, infeksi atau neiropatik, sehingga arah pengelolaan pun dapat tertuju
dengan lebih baik. Misalnya suatu ulkus gangren dengan critical limb ischemia (P3)
tentu lebih 14
memerlukan tindakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki keadaan vaskularnya terlebih
dahulu. Sebaliknya kalau faktor infeksi menonjol (I4), tentu pemberian antibiotik
harus adekuat. Demikian juga kalau faktor mekanik yang dominan (insensitive foot,
S2), tentu koreksi untuk mengurangi tekanan plantar harus diutamakan.

Klasifikasi Wagner (klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai) : 0 = Kulit
intak/utuh 1 = Tukak superfisial 2 = Tukak dalam (sampai tendon, tulang) 3 = Tukak
dalam dengan infeksi 4 = Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki 5 = Tukak dengan
gangren luas seluruh kaki Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan
sangat erat dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan
alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-2005) : • • • • • • Stage 1 : Normal foot Stage
2 : High risk foot Stage 3 : Ulcerated foot Stage 4 : Infected foot Stage 5 :
Necrotic foot Stage 6 : Unsalvable foot

Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat
dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh podiatrist/chiropodist maupun
oleh dokter umum/dokter keluarga. Untuk stage 3 dan 4 kebanyakan sudah memerlukan
perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah
memerlukan pelayanan spesialistik. Untuk stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat
inap, dan jelas sekali memerlukan suatu kerjasama tim yang sangat erat, dimana
harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan
rekonstruksi. IV. Penatalaksanaan Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik
agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut,
dan semuanya harus dikelola bersama : 15

Mechanical control - pressure control Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti
kaki dipakai untuk menahan berat badan – weight bearing), luka yang selalu mendapat
tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian
plantar.

Wound control Dilakukan debridement untuk mengurangi jaringan yang nekrotik dan
mengurangi produksi pus dari ulkus/gangren. Berbagai terapi topikal dapat
dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai
pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing,
dll.

Microbiological control – infection control Antibiotik yang dianjurkan harus selalu


disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari
penelitian tahun 2004 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman
yang polimikrobial, campuran gram positif dna gram negatif serta kuman anaerob
untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu lini pertama pemberian antibiotik
harus diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan
negatif (seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang
bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol).

Vascular control Perbaiki kelainan pembuluh darah perifer dengan modifikasi faktor
risiko terkait aterosklesrosis seperti hiperglikemi, hipertensi dan dislipidemia.

Metabolic control Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar
glukosa darah diusahakan senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor yang
terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan
insulin untuk menormalisasi kadar glukosa darah. Status nutrisi harus diperhatian
dan diperbaiki. Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain
harus juga diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan
derajat oksigenasi jaringan, demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut
tentu akan menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak
diperbaiki.

Educational control

16
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun
keluarganya diaharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang
diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.

LAPORAN KASUS IDENTITAS PASIEN Nama Umur Pekerjaan Alamat ANAMNESIS Seorang pasien
perempuan usia 52 tahun dirawat di bangsal interne RSUD Sungai Dareh sejak tanggal
9 Desember 2012 dengan keluhan utama tukak pada kaki kanan sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit. Keluhan utama : Tukak pada kaki kanan sejak 4 hari sebelum masuk
rumah sakit Riwayat Penyakit Sekarang : Tukak pada kaki kanan sejak 4 hari sebelum
masuk rumah sakit. Awalnya punggung kaki tampak membengkak, kemudian lama-kelamaan
menjadi tukak dan bernanah. Kaki terasa baal dan kesemutan sejak ±1 tahun yang lalu
Pasien mengeluhkan nyeri kepala sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Mual (+),
Muntah (+) setiap makan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien sebelumnya
dirawat di RSAM bukittinggi 4 hari yang lalu, dan mendapat obat ceftriaxon,
metronidazol, metformin 3x500 mg, glimepirid 1-0-1 dan RI 3x8 unit. Riwayat
Penyakit Dahulu − Pasien telah dikenal menderita penyakit diabetes melitus sejak ±
10 tahun yang lalu. − Pasien sebelumnya sudah pernah dirawat di RS dengan diagnosa
diabetes melitus. 17 : Ny.S : 52 tahun : IRT : Tiumang

Jenis Kelamin : Perempuan Suku Bangsa : Minang


− Pasien telah dikenal menderita hipertensi sejak ± 6 bulan yang lalu

Riwayat Keluarga Kakak pertama pasien juga menderita diabetes melitus ♀ ♂ ♂ ♂ ♂ ♂ ♀


PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis Keadaan Umum Kesadaran Suhu Tekanan darah Nadi
Nafas BB/TB BB ideal Kepala Mata Leher Thorak Paru : Sakit sedang : CMC : 36,7 0C :
160/90 mmHg : 104 x/menit : 22 x/menit : 55 kg/156 cm : 50,4 kg : Normocephal :
Konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik : Tidak ada kelainan, JVP 5-2cmH2O : :
Inspeksi Palpasi Perkusi Jantung :Inspeksi : Simetris kiri dan kanan : Fremitus
kiri sama dengan fremitus kanan : Sonor : Iktus tidak terlihat 18 ♀ ♀ ♂ ♀ ♂

Auskultasi : Vesikuler, Rhonki (-/-), wheezing (-/-)


Palpasi Perkusi

: Iktus teraba 1 jari medial linea midsternalis sinistra RIC V : Batas jantung atas
RIC II, batas jantung kanan linea sternalis kiri, batas jantung kiri 1 jari medial
linea midclavikularis sinistra RIC V

Auskultasi : Irama reguler, bising (-) Abdomen :Inspeksi Palpasi Perkusi Punggung
Ekstrimitas : Tidak tampak membuncit : Hepar dan lien tidak teraba : Timpani :
Nyeri ketok dan nyeri tekan CVA (-) : Refleks fisiologis (+/+), Reflek Patologis
(-/-), Edema (-/-). Ulkus pada pedis dextra ukuran 5x3x0,5 cm, dasar jaringan, pus
(+)

AuskultasI : Bising usus (+) normal

A. A. A.

Pulsasi Dorsalis Pedis Tibialis Posterior Poplitea

Kiri + + +

Kanan + + +

Sensibilitas Halus Kasar

Kiri +

Kanan +

19
Laboratorium Hb Leukosit Hematokrit Trombosit Golongan darah GDR Ureum Kreatinin
SGOT SGPT Urinalisa : 8,1 g/dl : 13.000/mm3 : 22% : 245.000/mm3 :O : 190 mg/dl : 39
mg/dl : 1,3 mg/dl : 39 ul : 43 ul : Albumin Reduksi Bilirubin Eritrosit Leukosit
Epitel Diagnosa Kerja Diabetes mellitus tipe 2 tidak terkontrol + ulkus diabetikum
pedis dextra Diagnosis tambahan Suspek nefropati diabetikum + hipertensi stage II
Penatalaksanaan − IVFD RL 20 gtt/menit − Ceftriaxon 2x1 gr (iv) − Metronidazol inf
3x1 (iv) − RI 3x8 unit (sc) − Amlodipin 1x5 mg (p.o) − Pantoprazol 1x1 (iv) −
Ondancentron 3x1 amp (iv) − Redresing 2x sehari (pagi dan sore) : (+) : (-) : (-) :
1-2/lp : (+) : (+++)

20
Follow up Tanggal 10 Desember 2012 S/ O/ Nyeri kepala ↓ Mual (-), muntah (-) KU
sedang Kes CMC TD Nadi Nafas 22x/menit T afebris 150/90mmHg 88x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 134 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) RI 3x8 unit (sc) Redressing 2x sehari dengan gentamisin
Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 11 Desember 2012 S/ O/ Nyeri kepala ↓ Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes
CMC TD Nadi Nafas 24x/menit T afebris 140/90mmHg 88x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 109 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1 (po) Redressing 2x sehari dengan gentamisin
Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 12 Desember 2012 21


S/ O/

Nyeri kepala (-) Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes CMC TD Nadi Nafas 22x/menit T
afebris 130/90mmHg 86x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 167 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1tab (po) Redressing 2x sehari dengan gentamisin
Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 13 Desember 2012 S/ O/ Nyeri kepala (-) Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes
CMC TD Nadi Nafas 22x/menit T afebris 130/90mmHg 84x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 188 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1tab (po) Redressing 2x sehari dengan gentamisin
Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 14 Desember 2012 S/ Nyeri kepala (-)

22
O/

Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes CMC TD Nadi Nafas 24x/menit T afebris 130/80mmHg
82x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 150 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1 tab (po) Redressing 2x sehari dengan
gentamisin Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 15 Desember 2012 S/ O/ Nyeri kepala (-) Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes
CMC TD Nadi Nafas 22x/menit T afebris 130/90mmHg 86x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 145 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1 tab (po) Redressing 2x sehari dengan
gentamisin Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 16 Desember 2012 S/ Nyeri kepala (-) Mual (-), muntah (-)

23
O/

KU sedang

Kes CMC

TD

Nadi

Nafas 22x/menit

T afebris

130/90mmHg 88x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 133 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1 tab (po) Redressing 2x sehari dengan
gentamisin Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 17 Desember 2012 S/ O/ Nyeri kepala (-) Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes
CMC TD Nadi Nafas 22x/menit T afebris 130/90mmHg 88x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 118 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1 tab (po) Redressing 2x sehari dengan
gentamisin Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 18 Desember 2012 S/ O/ Nyeri kepala (-) Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes
CMC TD Nadi Nafas 22x/menit T afebris 24 130/90mmHg 88x/menit
Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 136 mg/dl A/ DM tipe 2 +
ulkus diabetikum pedis dextra Ceftriaxon 2x2 gr (iv) Metronidazol inf 3x1 (iv)
Captopril 2x25 mg (po) Galvusmet 1x1 tab (po) Redressing 2x sehari dengan
gentamisin Iodosof Th/ - IVFD RL 20 gtt/menit

Tanggal 19 Desember 2012 S/ O/ Nyeri kepala (-) Mual (-), muntah (-) KU sedang Kes
CMC TD Nadi Nafas 22x/menit T afebris 130/90mmHg 88x/menit

Ekstrimitas : pedis dekstra : ulkus (+), pus (+) GDR : 119 mg/dl A/ Th/ Os boleh
pulang Obat pulang : Galvusmet 1x1 tab Ciprofloxacin 2x1 tab (po) Klindamisin 2x1
tab (po) Valsartan 1x160 mg (po) DM tipe 2 + ulkus diabetikum pedis dextra

25

Anda mungkin juga menyukai