Anda di halaman 1dari 82

KARAKTERISTIK ENDAPAN SEDIMEN KUARTER

SALO CENRANA SULAWESI SELATAN

BASO REZKI MAULANA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2017

i
KARAKTERISTIK ENDAPAN SEDIMEN KUARTER
SALO CENRANA SULAWESI SELATAN

BASO REZKI MAULANA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2017

i
KARAKTERISTIK ENDAPAN SEDIMEN KUARTER
SALO CENRANA SULAWESI SELATAN

Proposal Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi Magister Teknik Geologi


Universitas Hasanuddin

Disusun dan diajukan oleh

BASO REZKI MAULANA

kepada

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
GOWA
2017

ii
PROPOSAL TESIS

KARAKTERISTIK ENDAPAN SEDIMEN KUARTER


SALO CENRANA SULAWESI SELATAN

Disusun dan diajukan oleh

BASO REZKI MAULANA

Nomor Pokok P3000216002

Menyetujui

Komisi Penasihat,

7
r

i
Prof. Dr .rer.nat. Ir. A.M. Imran Dr. Eng. Meutia Farida. S.T., M.T
Ketua Anggota

Ketua Program Studi


Teknik Geologi,

Dr. Adi Tonggiroh, S.T . , M.

HI
PERNYATAAN KEASLIAN PROPOSAL TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Baso Rezki Maulana


Nomor Pokok : P3000216002
Program Studi : Teknik Geologi

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Proposal Tesis yang saya


tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan proposal
tesis ini hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.

Gowa, 7 Agustus 2017


Yang Menyatakan

Baso Rezki Maulana

iv
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga proposal tesis dengan judul

“Karakteristik Endapan Sedimen Kuarter Salo Cenrana Sulawesi Selatan”,

dapat diselesaikan

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan rasa hormat

dan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.rer.nat. Ir. A.M. Imran selaku

Pembimbing Utama dan Ibu Dr. Eng. Meutia Farida, S.T., M.T selaku

Pembimbing Pendamping, atas segala curahan ilmu, saran pemikiran,

motivasi dan nasehatnya sehingga proposal penilitian ini dapat terseleaikan

tepat pada waktunya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak

Dr. Eng. Asri Jaya HS, S.T., M.T, Ibu Dr. Ir. Hj. Ratna Husain L, M.T dan

Ibu Dr. Ir. Haerany Sirajuddin, M.T selaku dosen penguji, Bapak Dr. Adi

Tonggiroh, S.T., M.T selaku Ketua Program Studi Magister Teknik Geologi

Unhas dan Bapak Dr. Eng. Asri Jaya HS, S.T., M.T selaku Ketua

Departemen Teknik Geologi Unhas atas bantuan yang telah diberikan

kepada penulis dalam rangka pengumpulan informasi mengenai

permasalahan terkait penelitian ini, Bapak dan Ibu dosen Departemen

Teknik Geologi Unhas yang telah memberikan bimbingannya, Staf

Departemen Teknik Geologi Unhas, ucapan terima kasih kepada kedua

orangtua penulis atas segala dukungan yang telah diberikan kepada penulis

selama menjalani pendidikan dan penelitian, serta seluruh pihak yang tidak

v
dapat disebutkan satu persatu, atas segala bantuan dan dukungan yang

diberikan selama ini.

Akhir kata, semoga penyusunan proposal ini dapat bermanfaat bagi

seluruh pembaca, khususnya bagi penulis. Amin.

Gowa, Agustus 2017


Penulis,

Baso Rezki Maulana


NIM. P3000216002

vi
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN TUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN iv
PRAKATA v
DAFTAR ISI vii
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR x
DAFTAR LAMPIRAN xii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN xiii

BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Batasan Masalah 4
D. Manfaat Penelitian 5
E. Tujuan Penelitian 6
F. Peneliti Terdahulu 6
G. Daftar Istilah 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 9


A. Kondisi Geologi 9
B. Landasan Teori 19
1. Studi Mineral Berat 19
2. Ukuran Butir Sedimen 23
3. Analisis Geokimia (Sulfur) dan Incursion Laut 31
4. Analisis Citra Penginderaan Jauh dan GIS 32
5. Genesa dan Evolusi Danau 36
6. Iklim Purba 37

vii
halaman
BAB III. METODE PENELITIAN 48
A. Lokasi dan Kesampaian Daerah 48
B. Alat dan Bahan 50
1. Alat 50
2. Bahan 50
C. Metode Penelitian 51
1. Tahap Persiapan 51
2. Tahap Pengumpulan Data 52
3. Tahap Analisa Laboratorium 56
4. Tahap Analisa Data 57

BAB IV. PERENCANAAN WAKTU DAN BIAYA PENELITIAN 60


A. Perencanaan Waktu Penelitian 60
B. Perencanaan Biaya Penelitian 61

BAB V. PENUTUP 62

DAFTAR PUSTAKA 63

viii
DAFTAR TABEL

nomor halaman

1 Golongan mineral opak (Mottana et al., 1978) 21

2 Golongan mineral metastabil (Mottana et al., 1978) 22

3 Golongan mineral ultrastabil (Mottana et al., 1978) 23

4 Skala ukuran butir untuk sedimen, menunjukkan


kelas ukuran butir menurut Wentworth, satuan phi ()
yang sama dan nomor Ayakan Standar Amerika
Serikat dinyatakan dalam milimeter dan ukuran 
(Boggs, 2006) 25

5 Ukuran standar deviasi beserta istilah lisan/verbal-


nya (Boggs, 2006) 29

6 Nilai skewness beserta istilah verbal-nya (Folk, 1974


dalam Lewis dan McConhie, 1994) 30

7 Nilai kurtosis beserta istilah lisan/verbal-nya (Folk,


1974 dalam Lewis dan McConhie, 1994) 31

8 Rencana waktu dan tahapan penelitian 60

9 Rencana biaya kegiatan penelitian 61

ix
DAFTAR GAMBAR

nomor halaman

1 Batas-batas perkiraan bidang tergenang pada saat


kondisi Sulawesi bagian selatan berupa saluran
trans-peninsula yang memanjang dari arah
baratdaya-tenggara. (1) Lokasi bor di Rawa
Lampulung. (2) Lokasi bor di Padaelo. (Caldwell dan
Lillie, 2004) 3

2 Penyusutan luas efektif Danau Tempe (Sumber:


https://earthexplorer.usgs.gov, 2017) 11

3 Peta Geologi Sulawesi Selatan (modifikasi dari


Suyono dan Kusnama, 2010) 14

4 Rencana lokasi penelitian pada Peta Geologi


Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat
(modifikasi dari Sukamto, 1982) 18

5 Korelasi kandungan organik, pirit sulfur dan rasio


isotop sulfur (Yongjian et al., 2013) 32

6 Analisis perubahan sikuen dan pola aliran suatu


daerah dengan menggunakan analisis Citra dan SIG 34
(Yongjian et al., 2013)

7 Penentuan perubahan pola aliran paleobasin suatu


daerah dengan menggunakan analisis Citra dan SIG
(Yongjian et al., 2013) 35

8 Model perkembangan pulau terumbu karang pada


Spermonde Platform. (A) pulau Samalona dan (B)
Pulau Bone Tambung (Klerk, 1982 dalam Imran et
al., 2013) 45

9 Perbandingan Model LLN 2D NH dengan data


geologi sepanjang 400.000 tahun ke belakang
(Loutre, 2003 dalam Hero, 2017) 47

10 Peta lokasi penelitian 49

11 Percussion core untuk pengambilan sampel


endapan sedimen 54

x
12 Bagan alir penelitian 59

xi
DAFTAR LAMPIRAN

nomor halaman

Lampiran Curriculum Vitae 66

xii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN

Lambang/ Arti dan keterangan


singkatan

 phi, unit nomor ayakan standar Amerika Serikat

 standar deviasi

‘ menit, satuan sistem koordinat geografis

‘’ detik, satuan sistem koordinat geografis

° derajat, satuan sistem koordinat geografis

°C derajat celcius, satuan tingkat suhu

BT bujur timur

cm centimeter, satuan panjang

DAS daerah aliran sungai

et al. et alii, dan kawan-kawan

ha hektar are, satuan luas area

KG kurtosis

km kilometer, satuan panjang

LS lintang selatan

LU lintang utara

M molal, satuan konsenterasi zat terlarut dalam zat pelarut

m meter, satuan panjang

mdpl meter di atas permukaan laut

mm milimeter, satuan panjang

xiii
Lambang/ Arti dan keterangan
singkatan

MZ mean

Qac Quarter alluvial coastal

S ukuran butir dalam milimeter

Sk skewness

Tmpw Tersier Miosen Pliosen Walanae

ZTR zirkon, turmalin dan rutil

δ isotop unsur

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan salah satu isu terpenting dunia saat ini.

Selain pengembangan model prediksi, kajian tentang iklim masa lampau

pada berbagai lokasi di bumi dilakukan intensif dalam tiga dekade terakhir.

Kajian iklim purba juga dibutuhkan untuk memperoleh pemahaman yang

mendalam tentang sejarah panjang iklim suatu daerah (Chawchai et al.,

2013).

Perubahan iklim dari masa ke masa sangat erat kaitannya dengan

perubahan intensitas curah hujan, tutupan lahan, pelapukan dan

mekanisme transportasi sedimentasi. Jejak dari perubahan-perubahan

tersebut dapat diidentifikasi pada objek-objek tertentu seperti speleothem,

tanah, sedimen laut dan sedimen danau. Hingga saat ini sudah ribuan

kajian tentang iklim purba yang telah dilakukan di seluruh dunia. Namun

untuk daerah ekuator khususnya di Indonesia hal tersebut masih sangat

terbatas (Gagan et al., 2004; Lin et al., 2013).

Caldwell dan Lillie (2004) melakukan sebuah penelitian untuk

menguraikan hasil analisis geomorfologi dan gabungan sejarah, serta

evaluasi ulang studi Palaeoenvironmental yaitu di semenanjung baratdaya

Sulawesi. Pada penelitian lainnya, telah dilakukan pendekatan analisis

1
2

lingkungan (Caldwell dan Lillie, 2004), yaitu survei lubang bor dangkal

dilakukan dalam upaya untuk menentukan kemungkinan luas area dua

danau air tawar, yaitu Rawa Lampulung, di sebelah timur Sengkang

tepatnya di daerah lembah Salo Cenrana dan Danau Tempe yang terletak

di sebelah barat Sengkang (Gambar 1).

Namun, akibat kurangnya data dan pemahaman tentang perilaku iklim

purba Danau Tempe dan Salo Cenrana dalam rentang waktu interglasial-

glasial serta keterkaitannya dengan sistem iklim global menyebabkan kajian

tentang sejarah panjang iklim purba di wilayah ini masih perlu untuk

dilakukan. Selain itu, gagasan yang melatarbelakangi penelitian ini timbul

dari hasil studi literatur tentang penyelidikan endapan sedimen Kuarter

pada endapan danau untuk mengetahui perubahan lingkungan suatu

daerah serta gagasan teori dengan pendekatan aspek arkeologi yang

beranggapan tentang lingkungan purba Danau Tempe dan Salo Cenrana

sebagai daerah yang pernah menghubungkan Selat Makassar dan Teluk

Bone (Caldwell dan Lillie, 2004).

Berdasarkan hal-hal tersebut, maka diharapkan penulis dapat

memahami kondisi iklim purba daerah Danau Tempe dan Salo Cenrana

melalui pendekatan analisis sedimentologi dan palinologi secara rinci pada

endapan sedimen Kuarter di daerah penelitian.


3

Gambar 1 Batas-batas perkiraan bidang tergenang pada saat


kondisi Sulawesi bagian selatan berupa saluran trans-
peninsula yang memanjang dari arah baratdaya-
tenggara. (1) Lokasi bor di Rawa Lampulung. (2) Lokasi
bor di Padaelo. (Caldwell dan Lillie, 2004)

B. Rumusan Masalah

Keberadaan endapan sedimen Kuarter danau dapat memberikan

informasi tentang kondisi lingkungan yang berkembang pada waktu


4

sedimen tersebut diendapkan. Sedimen laut yang rentan dipengaruhi oleh

arus laut dan memiliki laju pengendapan yang relatif rendah (kecuali pada

daerah yang berdekatan muara) sangat berbeda dengan sedimen danau

yang umumnya terbentuk pada suatu sistem tertutup dan menurut Li et al.

(2006) memiliki laju pengendapan yang relatif lebih tinggi. Hal ini

menyebabkan rekaman perubahan iklim pada sedimen danau memiliki

resolusi temporal yang relatif lebih tinggi (Liu et al., 2012).

Ketersediaan informasi iklim purba wilayah ini dari berbagai proxy

tentunya merupakan hal yang penting dalam membangun dan

mempertajam wawasan tentang iklim purba Indonesia termasuk

korelasinya dengan iklim global yang terjadi pada saat itu. Permasalahan

yang muncul adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik endapan sedimen Kuarter Salo Cenrana?

2. Apakah kandungan mineral sulfur pada endapan sedimen Kuarter

dapat menyajikan informasi perubahan lingkungan pengendapan Salo

Cenrana?

3. Apakah lingkungan Salo Cenrana pernah menghubungkan Danau

Tempe dan Teluk Bone?

C. Batasan Masalah

Penelitian ini difokuskan pada aspek-aspek sedimentologi khususnya

informasi mengenai karakteristik mineral sulfur dan perubahan lingkungan

pengendapan pada endapan sedimen Kuarter untuk menjelaskan


5

perubahan kondisi lingkungan daerah Salo Cenrana Provinsi Sulawesi

Selatan, sehingga batasan masalah yang akan dikaji pada penelitian ini,

yaitu:

1. Karakteristik endapan sedimen Kuarter di Salo Cenrana.

2. Perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan karakteristik mineral

sulfur pada endapan sedimen Kuarter Salo Cenrana.

3. Model lingkungan purba Salo Cenrana dan sekitarnya berdasarkan

karakteristik mineral sulfur dari endapan sedimen sungai.

D. Manfaat Penelitian

Setelah melaksanakan penelitian ini, diharapkan penulis dapat

menentukan kondisi lingkungan purba daerah Salo Cenrana dan sekitarnya

berdasarkan kandungan mineral sulfur pada endapan sedimen Kuarter

sungai. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan pemikiran dalam pemahaman masalah status sedimentasi dan

pendangkalan, sebagai objek kajian dalam penelusuran informasi

perubahan lingkungan di masa lampau pada daerah penelitian khususnya

di Danau Tempe dan Salo Cenrana untuk rentang waktu geologi serta

dalam upaya pengurangan resiko bencana di masa yang akan datang.


6

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan-rumusan permasalahan yang dikemukakan

maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengkarakterisasi endapan sedimen Kuarter di muara Salo Cenrana.

2. Menganalisis perubahan lingkungan pengendapan berdasarkan

kandungan mineral sulfur pada endapan sedimen Kuarter Salo

Cenrana.

3. Merekonstruksi model lingkungan purba Salo Cenrana dan sekitarnya

berdasarkan kandungan mineral sulfur pada endapan sedimen sungai.

F. Peneliti Terdahulu

1. van Bemmelen (1949), melakukan penelitian tentang Evolusi zaman

Tersier dan Kuarter Sulawesi bagian Selatan.

2. Rab Sukamto (1982), melakukan pemetaan geologi regional berskala

1:250.000 di daerah Sulawesi Selatan terkhusus pada peta Lembar

Pangkajene dan Watampone bagian Barat.

3. B.K. Maloney (1992), melakukan penelitian tentang perubahan iklim di

Asia Tenggara pada Kala Holosen dengan menggunakan pendekatan

palinologi sebagai bentuk implikasi terhadap arkeologi.

4. Ian Caldwell dan Malcolm Lillie (2004), melakukan penelitian tentang

penggunaan teknik paleoenvironmental untuk menilai bukti sejarah dari


7

Sulawesi bagian baratdaya khususnya perubahan kondisi lingkungan di

daerah Danau Tempe dan Rawa Lampulung.

5. Suyono dan Kusnama (2010), melakukan penelitian tentang Cekungan

Sengkang ditinjau dari kondisi stratigrafi dan tektonik.

6. M. Kasim et al. (2016), melakukan penelitian tentang penentuan batuan

asal material sedimen berdasarkan karakteristik mineral berat dengan

studi kasus di sungai-sungai sekitar Danau Tempe Provinsi Sulawesi

Selatan.

G. Daftar Istilah

1. Batuan dasar (basement rock); batuan beku atau batuan malihan yang

secara tidak selaras menjadi alas urutan batuan sedimen yang

berstruktur kompleks atau rumit (Kurniawan et al., 2009).

2. Biostratigrafi; tubuh lapisan batuan yang dipersatukan berdasar

kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi pembeda

terhadap tubuh batuan sekitarnya (Sandi Sratigrafi Indonesia, 1996).

3. Cekungan (basin); Lekukan strata alami berukuran besar berbentuk

seperti baskom yang mengandung lapisan batubara atau endapan

berlapis lainnya; Wilayah amblesan yang luas dan kemudian terisi oleh

sedimen yang tebal; Daerah rendah yang dikelilingi perbukitan; Daerah

lekukan yang seluruhnya dikeringkan oleh aliran sungai dan anak

sungai (Kurniawan et al., 2009).


8

4. Litologi; sifat atau ciri fisik dari batuan, terdiri dari struktur, warna,

komposisi mineral, ukuran butir dan tata letak bahan-bahan

pembentuknya (Kurniawan et al., 2009).

5. Litosfer; Lapisan kulit bumi yang mudah bergerak, bersifat kaku,

mencakup kerak bumi dan selubung bagian atas; lapisan ini relatif lebih

kuat daripada astenosfer yang berada di bawahnya; lihat juga

astenosfer (Kurniawan et al., 2009).

6. Paleoklimatologi; ilmu yang mempelajari iklim suatu daerah pada masa

lampau dan dalam skala waktu geologi (Kurniawan et al., 2009).

7. Paleolimnologi; ilmu yang mempelajari sejarah geologi dan

perkembangan danau atau laut pedalaman (Kurniawan et al., 2009).

8. Perlipatan (folding); Keadaan suatu lapisan batuan yang melengkung

ke atas (antiklin) atau melengkung ke bawah (sinklin) akibat adanya

gaya tekan hasil kegiatan tektonik (Kurniawan et al., 2009).

9. Provenans (provenance); batuan sumber yang menjadi sumber

sedimen (Pettijohn, 1975).

10. Sesar (fault); rekahan-rekahan dalam kulit bumi yang mengalami

pergeseran yang arahnya sejajar dengan bidang rekahannya satu

terhadap yang lainnya (Kurniawan et al., 2009).

11. Stratigrafi; ilmu yang membahas aturan, hubungan dan kejadian

(genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu

sedangkan dalam arti sempit ialah ilmu pemerian lapisan-lapisan

batuan (Sandi Sratigrafi Indonesia, 1996).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Geologi

Kondisi topografi Kabupaten Wajo khususnya daerah Kecamatan

Tempe berada pada ketinggian kurang dari 500 mdpl. Struktur wilayah

terdiri atas dataran rendah, berada pada pesisir Danau Tempe, Danau

Buaya dan Danau Lampulung. Keadaan topografi wilayah di sekitar Danau

Tempe secara umum relatif datar. Sungai yang menuju ke danau terdiri dari

23 sungai, yang termasuk dalam DAS Bila dan DAS Walanae. Danau

Tempe termasuk tipe danau eutropis, yaitu tipe danau yang berbentuk

cawan yang datar dengan karakteristik tersedianya lahan pasang surut

yang luas di sekitar danau (Gambar 2). Danau Tempe terletak pada dataran

rendah, yang merupakan tempat menampung air Sungai Bila, Sungai

Walennae dan sungai-sungai kecil di sekitarnya dengan Salo Cenrana

sebagai satu-satunya outlet dari danau menuju Teluk Bone (BAPPEDA,

2006).

Wilayah Danau Tempe relatif kering dengan curah hujan bulanan rata-

rata kurang dari 100 mm. Daerah ini termasuk daerah peralihan antara iklim

barat dan iklim timur di Sulawesi Selatan. Musim kemarau terjadi dua kali

yaitu pada Bulan Januari – Februari dan Bulan Agustus – Oktober. Suhu

rata-rata pada siang hari berkisar antara 34-35°C dengan kelembaban

9
10

sekitar 85-90%. Dengan demikian daerah ini merupakan daerah yang relatif

kering dengan kelembaban yang tinggi. Saat musim hujan, volume air yang

mengalir masuk ke danau akan lebih banyak dibandingkan dengan volume

air yang keluar melalui Salo Cenrana (BAPPEDA, 2006).

Pada Danau Tempe, ditemukan 14 jenis mineral berat, yaitu: zirkon,

turmalin dan rutil (ZTR) sebagai mineral ultra stabil. Mineral yang metastabil

berupa mineral epidot, olivin, hipersten, augit, hornblende, biotit, casiterit,

brookit dan apatit, serta mineral opak berupa magnetit dan iron oxide.

Batuan sumber mineral diindikasikan berasal dari batuan beku yang bersifat

asam – basa dan batuan metamorf (Kasim et al., 2016).

Pada bagian utara lembah Walanae yang memisahkan kedua

pegunungan tersebut, lebih lebar daripada bagian selatannya. Di tengah

lembah terdapat Sungai Walanae yang mengalir ke arah utara. Di bagian

selatan berupa perbukitan rendah dan di bagian utara berupa dataran

aluvial yang sangat luas mengelilingi Danau Tempe.

Bedasarkan hasil analisis polen di Thailand dan Sulawesi, diketahui

bahwa permukaan laut di daerah Asia Tenggara berangsur stabil pada

sekitar 4.000 tahun yang lalu (Maloney, 1992). Hal ini didukung oleh

keberadaan vegetasi mangrove di Rawa Lampulung, Sulawesi, yang

dketahui telah ada sejak 7.100 – 2.600 tahun yang lalu, sedangkan

keberadaan rawa air tawar di sekitar Danau Tempe muncul sekitar 4.500

tahun yang lau. Gremmen kemudian menghubungkan hal tersebut dengan


11

perbedaan variasi kondisi tanah, elevasi dan hidrologi setempat (Maloney,

1992).

Gambar 2 Penyusutan luas efektif Danau Tempe (Sumber:


https://earthexplorer.usgs.gov, 2017)

Caldwell dan Lillie (2004) melakukan sebuah penelitian untuk

menguraikan hasil analisis geomorfologi dan gabungan sejarah, serta

evaluasi ulang studi Palaeoenvironmental yaitu di semenanjung baratdaya

Sulawesi. Survei lubang bor yang dilakukan oleh Caldwell dan Lillie (2004)

mengindikasikan bahwa pengaruh/kontrol musim sangat kuat terhadap

perubahan yang terjadi di Danau Tempe, sehingga perubahan yang terjadi


12

di daerah ini lebih bersifat musiman dan tidak permanen, fluktuasi di Danau

Tempe dapat menjelaskan rekaman sejarah perubahan dimensi danau.

Akhir dari aktivitas gunungapi pada Kala Miosen Awal diikuti oleh

aktivitas tektonik yang menyebabkan terjadinya permulaan terban

Walanae. Terban Walanae ini memanjang dari utara ke selatan lengan

Sulawesi bagian Barat sehingga struktur sesar ini sangat berpengaruh

terhadap struktur geologi sekitarnya. Proses tektonik ini juga yang

menyebabkan terbentuknya cekungan tempat pembentukan Formasi

Walanae. Peristiwa ini berlangsung sejak awal Miosen Tengah dan

menurun perlahan selama proses sedimentasi hingga Kala Pliosen

(Sukamto, 1982).

Sesar utama yang berarah utara – baratlaut terjadi sejak Miosen

Tengah dan tumbuh sampai Post-Pliosen. Adanya perlipatan besar yang

berarah hampir sejajar dengan sesar utama diperkirakan terbentuk

sehubungan dengan adanya tekanan mendatar berarah timur – barat pada

kala sebelum Pliosen Atas. Perlipatan dan pensesaran yang relatif lebih

kecil di bagian timur Lembah Walanae dan di bagian barat pegunungan

barat, yang berarah baratlaut – tenggara dan merencong (Sukamto, 1982).

Secara lokal, batuan karbonat terumbu dari Anggota Tacipi terbentuk

pada Cekungan Sengkang timur, di mana fasies laut dangkal ini

diinterpretasikan tertindih selaras oleh batulempung karbonatan Formasi

Walanae berumur Miosen Akhir. Batulempung terakumulasi pada Depresi

Walanae yang tersesarkan pada bagaian utara Pegunungan Bone. Selama


13

Kala Pliosen, evolusi struktural Sulawesi Selatan ditandai dengan

deformasi compressive (Suyono dan Kusnama, 2010).

Zona Sesar Walanae merupakan sebuah sistem patahan yang

berarah dari utara baratlaut – selatan menenggara dan memisahkan bagian

timur dan barat Sulawesi Selatan dan mengakibatkan deposisi pada Miosen

Akhir sampai Kuarter (Gambar 3). Grainge dan Davies (1985)

mengemukakan bahwa sesar ini terdiri dari dua komponen utama, yaitu

bagian barat yang dikenal sebagai West Walanae Fault (WWF) dan bagian

timur yang dikenal sebagai East Walanae Fault (EWF). Patahan ini

kemudian membagi dua cekungan yang berada di EWF yaitu Cekungan

Sengkang Barat dan Timur (WSB dan ESB). Cekungan Sengkang barat

terdiri dari depresi Walanae dan Danau Tempe (Suyono dan Kusnama,

2010).

Cekungan Sengkang atau Depresi Walanae dibentuk oleh sistem

sesar yang mengarah dari utara baratlaut – selatan menenggara Zona

Walanae, cekungan ini berkembang sebagai lembah foreland pada Neogen

Akhir dan tersusun oleh sedimen klastik yang mengandung fosil berumur

Miosen Akhir.
14

Gambar 3 Peta Geologi Sulawesi Selatan (modifikasi dari Suyono


dan Kusnama, 2010)

Sarasin dan Sarasin (1901) menamai endapan klastik yang mengisi

cekungan endogen Neogene Akhir di Sulawesi Selatan, Barat dan

Tenggara, sebagai "Celebes Mollase" (van Bemmelen, 1949). Kemudian,

Hoen dan Zyegler (1917) menggunakan istilah "Formasi Walanae" untuk

endapan moluska syn-orogenic di Sulawesi Selatan. Istilah ini digunakan

untuk urutan sikuen yang berkembang pada Depresi Walanae dan

extension pada bagian utara Cekungan Sengkang pada Miosen Akhir


15

sampai Holosen (Suyono dan Kusnama, 2010). Pada pusat Cekungan

Sengkang Barat, Formasi Walanae terdiri dari rangkaian sikuen yang

selaras dan menerus sampai ke dataran tinggi dan di sekitar Danau Tempe.

Selain itu, pada bagian bawah Formasi Walanae terdapat reef talus dari

batugamping Tacipi yang menjemari dengan batulempung (Sukamto,

1982).

Stratigrafi daerah penelitian termasuk pada Peta Geologi Lembar

Pangkajene dan Watampone bagian Barat, yaitu sebagai berikut; Tmpw:

Formasi Walanae; terdiri dari batupasir berselingan dengan batulanau, tufa,

napal, batulempung, konglomerat dan batugamping. Qac: Endapan Aluvial

dan Pantai, terdiri dari lempung, lanau, lumpur, pasir, kerikil di sepanjang

sungai–sungai besar serta pantai. Endapan pantai setempat mengandung

sisa kerang dan batugamping koral (Sukamto, 1982).

Fosil foram kecil banyak ditemukan di dalam napal dan sebagian

batugamping; setempat moluska ditemukan melimpah di dalam batupasir,

napal dan batugamping; di daerah selatan setempat ditemukan ada

tumbuhan di dalam batupasir silangsiur dan beberapa lensa batubara di

dalam batulempung; batulanau ditemukan di dalam batupasir dekat

Pompanua dan Sengkang, daerah utara, selain itu pada formasi ini

ditemukan fosil-fosil lain seperti moluska, ganggang dan koral (Kadar, 1973,

Purmaningsih dan Karmini, 1974 dalam Sukamto, 1982). Bagian bawah

formasi ini diperkirakan menjemari dengan Formasi Camba dan bagian


16

atasnya menjemari dengan Batuan Gunungapi Parepare; tebal diperkirakan

<4.500 m (Sukamto, 1982).

Formasi Walanae secara umum terbagi menjadi Batugamping Tacipi,

Batulempung Karbonatan Burecing, Samaoling Sandy Marine dan Anggota

Klastik Fluvial Beru (Suyono dan Kusnama, 2010). Di daerah Soppeng,

pada Cekungan Sengkang Barat di bagian bawah Formasi Walanae

dominan disusun oleh batuan sedimen berupa batulempung karbonatan

berwarna abu-abu, yang juga dikenal sebagai anggota Burecing. Sebaran

batuan ini juga dapat ditemukan di sepanjang Sungai Lakebong, Sungai

Walanae dan Sungai Parenring. Kandungan moluska dan serbuk sari

(polen) cenderung menunjukkan lingkungan pengendapan laut dan transisi

(Suyono dan Kusnama, 2010).

Samaoling Sandy Marine merupakan anggota Formasi Walanae yang

terletak di bagian tengah formasi dan dicirikan oleh perubahan pada

batulempung karbontan menjadi batupasir halus. Batupasir pejal dengan

struktur acak, mendominasi bagian bawah lapisan batuan. Dalam urutan

yang sama, interkalasi antara batupasir berbutir halus yang tipis dan

batulanau secara jelas tersingkap dengan struktur ripple dan cross

lamination. Bagian tengah dari sikuen ini ditandai dengan laminasi paralel

pada batulanau dan batulempung. Endapan bagian atas terdiri dari

batupasir shallow marine yang kemungkinan terendapkan di daerah

shallow marine shelf, di sebuah laguna atau daerah yang dipengaruhi

pasang surut (Suyono dan Kusnama, 2010).


17

Anggota Beru menindih tidak selaras Anggota Samaoling, membentuk

bagian atas Formasi Walanae. Sartono (1979) berpendapat bahwa anggota

ini didominasi oleh batupasir yang merupakan produk dari endapan

Pleistosen Akhir yang kemudian tersingkap sebagai endapan teras. Di sisi

lain, Anggota Beru yang merupakan bagian atas dari Formasi Walanae,

berkembang di sebelah barat Lipatan Antiklin Sengkang dan daerah di

sekitarnya.

Anggota Beru tersingkap dengan baik di Desa Lepangeng

(04º23'19,2" LS dan 120º02'19,4" BT) yang ditandai oleh batupasir

berukuran sedang – kerikil, menunjukkan struktur sedimen yang besar dan

acak. Gejala deformasi oleh aktivitas tektonik, ditunjukkan oleh adanya

kemiringan batupasir dengan bedding dip antara 54º dan 60º ke arah

baratdaya. Sekitar 30 m ke arah barat, sebuah rangkaian sistem sikuen

berupa struktur mud drape tersingkap pada batupasir halus. Stratigrafi pada

bagian barat Lipatan Antiklin Sengkang menunjukkan adanya perubahan

antara lapisan fluida dan endapan laguna atau muara, yang

mengindikasikan bahwa daerah tersebut merupakan zona transisi antara

lingkungan laguna/muara dan fluvio-lacustrine (Suyono dan Kusnama,

2010).
18

Gambar 4 Rencana lokasi penelitian pada Peta Geologi Lembar


Pangkajene dan Watampone Bagian Barat (modifikasi
dari Sukamto, 1982)

Anggota Beru yang lebih rendah tersingkap di dekat Desa Paroto,

yang terdiri dari batupasir halus dengan struktur mud drape. Bagian tengah

Anggota Beru tampak telah tererosi dan mengalami perubahan dari

lingkungan pasang surut menjadi point bar atau bench yang terus berlanjut

hingga cekungan mengalami pengangkatan (uplift). Mega-ripple cross

bedding di zona transisi antara Anggota Beru dan Samaoling menunjukkan

terjadinya fluktuasi arah paleo-current terhadap tren dari timur – barat.

Selama pengendapan anggota ini, bagian utara Cekungan Sengkang

secara berangsur-angsur berubah dari lingkungan pasang surut dan delta

menjadi lingkungan fluvial. Sikuen ini sebagian besar terdiri dari batupasir
19

kasar dan berselingan dengan konglomerat. Bagian sikuen stratigrafi ini

dijumpai di Desa Lenrang.

Berdasarkan komposisi, struktur sedimen, sebaran lateral dan lapisan

tipis endapan, daerah pengendapan diinterpretasikan sebagai point bar

dengan energi transportasi yang tinggi pada sistem Sungai Paleo Walanae

yang berkelok-kelok (Suyono dan Kusnama, 2010).

B. Landasan Teori

1. Studi Mineral Berat

Mineral berat (heavy mineral) merupakan mineral yang memiliki berat

jenis >2,58. Mineral berat merupakan mineral tambahan yang

konsentrasinya <1%. Meski berjumlah kecil, mineral berat sangat berperan

dalam studi provenans, selain itu sejarah transportasi, pelapukan sedimen

serta studi korelasi dan paleogeografi juga memanfaatkan mineral berat.

Bentuk fisik dari mineral berat mencerminkan tingkat intensitas abrasinya

(Pettijohn, 1975).

Unsur-unsur yang relatif konservatif berupa mineral berat, seperti

zirkon (Zr [SiO4]), rutil dan anatase seperti TiO2, (Zabel et al., 2001). Sebuah

afiliasi sama yang tepat dari Al dan K untuk fase mineral tertentu tidak ada.

Konsentrasi Al dalam sedimen laut umumnya dapat berupa fraksi detrital

aluminosilikat halus (Zabel et al., 2001). Rasio Ti/Al dan Zr/Al umumnya

dapat mencerminkan ukuran butir dan dapat dikaitkan terhadap kekuatan


20

proses transportasi (Zabel et al., 2001). Faktor-faktor yang mempengaruhi

frekuensi dan variasi mineral berat, yaitu:

a. Litologi daerah asal dan kelimpahan mineral

b. Kondisi kimiawi lingkungan pengendapan

c. Proses fisis selama transportasi

d. Kestabilan diferensial mineral

e. Faktor yang berlangsung setelah pengendapan

Jenis-jenis mineral yang dapat digunakan dalam pengamatan smear

slide, antara lain:

1) Mineral Opak

Mineral opak atau opaq ialah salah satu jenis mineral yang memiliki

berat jenis yang sangat tinggi, hal ini karena mineral opak dominan

mengandung unsur besi atau Fe. Mineral ini memiliki sifat kejernihan

yang buram, sehingga tidak dapat ditembus oleh cahaya.


21

Tabel 1. Golongan mineral opak (Mottana et al., 1978)

Mineral Ciri-ciri
 Hitam besi, pecahan conchoidal
Ilmenit  Cerat hitam kecoklatan
(FeTiO3)  Berbentuk amorf dengan sifat dalam yang rapuh
 Kemagnetan termasuk golongan diamagnetik
 Kilap logam dengan warna hitam
Magnetit  Isometrik dan tidak ada belahan
(Fe+2Fe+32O4)  Memiliki sifat dalam dapat ditempa
 Kemagnetan termasuk golongan ferromagnetik
 Kilap logam dengan warna abu-abu perak
Hematit  Cerat merah kecoklatan
(Fe2O3)  Hexagonal, tanpa belahan dan dengan pecahan uneven
 Kemagnetan termasuk golongan diamagnetik
 Kilap logam, warna kuning keemasan dan pucat
Pirit  Cerat hitam kehijauan, pecahan conchoidal
(FeS2)  Bentuk isometrik dengan sifat dalam brittle
 Kemagnetan termasuk golongan diamagnetik
 Kilap logam, warna kuning gelap
Kalkopirit  Cerat hijau tua, pecahan conchoidal
(CuFeS2)  Bentuk isometrik dengan sifat dalam rapuh
 Kemagnetan termasuk golongan ferromagnetik

2) Kelompok Metastabil

Mineral metastabil merupakan mineral-mineral yang memiliki sifat fisik

sedikit keras hingga keras, dimana kekerasannya dapat disebabkan

oleh beberapa proses yang berlangsung, baik proses internal maupun

proses eksternal.
22

Tabel 2. Golongan mineral metastabil (Mottana et al., 1978)

Mineral Ciri-ciri
 Warna hijau kekuningan
 Sistem kristal ortorombik
Olivin
 Pecahan conchoidal, kilap kaca
(Mg,Fe)2SiO4
 Umum dijumpai pada batuan beku basa-ultrabasa dan
batuan metamorf
 Warna hitam kehijauan hingga merah kecoklatan
 Prismatik, sistem kristal oktagonal, cerat putih
Piroksen
 Kilap kaca, pecahan tidak rata-subconchoidal
CaMgSi2O6
 Umum dijumpai pada batuan beku basa-ultrabasa dan
batuan metamorf
 Warna merah gelap-merah kecoklatan
 Granular, isometrik dan tanpa belahan
Garnet
 Kilap kaca hingga damar, pecahan subconchoidal
Mg3Al2(SiO4)3
 Umum dijumpai pada batuan beku basa-ultrabasa dan
batuan metamorf
 Warna kuning, hijau, coklat dan kadang merah atau biru
Grup Apatit  Prismatik panjang, sistem kristal heksagonal, granular
A5(XO4)3(F,Cl,OH)  Kilap kaca hingga damar, pecahan conchoidal
A = Ca, Sr, Pb, Na, K  Belahan satu arah, cerat berwarna putih
X = P, As, V, Si  Umum dijumpai pada batuan sedimen laut dalam
(organogenetic deposits), dan batuan metamorf
 Warna hijau kekuningan hingga hijau kecoklatan
 Prismatik, berserat, sistem kristal monoklin
Epidot  Kilap lemak hingga kaca, belahan satu arah
Ca2(Al,Fe)3Si3O12(OH)  Pecahan tidak rata hingga conchoidal
 Umum dijumpai pada batuan beku basa-ultrabasa dan
batuan metamorf
 Warna kuning keabu-abuan hingga biru kehijauan
 Prismatik lonjong, striasi vertikal, sistem kristal ortorombik
Zoisit  Kilap lemak hingga kaca
Ca2Al3(Si3O12)(OH)  Pecahan tidak rata hingga subconchoidal, belahan satu
arah
 Umum dijumpai pada batuan metamorf
 Warna putih hingga hijau kekuningan
 Tabular, sistem kristal triklin, belahan satu arah
Kyanit
sempurna, cerat berwarna putih
Al2SiO5
 Kilap mutiara hingga kaca, pecahan tidak rata
 Umum dijumpai pada batuan metamorf (sekis)
23

3) Mineral Ultrastabil

Mineral ultrastabil merupakan mineral-mineral yang memiliki sifat fisik

sangat keras, inert dan resisten terhadap beberapa kali proses

reworking atau pembentukan ulang.

Tabel 3. Golongan mineral ultrastabil (Mottana et al., 1978)

Mineral Ciri-ciri
 Jernih-kuning, hijau atau kadang coklat atau biru
 Kilap kaca hingga andamantin/damar
Zirkon (ZrSiO4)
 Prismatik, tetragonal, granular
 Pecahan subconchoidal hingga tidak rata
Grup Tourmalin  Kuning anggur kecoklatan
(Na,Ca)  Hexagonal, prismatik memanjang/meniang
(Mg,Fe2+,Fe3+,Al,Mn,Li)3
Al6(BO3)3 (Si6O18)
 Kilap damar hingga kaca
(OH,F)4  Transparan, pecahan tidak rata hingga conchoidal
 Coklat atau coklat kemerahan
 Tetragonal bipiramidal, ramping, striasi memanjang
Rutil (TiO2) prisma serta kompak/masif
 Kilap andamantin hingga submetalik
 Belahan Sempurna

Selain mineral berat tersebut, material terrigeneous lain (seperti

kuarsa, feldspar dan fragmen batuan) dapat digunakan sebagai studi

provenans.

2. Ukuran Butir Sedimen

Grain size adalah sifat dasar batuan sedimen silisiklastik dan menjadi

salah satu sifat deskriptif yang penting batuan tersebut (Boggs, 2006). Ahli

sedimentologi secara umum mengaitkan tiga aspek ukuran partikel, yaitu:

1 Teknik mengukur ukuran butir dan menyatakannya dalam istilah

beberapa tipe ukuran butir atau skala tingkat.


24

2 Metode untuk meringkas data yang banyak dan menyajikannya dalam

bentuk grafik atau statistik sehingga akan lebih mudah dianalisa.

3 Kegunaan data ukuran butir.

Beberapa ukuran butir atau tingkat skala telah dikembangkan, tetapi

skala yang paling banyak digunakan secara universal oleh ahli

sedimentologi adalah skala Udden-Wentworth. Skala ini, pertama kali

diusulkan oleh Udden pada 1898 kemudian dimodifikasi dan dikembangkan

oleh Wentworth pada tahun 1922, di mana skala geometri pada tiap nilai

tersebut dua kali lebih besar dari nilai terdahulu (Tabel 4). Skala Udden-

Wentworth berkisar dari >1/256 mm (0,0039 mm) sampai >256 mm dan

terbagi menjadi empat kategori utama (lempung, lanau, pasir dan kerikil).

Kegunaan dari modifikasi skala Udden-Wentworth adalah skala phi

logaritma, yang mana data ukuran butir dinyatakan dalam satuan angka

yang sama untuk tujuan plotting grafik dan perhitungan statistik. Skala ini

diusulkan oleh Krumbein pada tahun 1934 (Boggs, 2006), berdasarkan

hubungan berikut:

 = -log2 S

dimana  adalah ukuran phi dan S adalah ukuran butir dalam milimeter.

Ukuran phi () dan milimeter yang setara ditunjukkan pada Tabel 4.
25

Tabel 4. Skala ukuran butir untuk sedimen, menunjukkan kelas


ukuran butir menurut Wentworth, satuan phi () yang sama
dan nomor Ayakan Standar Amerika Serikat dinyatakan
dalam milimeter dan ukuran  (Boggs, 2006)
26

Ukuran butir dapat dipresentasekan menggunakan bahasa

matematika dan grafik. Terdapat tiga metode grafik yang umum digunakan

(Boggs, 2006), yaitu:

a) Histogram

Histogram didapatkan dari persentase berat individu yang diplot ke dalam

grafik. Histogram ukuran butir merupakan sebuah diagram batang dimana

ukuran butir diplot pada sumbu absis dari grafik dan persentase berat

individu pada sepanjang sumbu ordinat. Histogram menyediakan metode

bergambar yang cepat dan mudah untuk menggambarkan distribusi ukuran

butir karena perkiraan ukuran butir rata-rata dan sortasi/pemilahan dapat

terlihat secara sepintas. Histogram memiliki penggunaan yang terbatas,

karena bentuk dari histogram dibuat berdasarkan interval ayakan

menggunakan grafik, sehingga tidak dapat digunakan untuk memperoleh

nilai matematika untuk perhitungan statistik.

b) Kurva Frekuensi

Kurva frekuensi merupakan cerminan histogram yang sangat utama dimana

kurva halus menunjukkan batang grafik yang tidak menerus. Titik yang

saling terhubung dari tiap kelas pada histogram dengan kurva halus

memberikan perkiraan bentuk kurva frekuensi. Akan tetapi posisi dari poin

terbesar pada kurva akan tergambar dengan teliti. Histogram ukuran butir

diplot dari data yang diperoleh dari pengayakan/sieving pada interval

ayakan yang sangat kecil dan menghasilkan perkiraan bentuk kurva


27

frekuensi. Ketepatan kurva frekuensi dapat berasal dari kurva kumulatif

dengan metode grafik khusus yang digambar secara detail oleh Folk (1974).

c) Kurva Kumulatif

Kurva kumulatif ukuran butir dihasilkan dengan memplot ukuran butir dan

berlawanan dengan frekuensi persentase berat kumulatif. Kurva ini tidak

berkaitan dengan interval ayakan. Selain itu, data yang diperoleh dari kurva

kumulatif memungkinkan untuk dilakukan perhitungan pada beberapa

ukuran butir yang penting dalam parameter statistik. Kurva kumulatif dapat

diplot pada skala ordinat aritmatika atau pada skala log dimana ordinat

aritmatika digantikan dengan ordinat log. Ketika data ukuran-phi telah diplot

pada ordinat aritmatika, kurva kumulatif memiliki bentuk “S”. Slope pada

bagian tengah kurva menunjukkan sortasi dari sampel. Slope yang sangat

curam mengindikasikan sortasi baik dan slope yang sangat landai/rendah

menunjukkan sortasi buruk. Jika kurva kumulatif telah diplot pada kertas

log, bentuk kurva akan cenderung ke arah garis lurus jika jumlah butiran

mengalami distribusi yang normal. Pada distribusi normal, nilainya

menunjukkan distribusi yang datar, lebar atau nilai rata-rata. Dalam statistik

konvensional, populasi yang didistribusikan secara normal dari nilai yang

diplot pada kurva frekuensi akan menghasilkan kurva berbentuk bel

sempurna. Deviasi/penyimpangan dari distribusi ukuran butir secara normal

dapat dengan mudah dilihat pada plot log dengan deviasi pada kurva

kumulatif dari garis lurus. Sebagian besar populasi normal dari butiran

dalam sedimen silisiklastik atau batuan sedimen tidak memiliki distribusi


28

normal. Bentuk dari kurva log mencerminkan kondisi dari proses

transportasi sedimen dan dengan demikian dapat digunakan sebagai alat

dalam penentuan lingkungan pengendapan.

Terdapat tiga pengukuran matematika dari ukuran butir rata-rata yang

umum digunakan (Boggs, 2006), yaitu:

a) Mode

Frekuensi terbanyak yang terdapat pada ukuran butir dalam sebuah

populasi butiran. Diameter dari ukuran mode yang sesuai dengan diameter

butiran digambarkan oleh titik yang paling curam (titik infleksi) pada kurva

kumulatif. Sedimen silisiklastik dan batuan sedimen cenderung memiliki

sebuah ukuran mode, tetapi beberapa sedimen memiliki dua mode/bimode,

dengan satu mode pada bagian akhir yang kasar dari distribusi ukuran butir

dan satu mode lagi pada bagian akhir yang halus. Bahkan beberapa

diantaranya merupakan polimode.

b) Median

Titik tengah dari distribusi ukuran butir. Sebagian dari butiran dengan berat

yang lebih besar dari median dan sebagian lainnya memiliki berat yang

lebih kecil. Median sama dengan diameter 50 persentil pada kurva

kumulatif.

c) Mean

Rata-rata aritmatika dari seluruh ukuran butir pada sampel. Mean aritmatika

yang sebenarnya dari sebagian besar sampel sedimen tidak dapat

ditentukan. Hal ini karena angka total dari butiran pada sebuah sampel
29

(tiap-tiap butiran kecil) tidak dapat dihitung atau diukur. Perkiraan dari mean

aritmatika dapat ditentukan dari pengambilan nilai persentil yang terpilih dari

kurva kumulatif dan nilai rata-rata.

Sortasi/pemilahan dari populasi butiran adalah pengukuran range dari

persentase butiran dan besar penyebarannya, dimana ukuran-ukuran ini

berada di sekitar mean. Sortasi dapat diperkirakan di lapangan atau dalam

laboratorium dengan menggunakan kaca pembesar atau dengan

mikroskop dan dapat digunakan dalam bagan estimasi visual.

Penentuan sortasi yang lebih akurat memerlukan perhitungan

matematika pada data ukuran butir. Pernyataan matematika dari sortasi

adalah standar deviasi. Pada statistik konvesional, satu standar deviasi

meliputi 68% bagian tengah dari area di bawah kurva frekuensi. 68% dari

nilai ukuran butir tergantung pada plus atau minusnya suatu standar deviasi

pada mean. Istilah verbal untuk sortasi yang sesuai dengan beragam nilai

dari standar deviasi ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Ukuran standar deviasi beserta istilah lisan/verbal-nya


(Boggs, 2006)

Standar Deviasi Verbal Terms Istilah Verbal


<0,35ϕ Very well sorted Sortasi sangat baik
0,35 – 0,50ϕ Well sorted Sortasi baik
0,50 – 0,71ϕ Moderately well sorted Sortasi sedang baik
0,71 – 1,00ϕ Moderately sorted Sortasi sedang
1,00 – 2,00ϕ Poorly sorted Sortasi buruk
2,00 – 4,00ϕ Very poorly sorted Sortasi sangat buruk
>4,00ϕ Extremely poorly sorted Sortasi sangat amat buruk
30

Sebagian besar populasi ukuran butir sedimen biasa tidak

memperlihatkan distribusi ukuran butir normal atau normal-log. Kurva

frekuensi pada beberapa populasi tidak normal bukan merupakan kurva

berbentuk lonceng sempurna, melainkan menunjukkan kondisi yang tidak

simetris beberapa derajat, atau skewness/kecondongan. Mode, mean, dan

median dalam populasi skewness ukuran butir, semuanya berbeda.

Skewness mencerminkan sortasi pada bagian akhir dari populasi ukuran

butir. Populasi yang memiliki butiran halus berlebih pada bagian akhir

disebut sebagai skewness positif atau skewness halus, artinya skewness

dengan nilai ke arah positif. Populasi yang memiliki butiran kasar yang

berlebih pada bagian akhir adalah skewness negatif atau skewness kasar.

Skewness verbal/lisan berhubungan dengan nilai perhitungan skewness

yang akan ditunjukkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai skewness beserta istilah verbal-nya (Folk, 1974 dalam


Lewis dan McConhie, 1994)

Skewness Verbal Skewness Verbal Skewness


> + 0,30 Strongly fine skewed Skewness sangat halus
+0,30 hingga +0,10 Fine skewed Skewness halus
+0,30 hingga –0,10 Near symmetrical Mendekati simetris
–0,10 hingga –0,30 Coarse skewed Skewness kasar
< –0,30 Strongly coarse skewed Skewness sangat kasar

Kurva ukuran butir dapat menunjukkan berbagai derajat dari

ketajaman atau keruncingan puncak. Derajat keruncingan puncak disebut

kurtosis. Kurva tajam-runcing disebut leptokurtik; kurva runcing-datar

disebut platykurtik. Meskipun kurtosis umumnya dihitung bersama dengan


31

parameter ukuran butir lainnya, makna geologinya belum diketahui dan

diindikasikan memiliki sedikit nilai dalam studi ukuran butir (Boggs, 2006).

Tabel 7. Nilai kurtosis beserta istilah lisan/verbal-nya (Folk, 1974


dalam Lewis dan McConhie, 1994)

Kurtosis Verbal Kurtosis Kurtosis Verbal


< 0.67 Very platykurtic Sangat platykurtic
0.67 hingga 0.90 Platykurtic Platykurtic
0,90 hingga 1,11 Mesokurtic Mesokurtic
1,11 hingga 1,50 Leptokurtic Leptokurtic
1.50 hingga 3.00 Very leptokurtic Sangat leptokurtic
>3.00 Extremely leptokurtic Sangat amat leptokurtic

3. Analisis Geokimia (Sulfur) dan Incursion Laut

Perbedaan dan perubahan kadar sulfur pada endapan sedimen dapat

digunakan untuk membedakan/menentukan jenis lingkungan pengendapan

material sedimen suatu daerah berupa air tawar (fresh water) atau air laut

(marine). Konsentrasi sulfur air danau akan meningkat dan sifat geokimia

sulfur akan berubah jika danau tersebut terhubung dengan lautan terbuka

(Yongjian et al., 2013). Skenario incursion lautan di suatu daerah dapat

dijelaskan lebih detail dengan menggunakan kombinasi rekaman rasio pirit-

sulfur dan kurva akomodasi (Yongjian et al., 2013). Kejadian incursion laut

dianggap sebagai faktor penyebab perubahan salinitas suatu cekungan

yang terjadi selama kontrol pengendapan material sedimen serta akibat

kontrol iklim purba, seperti peningakatan rasio penguapan/pengendapan

(Yongjian et al., 2013), dimana iklim purba kemungkinan mempengaruhi

pembentukan isotop pirit-sulfur di suatu danau. Selama proses


32

pengendapan berlangsung, kondisi air tanah yang sangat dangkal akan

mengakibatkan pengurangan sulfur yang terjadi di bawah permukaan air-

sedimen. Pada kondisi tersebut, reduksi sulfur pada daerah yang berupa

sistem tertutup seperti danau umumnya memiliki konsentrasi sulfur yang

rendah terutama pada saat laju sedimentasi tinggi (Gambar 5).

Gambar 5 Korelasi kandungan organik, pirit sulfur dan rasio isotop


sulfur (Yongjian et al., 2013)

4. Analisis Citra Penginderaan Jauh dan GIS

Analisis citra penginderaan jauh (citra radar dan radar imagery) dan

GIS (deliniasi jaringan hidrologi) dapat digunakan untuk memetakan

Paleoriver suatu daerah dengan memfokuskan pada evolusi geomorfologi


33

selama Neogen. Fitur geomorfologi purba di suatu daerah sangat

dipengaruhi oleh kondisi iklim dan ada atau tidaknya tutupan vegetasi di

daerah tersebut, sehingga akan dapat dibedakan dengan menggunakan

data satelit. Data penelitian dapat diperoleh dengan menggunaka platform

penginderaan jarak jauh yang berbeda, seperti:

1. Radarsat-1

Data radar digunakan untuk mengungkapkan saluran yang terkubur,

fitur fluvial dan struktural tersembunyi lainnya. Data radar juga

digunakan untuk memvalidasi jaringan drainase SRTM. Data ini

memiliki resolusi spasial 25 m dan dikumpulkan pada orbital SAR

frekuensi rendah dengan menggunakan gelombang polarisasi

horizontal (HH). Jenis orbital ini memiliki kemampuan unik dalam

menembus permukaan pasir kering untuk mengungkapkan fitur bawah

permukaan yang tersembunyi.

2. Shuttle Radar Topography Mission (SRTM)

Data SRTM yang tersedia secara umum dan memiliki resolusi ruang 90

m dengan akurasi 16 m. Seperti pada Radarsat-1, SRTM menggunakan

panjang gelombang C-band untuk menembus soil dan

menggambarkan topografi permukaan (Ghoneim et al., 2012). Data

SRTM pada prinsipnya digunakan dalam analisis topografi suatu

wilayah studi, untuk menggambarkan jaringan drainase lengkap dan

daerah sistem aliran sungai suatu daerah.


34

3. Landsat ETM+

Data Multispektral Landsat ETM+ dari USGS dapat digunakan untuk

interpretasi visual fitur permukaan dan lingkungan pengendapan

(endapan fluvial dan danau) di area studi.

Semua data tersebut (Radarsat-1, SRTM dan Landsat ETM+)

diproyeksikan ke datum Universal Transverse Mercator (UTM) dan WGS84

serta disimpan dalam bentuk Sistem Informasi Geografis (SIG) untuk

memungkinkan overlay dan korelasi permukaan dan di bawah permukaan

fitur tersebut.

Gambar 6 Analisis perubahan sikuen dan pola aliran suatu daerah


dengan menggunakan analisis Citra dan SIG (Yongjian
et al., 2013)
35

Gambar 7 Penentuan perubahan pola aliran paleobasin suatu


daerah dengan menggunakan analisis Citra dan SIG
(Yongjian et al., 2013)
36

5. Genesa dan Evolusi Danau

Faktor penentu terbentuknya danau pada permukaan bumi yaitu

depresi topografi berupa cekungan yang sekelilingnya terisolasi dan terisi

oleh air (Cohen, 2003). Faktor depresi topografi tersebut terbentuk pada

kerak benua dan sering dikaitkan sebagai salah satu asal mula danau.

Evolusi cekungan danau diinterpretasi berdasarkan gabungan data

geomorfologi dan sedimentologi. Bentuk dan jenis batuan dasar danau

(spillways) digunakan pada danau yang permukaan batuan dasarnya masih

jelas, atau pada danau Pleistosen dengan kondisi geomorfologi yang masih

utuh dimana faktor eksogen belum terlalu mempengaruhi (Cohen, 2003).

Berdasarkan proses pembentukannya, maka sebagian besar danau

yang terdapat di permukaan bumi dikelompokkan menjadi tiga kategori,

yaitu cekungan danau yang terbentuk dari proses glasial, tektonik atau

fluvial (Cohen, 2003). Dari pengelompokkan tersebut, danau glasial dan

tektonik menempati hampir di seluruh permukaan bumi (Cohen, 2003).

Danau glasial menempati 48% dari luas total danau dunia, dengan

volume 22% dari volume total dunia (Cohen, 2003). Sebagian besar danau

yang terbentuk secara glasial terletak di daerah lintang 40ºN. Danau glasial

relatif sedikit dijumpai di dataran tinggi lintang selatan, hal ini disebabkan

oleh kombinasi antara luas daratan yang terbatas dan kondisi iklim yang

sangat ekstrim pada dataran tinggi kutub Antartika sehingga menghalangi

terbentuknya danau glasial (Cohen, 2003).


37

Aktivitas tektonik merupakan faktor yang paling mempengaruhi proses

evolusi sejumlah besar danau, termasuk danau terbesar, terdalam dan

paling tua di planet ini. Meski demikian jika dibandingkan dengan danau

glasial, jenis danau ini memiliki proporsi yang lebih kecil dari seluruh luas

danau yang ada, yaitu sekitar 40% dari luas total danau dunia, dengan

kedalaman rata-rata lebih besar yaitu 75% dari volume total danau dunia.

Danau jenis ini memiliki rekaman stratigrafi yang sangat baik dibandingkan

dengan jenis endapan danau lainnya (Cohen, 2003).

Proses fluvial adalah kategori terpenting ketiga dari mekanisme

pembentukan danau. Danau fluvial membentuk 8% dari total luas danau

dunia, namun hanya sekitar 0,3% dari total volume danau dunia (Cohen,

2003). Dibandingkan dengan danau glasial dan danau tektonik, danau

fluvial hampir selalu dangkal (Cohen, 2003). Danau fluvial terbentuk pada

sistem dengan agregasi fluvial yang kompetitif. Dimana sungai-sungai yang

saling berpotongan relatif disebabkan oleh perbedaan tingkat sedimentasi

dan tingkat variasi subsidence lokal. Proses ini sangat umum terjadi pada

daerah dengan suplai sedimen yang melimpah dan mobile sehingga

kedalaman dan luas danau jenis ini sangat dinamis (Cohen, 2003).

6. Iklim Purba

a. Sejarah Iklim Purba dan Penerapannya

Paleoklimatolog memanfaatkan bukti–bukti yang terekam di bumi

guna merekonstruksikan temperatur pada masa tersebut dengan cara kerja


38

yang sama seperti arkeolog yang merekonstruksi kebudayaan masa

lampau melalui artefak yang ditemukan.

Iklim meninggalkan jejak–jejaknya di bumi dalam struktur fisik dan

kimiawi yang terekam di hidrosfer, biosfer dan litosfer. Beberapa dari artefak

ini diklasifikasikan sebagai proxy iklim yang mampu mengungkapkan pola

iklim yang terjadi di seluruh bumi, sedangkan beberapa proxy lainnya

mampu mengungkapkan perubahan iklim musiman di wilayah tertentu.

Dengan membaca tanda-tanda iklim yang terekam di bumi, paleoklimatolog

mampu merekonstruksikan sejarah iklim hingga jutaan tahun silam. Ketika

dikombinasikan dengan data pengamatan iklim kontemporer melalui model

numerik iklim, data iklim purba dapat membantu para klimatolog untuk

memprediksikan iklim masa depan (Herho, 2017).

b. Proxy Penentuan Iklim Purba

 Sedimen Danau dan Laut

Metode ini mirip dengan studi proxy lain, studi iklim purba memeriksa

isotop oksigen dalam sedimen lautan dan dengan mengukur lapisan varve

(lapisan lumpur halus/kasar atau tanah liat) yang membentuk lapisan

sedimen danau (Sudibyakto, 2013).

Varve umumnya dipengaruhi oleh:

 Suhu musim panas, yang menunjukkan energi yang tersedia untuk

mencairkan salju dan es musiman.


39

 Salju pada musim dingin, yang menentukan tingkat gangguan terhadap

sedimen ketika pencairan terjadi.

 Curah hujan

Analisis sedimen tidak dapat dipisahkan dari analisis mikroba (diatom

dan formainifera), mikrobiota, pollen (serbuk sari) dan coral (karang). Hal ini

karena komponen organik dan material sedimen bersama-sama menyusun

endapan sedimen di dasar danau dan lautan. Fosil-fosil yang paling penting

dalam penyelidikan iklim masa lalu yang terdapat pada inti sedimen laut

berasal dari foraminifera. Salah satu studi kasus yaitu di lepas pantai

Inggris. Inti-inti sedimen mengandung sejumlah besar fosil foraminifera

yang hidup di kutub. Hal ini membuktikan bahwa di masa lampau daerah

tersebut pernah beriklim seperti di perairan kutub. Melalui penemuan fosil-

fosil dari spesies foraminifera yang sama di berbagai perairan di seluruh

bumi yang berumur sama, sehingga data tersebut dapat digunakan untuk

merekonstruksi periode dingin yang pernah terjadi di bumi.

Mikrofosil sendiri dapat mencatat banyak hal yang berhubungan

dengan kondisi fisik dan kimiawi lautan. Cangkang kalsium karbonat pada

foraminifera dan coccolith (nanoplankton), serta cangkang silika pada

radiolaria (hewan laut) dan diatom (tumbuhan kecil laut) seluruhnya

mengandung oksigen. Seperti juga pada oksigen pada air tawar, oksigen

pada air laut juga mengandung dua isotop yang berbeda, yaitu isotop berat

dan ringan. Melalui perbandingan isotop oksigen yang berbeda pada

mikrofosil tersebut, paleoklimatolog dapat menyingkap seberapa dingin


40

lautan waktu itu dan seberapa luas lapisan es global pada masa hidup

mikrofosil tersebut.

Sedimen laut juga mengandung partikel-partikel mineral kontinental

yang dapat bercerita tentang pola arus laut. Melalui distribusi butir mineral

tersebut dapat diketahui arah arus dan kekuatan arus yang membawanya.

Arus laut juga membawa gunung es dari kutub menuju ekuator, hingga

akhirnya meleleh. Batuan dan tanah yang terbawa oleh gunung es tersebut

kemudian tenggelam ke dasar laut dan dapat ditemukan pada sedimen

bawah laut. Melalui temuan ini dapat disimpulkan tentang arah arus laut dan

secara tidak langsung dapat diketahui pada lokasi mana di lautan yang

temperatur perairannya cukup untuk melelehkan es.

Inti sedimen dasar laut sangatlah berharga dalam upaya para

paleoklimatolog untuk meronstruksi perubahan iklim. Melaluinya kita

disajikan data iklim hingga jutaan tahun yang lalu. Proyek ilmiah Climate:

Long-Range Investigation, Mapping and Prediction (CLIMAP) pada tahun

1970an, menggunakan rekaman inti sedimen dasar laut yang

memungkinkan para paleoklimatolog merekonstruksi sejarah iklim bumi

hingga zaman es terakhir pada 20.000 tahun silam.

 Perbandingan Isotop Oksigen

Oksigen merupakan salah satu unsur yang memiliki peranan penting

dalam studi iklim purba. Oksigen memiliki dua jenis isotop, yaitu isotop

oksigen berat dan ringan. Perbandingan kedua jenis isotop oksigen ini
41

berguna dalam seluruh penelitian iklim purba. Seperti seluruh unsur kimiawi

lainnya, atom oksigen memiliki inti yang terdiri dari proton dan neutron yang

dikelilingi oleh awan elektron. Seluruh atom oksigen memiliki delapan buah

proton, akan tetapi inti atom oksigen mungkin memiliki 8, 9 atau 10 buah

neutron. Oksigen “ringan” 16O dengan 8 proton dan 8 neutron merupakan


18O
isotop oksigen yang paling umum dijumpai di alam, diikuti oleh yang

dikenal sebagai oksigen “berat” (8 proton dan 10 neutron) dengan jumlah

yang lebih sedikit (Herho, 2017).

Evaporasi dan kondensasi merupakan dua proses yang paling

mempengaruhi perbandingan oksigen berat dan oksigen ringan di lautan.

Molekul air terdiri dari dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Molekul

air yang mengandung oksigen ringan terevaporasi secara lebih mudah

dibandingkan molekul air yang mengandung atom oksigen berat.

Sementara itu, molekul uap air yang mengandung oksigen atom oksigen

berat lebih mudah mengalami kondensasi (Herho, 2017).

Cangkang koral dan mikrofosil laut lainnya tersusun dari kalsium

karbonat (CaCO3) atau silika dioksida (SiO2). Pada saat proses

pembentukan cangkang tersebut, koral dan mikrofosil cenderung menyerap

lebih banyak air yang mengandung isotop oksigen berat. Cangkang yang

terbentuk di perairan hangat mengandung isotop oksigen ringan

dibandingkan dengan yang terbentuk di perairan dingin, sehingga

perbandingan isotop oksigen pada fosil laut perlu mengetahui fenomena

lokal pada masa pembentukannya.


42

Koreksi faktor temperatur lokal dapat dilakukan dengan menggunakan

metode geokimia lainnya, misalnya pada koral. Perbandingan yang

digunakan untuk menentukan temperatur yaitu stronsium/thorium.

Pengukuran ini kemudian digunakan untuk mengetahui tingkat pengaruh

temperatur terhadap perbandingan isotop oksigen pada koral di wilayah

tersebut. Setelah dilakukan koreksi, perbandingan isotop oksigen pada fosil

tersebut dapat menggunakan untuk mengetahui perubahan salinitas, curah

hujan, limpasan dan volume es global. Perbandingan isotop oksigen dapat

digunakan untuk merekonstruksikan iklim masa lalu, karena dapat

diterapkan pada berbagai macam proxy yang diambil dari wilayah yang

berbeda.

c. Perubahan Iklim dan Zaman Es

Bumi terbentuk sekitar 4,5 milyar tahun yang lalu. Banyak peristiwa

yang menjadi penanda evolusi bumi hingga kini, salah satunya adalah

periode dimana iklim bumi berubah menjadi lebih dingin. Terdapat tiga fase

glasiasi utama yang terjadi antara 900 – 600 juta tahun silam. Endapan

glasial dari era Proterozoik telah ditemukan di lintang rendah, memunculkan

hipotesa bahwa pada waktu tersebut lapisan es menutupi seluruh bumi dari

kutub utara hingga kutub selatan. Pemikiran ini disebut sebagai “Snowball

Earth Hypothesis”, adapun kembalinya bumi menjadi lebih hangat adalah

akibat pemanasan global yang ditimbulkan oleh akumulasi gas CO2 ke

atmosfer dari aktivitas vulkanik. Singkapan karbonat di Namibia merupakan


43

salah satu bukti yang diajukan untuk mendukung hipotesis tersebut, akan

tetapi hipotesis ini masih diperdebatkan hingga kini.

Antara 600 – 100 juta tahun yang lalu, bumi beriklim sejuk, diselingi

dengan periode dingin, seperti zaman es Prakambrium, zaman es

Ordovisum – Silur Akhir, zaman es Perm – Karbon, yang juga termasuk

periode glasiasi bumi. Bumi berangsur–angsur mendingin dan mengering

sejak 50 juta tahun yang lalu. Lapisan es di Antartika mulai berkembang

sekitar 40 juta tahun yang lalu, sedangkan lapisan es di Greenland dan

lintang tengah lainnya baru terbentuk pada 4 – 2,4 juta tahun yang lalu.

Zaman es Kuarter merupakan satu–satunya periode glasial dimana

manusia hidup, dicirikan dengan rangkaian periode dingin – hangat, yang

lebih dikenal sebagai siklus glasial – interglasial. Sepanjang fase dingin

(zaman es), lapisan es tersebar hingga lintang rendah.

Salah satu studi kasus perubahan iklim dan dan zaman es yaitu

kontrol utama pada fluktuasi permukaan laut Selat Makassar akibat

pembekuan dan pencairan es di kutub selama Kuarter. Hasil rekonstruksi

fluktuasi muka air laut di Selat Makassar oleh Klerk (1982) menunjukkan

fluktuasi permukaan laut sejak 7.000 tahun lalu terkait dengan glasiasi dan

deglasiasi. Fluktuasi permukaan laut selama Pleistosen – Holosen juga

telah dibahas oleh Guilcher (1988) dengan menggunakan beberapa sampel

karang di wilayah Pasifik. Fluktuasi permukaan laut tersebut mempengaruhi

perkembangan organisme di dalam selat (Imran et al., 2013).


44

Perkembangan pulau karang tunggal pada Spermonde Platform

berbeda antar satu sama lain. Studi Klerk (1982) menunjukkan bahwa

Pulau Samalona berkembang dengan baik dan mencapai permukaan laut

(setinggi 5 m dari dasar laut) sejak 4.500 tahun yang lalu. Namun, karena

regresi, perkembangan vertikal terumbu berubah menjadi perkembangan

horisontal. Perkembangan dapat ditelusuri selama periode perkembangan

kedua yaitu 3.000 tahun yang lalu dan menjadi lebih luas dalam periode

1.000 tahun yang lalu (Gambar 8). Berbeda dengan perkembangan Pulau

Bone Tambung, pada periode yang sama Pulau Bone Tambung mencapai

ketinggian ± 1 m dari dasar laut. Pulau ini tumbuh secara vertikal dan

mencapai ketinggian 3 m pada 3.000 tahun yang lalu meskipun pada

periode tersebut merupakan kondisi regresi. Sejak 1.000 tahun yang lalu

pulau ini tumbuh secara lateral dan mencapai permukaan laut (Gambar 8).

Berdasarkan fluktuasi permukaan laut, sekitar 7.000 tahun yang lalu

terjadi kenaikan permukaan laut sekitar 100 m. Pada saat itu terumbu

karang berkembang di Selat Makassar yang kini dikenal dengan

Spermonde Platform (Imran et al., 2013). Perubahan permukaan laut, arus

dan gelombang meegang peranan penting dalam mempengaruhi morfologi

terumbu karang. Aktivitas regresi selama perkembangan Spermonde

Platform mengarah pada pertumbuhan lateral terumbu karang dan

menghasilkan sedimen yang mengelilingi pulau-pulau yang selalu bergerak

tergantung pada musimnya (Imran et al., 2013).


45

Gambar 8 Model perkembangan pulau terumbu karang pada


Spermonde Platform. (A) pulau Samalona dan (B) Pulau
Bone Tambung (Klerk, 1982 dalam Imran et al., 2013)

d. Pemodelan Iklim Purba

Model iklim umumnya menyederhanakan kenyataan, didesain untuk

menggambarkan kompleksitas interaksi dalam sistem iklim. Model iklim

numerik ini dapat digunakan untuk mengujicoba teori astro-iklim purba,

dalam kaitan seberapa jauh parameter–parameter astronomi menyebabkan

perubahan insolasi yang dapat menyebabkan sistem iklim Kuarter menjadi

siklus glasial – interglasial seperti yang didapat dari data geologi.

Mekanisme-mekanisme fisis yang secara khusus berkaitan antara lain pada

lapisan es, litosfer, siklus hidrologi, sifat perawanan, albedo, gradien

temperatur darat – laut – es, siklus karbon dan sirkulasi laut. Bagian–bagian
46

yang berbeda dari sistem iklim seperti litosfer, atmosfer, hidrosfer dan

biosfer umumnya dimodelkan secara terpisah.

Pada periode interglasial terakhir, 125.000 tahun yang lalu, model

iklim purba menyatakan bahwa kondisi saat itu lebih hangat ketimbang saat

ini, khususnya pada lintang tinggi, yang ditandai dengan berkurangnya

lapisan es, yang mengakibatkan peningkatan monsun tropis utara dan

pergeseran bioma tundra dan taiga ke arah utara yang sesuai dengan

rekaman geologi. Beberapa GCMs telah digunakan untuk mensimulasikan

iklim peristiwa glasiasi maksimum terakhir (last glaciation maximum),

sekitar 20.000 tahun yang lalu. Peristiwa glasiasi maksimum terakhir

berkaitan dengan konsentrasi gas CO2, es laut, temperatur laut dan albedo

daratan. Beberapa bukti–bukti kuat yang telah ditemukan, seperti

pergerseran hujan monsun ke arah utara di Afrika dan India.

Model dengan kompleksitas sedang hingga kini merupakan satu–

satunya model iklim yang dapat mensimulasikan properti iklim yang

bergantung pada waktu, dengan rentang waktu yang cukup panjang. Earth

system Models of Intermediate Complexity (EMICs) adalah model dengan

kompleksitas sedang yang mampu mensimulasikan variabel iklim seperti

volume es, depresi batuan dasar (bedrock depression), temperatur laut

dalam dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. EMICs juga dapat

mensimulasikan interaksi dari bagian–bagian yang berbeda tersebut dalam

satu sistem iklim yang komprehensif.


47

Pada Gambar 9 bagian (A) menunjukkan variasi radiasi matahari

rata–rata pada bulan Juli di lintang 60°LU (garis merah tebal) dan

konsentrasi gas CO2 (garis hijau putus–putus); (B) menunjukkan rekaman

proxy dari volume es kontinental, yang terdiri dari isotop oksigen sebagai

fungsi umur dalam skala waktu SPECMAP (garis biru tua tebal), rekaman

δ18O dari inti sedimen laut dalam MD900963 (garis biru putus–putus

panjang), rekonstruksi tinggi permukaan laut dari foraminifera bentik dari inti

sedimen laut dalam V19 – 30 (garis biru putus–putus pendek); dan (C)

menunjukkan volume es kontinental dalam simulasi model iklim LLN 2D NH

(Herho, 2017).

Gambar 9 Perbandingan Model LLN 2D NH dengan data geologi


sepanjang 400.000 tahun silam (Herho, 2017)
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Kesampaian Daerah

Penelitian iklim purba global Danau Tempe dan Salo Cenrana yang

didasarkan pada karakteristik endapan sedimen Kuarter danau (kandungan

mineral dan sulfur), dilakukan pada daerah Salo Cenrana Provinsi Sulawesi

Selatan.

Secara administratif, daerah penelitian berada dalam wilayah

Kabupaten Wajo (Kecamatan Tempe, Kecamatan Pammana, Kecamatan

Bola) dan Kabupaten Bone (Kecamatan Duaboccoe dan Kecamatan

Cenrana) Provinsi Sulawesi Selatan ke arah utara Kota Makassar (Gambar

10). Secara geografis dibatasi oleh 119°59’00” – 120°25’00” Bujur Timur

dan 4°06’00” – 4°24’00” Lintang Selatan. Luas daerah penelitian sekitar

1074,27 km2 dan terpetakan dalam beberapa Peta Rupa Bumi Indonesia

skala 1:50.000 terbitan Bakosurtanal edisi I tahun 1991, Cibinong-Bogor,

yaitu:

 Lembar Batubatu dengan nomor lembar 2011-64

 Lembar Sengkang dengan nomor lembar 2111-43

 Lembar Uloe dengan nomor lembar 2111-41

 Lembar Tokaseng dengan nomor lembar 2111-42

48
49

Daerah penelitian dapat dijangkau dari Kota Makassar melalui jalur

darat dengan menggunakan kendaraan beroda dua maupun roda empat

selama ±5 jam dengan jarak tempuh ±240 km.

Gambar 10 Peta lokasi penelitian


50

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Peralatan yang digunakan saat pengambilan data di lapangan antara

lain, yaitu kompas geologi, palu geologi, GPS (Global Positioning System)

untuk plotting titik dan tracking lintasan pengamatan (navigasi dan orientasi

medan), percussion core untuk pengambilan sampel endapan sedimen

danau, loupe dengan pembesaran 20x, komparator ukuran butir, pita meter

dan roll meter, bak ukur, kamera digital, alat tulis menulis, clipboard, dan

ransel lapangan. Adapun alat yang akan digunakan pada saat analisa

laboratorium, pengolahan data dan penyusunan laporan yaitu, laptop,

timbangan digital, oven, 1 set ayakan mekanik (sieve nest and shacker), lap

halus dan lap kasar, sampel splitter atau quartering, pinset, mikroskop

polarisasi untuk analisis petrografi serta mikroskop binokuler untuk analisis

ukuran butir dan perubahan salinitas endapan sedimen.

2. Bahan

Bahan yang digunakan saat pengambilan data di lapangan antara lain,

yaitu peta topografi berskala 1:25.000 yang merupakan hasil perbesaran

dari Peta Rupa Bumi Lembar Sengkang, Batubatu, Uloe dan Tokaseng

skala 1:50.000 edisi I terbitan Bakosurtanal tahun 1991, peta geologi

berskala 1:25.000 yang merupakan hasil perbesaran dari Peta Geologi

Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat skala 1:250.000 terbitan


51

Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi tahun 1982, peta citra satelit

daerah Salo Cenrana dan sekitarnya, buku catatan lapangan, kantong

sampel, larutan asam klorida (HCl) 0,1M dan perlengkapan pribadi. Adapun

bahan yang akan digunakan pada saat analisa laboratorium, pengolahan

data dan penyusunan laporan yaitu, sampel sedimen yang telah ditimbang

dan dikeringkan, kaca preparat, lem epoxy resin, lem epoxy hardener,

larutan asam klorida (HCl) 0,1M, larutan hidrogen peroksida (H2O2) 0,1M,

aquades, alkohol, software Garmin Mapsource ver. 6.1, Global Mapper ver.

19 dan ArcGIS ver. 10.4 untuk digitasi peta.

C. Metode Penelitian

Untuk memperoleh hasil yang diharapkan, maka penelitian ini akan

dilaksanakan melalui beberapa tahapan penelitian sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Pada tahap ini, beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :

a. Studi pustaka/literatur

Penelitian diawali dengan kajian kepustakaan untuk memahami

state of the art dari topik dan menentuan rancangan penelitian

serta persiapan yang menyangkut segala sesuau yang

dibutuhkan selama pelakasanaannya. Tahapan ini meliputi studi

tentang geologi regional daerah penelitian, laporan atau jurnal dari

peneliti terdahulu yang mencakup daerah penelitian serta literatur-


52

literatur geologi yang masih berkaitan dengan batasan masalah

penelitian.

b. Persiapan administrasi

Tahap ini meliputi pengajuan proposal penelitian, pengurusan

surat izin penelitian pada tingkat provinsi hingga ke tingkat

kelurahan lokasi penelitian.

c. Pegadaan peta dasar dan interpretasi peta topografi

d. Persiapan perlengkapan dan peralatan

Tahapan ini meliputi pengadaan perlengkapan dan peralatan

yang dibutuhkan selama kegiatan pengambilan data di lapangan.

e. Perencanaan biaya dan jadwal kegiatan

Tahapan ini meliputi perincian biaya yang disusun berdasarkan

kondisi daerah dan kebutuhan penelitian, agar penelitian yang

dilakukan dapat berjalan lancar dan tersistematis. Selain itu,

mempelajari kondisi sosial budaya masyarakat setempat sangat

penting untuk kemudahan dan keamanan dalam melakukan

kegiatan penelitian.

2. Tahap Pengumpulan Data

Secara teknis, urutan pengumpulan data yang di lakukan pada

penelitian ini adalah :

a. Pengamatan dan penentuan lokasi pengambilan sampel endapan

sedimen danau dan core di daerah penelitian dilakukan dengan


53

menggunakan pendekatan geomorfologi berdasarkan data citra

satelit, peta topografi berskala 1:25.000, peta geologi berskala

1:25.000 yang merupakan hasil perbesaran dari Peta Geologi

Lembar Pangkajene dan Watampone bagian Barat skala

1:250.000 terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

tahun 1982, serta dengan menyesuaikan kondisi medan di

lapangan yang kemudian dituangkan ke dalam peta geomorfologi

dan peta geologi daerah penelitian sebagai data sekunder

penelitian.

b. Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan pendekatan

berupa pengambilan sampel endapan sedimen Kuarter di daerah

Salo Cenrana yang memiliki hulu di Danau Tempe dan bermuara

di Teluk Bone. Pengambilan unit endapan sedimen dilakukan

dengan menggunakan soft sediment sampling percussion core

(Gambar 11). Dari alat percussion core, endapan danau

kemudian dimasukkan ke dalam wadah kedap udara berupa

tabung berdiameter 15 cm dengan panjang 100 cm. Pengambilan

sampel dilakukan secara berurut dan searah aliran sungai yang

bermuara ke Teluk Bone. Setelah tabung penetrasi percussion

core menangkap endapan sedimen tersebut, tabung lalu diangkat

ke permukaan secara perlahan dan masing-masing bagian ujung

tabung langsung ditutup rapat (kedap udara) agar sampel


54

terhindar dari kontaminasi material asing di sekitarnya dan diberi

label (kode sampel) dan di deskripsi.

Gambar 11 Percussion core untuk pengambilan sampel endapan


sedimen

c. Pengamatan dan pengukuran terhadap unsur–unsur struktur

geologi meliputi kedudukan batuan dan kekar yang kemudian

dituangkan ke dalam peta struktur geologi sebagai data sekunder

penelitian.

d. Sebelum melakukan preparasi sampel, maka sampel untuk

analisis sedimentologi dan petrografi terlebih dulu ditimbang untuk

menghitung berat sampel basah (150 gr/stasiun) dan dikeringkan

dengan cara penjemuran di bawah sinar atau pemanasan dengan

menggunakan oven dengan suhu 40°C selama beberapa jam


55

sampai diperoleh sampel yang kering. Conto sedimen yang telah

kering ditimbang (100 gr/stasiun) dan dilakukan splitting atau

membagi menjadi empat bagian. Pada sebagian conto yang

representatif, dilakukan proses pemisahan ukuran butir (sieving)

untuk mendapatkan fraksi sedimen pada ukuran 18, 35, 60, 120

dan 230 mesh. Conto sedimen kemudian ditimbang ulang untuk

keperluan preparasi smear slide dan pemisahan kandungan

mineral berat dan mineral ringan.

e. Adapun untuk preparasi sampel diperoleh dengan cara

meletakkan sejumlah mineral/material sedimen lepas yang telah

dikeringkan pada permukaan kaca preparat lalu direkatkan

dengan menggunakan lem epoxy resin dan lem epoxy hardener

kemudian ditutup dengan kaca preparat.

f. Pengumpulan data laboratorium dilakukan dengan pendekatan

metode analisis petrografi, analisis sedimentologi (ukuran butir

dan gradasi gradien sungai) dan analisis geokimia (kndungan

sulfur).
56

3. Tahap Analisa Laboratorium

Tahap analisa laboratorium, berupa pengamatan sampel yang diambil

di lapangan dengan menggunakan pengujian laboratorium antara lain:

a. Analisis Petrografi

Analisis ini meliputi analisis sifat fisik mineral pada endapan

sedimen danau. Analisis ini menggunakan mikroskop polarisasi

Laboratorium Petrorafi Departemen Teknik Geologi Fakultas

Teknik Universitas Hasanuddin, Gowa. Preparat sampel diamati

untuk mengetahui jenis, persentase dan roundness serta sifat fisik

mineral pada endapan sedimen danau. Hasil pengamatan

tersebut kemudian digunakan untuk menentukan komposisi dan

sebaran mineral pada daerah penelitian serta perubahan bentuk

mineral yang terkandung pada endapan sedimen danau sebagai

salah satu proxy iklim purba pada daerah penelitian.

b. Analisis Sedimentologi

Analisis ini meliputi analisis ukuran butir pada endapan sedimen

danau. Data dari hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabel dan

grafik (histogram) yang berisi penentuan harga persentilnya yang

kemudian dihitung lebih lanjut dan diinterpretasi berdasarkan dari

data grafik tersebut. Data persentase berat dan berat kumulatif

dihitung dengan rumus:


Berat tertampung
% Berat = Jumlah berat tertampung x 100
57

Setelah itu tentukan persentil Ф5, Ф6, Ф25, Ф50, Ф75, Ф84 dan Ф95

menggunakan histogram berat kumulatif. Lalu hitung mean,

standar deviasi, skewness, dan kurtosis sebagai parameter

statistik butiran menggunakan metode logaritma (Lewis dan

McConhie, 1994) dengan rumus sebagai berikut:

16+50+84
Mean: MZ = 3

84−16 95− 5
Standar deviasi: 1 = +
4 6.6

16+ 84−250 5+ 95+250


Skewness: Sk1 = 2(84−16)
+ 2(95−5)

95− 5
Kurtosis: KG = 2.44(75−25

4. Tahap Analisa Data

Hasil pengolahan data pada daerah penelitian disajikan dalam bentuk

kolom kajian karakteristik kandungan mineral dan sulfur terhadap

perubahan lingkungan dan iklim purba daerah Salo Cenrana. Pada tahap

ini menghasilkan suatu analisis mengenai parameter-parameter evolusi

kandungan mineral dan sulfur pada endapan sedimen Kuarter sungai yang

dihubungkan dengan kondisi geologi yang berkembang di daerah

penelitian. Berikut ini beberapa hasil kajian yang akan ditampilkan sebagai

hasil analisis, meliputi:

a. Kolom deskripsi endapan sedimen dari sampel bor dangkal endapan

Kuarter sungai.
58

b. Diagram dan analisis karakteristik mineral berdasarkan hasil analisis

petrografi (smear slide) berupa kelimpahan/kandungan, bentuk dan

ciri fisik mineral pada endapan sedimen Kuarter sungai.

c. Diagram perubahan salinitas endapan sedimen kuarter (sulfur).

d. Hasil observasi sedimentologi pada core.

Hasil penelitian berupa pengolahan dan interpolasi data lapangan baik

berupa data primer maupun data sekunder akan disusun menjadi sebuah

tulisan sesuai dengan format atau aturan penulisan yang telah ditentukan

dan disusun secara sistematis (Gambar 12).


Gambar 12 Bagan alir penelitian
59
BAB IV

PERENCANAAN WAKTU DAN BIAYA PENELITIAN

A. Perencanaan Waktu Penelitian

Penelitian ini direncanakan membutuhkan waktu selama 1 tahun

yang dimulai pada bulan Juni 2017 dan berakhir pada bulan Juni 2018,

dimana kegiatan penelitian ini meliputi beberapa tahapan. Adapun tahapan

dan waktu kegiatan penelitian akan diuraikan pada tabel berikut:

Tabel 8. Rencana waktu dan tahapan penelitian

60
61

B. Perencanaan Biaya Penelitian

Berdasarkan waktu dan tahapan penelitian yang direncanakan

tersebut, maka anggaran biaya yang diperkirakan adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Rencana biaya kegiatan penelitian


No. Nama Kegiatan Biaya
Persiapan
- Studi Pustaka Rp 100.000,-
1
- Administrasi Rp 200.000,-
- Pengadaan/Penyewaan Alat dan Bahan Rp 1.500.000,-
Penelitian Lapangan
- Transportasi Rp 2.500.000,-
2
- Konsumsi Rp 2.000.000,-
- Akomodasi Rp 1.400.000,-
Analisa Laboratorium
- Pembuatan Smear slide (Gradasi Butir) Rp 2.000.000,-
3 - Analisis Petrografi Rp 500.000,-
- Analisis Sedimentologi (Grain size) Rp 1.000.000,-
- Analisa TOC (Kandungan sulfur) Rp 5.000.000,-
4 Pembuatan dan Penggandaan Peta Rp 300.000,-
5 Penyusunan dan Penggandaan Laporan Rp 500.000,-
6 Seminar Hasil Rp 1.000.000,-
7 Biaya Tak Terduga Rp 2.000.000,-
*Total Biaya Rp 20.000.000,-

*Terbilang : Dua Puluh Juta Rupiah


BAB V

PENUTUP

Demikian penyusunan proposal penelitian ini dibuat sebagai

kerangka acuan dalam pelaksanaan kegiatan penelitian pada Daerah Salo

Cenrana Provinsi Sulawesi Selatan. Proposal ini diajukan sebagai bahan

pertimbangan dan semoga mendapat perhatian serta dukungan dari

berbagai pihak.

Semoga kegiatan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

pemikiran dalam masalah status sedimentasi dan pendangkalan danau,

baik sebagai objek kajian dan penelusuran informasi perubahan iklim masa

lampau di daerah Danau Tempe dan Salo Cenrana untuk rentang waktu

geologi yang relatif panjang serta dalam upaya pengurangan resiko

bencana di masa mendatang.

62
DAFTAR PUSTAKA

Bakosurtanal. 1991. Peta Rupa Bumi Lembar Batubatu nomor 2011–64,


Edisi I. Bakosurtanal, Cibinong, Bogor.

Bakosurtanal. 1991. Peta Rupa Bumi Lembar Uloe nomor 2111–41, Edisi I.
Bakosurtanal, Cibinong, Bogor.

Bakosurtanal. 1991. Peta Rupa Bumi Lembar Tokaseng nomor 2111–42,


Edisi I. Bakosurtanal, Cibinong, Bogor.

Bakosurtanal. 1991. Peta Rupa Bumi Lembar Sengkang nomor 2111–43,


Edisi I. Bakosurtanal, Cibinong, Bogor.

BAPPEDA Kabupaten Wajo. 2006. Rencana Tata Bangunan dan


Lingkungan (RTBL) Kawasan Permukiman Tepian Sungai Walennae
Kabupaten Wajo Tahun 2008. BAPPEDA, Sengkang.

BAPPEDA Kabupaten Wajo. 2006. Hasil Seminar Pengelolaan


Sumberdaya Alam Danau Tempe. BAPPEDA, Sengkang.

Boggs, S. Jr. (Ed). 2006. Principles of Sedimentology and Stratigraphy. Jilid


VI. Pearson Education Inc.: New Jersey.

Caldwell, I. and Lillie, M. 2004. Manuel into’s inland sea: Using


Paleoenvironmental Techniques to Asses Historical Evidence from
Southwest Sulawesi. Modul Quaternary Research South East Asia.
18: 259-272.

Chawchai, S., Chabangborn, A., Kylander, M., Löwemark, L., Mörth, C.M.,
Blaauw, M., Klubseang, W., Reimer, P.J., Fritz, S.C., and Wohlfarth,
B. 2013. Lake Kumphawapi an Archive of Holocene
Palaeoenvironmental and Palaeoclimatic Changes in Northeast
Thailand. Quaternary Science Reviews. 68: 59-75.

Cohen, A.S. 2003. Paleolimnology: The History and Evolution of Lake


Systems. Oxford University Press: New York.

Douglas, M.S.V. and Smol, J.P. 2001. Siliceous Protozoan Plates and
Scales. Tracking Environmental Change Using Lake Sediments. 3:
265-279.

63
64

Gagan, M.K., Hendy, E.J., Haberle, S.G., and Hantoro, W.S. 2004. Post-
Glacial Evolution of the Indo-Pacific Warm Pool and El Niño-
Southern Oscillation. Quaternary International. 118-119: 127-143.

Ghoneim, E., Benedetti, M., and El-Baz, F. 2012. An Integrated Remote


Sensing and GIS Analysis of the Kufrah Paleoriver Eastern Sahara.
Geomorphology. 139-140: 242-257.

Herho, S.H.S. 2017. Paleoklimatologi Untuk Pemula. Penerbit Perkumpulan


Studi Ilmu Kemasyarakatan ITB: Bandung.

Hubert, J.F. 1962. A Zircon-tourmaline-rutile Maturity Index and the


Interdependence of the Composition of Heavy Minerals
Assemblages with the Gross Composition and Texture of Sediments.
Sediment Petrology. 32: 440-450.

Imran, A.M., Kaharuddin, Suriamiharja, D.A., and Sirajuddin H. 2013.


Geology of Spermonde Platform. International Confrence on Asian
and Pacific Coasts. 7: 1062-1067.

Kasim, M., Imran, A.M., Hamzah, A., Busthan, and Pachri, H. 2016.
Provenance of Sediment Deposits in Lake Tempe, South Sulawesi.
International Journal of Engineering and Sciene Applications. 3: 87-
96.

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia.


Bandung: Ikatan Ahli Geologi Indonesia Bidang Geologi dan Sumber
Daya Mineral.

Kurniawan, A., Mc. Kenzie, J., and Putri, J.A. 2009. General Dictionary of
Geology. Environmental Geographic Student Association:
Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia.

Lewis, D.W. and McConhie, D. 1994. Analytical Sedimentology. Chapman


& Hall: Ne York.

Li, Y-X., Yu, Z., Kodama, K.P., and Moeller, R.E. 2006. A 14.000-year
Environmental Change History Revealed by Mineral Magnetic Data
from White Lake, New Jersey, USA. Earth and Planetary Science
Letters. 246: 27-40.

Lin, C-Y., Ho, C-R., Lee, Y-H., Kuo, N-J., and Liang, S-J. 2013. Thermal
Variability of the Indo-Pacific Warm Pool. Global and Planetary
Change. 100: 234-244.

McLane, M. 1995. Sedimentology. Oxford University Press: New York.


65

Mottana, A., Crespi, R., and Liborio, G. 1978. Rocks and Minerals. Simon &
Schucter Inc.: New York.

Pettijohn, F.J. 1975. Sedimentary Rocks. Harper & Row: New York.

Pringgoprawiro, H. dan Kapid, R. 2000. Seri Mikrofosil Foraminifera:


Pengenalan Mikrofosil dan Aplikasi Biostratigrafi. ITB: Bandung.

Sudibyakto. 2013. RKPM Meteorologi dan Klimatologi. Universitas Gadjah


Mada: Yogyakarta.

Sukamto, R. 1982. Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian


Barat, Sulawesi. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi Direktorat Pertambangan Umum Departemen
Pertambangan dan Energi.

Suyono and Kusnama. 2010. Stratigraphy and Tectonics of the Sengkang


Basin, South Sulawesi. Jurnal Geologi Indonesia. 5: 1-11.

USGS. 2017. Peta Tutupan Lahan Sulawesi Selatan Tahun 1990-2015.


USGS, South Dakota, USA.

van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, vol. 1A: General
Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagoes. Government
Printing Office, The Hague: Amsterdam.

Yongjian, H., Yang, G., Jian, G., Pingkang, W., Qinghua, H., Zihui, F., and
Lianjun, F. 2013. Marine Incursion Events in the Late Cretaceous
Songliao Basin: Constraints from Sulfur Geochemistry Records.
Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaeoecology. 385: 152-161.

Zabel, M., Schneider, R.R., Wagner, T., Adegbie, A.T., de Vries, U., and
Kolonic, S. 2001. Late Quaternary Climate Changes in Central Africa
as Inferred from Terrigenous Input to the Niger Fan. Quaternary
Research. 56: 207-217.
LAMPIRAN: Curriculum Vitae

CURRICULUM VITAE

A. Data Pribadi

1. Nama : Baso Rezki Maulana, S.T.


2. Tempat, Tgl. Lahir : Sengkang, 19 Maret 1990
3. Agama : Islam
4. Alamat : Bumi Permata Sudiang Blok G8/10
5. Status Sipil : Belum Menikah
6. Telepon/HP : +6282232268843/+6282296047681
7. Email : rezki.maulana@geologist.com

B. Riwayat Pendidikan

 Tamat SD tahun 2002 di SDN 5 Maddukelleng Sengkang


 Tamat SMP tahun 2005 di SMPN 6 Sengkang
 Tamat SMA tahun 2008 di SMAN 1 Sengkang
 Sarjana (S1) tahun 2014 di Jurusan Teknik Geologi Unhas

C. Pengalaman Kerja

 Tim Survei Geologi dan Geofisika Cekungan Misool, Pulau Misool,


Provinsi Papua Barat (Oktober – Desember 2012).
 Tim Survei Eksplorasi Bijih Tembaga dan Asosiasi Mineral, Kab.
Bone, Provinsi Sulawesi Selatan, PT. Eka Jaya Sakti (Mei 2013).
 Tim Survei Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin – Potensi Air
Tanah Provinsi Kalimantan Utara (Februari – November 2015).

D. Kemampuan Komputasi

 Operating System 7, 8.1 dan 10


 ArcGIS 10.4.1
 ArcSWAT 10.4.19

66
LAMPIRAN: Curriculum Vitae

 Global Mapper 19
 Res2Dinv
 GCDKit 4.1
 GARMIN MapSource 6.1
 Google Earth 7.3.1
 CorelDraw 2017
 Adobe Premiere CC 2018
 Foxit PhantomPDF Business 9.0
 Microsoft Office 2007, 2016 dan Microsoft Visio 2016
 WPS Office 2016
 Match 3.6
 Basic homegroup, local area Networking dan Internet

E. Riwayat Asisten Mata Kuliah/Laboratorium

 Asisten Geokimia Eksplorasi Jurusan Teknik Geologi (2014 – 2017)


 Asisten Geologi Lapangan Departemen Teknik Geologi (2014)
 Asisten Endapan Mineral Jurusan Teknik Geologi (2014)
 Asisten Petrologi Jurusan Teknik Geologi (2013)
 Asisten Paleontologi Jurusan Teknik Geologi (2012)
 Asisten Mikropaleontologi Jurusan Teknik Geologi (2011)

F. Riwayat Organisasi

 Anggota Organisasi Kemahasiswaan Fakultas Teknik Universitas


Hasanuddin (2008 – 2014).
 Anggota Organisasi Kemahasiswaan Jurusan Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (2008 – 2014).
 Pengurus harian PERHIMAGI Regional Sulawesi (2010 – 2011).
 Wakil Ketua Satuan Komando Lapangan Himpunan Mahasiswa
Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin (2011 – 2012).

67

Anda mungkin juga menyukai