Anda di halaman 1dari 88

PRE TEST

STASE ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Tugurejo Semarang

Disusun Oleh :
Amri Muharam NPM. 113170005
Ananda Liza Putri Sarah NPM. 113170006
Casnia NPM. 113170014
Intan Rensiska NPM. 112170043

Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Semarang


Tahun 2018
1. b. Terangkan tentang ujud kelainan kulit (UKK)
Berdasarkan morfologi lesinya, UKK dapat dibagi menjadi:
1) Lesi meninggi seperti papul, plak, nodul, kista, urtika dan komedo
2) Lesi mencekung seperti erosi, ulkus, atrofi, poikiloderma, striae, burrow
dan sklerosis
3) Lesi mendatar seperti makula dan patch
4) Perubahan permukaan seperti skuama, krusta, ekskoriasi, fisura,
likenifikasi dan keratoderma
5) Berisi cairan seperti vesikel, bula, pustula dan abses
6) Vaskular seperti purpura dan telangiekstasia.
Berdasarkan permukaan kulit lesinya, UKK dapat dibagi menjadi:
1) Setinggi permukaan kulit yaitu makula
2) Bentuk peralihan serta tidak terbatas pada permukaan kulit yaitu eritema
dan telangiektasis
3) Diatas permukaan kulit yaitu urtika, vesikel, bula, kista, pustul, abses,
papul, nodus, tumor dan vegetasi
4) Bentuk peralihan yaitu sikatriks, hipotrofi, anetoderma, erosi, ekskoriasi,
ulkus, skuama, krusta, sel-sel asing dan hasil metabolism serta kotoran.
Berdasarkan kejadiannya UKK dibagi atas UKK primer, sekunder dan
UKK khusus. UKK primer adalah bentuk lesi awal sebelum mengalami
perubahan karena trauma, manipulasi (garukan serta gesekan), infeksi
sekunder dan perubahan alamiah. UKK khusus merupakan UKK yang
terjadi pada kondisi atau penyakit tertentu saja.
1) Lesi primer seperti makula, papula, urtika, patch, plak, vesikel, bula,
pustula, nodul dan kista
2) Lesi sekunder seperti krusta, skuama, ulkus, erosi, fisura, ekskoriasi,
skar, likenifikasi dan atrofi
3) Lesi khusus seperti teleangiektasia, purpura, ptekie, komedo, burrow dan
lesi target.

Pembagian lesi yaitu sebagai berikut :


1) Lesi primer
a) Bulla dan vesikel
Bulla adalah lesi yang terisi oleh cairan dengan ukuran >0,5 cm
sedangkan vesikel >0,5 cm.Dapat terjadi intraepidermal dan
subepidermal. Pada intraepidermal lesi tersebut longgar danmudah
pecah dan subepidermal tegang dan tidak mudah pecah.
Patofisiologinya yaitu terjadi karena plasma yang bocor dari
pembuluh darah mengisi ruang epidemis sehinggaterjadi penumpukan
cairan.

Bulla Vesikel
b) Makula dan patch
Makula adalah lesi kulit yang datar dimana terjadi perubahan
warna kulit yang dapat berbatastegas atau samar dibandingkan dengan
kulit sekitarnya dengan ukuran <0,5 cm, sedangkan patch berukuran
>0,5 cm.
Patofisiologinya yaitu makula hiperpigmentasi terjadi karena
peningkatan sekresi melanin. Makula hipopigmentasi terjadi karena
penurunan atau tidak adanya sintesis melanin. Makula eritem terjadi
karena dilatasi pembuluh darah, ekstravasasi sel-sel darah
merahkepermukaan kulit.
Makula Patch
c) Papul, nodul dan plak
Papul adalah massa solid dengan ukuran <0,5 cm, sedangkan
nodul berukuran >0,5cm. Adapun plak adalah suatu lesi dengan
peninggian yang permukaannya datar di banding dengan kulit normal
dibawahnya.
Patofisiologinya terjadi karena peradangan yang sebagian besar
terjadi di dermis. Kemudiankomponen-komponen peradangan tersebut
membentuk masa yang solid.

Nodul Papul Plak


d) Kista
Kista adalah suatu ruangan berkapsul dengan epitel yang terdiri
dari cairan atau dari bahan-bahansemi solid berupa sel-sel yang telah
mati atau produk-produk sel itu sendiri sepertikeratin.
Patofisiolognya terjadi karena peradangan sehingga komponen-
komponen peradangan tersebut membentukmasa yang semisolid.
Kista
e) Urtika
Urtika adalah penonjolan di atas permukaan kulit akibat edema
setempat dan dapat hilangperlahan-lahan, misalnya pada dermatitis
medikamentosa dan gigitan serangga
Patofisiologinya terjadi karena edema atau pembekakan yang
dihasilkan oleh kebocoran plasma melaluidinding pembuluh darah di
bagian atas dermis.

Urtika
f) Pustula
Pustula adalah lesi kulit yang terisi dengan pus dibagian
epidermis. Patofisiologinya terjadi karena infeksi bakteri
menyebabkan penumpukan eksudat purulen yang terdiridari pus,
leukosit dan debris.

Pustula
g) Abses
Abses adalah efloresensi sekunder
berupa kantong berisi nanah di
dalam jaringan misalnya abses bartholini dan abses banal.
Patofisiologinya terjadi akumulasi bahan-bahan purulen di bagian
dalam dermis atau jaringan subkutan.

Abses
2) Lesi sekunder
a) Sikatriks
Sikatriks/ scar adalah jaringan ikat yang menggantikan epidermis
dan dermis yang sudah hilang. Jaringan ikat ini dapat lebih cekung
dari kulit sekitarnya (sikatriks atrofi), dapatlebih menonjol (sikatriks
hipertrofi), dan dapat normal (uetrofi/luka sayat). sikatriks
tampaklicin, garis kulit dan adneksa hilang. Patofisiologinya yaitu
terjadi karena proliferasi jaringan fibrosa digantikan oleh jaringan
kolagen setelah terjadinya luka atau ulserasi.

Sikatrik

b) Erosi
Erosi adalah kerusakan kulit sampai stratum spinosum. kulit
tampak menjadi merahdan keluar cairan serosa, misalnya pada
dermatitis kontak. Patofisiologinya yaitu terjadi karena adanya trauma
sehinggga terjadi pemisahan lapisan epidermis denganlaserasi rupture
vesikel atau bula dan nekrosis epidermal.

Erosi
c) Likenifikasi
Likenifikasi adalah penebalan kulit sehingga garis-garis lipatan
kulit tampak lebih jelas. Patofisiologinya yaitu terjadi karena
perubahan kolagen pada bagian superficial dermis menyebabkan
penebalan kulit.

Likenifikasi
d) Eksoriasi
Eksoriasi adalah kerusakan kulit sampai ujung stratum papilaris
sehingga kulit tampakmerah disertai bintik-bintik perdarahan.
ditemukan pada dermatitis kontak dan ektima. Patofisiologinya yaitu
terjadi karena adanya lesi yang gatal sehingga di garuk dan dapat
menyebabkan perdarahan.
Eksoriasi
e) Krusta
Krusta adalah onggokan cairan darah, nanah, kotoran, dan obat
yang sudah mongering diatas permukaan kulit misal impetigo
krustosa. Krusta dapat berwarna hitam, merah atau coklat.
Patofisiologinya yaitu terjadi karena ketika papul, pustul, vesikel dan
bulla mengalami ruptur atau pecah cairan atau bahan-bahan yang
terkandung di dalamnya akan mengering.

Krusta
f) Atrofi
Atrofi adalah pengurangan ukuran sel, organ atau bagian tubuh
tertentu. Patofisiologinya yaitu penurunan jaringan ikat retikuler
dermis sehingga menyebabkan penekanan permukaan kulityang
reversible.

Atrofi
Berbagai istilah ukuran, susunan kelainan/ bentuk serta penyebaran
dan lokalisasi dijelaskan berikut ini. Ukurannya yaitu :
(1) Miliar yaitu sebesar kepata jarum pentul
(2) Lentikular yaitu sebesar biji jagung
(3) Numular yaitu sebesar uang logam 5 rupiah atau 100 rupiah
(4) Plakat yaitu plaque, lebih besar dari nummular.
Susunan kelainan/ bentuk yaitu :
(1) Liniar yaitu seperti garis lurus
(2) Sirsinar/ anular yaitu seperti lingkaran
(3) Arsinar yaitu berbentuk bulan sabit
(4) Polisiklik : bentuk pinggiran yang sambung menyambung
(5) Korimbiformis yaitu susunan seperti induk ayam yang dikelilingi
anak-anaknya.
Bentuk lesi yaitu :
(1) Teratur misalnya bulat, lonjong, seperti ginjal dan sebagainya.
(2) Tidak teratur yaitu tidak rnernpunyai bentuk teratur.
Penyebaran dan lokalisasi yaitu :
1. sirkumskrip : berbatas tegas
2. difus : tidak berbatas tegas
3. genaralisata : tersebar pada sebagian besar bagian tubuh
4. regional : mengenai daerah tertentu badan
5. universalis : seluruh atau hampir seluruh tubuh (90%- 100%)
6. solitar : hanya satu lesi
7. herpetiformis : vesikel berkelompok seperti pada herpes zoster
8. konfluens : dua atau lebih lesi yang menjadi satu
9. diskret : terpisah satu dengan yang lain
10. serpiginosa : proses yang menjalar ke satu jurusan diikuti oleh
penyembuhan pada bagian yang ditinggalkan
11. irisformis : eritema berbentuk bulat lonjong dengan vesikel warna
yang lebih gelap di tengahnya.
12. simatrik : mengenai kedua belah badan yang sama
13. bilateral : mengenai kedua belah badan
14. unilateral : mengenai sebelah badan
2 B. TERANGKAN DAN TATALAKSANA ACNE
a. Pengertian akne
Penyakit kulit yang terjadi akibat peradangan menahun folikel pilosebasea
yang ditandai dengan adanya komedo, papul, pustule, nodus, dan kista pada
tempat predileksinya
b. Klasifikasi
Klasifikasi yang dibuat oleh Plewig dan Kligman dalam buku mereka
yaitu :
1) Akne vulgaris dan varietasnya
- Akne tropikals
- Akne fulminan
- Piderma fasiale
- Akne mekanika, dan lainnya
2) Akne venenata akibat kontaktan eksternal dan varietasnya
- Akne kosmetika
- Pomade akne
- Akne klor
- Akne akibat kerja
- Akne detergen
3) Akne komedonal akibat agen fisik dan varietasnya
- Solar comedones
- Akne radiasi (sinar X, kobal)
Penggolongan ini membedakannya secara jelas dengan kelainan secara
jelas dengan kelainan yang irip akne, erupsi akneiformis, akibat induksi
obat yang digunakan secara lama, misalnya kortikostreroid, ACTH,
INH, iodide dan bromide, vitamin B12, difenil hidantoin,
trimetadion,Phenobarbital.
Pada akne vularis terjadi perubahan jumlah dan konsistensi lemak
kelenjar, akibat pengaruh berbagai penyebab. Pada akne venenata
terjadi penutupan oleh massa eksternal. Pada akne fisis, saluran keluat
menyempit akibat radiasi sinar ultraviolet, sinar matahari, atau sinar
radioaktif.
c. Etiologi dan pathogenesis akne vulgaris
1) Perubahan pada keratinisasi dalam folikel yang biasanya berlangsung
longgar berubah menjdai padat sehingga sukar epas dari saluran foikel
tersebut.
2) Produksi sebum yang meningkat yang menyebabkan penigkatan unsure
komedogenik dan inflamatogeik penyebab lesi akne.
3) Terbentuknya fraksi asam lemak bebas penyebab terjadinya proses
inflamasi folikel dalam sebu dan kekekntalan sebum yanh penting pada
pathogenesis penyakit.
4) Peningkatan jumlah flora folikel yang berperan pada proses kemotaktik
inflamasi serta pembentukan enzim lipolitik pengubah fraksi lipid
sebum.
5) Terjadinya respons hospes berupa pembentukan circulating anibodies
yang memperberat akne.
6) Peningkatan kadar hormone androgen, anabolic, kortikosteroid,
gonadotropin serta ACTH yang ungkin menjadi faktor penting kegiatan
kelenjar sebasea.
7) Terjadinya stress psikik yang dapat memicu kegiatan kelenjar sebasea,
baik secara langsung atau mulai rangsangan terhadap kelenjar hipofisis.
8) Faktor lain; usia, ras, familial, makanan, cuaca/musim yang secara tidak
langsung dapat memacu peningkatan proses pathogenesis.
d. Gejala klinis
Tempat predileksi akne vulgaris adalah dimuka, bahu, dada bagian atas,
dan punggung bagian atas. Lokasi kulit lain, misalnya leher, lengan atas,
dan glutea kadang-kadang terkena. Erups kulit polimorfi, dengan gejala
predominan salah satunya, komedo, papul, yang tidak beradang dan
pustule, nodus dan kista yang beradang. Dapat disertai rasa gatal, namun
umumnya keluhan penderita adalah keluhan estetis. Komedo adalah gejala
patognomonik bagi akne berupa papul miliar yang tengahnya mengandung
sumbatan sebum, bila berwarna hitam akibat mengandung unsure meanin
sisebut komedo hitam atau komedo terbuka. Sedang bila berwarna putih
letaknya lebih dalam sehingga tidak mengandung unsure melanin disebut
sebagai komedo putih atau komedo tertutup.

e. Gradasi
Gradasi menunjukkan berat ringannya penyakit diperlukan bagi pilihan
pengobatan. Ada berbagai pola pembagian gradasi penyakit akne vulgaris
yang dikemukakan, salah satunya sebagai berikut :
1) Komedo dimuka
2) Komedo, papul, pustule, dan peradangan lebih dalam dimuka.
3) Komedo, papul, pustule, dan peradangan lebih dalam dimuka, dada,
punggung.
4) Akne konglobata.
f. Diagnosis
Diagnosis akne vulgaris ditegakkan atas dasar klinis dan pemeriksaan
ekskohleasi sebum, yaitu pengeluaran sumbatan sebum dengan komedo
ekstraktor (sendok unna). Sebum yang menyumbat folikel tampak sebagai
massa padat seperti lilin atau massa lebih lunak bagai nasi yang ujungnya
kadang berwarna hitam.
Pemeriksaan histopatologis memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik
berupa sebukan sel radang kronis di sekitar folikel pilosebasea dengan
massa sebum di dalam folikel. Pada kista, radang sudah menghilang diganti
dengan jaringan ikat pebatas massa cair sebum yang bercampur dengan
dara, jaringan mati, dan keratin yang lepas.
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jassad renik yang mempunyai peran
pada etiologi dan pathogenesis penyakit dapat dilakukan dilaboratorium
mikrobiologi yang lengkap untuk tujuan penelitian, amun hasilnya sering
tidak memuaskan.
Pemeriksaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit dapat pula dilakukan
untuk tujuan serupa. Pada akne vulgaris kadar asam lemak bebas
meningkat dank arena itu pada pengobatan dan pencegahan digunakan cara
untuk mencegahnya.
g. Diagnosis banding
1) Erupsi akneiformis yang disebabkan oleh induksi obat, misalnya
kortikosteroid, INH, barbiturate, bromide, yodida, difenil hidantoin,
trimetadion, ACTH, dan lainnya. Klinis berupa erupsi papulo pustule
mendadak tanpa adanya komedo dihampir seuruh bagian tubuh. Dapat
disertai demam dan dapat terjaddi disemua usia.
2) Akne venenata dan akne akibat rangsangan fisis. Umumnya lesi
monomorfi, tidak gatal, bisa berupa komedo atau papul, dengan tempat
predileksi di tempat kontak zat kimia atau rangsang fisisnya.
3) Rosasea, merupakan penyakit peradangan kronik didaerah muka
dengan gejala eritema, pustule, telangiektasis dan kadang-kadang
disertai hipertrofi kelenjar sebasea. Tidak terdapat komedo kecuali bila
kombinasi degan akne.
4) Dermatitis perioral yang terjadi terutama pada wanita dengan gejal
klinis polimorfi eritema, papul, pustule, disekitar mulut yang terasa
gatal.
h. Penatalaksanaan
Pengobatan akne dapat dilakukan dengan cara memberikan obat-obat
topical, obat sistemik, bedah kulit atau ombinasi cara-cara tersebut.
1) Pengobatan topical
- Bahan iritan yang dapat mengelupas kulit, sulfur (4-8%), resorsinol
(1-5%), asam salisilat dan lain-lain. Kemudian digunakan pula asam
alfa hidroksil, misalnya asam glikolat(3-8%). Obat lain ialah
retinoid. Efek samping obat iritan dapat dikurangi dengan cara
pemakaian yang berhati-hati dimulai dengan konsentrasi yang
paling rendah. Retinoid ialah suatu molekul yang secara langsung
atau melalui konversi metabolic mengikat dan mengaktifkan
reseptor asam retinoid. Sediaannya ada tiga ialah krim 0.025%,
0.05% dan 0.01%; solusio 0.05%. Obat yang lebih baru ialah gel
atau lotion adapolin dan gel atau krim tazarotin0.1%.
- Antibiotika topical yang dapat mengurangi jumlah mikroba dalam
folikel yang berperan dalam etiopatogenesis akne vulgaris, misalnya
oksi tetrasiklin (1%), eritrimisin (1%), klindamisin fosfat (1%).
- Antiperadangan topical, salap atau krim kortikosteroid kekuatan
ringan atau sedang (hidrokortison 1-2,5%) atau suntikan intralesi
kortikosteroid kuat (triamsinolon asetonid 10mg/cc) pada esi
nodulo-kistik.
- Lainnya, misalnya etil laktat 10% untuk menghambat pertumbuhan
jasad renik.
2) Pengobatan sistemik
- Antibakteri sistemik, tetrasiklin (250mg-1.0mg/hari), azitromisin
250-500mg seminggu 3 kali, eritromisin 4x250mg/hari, dan
trimetroprim-sulfnetoksazol untuk akne yang parah dan tidak
responsive dengan obat lain, karena efek sampingnya. Obat lain
ialah klindamisin dan dapson (50-100 mg sehari).
- Obat hormonal untuk menekan produksi androgen dan secara
kompetitif menduduki reseptor organ target dikelenjar sebasea,
misalnya estrogen (50mg/hari selama 21 hari dalam sebulan) atau
antiandrogen siproteron asetat (2mg/hari). Pengobatan ini ditujukan
untuk penderita wanita dewasa akne vulgaris beradang yang gagal
dengan terapi yang lain. Kortikosteroid sistemik iberikan unruk
menekan peradangan dan menekan sekresi kelenjar adrenal,
misalnya prednisone (7,5mg/hari) atau deksametason (0,25-
0,5mg/hari).
- Vitamin A dan retinoid oral. Vitamin A digunakan sebagai
antikeratinisasi (50.000ui-150.000ui/hari) sudah jarang digunakan
karena efek sampingnya. Isotretinoin (0,5-1mg/kgBB/hari)
merupakan derivate retinoid yang menghambat produksi sebum
sebagai pilihan pada akne nodulokistik atau konglobata yang tidak
sembuh dengan pengobatan lain.
- Obat lainnya, misalnya antiinflamasi non-steroid/ibuprofen
(600mg/hari) dapson (2x100mg/hari), seng sulfat (2x200mg/hari).
3) Bedah kulit
- Bedah skalpe digunakan untuk meratakan sisi jaaaringan parut yang
menonjol atau melakukan eksisi elips pada jaringan parut hipotrofik
yang dalam.
- Bedah listrik dilakukan pada komedo tertutup untuk mempermudah
pengeluaran sebum atau pada nodulo-kistik untuk drainase cairan isi
yang dapat mempercepat penyembuhan.
- Bedah kimia dengan asam triklor asetat atau fenol untuk meratakan
jaringan parut yang berbenjol.
- Bedah beku dengan bubur CO2 beku atau N2 cair untuk
mempercepat penyembuhan radang.
- Dermebrasi untuk meratakan jaringan parut hipo dan hipertrofi
pasca akne yang luas.
4) Terapi terbaru
Spironolakton (aldakton, spiraktin) adalah steroid sintetik dan diuretic
lemah, dapat menambah efikasi terapi kombinasi hormonal estrogen
dan antiandrogen terhadap akne, apabila akne yang disertai geala sebore
dan atau hipertrikosis. Dosis yang diberikan adalah 50-100mg/hari
selama 6-9 bulan dan dapat diulangi setelah tenggng 3 hari. Efek
samping yang harus dicermati ialah hipotensi, sehingga dosisnya harus
diturunkan menjadi 25mg/hari.
5) Terapi sinar
Terapi sinar biru adalah terapi akne dengan memakai sinar biru
(panjang gelombang 420nm) yang dapat membasmi P.acne dengan cara
merusak porfirin dalam sel bakteri.
Photodynamic therapy (PDT) merupakan hal terbaru yang diujicobakan
pada pasien akne, terdiri atas 2 tahap/langkah terapi, yaitu pemberian
photosensitizer secara topical, oral atau intraena yang akan ditangkap
oleh sel target dalam jaringan hiperproliferatif (kelenjar sebasea),
kemudian diaktivasi menghasilkan oksigen oleh sumber sinar. Terapi
masih dalam penelitian
i. Prognosis
Umumnya prognosis penyakit baik. akne vulgaris umumnya sembuh
sebelum mencapai usia 30-40an. Jarang terjadi akne vulgaris yang menetap
sampai tua atau mencapai gradasi sangat berat sehingga perlu dirawat-inap
dirumah sakit.

3 B. PEMBAGIAN LEPRA MENURUT WHO DAN RIDLEY-JOPLING


Menurut Kongres Internasional Madrid (1953), lepra dibagi atas
tipe Indeterminan (I), tipe Tuberculoid (T), tipe Lepromatosa dan tipe
Borderline (B). Ridley Jopling (1960) membagi lepra kedalam
berbagai tipe yaitu Indeterminan (I), Tuberculoid polar (TT),
Borderline Tuberculoid (BT), Mid Borderline (BB), Borderline
Lepromatous (BL), dan Lepromatosa polar (LL).
Tipe I tidak termasuk dalam spektrum. Tipe TT adalah tipe
tuberculoid polar yaitu tuberculoid 100% yang merupakan tipe stabil
sehingga tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga dengan tipe LL
yang merupakan tipe lepromatosa polar, yaitu lepramatosa 100% ,
mempunyai sifat stabil dan tidak mungkin berubah lagi. BB
merupakan tipe campuran yang terdiri atas 50% tuberculoid dan 50%
lepromatosa. Pada tipe BT lebih banyak tuberculoid, sedangkan pada
tipe BL lebih banyak lepromatosa. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
yang labil yang berarti bahwa dapat dengan bebas beralih tipe, baik ke
arah tipe TT maupun tipe LL.
Menurut WHO pada 1981, lepra dibagi menjadi dua tipe yaitu tipe
Multibasilar (MB) dan tipe Pausibasilar (PB).
1) Lepra tipe PB ditemukan pada seseorang dengan SIS baik. Pada
tipe ini berarti mengandung sedikit kuman yaitu tipe TT, tipe BT
dan tipe I. Pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan Indeks Bakteri
(IB) kurang dari 2+.
2) Lepra tipe MB ditemukan pada seseorang dengan SIS yang
rendah. Pada tipe ini berarti bahwa mengandung banyak kuman
yaitu tipe LL, tipe BL dan tipe BB. Pada klasifikasi Ridley-
Jopling dengan Indeks Bakteri (IB) lebih dari 2+.
Berkaitan dengan kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah
terjadi perubahan yaitu lepra PB adalah lepra dengan BTA negatif
pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, tipe TT dan tipe
BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Apabila pada tipe-tipe tersebut
disertai BTA positif maka akan dimasukkan kedalam lepra tipe MB.
Sedangkan lepra tipe MB adalah semua penderita lepra tipe BB, tipe
BL dan tipe LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif,
harus diobati dengan regimen MDT (Multi Drug Therapy)-MB.
Manifestasi Klinis Lepra
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu
multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita
terhadap kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf perifer.
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:
1) Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat,
saraf yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi
penebalan saraf yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik
dan otonom.
2) Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar,
perlahan tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi
hipoestesi (bagian-bagian dingin pada tubuh), simetris pada
tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia
terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik
dan otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
3) Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe
tuberculoid dan tipe lepromatosa)
Tabel Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe MB.

Sifat Lepramatosa Borderline Mid


(LL) Lepromatos Borderline
a (BL) (BB)
Lesi
- Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-
Papul Papul
shaped
Nodus
(kubah)
Punched-
out
- Jumlah Tidak Sukar Dapat
terhitung, dihitung, dihitung,
praktis tidak masih ada kulit sehat
ada kulit kulit seha jelas ada
sehat
- Distribusi Simetris Hampir Asimetris
simetris
- Permukaa Halus Halus Agak kasar,
n berkilat berkilat agak berilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Tidak ada Tidak jelas Lebih jelas
sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada Banyak Agak
globus) banyak
- Sekret Banyak (ada Biasanya Negatif
hidung globus) negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya
negatif

Tabel .Gambaran klinis, bakteriologis dan imunologis lepra tipe


PB.1
Sifat Tuberkuloi Borderline Indeterminat
d (TT) Tuberkuloi e (I)
d (BT)
Lesi
- Bentuk Makula Makula Hanya
saja; dibatasi makula
makula infiltrat;
dibatasi infiltrat
infiltrat saja
- Jumlah Satu, dapat Beberapa Satu atau
beberapa atau satu beberapa
dengan
satelit
- Distribusi Asimetris Masih Variasi
asimetris
- Permukaan Kering Kering Halus, agak
bersisik bersisik berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas
atau tidak
jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tidak ada,
sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir Negatif Biasanya
selalu atau hanya negatif
negatif 1+
Tes lepromin Positif kuat Positif Dapat positif
(3+) lemah lemah atau
negatif

“WHO’s Cardinal Sign” (1997) .


Cardinal sign Klasifikasi
Hipopigmentasi atau eritema Pausibasilar (1-5 lesi kulit)
dengan disertai kehilangan sensasi
Penebalan saraf perifer
Multibasilar ( 6 atau lebih lesi
Hasil positif dalam pemeriksaan
kulit)
skin smear atau biopsi

Reaksi lepra dapat digolongkan menjadi dua kategori yaitu:


1) Reaksi tipe 1 disebut juga reaksi reversal.
Reaksi tipe 1 ini disebabkan peningkatan aktivitas sistem
kekebalan tubuh dalam melawan basil lepra atau bahkan sisa basil
yang mati. Peningkatan aktivitas ini menyebabkan terjadi
peradangan setiap terdapat basil lepra pada tubuh, terutama kulit
dan saraf. Penderita lepra dengan tipe MB maupun PB dapat
mengalami reaksi tipe 1. Sekitar seperempat dari seluruh
penderita lepra kemungkinan akan mengalami reaksi tipe 1.
Reaksi tipe 1 paling sering terjadi dalam enam bulan setelah
mulai minum obat. Beberapa penderita mengalami reaksi tipe 1
sebelum mulai berobat dimana belum terdiagnosis. Reaksi
merupakan tanda penyakit yang sering muncul pertama yang
menyebabkan penderita datang untuk berobat. Sebagian kecil
penderita mengalami reaksi lebih lambat, baik selama masa
pengobatan maupun sesudahnya.
2) Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi Erythema Nodusum Leprosum
(ENL).
Reaksi tipe 2 ini terjadi apabila basil leprae dalam jumlah
besar terbunuh dan secara bertahap dipecah. Protein dari basil
yang mati mencetuskan reaksi alergi. Reaksi tipe 2 akan
mengenai seluruh tubuh dan menyebabkan gejala sistemikkarena
protein ini terdapat dialiran pembuluh darah.
Erythema nodusum leprosum hanya terjadi pada penderita tipe
MB, terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula
pada tipe BL, serta pada ENL tidak terjadi perubahan tipe, berarti
bahwa semakin tinggi tingkat multibasilarnya semakin besar
kemungkinan timbulnya ENL. Secara imunopatologis, ENL
termasuk respon imun humoral, berupa fenomena kompleks imun
akibat reaksi antara antigen M. leprae, antibodi (IgM, IgG) dan
komplemen, maka ENL termasuk didalam golongan penyakit
kompleks imun, karena salah satu protein M. leprae bersifat
antigenik maka antibodi dapat terbentuk. Kadar imunoglobulin
penderita lepra lepromatosa lebih tinggi daripada tipe tuberculoid.
Hal ini terjadi oleh karena tipe lepromatosa jumlah kuman jauh
lebih banyak daripada tipe tuberculoid. ENL lebih sering terjadi
pada masa pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman
lepra yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang
dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi, serta mengaktifkan
sistem komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam
sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.
Tabel Perbedaan reaksi tipe 1 dan tipe 2

No Gejala/tanda Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


1 Keadaan umum Umumnya baik, Ringan sampai berat
demam ringan (sub disertai kelemahan
febris) atau tanpa umum dan demam
demam tinggi
2 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodul
kulit menjadi lebih kemerahan, lunak dan
meradang (merah), nyeri tekan. Biasanya
dapat timbul bercak pada lengan dan
baru tungkai. Nodul dapat
pecah (ulserasi)
3 Saraf Sering terjadi, Dapat terjadi
umumnya berupa
nyeri tekan saraf
dan atau gangguan
fungsi saraf
4 Peradangan pada Hampir tidak ada Terjadi pada mata,
organ lain kelenjar getah bening,
sendi, ginjal, testis, dll
5 Waktu timbul Biasanya segera Biasanya saat
setelah pengobatan pengobatan
6 Tipe lepra Dapat terjadi pada Hanya pada lepra tipe
lepra tipe PB MB
maupun MB

Tabel Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi lepra tipe 1 dan tipe 2.

No Gejala/tan Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2


Ringan Berat Ringan Berat
da
1 Kulit Bercak: Bercak: Nodul: Nodul: merah,
merah, tebal, merah, tebal, merah, panas, panas, nyeri
panas, nyeri* panas, nyeri nyeri yang
yang bertambah
bertambah parah sampai
parah sampai pecah
pecah
2 Saraf tepi Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada
perabaan: (-) perabaan: (+) perabaan: (-) perabaan: (+)
Gangguan Gangguan Gangguan Gangguan
fungsi: (-) fungsi: (+) fungsi: (-) fungsi: (+)
3 Keadaan Demam: (-) Demam: ± Demam: ± Demam: (+)
umum
4 Gangguan - - - Terjadi
pada organ perdanngan
lain pada:
Mata:
Iridocyclitis
Testis:
epididimoorchi
tis
Ginjal:
nephritis
Kelenjar limfe:
limfadenitis
Gangguan
pada tulang,
hidung dan
tenggorokan

*) Apabila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf
dikategorikan sebagai reaksi berat.

4 B. TERANGKAN DAN PENATALAKSANAAN FLUOR ALBUS


A. Definisi
Fluor albus merupakan gejala keluarnya cairan dari vagina selain
darah haid. Fluor albus terbagi menjadi fisiologikdanpatologik. Fluor
albus tidak merupakan penyakit melainkan salah satu tanda dan gejala
dari suatu penyakit organ reproduksi wanita.
B. Etiologi
Penyebab Fluor albus tergantung dari jenisnya yaitu penyebab dari
Fluor albus yang fisiologik dan patologik.
1) Fluor albus fisiologik
Penyebab Fluor albus fisiologik adalah faktor hormonal, seperti
bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari disebabkan pengaruh
estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin. Kemudian
dijumpai pada waktu menarche karena mulai terdapat pengaruh
hormon estrogen. Rangsangan birahidisebabkan oleh pengeluaran
transudasi dari dingding vagina. Kelelahan fisik dan kejiwaan juga
merupakan penyebab Fluor albus.
2) Fluor albus Patologik
Fluor albus patologik disebabkan oleh karena kelainan pada
organ reproduksi wanita dapat berupa Infeksi, Adanya benda asing,
dan penyakit lain pada organ reproduksi.
a) Infeksi
Infeksi adalah masuknya bibit penyakit kedalam tubuh. Salah
satu gejalanya adalah Fluor albus. Infeksi yang sering terjadi
pada organ kewanitaan yaitu vaginitis, candidiasis,
trichomoniasis.
 Vaginitis
Penyebabnya adalah pertumbuhan bakteri normal yang
berlebihan pada vagina. Dengan gejala cairan vagina encer,
berwana kuning kehijauan, berbusa dan bebau busuk, vulva
agak bengkak dan kemerahan, gatal, terasa tidak nyaman serta
nyeri saat berhubungan seksual dan saat kencing.
Vaginosis bakterialis merupakan sindrom klinik akibat
pergantian Bacillus Duoderlin yang merupakan flora normal
vagina dengan bakteri anaerob seperti Bacteroides Spp,
Mobiluncus Sp, Peptostreptococcus Sp dan Gardnerella
vaginalis bakterialis dapat dijumpai duh tubuh vagina yang
banyak, Homogen dengan bau yang khas seperti bau ikan,
terutama waktu berhubungan seksual. Bau tersebut
disebabkan adanya amino yang menguapbila cairan vagina
menjadi basa. Cairan seminal yang basa menimbulkan
terlepasnya amino dari perlekatannya pada protein dan
vitamin yang menguap menimbulkan bau yang khas.
 Candidiasis
Penyebab berasal dari jamur kandida albican. Gejalanya
adalah Fluor albus berwarna putih susu, begumpal seperti
susu basi, disertai rasa gatal dan kemerahan pada kelamin dan
disekitarnya. Infeksi jamur pada vagina paling sering
disebabkan oleh Candida,spp, terutama Candida albicans.
Gejala yang muncul adalah kemerahan pada vulva, bengkak,
iritasi, dan rasa panas. Tanda klinis yang tampak adalah
eritema, fissuring, sekret menggumpal seperti keju, lesi satelit
dan edema.
Usaha pencegahan terhadap timbulnya kandidiasis
vagina meliputi penanggulangan faktor predisposisi dan
penanggulangan sumber infeksi yang ada. Penanggulangan
faktor predisposisi misalnya tidak menggunakan antibiotika
atau steroid yang berlebihan, tidak menggunakan pakaian
ketat, memperhatikan hygiene. Penanggulangan sumber
infeksi yaitu dengan mencari dan mengatasi sumber infeksi
yang ada, baik dalam tubuhnya sendiri atau diluarnya.
 Trichomoniasis
Gejalanya Fluor albus berwarna kuning atau kehijauan,
berbau dan berbusa, kecoklatan seperti susu ovaltin, biasanya
disertai dengan gejala gatal dibagian labia mayora, nyeri saat
kencing dan terkadang sakit pinggang. Trichomoniasis
merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabkan oleh
Trichomonas vaginalis, biasanya ditularkan melalui
hubungan seksual dan sering menyerang traktus urogenitalis
bagian bawah.
Pada wanita sering tidak menunjukan keluhan, bila ada
biasanya berupa duh tubuh vagina yang banyak, berwarna
kehijauan dan berbusa yang patognomonic (bersifat khas)
untuk penyakit ini. Pada pemeriksaan dengan kolposkopi
tampak gambaran “Strawberry cervix” yang dianggap khas
untuk trichomoniasis. Salah satu fungsi vagina adalah untuk
melakukan hubungan seksual. Terkadang mengalami
pelecetan pada saat melakukan senggama. Vagina juga
menampung air mani, dengan adanya pelecetan dan kontak
mukosa (selapu lendir) vagina dengan air mani merupakan
pintu masuk (Port d’entre) mikro organisme penyebab infeksi
PHS.
b) Adanya benda asing dan penyebab lain
Infeksi ini timbul jika penyebab infeksi (bakteri atau
organisme lain ) Masuk melalui prosedur medis, saperti; haid,
abortus yang disengaja, insersi IUD, saat melahirkan, infeksi
pada saluran reproduksi bagian bawah yang terdorong sampai ke
serviks atau sampai pada saluran reproduksi bagian atas.
C. Patofisiologi
Fluor albus merupakan salah satu tanda dan gejala penyakit organ
reproduksi wanita, di daerah alat genitalia eksternal bermuara saluran
kencing dan saluran pembuangan sisa-sisa pencernaan yang disebut anus.
Apabila tidak dibersihkan secara sempurna akan ditemukan berbagai
bakteri, jamur dan parasit, akan menjalar kesekitar organ genitalia. Hal ini
dapat menyebabkan infeksi dengan gejala Fluor albus. Selain itu dalam hal
melakukan hubungan seksual terkadang terjadi pelecetan, dengan adanya
pelecetan merupakan pintu masuk mikroorganisme penyebab infeksi
penyakit hubungan seksual (PHS) yang kontak dengan air mani dan
mukosa
Diagnosa Fluor Albus
1) Fluor Albus Pisiologis
Fluor albus pisiologis biasanya lendirnya encer, muncul saat ovulasi,
menjelang haid dan saat mendapat rangsangan seksual. Fluor albus normal
tidak gatal, tidak berbau dan tidak menular karena tidak ada bibit
penyakitnya.
2) Fluor Albus Patologis
Fluor albus patologis dapat didiagnosa dengan anamnese oleh dokter
yang telah berpengalaman hanya dengan menanyakan apa keluhan pasien
dengan ciri-ciri; jumlah banyak, warnanya seperti susu basi, cairannya
mengandung leukosit yang berwarna kekuning-kuningan sampai hijau,
disertai rasa gatal, pedih, terkadang berbau amis dan berbau busuk.
Pemeriksaan khusus dengan memerikskan lendir dilaboratorium, dapat
diketahui apa penyebabnya, apakah karena jamur, bakteri atau parasit,
namun ini kurang praktis karena harus butuh waktu beberapa hari untuk
menunggu hasil. Amsel et al merekomendasikan diagnosa klinik vaginosis
bakterialis berdasarkan adanya tiga tanda-tanda berikut :
 Cairan vagina homogen, putih atau keabu-abuan, melekat pada dinding
vagina.
 Jumlah pH vagina lebih besar dari 4,5.
 Sekret vagina berbau seperti bau ikan sebelum atau sesudah
penambahan KOH 10% (whiff test).
Adanya “clue cells” pada pemeriksaan mikroskop sediaan basah. Clue
cell merupakan sel epitel vagina yang ditutupi oleh berbagai bakteri vagina
sehingga memberikan gambaran granular dengan batas sel yang kabur
karena melekatnya bakteri batang atau kokus yang kecil.
Penegakan diagnosis harus didukung data laboratorium terkait, selain
gejala dan tanda klinis yang muncul dan hasil pemeriksaan fisik seperti pH
vagina dan pemeriksaan mikroskopik untuk mendeteksi blastospora dan
pseudohifa.
Diagnosis Trichomonoasis ditegakan bila ditemukan Trichomonas
vaginalispada sediaan basah. Pada keadaan yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan dengan biakan duh tubuh vagina.
D. Penatalaksanaan Fluor albus
Apabila Fluor albus yang dialami adalah yang fisiologik tidak
perlu pengobatan, cukup hanya menjaga kebersihan pada bagian
kemaluan. Apabila Fluor albus yang patologik, sebaiknya segera
memeriksakan kedokter, tujuannya menentukan letak bagian yang sakit
dan dari mana Fluor albus itu berasal. Melakukan pemeriksaan dengan
menggunakan alat tertentu akan lebih memperjelas. Kemudian
merencanakan pengobatan setelah melihat kelainan yang ditemukan. Fluor
albus yang patologik yang paling sering dijumpai yaitu Fluor albus yang
disebabkan Vaginitis, Candidiasis, dan Trichomoniasis.
1) Terapi farmakologi
Pengobatan Fluor albus yang disebabkan oleh Candidiasis dapat
diobatidengan anti jamur atau krim. Biasanya jenis obat anti jamur yang
sering digunakan adalah Imidazol yang disemprotkan dalam vagina
sebanyak 1 atau 3 ml. Ada juga obat oral anti jamur yaitu ketocinazole
dengan dosis 2x1 hari selama 5 hari. Apabila ada keluhan gatal dapat
dioleskan salep anti jamur.
Pengobatan Fluor albus yang disebabkan oleh Trichomoniasis
mudah dan efektif yaitu setelah dilakukan pemeriksaan dapat diberikan
tablet metronidazol (Flagy) atau tablet besarTinidazol (fasigin) dengan
dosis 3x1 hari selama 7-10 hari. Pengobatan Fluor albus (Fluor albus)
yang disebabkan oleh vaginitis sama denganpengobatan infeksi
Trichomoniasis yaitu dengan memberikan metronidazol atau Tinidazol
dengan dosis 3x1 selama 7- 10 hari. Pengobatan kandidiasis vagina dapat
dilakukan secara topikal maupun sistemik.
Obat anti jamur tersedia dalam berbagai bentuk yaitu: gel, krim,
losion, tablet vagina, suppositoria dan tablet oral. Nama obat adalah
sebagai berikut: (1) Derivat Rosanillin, Gentian violet 1-2 % dalam
bentuk larutan atau gel, selama 10 hari. (2) Povidone – iodine, Merupakan
bahan aktif yang bersifat antibakteri maupun anti jamur. (3) Derivat
Polien; Nistatin 100.000 unit krim/tablet vagina selama 14 hari. Nistatin
100.000 unit tablet oral selama 14 hari. (4) Drivat Imidazole:
Topical( Mikonazol : 2% krim vaginal selama 7 hari, 100 mg tablet
vaginal selama 7 hari, 200 mg tablet vaginal selama 3 hari, 1200 mg tablet
vaginal dosis tunggal.
Ekonazol 150 mg tablet vaginal selama 3 hari. Fentikonazol 2%
krim vaginal selama 7 hari, 200 mg tablet vaginal selama 3 hari, 600 mg
tablet vaginal dosis tunggal. Tiokonazol 2% krim vaginal selama 3 hari,
6,5 % krim vaginal dosis tunggal. Klotrimazol 1% krim vaginal selama 7 –
14 hari, 10% krim vaginal sekali aplikasi, 100 mg tablet vaginal selama 7
hari, 500 mg tablet vaginal dosis tunggal. Butokonazol 2% krim vaginal
selama 3 hari. Terkonazol 2% krim vaginal selama 3 hari).Sistemik
( Ketokanazol 400 mg selama 5 hari. Trakanazol 200 mg selama 3 hari
atau 400 mg dosis tunggal. Flukonazol 150 mg dosis tunggal.
2) Terapi Nonfarmakologi
a) Perubahan Tingkah Laku
Fluor albus yang disebabkan oleh jamur lebih cepat berkembang
dilingkungan yang hangat dan basah maka untuk membantu
penyembuhan menjaga kebersihan alat kelamin dan sebaiknya
menggunakan pakaian dalam yang terbuat dari katun serta tidak
menggunakan pakaian dalam yang ketat (Jones,2005). Fluor albus
bisaditularkan melalui hubungan seksual dari pasangan yang terinfeksi
oleh karena itu sebaiknya pasangan harus mendapat pengobatan juga.
b) Personal Hygiene
Memperhatikan personal hygiene terutama pada bagian alat
kelamin sangatmembantu penyembuhan, dan menjaga tetap bersih dan
kering, seperti penggunaan tisu basah atau produk panty liner harus
betul-betul steril. Bahkan, kemasannya pun harus diperhatikan. Jangan
sampai menyimpan sembarangan, misalnya tanpa kemasan ditaruh
dalam tas bercampur dengan barang lainnya. Karena bila dalam
keadaan terbuka, bisa saja panty liner atau tisu basah tersebut sudah
terkontaminasi. Memperhatikan kebersihan setelah buang air besar
atau kecil. Setelah bersih, mengeringkan dengan tisu kering atau
handuk khusus. Alat kelamin jangan dibiarkan dalam keadaan lembab.
5 B. TERANGKAN PENATALAKSANAAN STS
Tes Serologik Sifilis (T.S.S.)
T.S.S. atau Serologic Tests for syphilis (S.T.S) merupakan
pembantu diagnosis yang penting bagi sifilis. Sebagai ukuran untuk
mengevaluasi tes serologi ialah sensitivitas dan spesifitas. Sensitivitas
ialah kemampuan untuk bereaksi pada penyakit sifilis. Sedangkan
spesifitas berarti kemampuan nonreaktif pada penyakit bukan sifilis.
Makin tinggi sensitivitas suatu tes, makin baik tes tersebut dipakai untuk
tes screening. Tes dengan spesifitas tinggi sangat baik untuk diagnosis.
Makin spesifik suatu tes, makin sedikit memberi hasil semu positif.
Bahan Pemeriksaan
Spesimen untuk tes serologis adalah darah vena yang bisa
disimpan dalam tabung tanpa koagulan. Setelah darah membeku, serum
dipisahkan dengan sentrifugasi 1500-2000 rotasi/menit selama 5 menit.
Serum dapat disimpan dalam keadaan beku atau pada suhu 4-8⁰ selama
beberapa hari.
Produksi Immunoglobulin
Dikenal 4 kelas Ig yang dapat terjadi di dalam darah penderita
sifilis yaitu IgG, IgA, IgM dan IgE. Bertambahnya konsentrasi IgE
spesifik terhadap Treponema telah dapat dibuktikan. Terjadi penundaan
pembentukan antibodi pada sifilis primer, karena kemungkinan terjadi
penghambatan diferensiasi sel limfosit B. Antibodi yang pertama timbul
pada penderita sifilis ialah IgM spesifik yang berhubungan dengan
aktivitas penyakit.
T.S.S. dibagi menjadi dua berdasarkan antigen yang dipakai, yakni
tes nontreponemal yang dipakai untuk screening dan melihat respon terapi
serta tes treponemal yang biasanya digunakan untuk konfirmasi diagnosis
dan menilai dari sifilis stadium awal, kongenital atau neurosifilis.
Tes Nontreponemal
Pada tes ini digunakan antigen tidak spesifik yaitu kardiolipin yang
dikombinasikan dengan lesitin dan kolesterol, karena itu tes ini dapat
memberi reaksi Biologik Semu (RBS) atau Biologic Fase Positive (BFP).
Tes ini mendeteksi antibodi IgG dan IgM antilipid yang dibentuk
yang dibentuk oleh tubuh sebagai respons terhadap lipid yang terdapat
pada permukaan sel treponema. Karena sifat lipid dari antigen atau sifat
antibodi yang tidak biasa, kompleks antigen-antibodi tetap berbentuk
suspensi, sehingga yang terjadi reaksi flokulasi dan bukan reaksi aglutinasi
atau presipitasi. Dalam tes nontreponemal antigen dicampur dengan serum
pasien dan digoyang atau diputar selama beberapa menit, kemudian dilihat
ada tidaknya flokulasi. Pada penggunaan reagens yang baru, hasil reaksi
flokulasi jauh lebih mudah dilihat, karena adanya penambahan charcoal
dalam reagens, misalnya pada RPR (rapid plasma reagin). Disini bukannya
antigen yang melekat pada partikel arang, melainkan partikel arang yang
terjebak dalam jalinan ikatan antigen-antibodi dan hal ini dapat terjadi jika
antigen dan antibodi yang ada dalam rekasi cocok satu sama lain.
Tes nontreponemal untuk diagnosis sifilis dapat berupa tes
flokulasi yang menggunakan kardiolipin, lesitin dan kholesterol sebagai
antigen. Salah satu tes nontreponemal, misalnya VDRL memakai formula
antigen yang terdiri dari kardiolipin 0,03%, kholesterol 0,9% dan lesitin ±
0,21%. Tes VDRL dimanfaatkan untuk penapisan atau screening dan untuk
menilai hasil pengobatan. Selain hasil reaktif, nonreaktif atau reaktif
lemah, tes VDRL juga memberikan hasil kuantitatif, yaitu dalam bentuk
titer, misalnya ½, ¼, 1/8, 1/16 dan seterusnya.
Hasil positif palsu pada tes nontreponemal dalam populasi
masyrakat umum mencapai 1-2%, sedangkan dalam lingkungan pemakai
narkotik intravena, hasil positif palsu mencapai lebih dari 10%. Biasanya
90% kasus positif palsu tersebut titernya kurang dari 1/8. Tetapi harus
diingat bahwa pada sifilis laten dan lanjut juga dapat dijumpai titer yang
rendah. Dalam populasi dengan resiko rendah, semua hasil tes reaktif
harus dikonfirmasi dengan tes treponemal, karena dalam populasi ini 50%
dari hasil tes yang dinyatakan reaktif ternyata positif palsu.
Contoh tes nontreponemal :
1. Tes fiksasi komplemen : Wasserman (WR), Kolmer.
2. Tes flokulasi : VDRL (Venereal Disease Research Laboratories), Kahn,
RPR (Rapid Plasma Reagin), ART (Automated Reagin Test) dan RST
(Reagin Screen Test).
Di antara tes-tes tersebut, yang dianjurkan ialah VDRL dan RPR
secara kuantitatif, karena secara teknis lebih mudah dan lebih cepat
daripada tes fiksasi komplemen, lebih sensitif daripada tes
Kolmer/Wasserman dan baik untuk menilai respon terapi.
Tes RPR dilakukan dengan antigen VDRL. Kelebihan RPR ialah
flokulasi dapat dilihat secara makroskopik, lebih sederhana serta dapat
dibaca setelah sepuluh menit sehingga dapat dipakai untuk screening.
Apabila terapi berhasil, maka titer VDRL cepat menurun, dalam
enam minggu titer akan menjadi normal. Tes ini dipakai secara rutin,
termasuk untuk tes screening. Jika titer seperempat atau lebih tersangka
penderita sifilis, mulai positif setelah dua sampai empat minggu sejak S I
timbul. Titer akan meningkat hingga mencapai puncaknya pada S II lanjut
(1/64 atau 1/128) kemudian berangsur-angsur menurun dan menjadi
negatif.
Pada tes flokulasi dapat terjadi reaksi negatif semu karena terlalu
banyak reagin sehingga flokulasi tidak terjadi. Reaksi demikian disebut
reaksi prozon. Jika serum diencerkan dan dites lagi, hasilnya menjadi
positif.
Tes Treponemal
Tes ini menggunakan fragmen atau seluruh bagian T. pallidum
sebagai bahan antigen. Dibandingkan dengan tes non-treponemal, tes ini
lebih tidak praktis untuk dikerjakan. Akan tetapi, tes ini memiliki
sensitivitas yang lebih tinggi pada fase primer dan lanjut serta memiliki
spesifisitas yang lebih tinggi. Tes ini digunakan secara luas untuk
mengkonfirmasi hasil tes non-treponemal yang reaktif. Tes ini bersifat
spesifik dan dapat digolongkan menjadi empat kelompok :
a. Tes imobilisasi : TPI (Treponemal pallidum Imobilization Test).
b. Tes fiksasi komplemen : RPCF (Reiter Protein Complement Fixation
Test)
c. Tes imunofluoresen : FTA-Abs (Fluorecent Treponemal Antibody
Absorption Test) ada 2 yakni IgM dan IgG; FTA-Abs DS (Fluorecent
Treponemal Antibody Absorption Double Staining Test).
d. Tes hemoglutisasi : TPHA (Treponemal pallidum Haemoglutination
Asssay); 19s IgM SPHA (Solid-phase Hemabsorption Assay); HATTS
(Hemagglutination Treponemal Test for Syphilis); MHA-TP
(Microhemagglutination Assay for Antibodies to Treponemal
pallidum).
TPI merupakan tes yang paling spesifik, tetapi mempunyai
kekurangan; biayanya mahal, teknis sulit, membutuhkan waktu banyak.
Selain itu juga reaksinya lambat, baru positif pada akhir stadium primer,
tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan, hasil dapat negatif
pada sifilis dini dan sangat lanjut.
RPCF sering digunakan untuk tes screening karena biayanya
murah; kadang-kadang didapatkan reaksi positif semu.
FTA-Abs merupakan tes antibodi imunofluoresensi tidak langsung.
Serum yang akan dites diencerkan 1/5 dalam sorben, yaitu ekstrak hasil
kultur T. pallidum strain Reiter. Sorben akan menyerap antibodi treponema
nonpatogen yang diperkirakan ada dalam serum pasien. Kemudian serum
diteteskan pada gelas objek yang pada permukaannya telah terfiksasi
antigen T. pallidum. Terakhir diteteskan konjugat berupa globulin
antihuman yang telah dilabel dengan fluoresin. Jika di dalam serum pasien
terdapat antibodi spesifik terhadap T. pallidum, maka kuman akan terlihat
bersinar dibawah mikroskop fluoresensi. Tes ini sangat sensitif, sehingga
memerlukan kontrol.
FTA-Abs paling sensitif (90%), terdapat 2 macam yaitu untuk IgM
dan IgG yang sudah positif pada waktu timbul kelainan S I. IgM sangat
reaktif pada sifilis dini, pada terapi yang berhasil titer IgM cepat turun,
sedangkan IgG lambat. IgM penting untuk mendiagnosis sifilis kongenital.
Tes FTA-ABS adalah tes serologis yang paling sensitif pada sifilis
primer, dan reaktivitasnya mulai muncul pada minggu ketiga infeksi.
Namun microhemaglutination assay dengan antigen T. pallidum, yang
lebih murah dan lebih mudah, merupakan tehnik yang lebih populer. Pada
kebanyakan pasien dengan tes treponemal yang reaktif, reaktivitasnya
akan tetap ada seumur hidup bahkan setelah mendapatkan terapi yang
berhasil. Hanya 15–25% tes yang menjadi tidak reaktif setelah 2 hingga 3
tahun mendapatkan terapi terhadap sifilis primer. Tes ini sangat spesifik
dan sensitif selama fase sekunder dan fase lanjut sifilis.
TPHA merupakan tes treponemal yang menerapkan teknik
hemaglutinasi tidak langsung untuk mendeteksi antibodi spesifik terhadap
T. pallidum. Dalam tes ini dipakai sel darah merah unggas yang dilapisi
dengan komponen T. pallidum. jika serum pasien mengandung antibodi
spesifik terhadap T. pallidum, maka akan terjadi hemaglutinasi dan
membentuk pola yang khas pada pelat mikrotitrasi. Tes ini dimulai dengan
titer 1/80, 1/160, 1/320 dan seterusnya.
IgS IgM SPHA merupakan tes yang relatif baru. Sebagai antiserum
ialah cincin spesifik u dan reagin TPHA. Secara teknis lebih mudah
daripada FTA-Abs IgM. Maksud tes ini ialah untuk mendeteksi secara
cepat IgM yang spesifik terhadap T. Pallidum dan memegang peranan
penting untuk membantu diagnosis neurosifilis. Jika titernya melebihi
2560, artinya menyokong diagnosis aktif.
Teknik pengikatan IgM. Cara ini dipakai untuk diagnosis sifilis
awal dan kongenital. IgM sifilis dilacak dengan antigen T. pallidum yang
dilabel enzim peroksidase horseradish. Hasilnya ternyata sebanding
dengan hasil tes FTA-Abs IgM yang menggunakan serum terfraksi (19S).
Penggunaan serum yang telah terurai dalam fraksi pada tes FTA-Abs IgM
dimaksudkan untuk meningkatkan sensitivitas dan spesifitasnya.
Menurut Notowics (1981) urutan sensitivitas untuk S I sebagai
berikut : FTA-Abs, RPR, RPCF, VDRL, Kolmer, TPI. Pada sifilis laten
lanjut urutan berkurangnya sensitivitas lain ialah : FTA-Abs, RPCF, RPR,
VDRL dan Kolmer.
O’Neil membandingkan tes FTA-Abs IgG/IgM, TPHA dan VDRL.
Yang cepat bereaksi ialah FTA-Abs, yakni satu minggu setelah afek
primer. Disusul oleh FTA-Abs IgG, kemudian TPHA bersama-sama
VDRL. Pada pengobatan yang paling cepat menurun berturut-turut ialah
VDRL, FTA-Abs IgM, FTA-Abs IgG, sedangkan titer TPHA masih tetap
tinggi.
Pemakaian tes treponemal untuk tes penapisan dapat menimbulkan
kesalahan interpretasi. Dalam populasi umum terdapat 1% menunjukkan
hasil positif palsu dengan tes treponemal. Tes FTA-Abs merupakan tes
yang paling sensitif di antara berbagai tes treponemal namun juga
merupakan tes dengan kemungkinan kesalahan laboratorium yang terbesar.
Bila hasil tes serologik tidak sesuai dengan klinis, tes tersebut perlu
diulangi karena mungkin terjadi kesalahan teknis. Kalau perlu di
laboratorium lain. Demikian pula jika hasil tes yang satu dengan yang lain
tidak sesuai, misalnya titer VDRL rendah (1/4) sedangkan titer TPHA
tinggi (1/1024).
Tabel 1. Interpretasi tes serologik sifilis

Interpretasi hasil tes serologik


Semua serum untuk diagnosis sifilis harus diperiksa dengan tes
nontreponemal. Hasil tes reaktif berarti sedang ada infeksi atau pernah
terkena infeksi, sementara pengobatan adekuat mungkin sudah diberikan,
mungkin juga belum. Hasil tes reaktif dapat pula berarti positif palsu.
Hasil tes nonreaktif dapat berarti tidak ada infeksi, masih dalam masa
inkubasi atau telah mendapat pengobatan secara efektif. Pada umumnya
kenaikan titer sampai 4 kali lipat berarti ada infeksi, reinfeksi atau
kegagalan dalam pengobatan; sebaliknya penurunan titer sampai 4 kali
lipat menunjukkan bahwa telah mendapat pengobatan secara adekuat.
Kesalahan interpretasi dalam tes nontreponemal biasanya terjadi sebagai
akibat kesulitan dalam menentukan titer, berkaitan dengan jenis tes
serologik yang dipakai atau kesulitan dalam memastikan reaktivitas hasil
tes. Kesalahan interpretasi pada umumnya terjadi karena digunakannya
lebih dari 1 jenis tes nontreponemal dalam memantau hasil pengobatan.
Tes treponemal terutama digunakan untuk konfirmasi tes
nontreponemal atau untuk pemeriksaan pasien dengan gejala-gejala sifilis
lanjut tanpa melihat bagaimanapun hasil tes nontreponemalnya. Tes
treponemal reaktif biasanya menunjukkan bahwa pasien pernah terkena
atau sedang terkena infeksi treponema patogen. Pada kebanyakan kasus,
sekali tes treponemal reaktif, akan tetap resktif seumur hidup. Namun jika
pengobatan telah diberikan pada sifilis awal, maka 10% diantaranya akan
menjadi nonreaktif dalam waktu 2 tahun. Pada umumnya hasil tes
nonreaktif menunjukkan tidak adanya infeksi di masa lalu atau pada saat
ini, perlu diingat bahwa dalam masa inkubasi hasil tes masih nonreaktif
karena belum terbentuk antibodi.
Positif Semu Biologik (P.S.B.)
P.S.B. atau Biologic False Positive (BFP) atau yang sering disebut
positif semu saja adalah suatu keadaan penderita tanpa menderita sifilis
atau treponematosis yang lain, akan tetapi pada pemeriksaan serum
memberi reaksi positif, terutama dengan tes nontreponemal.
Serum seseorang tanpa menderita treponematosis dapat
mengandung sedikit antibodi treponemal. Jika mendapat infeksi dengan
berbagai mikroorganisme, antibodi tersebut dapat bertambah hingga
memberi hasil tes nontreponemal positif; biasanya titernya rendah. Hal
tersebut dapat terjadi pula pada penyakit autoimun, sesudah vaksinasi,
selama kehamilan dan obat narkotik.
P.S.B. dibagi menjadi 2 macam; akut dan kronis. Disebut kronis
jika menderita lebih dari 6 bulan.
P.S.B. akut
Ciri khas pada P.S.B. akut  hasil tes nontreponemal positif
lemah, tidak ada persesuaian antara kedua tes; berakhir dalam beberapa
hari/minggu, jarang melebihi enam bulan sesudah penyakitnya sembuh.
P.S.B.Kronis
Pada bentuk ini tes treponemal akan memberikan reaksi positif
yang berulang dalam beberapa bulan/tahun. Hasil tes likuor
serebrospinalis negatif.
Berbagai penyakit yang memberi P.S.B. kronis ialah : Lepra
terutama tipe LL, penyakit autoimun (misalnya lupus eritematosa
sistemik/diskoid, skleroderma, anemia hemolitik autoimun), rheumatic
heart disease, multiple sclerosis like neuropathy, sirosis hepatis,
poliarteritis nodosa, psikosis, nefritis kronis, adiksi heroin, sklerosis
sistemik dan penyakit vaskular perifer. Tes yang dianjurkan untuk
menyingkirkan P.S.B. ialah TPI, karena tes tersebut mempunyai
spesifisitas yang tinggi. Pada P.S.B. biasanya VDRL positif dengan titer
rendah, maksimum ¼.

Tabel. Penyebab reaksi positif palsu pada tes serologik Nontreponemal


Tabel. Penyebab umum positif palsu pada tes Treponemal

Positif Sejati
Positif sejati (true positive) pada T.S.S. ialah penyakit
treponematosis yang menyebabkan tes nontreponemal dan tes treponemal
positif. Penyakit tersebut ialah penyakit tropis/subtropis seperti frambusia,
bejel dan pinta. Tes serologik yang dapat membedakan sifilis dengan
infeksi oleh treponema yang lain belum ada.
Menilai T.S.S. harus berhati-hati, harus ditanyakan apakah
penderita berasal dari daerah frambusia, di samping diperiksa apakah
terdapat tanda-tanda frambusia atau bekasnya.
Tabel. Hasil positif palsu pada tes FTA-Abs
Aplikasi pemeriksaan serologik
Pada sifilis primer, jika sarana pemeriksaan mikroskopik tidak ada,
tetapi hasil tes nontreponemal reaktif dan disertai lesi yang khas, maka hal
ini juga merupakan indikasi pengobatan. Pada umumnya hasil tes
nontreponemal inisial 30-50% negatif, maka tes harus diulang setelah 1
minggu, 1 bulan dan 3 bulan. Jika setelah 3 bulan hasil tes tetap
nonreaktif, maka diagnosis sifilis dapat dikesampingkan.
Diagnosis sifilis sekunder ditegakkan dengan menemukan T.
pallidum dalam lesi atau dalam kelenjar getah bening. Diagnosis juga
ditegakkan berdasarkan ditemukannya lesi yang khas disertai titer tes
reagin > 1/16. Hampir semua penderita sifilis sekunder menunjukkan hasil
tes nontreponemal reaktif, mungkin 2% diantaranya menunjukkan reaksi
lemah sebagai akibat fenomena prozone, yaitu setelah serum diencerkan
akan terdeteksi titer 1/16 atau lebih. Pada pasien dengan lesi tidak khas
dan/atau titer tes nontreponemal << 1/16, harus dilakukan tes
nontreponemal ulang dan tes treponemal konfirmasi.
Pasien dengan tes nontreponemal dan treponemal reaktif tanpa
gejala klinik dan tanpa riwayat penyakit yang jelas, kemungkinan terkena
sifilis laten. Adanya kemungkinan positif palsu dapat disingkirkan dengan
mengulang tes segera dan selanjutnya setiap 6 bulan. Insidensi hasil positif
palsu tes nontreponemal meningkat pada pasien berumur diatas 60 tahun
dan pada pasien lebih muda yang menderita lupus atau penyakit
autoimun/kolagen lainnya. Jika pasien pada tahun sebelumnya diketahui
menunjukkan tes serologi nonreaktif atau menunjukkan gejala sifilis
primer atau sekunder, maka pasien dikategorikan menderita sifilis laten
awal; diluar itu semua, pasien dikategorikan menderita sifilis laten lanjut
dan harus waspada terhadap kemungkinan neurosifilis asimtomatik. Dalam
kasus yang demikian, ± 20% menunjukkan hasil tes nontreponemal
nonreaktif.
Jika tidak diketahui berapa lama pasien menderita sifilis atau jika
ada dugaan pasien menderita sifilis lanjut, maka dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan cairan otak atau liquor. Pada neurosifilis
asimtomatik hasil tes serum nontreponemal dan/atau treponemal reaktif,
sel darah putih dalam liquor 5/mm2 dan hasil tes VDRL liquor reaktif.
Pasien dengan sejarah pengobatan sifilis yang adekuat dan
dikhawatirkan terkena reinfeksi perlu pengobatan ulang, jika pada
pemeriksaan lesi yang ada pada saat itu menunjukkan hasil positif dalam
mikroskop lapangan gelap atau ada kenaikan titer tes serologi ≥ 4 kali atau
baru terjadi kontak seksual dengan penderita sifilis awal.
Untuk menegakkan diagnosis sifilis pada orang yang pernah
mendapat pengobatan sifilis, perlu menemukan T. pallidum dalam
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau mendeteksi adanya kenaikan
titer 4 kali pada tes nontreponemal. Sementara pasien yang pernah kontak
dengan penderita sifilis awal harus diberikan pengobatan, jika tes
nontreponemal reaktif dan tes treponemal juga reaktif pada pemeriksaan
berikutnya.
Mengenai pemantauan efektifitas pengobatan, dapat dilakukan
dengan tes nontreponemal kuantitatif, interval waktu 3 bulan, selama
paling sedikit satu tahun. Dengan pengobatan adekuat pada sifilis primer
dan sekunder, seharusnya terjadi perubahan titer paling sedikit 4 kali
penurunan setelah 3 sampai 4 bulan dan 8 kali penurunan setelah 6 sampai
8 bulan. Pada umumnya setelah tahun pertama pengobatan, pasien dengan
sifilis awal akan menunjukkan penurunan titer sampai tidak terdeteksi.
Pada pengobatan pasien dengan sifilis laten atau stadium lanjut, penurunan
titer akan terjadi secara bertahap, sedangkan 50% diantaranya akan
menunjukkan titer rendah yang menetap setelah 2 tahun.
Tabel. Interpretasi pemeriksaan serologik sifilis

T.S.S. dan kehamilan


Prenatal care harus diawali dan diakhiri dengan tes serologi sifilis.
Dalam populasi resiko tinggi juga harus dilakukan tes antara, yaitu pada
awal trimester 3 atau masa kehamilan 28 minggu. Meskipun ada dugaan
hasil tes positif palsu pada seorang calon ibu dengan tes nontreponemal
dan treponemal reaktif, jika penyebabnya tidak dapat segera dijelaskan,
maka pengobatan harus diberikan. Pada saat kehamilan, ada
kecenedrungan titer tes nontreponemal setelah pengobatan meningkat
kembali tanpa adanya reinfeksi.
Sifilis kongenital pada neonatus dipastikan dengan menemukan T.
pallidum dalam sekret hidung atau dalam spesimen yang berasal dari lesi
kulit. Pada fetus yang terkena sifilis, T. pallidum juga banyak ditemukan
dalam organ hati. Jika tidak dapat menemukan treponema, diagnosis
didasarkan atas hasil tes serologi. Tes nontreponemal positif yang
dikonfirmasi dengan tes treponemal positif dianggap sebagai sifilis,
sampai terbukti sesuatu yang lain. Untuk membedakan kemungkinan
transfer IgG pasif dari ibu, perlu dilakukan penentuan IgM total dan IgM
antibodi antitreponema dengan tes TFA-Abs. Seperti diketahui IgM tidak
dapat melewati sawar plasenta, namun jika sampai terjadi kontaminasi
darah fetus dengan IgM ibu akibat kerusakan plasenta, maka IgM ini akan
menghilang secara cepat dari peredaran darah begitu bayi lahir. Akan
tetapi IgM yang disintesis secara aktif dalam semester ketiga oleh fetus
yang terkena infeksi, akan menetap dalam darah selama masih ada infeksi.
Dalam waktu 5 hari setelah bayi lahir, kadar IgM akan meningkat sebagai
respons terhadap kolonisasi bakteri, sehingga untuk dapat menyatakan
adanya kenaikan, kadarnya harus lebih dari 50 mg/dl. Adanya kenaikan
kadar IgM bersamaan dengan hasil tes nontreponemal dan treponemal
positif menunjukkan petunjuk kuat adanya sifilis.
T.S.S. pada neurosifilis
Hasil tes VDRL pada cairan serebrospinalis tidak dapat dipercaya
karena nonreaktif pada 30-57% kasus neurosifilis aktif.Reaktivitas dengan
tes treponemal, terutama FTA-Abs dan/atau TPHA, dapat disebabkan oleh
transudasi IgG dari serum pada penderita yang telah diobati secara
adekuat. Jadi tidak selalu berarti terdapat neurosifilis yang aktif.
Sebaliknya, jika hasilnya nonreaktif dapat menyingkirkan diagnosis
neurosifilis. Tes yang berguna untuk mendiagnosis neurosifilis ialah 19S
IgM SPHA, karena adanya IgM dalam cairan serebrospinalis yang
merupakan indikator tepat bagi neurosifilis.

6 B. TERANGKAN DAN PENGOBATAN PIODERMAE


Definisi
Pioderma ialah penyakit kulit yang menyebabkan oleh staphylococcus,
streptococcus, atau oleh kedua-duanya.

Etiologi
Penyebabnya yang utama ialah staphylococcus aureus dan streptococcus B
hemolyticus, sedangkan staphylococcus epidermidis merupakan penghuninormal
di kulit dan jarang menyebabkan infeksi.
Faktor predisposisi
1. Higiene yang kurang
2. Menurunnya daya tahan misalnya; kekurangan gizi,anemia, penyakit kronik,
neoplasma ganas ,diabetes mellitus.
3. Telah ada penyakit lain di kulit karena terjadi kerusakan diepidermis, maka
fungsi kulit pelindung akan terganggu sehingga memudahkan terjadinya
infeksi.
Klasikasi
1. Pioderma Primer
Infeksi terjadi pada kulit yang normal. Gambaran klinisnya tertentu,
penyebabnya biasanya satu macam mikroorganisme.
2. Pioderma Sekunder
Pada kulit telah ada penyakit kulit yang lain, gambaran klinisnya tak khas
dan mengikuti penyakit yang telah ada. Jika penyakit kulit disertai pioderma
sekunder disebut impetigenista, contohnya; dermatitis impatigenista,scabies
impetigenista. Tanda impetigenista, ialah jika terdapat pus,pustule, krusta
berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar getah bening
regional,leukositosis,dapat pula disertai demam.
Pengobatan umum
1. Sistematik
Berbagai obat dapat digunakan sebagai pengobatan pioderma. Berikut ini
disebutkan contoh-contohnya.
a) Penisilin g prokain dan semisitetiknya
- Penisilin g prokain
Dosisnya 1,2 juta per hari i.m. obat ini tidak dipakai dengan dosis
tinggi, dan makin sering terjadi syok anafilaktik.
- Ampisilin
Dosisnya kali 500 mg, diberikan sejam sebelum makan.
- Amoksisilin
Dosisnya sama dengan ampisilin, kelebihannya lebih praktis karena
dapat diberikan setelah makan. Jugaa cepat diabsorbsi dibandingkan
dengan ampisilin sehingga konsentral dalam plasma lebih tinggi.
b) Golongan obat resisten-penisiline
Yang termasuk golongan ini contohnya; okasilin, kloksasilin, dikloksilin,
perhari sebelum makan. golongan obat ini mempunyai kelebihan karena
juga berkhasiat bagi staphylococcus aureus yang telah membentuk
penisilinase.
c) Linkomisin dan Klindamisin
Dosis linkomisin 3 kali 500 mg perhari. Klindamisin diabsorbsi lebih baik
karena itu dosisnya lebih kecil, yakni 4 kali 150 mg sehari per os. Pada
infeksi untuk pioderma disamping golongan obat penisilin resisten-
penesilinase. Efek samping yang di sebut kepustakaan berupa colitis
pseudomembranosa, belum pernah penulis temukan. Linkomiskin agar
tidak karena potensi antibakterialnya lebih sedikit, pada pemberian per oral
tidak terlalau dihambat oleh adanya makanan dalam lambung.
d) Eritromisin
Dosisnya 4 kali 500 mg perhari per os. Efektivitasnya kurang
dibandingkan dengan linkomisin/klindimisin dan obat golongan penisilin
resisten-penesilinase dan obat golongan penisilin. Obat ini cepat
menyebabkan resisistensi sering member rasa tak enak di lambung.
e) Sefalosporin
Pada pioderma yang betat atau yang tidak member renspons dengan obat-
obatan tersebut diatas, dapat dipakai sefalosporin . Ada empat generasi
yang berkhasiat untuk kuman positif-gram ialah generasi I, Juga generasi
Iv. Contohnya sefadroksil yang generasi 1 dengan dosis untuk orang
dewasa 2 kali 500% mg atau 2 kali 100 mg perhari.
2. Topikal
Bermacam-macam obat topikal dapat digunakan untuk pengobatan
pioderma. Obat topikal anti mikrobial hendaknya yang tidak dipakai secara
sistemik agar kelak tidak terjadi resistensi dan hiversensitivitas, contohnya
ialah basitrasin,neomisin, dan mipirosin. Niomisin juga berkasiat untuk kuman
negative-gram. Neomisin , yang di negeri Barat dikatakan sering menyebabkan
sensitisasi, menurut pengalaman penulis jarang, teramisin dan kioramfenikol
tidak begitu efektif,banyak digunakan karena harganya murah. Obat-obat
tersebut sebagai salap atau krim.
Sebagai obat topikal juga kompres terbuka, contohnya; larutan
permanganas kalikus 1/500, larutan rivanol 1 o/oo dan yodium povidon 7,5%
yang dilarutkan 10 kali. Yang terakhir ini lebih efektif hanya pada sebagian
kecil mengalami sensitisasi karena yodium. Rivanol mempuyai kekurangan
karena mengotori seprei.
Pemeriksaan Pembantu
Pada pemeriksaan laboratorik terdapat leukositosis. Pada kasus-kasus
yang kronis dan sukar sembuh dilakukan kultur dan tes resistensi. Ada
kemungkinan penyebabnya bukan stafilokokus atau streptokokus melainkan
kuman negative-gram. Hasil tes resistensi hanya bersifat menyokong, invivo
tidak selalu sesuai dengan in vitro.
Bentuk Pioderma
Berbagai bentuk pioderma akan di bicarakan satu persatu.
A. Imfetigo
a. Definisi
Imfetigo ialah pioderma superfisialis (terbatas dan epidermis)
b. Klasifikasi
Terdapat 2 bentuk ialah imfetigo krustosa dan impetigo bulosa.
1. Impetigo Krustosa
Sinonim
Impetigo kontogiosa, infetigo vulgaris, invetigo tillbury fox.
Etiologi
Biasanya streptococcus B hemolyticus.
Gejala klinis
Tidak disertai gejala umum, hanya terdapat pada anak, tempat
redileksi muka,karena di anggap sumber infeksi dari daerah tersebut.
Kelainan kulit ialah eritema dan vesikel yang cepat memecah
sehingga jika penderita datang berobat yang terlihat ialah krusta tebal
berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak serperti erosi
dibawahnya. Sering krusta menyebar ke perifer dan sembuh dibagian
tengah.
Komplikasi ; glomerulonefritis (2-5%) yang disebabkan oleh sero tipe
tertentu.
Diagnosis banding
Ektima
Pengobatan
Jika krusta sedikit, dilepaskan dan diberi salap antibiotic. Kalau
banyak diberi pula tibiotik sistemik.
2. Impetigo bulosa
Sinonim
Impetigo vesiko-bulosa, cacar monyet.
Etiologi
Biasanya staphylococcus aurerus.
Gejala klinis
Keadaan umumnya tidak dipengaruhi. Tempat predileksi di ketiak,
dada, pinggung. Sering kali miliaria. Terdapat pada anak dan orang
dewasa. Kelainan kulit berupa eritema,bula, dan bula hipopion.
Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikel/bula telah
memecah sehingga yang tampak koleret dan dasarnya masih
eritematosa.
Diagnosis banding
Jika vesikel/bula telah pecah dan hanya terdapat koleret dan eritema,
maka mirip dematofitosis. Pana anamnesis hendaknya ditanyakan,
apakah sebelumnya terdapat lepuh. Jika ada, diagnosisnya ialah
impetigo bulosa.
Pengobatan
Jika terdapat hanya beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu diberi
salap antibiotic atau cairan antiseptic. Kalau banyak diberi pula
antibiotic sistemik. Faktor predisposasi dicari, jika karena banyak
keringat, ventilasi diperbaiki.
3. Imfetigo neonatorum
Penyakit ini merupakan varian impetigo bulosa yang terdapat
pada neonates. Kelainan kulit serupa impetigo bulosa hanya lokasinya
menyeluruh, dapat disertai demam.
Diagnosis banding
Sifilis congenital. Pada penyakit ini bula juga terdapat ditelapak
tangan dan kaki, terdapat pula snuffle nose, saddle nose, dan pseudo
paralisis parrot.
Pengobatan
Antibiotik harus diberikan secara sistemik. Topikal dapat diberikan
bedak salisil 2%
B. Folikulitis
a. Definisi
Radang folikel rambut
b. Etiologi
Biasanya staphylococcus aureus
c. Klasifikasi
1. Folikulitis superfisialis; terbatas didalam epidermis
Sinonim
Impetigo bockhart
Gejala klinis Tempat predileksi ditungkai bawah. Kelainan berupa
papul atau pastul yang eritamatosa dan tengahnya terdapat rambut,
biasanya multipel.
2. Folikulitis protunda; sampai ke subkutan.
Gambaran Klinis
Gambaran klinisnya seperti diatas, hanya seraba infitrat di subkutan.
Contohnya sikosis barbe yang berlokas dibibir atas dan di dagu,
bilateral.
d. Diagnosis banding
Tinea barbe, lokalisasinya di mandibula/submandibula, unilateral. Pada
tineo bare sediaan dengan KOH positif.
e. Pengobatan
Antibiotic sistemik/topikal. Cari faktor predisposisi.
C. Furunkel/Karbunkel
a. Definisi
Furunkel ialah radang folikel rambut dan sekitarnya . jika lebih daripada
sebuah disebut furunkulosis. Karbunkel ialah kumpulan furunkel.
b. Etiologi
Biasanya staphylococcus aureus
c. Gejala klinis
Keluhannya nyeri. Kelainan berupa nodus eritematosa berbentuk kerucut,
ditengahnya terdapat pustul. Kemudian melunak menjadi abses yang
berisi pus dan jaringan nekrotik, lalu memecah membentuk fistel. Tempat
predileksi ialah tempat yang banyak friksi, misalnya aksial dan bokong.
d. Pengobatan
Jika sedikit cukup dengan antibiotic topikal. Jika banyak digabung
dengan antibiotic sistemik . kalau berulang-ulang mendapatkan
furunkulosis atau karbunkel, cari faktor predisposisi,misalnya diabetes
militus.
D. Ektima
a. Definisi
Ektima ialah ulkus superficial dengan krusta diatasnya disebabkan
infeksi oleh streptococcus.
b. Etiologi
Streptococcus B hemolyticus
c. Gejala klinis
Tampak sebagai krusta tebal berwarna kuning,biasanya berlokasi di
tungkai bawah, yaitu tempat yang relatif banyak mendapat trauma. Jika
krusta diangkat teryata lekat dan tampak ulkus yang dangkal.
d. Diagnosis banding
Impetigo krustosa, persamaannya, kedua-duanya berkrusta berwarna
kuning, perbedanya impetigo krustosa terdapat pada anak, berlokasi
dimuka, dan dasrnya ialah erosi. Sebaliknya ektima predilekai di tungkai
bawah, dan dasarnya ialah ulkus.
e. Pengobatan
Jika terdapat sedikit, krusta diangkat lalu diolesi dengan salap antibiotic.
Kalau banyak juga diobati antibiotic sistemik.
E. Pionikia
a. Definisi
Staphylococcus aureus dan/atau streptococcus B hemolyticus.
b. Gejala klinis
Penyakit ini didahului trauma. Mulainya infeksi pada lipat kuku, terlihat
tanda-tanda radang, kemudian menjalar ke metrics dan lempeng kuku
(nail plate), dapat terbentuk abses subungual.
c. Pengobatan
Kompres dengan larutan antiseptic dan berikan antibiotic sistemik. Jika
terjadi abses subungual kuku diekstraksi.
F. Erisipelas konsitusi
a. Definisi
Erysipelas ialah penyakit infeksi akut, biasanya disebabkan oleh
streptococcus, gejala utamanya ialah eritema berwarna cerah. Dan
berbatas tegas serta disertai gejala konstitusi.
b. Etilogi
Biasanya streptococcus B hemolyticus.
c. Gejala klinis
Terdapat gejala konsititusi; demam,malese. Lapisan kulit diserang
ialah epidermis dan dermis. Penyakit ini didahuluka trauma, karena itu
biasanya tempat predileksinya tungkai bawah. Kelainan kulit yang utama
ialah eritema yang berwarna merah cerah, terbatas tegas, dan pinggirnya
meninggi dengan tanda-tanda radang akut. Dapat disertai
edema,vesikel,dan bula. Terdapat leukositosis.
Jika tidak diobati akan menjalar kesekitarnya terutama ke
proksimal. Kalau sering residif di tempat yang sama dapat terjadi
elephantiasis.
d. Diagnosis banding
Selulitis, pada penyakit ini terdapat infiltrate di subkutan.
e. Pengobatan
Istirahat, tungkai bawah kaki yg di serang ditinggikan (elevasi), tingginya
sedikit lebih tinggi dari pada letak kor, pengobatan sistemik ialah
antibiotic, topikal diberikal kompres terbuka dengan larutan antiseptic.
Jika di berikan diuretika.
G. Selulitis
Etiologi, gejala konsitusi, tempat predileksi, kelainan pemeriksaan
laboratorik, dan terapinya sama dengan erysipelas.
Kelainan kulit berupa infiltrate yang diful disubkutan dengan tanda-tanda
radang akut.
H. Flegmon
Flegmon ialah selulitis yang mengalami supurasi. Terapinya sama dengan
selulitis hanya ditambah insisi.
I. Ulkus Piogenik
Berbentuk ulkus yang gambaran klinisnya tidak khas disertai pus diatasnya.
Dibedakan dengan ulkus lain yang disebabkan oleh kuman negative-gram,
oleh karena itu perlu dilakukan kultur
J. Abses Multipel Kelenjar Keringat
a. Definisi
Abses multipel kelenjar keringat ialah infeksi yang biasanya disebabkan
oleh staphylococcus aureus pada kelenjar keringat, berupa abses multipel
tak nyeri berbentuk kubah.
b. Etiologi
Biasanya staphylococcus aureus.
c. Gejala klinis
Didapati pada anak. Faktor predisposisi ialah daya tahan yang menurun
(misalnya;malnutrisi,morbili), juga banyak keringat, karena itu bersama-
sama miliaria. Gambaran klinisnya berupa nodus eritematosa, multipel,
tsk nyeri, berbentuk kubah, dan lama memecah. Lokasinya ditempat yang
banyak keringat.
d. Diagnosis banding
Furunkulosis, pada penyakit ini terasa nyeri batuknya seperti kerucut
dengan pustule di tengah dan relative lebih cepat memecah.
e. Pengobatan
Antibiotik sistematik dan tropical. Ingat faktor predisposisi.
K. Hidraadenitis
a. Definitis
Hidraadenitis ialah infeksi kelenjar apokrin, biasanya oleh
staphylococcus aureus.
b. Etiologi
Staphylococcus aureus.
c. Gejala klinis
Infeksi terjadi pada kelenjar apokrin, karena itu terdapat pada usia
sesuatu akil balik sampai dewasa muda. Sering didahului oleh
trauma/mikrotrauma, misalnya; banyak keringat, pemakaian Deodorant
atau rambut ketiak digunting.
Penyakit ini disertai gejala konstitusi; demam,malese. Rumah
berupa nodus dengan kelima tanda radang akut. Kemudisn dapat
melunak menjadi abses, dan memecah membentuk fistel dan disebut
hidraadenitis supurativa. Pada yang menahun dapat terbentuk abses,fistel,
dan sinus yang mutipel. Terbanyak berlokasi diketiak, juga di perineum,
jadi tempat-tempat yang banyak kelenjar apokrim. Terdapat leukositosis.
d. Diagnosis banding
Skrofuloderma. Persamaannya terdapat nodus, abses, dan fistel.
Perbedaannya, pada hidraadenitis supurativa pada skrofuloderma tidak
terdapat tanda-tanda radang akut dan tidak ada leukositosis.
e. Pengobatan
Antibiotik sistemik. Jika telah terbentuk abses, diinsisi. Kalau belum
melunak diberi kompres terbuka. Pada kasus yang kronik residif kelenjar
apokrin dieksisi.
L. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome
a. Definisi
S.S.S.S. ialah infeksi kulit oleh staphylococcus aureus tipe tertentu
dengan cirri yang khas ialah terdapatnya epidermolisis.
b. Epidemiologi
Penyakit itu terutama terdapat pada anak di bawah 5 tahun, pria lebih
banyak daripada wanita.
c. Etiologi
Etiologinya ialah diantaranya staphylococcus aureus grup II faga 52,55
dan/atau faga 71
d. Patogenenesis
Sebagai sumber infeksi ialah infeksi pada mata,hidung,tenggorok,
dan telinga. Eksotoksin yang dikeluarkan bersifat efidermolitik
(epidermolin,eksfoliatin) yang beredar diseluruh tubuh, sampai pada
epidermis dan menyebabkan kerusakan , karena epidermis merupakan
jaringan yang rentan terhadap toksin ini. Pada kulit tidak selalu
ditemukan kuman penyebab.
Fungsi ginjal yang baik diperlukan untuk mengekskresikan
ekspoliatin. Pada anak-anak dan bayi diduga fungsi ekskreasi ginjal
belum sempurna, karena itu umumnya penyakit ini terdapat pada
golongan orang dewasa diduga karena terdapat kegagalan fungsi ginjal,
atau terdapat gangguan imunologik, termasuk yang mendapat obat
imunosupresif.
e. Gejala klinis
Pada umumnya terdapat demam yang tinggi disertai infeksi di
saluran napas bagian atas. Kelainan kulit yang pertama timbul ialah
eritema yang timbul mendadak pada muka,leher,ketiak,dan lipat paha,
kemudian menyeluruh dalam waktu 24 jam. Dalam waktu 24-48 jam
akan timbul bula-bula besar berdinding kendur. Jika kulit yang
tampaknya normal ditekan dan digeser kulit tersebut akan terkelupas
sehingga member tanda nikolsky positif. Dalam 2-3 hari terjadi
pengeriputan spontan disertai pengelupasan lembaran-lembaran kulit
sehingga tampak daerah-daerah erosive. Akibat eidermolisis
tersebut,gambarannya mirip kombusito. Daerah-daerah tersebut akan
mongering dalam beberapa hari dan terjadi deskuamasi. Deskuamasi
pada daerah yang tidak eritmatosa, yang tidak mengelupas terjadi dalam
waktu 10 hari. Meskipun bibir sering dikenai, tetapi mukosa jarang
diserang. Penyembuhan penyakit akan terjadi setelah 10-14 hari tanpa
disertai sikatriks.
f. Komplikasi
Meskipun S.S.S.S. dapat sembuh spontan, dapat pula terjadi pula
terjadi komplikasi, misalnya; selulitis pneumonia, dan septicemia.
g. Pemeriksaan bakteriologi
Jika terdapat infeksi ditempat lain, misalnya disaluran napas dapat
dilakukan pemeriksaan bakteriologik. Juga sebaliknya diperiksa
mengenai tipe kuman,karena S.S.S.S disebabkan oleh staphylococcus
aureus tipe tertentu. Pada kulit, seperti telah disebutkan, tidak didapati
kuman penyebab karena kerusakan kulit akibat toksin.
h. Histopatologi
Pada S.S.S.S terdapat gambaran yang khas, yakni terlihat lepuh
intraepidermal, cerah terdapat di stratum granulosum. Meskipun ruang
lepuh sering mengandung sel-sel akan tolitik, epidermis sisanya
tampaknya utuh tanpa disertai nekrosis sel.
i. Diagnosis banding
Penyakit ini sangat mirip N.E.T. perbedaannya, S.S.S.S. Umumnya
menyerang anak dibawah usia 5 tahun, mulainya kelainan kulit di
muka,leher,aksila dan lipat paha; mukosa umumnya tidak dikenal, alat-
alat dalam tidak diserang, dan angka kematiannya lebih rendah. Kedua
penyaki tersebut agak sulit dibedakan,oleh karena itu hendaknya
dilakukan pemeriksaan histopatologik secara frozen section agar hasilnya
cepat diketahui,karena prinsip terapi kedua penyakit tersebut berbeda.
Perbedaannya terletak pada letak cerah, pada S.S.S.S. stratum
granulosum,sedangkan pada N.E.T di subepidermal. Perbedaan lain, pada
N.E.T. terdapat sel-sel nekrosis di sekitar cerah dan banyak terdapat di
radang.
j. Pengobatan
Perbedaan dengan pengobatan pada N.E.T. maka kortikosteroid
tidak perlu diberikan. Pengobatannya ialah antibiotic, jika dipilih derivate
penisilin hendaknya yang juga efektif bagi staphylococcus aureus yang
membentuk penisilinase, misalnya kloksasilin dengn dosis 3 kali 250%
mg untuk orang dewasa sehari per os. Pada neonates (penyakit ritter)
dosisnya 3kali 50 mg sehari per os. Obat lain yang dapat diberikan ialah
klindamisin dan sefalosporin generasi I. Topikal dapat diberikan
sufratulle atau krim antibiotic. Selain itu juga harus diperhatikan
keseimbangan cairan dan elektroit.
k. Prognosis
Kematian dapat terjadi,terutama pada bayi berusia 1-10%.
Penyebab utama kematian ialah tidak adanya keseimbangan
cairan/elektrolit dan sepsis.

7.B TERANGKAN DAN PENGOBATAN DERMATISIS


Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, esema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis. Sinonim dermatitis ialah ekzem. Ada yang membedakan antara
dermatitis dan ekzem , tetapi pada umumnya menganggap sama.
Etiologi
Penyebab dermatitis dapat berasal dari luar (eksogen), isalnya bahan kimia
(contoh: detergen, asam, basa, oli, semen,), fisik (contoh: sinar,suhu),
mikroorganisme (baktteri, jamur) dapat pula dari dalam (endogen), misalnya
dermatitis atopik. Sebagian lain tidak diketahui etiologinya yang pasti.
Patogenesis
Banyak dermatitis yang belum diketahui dengan pasti patogenesisnya, terutama
yang penyebabnya daktor endogen. Yang telah banyak dipelajai adalah dermatitiis
kontak (baik tipe alergik maupun iritan), dan dermatitis atopik.
A. Gejala klinis
Pada umumnya penderita dermatitis mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada stadium penyakit, batasnya sirkumskrip, dapat pula difus.
Penyebarannya dapat setempat, generalisata, dan universalis.
Pada stadium akut kelainan kulit berua edema, vesikel, atau bula, erosi dan
eksudasi, sehingga tampak basah (madidans). Stadium subakut, eritema dan
edema berkurang, eksudat mengering menjadi krusta. Sedang pada stadium
kronis lesi tampak kering, skuama, hiperpigmentasi, papul, dan likenifikasi,
mungkin juga terdapat erosi dan ekskoriasi karena garukan. Stadium tersebut
tidak selalu berurutan, bisa saja suatu gambaran dermatitis sejak awal
memberi gambaran klinis berupa kelainan kulit stadium kronis. Demikian pula
jenis efloresensi tidak selalu harus polimorfik, mungkin hanya oligomorfik.
B. Tata nama (nomenklatur) dan klasifikasi
Hingga kini belum ada kesepakatan internasional mengenai tatanama dan
klasifikasi dermatitis, tidak hanya karena penyebabnya ang multi faktor, tetapi
juga karena seseorang dapat menderita lebih dari satu janis dermatitis pada
waktu yang bersamaan atau bergantian.
Ada yang memberi nama berdasarkan etiologi (contoh: dermatitis kontak,
radiodermatitis, dermatitis medikamentosa), morfologi (contoh: dermatitis
papulosa, dermatitis vesikulosa, dermatitis madidans, dermatitis eksfoliativa),
bentuk (contoh: dermatitis tangan, dermatitis intertriginosa), dan ada pula
yang berdasarkan stadium penyakit (contoh: dermatitis akut, dermatitis
kronis).
C. Histologi
Perubahan histologik dermatitis terjadi pada epidermis dan dermis,
bergantung pada stadiumnya. Pada stadium akut kelinan di epidermis berupa
spongiosis, vesikel, atau bula, edema intrasel, dan eksositosis terutama sel
mononuklear, kadang eosinofil juga ditemukan, bergantung pada penyebab
dermatitis.
Perubahan histologik pada stadium subakut hampir seperti pada stadium
akut, spongiosis, jumlah vesikel berkurang, epidermis mulai menebal
(akantosis ringan), tertutup krusta, stadium korneum mengalami parakeratosis
setempat; eksositosis berkurang; edema di dermis berkurang, vasodilatasi
masih jelas, sebukan sel radang masih jelas, fibroblas mulai meningkat
jumlahnya.
Epidermis pada stadium kronis menebal (akantosis), stratum korneum
menebal (hiperkeratosis dan parakeratosis setempat), rete ridges memanjang,
kadang ditemukan spongiosis ringan, tidak lagi terlihat vesikel, eksositosis
sedikit, pigmen melanin terutama di sel basal bertembah. Papila dermis
memanjang (papilomatosis), dinding pembuluh darah bersebukan sel radang
mononuklear, jumlah fibroblas bertambah, kolagen menebal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat didasarkan kausa, yaitu menyingkirkan penyebabnya.
Tetapi, seperti diketahui penyebab dermatitis multi faktor, kadang juga tidak
diketahui dengan pasti. Jadi pengobatan bersifat simtomatis, yaitu dengan
menghilangkan/mengurangi gejala, dan menekan peradangan.
1) Sistemik
Pada kasus ringan dapat diberikan antihistamin. Pada kasus berat dapat
diberikan kortikosteroid.
2) Topikal
Prinsip umum topikal sebagai berikut:
 Dermatitis akut/basah (madidans) diobati secara basah (kompres terbuka),
bila subakut diberi losio (bedak kocok), krim, pasta, atau linimentum
(pasta pendingin). Krim diberikan pada daerah yang tidak berambut. Bila
kronik diberi salep.
 Makin berat atau akut penyaktnya, makin rendah persentase obat spesifik.

8.B Terangkan sediaan injeksi, peroral, topikal,paten, generic Kortikosteroid


Tabel. Beberapa Sediaan Kortikosteroid
Nama generic Bentuk oral Parenteral Topical Topical pada
mata
Desoksikortikosteron 5 mg/ml
asetat (minyak)
Fluodrokortison asetat 0,1 mg
Kortisol/hidrokortison 5-20 mg 25, 50 mg/ml0,1-2% (krim,0,2%
(suspensi) salep, (suspens
losion) i, salep)
Kortisol asetat 25 mg/5 ml0,1-1% (krim,1,5% (salep)
(suspensi) salep,
losion)
Kortisol sipionat 2 mg/ml
(suspen
si)
Kortison asetat 5-25 mg 25, 50 mg/ml
(suspensi)
Prednisone 5 mg
Prednisolon 5 mg
Metilprednisolon 4 mg 40 mg/ml
6-metil prednisolon 4 mg 20, 40, 80 mg/ml0,25, 1%
(suspensi)
Metilprednisolon Na 40-1.000 mg
suksinat bubuk
Deksametason 0,5 mg4 mg/ml 0,01-0,1% 0,1%
(eliksir)
Deksametason asetat 2-16 mg/ml
(suspensi)
Deksametason Na-fosfat 4-24 mg/ml 0,1% 0,05; 0,1%
Parametason asetat 1,2 mg
Flusinolon asetonid 0,01-0,2%
Flumetason pivalat 0,025% (krim)
Betametason 0,6 mg
Betametason dipropionat 0,05; 0,1%
Betametason valerat 0,01; 0,1%
Triamsinolon 4 mg
Triamsinolon asetonid 40 mg/ml0,1; 0,5 mg
(suspensi) (krim,
dll)
Triamsinolon diasetat 2 dan 4 mg/ 525, 40 mg/ml
ml (suspensi)
(sirup)
Halsinonid 0,025; 0,1%

Tabel. Sediaan Kortikosteroid Peroral dan Injeksi

Nama Obat Dosis Sediaan Nama paten


Dexamethason Anak: 0,006-0,4 Tab 0,5 mg Cortidex
mg/kgBB/hari Inj 5 mg/ml Kalmetason
Dewasa : 0,2-0,5
mg/kgBB/hari
Metilprednisolon 0,4-1,6 mg/kgBB/hari Tab 4, 8, 16 mg Lameson
Inj 125mg/2ml, Medixon
500mg/ml
Prednison 1-2 mg/kgBB/hari (3x) Tab 5 mg Pehacort

Tabel. Sediaan Kortikosteroid Topikal

Obat
Potensi Dosage
(kelompok) GenericUmum Merek vehicle Tersedia ukuran
Ultra high (I)Augmented betametasonDiprolene* G,† O G,15, 45, 50 g 15,
Ultra tinggi (I) dipropionate 0,05% Diprolene * † O 45, 50 g
Clobetasol propionatClobex Clobex L, Sh L,59, 118 mL (L);
0,05% Sh 118 mL (Sh) 59,
118 mL (L); 118
mL (Sh)
Olux* Olux * F F 50, 100 g 50,
100 g
Temovate* C, G, O15, 30, 45 g (C,
Temovate * C, G, O O); 15, 30, 60 g
(G) 15, 30, 45 g
(C, O), 15, 30,
60 g (G)
Obat
Potensi Dosage
(kelompok) GenericUmum Merek vehicle Tersedia ukuran
Temovate E*C C 15, 30, 60 g 15,
Temovate E * 30, 60 g
Diflorasone diacetateApexicon* OO 15, 30, 60 g 15,
0.05% DiflorasoneApexicon * 30, 60 g
diasetat 0,05%
Fluocinonide Vanos Vanos CC 30, 60 g 30, 60 g
0.1%Fluocinonide 0,1%
Flurandrenolide 4 mcgCordran TT 24” × 3” and
per m 2 FlurandrenolideCordran 80” × 3” rolls 24
4 mcg per m 2 "× 3" dan 80 "×
3" gulungan
Halobetasol propionateUltravate* C, O C,15, 50 g 15, 50 g
0.05% HalobetasolUltravate * O
propionat 0,05%
High (II)Amcinonide 0.1%— - OO 15, 30, 60 g 15,
Tinggi (II) Amcinonide 0,1% 30, 60 g
Augmented Diprolene* LL 30, 60 mL 30,
betamethasone Diprolene * 60 mL
Diprolene AF*C C 15, 50 g 15, 50 g
dipropionate 0.05%
Diprolene AF
Augmented betametason
*
dipropionate 0,05%
Betamethasone Diprosone*‡ O O 15, 45 g 15, 45 g
dipropionate 0.05%Diprosone * ‡
Betametason
dipropionate 0,05%
Desoximetasone Topicort C, O C,15, 60 g 15, 60 g
Desoximetasone 0.25%* O
Topicort
0,25% *
Obat
Potensi Dosage
(kelompok) GenericUmum Merek vehicle Tersedia ukuran
Topicort GG 15, 60 g 15, 60 g
0.05%*
Topicort
0,05% *
Diflorasone diacetateApexicon E*C C 15, 30, 60 g 15,
0.05% DiflorasoneApexicon E * 30, 60 g
diasetat 0,05%
Fluocinonide 0.05%Lidex* LidexC,† G,†15, 30, 60 g 15,
Fluocinonide 0,05% * O C, †30, 60 g
G, † O
Halcinonide 0.1%Halog Halog C, O, So15, 30, 60, 240 g
Halcinonide 0,1% C, O,(C, O); 30, 60
Jadi mL (So) 15, 30,
60, 240 g (C,
O), 30, 60 mL
(Jadi)
Medium toAmcinonide 0.1%Cyclocort‡ CC 4, 15, 30, 60 g 4,
high (III)Amcinonide 0,1% Cyclocort ‡ 15, 30, 60 g
Betamethasone Betanate* CC 15, 45 g 15, 45 g
Sedang sampai
dipropionate 0.05%Betanate *
tinggi (III)
Betametason
dipropionate 0,05%
Fluticasone propionateCutivate* OO 15, 30, 60 g 15,
0.005% FlutikasonCutivate * 30, 60 g
propionat 0,005%
Triamcinolone acetonideCinalog*‡ C, O C,15 g 15 g
0.5% AsetonidCinalog * ‡ O
triamcinolone 0,5%
Medium (IVBetamethasone valerateBeta-Val C, L C,14, 45 g (C); 60
and V) SedangBetametason Valerat 0.1%* Beta-L mL (L) 14, 45 g
(IV dan V) Val 0,1% * (C); 60 mL (L)
Obat
Potensi Dosage
(kelompok) GenericUmum Merek vehicle Tersedia ukuran
Luxiq 0.12%F F 100 g 100 g
Luxiq 0,12%
Desoximetasone 0.05%Topicort LP*C C 15, 60 g 15, 60 g
Desoximetasone 0,05% Topicort LP *
Fluocinolone acetonideSynalar*‡ C, O C,15, 60 g 15, 60 g
0.025% FluocinoloneSynalar * ‡ O
asetonid 0,025%
Fluticasone propionateCutivate* CC 15, 30, 60 g 15,
0.05% FlutikasonCutivate * 30, 60 g
propionat 0,05%
Hydrocortisone butyrateLocoid* OO 5, 10, 15, 30, 45
0.1% HidrokortisonLocoid * g 5, 10, 15, 30,
butirat 0,1% 45 g
Hydrocortisone probutatePandel Pandel C C 15, 45, 80 g 15,
0.1% Probutate 45, 80 g
hidrokortison 0,1%
Hydrocortisone valerateWestcort* C, O C,14, 45, 60 g (C,
0.2% ValeratWestcort * O O); 120 g (C)
hidrokortison 0,2% 14, 45, 60 g (C,
O); 120 g (C)
Mometasone furoateElocon* C, L, O15, 45 g (C, O);
0.1% MometasoneElocon * C, L, O 30, 60 mL (L)
furoate 0,1% 15, 45 g (C, O),
30, 60 mL (L)
Triamcinolone acetonideKenalog*‡ C, L, O15, 80, 454 g (C,
0.025% TriamcinoloneKenalog * ‡ C, L, O O); 60 mL (L)
asetonid 0,025% 15, 80, 454 g (C,
O); 60 mL (L)
Obat
Potensi Dosage
(kelompok) GenericUmum Merek vehicle Tersedia ukuran
Triamcinolone acetonideTriderm* C, L,†15, 80, 454 g (C,
0.1% AsetonidTriderm * O† C, L,O); 15, 60 mL
triamcinolone 0,1% O†† (L) 15, 80, 454
g (C, O), 15, 60
mL (L)
Low (VI)Alclometasone Aclovate* C, O C,15, 45, 60 g 15,
Rendah (VI) dipropionate 0.05%Aclovate * O 45, 60 g
Alclometasone
dipropionate 0,05%
Desonide 0.05%Desonate GG 15, 30, 60 g 15,
Desonide 0,05% Desonate 30, 60 g
Desowen* C, O C,15, 60 g 15, 60 g
Desowen * O
Lokara Lokara L L 60, 120 mL 60,
120 mL
Verdeso FF 100 g 100 g
Verdeso
Fluocinolone 0.01%— - CC 15, 60 g 15, 60 g
Fluocinolone 0,01%
Hydrocortisone butyrateLocoid* CC 5, 10, 15, 30, 45
0.1% HidrokortisonLocoid * g 5, 10, 15, 30,
butirat 0,1% 45 g
Least potentHydrocortisone 1%, 2.5%— - C, L, O20, 30, 120 g (C,
(VII) LeastHidrokortison 1%, 2,5% C, L, O O); 60, 120 mL
kuat (VII) (L) 20, 30, 120
g (C, O), 60,
120 mL (L)

Keterangan: C = cream; F = foam; G = gel; L = lotion; O = ointment; Sh =


shampoo; So = solution; T = tape .C = krim; F = busa; G = gel; L = lotion; O =
salep; Sh = sampo. *= generik tersedia, †=Brand tidak tersedia dalam formulasi
ini, ‡=Merek tidak lagi tersedia di Amerika Serikat.

9.B Terangkan sediaan injeksi, peroral, topikal,paten, generic Antibiotik


1. Golongan Penisilin
No Nama Obat Sediaan
1 Amoxillin 500 mg
2 Ampicilin 500 mg
3 Sultamisilin tesilat 375 mg
4 Tetrasiklin Hcl 250 mg
5 Sulbenisilin 1g
6 Na kloksasilin 250 mg
7 Oksitetrasiklin Hcl 50 mg
8 Levoflaksasin 500 mg

2. Golongan Aminoglikosida

No Nama Obat Sediaan


1 Amikasin Sulfat 500 mg
2 Tobramisin 40 mg / ml
3 Gentamisin 40 mg / ml inj
4 Paromomisin Basa 250 mg / tab 125 mg / 5 ml
5 Kenamisin Sulfat 1 g / vial
3. Golongan Kloramfenikol
No Nama Obat Sediaan
1 Kloramfenikol 250 mg / tab , 125 mg / 5 ml sirup
2 Tiamfenikol 500 mg

4. Golongan Kuinolon
No Nama Obat Sediaan
1 Pefloksasin 400 mg
2 Ofloksasin 200 mg , 400 mg
3 Siprofloksasin 250 mg , 500 mg
4 Levoflaksasin 500 mg
5 Getifloksasin 400 mg
6 Norfloksasin 400 mg

5. Golongan Makrolid
No Nama Obat Sediaan
1 Klaritromisin 250 mg , 500 mg
2 Roksitromisin 150 mg
3 Azitromisin basa 250 mg
4 Eritromisin 250 mg
5 Siprofloksasin 500 mg

6. Golongan Sefalosporin
No Nama Obat Sediaan
1 Sefuroksim 500 mg
2 Sefadroksil 250 mg , 500 mg
3 Sefotaksim 1g
4 Na . Seftriakson 1g
5 Na . Sefazolin 1g
6 Sefaklor 500 mg
7 Sefditoren Pivoksil 100 mg
8 Sefpironil 1g
9 Sefdinir 100 mg
7. Golongan Tetrasiklin

No Nama Obat Sediaan


1 Tetrasiklin Hcl 250 mg , 500 mg
2 Oksitetrasiklin 250 mg
3 Doksisiklin 100 mg
8. Golongan Lain-lain
No Nama Obat Sediaan
1 Klindamisin 150 mg , 200 mg
2 Metronidazol 250 mg , 500 mg
3 Lincomisin 500 mg
4 Etrinidazol 200 mg
5 Sekridazol 500 mg
6 Spiramisin 500 mg
7 Merupeneum 100 mg , 1 g

Berdasarkan rumus kimianya, golongan ini dibagi menjadi :


GENE NAMA
NO SEDIAAN FUNGSI DOSIS
RIK DAGANG
1. Strepto Streptomic Injeksi: Vial Untuk mengobati Tuberkulosi
misin yn (1g dan 5g) infeksi karena s sehari 1g
(Streptomi Microbacterium dosis
sin Sulfat tuberculosis, tunggal atau
1g/5g) H.influenzae dalam 2
dosis
terbagi,
selama 6-12
atau lebih.
Meningitis
atau nefritik
tuberkulosis
sehari 2 g
dosis
tunggal
datau dalam
dosis
terbagi
secara terus
menerus
tanpa
interval
Diagon
Stop
(Sreptomis
in Sulfat
65 mg,
ftalilsulfati Sirup (60 Antiefektikum
-
azol, 250 mL) saluran cerna
mg, Ca-
Pantotenat
50 mg,
kliokinol
100mg)
Pengobatan
Bayi: sehari
penyakit infeksi
3-4 x 1
usus, termasuk
sendok the,
diare pada bayi
anak: sehari
Botol (60 maupun diare
Kaolana 4-6 x 1
mL) karena infeksi yag
sendok teh,
disebabkan oleh
dewasa:
mikroorganisme
sehari 6x 2
yang peka atau
sendok teh
zat beracun
Entromix Botol (60 Gastroenteritis Dewasa 6 x
mL) disebabkan sehari 10
kuman yang pake mL, anak 6
obat ini dan x sehari 5
berbagai toksin mL, bayi 4
x sehari 5
mL
Dewasa 1-2
sendok
takar 3 x
Semua bentuk
Viostrepti Botol (60 sehari;
diare basiler
n mL) anak-anak 1
despeptik enteritis
sendok
takar 2-3 x
sehari
2. Neomis Untuk mengobati
yn inflamasi dari
Bevalex
dermatosis
(Betameta
responsif terhadap
son 17 Oleskan
kortikosteroid bila
Valerat Krim tube 5 pada tempat
terkomplikasi
0,1%, g yang sakit
dengan infeksi
Neomisin sehari 2-3 x
sekunder
Sulfat
disebabkan
0,5%)
organisme rentan
terhadap neomisin
Neocenta Krim tube Untuk mengobati Oleskan
(Neomisin 15 g terapi luka bakar, pada daerah
Sulfat Ulkus kronik, yang sakit
0,5%, ulkus dekubital, sehari 4-6 x
Ekstrak eksim pioderma,
Plasenta impetigo,
10%) furunkulosis dan
penyakit kulit
lainnya
Neosinol
(Neomisin
Sulfat Untuk mengobati
5mg, dermatitis yang Oleskan
Krim tube
Fluosinolo terinfeksi oleh tipis sehari
10 g
n kuman yang peka 2-3 x
asetonida terhadap neomisin
0,25 mg
per g)
Nabacetin
Serbuk Sehari
Untuk
(Neomisin beberapa
pencegahan dan
sulfat 5 Botol 5 g kali,
pengobatan
mg, serbuk taburkan
infeksi lokal pada
basitrasin pada bagian
kulit dan mukosa
250 UI per yang sakit
g)
Untuk mengobati
NB impetigo,
Topical terbakar,
(Neomisis pioderma, Oleskan
n sulfat 5 folikulitis barbae, langsung
Salep 5g
mg, Zn furunkolitis, akne pada daerah
Basitrasin nekrotika, ulse lesi
500 UI per dekubitus,
g) eksema disertai
infeksi
Kanabiotic Infeksi kuman
Sehari 15
(Kanamisi peka kanamisisn
Kanami Injeksi Dus mg/KgBB
3. n sulfat atau kuman yang
syn 10 Vial dalam 2-4
1000 resisren terhadap
dosis
mg/vial) antibiotik lain
Kanamyci Injeksi: Vial Infeksi saluran Infeksi akut:
n INJ nafas, TB, ISK, Sehari 1-2
MEIJI GO dan supuratif, g, TB:
(Kanamisi petusis, disentri Seminggu
n 500 mg, basiler, diare akut, sehari 3 x 1
1g, 2g) adnektisis, peny. g atau
Weil, profilaksis semingggu
infeksi paska sehari 2x 2
operasi g, Go: Dosis
tunggal
Sterillasi
usus:
dewasa 1g
per jam
selama 4
jam,
kemudian 1
g tiap 6 jam
selama 36-
72 jam,
anak dan
bayi 150-
Supresi Bakteri 250mg/kgB
Kanamyci usus sebelum B/hari
n Meiji operasi usus, dalam dosis
(Kanamisi 10 x 10 terapi tambahan terbagi tiap
n kaplet, 60 pada koma jam selama
Monosulfa mL sirup hepatika, disentri 6 jam.
t 250 mg, basiler, diare akut Terapi
50 mg/ml) dan infeksi tambahan
lainnya pada usus pada koma
hepatika:
Dewasa:
sehari 8-12g
dalam dois
terbagi.
Diberikan
sehari 4x 20
kg: 5-10 mL
10kg: 2,5-
5mL 8kgg:
2-4 mal 4
Infeksi saluran
nafas, taringtis,
bronkitis 10mg /
Kanarco
bronkopneumonia kgBB / hari
(Kanamisi
Injeksi: Vial , ISK, sistitis, GO, terbagi
n sulfat
uretritis, otitis dalam 2
1g)
media, dosis
osteomielitis dan
karbunkel
Dewasa: IM
sehari 1-2 g
dalam dosis;
anak, Im,
10-30
ISK, saluran
mg/kgBB/h
Kanoxin nafas, TBC paru,
ari dalam 2
(Kanamisi infeksi bakteri
Injeksi: Vial dosis ;
n sulfat supuratif dan
gonore, IM
1g) pencegah infeksi
2 g, TBC
setelah operasi
paru, IM
seminggu
2x 2 g
dalam 2
dosis
4. Gentam Garamyci Tube 5g dan Untuk infeksi Oleskan
isyn n 15g Krim, kulit primer dan tipis pada
(Gentamis Tube 5 g sekunder karenna bagian yang
in Sulfat 1 dan 15 g bakteri yang sakit sehari
mg/g krim salep rentan 3-4 x
Dermatitis atopik,
dermatitis kontak,
dermatitis statis,
Digenta dermtitis
(Gentamis eksfoliatif,
Tube 10 g Oleskan tiap
in 1 mg, neurodermatitis,
krim hari 2-3 x
betametas linchen planus,
on 0,5 mg) eksim, intertigo,
psoriasis, pruritus
anogenital dan
senilis
Pengobtan infeksi
Sagestam Sehari 3-4 x
telinga luar (otitis
Tts 2-4 tetes
eksternal) yang di
Telinga pada telinga
Botol 5 mL sebabkan oleh
(Gentamis yang sakit
organisme yang
in 3 pada malam
senssitif
mg/ml) hari
gentamisin
Derticort Tube 5 g Terapi inflamasi Oleskan
(Gentamis Krim dan kulit yang tipis dan
in sulfat, 10 g resposif terhadap merata pada
betametas kortikosteroid bagian yang
on dengan infeksi sakit
diproprion sekunder oleh
at organisme yang
sensitif terhadap
gentamisin sulfat
Sehari 6x 1-
2 tetes pada
mata yang
sakit, infesi
Pengobatan
berat, dosis
infeksi pada
awal 1 atau
Sagestam bagian luar bola
2 tetes
Tts Mata mata dan
Botol 5 mL setiap 15
(Gentamis adneksanya yang
tetes mata atau 20
in 3 disebbakan oleh
menit,
mg/ml) organisme yang
frekuensi
sensitif terhadap
dikurangi
gentamisin
secara
bertahap
agar infeksi
terkontrol
5. Framise Sofra Kasa Steril Luka bakar, Gunakan
tyn Tulle (Pak 10 traumatik, selapis pada
lembar) ulcratif, electif, luka dengan
infeksi kulit pembalut
sekunder yang sesuai
untuk luka
yang
mengeluark
a eksudat,
ganti
pembalut
sehari 1x
Potong
Kasa Luka bakar, luka
ukuran yang
Daryant Pembalut infeksi sekunder,
sesuai,
Tulle (Dus 10 tukak dan setelah
letakkan
Pembalut) operasi
pada luka
Blecidex Botol tetes Mata, pengobatan Tetes mata:
(Framiseti 5 mL jangka pendek 1-2 tetes,
n sulfat 5 yang memerlukan teteskan
mg, steroid. Telinga pada amta
gramisidin otitis ekstrena yang sakit
0,05 mg, akut dan kronis tiap 1-2 jam
deksameta selama 2-3
son 0,5 hri,
mg/ml lanjutkan
sehari 3-4 x
1-2 tetes.
Tetes
telinga
sehari 1-4 x
2-3 tetes,
teteskan
dala telinga
yang sakit
Mata,
Sofradex teteskan 1-2
(Framiseti tetes sampai
Pengobatan
n sulfat 5 6x sehari
Botol Tetes jangka pendek,
mg, atau lebih
mata dan inflamasi infeksi
gramisidin bila
telinga 8 okular disebabkan
0,05 mg, diperlukan.
mL organisme yang
deksameta Telinga,
sensitif
son 0,5 teteskan
mg/ml sehari 3-4 x
2-3 tetes
Topifram
(Gramisis Eksem,
dina 0,25 Dermatitis,
1-4 x sehari
mg, epidermatitis,
oleskan paa
desoksime Krim luka bakar,
bagian yang
ton 2,5 fotosensitisasi
sakit
mg, yang terinfksi
framisetin bakteri
a 7,5 mg)
Ringan atau
Terapi infeksi sedang 1-2
Bralifex
bagian luar mata tete setiap 4
Tobram (Tobramisi Botol 5 mL
6. dan adneksanya jam; berat:
isyn n 3 tetes mata
disebabkan 2 tts setiap
mg/mL)
bakteri yang peka jam hingga
sembuh
Septikimia, sepsis
neonatus, infeksi
pernapasan bawah
Infeksi
dan
sedang, 2-3
gastrointestinum
mg/kgBB/h
salurran kemih,
Nebcin ari; infeksi
Amp 1,5 kulitt, tulang,
(Tobramisi berat 3
mL/60 mg; jaringan lunak
n sulfat 60 mg/kgBB/h
vial 2 terutama oleh
mg/1,5 ari; Infeksi
mL/80 mg Pseudomonas
mL paling berat:
aeruginosa
> 5
E.Coli, Klebsiela,
mg/KgBB/h
Streptococcus
ari
faecalis,
staphylococcus;
aereus
Tobryne Injeksi: Dus Infeksi gigi T, 3-
(Trobrami 1 Vial peritinitis, Infeksi 5mg/kgBB/
sisn sulfat saluran nafas hari dalam 3
40mg/mL) bawah, kulit, dosis
tulang dan terbagi;
jaringan lunak anak-anak
1,5-1,9
mg/kgBB
tiap 12 jam
Infeksi mata
1-2 tetes
bakteri superfisial
diteteskan
atau adanya
pada
resiko infeksi
kantung
Bralifex bakteri yang
konjungtiva
plus membuttuhkan
setiap 4-6
(Tobramisi kortikosteroida,
Botol 5 mL jam selama
sn 3 mg, uveitis anterior
tetes mata 24-48 jam
deksameta kronik, luka pada
pertama,
son 1 kornea karena zat
dosis harus
mg/mL) kimia, radiasi,
ditingkatkan
terbakar karena
menjadi 1-2
panas atau karena
tetes setiap
penetrasi zat
2 jam
asing
Tobradex
(Tobramisi
n 0,3%, Salep Infeksi mata -
deksameta
son 0,1%)
7. Amikas Alostil Injeksi: Vial Infeksi kuman IM:
yn (Amikasin 500 mg gram negatif pada 15mg/kgBB
Sulfat 500 intra abdominal, /hari dibagi
mg) jaringan lunak, 2 dosis.
combustio, Neonatus
jaringan tulang dan
dan sendi. Saluran prematur:
nafas bawah, Dosis Awal
saluran kemih, 10mg/kgBB
paska operasi. /hari
dilanjtkan
15
mg/kgBB/h
ari dibagi 2
dosis. IV:
500 mg
alostin
dilarutkan
dalam
NaCl/dekstr
osa 5%
Dewasa/ana
k: IV dalam
1-2 jam.
Dosis
maksimal
sehari 1,5 g,
pengobatan
jangan lebih
dari 10 hari
Amikin Injeksi: Vial Terapi pendek Sehari
(Amikasin infeksi parah 15mg/kgBB
Sulfat 250 disebabkan dibagi dalm
mg, 500 kuman gram 2 dosis.
mg dan negatif yang peka Bayi baru
1g) termasuk spesies lahir atau
pseudomonas, byi
E.Coli, Proteus prematur.
Sp, Providencia, Dosis awal:
Klebsiella, 10mg/kgBB
Enterobacter /hari diikuti
serratia, sp, dan dengan
acinobacter sp sehari
15mg/kgBB
dibagi
dalam 2
dosis
Dewasa,
anak dan
bayi yang
lebih besar:
7,5
mg/kgBB
tiap 12 jam
Bakteremia,
atau 5
septikemia,
mg/kgBB
infeksi saluran
tiap 8 jam,
nafas, tulang dan
bayi baru
Mikasin sendi berat,
lahir:
(Amikasin infeksi SSP, kulit,
10mg/kgBB
sulfat 250 Injeksi: Vial intraabdominal,
/hari
mg, 500 luka bakar
kemudian
mg) terinfeksi, infeksi
7,5
paska OP, ISK
mg/kgBB
dengan
tiap 12 jam.
komplikasi dan
Maksimal
ISK berulang
15
mg/kgBB/
hari. Lama
terapi 7-10
hari; ISK:
sehari 2x
250mg
8. Netilmi Netromyci Injeksi: Vial Infeksi bakteri BB> 50 kg,
syn n serius karena Sehari:
strain yang 2x150mg
resisten atau sehari
gentamisin 1 x 300mg,
BB<50kg
sehari:
2x100mg
atau sehari
1x200 mg.
Dosis rata-
rata 4-6
mg/kgBB/h
ari
9. Paromo Gabbroral Sirup dan Diare yang Amubiasis:
mycin (Paromom tablet disebabkan dewasa/ana
isin sulfat amuba baik akut k:25-
250mg, maupun kronik, 35mg/kgBB
125mg/5m terapi penunjang /hari, tebagi
L pada kasus koma dalam 3
hepatikum dosis
selama 5-10
hari.
Manajemen
pada koma
hepatikum:;
4g sehari
dalam dosis
terbagi, 5-6
hari
Amubiasis
intestinal,
dewasa dan
anak 25-35
mg/kgBB/h
ai terbagi
dalam 3
Terapi amebiasis dosis,
intestinal ringan selama 7-10
sampai sedang hari. Tetapi
Tablet dan yang disebabkan dapat
Gabbryl
sirup entamoeba diulangi
histolytica. Terapi dengan
penunjang untuk interval 2
koma hepatikum. minggu.
Oma
hepatikum
sehari 4g
dalam dosis
terbagi.
Selama 5-6
hari

10. B Terangkan dan Penatalaksanaan Ulkus


Ulkus plantar digolongkan berdasarkan penanganannya, yaitu ulkus
akut, ulkus kronik, ulkus complicated dan ulkus rekuren. Ulkus akut adalah
ulkus yang menunjukkan adanya infeksi akut dan peradangan akut. Daerah
terkena menjadi bengkak dan hiperemi, dan dasarnya kotor. Mungkin
dijumpai limfadenitis inguinal dan tanda serta gejala infeksi akut seperti
demam, leukositosis dsb. Ulkus kronik lebih tenang, sedikit discharge,
terdapat hiperkeratotik, dengan jaringan fibrosa yang padat dan dasar
ulkus berwarna pucat tertutup jaringan granulasi yang tidak sehat. Ulkus
tampak statis tanpa tanda-tanda menyembuh. Ulkus complicated, dapat akut
atau kronik memperlihatkan gambaran yang kompleks seperti osteomielitis,
artritis septik, dan tenosinovitis septik, sebagai akibat penyebaran infeksi ke
tulang, sendi dan tendon. Terkadang ulkus memberi gambaran seperti bunga
kol, yang biasanya –tapi tidak selalu- nonmalignan. Tetapi tidak mungkin
menentukan ganas tidaknya lesi ini hanya berdasarkan gambaran klinis.
Infeksi yang mengancam jiwa seperti gangren, tetanus dan septikemia
adalah komplikasi lain yang dapat terjadi. Lebih lanjut, gambaran
komplikasi adalah adanyadeformitas yang dapat mengakibatkan ulkus, atau
deformitas terjadi akibat ulkus terdahulu, yang saat ini menimbulkan
terjadinya ulkus rekuren. Kebanyakan ulkus plantar menjadi rekuren karena
tidak dilakukan perawatan.

Tetapi ada pula yang meskipun telah dirawat dengan baik ulkus tetap
timbul dengan mudah walau hanya berjalan jarak dekat, dan ini memerlukan
perawatan khusus, yang ditujukan untuk mencegah ulkus rekuren.
Tahap ulkus mengancam biasanya terlewati, dan bila diketahui maka
kaki harus diistirahatkan secara absolut (tidak boleh menahan beban,
berjalan atau duduk) dan dilakukan elevasi selama 48-72 jam, untuk
mencegah kerusakan jaringan lebih lanjut. Penderita diinstruksikan untuk
melakukan perawatan diri dan memakai alas kaki.
Bila ditemukan bula nekrosis, pemecahan bula harus dihindari, dan bila
terpaksa dilakukan dapat dilakukan dengan cara ditusuk dan kulit yang
terluka ditutup dengan kasa steril. Penderita juga dinstruksikan untuk
melakukan perawatan diri dan menggunakan alas kaki pelindung.
Ketika sudah terjadi ulkus yang terbuka, harus ditentukan apakah ulkus
tersebut akut, kronik, dengan komplikasi atau rekuren. Pada ulkus akut
diusahakan secepatnya mengontrol infeksi dan meminimalkan kerusakan
jaringan. Tirah baring, elevasi tungkai, irigasi serta pemakaian antibiotika
bila diperlukan. Tindakan pada kasus ini terbatas hanya untuk mengambil
jaringan yang benar-benar mati dan prosedur drainase, yang harus dilakukan
secara hati-hati. Setelah 10 hari, keadaan dievaluasi kembali.
Ulkus kronik tanpa komplikasi sulit untuk sembuh karena penderita
terus berjalan dan terjadi proses pemecahan jaringan granulasi. Tujuan
pengobatan pada tahap ini adalah melindungi ulkus selama berjalan dan
membiarkan ulkus menyembuh tanpa interfensi. Ini dapat dicapai dengan
menutup luka dengan pembalut plester dan penderita diperbolehkan berjalan
setelah jaringan mengeras. Biasanya dalam waktu 6 minggu ulkus mulai
membaik. Terkadang diperlukan perawatan 6 minggu lagi untuk
mendapatkan hasil kesembuhan yang nyata. Setelah mengangkat pembalut
penderita harus melakukan perawatan diri dan memakai alas kaki
pelindung. Untuk ulkus superfisial, pembalut plester dapat diganti dengan
plester yang mengandung zinc oksida. Plester diganti bila diperlukan
misalnya bila terdapat eksudat atau terlepas.
Plester dipakai sampai 2 minggu setelah luka menyembuh. Selama itu,
jalan harus dibatasi dan penderita harus memakai alas kaki pelindung bila
berjalan. Bial ulkus luas dan bersih penyembuhan dapat dipercepat dengan
melakukan tandur kulit dan dibalut selama 4 minggu untuk melindungi
tandur. Terkadang ulkus sulit menyembuh karena aliran darah ke telapak
kaki berkurang dari yang seharusnya. Pada kasus seperti ini dapat dilakukan
dekompresi neurovaskular tibialis posterior.
Seperti telah disebutkan terdahulu, komplikasi yang sering terajadi
adalah infeksi pada jaringan yang lebih dalam. Pada kasus seperti ini, bila
terdapat fase akut diterapi seperti ulkus akut. Bila sudah teratasi, dilakukan
evaluasi untuk mengidentifikasi komplikasi yang
timbul. Debridement dilakukan untuk infeksi yang lebih dalam. Beberapa
hari setelah prosedur ini dilakukan, ulkus dirawat seperti ulkus tanpa
komplikasi. Pada kasus ulkus seperti bunga kol harus dilakukan
pemeriksaan histopatologi untuk menentukan ganas tidaknya.
Dilakukan eksisi lokal, dan bila diperlukan dilakukan amputasi. Bila
terdapat ulkus dan deformitas, ulkus disembuhkan dahulu, baru kemudian
dilakukan koreksi deformitas.

DAFTRA PUSTAKA

Ariani, Cindy. 2012. Kadar Profil Lipid Serum sebagai salah satu faktor pada
kejadian Psoriasis. Thesis Univeristas Udayana Bali.

Departemen Kesehatan RI. Buku pedoman nasional pengendalian penyakit kusta.


Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
2007.

Djuanda, Adhi. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi keenam. Badan
penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Freddberg IM, Elsen AZ, Wolff K, et al: Fitzpatrick’s Dermatology General


Medicine, 7th edition. New York: McGraw-Hill, 2008.

Ganiswarna G Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta : Balai


Penerbit FKUI
Kosasih A, Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL.Kusta. Dalam: Adhi
Djuanda. (ed). Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi 6. Jakarta:Badan Penerbit
FKUI;2013.p.73-88.

Movita, Theresia. 2013. Acne Vulgaris. Cermin Dunnia Kedokteran Volume 40


nomor 3 tahun 2013. Hal. 269-271.

Rosmelia. 2010. Dasar-Dasar Diagnosis Dalam Dermatologi. Fakultas


Kedokteran Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Siregar, R.S. 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. EGC. Jakarta.

Sibagariang, E. E., Pusmaika, R., & Rismalinda. 2010. Kesehatan Reproduksi


Perempuan. Jakarta: Trans Info Media.
WHO. Leprosy elimination: classification of leprosy.
http://www.who.int/lep/classification/en/index.html

World Health Organization. WHO Expert committee on leprosy, eighth report.


WHO Technical Report Series. 2012.

Badan POM RI. IONI. Informatorium Obat Nasional Indonesia. 2008

Anda mungkin juga menyukai